Anda di halaman 1dari 17

Teori Postkolonial

Paruh terakhir abad kedua puluh menyaksikan akhir kolonial didominasi


oleh sebagian besar dunia negara-negara Eropa seperti Francis dan Inggris.
Sebelumnya kebanyakan dijajah oleh negara mencapai independen. Selama
periode yang sama, kelompok etnis yang tinggal dalam situasi diaspora
penyebaran - Afrika di Amerika Serikat, misalnya - berjuang untuk mengakhiri
praktek longstanding penganiayaan rasis dan untuk mencapai kesetaraan dengan
lokal etnis mayoritas. Dalam geopolitik berkembang, situasi beralih ke perbedaan
sastra dan budaya antara berbagai etnis kelompok di seluruh dunia, serta cara
literatur terlibat seperti isu-isu sebagai hubungan antar etnis, identitas rasial, tanah
air, pengasingan, diaspora, bangsa- hood, dan sejenisnya. Dalam situasi
penindasan rasial yang parah seperti Amerika Serikat dan Afrika Selatan, sastra
harus dilihat sebagai situs istimewa untuk memahami struktur sosial, kode
budaya, dan psikologis kiasan pemahaman lintas-budaya dan antar-ethnis dan
kesalahpahaman. Berikut beberapa bagian dari postkolonial:
1. Dasar-Dasar Postkolonial
Pada gilirannya penelitian sastra dapat menggunakan kajian postkolonial.
Kajian yang mencoba merangkum dasar kajian sebelumnya, tampaknya akan
segera mendapat tempat istimewa di kalangan pendukungnya. Model kajian
ini, memang masih baru di tengah kita, meskipun sebenarnya telah berusia
panjang. Kajian postkolonial baru mencuat ketika Bill Aschroft dkk. (Gandi
2001:vi dalam Endraswara 2006: 176) mencoba memperkenalkan kajian sastra
(postcolonial literature).
Paham tersebut, semula mencuatkan pemahaman model national dan
black writing. Model national memusatkan perhatian pada hubungan antara
Negara dan batas jajahannya. Sedangkan black writing, menekankan aspek
etnisitas. Model national demikian tidak mencari hubungan interteks seperti
studi sastra banding, melainkan lebih pada konsep pengaruh lingkungan ke
sastra dan pengaruh politik ke sastra. Peneliti berusaha memusatkan perhatian
pada hegemoni negara pada sastra. Di samping itu, juga meneliti kontra
produktif dan sejumlah protes bawahan (terjajah) kepada hegemonik
(kekuasaan).
Model black writing, lebih menitip beratkan pada aspek refleksi etnisitas
ke dalam sastra. Misalkan, peneliti mengungkapkan tradisi subkultural (Jawa,
Bugis, Sudnda, Bali, dan lain-lainnya) ke dalam sastra nasional. Sastra
nasional dianggap mewakili keinginan penguasaan dan kolonialis. Gerakan-
gerakan sastra lokal yang selalu tesubodinasi oleh pusat (hegemonik), akan
menjadi pangkal tolok kajian. Begitu pula keluh kesah pribumi yang selalu
inferior, akan dijadikan obyek studi. Tentu saja, juga akan diungkapkan
bagaimana kehendak dan tanggapan penjajah terhadap pribumi. Biasanya
pribumi lebih bernada lemah, sedangkan penjajah merasa superior. Penjajah
berhak menentukan, dan pribumi yang menetukan.
Masalah pokok yang selalu menyelimuti kaum terjajah dalam menghadai
penjajah adalah ilmu emansipasi dengan cara peniruan (mimikri). Dalam
proses mimikri sering terjadi ambivalensi, di satu pihak mempertahankan
perbedaan, dilain pihak ingin menghargai penjajah. Proses mimikri dalam
segala peta kehidupan, termasuk di dalamnya akulturasi dan sikretisme, sering
menjadi bahan menarik bagi penulis kreatif.
Dalam pandangan spivak (Gandhi, 2002:2 dalam Endaswara, 2006:177)
studi sastra kolonialisme dapat mengaitkan dengan masalah subaltem studies.
Artinya, studi tentang masyarakat yang tertekan harus bicara, harus
mengambil inisiatif, dan menggelar aksi atas suara mereka yang terbungkam.
Paham semacam ini, sadar atau tidak banyak mewarnai dunia cipta sastra.
Tidak sedikit karya sastra di era kolonial yang mengangkat masalah subaltem.
Ketertindasan kaum subaltem sering menjadi obsesi pengarang. Korban-
korban penindasan kolonial dan pemberontakan anti kolonial, akan menjadi
saran peneliti.
Sikap dan perilaku kaum terjajah sering aneh. Mereka sering kali
menciptakan ketidakstabilan, sebagai wujud anti kolonial. Kekecewaan yang
berkepanjangan, terus melahirkan ketidakpuasan atas perlakuan kaum
penjajah. Hal ini berarti bahwa kolonialisme telah menabur ketidakmapanan
sebuah tatanan, termasuk sastra. Ketika para pengarang mendapat cekal dari
penguasa, para seniman dan sastrawan diculik, dihukum, dan diadili sepihak,
kiranya telah memicu kelahiran kritik postkolonialisme. Terlebih lagi dengan
hadirnya fenomena pembreidelan karya-karya sastra yang dianggap panas atau
keras adalah warisan historis kolonial.
Sadar atau tidak, kehadiran postkolonial telah memerkaya studi sastra.
Kajian sastra menjadi semakin lengkap, dan tidak hanya bergerak pada hal-hal
formal dan instrinsik saja. Aspek-aspek ekstrinsik, terutama nilai historis
tampaknya sulit diabaikan dalam pemahaman sastra. Satu hal yang patut
mendapat tekanan dalam studi postkolonialisme antara lain harus
mengelaborasi memori-memori masa lalu. Peneliti harus mampu
menginterpretasi ke arah kenangan-kenangan masa kolonial. Detai-detail unik
dari masa kolonial harus dilacak. Hal semacam ini, tidak berarti bahwa
postkolonialisme hanya bisa dilakukan oleh peneliti sekaligus pelaku sejarah.
Kajian ini sangat terbuka, bahkan bagi peneliti awal yang bukan pelaku
sejarah pun memiliki kemungkinan. Yang penting, peneliti memiliki
kemampuan membaca memori masa lampau.

