Anda di halaman 1dari 6

See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.

net/publication/275034774

Sastra dan Kajian Poskolonial

Preprint · April 2015


DOI: 10.13140/RG.2.1.3110.8644

CITATIONS READS

0 12,727

1 author:

Dipa Nugraha
Universitas Muhammadiyah Surakarta
38 PUBLICATIONS   15 CITATIONS   

SEE PROFILE

Some of the authors of this publication are also working on these related projects:

Indonesian Literature and Nationalism View project

All content following this page was uploaded by Dipa Nugraha on 16 April 2015.

The user has requested enhancement of the downloaded file.


SASTRA DAN KAJIAN POSKOLONIAL

Sebelum eksplorasi isu sastra dan kajian poskolonial dimulai, ada baiknya
dipahami dulu penyulut isu kajian poskolonial di dalam sastra dan pemikiran
modern. Pemahaman ini akan lebih memudahkan kita untuk memahami duduk
perkara sebenarnya dan bagaimana mengaplikasikannya di dalam ranah sastra.
Kajian poskolonialisme dapatlah dianggap dimulai ketika terjadi fajar budi di
tiga benua (Afrika, Asia, dan Amerika Latin) sebagai bentuk kulminasi
pengalaman akan penindasan dan perjuangan terhadap kolonialisme (Young,
2001: 383-426). Kajian poskolonialisme bukanlah suatu bentuk genderang perang
terhadap apa yang terjadi di masa lalu, namun suatu bentuk perjuangan terhadap
realitas kekinian yang masih terjajah oleh bentuk neo-kolonialisme selepas
kemerdekaan dicapai (Rukundwa dan Aarde, 2007: 1175).
Bentuk perlawanan terhadap kolonialisme tidaklah berhenti setelah
kemerdekaan dicapai namun juga harus tetap diteruskan ketika disadari bahwa
kolonialisme tidak hanya “telah” menjajah secara fisik, namun imbas penjajahan
sebenarnya juga sudah merasuk ke dalam pikiran bawah sadar (Nandy, 1983: 63)
dan ini yang diabaikan oleh negara-negara yang telah merdeka. Justru yang sering
terjadi adalah bagaimana penduduk dari negara-negara yang telah merdeka
melupakan identitas mereka dan juga menganggap diri mereka sebagai inferior di
hadapan bekas penjajah. Masalah inferioritas muncul karena di dalam alam
pikiran bawah sadar negara bekas terjajah masih tersimpan ingatan kekalahan
terhadap negara bekas penjajah dan kegamangan akan identitas diri yang belum
tertemukan. Penduduk dari negara-negara yang telah merdeka lupa menyadari
bahwa inferioritas yang mereka alami dapat disembuhkan lewat proses
reidentifikasi.
Proses reidentifikasi diri memerlukan suatu proses pencarian identitas. Yang
kemudian menjadi masalah adalah bahwa isu nasionalisme yang kerap
dikedepankan di dalam pencarian identitas menjadi sesuatu yang absurd ketika
disadari bahwa nasionalisme yang disemai dari batas wilayah kebangsaan adalah
merupakan konstruk struktur buah karya bekas penjajah (bdk. Young, 2001: 59
dengan Rukundwa dan Aarde, 2007: 1189). Ada kecanggungan yang kentara
ketika usaha pencarian identitas dalam rangka reidentifikasi diri terbentur oleh
kenyataan sejarah bahwa identitas negara yang merdeka berbeda dengan identitas
suku yang tergabung di dalamnya. Masalah menjadi bertambah ketika disadari
bahwa nasionalisme di dalam beberapa aspek sungguh berbeda dengan tribalisme.
Istilah poskolonialisme menjadi suatu bentuk kajian sastra yang serius
muncul pertama kali ketika Bill Ashcroft dkk. di dalam buku, The Empire Writes
Back: Theory and Practice in Post-Colonial Literatures (1989), menggunakan
istilah tersebut untuk menggantikan istilah sebelumnya untuk merujuk sastra di
negara bekas jajahan eropa: sastra third world atau sastra daerah commonwealth
(Bahri, 1996). Namun meskipun demikian, sebenarnya kajian poskolonialisme
sebagai sebuah studi yang serius dapatlah dikatakan mulai hangat ketika Edward
Said menerbitkan buku yang berjudul Orientalism di tahun 1978 (Bahri, 1996).
Sebagai sebuah istilah, poskolonialisme adalah “a collection of theoretical
and critical strategies used to examine the culture (literature, politics, history, and
so forth) of former colonies of the European empires, and their relation to the rest
of the world” (Makaryk, 1993: 155). Meskipun demikian, jika istilah kajian
poskolonialisme untuk merujuk kepada usaha perlawanan terhadap
neokolonialisme digunakan istilah yang Edward Said sebut sebagai orientalisme
maka justru akan lebih jelas definisinya. Said mengatakan bahwa orientalisme
adalah “fundamentally a political doctrine willed over the Orient because the
Orient was weaker than the West, which elided the Orient’s difference with its
