Anda di halaman 1dari 55

BAB IV

PANCASILA SEBAGAI RELIGIOSITAS INDONESIA

IV.1. Konteks Kelahiran Pancasila

Pancasila dan Indonesia adalah seperti dua sisi dari satu mata uang. Kelahiran negara-
bangsa Indonesia bersamaan dengan kelahiran karakter dan cita-cita Indonesia sebagaimana
tertuang dalam Pancasila. Bertolak dari pengalaman sejarah bersamanya, kondisi dan situasi
riilnya pada masa pra Indonesia, khususnya pada era kolonial, rakyat Indonesia hendak
membangun sebuah negara bangsa merdeka dengan Pancasila sebagai falsafah dan ideologi
politiknya.1 Karena begitu posisi dan eksistensi Pancasila,maka keadaan dan situasi
Nusantara pada masa pra Indonesia, terutama pada era kolonial, sebagai konteks kelahiran
Pancasila, sangat menentukan esensi Pancasila sebagai falsafah dan karakter Indonesia.2

Nusantara yang dijajah lama oleh bangsa Portugis, Spanyol, Belanda, Inggris dan
bangsa Jepang sehingga sangat lama juga ada dalam masa kesengsaraan, berbentuk gugusan
pulau yang terpisah namun saling terhubung oleh lautan. Letak geo-sosialnya yang terbuka
ini, membuat Nusantara sejak dulu kala menjadi sebuah wilayah kebudayaan yang selalu
terbuka. Ke dalam wilayah Nusantara yang demikian inilah, agama-agama dunia datang.
Agama Hindu dan Budha datang dari negeri India, agama konghucu datang dari negeri
China, agama Islam datang dari tanah Arab, agama Kristen dan Katolik datang dari Eropa
setelah migrasi dari Timur Tengah. Walaupun semua agama dunia ini, semula sebagai agama
asing yang tidak dikenal oleh penduduk Nusantara, namun di Nusantara mereka semua
mendapat tempat, mempribumi, mengkontekstualisasi bahkan nyaris menganti agama lokal
Nusantara.

Pada masa pra Indonesia, nasionalisme Nusantara baru berupa komunalisme saja,
karena hanya berbasis pada kesamaan bahasa yang sama yakni bahasa Melayu, berbasis pada
agama trans regional yang sama yang dianut oleh kebanyakan komunitas Nusantara, dan
berbasis pada kemudahan-kemudahan dalam mobilisasi penduduk.3 Pada masa itu, di wilayah

1
John Titaley, Pertimbangan-pertimbangan Pendirian Program Pasca-sarjana Bidang Studi Agama
dan Masyarakat (PpsAM) (Salatiga: UKSW,1991), 2. Lihat juga John A. Titaley,Pokok-Pokok Pikiran Tentang
Arah Pembinaan Dan Pengembangan Pendidikan Agama Di Indonesia(Salatiga:Fakultas Teologi
UKSW,1999),26-27.
2
Ibid.
3
Audrey Kahin (ed.), Regional Dynamics of the Indonesian Revolution: Unity from Diversity,
(Honolulu: Hawaii University Press, 1983), 1-2. Bandingkan juga: George McTurnan Kahin, Nasionalisme Dan
Revolusi di Indonesia, Terjemahan Ismail bin Muhammad dan Zaharom bin Abdul Rashid, Edisi bahasa

99
Nusantara, atau di wilayah Hindia Belanda, ada negara pribumi yang otonom dan masing-
masing negara otonom itu memiliki sistem pemerintahan. Sistem pemerintahannya ialah
imperialisme kuno dalam bentuk kerajaan-kerajaan.Tetapi sesudah Belanda menanamkan
imperialisme modernnya secara intensif sejak abad ke lima belas, terutama ketika Belanda
dalam tahun 1830 sampai dengan 1870 menerapkan “Cultuurstelsel” ciptaan Van den Bosch,
dimana penduduk harus menyerahkan hasil bumi kepada pemerintah kolonial sebesar pajak
tanah, semua negara itu kehilangan kemerdekaannya secara politik dan juga secara ekonomi.
Pelaksanaan cultuurstelsel mengakibatkan penduduk Nusantara terutama di Jawa menjadi
miskin dan kehilangan harkat dan martabat diri.4

Dahulu rakyat Nusantara pada masa Nusantara terdiri dari dari Negara-negara otonom,
terkenal sebagai pelaut yang gagah pemberani sehingga sanggup mengarungi lautan guna
meluaskan perdagangannya. Namun pada masa Belanda menjalankan kebijakan liberal
kolonial, rakyat Nusantara menjadi penakut, tertekan secara politik dan ekonomi. Sistem
kolonialisme dari kapitalisme Barat yang diterapakan Belanda dalam mendominasi Nusantara
sangat mencabut manusia Nusantara dari akar-akarnya sebagai manusia yang memiliki harkat
dan martabat diri sebagai penduduk pribumi Nusantara. Sembilan puluh lima persen
penduduk Nusantara pada masa penjajahan Belanda hidup dalam kesengsaraan. Mereka yang
keadaannya demikian ini, yang oleh Soekarno seorang intelektual kritis kelahiran 8 Juni l901,
dijuluki “rakyat kecil Indonesia” adalah para petani, nelayan, buruh, tukang gerobak, dan
intelektual.5

Pengalaman rakyat kecil Nusantara, yang menderita secara politis dan ekonomi atas
kolonialisme Belanda, melahirkan adanya sikap radikal untuk menghancurkan imperialisme
dan kapitalisme Belanda guna untuk meraih kemerdekaan. Pergerakan kemerdekaan ini yang
berlangsung hampir seratus tahun sepanjang abad ke sembilan belas, dilakukan oleh rakyat
Nusantara, namun tidak serentak padu melainkan sendiri-sendiri sesuai dengan kepentingan

Malaysia,cetakan pertama(Kuala Lumpur:Dewan Bahasa dan Pustaka Kementrian Pelajaran Malaysia,1980),49-


65. Dalam buku ini George McTurnan Kahin menjelaskan tentang lima faktor penting yang menjadi pemicu
pertumbuhan nasionalisme di Indonesia. Kelima faktor itu ialah: persamaan agama, persamaan bahasa,
pembentukan volksraad yang mewakili masyarakat Indonesia, penyebaran ide melalui surat khabar dan radio
nasional serta kemudahan-kemudahan dalam mobilisasi penduduk, dan pendidikan Barat.
4
Sartono Kartodirjo,Pengantar Sejarah Indonesia Baru:Sejarah Pergerakan Nasional, dari
Kolonialisme sampai Nasionalisme (Jakarta: Gramedia,1992), 13. Bandingkan G.J. Resink, Negara-Negara
Pribumi di Kepulauan Timur (Jakarta:Penerbit Bhrata, 1973 ), 7 – 34.
5
Benhard Dahm, Soekarno dan Perjuangan Kemerdekaan,Terjemahan,Hasan Basari, Cetakan
I,(Jakarta: LP3ES,1987), 175-176. Bandingkan juga, Soekarno, “Demokrasi-Politik dan Demokrasi Ekonomi”,
dalam Soekarno, Dibawah Bendera Revolusi,I (Jakarta: Panitia Penerbit Dibawah Bendera Revolusi, 1964),
172-3.

