Diterbitkan oleh:
______ ____________________ ________________ _______________
Assalamualaikum wr.wb.
Saya menyambut gembira dan bersyukur, ketika Saudara
Dhoni (demikian penulis buku “Piagam Madinah Bukan
Konstitusi Negara Islam” ini memperkenalkan diri dengan
nama panggilan) memberitahukan kepada saya bahwa dia
tengah merampungkan penulisan buku tentang Piagam
Madinah. Ketika itu saya bertemu dengan Sdr. Dhoni di acara
seminar dalam rangka mengenang shahib saya, sesama alumni
Futuhiyyah dan Fakultas Syariah IAIN Walisongo Semarang,
almaghfur lahu, Prof. Dr. H. Qodri Azizy.
Ketika itu Sdr. Dhoni menginformasikan kepada saya
bahwa di dalam tulisannya itu akan mengupas tentang
Piagam Madinah berdasarkan sudut pandang yang lain dari
sudut pandang yang selama ini ada. Oleh karena itu, ketika
penulisan telah selesai dan naskahnya dikirimkan kepada saya
untuk memberikan sambutan maka setelah membaca saya
mengapresiasi dan memberikan catatan sebagai berikut:
Piagam Madinah adalah fakta yang menjadi tonggak
sejarah perjalanan eksistensi Islam dan ummatnya terkait
dengan hal-ihwal kehidupan kemasyarakatan, kebangsaan
dan kenegaraan, yang pada gilirannya juga terkait dengan
hal-ihwal hubungan antarbangsa atau antarnegara. Tidak
dapat dipungkiri, ketika piagam tersebut terjadi, Nabi
Muhammad s.a.w. yang ketika itu adalah Rasul Allah, bertindak
sebagai pemimpin suatu komunitas muslimin yang merupakan
bagian dari komunitas masyarakat di kota Yatsrib—yang
kemudian berganti nama menjadi Madinah—yang terdiri atas
beberapa komunitas.
Yang patut dicatat adalah bahwa manakala piagam
tersebut dilihat dari perspektifnya sebagai suatu perjanjian
maka para pemimpin yang mewakili komunitasnya, yang
menjadi subjek pelaku perjanjian dimaksud adalah mereka
yang memiliki kesetaraan dan kebebasan. Atas dasar itu maka
hal yang diperjanjikan, atau dengan perkataan lain yang
menjadi objeknya, adalah untuk hidup bertetangga baik di
antara komunitas yang ada tersebut di bawah kepemimpinan
Nabi Muhammad s.a.w. dengan tetap menjunjung tinggi
kesetaraan dan kebebasan dalam menjalankan agama dan
adat kebiasaan masing-masing, saling membantu dan
melindungi yang teraniaya, dan bersama-sama menghadapi
musuh.
Dalam posisinya sebagai Rasul Allah dan sebagai pemimpin
komunitas muslimin serta masyarakat Madinah, hal-hal yang
dilakukan oleh Nabi Muhammad s.a.w. terkait dengan
perjanjian tersebut dan implementasinya tentu merupakan
sunnah, baik dalam pengertian qauliyyah, fi’liyyah, maupun
taqririyyah, yang di dalamnya tentu terdapat pesan-pesan
yang bernilai sebagai hukum syariah. Selain itu, dalam
perspektif tertentu bahwa perjanjian itu merupakan
hukum—yang oleh ahli tertentu disebut sebagai konstitusi—
dan dalam penegakannya telah ada struktur, ada wilayah
berlakunya, dan ada pula rakyat yang menjadi adresatnya
maka cukup beralasan untuk dikatakan bahwa ketika itu telah
terbentuk suatu masyarakat hukum baru.
Permasalahan apakah ketika itu masyarakat tersebut
telah menegara, jawabannya bergantung pada perspektif
masing-masing. Terlebih lagi ketika di kemudian hari
masyarakat tersebut menjadi suatu entitas yang menjalin
hubungan dengan negara lain. Selain itu, bagi yang
melihatnya masyarakat tersebut telah menegara maka
pertanyaannya, apakah negara Islam atau bukan, hal itulah
yang dicoba untuk dijelaskan oleh buku ini.
Sdr. Dhoni menulis tentang ihwal yang terkait dengan
persoalan di atas berdasar perspektifnya. Mengenai apa
yang ditulisnya, saya bersyukur karena yang Sdr. Dhoni tulis
merupakan persoalan yang sangat sedikit memperoleh
perhatian dari peneliti sejarah keislaman dan umat Islam
sendiri. Saya merasa memperoleh teman dari generasi
muda sesama alumni dari almamater yang sama, yang
memiliki minat mengkaji persoalan tersebut.
Karena itu saya berharap buku ini dapat menginsipirasi
publik pada umumnya, untuk terus mengekplorasi diskursus
baru ilmu syariah di bidang ketatanegaraan, sehingga akan
membuka cakrawala baru bagi bangsa, yang sebagian besarnya
adalah kaum muslimin ini, mampu melihat secara tepat di
mana posisinya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara
dan dengan demikian dapat memberi kontribusi yang tepat di
dalamnya. Karena hanya dengan kemampuan menangkap
makna apa yang telah dicontohkan oleh Nabi Muhammad s.a.w.
dalam sunnah-nya, maka hidup damai dan sejahtera dalam
bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia akan terwujud.
Demikian, semoga bermanfaat. ⌛
Wassalamualaikum wr.wb.
│
1. Peta Kajian Piagam Madinah — 25
2. Fokus Kajian — 33