Anda di halaman 1dari 21

MAKALAH

Teori Postkolonial
Dosen Pengampu:
A. Dody May Putra Agustang, S.sos,M.Pd

DISUSUN OLEH:
SAHRA MAWARDA AZIZ (200603501015)

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN HUKUM


UNIVERSITAS NEGERI MAKASSAR
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SOSIOLOGI 2021-2022
Kata Pengantar
Puji syukur kehadirat Allah SWT Tuhan semesta alama yang telah
melimpahkan segala rahmat dan hidayahnya kepada penulis, sehingga makalah yang
berjudul “Teori Postkolonialisme” ini dapat diselesaikan dengan tepat waktu
Untuk kritik dan saran dari semua pihak kami harapkan demi penyempurnaan
makalah ini, dalam pembuatan makalah ini penulis menyampaikan bnyak terima
kasih kepada pihak yang membantu menyelesaikan makalah ini.

Makassar, 20 September 2020

Sahra Mawarda Aziz


DAFTAR ISI
Kata Pengantar
Daftar Isi
BAB 1 Pendahuluan
A. Latar Belakang
B. Rumusan masalah
C. Tujuan penelitian
D. Manfaat penelitian
BAB II Pembahasan

• Pengertian Postkolonialisme
• Koloni dan kolonialisme, imitasi barat tentang timur
• Orientasi membentuk timur ala barat
• Alienasi dan mimikri
• Hibriditas, nasionalitas dan identitas
• Franz fanon kulit hitam topeng putih