100
daerah, golongan dan agama. Beberapa dari pergerakan termaksud ialah seperti perang yang
dipimpin oleh: Patimura di Maluku (1817), Badarudin di Palembang (1819), Imam Bonjol di
Minangkabau (1821), Diponegoro di Jawa Tengah(1825-1830), Jelantik di Bali (1850),
Pangeran Antasari di Banjarmasin (1860), Panglimna Polim, Teuku Cik Di Tiro, Teuku Umar
di Aceh(1871), Anak Agung Made di Lombok (1894), Sisingamangaraja di Batak (1900).
Semua perang yang menentang pemerintah kolonial Belanda ini memang bersifat
kedaerahan, namun semua perang itu menjadi pertanda awal gerakan rakyat sebagai
protonasionalisme Indonesia, menentang penderitaan yang diakibatkan kolonial atas rakyat.6
Perang terhadap pemerintah kolonial Belanda yang bersifat kedaerahan ini mudah dipatahkan
oleh Belanda karena Belanda menerapkan politik devide et invera (politik adu domba) yang
sangat berhasil di Nusantara yang sangat plural.7

Di awal abad ke dua puluh, organisasi-organisasi pergerakan kemerdekaan memang


sudah berskala Nusantara, sehingga dapat digolongkan ke dalam tiga golongan besar, namun
ketiga golongan itu tetap melakukan pergerakan kemerdekaan secara terpisah. Ketiga
golongan tersebut ialah: pertama, adalah golongan nasionalis yang terwakili dalam National
Indische Partij dan Partai Nasional Indonesia.Kedua, adalah golongan Sosialis-Marxis yang
terwakili dalam Partai Komunis Indonesia. Ketiga, adalah golongan Agama yang terwakili
dalam Sarikat Islam (bagi agama Islam) dan Sarikat Ambon (bagi agama Kristen Ambon).
Perjuangan atau pergerakan kemerdekaan di awal abad ke dua puluh yang sudah berskala
nasional, namun karena sifatnya tidak menyatu, tidak berhasil meraih kemerdekaan
Nusantara karena cara perjuangan yang demikian, mudah dipatahkan oleh Belanda.8

Salah satu contoh perjuangan sektarian itu adalah pemberontakan Partai Komunis
Indonesia (PKI) terhadap pemerintah kolonial Belanda yang dilakukan pada tanggal 18 Juni
1926. Perjuangan ini dengan mudah dapat digagalkan oleh Belanda, bahkan oleh pemerintah
Belanda PKI dinyatakan sebagai partai terlarang. F. Corsino MacArthur mengetengahkan
bahwa ada tiga faktor dari dalam Partai Komunis Indonesia yang menjadi penyebab
kegagalan pemberontakannya. Ketiga faktor termaksud: Pertama, disintegrasi yang terjadi di
antara Tan Malaka, Alimin dan Muso sebagai pemimpin partai mengenai waktu pelaksanaan

6
I Ketut Seregig, Filsafat Pancasila dalam Perspektif Hindu (Surabaya: Penerbit Paramita,2012), 78.
7
Marwati Djoened Poesponegoro Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia-III (Jakarta: PN,
Balai Pustaka, 1993), 331.
8
Cindy Adams,Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat (Jakarta:Gunung Agung,1965), 119-120.
Bandingkan: Colin Wild dan Peter Carey,(Peny),Gelora Api Revolusi: Sebuah Antologi Sejarah (Jakarta:
Gramedia, 1986), 26-8. Bandingkan juga: G.McTurnan Kahin, Nationalism and Revolution in Indonesia (Ithaca
and London: Cornell University Press,1967), 37.

101
pemberontakan. Alimin dan Muso sangat mendukung hasil keputusan pertemuan di
Prambanan bahwa pemberontakan akan dilaksanakan pada tanggal 18 Juni 1926. Sedangkan
Tan Malaka, sejak masih di pembuangan menilai pemberontakan yang akan dilaksanakan itu
prematur adanya. Oleh karena itu ia berharap pengikut-pengikutnya tidak melibatkan diri
dalam pemberontakan itu. Kedua, rendahnya mutu dari para pemimpin yang tersisa. Ketiga,
kurangnya dukungan dari kalangan petani pada saat pelaksanaan pemberontakan.9

Kegagalan dari pemberontakan Partai Komunis Indonesia terhadap pemerintah kolonial


Belanda memberikan dampak positif bagi nasionalisme Indonesia. Para nasionalis Indonesia
semakin sadar bahwa kolonialisme hanya bisa dilawan dengan persatuan. Bertolak dari
kegagalan pemberontakan PKI, Perkumpulan mahasiswa Indonesia di Belanda yang dikenal
dengan nama Perhimpunan Indonesia (PI) orang-orang dari daerah Nusantara yang pertama
kali memakai kata Indonesia10 untuk menunjuk kepada tanah dan penduduk dan budaya yang
ada di wilayah Nusantara, menetapkan gagasan persatuan sebagai ideologi Perhimpunan
Indonesia. Gagasan tentang persatuan ini kemudian menjadi inti ideologi yang dikembangkan
oleh Partai Nasional Indonesia. Dalam ideologi persatuan ini terkandung tiga prinsip
nasionalisme Indonesia yaitu: kebebasan(kemerdekaan), kesatuan, dan kesamaan. Karena
begitu konsep nasionalisme Indonesia, maka sifat nasionalisme Indonesia itu ialah
antikolonial dan selalu nonkooperasi terhadap penguasa colonial.11

