Anda di halaman 1dari 18

TEORI POSTKOLONIAL

DALAM KERANGKA KONSEP IDENTITAS*


Oleh: Gaudensio Angkasa

(Mengajar di Universitas Katolik Widya Mandira Kupang,


Anggota Jaringan Peneliti Kawasan Timur Indonesia)

Sebagai studi yang dapat dikatakan baru dalam keilmuan sosial dan humaniora, istilah
postkolonialisme menjadi perdebatan yang nampaknya belum selesai sampai saat ini. Frasa
postcolonial dalam terjemahan bahasa Indonesia umumnya disebut dengan pasca kolonial
atau postkolonial. Definisi sederhana postkolonial adalah sebagai masa setelah kolonialisme.
Tetapi pengertian postkolonial itu dapat ditinjau dari sisi lain daripada sekedar tahapan
periode sejarah atau dari segi waktu, yaitu dari sisi orientasi ideologis.

A. Pandangan Umum Postkolonial


Teori postkolonial (Martono, 2014:101-132) dapat dikatakan sebagai teori yang dapat
digunakan sebagai alat analisis untuk menggugat praktek-praktek kolonialisme yang masih
berlanjut atau kolonialisme bentuk baru yang telah melahirkan kehidupan yang penuh dengan
rasisme, hubungan kekuasaan yang tidak seimbang, budaya subaltern, hibriditas dan
kreofisasi bukan dengan propaganda peperangan dan kekerasan fisik, tetapi didialektikakan
melalui kesadaran atau gagasan. Makaryk dalam Faruk (2007:14) mendefinisikan
postkolonial sebagai kumpulan strategi teoretis dan kritis yang memiliki asumsi untuk
mempersoalkan posisi subjek kolonial dan pasca kolonial. Hampir sama dengan Makaryk,
Ratna (2008:90) menyimpulkan bahwa yang dimaksud dengan postkolonialisme adalah cara-
cara yang digunakan untuk menganalisis berbagai gejala kultural, seperti: sejarah, politik,
ekonomi, sastra, dan berbagai dokumen lainnya, yang terjadi di negara-negara bekas koloni
Eropa modern. Dengan perkataan lain, postkolonial sebagai alat atau perangkat kritik yang
melihat bagaimana sendi-sendi budaya, sosial dan ekonomi yang didalamnya terdapat subjek
pascakolonial.
Ratna (2008: 77-78), Budiawan (2010:vi-ix) dan Martono (2014:102-104) secara
khusus membedakan istilah dan pengertian antara pascakolonial dengan postkolonial. Baik
Ratna, Budiawan dan Martono nampaknya sepakat bahwa pascakolonial berkaitan dengan
era, zaman, dan periode yang memiliki batasan pasti, yakni masa pasca-kolonial. Sedangkan
sebagai teori, pos(t)kolonial merupakan sebuah tradisi intelektual dengan batasan-batasan
yang bersifat relatif.
Istilah postkolonial adakalanya ditulis dengan menggunakan tanda hubung setelah
awalan 'pos'nya, untuk menekankan perbedaan studi postkolonial dengan teori wacana
kolonial yang hanya berlaku sebagai salah satu aspek pendekatan dari berbagai pendekatan
dan keterkaitan yang seharusnya mewarnai wacana postkolonial (Aschroft 1998:87). Dalam
hal ini, postkolonialisme adalah kritik terhadap ideologi (ide atau gagasan) kolonialisme;
mengkritik bentuk totalisasi, dominasi dan bentuk kepemimpinan budaya (hegemoni) Barat.
Sebagai ideologi yang mengkritik dominasi budaya Barat, postkolonialisme merupakan
bentuk pemikiran baru tentang diferensi budaya. Postkolonialisme menentang universalisme
nilai-nilai budaya Barat seperti individualisme, rasionalisme, fungsionalisme dan
materialisme. Apa yang bagi Barat merupakan universalisme, namun bagi masyarakat Timur
merupakan imperialisme. Berkaitan dengan hal itu, Barat sedang dan akan terus berusaha
mempertahankan superioritas serta kepentingan-kepentingannya dengan cara menunjukkan
kepentingan-kepentingan itu seakan-akan sebagai kepentingan "masyarakat dunia" atau
global (Huntington 2001:334-335).
Definisi postkolonialisme lebih berguna tidak pada saat ia bersinonim dengan periode
historis setelah kemerdekaan bangsa-bangsa jajahan, tetapi pada waktu dialokasikan sebagai
anti atau kritik terhadap pembajakan dan penindasan budaya oleh pihak kolonialis. Dengan
demikian, kolonialisme dan imperialisme dalam pengertian ini dapat diartikan sejak
dimulainya kekuasaan kolonial memasukkan dirinya dalam ruang budaya bangsa lain sampai
sekarang. Istilah postkolonial difokuskan pada produksi budaya masyarakat yang mengalami
imperialisme Eropa, dan dipergunakan secara luas dalam bidang sejarah, politik, sosiologi,
komunikasi dan analisis ekonomi, karena berbagai bidang tersebut juga dipengaruhi oleh
imperialisme. Imperialisme inilah yang tampaknya tetap hidup di tempat ia hidup
sebelumnya, dalam semacam lingkaran budaya umum maupun dalam praktek-praktek politik,
ideologi, ekonomi, serta sosial tertentu (Said 1995:40). Imperialisme bentuk baru tersebut
ditandai oleh peniruan model budaya Barat dan konsumsi produk Barat yang dominan.
Bahkan oleh penganut Marx, pengaruh Barat yang berkelanjutan dan dialokasikan dalam
kombinasi fleksibel bidang ekonomi, politik, militer dan ideologi (tetapi lebih cenderung