BAB III

• Makna kolonialisme dan imperialism


BAB IV

• Kesimpulan
• Penutup
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
Pendahuluan
A. Latar Belakang
Seiring dengan berkembangnya pola pikir dan keadaan global, dibuktikan dengan
munculnya beberapa teori keilmuan posmodern, termasuk juga di dalamnya studi sastra ikut
mengalami perkembangan yang signifikan. Sejarah gerakan kesusastraan dan kritik abad ke-20,
sebagaimana yang mungkin diharapkan banyak orang, sangat dipengaruhi oleh interaksinya
dengan imperealisme, suatu interaksi yang tak dapat dipungkiri sangat mewarnai kehidupan abad
ini.
Sebagai bentuk kontemplasi alur pikir pengarang, dan juga arus perkembangan kritik serta
teori-teori global, studi kesusastraan kemudian melahirkan produk yang disebut dengan studi
poskolonial, atau yang dikenal dengan teori poskolonial. Gandhi (1998:179) mengemukakakan
tema poskolonial memunyai pengaruh terhadap perhatian kritis mengenai teori sastra poskolonial
dan masyarakat yang terkena dampak kolonial. Oleh sebab itu, dapat dikatakan bahwa teori
poskolonial dalam studi sastra mengacu pada perilaku masyarakat di suatu era tertentu, yang di
dalamnya terdapat sistem kolonialisme dan imperialisme. Poskolonial didefinisikan sebagai teori
yang lahir sesudah kebanyakan negaranegara terjajah memperoleh kemerdekaanya. Bidang
kajiannya mencakup seluruh khazanah tekstual nasional, khususnya karya sastra yang pernah
mengalami kekuasaan imperial sejak kolonisasi hingga sekarang. Teori poskolonial dengan
demikian sangat relevan dalam kaitannya dengan kritik lintas budaya sekaligus wacana yang
ditimbulkan.
Tema-tema yang perlu dikaji sangat luas dan beragam, meliputi hampir seluruh aspek
kebudayaan di antaranya: politik, ideologi, agama, pendidikan, sejarah, antropologi, ekonomi,
kesenian, etnisitas, bahasa dan sastra sekaligus praktik di lapangan, seperti perbudakan,
pendudukan, pemindahan penduduk, pemaksaan bahasa, dan berbagai bentuk invasi kultural yang
lain. Meskipun demikian, keberagaman permasalahan di atas dipersatukan oleh tema yang sama
yaitu kolonialisme.
Teori poskolonial yang berkembang di Indonesia secara umum dapat dikategorisasikan
adalah sebagai berikut. Pertama, mengacu pada berakhirnya proses kolonialisme yang ada di
dunia. Kedua, segala artefak yang berkait dengan pengalaman kolonialisme dari abad ke-17
sampai sekarang. Ketiga, segala bentuk tulisan yang berkaitan dengan paradigma superioritas
Barat terhadap inferioritas Timur, baik sebagai orientalisme maupun imperialisme dan
kolonialisme (Ratna, 2008: 96).
Sejarah karya sastra yang lahir di era kolonial, atau sastra yang di dalamnya bercerita
tentang kolonisasi bangsa Eropa maupun Jepang terhadap bangsa Hindia (Indonesia), sedikit
banyak memengaruhi pemikiran dan perilaku masyarakat zaman pascapenjajahan berlangsung,
oleh sebab itu, seiring dengan perkembangan arus teori global, para pemikir poskolonial mencoba
membedah secara tajam bentuk-bentuk kolonialisme yang terjadi pada negara yang terkena
dampak kolonialisme, yang sekaligus juga menakar implikasi yang terjadi pada masyarakat era
pascapenjajahan.
B. Rumusan Masalah
• Apa yang dimaksud dengan postkolonialisme
• Menguraikan Koloni dan kolonialisme: intimitas barat tentang timur
• Menguraikan Orientalisme membentuk timur ala barat
• Menguraikan Alienasi dan mimikri
• Menguraikan Sastra dan oposisi pada saat mendua
• Menguraikan Hibriditas, nasionalitas dan identitas
• Menguraikan Franz fanon kulit hitam topeng putih
• Apa Makna kolonialisme dan imperialisme
C. Tujuan Penulisan
• Untuk mengetahui apa saja yang ada didalam teori postkolonialisme
D. Manfaat Penelitian
• Untuk menginformasikan kepada pembaca mengenai apa itu postkolonialsme
BAB II
Pembahasan
PENGERTIAN POSTKOLONIALISME
Secara etimologis kata poskolonial berasal dari kata ‘pos’ dan ‘kolonial’, sedangkan kata
kolonial itu berasal dari bahasa Romawi colonial yang berarti tanah pertanian atau pemukiman.
Loomba (2003:27) mendefinisikan kolonialisme adalah sebagai sebuah bentuk pengambilan
secara paksa, berupa tanah dan perekonomian yang dilakukan oleh bangsa penjajah, suatu
restrukturasi perekonomian nonkapitalis untuk mendorong kapitalisme penjajahan.
Secara umum poskolonial merupakan kajian karya sastra (dan bidang lain) yang berkaitan
dengan praktik kolonialisme dan imperialisme, baik secara sinkronik, maupun diakronik (Nurhadi,
2007: 50). Ciri khas poskolonial adalah berbagai pembicaraan yang berkaitan dengan
kolonialisme, khususnya orientalisme, sebab termasuk juga di dalamnya adalah narasi besar dari
poskolonial, yaitu orientalisme. Pada konteks sastra Indonesia, dapat digunakan untuk memahami
karya sastra era Balai Pustaka (1920-1952) pada masa kolonial Belanda, dan karya-karya yang
menggambarkan adanya relasi pribumi dan penjajah kolonial.
Beberapa hal mengenai karya dan teori sastra poskolonial, bersinggungan dengan gerakan-
gerakan yang muncul di Eropa. Seperti posmodernisme, postruktulalisme, kritik ideologi Marxis
kontemporer, dan kritik feminis. Ashcroft (1989:237) mengemukakan bahwa, teori-teori tersebut
menawarkan sejumlah perspektif alternatif yang menjelaskan beberapa prolem krusial yang
ditemukan pada teks-teks poskolonial. Sebagai varian dari postrukturalisme, konsep dasar kajian
poskolonial hampir sama dengan postrukturalisme, seperti penolakan terhadap narasi besar,
oposisi biner, dekontruksi terhadap subjek tunggal, dan proses sejarah yang terjadi secara
monolitik (Hägerdal, 2012:03).
Kajian atau teori poskolonial berusaha untuk membongkar fenomena dan segala bentuk
struktur yang terjadi di era kolonial, bahkan lebih dari pada itu, kajian poskolonial juga
menganalisis dampak dimasa sekarang, yang diakibatkan dari kolonisasi baik bangsa Eropa,
maupun bangsa Jepang. Sebagaimana yang dikatakan oleh Foucoult (2002:104-106) bahwa salah
satu cara untuk membongkar struktur ideologi adalah melaui arkeologi dan genealogi, yaitu,
pertama, melalui penggalian masa lalu. Kedua, ialah dengan mencoba menemukan kontinuitas dan
diskontinuitas hiastoris dari sebuah objek.
Kajian poskolonial (Nurhadi, 2007: 49) berusaha membongkar selubung praktik
kolonialisme di balik sejumlah karya sastra sebagai superstruktur dari suatu kekuasaan: kekuasaan
kolonial. Sastra dipandang memiliki kekuatan baik sebagai pembentuk hegemoni kekuasaan atau
sebaliknya sebagai konter hegemoni. Sebagai akibat luasnya wilayah kajian poskolonialisme,
maka teori poskolonialisme Indonesia, Ratna (2008: 96) melibatkan tiga pengertian, sebagai
berikut. Pertama, Abad berakhirnya imperium kolonial di seluruh dunia. Kedua, Segala tulisan
yang berkaitan dengan pengalaman-pengalaman kolonial sejak abad ke-17 hingga sekarang.
Ketiga, Segala tulisan yang ada kaitannya dengan paradigma superioritas Barat terhadap
inferioritas Timur, baik sebagai orientalisme maupun imperialisme dan kolonialisme Pengertian
pertama memiliki jangkauan yang paling sempit, poskolonialisme semata-mata sebagai wakil
masa pascakolonial. Di Indonesia mulai pertengahan abad ke-20, sejak proklamasi 1945 hingga
sekarang.
Pengertian yang kedua lebih luas, meliputi segala tulisan sejak kedatangan bangsa-bangsa
Barat di Indonesia untuk pertama kali, diawali dengan kedatangan bangsa Portugis dan Spanyol
awal abad ke-16 disusul oleh Belanda awal abad ke-17. Pengertian yang ketiga paling luas, dimulai
sebelum kehadiran bangsa Barat secara fisik di Indonesia, tetapi telah memiliki citra tertentu
terhadap bangsa Timur. Studi postkolonial termasuk relatif baru. Banyak pendapat tentang teori
postkolonial, sehingga cukup sulit untuk menentukan secara pasti teori poskolonialisme lahir.
Ratna (2008 :84) menyatakan bahwa proyek poskolonial pertama kali dikemukakan oleh Frantz
Fanon dalam bukunya yang berjudul Black Skin, White Masks dan The Wretched of The Earth
(New York, 1967). Fanon adalah seorang psikiater yang mengembangkan analisis secara cermat
mengenai dampak psikologis dan sosiologis yang ditimbulkan oleh kolonisasi.
Pada masa kolonial, secara keseluruhan kehidupan sosial dibagi menjadi dua kekuasaan,
kekuasaan kolonial, dan kekuasaan mistis penduduk pribumi (Maimunah, 2014:335). Fanon
menyimpulkan bahwa melalui dikotomi kolonial, yaitu kelompok penjajah dan terjajah, wacana
orientalisme telah melahirkan aliensi dan marginalisasi psikologis sangat dahsyat. Di dunia Anglo
Amerika poskolonialisme dirintis oleh Edward Said pertama kali dikemukakan melalui bukunya
Orientalism (1978). Tesis utamanya adalah hubungan antara pengetahuan dengan kekuasaan
sebagaimana diintroduksi oleh Foucault melalui buku Arkeologi Pengetahuan.
Teori Poskolonial berkembang pesat setelah era Said sebagai pemikir kajian poskolonial.
Teori poskolonial masuk ke berbagai bidang pengetahuan. Ia menjadi sarana untuk mengkritik dan
membongkar hegemoni Barat atas Timur. Seperti yang diungkapkan said dalam Orientalisme
(Nurhadi, 2007: 50) ada sejumlah karya sastra dalam dunia Barat yang turut memperkuat
hegemoni Barat dalam memandang Timur (Orient).
Teori poskolonial dibangun atas dasar peristiwa sejarah terdahulu, pengalaman pahit
bangsa Indonesia selama tiga setengah abad, khususnya di bawah kolonialisme imperium Belanda.
Kemerdekaan yang diperoleh pertengahan abad ke-20, namun secara de facto belum berarti bahwa
bangsa Indonesia telah bebas secara seutuhnya. Masih banyak masalah yang perlu dipecahkan
misalnya dalam kaitannya dengan ekonomi, sosial, dan politik, maupun mentalitas yang perlu
dipecahkan.
Ratna (2008: 81) Teori poskolonial memiliki arti penting, dianggap mampu untuk
mengungkap masalah-masalah tersembunyi yang terkandung di balik kenyataan yang pernah
terjadi, dengan pertimbangan sebagai berikut.
Pertama, Secara definitif, poskolonialisme menaruh perhatian untuk menganalisis era
kolonial. Poskolonialisme sangat sesuai dengan permasalahan yang sedang dihadapi oleh bangsa
Indonesia yang baru merdeka sekitar setengah abad. Jadi, masih sangat banyak pemasalahan yang
perlu dipecahkan, bahkan masih segar dalam ingatan bangsa Indonesia.
Kedua, Poskolonialisme memiliki erat kaitannya dengan nasionalisme, sedangkan kita
sendiri sedang mengahadapi berbagai masalah yang berkaitan dengan kehidupan berbangsa dan
bertanah air. Teori poskolonialisme dianggap dapat memberikan pemahaman terhadap masing-
masing pribadi agar selalu mengutamakan kepentingan bangsa di atas golongan, kepentingan
golongan di atas kepentingan pribadi.
Ketiga, Sebagai teori baru dan varian postrukturalisme, postkolonialime memperjuangkan
narasi kecil, menggalang kekuatan dari bawah sekaligus belajar dari masa lalu untuk menuju masa
depan.
Keempat, Poskolonialisme membangkitkan kesadaran bahwa penjajahan bukan semata-
mata dalam bentuk fisik, melainkan psike.
Kelima, Poskolonialisme bukan semata-mata teori melainkan suatu kesadaran sendiri,
bahwa masih banyak pekerjaan besar yang harus dilakukan, seperti memerangi imperialisme,
orientalisme, rasialisme dan berbagai bentuk hegemoni lainnya, baik material maupun spiritual,
baik yang berasal dari bangsa asing maupun bangsa sendiri.