Di tahun kegagalan pemberontakan PKI, 1926 dalam majalah Indonesia Muda terbitan
Studi Club Bandung, Soekarno menulis artikel berjudul “Nasionalisme, Islam, dan
Marxisme”. Artikel tersebut merupakan langkah awal Soekarno dalam merumuskan
pemikirannya mengenai wadah bersama yang selanjutnya ia sebut nasionalisme. Penjelasan
Soekarno mengenai nasionalisme, diawalinya dengan uraian mengenai latar belakang
munculnya kolonialisme. Demikian dijelaskan Soekarno: “Sebab tipisnja kepertjajaan itu
adalah bersendi pengetahuan, bersendi kejakinan, bahwa jang menjebabkan kolonialisasi itu

9
F.Corsino MacArthur, A Communist Revolutionary Movement As an International State-Actor: The
Case of The PKI Aidit, Cetakan Pertama (Singapore:Maruzen Asia,1982), 53. Bandingkan, Mohammad Hatta,
Memoir, Cetakan Pertama (Jakarta: Tintamas Indonesia, 1979), 205.
10
Mohammad Hatta menjelaskan bahwa kata”Indonesia”sudah dipakai oleh ethnolog Inggris bernama
G.R.Logan dalam bukunya The Ethnology of the Indian Archipelago pada tahun 1850, bahwa nama “Indonesia”
ditemukan Etnolog Inggris bernama G.R. Logan(1850), berasal dari kata India (Lathin:Hindia) dan Nesos
(Yunani:kepulauan), sehingga Indonesia berarti Kepulauan Hindia. Lihat Mohammad Hatta, Memoir (Jakarta:
Tintamas Indonesia,1979), 126. Bandingkan juga:Hassan Shadiliy,Ensiklopedi Indonesia Vol.3 (Jakarta: Ichtiar
Baru-Van Hoeve,1982), 1437.
11
John Ingelson,Perhimpunan Indonesia dan Pergerakan Kebangsaan, Terjemahan Nin
Bakdisoemanto, Cetakan I(Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1993), 15,16. Bandingkan Sartono Kartodirdjo,
Pengantar Sejarah Indonesia Baru:Sejarah Pergerakan Nasionalisme,cet.II (Jakarta: Gramedia, 1992), xi.

102
bukanlah keinginan pada kemasjhuran, bukan keinginan melihat dunia-asing, bukanlah
kenginan merdeka, dan bukan pula oleh karena negri rakjat jang mendjalankan kolonisasi itu
ada terlampau sesak oleh banjaknja penduduk,- sebagai jang telah diadjarkan oleh Gustav
Klemm-, akan tetapi asalnja kolonisasi jalah teristimewa soal rezeki. Jang pertama-tama
menjebabkan kolonisasi jalah hampir selamanja kekurangan bekal hidup dalam tanah airnja
sendiri....itulah pula jang mendjadi sebab rakjat-rakjat itu mendjadjah negeri-negeri, dimana
mereka bisa mendapat rezeki itu.”12

Uraian Soekarno tersebut di atas, dimaksudkannya untuk menggugah kesadaran rakyat


mengenai kehidupan ekonomi dan politik yang buruk akibat kolonialisme. Melalui paparan
ini,Soekarno ingin merombak pandangan yang telah lama berakar dalam masyarakat
Indonesia, mengenai pemerintah kolonial yang dipandang sebagai saudara tua yang akan
memberikan kemerdekaan di suatu hari nanti. Soekarno berbuat demikian, karena menurut
dia, tidak ada satupun negara penjajah yang dengan begitu saja mau melepaskan sumber
rezeki mereka. Cara pandang Soekarno terhadap pemerintah kolonial yang sangat radikal ini,
sangat dipengaruhi oleh dua tokoh nasionalis di Bandung yaitu Douwes Deker dan Tjipto
Mangunkusomo. Dari kedua nasionalis tersebut, Soekarno belajar bahwa kemerdekaan
Indonesia harus diusahakan sendiri melalui pergerakan rakyat, dan bukan dalam usaha
dewan-dewan, juga tidak akan dicapai secara berangsur-angsur melalui kerjasama dengan
pemerintah kolonial Belanda.13

Penilaian Soekarno terhadap pemerintah kolonial Belanda seperti termaksud di atas,


telah bergeser dari penilaiannya semula semasa dia berada di Surabaya. Semasa di Surabaya
Soekarno banyak dipengaruhi oleh pandangan dua orang gurunya di Hogere Burger
School(HBS) Surabaya yaitu Tjokroaminoto dan C.Hartogtog. Pengaruh pandangan dari
kedua tokoh tersebut memberikan penilaian positif terhadap peran pemerintah kolonial dalam
mewujudkan pemerintahan sendiri bagi Indonesia. Salah satu tulisan Soekarnoyang
menyuratkan penilaian positifnya terhadap pemerintahan kolonial ialah sebagai berikut: “.....
kebutuhan rakyat telah melahirkan Sarekat Islam, dan bahwa salah satu tujuannya adalah
pemerintahan sendiri. Masalah-masalah kritis hanya bisa dipecahkan apabila rakyat
berpemerintahan sendiri, dan apabila ada persamaan kepentingan yang nyata antara

12
Soekarno, “Nasionalisme, Islamisme Dan Marxisme”, Suluh Indonesia Muda, tahun 1928, dalam, Di
Bawah Bendera Revolusi I, Cetakan ketiga (Jakarta: Panitia Penerbit, 1964), 2.
13
Soekarno, “Dimanakah Tinju?”, Suluh Indonesia Muda, tahun 1927,dalam “Di Bawah Bendera
Revolusi I, Cetakan ketiga (Jakarta: Panitia Penerbit, 1964), 33. Bandingkan juga dengan John Legge, Sukarno
Sebuah Otobiografi Politik, Terjemahan Tim Sinar Harapan,Cetakan ke II (Jakarta: Sinar Harapan, 1985), 97.