2. Refleksi Sastra:”Penjajah” dan “Terjajah”


Karya sastra merupakan refleksi batin. Refleksi sastra di era kolonial,
dapat berupa timbunan historis yang enak dan tidak enak. Tugas peneliti
sastra, akan mengungkap refleksi agar tertangkap hakikat kolonialisme. Perlu
dipahami, bahwa karya sastra dapat lahir ketika dan setelah kolonialisme.
Karya sastra yang dilahirkan pada waktu kolonial berlangsung, tentu sedikit
berbeda dengan karya sastra yang lahir setelah (pascakolonial).
Karya sastra yang dilahirkan oleh pengarang yang sekaligus pejuang,
pelaku sejarah, dengan pengarang sebagai pengamat sejarah akan memiliki
nuansa yang berbeda. Apalagi, kalau pengarang demikian sekadar membaca
sejarah, lalu mencipta karya-karya berbau kolonial, tentunya akan berdimensi
lain. Karya-karya demikian, perlu didekati dari kajian postkolonial, agar
tertangkap yang ada di balik karya tersebut.
Kajian postkolonial, dengan sendiri tidak akan melupakan aspek-
aspek kolonial, yaitu, “penjajah” dan “terjajah”. Kedua istilah ini, sengaja
diberi tanda petik karena implimentasinya sangat luas. Maksudnya, keduanya
tidak hanya terkait dengan masa lalu, melainkan juga berhubungan dengan
“penjajah” dan “terjajah” di dunia ketiga. Jadi, dalam kajian postkolonial,
perlu melihat representasi historis, dan rentetan akar peristiwa tersebut
kedunia ketiga (postkolonial). Kata “post” di sini perlu dimaknai luas, yaitu
“setelah” kolonial. Karya-karya setelah kolonial, yang mencerminkan
kolonialisme (lama dan modern) perlu dilihat menggunakan kacamata
postkolonial.
Karya-karya dunia ketiga, dapat saja hanya merupakan imperalis
karya sastra kolonial. Penjajahan masa kini, kemungkinan besar hanya
mimikri dari masa lalu. Maksudnya, konstruksi “penjajah” dan “terjajah”
selalu berkutat pada ihwal subordinasi. “penjajah” selalu duduk dalam posisi
subyek, arogan, superior, ingin menang, dan menguasai pada masyarakat
setepat (“terjajah”). Akibatnya, “terjajah” harus tunduk dalam segala hal,
bersikap meniru, mengikuti jejak, dan tidak berkreasi sama sekali. Jika hal-hal
demikian terungkap pada masa dunia ketiga ini, berarti kreasi penulis sekadar
salinan masa lalu. Menarik untuk dikaji dari aspek postkolonial, sebenarnya
ada apa di balik kehidupan “penjajah” dan “terjajah”?
Tegasnya, di dalam sastra selalu terjadi ketegangan-ketegangan
terus-menerus. Di satu pihak, ada gerakan yang ingin bertahan pada tradisi
kolonial, karena tidak semua warisan mereka jelek. Para penulis yang
demikian, biasanya lebih mendewakan sebuah hirarki dan subordinasi
kekuasaan. Kekuasaan selalu terbagi, bahwa penguasa lebih dominan dan
bawahan selalu lemah. Di lain pihak, ada juga penulis yang berusaha lari dari
tradisi kolonial dan kekinian. Keadaan ini, jelas memerlukan kajian
postkolonialisme untuk melihat lebih jauh.
Tegangan masyarakat sastra postkolonial terus berjalan, sampai
kapan tidak jelas. Masyarakat semacam itu sedang dalam proses., sehingga
berada dalam kebimbangan. Seperti Armijn Pane (1993) telah menyebut
dirinya berada dalam zaman kebimbangan. Begitu pula R. Ng.
Ranggawarsita, menyebutnya tengah mengalami zaman edan, sebuah zaman
yang serba repot. Sedangkan Sutan Taksdir Alisyahbana, berkali-kali selalu
ingin berada di era kekinian yang bernuansa barat. Keberadaan semacam itu,
merujuk pada situasi ilminal masyarakat sastra yang tidak pernah mapan.
Apalagi, jika disadari bahwa dalam segala hal “penjajah” selalu ada. Tidak
pernah habis, dan “terjajah” pun merasa tertindas terus-menerus, kajian
postkolonial menjadi sangat penting artinya.
Masyarakat sastra sendiri, selamanya akan merasa “terjajah”. Mereka
sadar atau tidak terus digulirkan oleh situasi yang memaksa untuk mundur
atau maju. Kehadiran penulis-penulis yang gemar pulang kandang, mengakar
pada etnis tertentu, juga menyuguhkan fenomena tersendiri. Subagio
Sastrowardoyo, Linus Suryadi AG, Ahmad Tohari dan sebagainya akhirnya
sering bimbang mengikuti riak zaman dan sesekali menyuarakan tradisi
subkultural jawa.