untuk kepentingan ekonomi) masih dinamakan sebagai kolonialisme, yaitu kolonialisme
baru, sementara prosesnya yang disebut sebagai imperialisme baru (Williams 1993:3).
Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa postkolonialisme adalah perlawanan sehari-
hari, sebagaimana yang diungkapkan oleh Anderson (1999:8-9) bahwa sebentuk mode atau
siasat perlawanan massa rakyat kecil tanpa politik yang dilakukan dengan gerakan “picisan”
untuk mengkaji ulang “politik modern” identitas adiluhung kalangan elite yang (sedang)
berkuasa. Siasat tersebut oleh Lubis (2006:201) dapat merubah masyarakat dari yang
cenderung terposisikan pada “dua kutub”, dengan identitas tunggal dan komunal menjadi
masyarakat yang saling berintegrasi dan bergesekan antar masyarakat yang bersifat lokal dan
global secara bersamaan.
Pembicaraan tentang postkolonialisme tidak terbatas pada upaya mencari kemerdekaan
sebuah negara tetapi sudah lebih luas. Postkolonial atau pascakolonial, menurut Loomba
(2005:15) dapat dipikirkan sebagai suatu perlawanan terhadap dominasi kolonialisme dan
warisan-warisan kolonialisme. Jorge de Alva-seperti dikutip Loomba (2003: 16) melihat
pascakolonial sebagai suatu subjektivitas dari perlawanan terhadap wacana-wacana dan
praktik-praktik imperialisme atau kolonialisasi. Postkolonialisme juga tidak hanya terbatas
pada upaya perlawanan terhadap pencarian kemerdekaan sebuah negara maupun perlawanan
terhadap dominasi kolonialisme dan warisan-warisannya. Oleh karena itu pascakolonialisme
tidak dapat dimaknai pada sebuah konsep yang tunggal dan statis (Mooore-Gilbert dalam
Faruk,2007:5).
Selain itu pula analisis wacana kolonial dan teori postkolonial ini disimpulkan William
sebagai kritik mengenai proses produksi pengetahuan tentang the Other (Williams dan
Chrisman, 1994:8). Dalam hal ini budaya berperan sebagai elemen resistan, karena
kenyataannya budaya merupakan manifestasi yang bersifat ideologis atau idealis, dari realitas
sejarah dan fisik masyarakat (bangsa) yang mengalami dominasi (Cabral 1979:73). Pada
budaya terdapat sintesis yang dinamis, yang dibuat dan dibangun oleh kesadaran sosial untuk
menyelesaikan konflik pada setiap tahapan evolusi, yaitu konflik yang ditimbulkan oleh
adanya pengaruh faktor ekstemal yaitu dominasi dan tekanan dari budaya penjajah, untuk
bertahan hidup serta mencari kemajuan.
Dalam budaya terletak kapasitas (tanggung-jawab) untuk membentuk dan menjamin
kelanjutan sejarah, dan pada saat yang bersamaan juga memastikan atau menentukan prospek
evolusi dan kemajuan sebuah masyarakat (bangsa). Maka dapatlah dimengerti bahwa untuk
menjamin kontinuitas praktek kolonialisme, kaum imperialis perlu untuk menekan atau
memandekkan perkembangan budaya pribumi (tradisional), agar bisa terus didominasi oleh
budaya penjajah. Studi tentang perjuangan kemerdekaan menunjukkan bahwa perjuangan
kemerdekaan kerap didahului oleh peningkatan pengekspresian budaya pribumi untuk
menegaskan atau menguatkan kepribadian budaya bangsa terjajah, sebagai alat untuk
meniadakan hegemoni budaya penjajah.
Hal inilah yang menjadi kritik pemikiran postkolonial tentang representasi identitas,
yaitu untuk mengedepankan atau memulihkan kembali budaya yang tertindas tersebut sebagai
identitas yang sesungguhnya dari bangsa yang pernah dipengaruhi oleh proses imperial.
Dalam kaitannya dengan keilmuan komunikasi Homi K.Babha membuktikan bahwa sebagai
tanda, model kolonialisme selalu bersifat ambigu, polisemik. Karena itu konstruksi kolonial
mengenai dirinya maupun mengenai timur dapat memperoleh pemaknaan yang bermacam-
macam dan bertentangan.
Said (1995:12) mengatakan disamping suatu praktik, kebudayaan adalah komunikasi
dan representasi, bahkan memiliki nilai estetis. Oleh karena itu sejalan dengan pemikiran
tentang diferensi budaya tersebut, postkolonialisme menolak pandangan monosentris
terhadap pengalaman manusia, dan sebaliknya mengakui dan menghargai keberadaan
pluralisme serta multikulturalisme budaya melalui sinkretisasi dan hibriditas (Mishra
1993:41). Pluralisme kemudian didefinisikan sebagai suatu keyakinan, dimana di dalam
masyarakat yang terdiri dari berbagai kelompok politis, ideologis, kultural atau etnis, tidak
ada satu kelompok pun yang dominan, yang di dalamnya terdapat penghargaan akan
diferensi.
Dalam pluralisme budaya tersebut, diakui adanya keyakinan akan hak hidup dan ruang
ekspresi yang sama dan sejajar bagi setiap kelompok budaya yang ada didalamnya.
Sementara Multikulturalisme adalah gerakan bagi pengakuan dan penerimaan akan
keanekaragaman, perbedaan, dan identitas, khususnya dalam sebuah negara yang terdiri dari
berbagai kelompok minoritas, akan tetapi dikuasai oleh kelompok kultural dominan (Piliang
2001:16).