103
pemerintah dan rakyat. Tetapi itu tidak bisa terjadi dengan segera.Terlebih dulu rakyat
Indonesia harus belajar.Untuk itu rencana untuk mendesentralisasi pemerintahan memberikan
kesempatan yang baik sekali.14

Pergerakan kemerdekaan rakyat kecil Nusantara yang sendiri-sendiri ini, oleh Soekarno
pendiri Partai Nasional Indonesia pada tanggal 4 Juli 1927, diprediksi sebagai perjuangan
yang tidak akan menghasilkan kemerdekaan seluruh negara Nusantara yakni kemerdekaan
Indonesia. Dalam berprediksi demikian Soekarno bertimbang, sehandainya golongan Islam
saja yang memperjuangkan kemerdekaan, berarti akan berdiri negara Islam di kepulauan
Nusantara. Bila golongan komunis saja yang berjuang untuk kemerdekaan di kepulauan
Nusantara, kemungkinan besar akan ada usaha dari kelompok komunis untuk membentuk
negara Komunis Nusantara. Bertolak dari asumsi yang demikian ini, Soekarno berkeinginan
agar semua golongan yang ada di bumi Nusantara bersatu-padu melawan penjajahan Belanda
secara bersama-sama, guna sama-sama merdeka untuk membentuk sebuah negara bersama
yaitu negara Indonesia merdeka. Keinginan Soekarno ini segera berwujud dengan lahirnya
Permufakatan Perhimpunan Politik Kebangsaan Indonesia, (PPPKI) pada tanggal 17
Desember 1927. PPPKI merupakan gabungan dari tujuh partai besar yang ada di Indonesia
yaitu: Partai Nasional Indonesia, Sarekat Islam, Budi Utomo, Pasundan, Sumatranen Bond,
Kaum Betawi, dan Kelompok Studi dr. Sutomo di Surabaya. PPPKI menjadi bukti keseriusan
para nasionalis Indonesia dalam usaha membentuk satu kekuatan nasional guna menghadapi
kolonialisme dan imperialisme. Para nasionalis yang dalam batas-batas tertentu saling
bertentangan, terutama soal koperasi dan non koperasi dengan pemerintah kolonial, mulai
menyadari pentingnya kerja sama untuk mencapai kemerdekaan.15

Pembentukan Permufakatan Perhimpunan Politik Kebangsaan Indonesia memberikan


dampak positif dalam kehidupan pergerakan nasionalisme Indonesia. Pembentukan PPPKI
telah menjadi pemicu semangat persatuan di kalangan nasionalis Indonesia di masa itu,
terutama di kalangan pemuda. Ikrar bersama yang dicetuskan oleh para pemuda Indonesia,
antara lain Jong Java, Jong Islamieten Bond, Jong Celebes, Jong Bataksbond, Jong Sumatra,
pada konggres pemuda di Batavia yang berlangsung dari tanggal 27-28 Oktober 1928,
menjadi bukti dari kesadaran akan pentingnya persatuan Indonesia. Sumpah Pemuda tersebut

14
Audrey Kahin(ed.),Regional Dynamics . . . , 50.
15
Soekarno, “Demokrasi Politik dan Demokrasi Ekonomi”, dalam Soekarno, Di Bawah Bendera
Revolusi I (Jakarta: Panitia Penerbit Di Bawah Bendera Revolusi,1964), 83. Bandingkan Marwati Djoened
Poesponegoro Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia-V,198.

104
telah mendobrak batas-batas suku, dan agama, ketika keinginan untuk berbangsa satu,
bertanah air satu, dan berbahasa satu menjadi keinginan bersama.16

Kerjasama beberapa partai dalam PPPKI berlangsung di atas dasar keinginan untuk
merdeka. Karena itu, perbedaan ideologi yang mengarah pada pertentangan dan perlawanan
di antara partai-partai dalam PPPKI, diharapkan dapat diabaikan demi tercapainya persatuan.
Cuplikan salah satu tulisan Soekarno memuat anjurannya kepada PPPKI, sebagai berikut:
“Hendaknya kita tidak mengemukakan soal-soalyang dapat membahayakan pemufakatankita.
Umpamanya, kita hendaknya jangan membicarakan soal koperasi dan non koperasi, soal
apakah kita akan bekerjasama dengan pemerintah atau tidak. Tapi marilah kita mencari hal-
hal yang lebih mendekatkan kita satu sama lain. Marilah kita tonjolkan segala hal yang
mempersatukan kita.”17

Terkait dengan keinginannya agar semua golongan yang ada di bumi Nusantara bersatu
karena mempunyai tujuan yang sama, yaitu menghapus imperialisme Belanda, Soekarno
menyadari bahwa masing-masing golongan yang ada di bumi Nusantara memiliki
pemahaman politik yang pada berbeda. Berangkat dari kesadaran ini, Soekarno seorang
intelektual yang sangat anti dengan imperialisme dan kapitalisme Barat, menjembatani semua
golongan yang ada di bumi Nusantara dengan satu pemahaman politik yang sama untuk
semua golongan. Menurut Soekarno, hanya dengan memiliki satu pemahaman politik yang
sama, semua golongan akan berhasil menghapus kolonialisme dan membentuk negara
merdeka.Satu pemahaman politik yang sama diusulkan Soekarno untuk menjadi pemahaman
politik bersama semua golongan dalam menghapus imperialisme dan membentuk sebuah
negara merdeka ialah Marhaenisme.18

Konsepsi Marhaenisme dari Soekarno ialah suatu ajaran sosio nasionalisme dan sosio
demokratisme. Melalui konsepsi ini soekarno ingin agar seluruh rakyat di bumi Nusantara ini
memiliki kemauan bersatu-padu untuk bertindak secara revolusioner dalam memperjuangkan
kemerdekaan semua, demi kelak diperoleh keadilan, kesejahteraan, dan kemakmuran
bersama. Persatuan dan gotong-royong dari semua negara dalam kepulauan Nusantara untuk
meraih kepentingan bersama yakni kemerdekaan menjadi jiwa dari Marhaenisme. Berangkat
dari konsepsi Marhaenisme yang demikian, Soekarno ingin memasukkan sebanyak mungkin

16
Benhard Dahn, Soekarno Dan Perjuangan . . . , 121.
17
Audrey Kahin (ed.), Regional Dynamics . . . , 98.
18
Grasindo, Bung Karno.Tentang Marhaen Dan Proletar (Jakarta: Gramedia Widiasarana
Indonesia,1999), 22-24.

