Anda di halaman 1dari 5

BAB 4

PROSES PEMATANGAN DIRI DI RUMAH


COKROAMINOTO

Tatkala Soekarno di Surabaya dan belajar di HBS, beliau


kost di rumah Cokroaminoto. Soekarno mulai berkenalan dengan
dunia politik dan pergerakan. HOS. Cokroaminoto yang Ketua
PSII, wajar senantiasa dikunjungi oleh tokoh-tokoh pergerakan
seperti Semaun, Darsono, dr. Setiabudi, selain tokoh-tokoh dari
kalangan PSII sendiri. Soekarno berusaha turut mendengarkan
pembicaraan tokoh-tokoh politik itu. Soekarno juga banyak
membaca, termasuk buku-buku sosial-politik, selain buku
pelajaran sekolah. Maka dapat dikatakan, selama tinggal di rumah
Cokroaminoto, Soekarno menjalani beberapa tahap
penggemblengan.
Pertama, sebagai anak harapan keluarga, Soekarno
tergembleng untuk memenuhi harapan ibu Bapaknya dan
keluarga lainnya, agar dapat berbuat demi kepentingan bangsa,
seperti yang selalu diutarakan Bapak Soekemi dan Ibu Idayu.
Kedua, sebagai anak yang berasal dari keluarga yang
kurang mampu, Soekarno sering menyaksikan kenyataan yang
berisi kehampaan dan kemelaratan.1 Soekarno merasa kesepian
ketika kost di rumah Cokro, karena kasih sayang yang selalu
didapatnya dari Sang Ibu, tidak diperolehnya dari keluarga Pak
Cokro. Sebagai kompensasinya Soekarno mencari cara lain, yang
dirasa bisa membawa ketenangan jiwa. Rasa ketenangan itu
ditemukannya dalam perpustakaan, di mana Dia dapat bertemu
dalam dunia pemikiran dengan tokoh tokoh dunia, melalui buku–
buku mereka seperti yang dikemukakannya:
“Akupun berbicara dengan Gladstone dari Britania, dengan Sidney
dan Beatrice Webb yang mendirikan gerakan buruh Inggris, Aku
berhadapan dengan Mazzini, Cavour dan Garibaldy dari Italia, aku
berhadapan dengan Karl Marx, Frederich Engels dan Lenin dari

1 Ibid.Hal, 35.
Rusia dan aku ngobrol deng Jean Jacques Roussea, Aristede Briand
dan Jean Jaures ahli Pidato terbesar dalam sejarah Perancis.” 2
Ketiga, sebagai pemuda yang tinggal di rumah tokoh
pemimpin gerakan yang cukup berpengaruh di masa itu, Soekarno
mempunyai kesempatan untuk bertemu dan mendengarkan para
tokoh pergerakan nasional itu berdiskusi. Soekarno
mendengarkan dan sekali–kali bisa berdialog dengan Alimin dan
Muso yang beraliran Marxis. Soekarno juga bertemu dengan dr.
Setiabudi, seorang keturunan Indo Belanda yang Nasionalis.
Perkenalan dengan para tamu Cokroaminoto dari berbagai aliran
politik dan ikut mendengarkan mereka berdiskusi, menyebabkan
Soekarno dari sejak usia muda sudah merasa cinta tanah air.
Setapak demi setapak rasa cinta tanah air menjiwai sikap
hidupnya dan berkobar menyala-nyala dan sangat menyadari
bahwa tidak ada alasan bagi pemuda Indonesia menikmati
kesenangan dengan melarikan diri kedalam dunia khayal. Apalagi
mengingat penghinaan anak–anak Belanda yang pernah
memanggilnya dengan sebutan Inlander.
Walau ia bisa mendengar para tokoh itu berdiskusi dan
malah ikut berdialog, namun pemuda Soekarno tidak merasa
puas. Soekarno merasa masih ada yang kurang dari aksi para
tokoh–tokoh tersebut. Sebab, menurut pendapat Soekarno, tidak
ada satupun dari cara–cara mereka itu yang dapat memenuhi
syarat agar dapat mencapai kemerdekaan Indonesia. Pemikiran
maupun cara kerja mereka dalam gerakan aksinya, tidak akan
mampu menyusun kekuatan untuk mencapai kemerdekaan
Indonesia. Menurut penilaian Soekarno, Islam yang diajukan oleh
tokoh–tokoh itu, tidak dapat mempersatukan semua potensi
Indonesia. Harapan rakyat yang begitu besar diberikan kepada
Cokroaminoto merupakan isyarat dari rakyat yang mengharapkan
Cokroaminoto dapat mewujudkan Kemerdekaan Indonesia. Akan
tetapi Soekarno melihat bahwa Cokroaminoto tidak mampu
merealisir harapan rakyat tersebut. Alasan pokok dari
ketidakmampuan itu, karena gaya Cokroaminoto memperjuangkan