KOLONI DAN KOLONIALISME: INTIMITAS BARAT TENTANG TIMUR


Kata koloni berasal dari bahasa Latin, colonia yang berarti sebuah perkampungan yang
didiami oleh bangsa atau suku bangsa tertentu atau sekumpulan orang asing yang menempati
suatu daerah tertentu di luar negeri (Ensiklopedi Nasional Indonesia, l997: 44). Jadi, koloni
merupakan suatu tempat yang kosong yang kemudian didatangi oleh sekelompok orang dari
bangsa tertentu dan kemudian menghuni tempat kosong tersebut. Pada perkembangan
selanjutnya, orang tidak lagi mencari tempat kosong untuk membuat suatu perkampungan, tetapi
mendatangi tempat yang sebelumnya sudah dihuni oleh sekelompok bangsa atau suku bangsa
tertentu. Karena pendatang baru ini dalam segala hal lebih dominan, penduduk lama
kedudukannya mulai tergeser, bahkan, lebih jauh lagi mulai tersingkir. Dengan terjadinya
penempatan daerah yang sebelumnya sudah dihuni oleh sekelompok bangsa atau suku bangsa
tertentu itulah, kata kolonial, yang merupakan kata turunan dari kata koloni, diartikan menjadi
penguasaan suatu wilayah atas wilayah lain, biasanya wilayah yang berada di seberang lautan.
Dari penguasaan wilayah baru itu, kemudian terjadi pengeksploitasian yang dilakukan dengan
kekerasan dan tidak mempertimbangkan kepentingan atau perasaan orang lain (Mehling, l978:
385). Issac (dalam Naim, l984: 6) membagi kolonisasi ke dalam dua jenis, yakni kolonisasi
eksploitasi dan kolonisasi pemukiman.
Kolonisasi eksploitasi biasanya hanya melibatkan sejumlah kecil pedagang, pejabat
pemerintah, dan tentara yang dipindahkan dari negara ibu, sedangkan budak atau buruh kontrak
dikumpulkan untuk penyediaan tenaga kerja yang diperlukan. Kolonisasi jenis kedua yakni
kolonisasi pemukiman. Kolonisasi ini terjadi bila negara yang telah kokoh berdiri, progresif, dan
berhasrat besar mengirim rombongan warga negaranya keluar negerinya, biasanya secara resmi,
untuk bermukim di suatu lokasi tertentu. Daerah-daerah yang dipilih itu adalah daerah yang baru
ditemukan atau negeri-negeri yang jarang penghuninya, yang penduduk aslinya begitu kecil
jumlahnya, atau tingkat budayanya begitu rendah sehingga mereka memberikan perlawanan
yang hampir tidak berarti terhadap masuknya para kolonis tersebut. Kolonialisme tidak bisa
dipisahkan dari imperialisme, yakni ambisi atau hasrat untuk memperluas kekuasaan secara
politis dan mengukuhkan batas-batas negara. Said (l996b : 40) menyatakan „imperialisme‟
berarti praktik, teori, dan sikap dari suatu pusat metropolitan yang menguasai wilayah yang jauh;
kolonialisme yang hampir selalu merupakan konsekuensi imperialisme adalah dibangunnya
pemukiman-pemukiman di wilayah-wilayah yang jauh.7 Doyle (dalam Said, l996b : 40)
berpendapat bahwa imperialisme adalah proses atau kebijaksanaan untuk menegakkan atau
mempertahankan imperium.
Imperium adalah hubungan, formal maupun informal, bahwa suatu negara menguasai
kedaulatan politik efektif dari suatu masyarakat politik lainnya. Hal ini bisa dicapai dengan paksa
melalui kolaborasi politik, melalui ketergantungan ekonomi, dan sosial, atau budaya.8 Analisis
wacana kolonialisme dirintis sebagai subdisiplin akademik oleh Edward Said dalam karyanya
yang berjudul Orientalisme. Ia berhasil menunjukkan hubungan langsung antara bahasa dan
bentukbentuk pengetahuan yang telah terjadi sepanjang sejarah imperialisme dan kolonialisme
dan berkeyakinan bahwa konsep-konsep dan representasi yang digunakan dalam teks-teks novel,
catatan perjalanan, memoar, dapat dianalisis untuk memahami ideologi kolonialisme yang
berbeda-beda (Lazuardi, 2003: 1). Dalam analisisnya itu, Said mengadopsi metode yang
digunakan Michele Foucault, bahwa orientalisme itu dibangun melalui konstruksi diskursif. Hal
ini memberi dampak teoritis dalam karyanya. Pertama, Said menunjukkan bahwa ideologi tidak
saja beroperasi melalui kesadaran, melainkan juga lewat barang praktis material. Kedua, ada
jalinan-jalinan yang rumit dan kompleks antara politik dan ilmu pengetahuan; pengetahuan
Barat, langsung atau tak langsung merupakan bentuk wacana kolonialisme. Ketiga, orientalisme
bersifat self generating, artinya dikembangbiakan oleh dirinya sendiri.
Hal terpenting di sini adalah pengetahuan Barat, teks-teksnya tidak hanya menciptakan
pengetahuan, tetapi juga berisi deskripsi dari apa yang tampak dan apa yang senyatanya terjadi.
Konsep Edward Said mendapat koreksi dari Homi K. Bhaba yang memfokuskan diri pada klaim
Said bahwa orientalisme itu selalu instrumental dan bekerja dengan sukses dalam bentuk-bentuk
yang praktis. Bhaba menambahkan psikoanalisa pada analisis Said yang bekerja menurut
kerangka Foucault. Ia membicarakan kemungkinan bahwa orientalisme itu bekerja pada tingkat
yang berbeda, yaitu yang ia sebut sebagai “manifest orientalism”, yakni suatu pengetahuan yang
bersifat “saintik” tentang Timur dan “laten orientalism”, suatu ketidaksadaran nafsu fantasi. Ia
menunjukkan bahwa wacana kolonialisme beroperasi tidak hanya melalui instrumen tertentu
saja, tetapi juga menurut fantasi. Kesimpulannya, orientalisme tidak bisa didefinisikan secara
sederhana menjadi hanya persoalan representasi.
Orientalisme mungkin memang representasi, tetapi juga ikut bermain di dalam lapangan
diskursif. Representasi bukanlah suatu entitas yang statis karena selalu berisi ucapan-ucapan baik
yang tertulis maupun tidak dari pihak tertentu kepada pihak yang lain. Pada sisi yang lain,
Gayatri Spivak membicarakan pada kemungkinan ”counter knowledges”. Semangat sejarawan
antikolonial sekarang menurutnya adalah untuk menuliskan sejarah mereka yang dikeluarkan
“the voiceless, yang selama ini hanya menjadi objek dari pengetahuan dan fantasi kolonialisme.
Secara umum ia menaruh perhatian dengan kelanjutan kekerasan epistemik yang dipraktikkan
oleh pikiran orang Barat kepada orang Timur. Ia menunjukkan bahwa sejarah bukanlah produksi
fakta-fakta yang tidak menarik, tetapi sebuah wujud kekerasan epistemik, sebuah konstruksi
representasi objek tertentu oleh pihak tertentu juga.