105
golongan-golongan yang ada di bumi Nusantara, agar kekuatan revolusioner semakin
bertambah banyak dan semakin bertambah kuat untuk menghapus imperialisme Belanda dan
mencapai Nusantara merdeka.19

Dalam konteks kolonial, Marhaenisme atau nasionalisme Soekarno menunjuk pada


kesatuan unsur-unsuryang mampu menjadi potensi kolektif apabila diarahkan kepada tujuan
bersama. Unsur-unsur termaksud adalah kenyataan penjajahan yang mengakibatkan
kemelaratan dan semangat persatuan demi pencapaian kemerdekaan. Dalam hal ini, Soekarno
ada mengemukakan bahwa, “Semangat tiap-tiap rakyat yang disengsarakan oleh suatu
keadaan, baik rakyat proletar di negeri-negeri industri, maupun rakyat di tanah-tanah jajahan,
adalah semangat ingin merdeka. Nah, kami ingin menyuburkan semangat ingin merdeka itu
pada rakyat Indonesia. Kami menyuburkannya tidak terutama dengan keinsafan kelas sebagai
pergerakan kaum buruh umumnya, tetapi terutama dengan keinsafan bangsa, dengan
keinsafan nasionaliteit, dengan nasionalisme. Sebab tiap-tiap rakyat yang dikuasasi oleh
bangsa lain, tiap-tiap rakyat jajahan, tiap-tiap rakyat yang saban hari, saban jam, merasakan
imperialisme bangsa lain, tiap-tiap rakyat yang diperintahi secara jajahan demikian itu,
adalah berbudi akal nasionalistis.”20

Menyimak kalimat Soekarno di atas, Marhaenisme atau nasionalisme yang dikonsep


Soekarno tidak hanya fundamental menciptakan solidaritas, tetapi juga potensial untuk
mewujudkan loyalitas yang mentransendensi loyalitas kedaerahan atau golongan.
Marhaenisme atau nasionalisme Soekarno berhakiki dan berperan sebagai konditio sine qua
non semua negara di kepulauan Nusantara merdeka. Marhaenisme atau sosialisme Soekarno
nampaknya memang adalah sosialisme campuran dari apa yang baik dari declaration of
independence dari America, apa yang benar dari spiritualitas agama-agama, dan apa yang
tepat dari teori Karl Marx. Sebagai sosialisme atau nasionalisme campuran dari ketiga unsur
tersebut di atas, nasionalisme Soekarno memiliki ajaran untuk hidup bekerja-sama,
mempunyai ajaran tentang Tuhan, dan sangat menekankan tentang anti kapitalisme dan

19
Soekarno, “Marhaen dan Proletar”, dalam Soekarno,Dibawah Bendera Revolusi I (Jakarta: Panitia
Penerbit di bawah Bendera Revolusi, 1964), 253.
20
Soekarno, Indonesia Menggugat:Pidato Pembelaan Bung Karno Di Muka Hakim Kolonial (Jakarta:
Departemen Penerangan Republik Indonesia,Tanpa Tahun), 117. Bandingkan: Rupert Emerson, “The progress
of Nationalism,” dalam Philip W. Thayer (ed.).Nationalism and Progress in Free Asia(Baltimore:The John
Hopkins Press,1956), 72,73. Buku ini berisi kajian yang dilakukan Rupert Emersontentang faktor penyebab
lahirnya nasionalisme di Selatan dan Asia Tenggara. Berdasarkan kajian tersebut, Emerson menjelaskan, ketika
kehidupan dan martabat satu bangsa terancam oleh kekuatan asing, nasionalisme muncul sebagai kekuatan
perjuangan menghadapi ancaman tersebut. Realitas tersebut mengantar Rupert Emerson pada kesimpulan,
bahwa pemunculan nasionalisme dalam bangsa yang terjajah merupakan konsekuensi dari kolonialisme.

106
sosialisme Barat. Nasionalisme Soekarno menolak adanya kaum berjuis atau kaum ningrat di
bumi Nusantara, memimpikan adanya tatanan sosial yang adil di persada Nusantara, dan
memimpikan masyarakat Nusantara hidup mandiri, mampu berdiri di atas kaki sendiri untuk
kepentingan diri sendiri.21

Paham nasionalisme seperti termaksud di atas, pada masa perjuangan kemerdekaan,


penekanan operasionalnya memang lebih pada taraf ingin mempunyai negara merdeka.
Dengan kemerdekaan yang dimimpikannya itu, rakyat ingin mengatur negaranya menurut
konsepsi yang berdasar pada kesejarahan dan kebudayaannya sendiri. Dalam keadaan yang
demikian, para intelektual seperti Soekarno menyadari bahwa rakyat Nusantara perlu
diberdayakan dengan pengetahuan sejarah tentang negara-negara dalam kepulauan
Nusantara. Bertolak dari kesadaran ini, maka Soekarno bersama para pemikir dan propaganda
revolusi, baik yang belajar di dalam negeri maupun luar negeri, seperti: Sutomo, Hatta,
Sartono, Budiarto, Iwa Kusumasumantri, Ali Sastroamidjojo, demikian juga bersama dengan
para pemimpin Partai Komunis Indonesia seperti: Darsono, Semaun, dan Abdul Muis, selalu
mengkaitkan gerakan kebangsaan dengan jaman- jaman keemasan Sriwijaya dan Majapahit.
Mereka juga sering mengadopsi tokoh-tokoh pewayangan sebagai alat propaganda politik
perjuangan, serta mengadopsi ramalan-ramalan Prabu Jayabaya seperti akan datangnya
“ratu adil” sebagai bahan untuk membangkitkan harapan rakyat akan hari depan yang gilang-
gemilang berupa kemerdekaan Nusantara.22

Pada tahun 1930–an dunia ada pada zaman malaise yaitu ada dalam masa krisis
ekonomi. Keadaan ini tidak membendung gerakan nasionalisme, namun justru
menstimulasinya. Dalam gerakan nasionalisme yang memperjuangkan kemerdekaan
Indonesia, Soekarno mensintesiskan ketiga kekuatan ideologis yang pada berbeda namun
yang sama-sama memperjuangkan kemerdekaan Indonesia yaitu: nasionalisme, agama dan
komunisme menjadi satu kekuatan dalam apa yang disebut NASAKOM.Gerakan
nasionalisme Indonesia adalah gerakan kerakyatan yang tidak sekedar memimpikan
pembentukan negara dan bangsa Indonesia saja, melainkan gerakan yang mendambakan
kemerdekaan dan keadilan. Dalam posisi demikian, nasionalisme Indonesia merupakan gejala
historis sebagai jawaban terhadap kondisi politik, ekonomi dan sosial yang ditimbulkan oleh
situasi kolonial. Nasionalisme Indonesia merupakan raungan historis dari rakyat banyak

21
Soekarno, “Marhaen dan Proletar” dalam Soekarno Dibawah Bendera Revolusi . . . , 178-182.
22
John Ingleson,Perhimpunan Indonesia and the Indonesian Nationalist Movement 1923-1928,
(Monash Papers on Southeast Asia, Nu.4, 1975), 2-4. Peter Carey,”Mitos,Pahlawan dan Perang”, dalam Wild
Colin, Gelora Api Revolusi: Sebuah Antologi Sejarah (Jakarta: Gramedia,1986), 7-14.