3. Teori Postkolonialisme: Mimikri dan Hibriditas


Kunci filosofis kajian postkolonial adalah kenangan. Peneliti
hendaknya terbiasa mengenang masa silam. Manusia, pada dasarnya memiliki
daya memori yang luar biasa. Masa lalu yaitu ketika kolonialisme jaya dan
berkembang. Fungsi kenangan, menurut Bhaba (Gandhi, 2001:14 dalam
Endraswara 2006”179) ada dua hal. Pertama, sebagai penggalian yang lebih
sederhana atas ingatan-ingatan yang tidak mengenakkan, berupaya
mengungkap kekerasan kolonialisasi yang melimpah dan masih tersisa.
Kedua, untuk menciptakan masa lalu yang bermusuhan kea rah pendamaian.
Agar masa lalu yang antagonis semakin ramah.
Karya sastra kemungkinan besar merefleksikan dua hal yang
bertolak belakan di masa kolonial. Yakni, pertama, terjadinya simbiosis antara
kaum pemjajah dan terjajah. Kerjasama yang baik antara keduanya, sering kali
telah menciptakan system kehidupan yang baru. Dalam hal ini, tidak ada
kritik-kritik di antara mereka karena semua perilaku dibungkus oleh sikap
saling pengertian. Kedua, kedua sikap tersebut, akan menjadi titik tolok
pengarang dalam mengekspresikan gagasannya. Sebagai pengarang, tentu saja
bebas berpihak pada sikap mana saja. Hal ini menjadi tugas peneliti untuk
menangkap keberpihakan seorang penulis sastra.
Dari penjelasan demikian, dapat dikemukakan beberapa hal yang
layak diteliti oleh peneliti sastra postcolonial, yaitu:
1. Mengkaji refleksi sejarah kolonial tentang penjajahan dan penaklukan
fisik. Selalu terjadi penindasan karya sastra yang memuat perjuangan
kedudukan, keadilan, hukum, dan sebagainya.
2. Mengkaji refleksi ideologi, sebagai bentuk penaklukan pemikiran dan
setia kepada penjajah.
3. Mengkaji hegemoni kekuasaan penjajah terhadap terjajah. Penjajah
biasanya memposisikan sebagai majikan, senang memerintah, dan
terjajah menjadi bawahan (abdi). Karya sastra yang memuat
perjuangan semacam ini cukup banyak sehingga selalu terjadi
penindasan secara diam-diam.
4. Mengkaji hegemoni dari aspek gender. Biasanya kaum laki-laki
penjajah, memperlakukan wanita terjajah sebagai obyek pemuas
seksual.
Dari berbagai masalah tersebut, tampak bahwa kajian postkolonialisme
lebih mencoba membandingkan dua kubuh penjajah dan terjajah. Kajian hanya
bisa dipahami melalui studi historis karya sastra. Perjuangan kedua kubu itu
menurut Hegel selalu menyisakan hubungan tuan dan budak. Hubungan keduanya
amat rumit, bahkan sering terjadi kekerasan fisik dan psikis.
Dalam pandangan sastra postkolonial (Gandhi, 2001:189-220 dalam
Endraswara, 2006:180) selalu mengungkapkan produk sosial politik. Sastra adalah
tanggapan mengenai penindasan dan penyembuhan. Tekstual adalah endemik
terhadap pertempuran kolonial. Hubungan antara imperial mungkin telah
ditntukan oleh senjata. Kajian postkolonialisme semacam ini sering diperhalus
oleh estetika sastra. Hanya sebagian kecil sastrawan yang cukup berani dan pedas
menyuarakan kolonialisme. Itulah sebabnya sering terjadi mimikri kolonial.
Mimikri juga telah memoles paham kolonial dan antikolonial menjadi semakin
rumit. Mimikri telah menjadi slogan postkolonial. Konsensus muncul dalam
pandangan sastra kolonial bahwa penulis antikolonial yang paling radikal disebut
“mimic men” (orang mimikri).
Teori sastra postkolonial biasanya jarang menghargai nasionalisme.
Hibriditas penulis antikolonial menunjukkan bahwa tidak mungkin menciptakan
formasi-formasi nasional atau regional yang benar-benar bebas dari implikasi
sejarah. Lepas dari ketidakmurnian pengaruh-pengaruh budayanya, penulis
antikolonial menderita aleniasi (pengasingan) budaya yang mewabah pada elit
nasional pada umumnya. Teori sastra postcolonial selalu mencoba mencari
naratifnya yang mengonter antikolonial dalam bentuk tulisan.
Teori sastra postcolonial diam-diam telah memipin proses politisasi
awalnya dari sisi materialism budaya. Namun, pada tekstual berikutnya memulai
untuk mengungkap geneologi teoritis atau kritis yang memerlukan beberapa
elaborasi. Dalam hal ini, dekonstruksi merupakan pendahuluan yang cepat dan
jelas bagi masa postkolonial ke masa tekstualitas. Dekonstruksi berdiri memimpin
pengelakan politik yang mengganggu pendukungnya. Jadi, diakui atau tidak,
postcolonial telah menerima warisan ambivalensi. Di satu sisi, ia
mempertahankan energy radikal penulisan, dan pada sisi lain ia menyaratkan
kebiasaan menanamkan teks-teks dengan nilai-nilai yang tidak dapat dipenuhi
dalam kenyataan.
Pemahaman sastra lewat postkolonialisme, sedikit banyak juga
dipengaruhi oleh New criticism yang gemar pada romantikan kata-kata. Dalil
romantisme telah dianggap sebagai momen asli, dari politik tekstual memang
sangat tepat. Karena dalam obsesi tekstual dari teori sastra postcolonial bisa
diketahui gejala pertama dari sebuah proses di mana kebudayaan metropolitan
mendapatkan sebuah pengaruh romantic yang khusus dalam kesusastraan
postkolonial dan juga para penulis migrannya. Teks-teks dan penulisannya
(romantisme) dianggap mempunyai daya dan nilai-nilai yang kurang
dibandingkan dengan dunia postkolonial. Dan nilai-nilai ini, sebagaimana telah
diketahui, merupakan konsep hibriditas.
Secara sepintas, wacan hibridanisasi menjadi semacam rasionalisasi politik
kesalahan dari pilihan bacaan. Dan masih dalam usaha menjadikan penulis
kosmopolitan atau migrant mewakili dunia ketiga, teori sastra postkolonial
menjadi prekriptif (petunjuk) yang berbahaya. Karena itu, isi buku The Empire
Writes Back menandakan tanda instruktif untuk menuju bentuk sastra postkolonial
yang lebih sesuai. Dalam buku tersebut ditemukan imperative (perintah) sebagai
berikut:
a. Semua karya sastra postkolonial adalah cost-cultural;