ORIENTALISME MEMBENTUK TIMUR ALA BARAT


Konsep Barat (oksidentalisme) dan Timur (orientalisme) tidak tergantung pada letak
geografisnya, tetapi pada posisi seseorang itu berada, dari mana orang memandangnya karena
pada dasarnya bumi ini bulat. Sebagai contoh, Indonesia dapat memandang Eropa sebagai Barat,
dapat pula sebagai Timur. Jika seseorang berada di Indonesia dan menghadap ke Samudra
Atlantik , Eropa ada di sebelah Barat. Sementara itu, kalau seseorang berada di Indonesia dan
menghadap ke Samudra Pasifik, Eropa ada di sebelah Timur.
Dengan demikian, yang dimaksud Barat dalam paham Orientalisme adalah mereka yang
berkulit putih, sedangkan Timur adalah mereka yang berkulit berwarna Orientalisme10 dengan
demikian bisa dimaknai sebagai konstruksi historis terhadap masyarakat dan budaya Timur
sebagai “sesuatu yang asing”, seringkali bahkan dilihat sebagai sejenis alien atau objek yang
indah dan eksotis. Akan tetapi, sebaliknya, Timur juga sering dianggap sebagai kasar, bodoh,
barbaris, irrasional, bejat moral, kekanakkanakan,“berbeda”. Orang-orang Timur ditampilkan
sebagai mahluk yang mudah dikecoh, tidak mempunyai energi dan inisiatif, suka menjilat,
berpura-pura, dan licik. Orang Timur adalah pembohongpembohong karatan, mereka malas,
mencurigakan. Dengan sendirinya, Barat menganggap dirinya rasional dan berbudi luhur,
“normal”. Mereka adalah penalar yang cermat; semua pernyataannya mengenai fakta, bebas dari
semua bentuk kekaburan. Ia adalah logikawan alami sekalipun mungkin ia tidak mempelajari
logika; ia memiliki pembawaan yang skeptis dan menuntut bukti sebelum menerima kebenaran
dari sesuatu ; intelegensinya yang terlatih bekerja laksana sebuah mesin (Said, 1996a: 49&51).11
Dengan demikian, Orientalisme dapat dipahami sebagai wacana yang memperlihatkan perbedaan
yang fundamental antara “kami orang Barat” dan “mereka orang Timur”. Barat, dengan
demikian memiliki legitimasi untuk mengatur dan menguasi Timur.
Dalihnya adalah Timur tidak bisa mengatur dirinya sendiri dan membebaskannya dari
kebodohan. Timur yang lemah dan tidak berenergi membutuhkan Barat yang kuat. Timur
direkonstruksi, disusun kembali, diukir, ringkasnya dilahirkan kembali. Dari asumsi semacam
itu, Orientalisme dapat dibahas dan dianalisis sebagai lembaga hukum untuk berurusan dengan
dunia Timur dengan membuat pernyataan pernyataan tentangnya, melegalkan pandangan-
pandangan tentangnya, mendeskripsikannya, dengan mengajarinya, menjadikannya sebagai
tempat pemukiman, dan memerintahnya. Dengan kata lain, orientalisme adalah gaya Barat untuk
mendominasi, menata kembali, dan menguasai Timur. Budaya Eropa memperoleh kekuatan dan
identitasnya dengan cara menyandarkan dirinya kepada dunia Timur sebagai semacam wali atau
pelindung, bahkan “diri” yang tersembunyi (Said, 1996a: 4)
ALIENASI DAN MIMIKRI
Penjajahan, selalu lebih banyak berdampak negatifnya daripada dampak positif terutama
bagi manusia yang terjajah. Dampak negatif itu di antaranya menimbulkan depersonalisasi dan
alienasi kultural sosial dan batin si manusia terjajah. Depersonalisasi penjajah atas si terjajah
bukan hanya mengasingkan gagasan pencerahan tentang „manusia‟, melainkan mengubah
transparansi realitas sosial yang telah ada sebelumnya. Apabila tatanan historisitas Barat di suatu
negara jajahan terganggu, yang lebih terganggu lagi adalah representasi fisik dan sosial subjek
manusianya.
Dalam kondisi penjajahan, humanitas yang natural akan berubah menjadi (ter)asing.
Alienasi kultural memusatkan diri pada ambivalensi identifikasi fisik yang membuat manusia
terjajah menderita karenanya. Seperti yang digambarkan Fanon (Bhabha, l994: 42), tatapan
manusia kulit putih dapat memporakporandakan manusia kulit hitam/ berwarna. Kulit berwarna
yang sering dituduh sebagai primitive, memiliki defisiensi intelektual, ras rusak, kanibal,
akhirnya menjadi membenci eksistensi dirinya.
Oleh sebab itu, dalam manusia kulit berwarna selalu timbul hasrat untuk melarikan diri
dari keberadaan dirinya. Orang kulit putih pada kasus itu bisa dianggap sebagai ahlinya dalam
membuat orang kulit berwarna membenci identitas dirinya (Malcolm X dalam Synnott, 2003:
65). Alienasi identitas telah membuat keberadaan seseorang menjadi terbelah, membayang
bayangi dirinya sebagai manusia terjajah yang merupakan refleksi dari kegelapannya. Karena itu,
manusia terjajah memiliki hasrat untuk keluar, untuk melarikan diri dari kondisi tersebut, dan
masuk ke dalam „sang lain‟ yang diidealkan. Untuk menjadi eksis, „sang diri, harus masuk ke
dalam ruang, tubuh, pikiran, dan pandangan sang lain. Hal ini berarti ada relasi antara hasrat
„sang diri‟ dengan objek yang dihasratinya, yang merupakan basis identifikasi tersebut. Hal ini
tercermin dalam fantasi pribumi yang menempati ruang „sang lain‟. Sebagai akibatnya, dalam
diri pribumi/ „sang diri‟ ada ruang yang terbelah dalam pemenuhan hasrat itu. Di satu sisi
fantasinya berada pada tempat sang lain, di sisi lain dia berusaha untuk mempertahankan tempat
yang dimilikinya. Dari dua hal tersebut pada akhirnya persoalan identifikasi bukanlah penegasan
identitas yang telah terbentuk sebelumnya, bukan pula penyempurnaan „sang diri‟ karena proses
identifikasi memerlukan representasi subjek dalam tatanan yang berbeda dari „sang lain‟.
Alienasi pada batas-batas tertentu menghasilkan satu bentuk perlawanan yang dilakukan
dengan cara mimikri13 atau peniruan. Hal tersebut disebabkan masalah pertama dari masyarakat
terjajah dalam menghadapi penjajah terletak pada emansipasi, yakni peningkatan martabat diri
supaya sejajar dengan kaum penjajah (Faruk, l998: 2). Mimikri mengandung dua pengertian.
Pertama, mimikri dalam kategori bahasa merupakan kemampuan jenis binatang tertentu seperti
kupu-kupu untuk menyerupai jenis lain yang lebih kuat atau yang mempunyai daya pertahanan
lebih besar.
Kemampuan ini dapat pula berarti kemampuan mengubah warna diri menjadi seperti
warna daun dan bagian tanaman lain suatu tumbuhan. Kemampuan mimikri dapat pula berupa
perubahan pigmen jenis lain, yang tidak ada kekerabatannya sama sekali. Binatang yang ditiru
pigmennya biasanya lebih besar atau lebih kuat. Dengan mengadakan mimikri, si binatang
bermaksud menakuti pemangsanya, sehingga akan terhindar dari bahaya (Ensiklopedi Nasional
Indonesia, l997: 313). Kedua, mimikri dalam arti istilah, yaitu imitasi dari satu organisme oleh
organisme yang lain (Reading, 1986: 254).
Konsep mimikri atau peniruan yang dipakai oleh tokoh poskolonial seperti Homi K.
Babha untuk menganalisis fenomena sosial masyarakat India pasca penjajahan Inggris mengacu
pada mimikri dalam kategori bahasa. Dengan demikian, mimikri dalam konteks kolonial bisa
dipahami sebagai hasrat (desire) dari subjek yang berbeda menjadi subjek “sang lain” yang
hampir sama, tetapi tidak sepenuhnya. Ia hadir sebagai aktualisasi perbedaan. Mimikri dengan
demikian adalah konsep yang mengandung ambivalensi, karena di satu sisi pribumi ingin
membangun identitas persamaan dengan kaum penjajah, sedangkan mereka juga
mempertahankan perbedaannya.
Ambivalensi mimikri terlihat dalam tatanan; pertama, mimikri adalah suatu strategi yang
rumit untuk menata kembali, mengatur, mendisiplinkan, dan mencocokkan diri dengan „sang
lain‟ sebagai visualisasi kekuatannya. Kedua, mimikri juga merupakan ketidakcocokan, sebuah
perbedaan atau perlawanan yang melekat pada fungsi strategis kekuatan dominasi kolonial. Pada
kenyataannya, mimikri juga mengusung paham mockery, yakni proses imitasi yang juga
memiliki maksud memperolok (Bhabha, l994: 86).
Sikap ini juga merupakan upaya pribumi untuk mengidentifikasikan dirinya dengan kaum
penjajah, antara masyarakat kecil dan penguasa. Peniruan yang dilakukan Timur atas Barat
bukan saja melalui bahasa, melainkan lebih banyak melalui gaya hidup yang menurut Adam
(Faruk, l998: 3) sebagai manifestasi dari hasrat masyarakat terjajah untuk menyesuaikan diri
dengan kehendak zaman, mencapai kemajuan, dan menempatkan diri sama dengan bangsa
penjajah. Menurut Macaulay (Bhabha, l994: 87), titik persinggungan antara mempelajari Eropa
dan kultur kolonial adalah kelas interpreter, yakni sebuah kelas dimana pada tubuh orang-
orangnya mengalir darah India, dan warna kulitnya menunjukkan orang Timur, tetapi cita rasa,
pandangan, moral, dan intektualnya adalah Barat.