weakness....As a cultural apparatus Orientalism is all aggression, activity,
judgment, will-to-truth, and knowledge” (1978: 204).
Contoh yang diberikan oleh Edward Said lewat tulisannya Devil Theory of
Islam (2000) mengenai penciptaan imaji “keburukan Islam” oleh Judith Miller
adalah salah satu bentuk kerja orientalisme di dalam melabeli sesuatu yang datang
dari Timur sebagai buruk dan jahat dus mengarahkan orang-orang bekas terjajah,
atau orang-orang Timur, untuk mempercayai pola pikir yang dijejalkan tersebut.
Edward Said (2000) mengkritik tulisan Judith Miller yang memanipulasi cara
berpikir kepada negara-negara bekas terjajah mengenai “keburukan Islam” lewat
demonisasi dan dehumanisasi. Menurut Said, tindakan demikian justru malah
akan membuat orang-orang Timur pemeluk Islam sebagai objek pesakitan yang
posisinya menjadi tidak sepadan untuk diajak dialog untuk perdamaian. Said juga
menunjukkan bahwa pelabelan ini justru membuat orang-orang Timur terpecah di
dalam diskursus pembelaan akan Islam, dan bagi sebagian orang-orang Timur
lainnya, diskursus deradikalisasi Islam. Pengkondisian demikian, yang memang
disengaja, akan membuat negara-negara bekas terjajah (yang memiliki warga
negara pemeluk Islam) menjadi stagnan kemajuan karena sibuk dengan diskursus
yang disulut oleh tulisan orientalis dan ini merupakan bentuk neokolonialisme
baru.
Tokoh lain yang terkenal di dalam gerakan poskolonialisme selain Edward
Said adalah Gayatri Spivak. Gayatri Spivak memperoleh ketenaran di kancah
kajian poskolonial lewat esainya Can the Subaltern Speak? (Maggio, 2007: 419).
Di dalam esainya tersebut, Spivak mempertanyakan definisi “subjek” sebagai
Colonial (atau Barat) dan budaya lain sebagai “the other” (bdk. Maggio, 2007).
Spivak memakai strategi Marx dan Derrida di dalam gugatannya tentang definisi
“subjek-the other” (Maggio, 2007: 421). Spivak, menurut Maggio (Maggio, 2007:
424), dapat dikatakan berapi-api menuding namun pesimis mengenai proyek
perlawanan poskolonial karena Barat sudah [terlanjur] terdefinisi sebagai sesuatu
yang sudah jadi, ada di sana, ketika dibenturkan dengan The Other. Contoh yang
diberikan Spivak adalah mengenai ritual sati India. Ia mengajukan pertanyaan:
“What did sati say?” (dalam Maggio, 2007: 424). Spivak merujuk sebuah
“kenyataan yang dijejalkan” kepada masyarakat “primitif” India oleh penjajah
“beradab” Inggris bahwa sati adalah ritual yang dikaitkan dengan crime atau
kejahatan dan bukan sebagaimana seharusnya ditafsirkan: sebuah bentuk
martirdom di dalam ajaran Hindu (Maggio, 2007: 425).
Lalu jika hendak mengaitkan sastra dengan kajian poskolonialisme, apa
sajakah isu-isu yang dapat dimunculkan ke permukaan? Sebagaimana Bahri
(1996) menjabarkan beberapa isu yang dapat dikaji di dalam kajian
poskolonialisme sebagaimana berikut ini:
 Bagaimana pengalaman kolonisasi (atau penjajahan) memiliki pengaruh
terhadap orang-orang terjajah dan juga kepada para penjajah
(colonizer)?
 Bagaimana para penjajah dapat menguasai negara yang terjajah?
Dengan cara apakah para penjajah melakukannya?
 Jejak atau bukti apakah yang dapat ditemukan di bidang pendidikan,
ilmu pengetahuan, dan teknologi yang berbau kolonial yang masih
tersisa atau nampak di negara atau masyarakat poskolonial (bekas
terjajah)?
 Bagaimanakah efek jejak kolonialisme berpengaruh di dalam
pembangunan dan modernisasi negara poskolonial?
 Apa sajakah bentuk perlawanan terhadap pengaruh atau kontrol
kolonial?
 Bagaimanakah pendidikan dan bahasa kolonial berpengaruh terhadap
budaya dan identitas negara atau masyarakat terjajah?
 Bagaimanakah ilmu pengetahuan, teknologi, dan ilmu medis Barat
mempengaruhi sistem ilmu pengetahuan yang ada? [atau Bagaimanakah
ilmu pengetahuan, teknologi, dan ilmu medis Barat mempengaruhi
sistem ilmu pengetahuan yang sudah ada?]
 Bagaimanakah manifestasi identitas poskolonial setelah para penjajah
berhasil terusir?
 Sampai sejauh manakah dekolonisasi (sebuah rekonstruksi yang bebas
dari pengaruh kolonial) sudah bisa terwujud?
 Apakah doktrinasi Barat mengenai isu hibriditas di dalam masyarakat
poskolonial cukup berhasil?
 Apakah masyarakat poskolonial memandang sebuah urgensi bahwa isu
psokolonialisme adalah mengembalikan keadaan ke masa pra-kolonial?
 Bagaimanakah jender, ras, dan kelas sosial berfungsi atau memainkan
perannya di dalam wacana kolonial dan poskolonial?
 Apakah bentuk baru imperialisme menggantikan kolonialisme lama di
suatu negara atau masyarakat poskolonial? Bagaimana bentuk dan cara
kerjanya?

