Anda di halaman 1dari 22

Penulis : Ali Romdhoni

Editor : Abi Aghna LR


Pengantar : Dr. H. Ahmad Fadlil Sumadi, SH., M.Hum.
Layout & Cover : Agung Widodo

Cetakan Pertama, Oktober 2014


xxiv + 234 hlm; 21 x 14 cm
ISBN: 978 – 602 – 18064 – 3 - 2

Diterbitkan oleh:
______ ____________________ ________________ _______________

Apakah Islam menetapkan satu bentuk pemerintahan


(sistem politik) yang baku? Sampai sekarang pertanyaan ini
belum mendapatkan jawaban sepakat dari umat Islam.
Sebagian intelektual dan pakar politik muslim berpendapat,
bahwa Islam tidak menetapkan sistem politik tertentu, tetapi
hanya mengajarkan norma-norma dalam berpolitik. Bagi
kelompok ini, model pemerintahan menjadi urusan rakyat.
Sementara sebagian umat muslim yang lain berkeyakinan,
Islam sejatinya telah menetapkan satu bentuk pemerintahan,
dan karenanya umat Islam wajib memberlakukan sistem ini.
Sistem pemerintahan Islam bahkan dikaitkan dengan kondisi
kaum muslim Internasional. Menurut kelompok kedua, keter-
purukan mayoritas umat muslim modern adalah karena me-
ninggalkan sistem pemerintahan (negara) Islam.
Kelompok yang meyakini adanya sistem baku dalam
perpolitikan Islam mendasarkan pendapatnya pada pemben-
tukan masyarakat (ada juga yang menyebut bangsa; negara)
Madinah dan pencetusan Piagam Madinah oleh Rasulullah
pada tahun Pertama Hijriyah (622 M). Piagam Madinah ini
disebut berfungsi sebagai konstitusi dalam sistem kepeme-
rintahan Rasulullah, untuk mengatur kehidupan sosial politik
masyarakat Madinah (ummah Madinah) yang heterogen.
Terbentuknya masyarakat Madinah berawal dari peristiwa
hijrah Rasulullah dari Kota Mekah ke Madinah pada tahun 622
M. Peristiwa ini kemudian diabadikan sebagai permulaan
tahun (tahun pertama) dalam hitungan kalender Islam, yaitu
tahun hijriyah (asal kata dari hijrah).
Peristiwa terbentuknya masyarakat Madinah dan pence-
tusan Piagam Madinah masih menarik didiskusikan, ketika
dihubungkan dengan maraknya isu Khilafah Islamiyah (peme-
rintahan Islam) di kancah perpolitikan nasional di Indonesia.
Misalnya, pada tanggal 12 Agustus 2007 yang lalu digelar
Konferensi Khilafah Internasional (KKI).
Para pendukung acara yang diselenggarakan Hizbut Tahrir
Indonesia (HTI) ini mengharapkan, khilafah—yang terakhir
kali hilang di Turki tahun 1923 bersama dengan berdirinya
negara sekuler Turki—akan bias lahir kembali. Bertempat di
Gelora Bung Karno Senayan Jakarta, kala itu, ribuan massa
pendukung beserta beberapa ulama dan pimpinan Ormas
Islam juga hadir sebagai pembicara.
Di antaranya tokoh masyarakat yang hadir adalah Abdullah
Gymnastiar dan Ketua Umum PP. Muhammadiyah Din
Syamsuddin. Ketua Umum PB NU Hasyim Muzadi tidak
bersedia hadir karena menganggap gagasan Khilafah Islamiyah
tidak sejalan dengan wawasan kebangsaan NU. Meskipun
demikian, Tuan Guru H. Turmudzi (Syuriah NU NTB) hadir dan
memberikan orasi (lihat: www.antara.co.id dan http://khila-
fahpublications.wordpress.com).
Khilafah secara harfiah berarti kepemimpinan, imamah,
kekhalifahan. Ia merupakan satu bentuk pemerintahan Islam.
Pemimpin atau ketua pemerintahannya dinamakan khalifah.
Khalifah dianggap sebagai pewaris/ penerus Nabi Muhammad.
Bagi kalangan Sunni, khalifah dilantik oleh rakyat atau wakil-
nya, sedangkah pengikut Syi'i menganggap hanya Ahlul Bait
(keturunan Nabi) yang berhak menjadi khalifah.
Sementara Hizbut Tahrir (artinya, Partai Pembebasan)
merupakan satu partai politik antarabangsa yang berideologi
Islam. Politik merupakan kegiatannya dan Islam adalah
ideologinya. Hizbut Tahrir bergerak di tengah-tengah umat dan
bersama-sama mereka berjuang untuk menjadikan Islam
sebagai permasalahan utamanya, serta membimbing mereka
untuk mendirikan kembali sistem kekhilafahan dan mene-
gakkan hukum yang diturunkan Allah dalam realita kehidupan.
Hizbut Tahrir merupakan lembaga politik, bukan lembaga
kerohanian (seperti tarekat), bukan badan ilmiah (seperti
lembaga agama atau badan penelitian), bukan institusi pen-
didikan (akademik), dan bukan pula lembaga sosial (yang
bergerak di bidang social-kemasyarakatan). Ide-ide Islam men-
jadi jiwa, inti dan sekaligus rahasia kelangsungan kelompoknya
(www.ms.wikipedia.org).

