Anda di halaman 1dari 3

Judul resensi

Dibawah Bendera Revolusi

Identitas buku
Judul Buku : Dibawah Bendera Revolusi
Penulis : Ir. Soekarno
Tahun Terbit : 1965
Tebal Buku : 626 halaman

Pendahuluan
Dibawah Bendera Revolusi adalah buku karya presiden pertama Indonesia, Ir. Soekarno, yang
berisi kumpulan artikel, curahan pemikiran dan juga surat. Buku yang sangat tebal ini dimulai dengan
pemikiran beliau tentang Nasionalisme, Islamisme dan Marxisme. Menggunakan ejaan lama dan
sebagian tulisan dalam bahasa Belanda butuh usaha lebih untuk membalik lembar demi lembar
halamannya. Akan tetapi, ide, pemikiran beliau tentang persatuan bisa dengan jelas dirasakan.

Isi resensi
Gugatan dari Kaleng Rombeng demikianlah Majalah Tempo memberikan judul tulisan resensi
mengenai Soekarno, yang bagi bangsa Indonesia familiar dengan sebutan Bung Karno. sebuah
Panggilan yang menurutnya cukup mewakili semangat egalitarian jauh dari semangat feodalisme yang
mengungkung bangsanya, seperti halnya panggilan "che" di Amerika Latin. Berikut tulisan
sebagaimana hasil liputan Tempo:...BAGI Soekarno, kaleng rombeng berbau pesing adalah alat buang
hajat sekaligus sarana menuangkan pikiran. Di penjara Banceuy, Bandung, 1930, tiap malam lelaki itu
menjadikan kaleng itu sebagai meja sekaligus tadah buang hajat. Jika pagi tiba, ketika ia diizinkan
meninggalkan sel, dibawanya kaleng itu ke kamar mandi untuk dibersihkan. Setelah itu, dengan dilapisi
beberapa lembar kertas, ia pakai lagi sebagai meja untuk menulis.

Hampir setahun di Banceuy, berlembar-lembar tulisan lahir di atas kaleng pesing itu. Salah satunya
adalah pembelaan yang kemudian disebut “Indonesia Menggugat”.
Dalam pleidoinya itu, Soekarno berbicara tentang penderitaan rakyat setelah tiga setengah abad dihisap
koloni Belanda. Ia juga berbicara mengenai pendirian Partai Nasional Indonesia dan pergerakan yang
dipercayainya dapat membebaskan Indonesia dari kolonialisme dan imperialisme. Bahasanya lugas,
tapi nadanya menyala-nyala. Ketika membacanya dalam 19 kali persidangan di Jalan Landraad,
Bandung, gedung itu sesak oleh manusia. Naskah itu bahkan sempat diterbitkan dalam selusin bahasa
di dataran Eropa.

Soekarno ditahan setelah ditangkap di Yogyakarta, ketika akan mengikuti pertemuan politik
partainya di Solo. Hari itu, pagi 29 Desember 1929, setengah lusin polisi Indonesia yang dipimpin
inspektur Belanda mencokoknya atas nama Sri Ratu. Ditahan semalam di penjara Mergangsan,
Yogyakarta, Soekarno dan dua kawannya dibawa ke Banceuy, bui Bandung-penjara tingkat rendah,
kotor, dan berbau.

Divonis empat tahun penjara, Soekarno dibebaskan pada 31 Desember 1931. Gubernur Jenderal De
Graeff saat itu agaknya tak tahan atas kritik pedas terhadap putusan membui Soekarno. Tapi tiga tahun
kemudian Soekarno ditangkap lagi dan diasingkan ke Ende dan Bengkulu.

BANDUNG adalah tempat Soekarno muda membuat sejarahnya. Semula, ia hanya berniat kuliah
di Bandoeng Technische Hoogeschool-sekarang Institut Teknologi Bandung-mengambil jurusan
arsitektur. Tapi pergulatan batin dan pertemuannya dengan para tokoh di kota itu membuat Soekarno,
setelah lulus pada 1926, berbelok ke jalur politik. Sebelumnya ia pernah mendirikan biro konsultan
meski mandek karena tak ia urus.

Saat itu Soekarno sudah mendirikan Algemeene Studie Club di Bandung. Organisasi ini menjadi
cikal bakal Partai Nasionalis Indonesia (PNI), yang didirikannya bersama Mr Iskak, Dr Tjipto
Mangoenkoesoemo, Mr Boediardjo, dan Mr Soenarjo, pada 1927.

Kegiatan klub itu adalah mendiskusikan bacaan, terutama buku-buku “babon” berbahasa Belanda
yang dipinjam dari perpustakaan. Bergantian mereka membacanya lalu berdiskusi dan membuat
tulisan. Saat itu usia Soekarno baru 25 tahun. Ketika kawan-kawan seusianya sibuk bertemu kekasih,
Soekarno memilih tenggelam dalam Das Kapital. “Aku ingin menyelam, menyelam dalam dan lebih
dalam lagi,” katanya dalam buku otobiografinya yang ditulis Cindy Adams, Bung Karno, Penyambung
Lidah Rakyat Indonesia. Klub ini lalu kebanjiran peminat dan tumbuh menjamur di berbagai kota.
Belakangan Soekarno dan kawan-kawan pada 1926 menerbitkan majalah Suluh Indonesia sebagai
sarana mensosialisasikan pikiran mereka. -Soekarno dan juga orang-orang sejamannya penuh kesadaran
dalam memanfaatkan media, dan terbukti ia pun sebagai bagian dari aktifitas pers perjuangan kala itu,
baik sebagai pendiri maupun pewartanya- (*tambahan dan saya: pen).