SASTRA DAN OPOSISI MENDUA


Karya sastra selain merupakan hasil imajinatif dan kreatif atau interprertatif yang kaya,
juga merupakan bagian dari hubungan antara kebudayaan dan imperium. Para pengarang terlibat
dalam sejarah masyarakat mereka, membentuk dan dibentuk oleh sejarah itu, serta pengalaman
sosial mereka dengan kadar yang berbedabeda. Jelasnya, kebudayaan dan estetika yang
dikandungnya berasal dari pengalaman sejarah (Said, l996b: 24). Kimmich (1996 :53) meninjau
pengalaman sejarah pada pembaca seperti di bawah ini. Karya sastra yang ditulis oleh penduduk
kolonial merupakan definisi sempit dari „novel kolonial‟.
Dalam arti yang lebih luas, novel kolonial adalah tulisan yang merefleksikan atau refleksi
tentang kehidupan masa-masa kolonial. Novel-novel ini seringkali ditulis oleh orang Eropa yang
mempunyai hubungan dengan masa lalu. 16 Dari definisi ini bisa dipahami bahwa tulisan
tersebut merupakan „poskolonial‟ yang ditulis dari luar mentalitas kolonial (Cote, 2004: 151)
Ashcrofft (1995: 1) berpendapat bahwa sastra kolonial merupakan hasil interaksi antara kultur
imperial dan kompleksitas praktik-praktik kultural pribumi.
Sebagai konsekuensinya, „teori poskolonial‟ jauh lebih dulu ada sebelum istilah itu
sendiri dipergunakan untuk menggambarkan kultur imperial dan kompleksitas praktik-praktik
kultural pribumi. Istilah poskolonial bergaung bersamaan dengan ambiguitas dan kompleksitas
berbagai pengalaman kultural yang mengimplikasikannya. Hal ini menandakan bahwa
poskolonial bukan merupakan akhir dari masa kolonial, melainkan dampak paling awal dari
kontak dengan kolonial. Dalam kaitannya dengan studi sastra, Lo dan Gilbert (1998: 5&9)
menyatakan permasalahan pokok dalam analisis studi poskolonial meliputi bahasa,
sejarah/kesejarahan, nasionalisme, kanonisitas, politik tubuh, dan ruang/tempat. Sementara itu,
studi poskolonial yang menyangkut keagenan meliputi hibriditas, mimikri dan ambivalensi
Karena alasan-alasan kondisi poskolonial itu diawali dengan serangan ketimbang berakhirnya
pendudukan kolonial (Gandhi, 2001: 4), perkembangan golongan elit baru bersama masyarakat
independennya selalu didukung oleh institusi neokolonial.
Perkembangan pembagian internal didasarkan pada ras, diskriminasi bahasa atau
diskriminasi agama. Perlakuan yang tidak adil dan berkelanjutan terhadap masyarakat pribumi di
dalam masyarakat pemukim/settler merupakan fakta bahwa poskolonial adalah sebuah proses
resistensi dan rekonstruksi yang terus menerus. Poskolonialisme terdiri atas dua „arsip‟ yang
dihasilkan, pertama, subordinasi kekuasaan kolonialisme Eropa, dan kedua, melalui seperangkat
praktik yang menyimpang, yang menonjol di kalangan yang menolak „kolonialisme‟ (Tiffin
dalam Gandhi, 2001: 277). Dalam praktiknya, poskolonial sebagai sebuah kajian produksi dan
analisis budaya dibagi dalam tiga pendekatan, yaitu historis, counter discursiv, dan ekonomis.
Secara historis, studi poskolonial berhubungan dengan budaya-budaya dari bangsa yang
mengalami imperialisme Eropa, dan bagaimana elit pribumi melestarikan pola-pola kekuasaan
dan dominasi kolonialisme, terutama pada produk budaya pascapenjajahan. Kedua, counter
discursiv menunjukkan bagaimana aspek-aspek kebudayaan terjajah dalam menolak hegemoni17
atau dominasi imperialis walaupun penolakan itu tidak dalam bentuk penciptaan resistensi
budaya atau mempertahankan budayanya sendiri sebagai masyarakat terjajah.
Secara ekonomis, masyarakat terjajah tidak hanya berdasarkan konsepsi kebudayaan
bangsa dunia ketiga, tetapi berdasarkan pada kelompok strata yang direndahkan dalam
masyarakat kapitalis, yaitu mereka yang dimarginalkan baik secara ras, etnis, kelas, maupun
jender (Lo dan Gilbert, l998: 1).