Piagam Madinah merupakan dokumen yang cukup tua,


baik dalam sejarah konstitusi dunia maupun sejarah ‘per-
adaban’ Islam. ‘Kesaktian’ Piagam Madinah yang memancar
melalui pasal demi pasal yang terkandung di dalamnya, mampu
mendamaikan dan mengikat berbagai kelompok suku dan
golongan dalam masyarakat Madinah, serta menyatukan umat
Islam pendatang dari Mekkah dengan penduduk asli Madinah
secara umum. Dan karena persatuan dua kelompok besar ini
(penduduk dari Makkah dan penduduk asli Madinah), lahir
masyarakat (ummah) Madinah.
Melalui Piagam Madinah pula Rasulullah berhasil menda-
patkan legitimasi kepercayaan dari masyarakat luas, sehingga
kedudukannya tidak hanya sebagai pemimpin spiritual, tetapi
juga semacam pemimpin masyarakat (untuk menghindari
penyebutan ‘negara’).
Keotentikan ide-ide dan gagasan yang terkandung dalam
Piagam Madinah menjadikan banyak pemikir dan ilmuwan,
baik kalangan Muslim, Barat dan intelektual Indonesia
khususnya, tertarik mengkajinya. Ketertarikan ini bermula dari
anggapan bahwa Piagam Madinah mengandung ide-ide dan
gagasan tersembunyi, yang menjadi kunci keberhasilan
dakwah islamiyah dan ‘politik’ Rasulullah.
Sepanjang penelusuran penulis, penelitian dan kajian
tentang Piagam Madinah yang sudah ada hanya menggunakan
pendekatan historis dan ideologis. Sehingga perlu dilakukan
penelitian untuk menghasilkan tawaran alternatif, cara baca
model lain untuk mengkaji Teks Piagam Madinah. Dipilihlah
pendekatan semiotik. Pendekatan semiotik diharapkan men-
jadi pendekatan alternatif yang melahirkan hasil pembacaan
‘yang baru’ atas teks Piagam Madinah, serta memberi kelong-
garan ruang dan gerak penafsiran atas teks Piagam Madinah.
Semiotik memperlakukan teks sebagai kumpulan tanda.
Dengan semiotik dapat diketahui cara kerja dan fungsi tanda.
Dengan pendekatan ini memungkinkan menghasilkan penaf-
siran yang ‘liar’ sehingga simbol-simbol yang terkandung
dalam Piagam Madinah dapat tersingkap. Sebuah model baca
yang tidak sekedar menafsirkan teks—memperlakukan teks
sebagai teks, tetapi membuat teks berbicara, bahkan tentang
hal di luar dirinya sendiri.
Semiotik sebagai ‘metode pembacaan’ sangat mungkin
digunakan dalam mengkaji teks Piagam Madinah, mengingat
ada kecenderungan dewasa ini untuk memandang berbagai
wacana sosial, politik, ekonomi, budaya, seni dan tentu saja
teks sebagai fenomena bahasa. Berdasarkan pandangan semio-
tik, bila bila seluruh praktik sosial dapat dianggap sebagai