maka penerapannya di dalam analisis karya sastra adalah dengan menganalisis


suatu karya menggunakan isu-isu tersebut. Bahri (1996) sendiri menambahkan
beberapa isu lain yang bisa diikatkan langsung di dalam analisis karya sastra
sebagaimana berikut ini:
 Apakah ada sebuah urgensi bagi penulis untuk menggunakan bahasa
kolonial agar dapat mencapai pembaca yang lebih luas ataukah ia hanya
“boleh” memakai bahasa asli masyarakat poskolonial (colonial
language vs. native language)
 Penulis atau pengarang yang mana sajakah yang dapat dikategorikan ke
dalam kanon poskolonial?
 Bagaimanakah teks yang diterjemahkan dari bahasa-bahasa non
kolonial akan dapat memperkaya isu poskolonial?
 Sudahkah “banjir” novel poskolonial mengarahkan kepada genre baru
yang lain dari genre yang sudah mapan di dalam suatu masyarakat
poskolonial?
serta dapat juga ditambahkan bahwa kajian poskolonialisme di dalam sastra dapat
berfokus kepada tiga hal: hibriditasi, sinkretisasiii, dan pasticheiii (bdk. Bahri,
1996) atau malah suatu bentuk kajian karya kolonialis (penjajah)iv (Lye, 2008).

REFERENSI

Bahri, Deepika. 1996. Introduction to Postcolonial Studies. Diakses 24 Mei 2012,


pukul 10:00 a.m. (GMT +7) dari:
http://www.english.emory.edu/Bahri/Intro.html

Lye, John. 30 April 2008. Some Issues in Postcolonial Theory (©1998; 1997).
Diakses 24 Mei 2012, pukul 12:07 p.m. (GMT +7) dari:
http://www.brocku.ca/english/courses/4F70/postcol.php

Maggio, J. 2007. ““Can the Subaltern Be Heard?”: Political Theory, Translation,


Representation, and Gayatri Chakravorty Spivak”, Alternatives 32 (2007),
419-443.

Makaryk, I.R. (ed.). 1993. Encyclopedia of Contemporary Literary Theory:


Approaches, Scholars, Terms. Toronto: University of Toronto Press.

Nandy, A. 1983. Intimate Enemy: Loss and Recovery of Self Under Colonialism.
Delhi: Oxford University Press.

Rukundwa, L.S. dan Andries G. van Aarde. 2007. “The Formation of Postcolonial
Theory”, Hervormde Teologiese Studies, 63(3). hlm. 1171-1194.

Said, Edward. 1978. Orientalism. New York: Vintage Books.

Said, Edward. 25 Juli 2000 (12 Agustus 1996). A Devil Theory of Islam. Diakses
tanggal 24 Mei 2012 pukul 11:01 a.m. (GMT+7) dari:
http://www.thenation.com/article/devil-theory-islam

Young, R.J.C. 2001. Postcolonialism: A Historical Introduction. London:


Blackwell.
i
Suatu konsep yang penting di dalam kajian poskolonial, merujuk kepada intregasi simbol dan
praktik kultural yang dimiliki penjajah dengan yang dijajah. Hibriditas dapat disebut sebagai
bentuk dinamisme budaya yang memperkaya kedua budaya yang terlibat namun juga dapat dilihat
sebagai bentuk opresivitas budaya penjajah (Lye, 2008).
ii
Suatu bentuk pencampuran budaya, praktik, gaya dan atau tema karya sastra bekas penjajah
dengan bekas jajahan.
iii
Suatu bentuk usaha meniru karya penjajah oleh bekas jajahan.
iv
colonialist literature: karya sastra yang ditulis oleh seorang penjajah dan ditulisnya pada saat ia
berada di daerah jajahan dengan menggunakan home country sebagai rujukan standar dan kadang
kala juga sebagai audience dari karyanya (Lye, 2008).

Sastra dan Kajian Poskolonial by Dipa Nugraha is licensed under a Creative Commons Attribution-
NonCommercial-NoDerivs 3.0 Unported License.

Tulisan ini diterbitkan pertama kali 24 Mei 2012 pukul 1:00 p.m. (GMT +7).

Hak cipta tulisan ini ada pada Dipa Nugraha. Boleh didistribusikan dengan syarat bagi-utuh -
nonprofit dan tidak dikembangkan kecuali dengan ijin Dipa Nugraha.

Tulisan ini dapat pula diakses lewat:

http://dipanugraha.blog.com/2012/05/24/sastra-dan-kajian-poskolonial/

View publication stats

Anda mungkin juga menyukai