b. Teks-teks postkolonial selalu merupakan sebuah bentuk kompleks dan


bercampur;
c. Kolonialisme mengarah pada budaya hibridinisasi;
d. Tidak mungkin bisa kembali pada budaya kolonial secara utuh.

4. Membaca sebuah Post-kolonial dari Elizabeth Bishoprs "Brasil, Januari l,


1502"
Puisi Bishops adalah tentang penaklukan Portugis Brasil, penaklukan
sebuah Karakter yang rapaciously seksual akhirnya mengakibatkan di dekat
penghapusan penduduk pribumi. Puisi ini juga tentang bagaimana Budaya Eropa
mendorong imperialisme tersebut. Dalam sebuah gerakan ditemukan di tempat
lain dalam karya Uskup, ia harfiah metafora, bahwa yang akan membandingkan
alami pemandangan untuk permadani. Dia memilih sebagai frase prasasti nya dari
Kenneth Clark kritik seni " Sifat bordir pemandangan permadani" dan dia
menganggap sikap seseorang mempelajari permadani menggambarkan Brasil
waktu penaklukan Eropa dari sudut pandang dari penjajah portugis. Puisi Dengan
demikian mengambil keberangkatan dari familiar Uskup keprihatinan jala dengan
representasi dan realitas (atau representasi yang keliru untuk sebuah realitas) dan
menimbulkan kekhawatiran bahwa arah kritik dari eropa yang dibawa ke dunia
baru gambar budaya yang melegitimasi kekerasan subordinasi dari orang pribumi.
Itu asimilasi dunia lain dan orang lain untuk kategori pemahaman sendiri (dalam
hal ini, estetis dan kategori moral) adalah dibandingkan dengan upaya untuk
mengasimilasi orang lain satu, sendiri etnis kelompok melalui penaklukan
seksual.
Judul membuat jelas bahwa topik Ukup adalah suatu peristiwa sejarah,
conquest dari Brazil oleh Portugal, namun prasasti itu menggarisbawahi minatnya
dalam bagaimana menengahi representasi baik pengetahuan kita tentang realitas
tersebut dan mereka realitas itu sendiri. Kami tahu sejarah hanya sebagai
representasi (maka sikap melihat permadani bukan peristiwa sebenarnya "), tetapi
Portugis sendiri dirasakan masyarakat adat melalui lensa yang berwarna sendiri
oleh representasi dipelajari dalam budaya mereka sendiri yang mereka bawa ke
dunia baru. Hal perwakilan melekat dalam pengalaman kami, dan pembuatan
("bordir", permadani. ") adalah mengetahui bagian dunia. Jika kita selalu tahu
melalui sebelumnya dirumuskan konsepsi, kemudian mengetahui adalah sulit
untuk memisahkan dari seni. Tidak hanya adalah bentang lahan seperti permadani,
tetapi juga pengetahuan kita adalah itu jenis permadani, gambar pada jarak yang
berdiri hal antara dan kami. melihat hal adalah mencari gambar hal. Ini atau
kesulitan masalah pengetahuan bergerak seorang penulis seperti Uskup untuk
mencurahkan perhatian sebanyak dan hati-hati karena dia tidak untuk deskripsi
yang tepat dari obiects, sebuah bahwa tugas, dalam terang irnperialist usaha dia
menjelaskan dalam puisi, mengambil relevansi politik itu mungkin sebaliknya
tampak kekurangan. Tapi juga memungkinkan untuk mengambil gambar
penakluk untuk hal-hal dan kesalahan konsepsi mereka sendiri untuk realitas.
Hasilnya adalah kekerasan terhadap orang lain dalam penaklukan imperialis yang
dilakukan atas nama dari konsepsi Kristen tentang dunia.
Uskup dimulai dengan menyandingkan hadirnya masa lalu. “Januari”
sehingga pengalaman sendiri segera dibandingkan dengan pengalaman dari Eropa
penakluk. Tapi kesamaan pengalaman tidak sederhana, dan Uskup segera
mempersulit apa yang ia tampaknya menegaskan: menyapa Alam, mata kita /
persis seperti dia pasti menyambut mereka, salah satu awalnya mungkin berpikir
bahwa Uskup adalah menunjukkan bagaimana alam tidak berubah sejak Eropa
penaklukan pada 1502, tapi dia mengkapitalisasi "Alam" seolah-olah itu bukan
sifat. namun Alam sebagai lambang alegoris bahwa dia dalam pikiran. Pada saat
penaklukan, bentuk seni Eropa seperti permadani yang ditandai dengan alegori,
modus representasi yang diganti lambang atau perwakilan- internasional angka-
angka untuk ide-ide atau hal-hal. "Alam" mungkin diwakili oleh lambing suka
pohon atau bunga, sementara karakter mulia dan kuat tampak di baju besi
mungkin berdiri untuk "kebajikan." Dalam memperbandingkan fashion, alam
dianggap sendiri simbolik. Ilmu keagamaan terutama terwujud dalam alam, dan
benda-benda natural bisa ditafsirkan sebagai tanda-tanda kualitas moral atau niat
ilahi, Dengan memanfaatkan Alam, Uskup menunjukkan bahwa orang Eropa yang
dihadapi di Brazil adalah alam sudah dialegorikan, berubah menjadi salah satu