107
khususnya dari kaum muda yang terdiri dari berbagai etnis dan keyakinan agama yang mau
bersatu untuk memperjuangkan perbaikan nasib. Nasionalisme Indonesia bukan sekedar
konsep politik. Ia lebih dari itu. Ia adalah identitas dan sekaligus etika hidup bersama
masyarakat Indonesia. Nasionalisme Indonesia adalah sarana untuk menegakkan martabat
dan persamaan manusia. Sebagai suatu gerakan emansipasi rakyat semesta Nusantara,
nasionalisme Indonesia mengandung visi, budaya, solidaritas dan kebijakan; sebagai jawaban
atas kebutuhan dan aspirasi-aspirasi politik, ideologi, budaya, sosial dan ekonomi untuk
perbaikan, kemajuan dan kesejahteraan masyarakat.23

Berdasarkan konteks kelahiran nasionalisme Indonesia atau keindonesiaan seperti


terurai di atas, maka dapat disimpulkan bahwa Pancasila sesunguhnya adalah ekspresi dan
sekaligus perlawanan seluruh rakyat Indonesia terhadap penderitaan atas kolonialisme,
imperialisme dan kapitalisme, guna untuk meraih kemerdekaan sebagai jalan bagi rakyat
Indonesia menjadi sebuah bangsa-negara yang memiliki kedaulatan politik, ekonomi, sosial
dan kepribadian nasional.

IV.2. Proses Penetapan Pancasila Sebagai Dasar Negara Indonesia

Benih nasionalisme Indonesia yang bisa dilihat sebagai cikal bakalIdeologi politik
Indonesia, karena berupakemauan masyarakat Indonesia untuk bersatu guna memperbaiki
diri, yang telah ada pada masa kolonial Belanda, disemai oleh masyarakat Indonesia, pada
saat Indonesia mempersiapkan dan menjadikan dirinya sebagai sebuah negara bangsa, yaitu
Indonesia dalam fenomena baru dan modern yang berbeda dari Indonesia dalam fenomena
sebelumnya.24 Indonesia dalam fenomena sebelumnya berupa kerajaan-kerajaan dan
kolonialisme yang ditandai dengan segregasi manusia-manusia Indonesia dalam
pengelompokkan menurut ras,25 agama dan kepentingan sosial kemasyarakatan.26Sedangkan

23
Soekarno,Indonesia Menggugat . . . , 58. Bandingkan: Hans Kohn, Nasionalisme dan Sejarahnya,
terjemahan Sumantri Mertodipuro, cetakan kedua (Jakarta: PT.Pembangunan Jakarta,1961), 12. Menurut Hans
Kohn, memang dalam satu negara terdapat unsur unsur objektif yang membedakan bangsa yang satu dengan
yang lain, misalnya persamaan agama, bahasa, turunan, kesatuan politik, adat istiadat, dan tradisi dari satu
bangsa. Tetapi menurut Kohn, bukan berarti tanpa persamaan turunan atau agama dan lain-lain, persatuan atau
nasionalisme tidak akan terwujud. Kohn berpendirian demikian karena baginya, faktor utama pembentukan
nasionalisme terletak pada kemauan bersama dari bangsa tersebut untuk bersatu demi perbaikan diri dan
kepentingan bersama. Bandingkan, Saafroedin Bahar,dkk.(penyunting),Risalah Sidang BPUPKI dan PPKI 28
Mei–22 Agustus 1945 (Jakarta: Sekretariat Negara Republik Indonesia, 1995), 75-76. Lihat juga, Th. Sumartana,
“Nasionalisme Indonesia sebagai Gerakan Emansipasi Rakyat”, dalam Bina Dharma(Salatiga: No.35, tahun ke
– 9, 1991), 8-13.
24
John Titaley,Pertimbangan-pertimbangan Pendirian Program Pasca-sarjana Bidang Studi Agama
dan Masyarakat(PPsAM),(Salatiga:UKSW,1991),2.
25
Ras Belanda sebagai penguasa, ras Tionghoa dan Asia lainnya sebagai kelas menengah, sedangkan
orang- orang pribumi Indonesia digolongkan sebagai kelas ketiga. Pada masa Indonesia fenomena lama, orang-

108
Indonesia sebagai sebuah fenomena baru adalah Indonesia yang kehendak bersamanya untuk
bersatu guna merubah nasib, mendapatkan bentuk politiknya sebagai suatu bangsa yang
merdeka serta memiliki suatu pemerintahan yang sah, yang harus bersikap adil kepada setiap
rakyatnya, tanpa melihat agama, etnis, dan latar belakang budaya mereka. Indonesia sebagai
sebuah fenomena baru dan modern lahir secara resmi pada saat Indonesia memproklamasikan
kemerdekaannya yaitu pada tanggal 17 Agustus 1945. Baru karena fenomena Indonesia ini
adalah fenomena yang belum pernah ada sebelumnya, dalam pengertian suatu lingkungan
wawasan daerah, budaya, sosial, politik, ekonomi, dan keamanan yang secara sadar
menyatakan diri satu dalam bentuk seperti Indonesia. Modern, karena kesatuannya itu
dinyatakan dalam bentuk pemerintahan Republik, bukan kerajaan seperti kenyataan-
kenyataan pemerintahan yang pernah ada di jaman pra Indonesia. Jadi Indonesia yang
Indonesia, adalah Indonesia fenomen per 17 Agustus 1945.27