HIBRIDITAS, NASIONALITAS DAN IDENTITAS


Kultur masyarakat terjajah biasanya menggerakkan dua wacana supaya dukungan lokal
menyokong nasionalisme (Lo & Gilbert, l998: 8). Pertama, retorika perkembangan, yaitu sebuah
pandangan ke depan yang mensyaratkan kemerdekaan dari kontrol kolonial untuk memperoleh
identitas mandiri. Kedua, retorika tradisi, yakni sebuah pandangan ke belakang, yang bertumpu
pada keyakinan, praktik praktik cerita rakyat, dan gagasan gagasan kaum pribumi untuk
menempa ikatan antara berbagai macam manusia yang membentuk masyarakat poskolonial.
Teori poskolonial memandang nasionalitas sebagai suatu usaha untuk melahirkan tindakan
afiliasi, untuk menyatukan kelompok-kelompok bangsa yang terpisah di bawah tanda entitas
politis, pemerintahan, dan ekonomis.
Dalam masyarakat poskolonial, hibriditas (Ashcroft, l995: l83) muncul sebagai akibat
momen kesadaran atas penindasan kultural, yaitu ketika kekuatan kolonial menjajah untuk
mengkonsolidasi kontrol politis dan ekonomis, atau ketika pemukim-penjajah menguasai orang-
orang pribumi dan memaksa mereka untuk „berasimilasi‟ ke dalam pola-pola masyarakat yang
baru. Hibriditas muncul pada periode akhir ketika pola-pola imigrasi dari masyarakat
metropolitan dan dari pengaruh wilayah imperial lainnya meneruskan memproduksi
kompleksitas kultural. Identitas pada sisi yang lain merupakan konstruksi sosial yang
menyeluruh dan tidak mungkin “ada” di luar representasi dan akulturasi kultural. Tidak ada satu
pun kebudayaan yang tidak menggunakan kata ganti “aku”.
Akan tetapi, cara penggunaan kata ganti “aku” adalah berbeda antara kultur yang satu dan
kultur yang lain. Paham kultural “aku-sang diri” di dunia Barat menggambarkan diri sebagai
yang sejati, utuh, sebuah identitas yang dimiliki, dan dikenali. Identitas diungkapkan melalui
bentuk-bentuk representasi yang dapat dikenal oleh diri sendiri dan oleh orang lain. Artinya,
identitas adalah suatu esensi yang dapat ditandai melaui ciri-ciri selera, kepercayaan, sikap, dan
gaya hidup. Identitas dianggap sebagai personal dan sosial, yang menandai individu sebagai
manusia yang sama atau berbeda dari manusia lainnya.
Dengan demikian, identitas menyangkut persamaan dan perbedaan serta individual dan
sosial dalam bentuk representasi. Identitas diri ditunjang oleh kemampuan untuk mengangkat
narasi tentang diri yang menyangkut perasaan kontinuitas biografis yang konsisten. Identitas
menyangkut persoalan: apa yang harus dilakukan, bagaimana bertindak, ingin menjadi siapa, dan
bagaimana orang lain memandang dirinya. Manusia berusaha untuk membangun narasi identitas
yang koheren dengan cara sang diri membentuk suatu lintasan pengembangan masa lalu untuk
mengantisipasi masa datang. Ringkasnya, identitas diri bukanlah sebuah ciri-sifat dan bukan pula
kumpulan ciri-sifat yang dimiliki individu.
Dengan kata lain, identitas memang tidak bisa ditemukan dan ditetapkan dengan pasti.
Identitas tidak pernah merupakan produk yang telah terbentuk sebelumnya, bukan pula produk
yang telah selesai. Identitas diri adalah kemampuan seseorang untuk melanggengkan suatu narasi
tentang diri (Barker, 2000: 165-67; Bhabha, l994: 51). Sebagai sebuah proyek, identitas
bermakna apa yang kita pikirkan sekarang dipandang dari keadaan masa lampau dan masa kini,
sejalan dengan pikiran, hendak menjadi apa, yang merupakan lintasan antara harapan bagi masa
depan. orang Algeria, yang dipandang dari kacamata kulit hitam berasal dari keluarga berada.
Semenjak kecil, secara tidak langsung Fanon belajar mengenal hierarki rasisme masyarakat
kolonial.
Dia berada dalam kebingungan yang disebabkan oleh pertalian warna kulit dan status
sosialnya. Tidak dapat disangkal dia adalah orang kulit putih. Akan tetapi, secara tidak sadar dia
menyangsikan semua hal yang menyangkut kulit hitam dalam dirinya yang juga merupakan
suatu totalitas eksistensinya (Wolter, 2003: 6).
FRANZ FANON KULIT HITAM TOPENG PUTIH
Teori mengenai identitas dikemukakan oleh Frantz Fanon dan muncul dari latar belakang
kehidupannya. Fanon, yang besar di Karibia dan menyelesaikan pendidikan di Perancis sehingga
bekerja sebagai seorang psikiater, terlahir dari perkawinan campuran. Ibunya orang Perancis dan
ayahnya Hal demikian mendorong Fanon untuk menulis sebuah buku yang diberi judul
„Schwarze Haut, weiße Masken’.
Dalam karyanya ini Fanon tidak hanya membeberkan dinamika rasisme psiko sosial dan
seksual, tetapi juga mengemukakan model dialektika dasar-dasar teori pengetahuan pembebasan
anti kolonial. Dia menyampaikan pengetahuan mengenai pandangan gerakan bolak-balik dalam
proses subjek Barat dan sang lain sebagai terjajah. Analisis Fanon mengenai proses identifikasi
dominasi dan rasisme dilakukan dalam wilayah ambivalensi antara ras dan seksualitas, keluar
dari kontradiksi yang tak pernah selesai antara kebudayaan dan kelas, perjuangan representasi
fisik dan realitas sosial, pandangan dan hasrat (Bhabha, l994: 40; Wolter, 2003: 8). Titik pusat
proses identifikasi ini adalah model dialektikal „sang diri‟ dan „sang lain‟. Ekspansi dalam
prinsip-prinsip nasionalisasi kapitalis kolonial yang berasal dari Eropa menempatkannya pada
situasi semacam itu.
Dalam masyarakat terjajah terjadi alienasi kultural yang berporos pada ambivalensi
identifikasi fisik. Tatapan mata seorang kulit putih dapat memporakporandakan tubuh manusia
berkulit hitam. Artinya, dalam pandangan manusia kulit putih, seorang manusia kulit hitam
dipandang sebagai kanibalisme, memiliki ras yang parah dan rusak, mengalami defisiensi
intelektual. Dengan sendirinya manusia kulit hitam merasa dirinya tidak hanya ditelanjangi,
tetapi diamputasi, diciprati seluruh tubuhnya dengan darah hitam dan ingin menjauhkan diri dari
eksistensinya. Keadaan demikian menunjukkan sebuah 'konstelasi kegilaan': orang hitam
diperbudak dengan perasaan inferioritasnya, dan orang putih diperbudak oleh perasaan
superioritasnya (Bhabha, 1994: 42- 3).
Keadaan serba tidak menyenangkan ini membuahkan tiga kondisi yang mendasari proses
identifikasi dalam analisis tentang hasrat atau keinbbginan. Pertama, untuk „mengada‟,
seseorang harus masuk ke dalam tubuh, ke dalam cara pandang, dan ke dalam lokasi atau tempat
sang lain. Kedua, ruang identifikasi yang sesungguhnya yang ada dalam tuntutan dan hasrat
adalah ruang yang terbelah. Yang dimaksud terbelah di sini adalah fantasi pribumi menempati
ruang sang lain/pemukim/settler. Sementara itu, pribumi tetap mempertahankan dan menjaga
ruang miliknya. Kulit hitam topeng putih (schwarze Haut, weiße Masken) bukanlah pembagian
yang murni. Hal ini merupakan gambaran tubuh yang digandakan, disembunyikan di dalam dua
tempat dalam satu kurun waktu. Ketiga, persoalan identifikasi tidak pernah merupakan
penegasan dari identitas yang telah terbentuk sebelumnya, bukan pula penyempurnaan sang diri.
Tuntutan terhadap identifikasi, yaitu menjadi „sang lain‟, memerlukan representasi subjek dalam
tuntutan yang berbeda dari sang lain (Bhabha, l994: 44).
BAB III