fenomena bahasa, ia dapat pula dipandang sebagai ‘tanda’.
Kajian dan temuan dalam buku ini diharapkan melahirkan
jawaban atas pertanyaan yang memicu perdebatan dalam
kalangan politikus dan pemikir Islam sendiri: adakah konsep
politik dalam Islam yang dapat dijadikan rujukan.
Kajian dalam buku ini diharapkan memberi manfaat, baik
secara teoretis maupun praktis. Kelahiran buku ini juga
dimaksudkan untuk mengapresiasi kerja keras generasi Islam
pertama, yang sudah melakukan upaya dalam memajukan
Islam. Karya ini juga sekaligus sebagai bentuk ajakan kepada
generasi muda Islam masa kini, untuk terus menggali dan
mengembangkan khazanah keilmuan Islam. Selama ini banyak
ilmu pengetahuan produk Islam lebih membuat tertarik
ilmuwan Barat mengkajinya, ketimbang masyarakat akademik
Muslim sendiri. Ironis, bukan.
Satu upaya perlu dilakukan untuk membangun Islam dari
dalam dan mengembangkan Islam ke luar. Langkah awal untuk
memulai proyek besar Islam; mengembalikan kejayaan Islam
yang tinggal cerita dalam sejarah yang sudah mulai dilupakan,
bahkan oleh umat Islam sendiri.
Perlu dikatakan di sini, kajian dalam buku ini terbatas
kepada mengetahui makna dan kandungan teks Piagam
Madinah dengan menggunakan pendekatan semiotik. Kondisi
masyarakat Madinah dalam dekade setelah dicetuskannya
Piagam Madinah tidak dibahas secara panjang lebar dalam
penelitian ini.
Penulis menyampaikan terima kasih kepada Dr Mukhsin
Jamil, Dr Aslam Sa’ad, Dr Zainul Adzvar, Dr Abdul Muhayya dan
mereka yang telah memberi masukan berharga bagi bangunan
kesimpulan dalam buku ini. Penulis juga merasa senang dan
bangga ketika Bapak Dr. H. Ahmad Fadhil Sumadi, SH., M.Hum.
(Hakim Konstitusi Mahkamah Konstitusi Republik Indone-
sia) bersedia menulis kata sambutan untuk buku ini. Catatan,
komentar dan penegasan tokoh ini sudah tentu akan memberi
tambahan bobot akademik tersendiri pada buku ini.
Sekali lagi, penulis menyampaikan terima kasih dan
penghargaan kepada semua pihak yang telah membesarkan
dan memudahkan perjalanan penulis. Walaupun ada banyak
pihak yang menjadi teman diskusi pada proses penulisan, serta
orang-orang yang membantu selama proses penelitian, namun
seluruh konstruksi pengetahuan dalam buku merupakan
argumentasi penulis, dan karena itu menjadi tanggungjawab
penulis. Wa akhiru da’wana anil hamdu lillahi rabbil ‘alamin.
Selamat membaca. ⌛

Prawoto, 10 Mei 2014

ALI ROMDHONI, MA.