2 Ibid Hal, 54.


kepentingan rakyat hanya dengan mosi–mosi kepada pemerintah
kolonial.
Soekarno tidak percaya bahwa perjuangan kemerdekaan
dapat tercapai dengan mosi, apalagi bekerja dengan pihak
penjajah. Sesungguhnya, Soekarno sudah sampai pula pada
strategi non-cooperatie dengan penjajah, walaupun pada saat itu
usianya baru tujuh belas tahun. Soekarno tidak percaya kepada
‘Janji November’ (November Beloften) yang diberikan oleh
Gubernur Jendral Graaf van Limburg Stiruum di tahun 1918.
Soekarno menilai janji itu sebagai alat untuk membelenggu
Bangsa Indonesia melalui janji–janji, yaitu janji akan memberikan
kesempatan Indonesia berparlemen. Janji itu hanyalah untuk
melunakan/melemahkan gerakan rakyat, karena Belanda sedang
menghadapi krisis oleh Perang Dunia Ke-1 (Tahun 1914 – 1918).
Soekarno sudah mendapat pelajaran (dari buku dan diskusi)
bahwa watak penjajah “tidak akan melepaskan kekuasaan dengan
sukarela”.
Marxisme bagi Soekarno, tidak dapat diandalkan untuk
menjadi dasar pemersatu bangsa. Menurut Soekarno, Marxisme
hanya dapat digunakan sebagai pisau analisa, tapi bukan sebagai
azas suatu pergerakan. Sementara masyarakat Indonesia yang
sangat religius, tidak akan dapat menerima falsafah Materialisme
dari Marxisme. Walaupun pada saat itu (1918) Soekarno mungkin
belum sampai kepada kesimpulan yang tegas mengenai
imperialisme, namun Soekarno telah mengetahui tentang sejarah
panjang imperialisme, terutama imperialisme Belanda di
Nusantara. Perjalanan hidup Soekarno sesungguhnya tidak
terlepas dari kondisi rakyat Indonesia yang sangat menderita
akibat penghisapan oleh sistim Imperialisme–Kolonialisme
Belanda.
Imperialisme Belanda itu bermula, dengan terhambatnya
perdagangan Belanda di Lisabon untuk mengambil rempah–
rempah dan barang dagangan lainnya yang datang dari Asia
Selatan, karena pada tahun 1580 Portugal di jajah oleh Spanyol
dan dijadikan satu, menjadi spanyol. Padahal pada waktu yang
bersamaan, Belanda juga sedang berperang melawan Spanyol.
Peristiwa ini menyebabkan Belanda harus mencari sendiri barang
dagangan dari negeri asalnya, yakni dari Asia Selatan. Perlu juga
diketahui bahwa pada tahun itu, Selat Bosporus pun sudah
dikuasai oleh Turki, sehingga tidak dapat dilalui oleh kapal–kapal
orang Eropa (permusuhan antara Eropa – Turki), sehingga kapal–
kapal negeri Eropa yang mau ke Asia harus melalui Pantai
Portugal dengan melewati Pantai Selatan Afrika. Itulah sebabnya
para pedagang Belanda, dengan empat buah kapal dibawah
pimpinan Cornelis de Houtman berlayar melalui pantai selatan
Portugal, melewati pantai selatan Afrika menuju Indonesia. Pada
tahun 1596, armada De Houtman tiba di Banten dan berusaha
memperoleh hak monopoli dagang dari Sultan Banten. Setelah
peristiwa ini, kapal–kapal Belanda makin banyak yang datang ke
Indonesia, sehingga lahir VOC (Vereenigde Oost Indische
Compagnie) yang memonopoli kekuasaan di Indonesia.
Selain kapal–kapal Belanda, datang juga Kapal Inggris,
Kapal Spanyol, Kapal Portugis ke wilayah Nusantara sehingga
persaingan di antara mereka tidak dapat terhindari. Para
pedagang Eropa ini, masing–masing membentuk kongsi dagang,
seperti Belanda membentuk VOC yang secara hukum
menjalankan sistem Merkantilisme (persatuan dagang yang
dilindungi oleh pemerintahannya masing–masing). Bentuk
perdagangan Merkantilisme di bawah rezim VOC bertahan sampai
tahun 1799, untuk kemudian dilanjuti langsung oleh Pemerintah
Hindia Belanda.
Soekarno, yang sejak tahun 1918 sudah berdialog
dengan tokoh–tokoh pergerakan kemudian merealisasikan
gagasannya ke dalam TRI KORO DARMO. Sebutan Tri Koro
Darmo yang berarti ‘Tiga Tujuan Suci” dengan maksud:
Kemerdekaan Politik, Kemerdekaan Ekonomi, Kemerdekaan
Sosial. Pada dasarnya Tri Koro Darmo adalah Organisasi sosial
bagi para pelajar seusia Soekarno.3 namun oleh Soekarno
organisasi ini diberi isi untuk kemerdekakan Rakyat Indonesia.

3 Ibid Hal, 57.


Soekarno memberikan Perhatian amat besar terhadap organisasi
ini, selain dia juga menulis di Koran Sarekat Islam “OETOESAN
HINDIA”, dengan nama samaran Bima.
Pada waktu diadakan Kongres Yong Java tahun 1920 di
Bandung, Soekarno mewakili Yong Java Surabaya dan untuk
pertama kalinya beliau menemukan istilah ‘Indonesia’. Kata
Indonesia tersebut digunakan sebagai nama Perusahaan Asuransi
Milik DR. Ratulangi, yang terletak di Jalan Braga.4
Kelak bersama–sama mahasiswa “Perhimpunan
Indonesia” yang belajar di Eropa, Soekarno merundingkan nama
Indonesia sebagai Bahasa Politik, yaitu nama satu bangsa di
wilayah Hindia Belanda. Konsep ini kemudian dimatangkan
dalam Kongres Pemuda II di Jakarta, yang melahirkan Sumpah
Pemuda 28 Oktober 1928.

4 Bung Karno dan Pemuda, Kumpulan Pidato Bung Karno di Hadapan Pemuda Pelajar,
Mahasiswa dan Sarjana tahun 1952 - 1956, (Jakarta. 1987) Hal, 202.

Anda mungkin juga menyukai