MAKNA KOLONIALISME DAN IMPERIALISME


Sulit untuk membedakan pengertian atau makna antara kolonialisme dan imperialisme.
Sepintas kadang kita memberi makna yang sama dari kedua istilah itu, yakni penjajahan.
Kapitalismelah yang membedakan kedua pengertian tersebut, lebih tepatnya kolonialisme
berperan sebagai penggerak roda kapitalisme. Kapitalisme berpijak pada imperialisme, demikian
Lenin dan Kautsky memberikan makna baru pada kata “imperialisme”, yang termaktub dalam
Imperialisme, the Heighest Stage Of Capitalism (1947).1 Dampak dari kolonialisme-imperialisme
ini biasanya menyisakan banyak persoalan, misalnya dinegara bekas jajahan suka ada istilah
degradasi mentaliltas bahkan sering terjadi degradasi sosial budaya. disatu sisi hal ini jelas
menyudutkan bahkan merugikan negara terjajah, disisi lain jelas menguntungkan penjajah itu
sendiri.
Penciptaan wacana tertentu tetang masyarakat pada suatu wilayah biasanya dilakukan
pendudukan kolonialisme sebagai wujud eksploitasinya. Setingan wacana yang diciptapun tak
kalah hebohnya, terlebih sifatnya yang cenderung mendiskreditkan bangsa jajahan sebagai bangsa
yang lemah, tidak rasional, primitif, masih percaya pada hal-hal mistik, dan lain sebagainya.
Penyemaian dan penyebaran gagasan mengenai tanah jajahan dan dunia “Timur” pada umumnya,
menimbulkan konsekuensi tersendiri. Dimana terdapat hubungan yang timpang antara penjajah
yang mendominasi dan yang terjajah sebagai yang didominasi. Hubungan inilah yang menyisakan
beberapa persoalan sosial dan budaya yang menghinggapi masyarakat (bekas) terjajah hingga kini.
Ketegangan antara dunia “Barat dan “Timur”, bisa dikata dimulai dari awal pertama Barat
mempelajari atau menggeluti Timur dengan berbagai motif dibelakang semuanya atau lebih
jelasnya dengan berbagai kepentingannya. Barat seolah lupa atau memang sengaja tidak mau
menghiraukan bahwa apa yang ditulisnya ternyata menimbulkan persolan diantara keduanya. Dari
apa yang ditulisnya mengandung nilai-nilai tersembunyi yang dinilai mengevokasi Barat terhadap
Timur. Lanjut pada persoalan berikutnya yang ditimbulkan dari pengembangan Barat mengenai
Timur tersebut yaitu menempatkan keduanya pada oposisi biner dimana salah satu diantara
keduanya mengungguli yang lain.
Pertanyaannya, bagaimana dengan kondisi saat ini? Setelah penjajah hengkang dari negara
jajahannya dengan kata lain kemerdekaan telah diraih oleh negara-negara bekas terjajah?
Realitasnya wacana tentang kolonialisme tidaklah berhenti sampai disitu misalnya, seolah ada rasa
penasaran dalam hal eksploitasi ataupun dominasi terhadap negara terjajah. Negara-negara
kolonial yang dulu melakukan eksploitasi secara besar-besaran terhadap koloni mereka, berusaha
untuk terus melakukan penjajahan tersebut. Namun karena pendudukan kolonial sudah “bukan
pada zamannya”, kini praktik kolonialisme dilakukan dengan strategi dan cara yang lebih canggih
dan modern.
Saat ini kolonialisme-imperialisme bergerak pada sistem peraturan dan hubungan
ekonomi-politik di tingkat dunia dalam melakukan eksploitasinya. Mulai dari deregulasi ekonomi
yang dipaksakan ke berbagai negara, terutama negara Dunia Ketiga, hingga penjajahan dalam
bentuk pengetahuan. Imperialisme pasca kemerdekaan berbentuk sistem dominasi kekuasaan
dalam ekonomi dan politik. Imperialis Dunia Pertama melakukan berbagai upaya, baik melalui
kebijakan politik, ekonomi, maupun sosial-budaya untuk (kembali) melakukan penjajahan. Istilah
kolonialisme atau neo-kolonialisme sebenarnya hanya berbeda pada modus yang digunakan.
Karena tujuan dan watak dari dua istilah nyatanya sama, yakni penindasan-penghisapan dan
dominatif-hegemonis.
Edward W. Said namanya, tokoh yang dengan lantang mengkritik hegemoni Barat
terhadap Timur lewat gagasanya Orientalisme. Lewat karya besarnya, Orientalism ini yang terbit
pada tahun 1978 Said seolah tampil menggebu mengekpresikan bentuk kritikannya terhadap
konstruksi ideologis Barat atas Timur. Meskipun Said bukan orang pertama yang mengkritik
Barat. Namun, Orientalisme telah menelanjangi kepentingan-kepentingan Barat. Orientalisme
menjadi narasi terbesar kolonialisme dalam bentuk studi, penulisan, dan penciptaan image
mengenai Timur.
Pengertian sederhananya Orientalisme itu sendiri menurut Said dapat diartikan sebagai
cara memahami dunia Timur karena “Kekhususannya”, menurut cara pandang dan pengalaman
orang-orang Eropa. Jika pengertian ini dikembangkan lebih jauh dalam diskursus akademik, Said
mengartikan Orientalisme “sebagai gaya berfikir yang mendasarkan pada pembedaan secara
ontologis maupun epistemologi yang dibuat antara “Timur” (the Orient) dan (hampir selalu)
“Barat” (the Occident).
Kajian-kajian mengenai dunia Timur sebagai dunia “yang lain”, sesungguhnya tidak bebas
dari kepentingan, baik kepentingan kekuasaan maupun kepentingan ideologis. Dalam hal ini, Said
mengacu pada dua karya Foucault The Archaelogy of Knowledge dan Disiplin and Punish yang
memuat ide tentang wacana (discourse) untuk menajamkan pisau analisanya. Menurut Said,
Orientalisme merupakan sebuah diskursus, dimana Barat secara sistematis mengatur (dan
menciptakan) Timur secara sosiologis, politis, militer, ekonomi, dan imajinatif pasca pencerahan.
Maksud dari masa pasca pencerahan yaitu momen dimana Eropa sedang mempersiapkan
diri bagi zaman baru, zaman modern. Sebagaimana kritik Mazhab Frankfrut, dialektika
Pencerahan (aufklarung) yang mengedepakan rasionalitas terjebak pada rasionalitas instrumental.
Rasio instrumental bermaksud mengatur kehidupan sedemikian rupa dan seefisien mungkin untuk
kepentingan kekuasaan. Sehingga rasionalitas ini menjadi legitimasi bagi penundukan serta
eksploitasi.
Disamping itu, ada tiga paham yang mendukung perkembangan zaman ini; kapitalisme,
humanisme, dan rasionalisme. Pertama, kapitalisme mendasarkan diri pada pencarian
kemakmuran tiap individu secara bebas tanpa intervensi (laizess faire). Jika membiarkan individu-
individu secara bebas mencari keuntungan, maka mereka akan mengatur dirinya sendiri dan
keuntungan sosial akan diperoleh, demikian pandangan optimistik Adam Smith.4 Kedua,
humanisme merupakan bentuk peneguhan subyektivitas manusia untuk menentukan segala
sesuatu. Manusia menjadi pusat yang menentukan tata nilai dan kebudayaan mereka sendiri
(antroposentrisme). Antroposentrisme merupakan perkembangan manusia zaman modern sebagai
kelanjutan dari masa pencerahan. Ketiga, rasionalisme, yang dapat secara singkat berarti
kepercayaan penuh kepada akal budi. Rasionalisme menyingkirkan segala bentuk otoritas yang
tidak berlandaskan pada akal manusia, termasuk otoritas tradisional yang semula diakui
masyarakat, misalnya otoritas keagamaan. Rasionalisme mengandaikan manusia kembali pada
akal murni mereka tanpa dipengaruhi oleh berbagi dogma dan tradisi. Klaimklaim pengetahuan,
etika, dan estetika akan diterima bila tidak bertentangan dengan rasional manusia.
Kondisi diatas menjadi latar belakang munculnya ekspansi kolonial, eksploitasi sumber