B. Identitas
Isu identitas dan subyektivitas telah menjadi tema utama dalam studi kebudayaan di
Barat selama dekada 1990-an, terutama oleh kalangan “rezim tentang diri” (regime of the
self). Secara konseptual subyektivitas dan identitas mempunyai hubungan yang erat dan
bahkan tidak bisa dipisahkan. Chris Barker kemudian menegaskan, identitas sepenuhnya
merupakan suatu konstruksi sosial budaya. Tidak ada identitas yang dapat ‘mengada’ (exist)
di luar representasi atau akulturasi budaya (Barker, 2005:170-171).
Pandangan salah satu teoritisi cultural studies ini menyatakan bahwa identitas dan
subjek sangat terkait dan tidak dapat dipisahkan begitu saja. Subyektifitas adalah menyangkut
diri (identitas pribadi) seseorang, di dalamnya tercakup perasaan, emosi, hasrat dan kemauan
seseorang. Subyektifitas juga berkaitan dengan kesadaran (concious) dan ketidaksadaran
(unconscious) seseorang. Identitas inilah kemudian menjadi rentan terhadap setiap perubahan
yang terjadi disekitarnya, seperti adanya dominasi, minoritas, maupun adanya hegemoni dari
penguasa yang menyebabkan identitas mengalami perubahan.
Sementara mengeksplorasi tentang identitas adalah menanyakan: bagaimana kita
melihat diri kita sendiri dan bagaimana orang lain melihat kita? (Barker, 2000:165).
Pertanyaan tersebut secara umum membagi identitas menjadi dua kategori utama, yakni
pertama: identitas kultural dan identitas politik. Identitas kultural menentukan posisi subjek
di dalam relasi atau interaksi sosialnya, sedangkan identitas politik menentukan posisi subjek
di dalam suatu komunitas melalui suatu rasa kepemilikan (sense of belonging) dan sekaligus
menandai posisi subjek yang lain di dalam suatu pembedaan (sense of otherness) (Barker,
2005:169-190).
Teoritisi Cultural Studies lainnya, Stuart Hall, dalam artikel yang berjudul The
Question of Cultural Identity, mengidentifikasi tiga perbedaan cara yang
mengkonseptualisasikan identitas kultural, yaitu (a) subyek pencerahan; (b) subyek sosiologi,
dan (c) subyek posmodernisme. Dalam perspektif era pencerahan berkembang gagasan
bahwa pribadi dipandang sebagai agen kesatuan yang unik dan bersekutu terhadap
Pencerahan (Enlightenment). Hall menuturkan:
The enlightenment subject was based on conception of the human person as a fully
centred, unified individual, endowed with the capacities of reason, consciousness and
action, whose „centre‟ consisted of an inner core …. The essensial centre of the self
was a person‟s identity (Hall, 1992:275).
Hall juga menganjurkan bahwa untuk memahami konsep identitas kebudayaan juga erat
kaitannya dengan asumsi-asumsi yang berkembang dalam aliran pemikiran esensialisme dan
anti-esensialisme kebudayaan. Dalam buku Identity, Community, Culture, Difference, Stuart
Hall berpendapat bahwa identitas budaya bukanlah sesuatu yang jelas dan tanpa masalah
karena identitas budaya adalah suatu produk yang tidak pernah selesai, selalu dalam proses
pembentukan dan terbentuk dalam suatu representasi. Representasi ini harus berada dalam
proses yang terus menerus dan bersifat personal dan lebih nyata dalam kehidupan sehari-hari.
Hall mengatakan bahwa ada dua cara untuk memikirkan tentang identitas budaya.
Pertama, dengan memposisikan identitas budaya dalam satu budaya yang sama, secara
kolektif dengan menyembunyikan hal lain secara paksa dengan orang-orang yang mempunyai
sejarah dan keturunan yang sama. Konsep Stuart Hall (dalam Erniwati, 2011:21-22) juga
menegasikan bahwa identitas kultural berhubungan dengan persamaan budaya pada suatu
kelompok tertentu dimana anggota-anggotanya memiliki sejarah dan nenek moyang yang
sama. Identitas kultural pada definisi ini, menggambarkan persamaan pengalaman sejarah dan
berbagai lambang-lambang budaya yang membuat mereka menjadi satu komunitas yang
stabil, tidak berubah dan melanjutkan kerangka acuan dan pemaknaan dibawah perubahan
sejarah. Identitas budaya di sini memaksakan orang-orang tersebut sebagai one people yang
stabil dan tidak berubah. Identitas di sini adalah identitas yang bersifat esesensialis.
Senada dengan Stuart Hall, Kathryn Woodward menjelaskan bahwa identitas yang
bersifat esensialis suggests that there is one clear, authentic set of characteristics which all
shared and which do not alter across time (Woodward, 1997:11). Dengan demikian identitas
esensialis dapat dipahami sebagai suatu identitas yang mempunyai satu karakteristik yang
sama seperti sejarah dalam satu budaya. Dalam pandangan kaum esensialis, bahwa pribadi-
pribadi mempunyai hakekat tentang diri yang disebut identitas, untuk itu kajian postkolonial
dari kaum esensialis dalam rangka merumuskan identitas “cenderung” menggunakan
argumentasi yang bersifat terposisikan pada dua kutub atau posisi biner. Oposisi biner yaitu
sistem yang membagi dunia dalam dua kategori yang berhubungan. Dalam pemikiran oposisi
biner, Lubis (2006:208) mengatakan seseorang dihadapkan pada salah satu pilihan “ini” atau
“itu” sebagai salah satu yang dinyatakan benar. Misalnya : Timur versus Barat, Diri (self)
versus Orang lain (the other), Subyektivitas versus Obyektivitas, Masa kini versus Masa lalu,
Pengamat (subyek) versus Yang Diamati (obyek) dan seterusnya.
Model berpikir oposisi biner menempatkan kedudukan Barat, penjajah, self, pengamat,
subyek dan menceritakan dianggap memiliki posisi ungggul dibandingkan dengan Timur,
terjajah, orang luar, obyek, yang diceritakan dan seterusnya. Seperti yang diungkapkan oleh
Leela Gandhi (2001:26) bahwa hubungan antara penjajah-terjajah (atau bekas jajahan) adalah
hubungan yang hegemoni, penjajahan sebagai kelompok superior dibandingkan pihak terjajah
yang inferior.
Hubungan antara penjajah-terjajah yang bersifat hegemoni tersebut, kemudian
memunculkan apa yang disebut dominasi dan subordinasi. Pola hubungan seperti demikian
kemudian memunculkan lagi gambaran-gambaran yang tidak menyenangkan mengenai pihak