______ ____________________ ________________ _______________

Assalamualaikum wr.wb.
Saya menyambut gembira dan bersyukur, ketika Saudara
Dhoni (demikian penulis buku “Piagam Madinah Bukan
Konstitusi Negara Islam” ini memperkenalkan diri dengan
nama panggilan) memberitahukan kepada saya bahwa dia
tengah merampungkan penulisan buku tentang Piagam
Madinah. Ketika itu saya bertemu dengan Sdr. Dhoni di acara
seminar dalam rangka mengenang shahib saya, sesama alumni
Futuhiyyah dan Fakultas Syariah IAIN Walisongo Semarang,
almaghfur lahu, Prof. Dr. H. Qodri Azizy.
Ketika itu Sdr. Dhoni menginformasikan kepada saya
bahwa di dalam tulisannya itu akan mengupas tentang
Piagam Madinah berdasarkan sudut pandang yang lain dari
sudut pandang yang selama ini ada. Oleh karena itu, ketika
penulisan telah selesai dan naskahnya dikirimkan kepada saya
untuk memberikan sambutan maka setelah membaca saya
mengapresiasi dan memberikan catatan sebagai berikut:
Piagam Madinah adalah fakta yang menjadi tonggak
sejarah perjalanan eksistensi Islam dan ummatnya terkait
dengan hal-ihwal kehidupan kemasyarakatan, kebangsaan
dan kenegaraan, yang pada gilirannya juga terkait dengan
hal-ihwal hubungan antarbangsa atau antarnegara. Tidak
dapat dipungkiri, ketika piagam tersebut terjadi, Nabi
Muhammad s.a.w. yang ketika itu adalah Rasul Allah, bertindak
sebagai pemimpin suatu komunitas muslimin yang merupakan
bagian dari komunitas masyarakat di kota Yatsrib—yang
kemudian berganti nama menjadi Madinah—yang terdiri atas
beberapa komunitas.
Yang patut dicatat adalah bahwa manakala piagam
tersebut dilihat dari perspektifnya sebagai suatu perjanjian
maka para pemimpin yang mewakili komunitasnya, yang
menjadi subjek pelaku perjanjian dimaksud adalah mereka
yang memiliki kesetaraan dan kebebasan. Atas dasar itu maka
hal yang diperjanjikan, atau dengan perkataan lain yang
menjadi objeknya, adalah untuk hidup bertetangga baik di
antara komunitas yang ada tersebut di bawah kepemimpinan
Nabi Muhammad s.a.w. dengan tetap menjunjung tinggi
kesetaraan dan kebebasan dalam menjalankan agama dan
adat kebiasaan masing-masing, saling membantu dan
melindungi yang teraniaya, dan bersama-sama menghadapi
musuh.
Dalam posisinya sebagai Rasul Allah dan sebagai pemimpin
komunitas muslimin serta masyarakat Madinah, hal-hal yang
dilakukan oleh Nabi Muhammad s.a.w. terkait dengan
perjanjian tersebut dan implementasinya tentu merupakan
sunnah, baik dalam pengertian qauliyyah, fi’liyyah, maupun
taqririyyah, yang di dalamnya tentu terdapat pesan-pesan
yang bernilai sebagai hukum syariah. Selain itu, dalam
perspektif tertentu bahwa perjanjian itu merupakan
hukum—yang oleh ahli tertentu disebut sebagai konstitusi—
dan dalam penegakannya telah ada struktur, ada wilayah
berlakunya, dan ada pula rakyat yang menjadi adresatnya
maka cukup beralasan untuk dikatakan bahwa ketika itu telah
terbentuk suatu masyarakat hukum baru.
Permasalahan apakah ketika itu masyarakat tersebut
telah menegara, jawabannya bergantung pada perspektif
masing-masing. Terlebih lagi ketika di kemudian hari
masyarakat tersebut menjadi suatu entitas yang menjalin
hubungan dengan negara lain. Selain itu, bagi yang
melihatnya masyarakat tersebut telah menegara maka
pertanyaannya, apakah negara Islam atau bukan, hal itulah
yang dicoba untuk dijelaskan oleh buku ini.
Sdr. Dhoni menulis tentang ihwal yang terkait dengan
persoalan di atas berdasar perspektifnya. Mengenai apa
yang ditulisnya, saya bersyukur karena yang Sdr. Dhoni tulis
merupakan persoalan yang sangat sedikit memperoleh
perhatian dari peneliti sejarah keislaman dan umat Islam
sendiri. Saya merasa memperoleh teman dari generasi
muda sesama alumni dari almamater yang sama, yang
memiliki minat mengkaji persoalan tersebut.
Karena itu saya berharap buku ini dapat menginsipirasi
publik pada umumnya, untuk terus mengekplorasi diskursus
baru ilmu syariah di bidang ketatanegaraan, sehingga akan
membuka cakrawala baru bagi bangsa, yang sebagian besarnya
adalah kaum muslimin ini, mampu melihat secara tepat di
mana posisinya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara
dan dengan demikian dapat memberi kontribusi yang tepat di
dalamnya. Karena hanya dengan kemampuan menangkap
makna apa yang telah dicontohkan oleh Nabi Muhammad s.a.w.
dalam sunnah-nya, maka hidup damai dan sejahtera dalam
bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia akan terwujud.
Demikian, semoga bermanfaat. ⌛
Wassalamualaikum wr.wb.