daya alam, logosentrisme, dan rasa unggul diri masyarakat Barat atas masyarakat lain. Gagasan
yang berkembang saat itu, kemudian merupakan sebentuk legitimasi eksploitasi yang dilakukan
kolonial Eropa terhadap belahan dunia “yang lain”. Misalnya, ketika negara-negara kolonial
menyiapkan koloni sebagai pemasok bahan mentah dan sebagai tempat “membuang” barang
produksi mereka, maka paham kapitalisme melegitimasi dengan serangkaian argumentasi
pendukungnya. Rasionalisme juga menjadi klaim untuk menepikan kebenaran yang lain sebagai
dasar dominasi terhadap gagasan diluar Barat.
Studi Said mengenai Orientalisme memberikan sumbangan besar terhadap teori
poskolonial. “Orientalisme yang secara umum dianggap sebagai katalisator dan titik referensi bagi
poskolonialisme mewakili tahap pertama teori poskolonial”,6 kata Leela Gandhi. Gandhi
menambahkan, Spivak juga mengakui bahwa Orientalism merupakan teks pelopor teori
poskolonial yang telah memperoleh status disiplin ilmu di Akademi Anglo Amerika.
Kemunculan teori poskolonial sebagai bentuk kritik terhadap penjajahan beserta dampak-
dampaknya. Poskolonialisme merupakan bentuk penyadaran dan kritik atas neo-kolonialisme serta
hubungan hegemonis kekuasaan dalam bermacam-macam konteks. Dalam hal ini, pengertian
poskolonial atau pascakolonial bukan diartikan sebagai sesudah penjajahan, dekolonisasi, atau
pasca kemerdekaan. Namun, poskolonial muncul ketika terjadi proses hegemoni dominasi oleh
yang kuat terhadap yang lemah.
Teori poskolonial terkait secara dialektis pada kondisi posmodern yang mengkritik
pemusatan dan logosentrisme narasi kebudayaan Eropa. Posmodern dalam pengertian ini,
disandarkan pada gagasan Lyotard tentang kematian narasi besar.8 Matinya narasi besar dalam
posmodernitas memberikan kesempatan kepada narasi-narasi kecil untuk muncul. Awalnya,
keunggulan narasi besar menjadi karakter kondisi zaman modern, yang sayangnya mengalami
kegagalan. Pada saat itulah Lyotard menyatakan “perang” atas pandangan totalistik narasi besar.9
Sebaliknya dalam pandangan Said, munculnya posmodernisme justru berasal dari luar
modernisme itu sendiri. Artinya, sebagai tanggapan atas modernisme berasal dari kemunculan
pelbagai macam “yang lain” dari wilayahwilayah jajahan.
Namun terdapat perbedaan yang jelas antara postmodernisme dan poskolonialisame.
Poskolonialisme muncul sejak pertama kali kontak dengan kolonialisme, bukan dalam arti setelah
kolonialisme. Sedangkan postmodernisme merupakan kritik atau penolakan terhadap modernisme
yang terjadi setelah modernisme berakhir. Poskolonialisme merupakan kebutuhan sebuah bangsa
atau kelompok yang menjadi korban imperialisme, untuk menemukan identitas yang tidak
terkontaminasi oleh konsep-konsep dan pandangan yang Eropasentris dan universalis. Sehingga,
persinggungan antara postmodernisme dan poskolonialisme menjadi kompleks ketika “yang lain”
dimunculkan dari aspek harapan dan legitimasi gagasan posmodern.
Bukan hanya semangat kemunculan narasi kecil yang tampak dalam poskolonialisme
Edward Said. Para pemikir lain juga kental mempengaruhi perkembangan pemikirannya.
Orientalisme sendiri banyak berhutang kepada pemikiran Michel Foucault, Antonio Gramsci, dan
para pemikir lainnya. Selanjutnya, studi-studi poskolial meluas ke berbagai bidang dan
berkembang berkat “bantuan” banyak pemikir generasi setelahnya. Mulai dari cultural studies,
feminisme, studi bahasa dan sastra, dan lain sebagainya. Poskolonialisme menjadi strategi politis
dan teoritis untuk membongkar hegemoni-dominasi Barat agar sejajar dengan dunia lain.
Melalui gagasan Said masyarakat dunia hendaknya dapat lebih menyadari, bahwa sistem-
sistem wacana, seperti Orientalisme, wacana kekuasaan, dan fiksi-fiksi ideologi begitu saja
diciptakan, diterapkan, dan dilestarikan tanpa pertimbangan yang bijaksana. Jalan keluar dari
persoalan ini menurut Said bukan dengan Oksidentalisme, yang berarti mengkaji “orang-orang
Timur baru”. Bukan pula dengan mempelajari “Barat” sebagaimana model yang dilakukan
Orientalisme. Kritik terhadap Orientalisme muncul sebagai pengingat atas degradasi yang
menyeleweng dalam pengetahuan, dimanapun dan pengetahuan apapun.
Mengingat betapa penting dan mendasarnya permasalahan ini, khususnya dalam
perspektif dialog Timur dan Barat, penulis sendiri kemudian merasa bahwa hal ini perlu untuk
dibahas dan „dipertanggungjawabkan‟ lebih lanjut. Penulis melakukan penelitian ini dengan judul:
EPISTEMOLOGI KRITIS EDWARD W. SAID: Suatu Tinjauan Poskolonial Mengenai Relasi
Pengetahuan Dan Kekuasaan.
BAB IV
Penutup
A. Kesimpulan
Bagi wacana poskolonial, bahasa23 merupakan landasan pokok dari perjuangan
wacana poskolonial karena proses kolonisasi berawal pada bahasa. Analisis tekstual
poskolonial difokuskan pada suatu cara, yakni bahasa penjajah dicocokkan, diadaptasi,
dicangkokkan, dihibridasi, „direndahkan‟, bahkan ditolak ke dalam proses kolonisasi.
Strategi demikian dirancang untuk mencabut otoritas versi standar dari bahasa penjajah
dan wacana-wacana yang menyertainya dan secara serempak mengembangkan versi lokal
yang berbicara pada kemungkinan-kemungkinan dari konteks nonmetropolitan mereka,
baik itu subjek pemukim/ settler yang harus mengadaptasi bahasa mereka ke dalam tempat
atau pengalaman baru, maupun subjek pribumi yang harus menamai kembali tempat atau
pengalaman mereka ke dalam bahasa yang dipaksakan.
Satu dari cara-cara utama kritik poskolonial beroperasi adalah melalui pengujian
sejarah atau kesejarahan. Sejarah merupakan situs kegelisahan paling utama bagi
masyarakat poskolonial yang muncul untuk memberi istilah pada warisan peraturan
kolonial dalam wacana-wacana mengenai nasionalitas pada era pascakemerdekaan,
terlepas apakah warisan itu ditolak atau disambut, atau diperlakukan secara ambivalen.
Tujuan kritik poskolonial adalah untuk mengekspos jurang pemisah, ketidakhadiran, dan
ambivalensi dalam representasi historis ; untuk mengidentifikasi momen perpecahan, yaitu
kinerja kekuasaan imperial tidak utuh atau dikompromikan oleh perlawanan kolonial;
untuk memunculkan sejarah-sejarah yang ditindas atau dilupakan (subaltern); dan juga
untuk mempermasalahkan cara-cara yang lewat „sejarah‟ telah ditumbuhkan otoritasnya
sebagai „kebenaran‟. Proyek kritik wacana tandingan ini dapat bekerja melalui analisis
dokumen historis aktual, dan, yang lebih relevan lagi bagi tujuannya adalah melalui
pengujian teks-teks sastra dan kebudayaan yang dalam beberapa cara terlibat dalam proses-
proses representasi historis.

B. Saran
Dalam penulisan makalah ini masih jauh darikata kesempurnaan.Sehingga penulis
mengharapkan saran dan kritik yang dapat membantu dalam penyempurnaan dari makalah
ini.
DAFTAR PUSTAKA
https://eprints.uny.ac.id/68599/3/Bab%20II.pdf
http://sejarah.upi.edu/artikel/dosen/teori-postkolonial/
http://kuliahsosiologi.blogspot.com/2011/05/teori-postkolonialisme.html
https://media.neliti.com/media/publications/276624-membaca-teks-dalam-pandangan-
poskolonial-bcf7fb91.pdf

Anda mungkin juga menyukai