terjajah sebagai kelompok masyarakat barbar, tidak beradab, bodoh, aneh, mistis dan tidak
rasional (Gandhi,2001:vi), atau dalam bahasa Said, Timur diproduksi secara karakteristik
dalam wacana para Orientalis sebagai voiceless, sensual, female, despotic, irrational and
backward (Said dalam Moore-Gilbert, 1997:39). Said meyakini bahwa selama masa
kolonialisme proses produksi pengetahuan berlangsung terus menerus meskipun seorang
Orientalis tetap berusaha mempertahankan citra Timur.
Kaum esensialisme berasumsi bahwa deskripsi diri mencerminkan hakekat yang
didasari identitas. Dengan demikian akan bisa ditetapkan apa itu hakekat femininitas,
maskulinitas, orang Asia, remaja dan semua kategori sosial yang lain. Asumsi ini meyakini
bahwa kebudayaan terdiri dari nilai-nilai dan norma-norma yang telah selesai, mantap, baku
dan berdiri sendiri. Dalam pandangan mereka, tingkah laku sekelompok orang akan
tergantung kepada nilai-nilai dan norma-norma kebudayaan yang dianutnya. Jadi, untuk
mengubah tingkah laku budaya perlu diubah terlebih dahulu seluruh perangkat nilai dan
norma kebudayaan yang menjadi pendoman bagi tingkah laku budaya. Pandangan ini
menyatakan sistem dan norma itu adalah sesuatu yang sudah baku, tidak bisa diubah,
sehingga jika ada fenomena penyimpangan, tingkah laku manusialah yang dianggap
menyimpang dari sistem nilai dan norma yang berlaku.
Kedua, definisi identitas kultural adalah identifikasi yang dibentuk oleh sejarah dan
unsur-unsur kebudayaan. Sebaliknya, terdapat pula pandangan bahwa identitas sepenuhnya
merupakan kebudayaan, yang dibentuk berdasarkan ruang dan waktu. Ini merupakan
pandangan kaum anti-ensensialisme yang menjelaskan bahwa bentuk-bentuk identitas
senantiasa berubah dan berkaitan dengan kondisi sosial dan kebudayaan. Identitas adalah
konstruksi-konstruksi yang tidak saling berkaitan, makna-maknanya senantiasa berubah
mengikuti ruang dan waktu, serta penggunaannya.
Defenisi kedua ini memposisikan identitas budaya dengan mengakui adanya persamaan
dan perbedaan. Identitas yang bersifat non-esensialis ini fokus kepada perbedaan dan juga
persamaan karakteristik. Dalam pengertian yang kedua ini, Hall (1990) juga mengatakan
bahwa identitas budaya adalah persoalan tentang bagaimana seorang membentuk dirinya
seperti sebagai becoming dan being (Cultural Identity and Diapora dalam Identity,
Community, Culture, Difference, hal.53). Identitas budaya masuk ke dalam dunia masa depan
sekaligus dunia masa lalu.
Identitas budaya sangat bergantung kepada bagaimana seseorang menjadikan identitas
budaya itu sebuah posisi dan bukan esensi, sehingga orang itu dapat menjadi “siapa saja”
dimana pun ia berada. Stuart Hall menjelaskan mengenai identitas budaya yang masalah
identifikasinya bersifat tidak tetap. Identitas adalah sesuatu yang tidak pernah berhenti
pembentukannya, bukan hanya sesuatu yang ‘ada’, namun sesuatu yang terus ‘menjadi’.
Lebih lanjut Hall (1993) menunjukkan posisinya dalam pengertian identitas sebagai sesuatu
yang cair dan mengalami pembentukan, “Cultural identity is not a fixed essence at all, lying
unchanged outside history and culture. It is not some universal and transcendental spirit
inside us on which history has made no fundamental mark…It has its histories – and histories
have their real, material and symbolic effects.” (Stuart Hall, 1993: 227)
Hall menegaskan bahwa identitas bukan sesuatu yang kaku dengan karakteristik tetap
yang tidak berubah dari zaman ke zaman. Identitas adalah sesuatu yang terus-menerus
dibentuk dalam kerangka sejarah dan budaya, sesuatu yang diposisikan pada suatu tempat
dan waktu, sesuai dengan konteks. Pencarian identitas seseorang selalu terkait dengan
permasalahan bagaimana orang itu berusaha menempatkan dirinya (positioning) dalam suatu
lingkup masyarakat yang telah menempatkan dirinya dalam lingkup lain (being positioned).
Hal ini juga berkaitan erat dengan persamaan dan perbedaan dalam identitas budaya.
Perbedaan dan persamaan inilah ada dalam cakupan identitas budaya. Identitas juga
dipaparkan oleh Hall sebagai suatu hal yang selalu berubah dan tidak pernah tetap. Oleh
karena itu, seseorang dapat mengalami perubahan identitas seiring dengan kehidupannya.
Identitas kultural disini kemudian mengandung identitas politik, yaitu politik penentuan
posisi dalam masyarakat tertentu. Secara implisit, Bhaba (dalam Sutrisno dkk. ed, 2004:145-
146) juga berpendapat bahwa identitas kultural bukanlah identitas bawaan yang dibawa sejak
lahir dari kekosongan. Identitas kultural bukanlah entitas yang sudah ditakdirkan. Pandangan
tentang oposisi biner “penjajah” dan “terjajah” tidak lagi sebagai yang terpisah satu dari yang
lain dan masing-masing berdiri sendiri. Sebaliknya, pendapat Bhaba menganjurkan bahwa
negosiasi identitas kultural mencakup perjumpaan dan pertukaran tampilan budaya yang terus
menerus yang pada saatnya akan menghasilkan pengakuan timbal balik akan perbedaan
budaya.
Relasi budaya-budaya, termasuk “penjajah” dan “terjajah”, berada dalam interpendensi
dan konstruksi subjektivitas yang mutual. Menurut Bhaba, budaya dan sistem budaya
terbentuk dalam ruang ketiga. Interpendensi itu mengambil wajah dalam hibriditas. Hibriditas
identitas, memunculkan diri dalam budaya, bahasa, ras dan sebagainya. Berdasarkan
pandangan tersebut di atas, cultural studies memaknai identitas sebagai sebuah ‘entitas’ yang
dapat diubah menurut sejarah, waktu dan ruang tertentu. Lebih lanjut, Stuart Hall
menjelaskan bahwa identitas kebudayaan sebagai representasi adalah tidak permanen karena
merupakan produksi atau konstruksi yang tidak lengkap, tetapi selalu dalam proses perubahan
dan dibentuk dari dalam kelompok.
Kedua definisi tersebut memperkuat definisi identitas sebagai kategori budaya, sejarah,
dan politik. Identitas kultural tunduk atau berada di bawah permainan sejarah, budaya, dan
kekuasaan yang berakar pada masa lalu. Dengan kata lain identitas kultural dibentuk oleh