Jakarta, 1 Juli 2014 M


3 Ramadham 1435 H

Dr. H. Ahmad Fadlil Sumadi, S.H., M.Hum.


‫ا‬ ‫ط‬
‫ب‬ ‫ظ‬
‫ت‬ ‫ع‬
‫ث‬ ‫غ‬
‫ج‬ ‫ف‬
‫ح‬ ‫ق‬
‫خ‬ ‫ك‬
‫د‬ ‫ل‬
‫ذ‬ ‫م‬
‫ر‬ ‫ن‬
‫ز‬ ‫و‬
‫س‬ ‫ه‬
‫ش‬ ‫ء‬
‫ص‬ ‫ي‬
‫ض‬ ‫ة‬
‫ي‬....‫ ا‬....
‫ي‬....
‫ و‬....

1. Huruf hamzah ( ) di awal kata ditulis dengan vokal


tanpa didahuli tanda ( ‘ ). Contoh: kata ‫ ا ما م‬ditulis
imâm, bukan ‘imâm.
2. Lafzh al Jalalat ( ‫ ) هللا‬yang berbentuk frase nomina
atau didahului partikel jarr ditransliterasi tanpa
hamzah. Misalnya: ‫ عبد هلل‬ditulis ‘Abdullâh, bukan Abd
Allâh.
1. Meragukan Konstitusi Negara Islam — 3
2. Sistematika Penulisan — 18


1. Peta Kajian Piagam Madinah — 25
2. Fokus Kajian — 33

1. Memilih Semiotika untuk Membaca Makna — 67


2. Mengapa Semiotika — 71
3. Semiotika: Antara Logika, Bahasa dan Sistem Tanda — 72
4. Sistem Kerja Semiotik dalam Buku ini — 75

1. Masyarakat Arab — 115


2. Makkah, Pusat Aktifitas di Jazirah Arab — 126
3. Yahudi, Imigran Sukses — 139
4. Yatsrib, Pusat Ekonomi Yahudi — 143

1. Kelahiran Islam — 169


2. Sekilas Biografi Rasulullah — 171
3. Hijrah, Menyelamatkan Ajaran Islam — 172
4. Langkah-langkah Strategis di Madinah — 180
5. Perjanjian, Solusi Akhir — 192
6. Merancang Kesepakatan Perdamaian — 196
7. Menyusun Piagam — 198

1. Dimensi Semiotika — 207


2. Perjanjian sebagai Tradisi — 209
3. Mengobarkan Semangat Persatuan dan Kemajuan — 218
4. Moral dan Keadilan, Fondasi Pluralisme, Budaya dan
Hukum — 225
5. Persatuan dan Kebersamaan Menggeser Ashabiyyah — 232
6. Jaminan Keamanan bagi Sekutu — 239
7. Perdamaian — 240
8. Koalisi dalam Perang — 241
9. Akidah sebagai Etika — 243
10. Tegas terhadap Lawan — 244
11. Qishash — 246
12. Nabi: Garansi dan Rujukan — 248
13. Biaya dalam Peperangan — 250
14. Sistem Keberagamaan — 250
15. Tindakan Kelompok — 254
16. Ganti Rugi — 255
17. Meneguhkan Niat Bersatu — 256
18. Kesalahan Kolektif — 257
19. Madinah Kota Mandiri — 258
20. Meneguhkan Persatuan Internal Umat Madinah — 263
21. Quraisy dan Status Madinah — 264
22. Membangun Komitmen Perdamaian — 266
23. Persamaan Hak dan Tanggungjawab — 269
24. Kesepakatan dan Sanksi — 270

Anda mungkin juga menyukai