mereka sendiri cara membayangkan dunia sebagai tempat yang penuh makna.
Itu Bishop menggambarkan dunia seolah-olah itu adalah permadani yang
mewakili Brasil pada saat penaklukan menambahkan arti lain untuk mengikat
ganda. temporalitas Bahasa Dari 'Januaries" dan" persis seperti " masa lalu itu
ditangkap dan diselenggarakan dalam citra permadani, kami kini bisa melihat apa
yang mereka melihat di masa lalu dengan melihat gambar. karena menunjukkan
bagaimana mereka melihat alam. Tetapi makna mengalir dalam arah berlawanan
serta apa yang mereka melihat tidak digambarkan, melainkan itu adalah gambar.
Dengan melihat gambar, kita melihat apa yang mereka lihat. Baris ketiga
mengatakan dalam hal ini: "setiap inci persegi lilling dengan dedaunan "Tidak ada
yang tidak perwakilan, alam itu sendiri menjadi canno dilihat dan digenggam,
melainkan, "Alam" diwakili oleh, daun besar, daun kecil, dan raksasa daun,"
berlebihan yang dan menyarankan perwakilan multiplisitas", melenyapkan apa
yang alam mungkin, Ukup. deskripsi ini Of colors "biru, biru-hijau, dan zaitun"
lebih lanjut jarak yang alami dan menggarisbawahi bagaimana perwakilan
permukaan dengan logis mereka dan nonrealistik pilihan warna menempati
perhatian. Pilihan “satin" Dalam baik menekankan betapa kultural alam ini
adalah, seberapa banyak expression dari beradab kode dan cita-cita. Sebuah rasa
dari ilmiahan dari “Alam” adalah lebih ditekankan dalam sisa bait sampai Uskup
menyimpulkan dengan membuat tema dari kelicinan persepsi imperial explisit.
Sifat digambarkan ke permadani nafsu, diambil dari bingkai tersebut."
Uskup dengan tegas di bait kedua lebih terlibat alegori tersebut karakter
dari representasi. Roda rusak, lambang ketidakhadiran atau kegagalan peradaban,
mengusulkan bahwa Alam adalah tahan terhadap wilayah kekaisaran domestikasi,
sebuah kekusaan yang kekuasaannya ditandai dengan “burung simbolis yang
besar.” Sekarang menjadi jelas bahwa alam, ditumbuhi adalah para penakluk
Kristen sebuah lambing sexual godaan moral yang akhir pelanggaran. Catatan
Ukup. Lima jelaga naga dekat beberapa batu berantakan "yang dimaksudkan
untuk mewakili “Sin.” Tapi mengapa mereka dosa bukanlah sekaligus jelas,
Uskup meninggalkan atribusi berarti dibenarkan, sehingga menggarisbawahi
karakter alegoris nya. Alegori tidak memerlukan definisi penyediaan karena
mereka representasional bentuk yang kode atau kamus yang sudah dipahami oleh
penonton mereka. Setiap Portugies berbudaya melihat “gambar” dari
pemandangan tersebut akan memahami naga sebagai lambang “Dosa.”
Uskup menggambarkan alam pada sekali keluar dari kendali dan “rapi",
Ini adalah perang dalam dirinya sendiri "tumpang tindih" "menyerang di atas,"
dan “skala-tangga anggur.” Perang antara pertumbuhan alami seperti lumut yang
menciptakan, “Abu-abu ledakan moonburst” suka dan tanaman merambat yang
“miring dan rapi” dan yang memungkinkan penghitungan mudah Mora ini ya dan
tidak ada di bahasa dari penakluk "'satu daun ya dan tidak ada satu daun' (dalam
bahasa Portugis).” neraka api hijau" dari lumut menyarankan kristen dari ilahi
hukuman atas dosa, namun penggunaan Uskup tentang kata “indah” untuk
menggambarkan mereka mengisyaratkan dia rasa sangat berbeda sendiri dari apa
yang seperti alam perihal mungkin berarti. Dengan menyandingkan dia, sebuah
istilah yang biasanya membangkitkan warna merah, dan hijau, warna
pertumbuhan natural, Uskup membuat yang Moral kategori teologis Kristen yang
muncul dalam penugasan makna moral yang "Dosa” ke objek alami tampak
tambahan sesat dengan alam, sebuah usaha di perubahan warna yang distortif
seperti perasaan sedih aneh dan orang kudus bait sebelumnya. Tapi merah ada
juga di bait itu menyimpulkan deskripsi dari 'naga hasrat seksual lebih dari kadal
betina. Untuk agam kristen, seks adalah dosa, namun Uskup membuat sulit seperti
moral yang kategorisasi oleh kata menggunakan kata "jahat” kata kedua kutukan
moral dan pinggul pasca-moralistik persetujuan untuk ciri seksualitas perempuan
itu “her wicked tail straight up and over.” Dan garis “merah sebagai kabel merah-
panas" menunjukkan sesuatu yang positif bukan sesuatu yang layak pertimbangan
moral yang negatif.
Salah satu tujuan teologi kristen adalah untuk memungkinkan orang
percaya berdiri di atas dengan alam, untuk memisahkan diri dari godaan hasrat
seksual terletak di tubuh alam. Dengan menggambarkan seperti itu kategori