Lahirnya Pancasila sebagaiideologi politik dari Indonesia fenomena baru, yaitu


Indonesia merdeka, tertayang untuk pertama kalinya pada pergumulan, perdebatan dan
ketetapan-ketetapan yang dibuat oleh Badan Penyelidik Usaha–usaha Persiapan
Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). BPUPKI yang disebut Dokuritzu Zyunbi Tyoosakai
dibentuk oleh pemerintahJepang pada tanggal 1 Maret 1945, diketuai oleh dokter Radjiman
Wedjodiningrat, beranggotakan 59 orang berasal dari hampir semua kelompok sosial dan
kelompok etnis masyarakat Indonesia dan ditambah tujuh orang Jepang. BPUPKI bersidang
selama dua masa sidang, 29 Mei-1 Juni dan 10 Juli-17 Juli 1945 di gedung Chuo Sangi In
Jalan Pejambon 6 Jakarta yang kini dikenal dengan sebutan Gedung Pancasila. Pada masa
sidang pertamanya, BPUPKI membahas pemerumusan dasar negara yang akan dibentuk.
Memperhatikan pendapat-pendapat yang berkembang, dan menyimak pertentangan yang
tajam antar kelompok dalam persidangan itu, tampak jelas bahw ada tiga kelompok ideologi,
yang karena merasa telah bekerja keras dalam gerakan kemerdekaan Indonesia, saling

orang Tionghoa dan orang orang Asia lainnya adalah suatu masyarakat yang hidup sendiri-sendiri tanpa ada
pembauran satu terhadap yang lain dalam kesetiaan politik. Bandingkan J.S. Furnivall, Nederlands India: A
Study of Plural Economy (Cambridge: The University Press,reprinted 1967), 446-469.
26
Agama Kristen dipandang oleh kolonial Belanda sebagai idola untuk meningkatkan mutu, harkat
kemanusiaan dan kematangan budaya golongan pribumi. Sedangkan agama Islam lebih dipandang sebagai
kekuatan yang mampu menggalang kekuatan rakyat untuk melawan kepentingan kolonial di Indonesia. Oleh
karena itu pada masa penjajahan Jepang, Islam dimanfaatkan untuk melawan Barat. Dengan demikian secara
historis posisi agama Islam bermusuhan dengan agama Kristen. Sedangkan agama Hindu dan Budha oleh
kolonial Belanda dipandang sebagai lapisan dasar masyarakat Indonesia yang secara politik dan budaya kurang
begitu mampu memberikan perlawanan ideologis terhadap kepentingan kolonial. Lihat Harry J. Benda, Bulan
Sabit dan Matahari Terbit,Islam Indonesia pada masa pendudukan Jepang(Jakarta:Pustaka Jaya,1985),175.
27
John A. Titaley,Religiositas Di Alinea Tiga Pluralisme, Nasionalisme dan Transformasi Agama-
Agama (Salatiga:Satya Wacana University Press,2013),154.

109
berusaha memperjuangkan pandangan ideologinya masing-masing sebagai acuan untuk
merumuskan dasar negara dari proyek Indonesia merdeka. Ketiga kelompok ideologi
termaksud ialah: Agama (Syarikat Islam, Masyumi), Sosial-Marxis (Partai Komunis,
Sosialis), dan Nasionalisme(Partai Nasional Indonesia). Kelompok agama memperjuangkan
agar Islam menjadi dasar negara. Sementara itu kelompok Sosial-Marxis dan
Nasionalismemenentang Islam sebagai dasar negara dan mengusulkan agar kebangsaan
sebagai dasar negara.28

Ditengah-tengah pertentangan tiga kelompok ideologi yang ada pada para anggota
BPUPKI seperti termaksud di atas, dan didorong oleh keinginannya untuk mempersatukan
golongan agama, nasionalis, dan marxis-sosialis, sebagaimana telah dipikirkannya di era
1920-an dan 1930-an, Soekarno mengajukan Pancasila sebagaiideologi politik negara.
Pancasila usulan Soekarno, memuat pemikiran Soekarno yang sarat dengan penegasan
mengenai keharusan untuk bersatu, sebagai syarat terbentuknya negara Indonesia merdeka.
Dalam pola pikir demikian, masing-masing sila dari Pancasila harus dipahami sebagai upaya
meredam perbedaan dan pertentangan yang meruncing selama sidang BPUPKI berlangsung.
Berdasarkan proses lahirnya yang demikian, menampak sekali bahwa Pancasila usulan
Soekarno mengalir dari semangat nasionalisme. Hal itu dikatakan demikian, karena Pancasila
senyatanya adalah merupakan rumusan kompromis dari Soekarno seorang pemikir dan
politisi nasional, yang sangat bergumul dengan keinginannya untuk membangun Indonesia
merdeka, namun berangkat dari fakta kemajemukan bangsanya. Bagi Soekarno, kaum
nasionalis, marxis dan Islam perlu bekerjasama dan tidak jegal-menjegal satu terhadap yang
lainnya, karena sama-sama mereka dibutuhkan untuk memperjuangkan kemerdekaan
Indonesia. Hanya ketika mereka bersatu, maka tujuan bisa dicapai. Tujuan tidak akan bisa
dicapai ketika hanya satu saja yang merasa dirinya paling benar dan paling baik.29

Rumusan dan urutan Pancasila yang lahir dari konteks kemajemukan Indonesia dan
keinginan Indonesia menjadi negara merdeka, sebagaimana diusulkan Soekarno untuk
menjadi dasar dan sekaligus gagasan politis negara adalah sebagai berikut: Kebangsaan,

28
George McTurman Kahin, Nasionalisme dan Revolusi di Indonesia.Diterjemahkan oleh Nin Bakdi
Sumantri (Jakarta: Sebelas Maret University Press, 1995), 153. Saafroedin Bahar,dkk.(penyunting),Risalah
Sidang BPUPKI dan PPKI 28 Mei-22 Agustus 1945 (Jakarta: Sekretariat Negara Republik Indonesia,1995), 38.
Bandingkan Eka Darmaputra, Pancasila, Identitas dan Modernitas, cet.III (Jakarta: BPK.Gunung Mulia, 1991),
104 -105.
29
Roeslan Abdulgani(Ketua Panitia Penerbit),Bahan–bahan Pokok Indoktrinasi, (Jakarta: Prapanca,
1965, Tjetakan ke III), 46. Lihat juga John Titaley, Panggilan Gereja Dalam Heterogenitas Masyarakat
Indonesia (Salatiga: Makalah, 19 Juli 1997), 2