diskursus budaya melalui sejarah yang terkait dengan permainan kekuasaan melalui
transformasi dan pembedaan (difference). Williams dalam Barker (2005:50-55),
mendefinisikan konsep kebudayaan sebagai budaya yang dibentuk oeh makna dan praktik.
Kebudayaan adalah pengalaman yang hidup: teks, praktik dan makna bagi semua orang
ketika mereka menjalani hidupnya. Kebudayaan tidak menggambarkan kondisi material
kehidupan, sebaliknya apapun tujuan praktik budaya, sarana produksinya tidak terbantahkan
lagi selalu bersifat materi. Jadi makna kebudayaan yang hidup harus dieksplorasi di dalam
konteks syarat produksi mereka, sehingga menjadi bentuk kebudayaan sebagai keseluruhan
cara hidup.
Dalam kaitannya dengan identitas kultural masyarakat Indonesia, bahwa konsep
identitas kultural membuka kemungkinan untuk mengkaji tidak hanya bagaimana masyarakat
Indonesia menopang identitas kultur mereka sambil mengadopsi banyak nilai-nilai yang
bukan Indonesia, tetapi juga bagaimana sebagian mereka dapat melakukan akulturasi total
dan menerima suatu identitas yang bukan Indonesia melainkan identital kultural koloni,
seperti yang pernah dialami bangsa ini. Selain itu pula konsep identitas kultural berkaitan erat
dengan peristiwa komunikasi yang menggunakan simbol, tanda dan lambang-lambang
komunikasi. Oleh karena itu bagaimana masyarakat Indonesia memaknai lambang tersebut
pada tataran ilmu komunikasi dapat dimaknai pula sebagai sebuah identitas budaya.
Identitas mengenai diri merupakan konsepsi yang diyakini seseorang tentang dirinya,
sementara harapan atau pandangan orang lain terhadap diri seseorang akan membentuk
identitas sosial (Barker, 2009: 173). Meskipun terdapat dua pemisahan tersebut sebagai
pribadi yang utuh seseorang harus memiliki seluruh aspek sosial dan kultural, sehingga
identitas sepenuhnya merupakan konstruksi sosial dan tidak mungkin eksis di luar
representasi kultural (Barker, 2009: 174). Dari pemikiran Barker di atas dapat ditarik
kesimpulan bahwa identitas seseorang secara meliputi pandangan diri terhadap diri sendiri
dan bagaimana orang lain memandang diri tersebut, bersifat personal sekaligus sosial.
Membicarakan identitas yang muncul dalam negoisasi dengan teori postkolonial
berarti membicarakan identitas postkolonial. Dalam negoisasi tersebut identitas postkolonial
melakukan penguakan dan resistensi terhadap kepalsuan yang dibubuhkan kepadanya
sekaligus menghadirkan ke-liyan-an (otherness) dirinya (Sinaga, 2004: 8-9). Culture and
Imperialism (1993) karya Edward Said menyebutkan bahwa konstruksi mengenai “diri”
sebagai self dalam perbedaannya dengan “liyan” atau the Other amat dikonstruksikan oleh
imperialisme kultur mengenai citra, teks tulisan-tulisan sastra yang merefleksikan “liyan”
sebagai biadab lawan dari beradab, bodoh sebagai lawan cerdas, murni asli berbudaya
sebagai lawan dari campuran atau tidak asli atau hibrida (Sutrisno, 2004: 28).
Said (1985: 7) menunjukkan bahwa budaya Eropa memperoleh kekuatan dan
identitasnya dengan cara menyandarkan diri kepada dunia Timur. Identifikasi dunia Timur
oleh Barat merupakan bagian upaya Barat untuk mengidentifikasi dirinya sendiri. Identifikasi
pribumi sebagai “rendah” oleh Barat, berarti juga bahwa Barat mengidentifikasi dirinya
sebagai “tinggi”. Perbedaan antara Barat dan Timur tersebut dalam teori Barker (2009:
174&176) merupakan upaya pengidentifikasian diri dan hal tersebut akan menjadi identitas
jika mampu dilanggengkan narasinya. Pelanggengan narasi tentang diri dalam hal ini dapat
berarti kolonialisme.
Bhabha (dalam Loomba, 2003:230) berpendapat bahwa penjajah dan terjajah tidak
idependen satu sama lain, keduanya justru bersifat relasional. Relasi-relasi postkolonial itu
distrukturkan oleh bentuk-bentuk kepercayaan yang beraneka dan kontradiktif. Menurut
Bhabha, antara penjajah dan terjajah terdapat “ruang antara” yang memungkinkan keduanya
untuk berinteraksi. Identitas-identitas kolonial itu, baik dari sisi penjajah maupun terjajah,
tidak stabil, meragukan, dan selalu berubah. Di antara keduanya terdapat ruang yang longgar
untuk suatu resistensi.
Hal inilah yang menurut Faruk (2007:6), menegasikan identitas kolonial itu tidak
stabil, meragukan, dan selalu berubah, karena itu konstruksi kolonial mengenai dirinya
maupun Timur dapat memperoleh pemaknaan yang bermacam-macam dan bahkan
bertentangan. Ruang ini (Rutherford, 1990:211), adalah ruang negosiasi, ruang dimana “all
forms of culture in a process of hibridity”. Oleh karena itu, Burke (2009:34) menafsirkan arti
hibriditas seperti berada dalam “jungle of concepts competing of survival”, atau dengan
defenisi Darmawan (2014:26) terminologi hibriditas seperti berada dalam hutan konsep-
konsep yang saling berkompetisi untuk bertahan. Pendapat Bhabha tersebut mematahkan
klaim kaum nasionalis maupun kolonialis tentang diri yang tunggal (self), sekaligus memberi
peringatan agar tidak menafsirkan perbedaan kultural dalam kerangka yang reduktif dan
absolut.
Bhabha (1994: 66) menegaskan bahwa problem identitas dalam postkolonialisme
selalu kembali dalam pertanyaan tentang ruang representasi di mana bayang-bayang orang
yang hilang, yang tidak tampak dan stereotipe Oriental dipertentangkan dengan yang
berbeda, yakni ‘yang lain’. Identitas diungkapkan melalui berbagai bentuk representasi yang
dapat dikenali diri sendiri dan orang lain (Barker, 2009: 174). Representasi oleh Ratna
(2008:123) diartikan sebagai citra, gambaran dan lukisan, yang secara tradisional dapat
diartikan pula sebagai kemiripan dan imitasi. Hal ini menunjukkan resepresentasi merupakan
bentuk perwakilan/wali, yang dapat menggantikan arti identitas yang sesungguhnya. Secara
lebih lanjut Barker (2009: 140) menjelaskan bahwa representasi bukanlah mimesis, bukan
penjiplakan atas kenyataan yang sesungguhnya, representasi adalah ekspresi estestis, sebuah
rekonstruksi dari situasi yang sebenarnya. Oleh karena itu, Hutcheon (dalam Ratna, 2008:
123) memaparkan semua bentuk representasi,baik literal, visual, oral, maupun kultural pada
umunya, baik budaya tinggi maupun budaya massa, didasarkan atas pesan ideologis tertentu
sehingga tidak lepas dari masalah sosial politis. Representasi tidak melukiskan suatu dunia
sebagaimana adanya, melainkan membangunnya.
Lebih lanjut, Ratna mengatakan sebagai perwakilan pada dasarnya representasi tidak
berbeda dengan simbol, tanda dan lambang, yang secara defenitif berarti mewakili sesuatu
yang lain, sebagai pengganti objek faktual. Perbedaannya, apabila simbol, tanda dan lambang
lebih bersifat arbiter, maka representasi juga lebih bersifat pragmatis, strategis, bahkan politis
(Ratna, 2008:123).
Dengan demikian, bila komunikasi dapat dipahami sebagai jalinan hubungan antar
manusia dengan menggunakan simbol, tanda dan lambang, maka teori representasi identitas
kultural ini dapat digunakan untuk menganalisis bagaimana penggunaan simbol, tanda dan
lambang tersebut diantara masyarakat Indonesia yang kemudian dapat merepresentasikan
identitas kultural mereka. Seluruh peristiwa komunikasi yakni tanda, lambang, bahasa,
perilaku masyarakat dan media, baik yang tersirat maupun yang tampak sangat nyata pada
intinya merupakan hubungan yang ada di dalam masyarakat. Masyarakat harus dilihat
sebagai suatu objek sekaligus subjek yang memiliki bentuk yang kompleks, spesifik dan
kontradiktif. Gagasan peristiwa komunikasi adalah relasi yang saling berhubungan satu sama
lain, bukanlah suatu strategi dan bukan pula dilokalisasi. Masyarakat dan budaya yang
sebenarnya memainkan segala fungsi komunikasi; budaya yang ada pada kelompok,
organisasi dan negara menggambarkan masyarakat yang ada di dalamnya.
Keseluruhannya itu akan menciptakan pengetahun tentang budaya yang kemudian
memungkinkan lahirnya kekuasaan dan dominasi. Prinsip perbedaan dan persamaan suatu
teori dapat kita amati dan teliti dalam masyarakat dan budaya. Suatu teori dengan teori yang
lainnya mendapatkan pola-pola koheren ini menghasilkan berbagai makna, interpretasi,
identitas dan kontrol akan terjadi dan ditemui dalam masyarakat. Disinilah kita dapat
menemukan perbedaan atau pembagian yang mendalam terhadap persepsi mengenai atau
peristiwa budaya. Disini pula kita dapat bicara tentang politik dan negara, ideologi
masyarakat dipelihara dan dipertahankan. Dengan demikian, budaya tidak dapat dipisahkan
dengan makna yang hidup dalam masyarakat.
C. Identitas Hybrid
Dalam budaya, hibriditas mengacu pada pertemuan dua budaya atau lebih yang
kemudian melahirkan sebuah budaya baru, akan tetapi budaya lama tidak ditinggalkan.
Hibriditas sebenarnya menunjuk pada penciptaan transbudaya baru yang ada dalam wilayah
pertemuan yang dihasilkan melalui kolonialisasi (Ashcroft, et.al., 1998:55).
Salah satu tokoh dalam kajian postkolonial, Homy Babha, membangun defenisi
hibiriditas atas fondasi pemikiran Edward Said dan Fanon (Darmawan: 2014:27). Hibriditas
diawali ketika batasan-batasan yang ada dalam sebuah sistem atau budaya mengalami
pelenturan, sehingga kejelasan dan ketegasan mengenai hal-hal yang dapat dilakukan atau
tidak dapat dilakukan mengalami pengaburan, yang pada akhirnya menghasilkan suatu ruang
baru.
Menurut studi Orientalism Said, kecenderungan studi Eropa terhadap Asia bersifat
Eropasentris dan oposisi biner. Orientalism mengacu pada kesimpulan bahwa orang terjajah
(Timur) merupakan subjek yang diam dan dibawah kuasa Eropa. Pemaknaan Barat atas
Timur adalah gambaran yang homogen, baku dan merendahkan. Sedangkan Fanon dalam
Black Skin White Skin, Babha belajar bahwa dari sisi orang yang dijajah ada hasrat untuk
menjadi sama, sekaligus takur terhadap penjajah. (Darmawan: 2014:27).
Suatu sistem tersendiri yang ‘Hibrid’, dimana menurut Bhabha merupakan metafora
untuk menggambarkan bergabungnya dua jenis (bentuk) yang memunculkan sifat-sifat
tertentu dari masing-masing bentuk, sekaligus meniadakan sifat-sifat tertentu yang dimiliki
keduanya. Hybriditas sebagai salah satu konsep kunci dalam studi postcolonial adalah konsep
yang relatif baru (Budiawan,2010:viii; Burke,2009:1). Meski baru, hibriditas
diinterpretasikan dalam terminologi yang bermacam-macam. Ada yang menafsirkan itu
sebagai sinkretisme, akomodasi, pencampuran. Dalam hibriditas, biasanya identitas lama
tidak begitu saja menghilang, meskipun identitas kultural baru akan kuat mempengaruhi
identitas lama tersebut. Disinilah kemudian terjadi apa yang disebut oleh Bhaba sebagai
ambiguitas identitas yang membawa seseorang dalam posisi “in-between” alias “di tengah-
tengah” (Rutherford, 1990:211). Hal inilah yang kemudian disebut oleh Bhaba bahwa
hibriditas merupakan taktik dan strategi kebudayaan, dimana produk budaya hibrid senantiasa
menghindari segala macam kategorisasi biner, pendatang versus pribumi, kapitalisme versus
sosialisme, dimana pada akhirnya produk budaya hibrid akan menempati apa yang disebut
ruang ketiga dalam setiap kategori biner.
Bhaba menambahkan bahwa postkolonialitas bukan hanya menciptakan budaya atau
praktek hibridasi, tetapi sekaligus menciptakan bentuk-bentuk resistensi dan negosiasi baru
bagi sekelompok orang dalam relasi sosial dan politik mereka (Bhaba, 2004:113-114).
Namun, hibriditas juga memungkinkan adanya pengenalan bentuk-bentuk produksi identitas
baru dan bentuk-bentuk budaya. Jadi hibriditas, dapat diterima sebagai suatu alat untuk
memahami perubahan budaya lewat pemutusan strategis atau stabilisasi temporer kategori
budaya (Barker, 2005:210). Konsep liminalitas Bhabha (2007:5) digunakan untuk
mendeskripsikan suatu “ruang antara” di mana perubahan budaya dapat berlangsung, yaitu
ruang antarbudaya di mana strategi-strategi kedirian personal maupun komunal dapat
dikembangkan. Selain itu pula dapat dilihat sebagai suatu wilayah di mana terdapat proses
gerak dan pertukaran antara status yang berbeda-beda yang terus menerus. Kondisi