seolah-olah mereka berada dalam permadani, Uskup juga menyarankan bahwa
kategori tersebut adalah berseni representasi dari dunia yang dikodekan dalam
beberapa cara-(dosa untuk seks, kebajikan untuk penaklukan). Deskripsinya untuk
alam, bagaimanapun, menunjukkan bahwa terdiri dari pasukan kuat, seksualitas di
antara mereka, bahwa 1 jam untuk membanjiri guardrails kategoris tersebut.
Seksualitas jika memang adalah alam, dan jika alam adalah dari keliaran yang
tidak mudah ditolak atau dikontrol, maka moral categorizers akan diri mereka
rentan untuk kekuatannya.
Inilah Uskup berpendapat di bait final. Setelah menggambarkan keinginan
naga seksual untuk kadal perempuan, katanya “Sehingga hanya Kristen.” Dan dia
menambahkan apa yang mungkin penilaian sendiri dari mereka keras.
Karakterisasi yang penting ditegaskan oleh Ukup anggapan dari kelezatan dengan
alam bertentangan dengan kekerasan Kristen sebuah web sederhana,"Detail
berbulu," "berkulit gelap, jongkok, tapi halus" dll. Alam adalah kompleks
bervariasi sementara teologi keristen memaksakan pada itu perbedaan moral yang
keras seperti sebagai "dosa." Komparatif proporsi angka-angka di-imajiner
permadani memungkinkan Uskup untuk mencampur penilaian dan deskripsi
ketika dia mencirikan Kristen sebagai kecil seperti paku. Di alam dan
dibandingkan dengan alam, mereka kecil, tetapi mereka "menemukan itu semua."
suatu formulasi yang menunjukkan bagaimana jumlahkan gambar rnoral alegoris
bahwa orang Kristen dicat dunia adalah tidak ada ruang kosong, tidak ada
terhitung-untuk bagian 'tidak belum pernah dimanfaatkan sebelumnya dan yang
dalam diasimilasikan obyek alam. Semua dapat diserap dan disesuaikan dengan
grid, positif / negatif iya atau tidak oleh christian Moral kategori. Inilah sebabnya
mengapa dunia itu ditemukan di Brasil tidak asing.Ini cocok menjadi kode
alegoris sudah dirumuskan untuk memahami orang Eropa membawa bersama
mereka pada kapal mereka dan pikiran mereka.
Namun, Uskup mencatat secara hati-hati, yang bertemu dunia tidak pada
kenyataannya sesuai dengan gambar Eropa Alam: "tidak ada pecinta berjalan,
tidak ada Bowers / tidak ceri untuk diambil, tidak ada musik print rute cetak
"Untuk itu, Eropa 1502 alam dikenal. melalui permadani dan lukisan adalah
pastoral, tempat Bowers dan gembala lutes. Uskup suggests bahwa mereka tidak
bisa mengerti Baru dunia justru karena seperti pra-instal kategori, portable gambar
dunia. Melakukan dunia, tidak sesuai dengan alegoris mereka rnode representasi
moral, namun untuk alasan itu, itu harus dipaksa untuk sesuai. Dengan
memasukkan "ceri untuk terpilih,” seorang bahasa sehari-hari kasar ter- untuk
pecahnya selaput dara pertama di persetubuhan seksual, Uskup merongrong
pastoral citra dan romantis idealisme seni alegoris Eropa dengan mencatat fisik
alam fisik itu masker, sebuah fisik yang seringai menyinggung ketika ia
menunjukkan bahwa eropa, namun ditemukan di Brazil sesuatu yang berhubungan
dengan mimpi mereka, “dari kekayaan dan kemewahan,” prus kesenangan baru."
Kesenangan itu adalah memperkosa perempuan India. Itu kemunafikan
memperkosa perempuan pribumi, sementara berpura-pura membawa mereka
christian salvarion ditangkap di baris “langsung setelah massa.” Tentara Kristen
itu dijelaskan sebagai merobek “ke dalam kain menggantung,” sebagai merobek
gambar Moral atau permadani dunia mereka bawa, sehingga mengkhianati cita-
cita moral mereka sendiri. Tapi permadani juga menyarankan cara yang mereka
pegang dunia, terjemahan mereka ke dalam mereka sendiri Kode, itu sendiri
merupakan pelanggaran dari dunia itu, penghancuran apa yang membuatnya indah
atau sebanding dengan permadani.
Pentingnya sengaja kebingungan Uskup dari representasional dan nyata,
gambar dan gambar dunia, sekarang menjadi lebih jelas. Jika "kain menggantung"
adalah gambaran dunia Eropa membawa dengan mereka, juga dunia alam sebagai
seni, sebagai sesuatu yang ditandai dengan halus kerja dan keindahan. Hal ini
berasimilasi ke Eropa imajiner permadani itu adalah kesempatan puisi, tetapi ada
sebagai latar belakang untuk alegori moral Kristen temukan di alam, pengkodean
dari dosa sebagai perempuan seksualitas, misalnya. Itu keserbalainan dapat
diminimalkan alam, outsideness nya dalam hubungannya dengan semua
representasi budaya dan semua pemahaman kategori, terutama yang alegoris