Artikel pertama ditulis oleh Soekarno sendiri. Judulnya, Nasionalisme, Islamisme dan Marxisme.
Isinya tentang konflik antara Serikat Islam Putih pimpinan Agus Salim dan Serikat Islam Merah
(Sarekat Rakyat) pimpinan Semaun dkk.

Soekarno melihat, pertikaian politik antarkelompok justru menghambat perjuangan melawan


kolonialisme dan imperialisme Belanda. “Tetapi kita yakin, bahwa dengan terang-benderang
menunjukkan, kemauan kita menjadi satu. Kita yakin, bahwa pemimpin Indonesia semuanya insaf,
persatuanlah yang membawa kita ke arah kebesaran dan kemerdekaan,” demikian Soekarno menulis.
Sikap politik Soekarno muda terbangun di rumah pendiri Syarikat Islam, H.O.S. Tjokroaminoto-kawan
karib ayah Karno di Surabaya.

Soekarno muda dititipkan di rumah tokoh pergerakan Islam itu, ketika saat masuk Hoogere Burger
School (HBS). Di rumah inilah ia dapat berkenalan dengan tokoh Pergerakan Nasional seperti Wahidin
Soedirohusodo dan Soetomo. Juga para tokoh Islam seperti Agoes Salim, Abdoel Moeis, Ahmad
Dahlan, Hasjim Asj’ari, dan A. Hassan, seorang tokoh Persis Bandung yang belakangan menjadi
kawan korespondensinya yang termasyhur.

Di rumah Tjokro pula, Soekarno berkenalan dengan tokoh dari Marxisme dan sosialisme,
seperti Alimin, Semaun Darsono, dan Tan Malaka. Tiga terakhir awalnya adalah pengurus Sarekat
Islam kemudian memisahkan diri untuk bergabung dengan kelompok Marxis. Mereka selanjutnya
mendirikanPartai Komunis Indonesia pada 1920, sementara Soekarno dan kawan-kawan
mendirikan Partai Nasionalis Indonesia di Bandung, 1927.

Pada lahirnya Partai Nasionalis Indonesia, Soekarno mencanangkan tahun itu sebagai tahun
propaganda politik. Ia tak hanya turun ke daerah, menggalang dukungan, tapi juga menerbitkan
majalah Persatuan Indonesia pada 1928 sebagai ajang propanda. Majalah Fikiran Rakjat
diterbitkan pada 1932ketika Partai Nasionalis Indonesia pecah menjadi Partindo. -Disini nampak
sekali bahwa Soekarno menjadikan partai hanya sebagai alat perjuangan, Partindo yang didirikan
Soekarno selanjutnya memilih jalur non kooperasi terhadap penjajah.
PENJARA, pengasingan di Ende dan Bengkulu, adalah tempat Soekarno lebih merenungi soal
Islam. Penjara Sukamiskin, misalnya, melarang buku politik dan surat kabar masuk ke sel Soekarno.
Sepanjang masa di penjara itu, satu-satunya hiburan Soekarno adalah belajar tentang agama dan
menulis.

Penjara sesungguhnya memang di Ende, kampung nelayan di Flores, Nusa Tenggara Timur.
Empat tahun lamanya, ia menjalani politik pengasingan akibat aktivitas politik non kooperasi melalui
Partindo.

Di pulau itulah, Soekarno menghabiskan waktu dengan membaca buku Islam. Renungan-
renungannya tentang Islam muncul dalam suasana intens, terutama surat-menyurat pribadi yang
dikirimkannya kepada A. Hassan. Surat-surat itu kelak masyhur disebut sebagai “Surat-surat dari
Ende”.Pernah Soekarno menulis soal tabir atau hijab yang memisahkan perempuan dan laki-laki. Ia
juga dengan cemerlang menulis tentang donor darah. Juga menjawab tudingan bahwa ia anggota
Ahmadiyah.

Yang menarik, meski tak meyakini Ahmadiyah, ia tak menyinggung perlu-tidaknya Ahmadiyah
hidup di bumi Indonesia. Tidak juga menuduhnya aliran sesat. Juga tidak merasa Islam yang dianutnya
yang paling benar. Di Ende dan Bengkulu, selain surat-suratnya ke A. Hassan dan artikelnya yang
termashyur di Panji Islam, Soekarno meninggalkan ratusan karya tulis dan beberapa naskah drama.
Beberapa di antaranya dipentaskan selama ia berada di Ende. Namun “temuan” penting
sesungguhnya adalah konsepsinya yang kelak dinamai Pancasila.

Nama : Ryamizard Yunanto


Kelas : XI KGSP 3
No.absen : 30

Anda mungkin juga menyukai