terbelah/terpecah ini menjadikan subjek selalu berada pada the liminal space between
cultures, di mana garis pemisah tidak pernah tetap dan tidak dapat diketahui batas dan
ujungnya.
Terminologi dunia ketiga dan dunia pertama juga menjadi dua kata kunci dalam teori
hibriditas Bhabha. Bhabha (1994:84-92) menemukan “mimicry” sebagai bukti bahwa yang
terjajah tidak selalu diam, karena mereka memiliki kuasa untuk melawan. Konsep mimicry
digunakan untuk menggambarkan proses peniruan atau peminjaman berbagai elemen
kebudayaan. Fenomena mimicry tidaklah menunjukkan ketergantungan sang terjajah kepada
yang dijajah, tetapi peniru menikmati dan bermain dengan ambivalensi yang terjadi dalam
proses imitasi tersebut.
Hal ini terjadi karena mimicry mengindikasikan makna yang tidak tepat dan juga salah
tempat. Ia adalah imitasi sekaligus subversi. Mimicry, dengan demikian adalah tanda dari
artikulasi ganda yang merupakan suatu strategi aprropriate tapi bersamaan dengan itu juga
inaprropriate, sehingga memuat mimicry tidak pernah menghasilkan suatu identitas yang
seragam, identik dan takluk dibawah kekuasaan penjajah. (Darmawan:2014:28)
Dengan demikian, mimicry bisa dipandang sebagai strategi menghadapi dominasi
penjajah. Seperti penyamaran, ia bersifat ambivalen, melanggengkan tetapi sekaligus
menegaskan dominasinya. (Martono, 2013:125-126). Dari mimicry inilah terlihat bahwa ia
adalah dasar sebuah identitas yang hibrid (Moore and Gilbert 1997:55)
Menurut Bhabha, (1994: 86) mimicry adalah suatu hasrat dari subjek yang berbeda
menjadi subjek sang lain yang hampir sama, tetapi tidak sepenuhnya (as subject of a
difference, that is almost the same, but not quite). Konsep mimicry Bhabha ini mengandung
ambivalensi karena di satu sisi kaum pribumi ingin membangun identitas persamaan dengan
kaum penjajah, sedangkan mereka juga ingin mempertahankan perbedaannya. Mimicry
muncul sebagai representasi dari perbedaan, yakni perbedaan tersebut merupakan proses
pengingkaran.
Ambivalensi mimicry terlihat dalam tatanan berikut ini, pertama, mimicry adalah
suatu strategi yang rumit untuk menata kembali, mengatur, mendisiplinkan, dan
mencocokkan ‘The Other’ sebagai visualisasi kekuatannya. Kedua, mimicry juga merupakan
ketidakcocokan, sebuah perbedaan atau perlawanan yang melekat pada fungsi strategis
kekuatan dominasi kolonial. Pada prakteknya, mimicry juga mengusung paham mockery,
meniru tetapi juga memperolok-olok (Bhabha, 2004: 86). Menurut Darmawan (2014:28),
mockery adalah upaya meng-copy penjajah, yang kemudian berubah menjadi parodi.
Tindak mimicry (peniruan identitas) oleh terjajah melahirkan hibridisasi yang berada
dalam ruang ketiga, ruang pertemuan “Barat” dan “Timur” disebut Bhabha (2004: 1-4)
sebagai liminal space, sebuah ruang yang dilukiskan remang-remang seperti twilight zone.
Darmawan (2014:29) menyatakan ruang ketiga adalah cara mengartikulasikan,
menginterupsi, menginterogasi, dan mengungkapkan bentuk baru makna kultural sehingga
menghasilkan bata yang kabur. Area remang-remang ini menjadi jalan setapak yang
menghubungkan terjajah dan penjajah atau jaringan ikat yang membangun perbedaan antara
mereka, si Hitam dan si Putih. Di tempat ini semua perbedaan antara mereka dipamerkan,
diperlihatkan. Tempat itu akhirnya menandai perbedaan kedudukan mereka, perbedaan
identitas mereka.
Bhaba menolak pendapat Said yang mengesankan bahwa wacana kolonial semata-
mata milik penjajah dan seragam (Richard King, 2001:56). Young (2001:107) menambahkan,
‘He (Bhabha) showed how colonial discourse of whatever kind operated not only as an
instrumental construction of knowledge but also according to the ambivalent protocols of
fantasy and desire.’ Bagi Bhabha (2004:42), wacana kolonial merupakan hasil dari proses
hibridisasi yang dipicu oleh benturan-benturan antara tradisi kolonialis dan pribumi. Wacana
kolonial karenanya memiliki ketegangan mendalam yang mengakibatkan hubungan antara
kolonisator dan yang terkoloni senantiasa ambivalen. Artinya, Wacana kolonial bergerak
dinamis. Di sana ada hal-hal yang tidak stabil, kontradiktif, dan tidak identik. Timur dilihat
sebagai yang indah sekaligus menakutkan, sebagai yang akra tetapi asing, dicinta tetapi
dibenci, atau dalam misi peradaban terkandung kesiapan berperang dan membunuh. Sifat
ambivalensi yang melekat pada wacana kolonial itu membuka pintu interupsi bagi subjek
terkoloni/terjajah. Sebagaimana wacana kolonial, wacana tandingan ini pun bersifat
ambivalen. Muncul konsep memuja keunggulan budaya Barat, tetapi sekaligus membencinya.
Belanda yang memegang kekuasaan berusaha agar wacana kolonial menguntungkan
kedudukan mereka. Oleh karenanya, mereka melakukan seruan-seruan tentang keunggulan
jatidiri dan budaya mereka sekaligus menyusun seruan berkebalikan untuk pribumi. Alatas
(1980:91) secara khusus meneliti teks orientalisme yang ada di Hindia Belanda, Malaysia dan
Filipina. Keengganan pribumi bekerja di ladang/bidang pendukung kapitalisme menghasilkan
mitos pribumi malas, tukang kredit, peminum, pemadat, pencuri. Mitos tersebut ikut
melegalkan dan melanggengkan kolonisasi dan kapitalisme. Dengan mitos dan stereotip,
kolonisator merasa berhak mengatur, mengontrol, dan memberadabkan mereka.
“Citra Superioritas” sebagaimana “citra inferioritas” menjadi bagian dari
konsep“fixity” wacana kolonial. Fixity diperlukan sebagai tanda perbedaan rasial, historis
dan kultural dalam wacana kolonial. Keberhasilan “fixity” menyebabkan terjajah memasuki
situasi yang tidak menentu dan mempertanyakan identitas mereka. Mereka berusaha
membentuk identitas mereka mengikuti “citra superioritas”. (Bhabha, 2004: 82). Dikaitkan
dengan tema penelitian, perilaku mimicry akan dianalisis pada berbagai hal, seperti upacara
agama, tradisi, bahasa, kehidupan sosial, dan bentuk-bentuk komunikasi lain. Oleh karena itu
teori ini menjadi relevan untuk menganalisis representasi identitas kultural masyarakat
Larantuka dalam kerangka postkolonial.