orang Eropa menaklukkan, meninggalkan jejak nya atau menandai pada mereka
representasi. Unassimilable, namun tampak seperti obyek diinginkan belum
tercapai, kadal perempuan yang membangkitkan keinginan belum tetap di luar
jangkauan.
Pementasan hati ini, makna bervariasi silang memungkinkan Uskup dalam
dan untuk mempertahankan pembukaan melawan kekerasan kekaisaran. Para
wanita India memanggil satu sama lain, memecah keheningan permadani dan
berpose tandingan ke alegori moral Kristen yang Uskup sekarang membayangkan
sedang berubah "atau burung-burung telah terbangun?" Jika alegoris Kristen
memaksakan diam sehingga makna yang sangat dikodifikasi yang visual, yang
sebanding dengan spesies menulis di signifikansi yang ditentukan oleh mengacu
pada sesuatu yang lain, dapat disimpan dominan, ekspresi lisan kemudian
mengambil makna radikal bangun pulas terjajah masyarakat yang telah
dibungkam menjadi tunduk kepada orang Kristen pandangan dunia.
Para wanita juga, tentu saja, membentuk kelompok perlawanan, sebuah
subjektivitas tahan terhadap pemahaman objektifikasi dari permadani kolonial dan
representasi. Subjektivitas yang muncul sebagai kemungkinan bahwa latar
belakang untuk alegori, burung itu, misalnya, yang pasif menjabat sebagai
kendaraan untuk makna dari dunia Kristen, tiba-tiba mungkin meledak ke dalam
kehidupan, berhenti menjadi kendaraan diam. Bahwa perempuan digambarkan
sebagai "Mundur, selalu mundur" menunjukkan bahwa strategi yang tepat dari
perlawanan dalam menghadapi visi alegorisasi lebih kuat adalah untuk
mengurangi diri dari alegori, untuk melangkah keluar dari gambar moral
imperialis 'dari dunia, dan untuk pergi "di belakangnya." Karena perumpamaan itu
adalah satu keseluruhan, resistensi harus berada di luar gambar, melainkan harus
terdiri dari penolakan yang sangat bertindak dari pemahaman dan representasi
orang Eropa membawa bersama mereka. Itu masyarakat adat akan selalu untuk
Eropa akan unrepresentable, unassimilable ke moral alegoris moral representasi
atau menggambarkaan yang baru cocok pengalaman, benda, dan peristiwa dalam
mode yang sudah dikodifikasikan pengertian. Dalam diri mereka, sebagai subyek
tahan, Mereka hanya dapat eksis luar atau "belakang."
Uskup menggambarkan imajinasi kekaisaran sebagai salah satu yang
terjebak dalam sendiri prasangka dan harapan dan yang tidak mampu pemahaman
yang dunia dalam hal lainnya. Ini juga merupakan imajinasi moral yang asumsi
tampaknya untuk membuat kemunafikan tak terelakkan. Sebagai makhluk fisik
kaum imperialis Kristen mendiami keinginan alam seksual, namun dengan kiasan
mewakili keinginan tersebut sebagai dosa dan berpura-pura menghuni gambaran
moral dunia yang mengasumsikan kebajikan mereka sendiri dan kebejatan orang
lain ', mereka membiarkan diri mereka terbuka untuk signifikan kegagalan moral
bahwa imperialisme seksual yang dilakukan dalam nama superioritas peradaban
Eropa Kristen. Bagi Uskup, Eropa penaklukan Brazil merupakan kelanjutan
dalam pelanggaran seksual eksplisit implisit kekerasan seksual tradisi laki-laki
Eropa Renaisans sastra dan seni dari cinta romantis, yang pusat narasi adalah
penaklukan laki-laki dari perempuan ("ceri untuk diambil"). Uskup referensi
untuk "lovers 'jalan-jalan" dan "bowers,” mungkin tampak jauh dari isu
imperialisme militer. Tapi dengan menghubungkan bahwa tradisi budaya romantis
ke "mimpi lama kekayaan dan kemewahan," dia menciptakan hubungan antara
bentuk sastra / seni dan kontrol laki-laki terhadap sisial kekayaan dan kekuasaan.
Penaklukan perempuan dalam kedok narasi romantis merupakan bagian mewah
yang dimungkinkan untuk pria dengan kekayaan. Hal ini untuk alasan-alasan yang
Uskup hati-hati disandingkan "kekayaan, ditambah kesenangan baru." Puisi
menunjukkan bahwa kekuatan ekonomi cohabits dengan kekuatan seksual, dan
cara pencarian imperial untuk kekayaan itu siam dengan eksploitasi seksual asli
Pertanda hanya berlanjut koneksi sudah mapan di masyarakat Eropa pada saat itu,
sambungan dibuat eksplisit dalam karya seni seperti permadani yang token
kekayaan dan kemewahan dan bahwa tema romantis yang sering digambarkan.
Menggambarkaan romantis seperti menutupi fisik seksual yang mendasari
penggambaran, dan pembuatan tersebut, sebuah Puisi seperti "Brazil" 'tampaknya
menunjukkan' hanya memungkinkan Eropa untuk membohongi diri mereka
sendiri tentang motif mereka yang paling intim.

5. Bacaan Studi Etnis Elizabeth Uskup "Faustina, atau Rock Roses"

Uskup menulis sejumlah puisi yang berhubungan dengan etnisitas. Dua


dari mereka “Cootchie” dan “Faustina” keprihatinan hitam wanita hamba.
Nyanyian untuk Penyanyi berwarna, "membayangkan seorang Uskup puisi
sebagai lagu blues Billie Holliday untuk, dapat dibaca dibandingkan untuk "buah
Aneh" sebuah lagu tentang Holliday menggantung. Meskipun tinggal di Brazil,
Uskup menulis puisi tentang several miskin kulit hitam, termasuk "The Burglar
Babel," dakwaan dari Brazilian militer, dan "perambah Anak."
Anda mungkin fokus pada “Faustine," sebuah puisi yang menyangkut
kunjungan oleh speaker puisi ke perempuan putih sakit yang cenderung oleh
pembantu hitam bernama Faustina. Mulai dengan cara kamar perempuan kulit
putih yang dijelaskan dan perhatian! bagaimana Uskup menimbulkan penjelasan
terhadap psikologis dan sosial arti - misalnya, bola yang "mengkhianati kita
semua." Perhatikan dengan baik warna berperan, putih terutama. Mengingat
penekanan pada keputihan, itu lihat menarik ketika Faustina muncul dia
dijelaskan sebagai memiliki "jahat Bahkan jenis "yang” menyajikan "teka-teki
hitam / bertepatan kejam 'Apa Menurut Anda Uskup berarti dengan ini? Dia
melanjutkan dengan mengatakan bahwa teka-teki menimbulkan pilihan antara
interpretasi "mimpi perlindungan dan istirahat" dan mimpi buruk "yang tidak
pernah sebelumnya berani terakhir / lebih dari satu detik." Apa mimpi mungkin
Uskup akan menyinggung?

6. Bacaan Studi Etnis The Bluest Eye


Ideologi ras memungkinkan orang untuk membedakan diri dari orang lain '
bahkan dalam kelompok etnis yang sama seharusnya. Anda mungkin
mempertimbangkan bagaimana Novel berurusan dengan isu-isu tersebut. Pikirkan
karakter Geraldine dan Maureen Peel dan bagaimana mereka membedakan diri
dari Claudia, Frieda, dan Pecola. Apakah l horrison menjelaskan mengapa mereka
melakukan hal ini?
Tanda etnis jelas bisa berbahaya. Pecola menderita sebagian besar dari
tanda etnis, sementara Claudia tampaknya bertekad untuk mengubah mereka
meaning dan Pauline menyesuaikan dirinya kepada mereka. Pertimbangkan
bagaimana Morrison membedakan tiga karakter dan hubungan mereka yang
berbeda dengan mereka etnis identitas.
Mempertimbangkan berikut dari bagian akhir novel: "A little black Gadis
merindukan untuk mata biru gadis putih kecil, dan horor di hati dari yeerning dia
adalah hanya melebihi oleh kejahatan pemenuhan "Morrison.” Tampaknya akan
menyarankan orang kulit hitam bahwa tidak boleh membiarkan budaya putih
dominan mereka script identitas. Pada akhir dari tahun 1960-an, ketika novel itu
ditulis, kulit hitam banyak adalah melawan citra negatif putih yang dominan
kebudayaan ini dari kulit hitam dengan menegaskan lebih positif dan
memungkinkan gambar dalam kebanggaan hitam gerakan.
DAFTAR PUSTAKA
Endraswara, Suwardi. 2006. Metodologi Penelitian Sastra: Epistemologi Model
Teori dan Aplikasi. Yogyakarta: Pustaka Widyatama. Hlm 176-179

Faruk.2007.Belenggu Pasca Kolonial.Yogyakarta. Pustaka Pelajar.

Ryan, Michael. 1999. Literary Theory: A Practical introduction. Blackwell


Publishing. Hlm 147-155

Ryan, Michael. 2005. Teori Sastra sebagai Pengantar Praktis. Yogyakarta:


Jalasutra. Hlm 265-290.

Anda mungkin juga menyukai