*Telah mengalami editan dan dialihbahasakan ke terjemahan Indonesia


Daftar Pustaka

Aschort, B., et.al. 1998. Key Concepts in Postcolonial Studies. London: Routledge
Anderson, Benedict. 1999. Komunitas Imajiner: Renungan Tentang Asal-Usul dan
Penyebaran Nasionalisme (terj). Yogyakarta. Pustaka Pelajar-Insist
Alatas, S.H. The Myth of the lazy natives atau Mitos Pribumi Malas, Citra Orang Jawa,
Melayu dan Filipina dalam Kapitalisme Kolonial, (terj). Akhmad Rofi’ie.
Jakarta : LP3ES, 1988.
Barker, Chris. 2000, Cultural Studies, Theory and Practice. London. Sage Publications Ltd.
__________. 2005. Cultural Studies (terj). Yogyakarta: Kreasi Wacana
__________. 2013. Cultural Studies (terj). Yogyakarta: Kreasi Wacana
Berger, Charles, et.al. (eds). 2014. Handbook Ilmu Komunikasi (terj). Bandung. Nusa Media
Bhabha, Homi. K. 1995. Cultural Diversity and Cultural Differences, dalam Ashcroft, B.,
et.al (eds). The Postcolonial Studies Reader. London. Routledge
_____________. 1994. The Location of Culture. London and New York. Routledge
_____________. 2004. The Location of Culture. London and New York. Routledge
_____________. 2007. The Location of Culture. London and New York. Routledge
Bos , Paul R,. 2005. Nagi music and community Belonging and displacement in Larantuka,
eastern Indonesia dalam Hae kyung Um. 2005. Diasporas and Interculturalism in
Asian Performing. New York. Routledge Curzon
Budiawan (ed). 2010. Ambivalensi: Post-Kolonialisme membedah musik sampai agama di
Indoensia. Yogyakarta. Jalasutra
Burke, P., 2009. Cultural Hybridity. Cambridge. Polity Press
Darmawan, Darwin. 2013. Tesis: Identitas Hibrid Orang Cina Indonesia Kristen:
Ketegangan dan Negosiasi antara Kecinaan, Keindonesiaan dan Kekristenan.
Yogyakarta. Universitas Gadjah Mada
Darmawan, Darwin. 2014. Identitas Hybrid Orang Cina. Yogyakarta. Gading Publishing
Erniwati. 2011. China Padang dalam Dinamika Masyarakat Minangkabau: dari Revolusi
Sampai Reformasi. Jakarta. Universitas Indonesia
Faruk. 2007. Belenggu Pasca-Kolonial, Hegemoni dan Resistensi dalam Sastra
Indonesia. Yogyakarta. Pustaka Pelajar Kusno, Abidin. 2000. Behind the
Postcolonial: Architecture, urban space and colonial culture in Indonesia, London-
New York: Routledge.
Gandhi, Leela. 2001. Teori Postkolonial: Upaya Meruntuhkan Hegemoni Barat. Yogyakarta.
Qalam
Hall, Stuart. Culture Identity and Diaspora dalam Colonial Discourse and Post colonial
Theory dalam J. Rutherford. Identity: Community, Culture, Difference. London.
Lawrence & Wishart, 1990
________. 1992. The Questions of Cultural Identity dalam S. Hall, D. Held & T. McGrew
(eds.), Modernity and Its Futures, London. Edward Arnold
________. 1993. Miniminal Selve dalam A. Gray dan J.McGuigan (eds) Studying Culture.
London. Edward Arnold
Huntington, Samuel P. 2001. Benturan antar Peradaban. Yogyakarta. Qalam.
Kerlinger. Fred N. 2004. Asas-asas Penelitian Behavioral. Yogyakarta: Universitas
Gadjahmada
Loomba, Ania. 2003. Kolonialisme/Pascakolonialisme, (terj). Hartono Hadikusuma.
Yogyakarta. Bentang Budaya
______________. 2005. Colonialism/Postcolonialism. New York: Routledge.
Lubis, Akhyar Yusuf. 2006. Dekonstruksi Epistemologi Modern. Jakarta. Pustaka Indonesia
Satu
Lukito, Martin Sinaga. 2004. Identitas Postkolonial Gereja Suku dalam Masyarakat Sipil.
Yogyakarta: LKIS
Mishra, Vijay, Bob Hodge. 1993. What is Post Colonialism dalam Colonial Discourse and
Post-colonial Theory. Textual Practise, 1991. London: Harvester Wheatsheaf hal.41
Mishra, Vijay. 2007. The Literature of the Indian Diaspora Theorizing the Diasporic
Imaginary. London: Routledge.
Moore, B. and Gilbert. 1997. Postcolonial Theory: Contexts, Practice, Polities. London:
Versco
Piliang, Yasraf Amir. 2001. Perkembanqan Wacana Kebudayaan Kontemporer dan
Pengaruhnya terhadap Tatanilai Seni Rupa. Makalah Seminar. Bandung: ITB.
Ratna, Nyoman Kutha. 2008. Postkolonialisme Indonesia. Yogyakarta. Pustaka Pelajar
Said, Edward W. 1995. Kebudayaan dan Kekuasaan: Membongkar Mitos Hegemoni Barat.
Bandung. Mizan
Sutrisno, Mudji; Hendar Putranto. 2004. Hermeneutika Pascakolonial: Soal Identitas.
Yogyakarta. Kanisius
Sugiyono. 2005. Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung Alfabeta

Supriyono, J. 2004. Mencari Identitas Kultur Indonesia dalam Mudji Sutrisno dan Hendar
Putranto (eds). Hermeneutika Pascakolonial Soal Identitas. Yogyakarta.
Kanisius.

Sianipar, Gading. 2004. Mendefinisikan Pascakolonialisme dalam Mudji Sutrisno dan Hendar
Putranto ( eds). Hermeneutika Pascakolonial Soal Identitas. Yogyakarta.
Kanisius.

Tubaka, Abdul Manaf. 2014. Islam Lokal Perspektif Historis dan Politik; Memahami Narasi
Islam Maluku dalam Konstruksi Postkolonial. Jurnal Fikratuna Volume 6, Nomor 2,
Juli-Desember
Williams, Patrick and Laura Chrisman. 1994. Colonial Discourse and Postkolonial Theory:
an Introduction dalam Colonial Discourse and Postkolonial Theory: a Reader,
Patrick William and Laura Chrisman, ed,. New York: Harvester Wheatsheaf,hlm.1-
20
_________________________________. 1994. Colonial Discourse and Postkolonial
Theory: an Introduction dalam Colonial Discourse and Postkolonial Theory: a
Reader, Patrick William and Laura Chrisman, ed,. New York: Harvester
Wheatsheaf,hlm.392-401
Woodward, K. 1997. Motherhood: Identities, Meanings and Myths dalam K. Woodward, ed,.
Identity and Difference. London and Tousand Oaks, CA. SAGE
Yudha, I Putu Putra Kusuma. 2014. Tesis: Identitas Budaya Etnis Tionghoa di Desa Pupuan
Kecamatan Pupuan Kabupaten Tabanan. Bali. Universitas Udayana.
Young, Robert J. C.. Postcolonialism and Historical Introduction. Oxford: Penerbit
Blackwell , 2001
Yin, Robert. 2014. Studi Kasus, Desain dan Metode (ter). Jakarta. Raja Grafindo Persada
__________. 2003. Case Study Reseach, Design and Methods 3th Ed. California. Sage

Anda mungkin juga menyukai