110
Internasionalisme atau peri-kemanusiaan, Mufakatatau demokrasi, Kesejahteraan sosial, dan
Ketuhanan. Makna kebangsaan menurut Soekarno adalah gabungan antara manusia dan
tempatnya. Dalam makna ini bangsa Indonesia, menurut Soekarno adalah seluruh manusia
yang menurut geopolitik tinggal di semua pulau Indonesia dan memiliki perangai mencintai
Indonesia. Namun kebangsaan yang dicita citakan Soekarno, bukan chauvinisme, bukan
kebangsaan yang menyendiri. Oleh karena itu, makna Internasionalisme atau peri-
kemanusiaan, sesuai dengan paparan Soekarno adalah persaudaraan dunia. Kemudian, makna
Mufakat atau Demokrasi dalam uraian Soekarno adalah Indonesia bukan negara untuk satu
golongan melainkan untuk semua golongan. Lalu makna Kesejahteraan Sosial sesuai uraian
Soekarno adalah Indonesia yang sama-sama berkesejahteraan di bidang ekonomi. Makna
Ketuhanan dalam paparan Soekarno adalah Indonesia yang keyakinannya akan ketuhanan
mengakomodir semua konsep ketuhanan agama-agama yang ada di Indonesia. Perumusan
Pancasila yang demikian ini selaras dengan prinsip-prinsip nasionalisme yang telah bergema
dalam hati dan pikiran Soekarno sejak tahun 1920 an.30Menurut Soekarno, lima sila yang
diusulkannya sebagai dasar politik negara, dapat diperas menjadi tiga sila (Sosio-
Nasionalisme, mencakup kebangsaan dan Perikemanusiaan, Sosio-Demokrasi mencakup
Demokrasi dan Kesejahteraan, dan ke-Tuhanan yang berkebudayaan, dapat juga diperas
menjadi satu sila yaitu Gotong-Royong. Dalam hal ini, prinsip utama dalam Pancasila yang
diusulkan Soekarno sebagai ideologi politik negara adalah persatuan dan kesederajatan
Indonesia.31

Pancasila usulan Soekarno untuk menjadi ideologi politik Indonesia dalam pemahaman
seperti terpapar di atas, menunjukkan bahwa eksistensi Indonesia sebagai sebuah negara yang
hendak dibangun adalah sebuah bangsa yang terdiri dari berbagai kelompok, dimana nanti di
dalam negara bangsa Indonesia itu, semua golongan dan kelompok diakui eksistensinya dan
ditempatkan dalam kedudukan yang setara. Dalam paparannya tentang Pancasila dengan
gagasan yang demikian, Soekarno ada mengatakan: “Negara Indonesia yang kita semua harus
mendukung dan mencintainya, Semua buat semua! Bukan Kristen buat Indonesia, bukan

30
Soekarno, “Nasionalisme, Islamisme dan Marxisme, dalam Di Bawah Bendera Revolusi (Jakarta:
Panitia Penerbit Di Bawah Bendera Revolusi,1963), 1-23.
31
John Legge,Sukarno Sebuah Biografi Politik,Terjemahan Tim Penerbit Sinar Harapan(Jakarta:Sinar
Harapan,1995), 218.Bandingkan Saafroedin Bahar dkk.,Risalah Sidang Badan Penyelidik Kemerdekaan
Indonesia(BPUPKI) dan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia(PPKI) (Jakarta: Sekretariat Negara
Republik Indonesia,1995), 82.Bandingkan,Parakitri T.Simbolon,Menjadi Indonesia:Akar-akar Kebangsaan
Indonesia (Jakarta: Kompas Grasindo,1995),250-251. Bandingkan juga John A Titaley,A Socio historical
Analysis of The Pancasila as Indonesia’s State Ideology in The Light of The Royal Ideology in The Davidic
State (Th.D.diss., Graduate Theological Union Berkeley,California,1991),141.

111
golongan Islam buat Indonesia, bukan Hadikoesoemo buat Indonesia, bukan Van Eck buat
Indonesia, bukan Nitidemito yang kaya untuk Indonesia, tetapi Indonesia buat Indonesia!-
semua buat semua. Prinsip gotong-royong diantara yang kaya dan tidak kaya, antara Islam
dan Kristen, antara yang Indonesia tulen dengan peranakan yang menjadi Indonesia”.
Perkataan Soekarno ini mempertegas bahwa eksistensi Indonesia Pancasila adalah sebuah
bangsa yang dibentuk di atas perbedaan baik daerah, etnis, agama, ras dan golongan, namun
hendak hidup bersama dalam negara bangsa yang bernama Indonesia. Keindonesiaan adalah
sinergi dari bermacam kelompok yang berbeda yang ada di wilayah Indonesia.32

Usulan Pancasila Soekarno tentu dengan maknanya pula, dapat diterima oleh BPUPKI
dalam sidangnya yang pertama. Namun dalam sidangnya yang kedua, 10-17 Juli 1945, ketika
BPUPKI melakukan pembahasan lanjutan tentang dasar negara dan Undang-Undang Dasar,
pernyataan kemerdekaan Indonesia, bentuk negara, wilayah negara, warga negara, keuangan
negara dan pembelaan negara, persoalan kedudukan agama dalam negara diperdebatkan
kembali. Melalui perdebatan yang panjang, pada tanggal 16 Juli 1945, BPUPKI menyepakati
rancangan pembukaan UUD,33 yang didalamnya tercantum dasar negara Indonesia, yaitu
Pancasila yang populer dengan sebutan Pancasila versi Piagam Jakarta.Urutan dan rumusan
Pancasila versi Piagam Jakarta adalah sebagai berikut: Ketuhanan dengan menjalankan
syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan
Indonesia, Kerakyatanyang dipimpin olehhikmat-kebijaksanaan dalam permusyawaratan-
perwakilan, Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.34

Pancasila versi Piagam Jakarta seperti terpapar di atas, adalah hasil rumusan panitia
kerja BPUPKI yang bertugas menyusun rancangan Pembukaan UUD. Panitia ini terdiri dari
sembilan orang sehingga disebut juga dengan nama Panitia Sembilan. Kesembilan orang itu
adalah sebagai berikut: Soekarno sebagai ketua, Mohammad Hatta, Mohammad Yamin, A
Subardjo, A.A.Maramis, K.H.Muzakhir, K.H.Wachid Hasjim, Abikusno Tjokrosujoso dan

32
Saafroedin Bahar,dkk.,(Penyunting), Risalah Sidang . . . , 82.
33
Soekarno menyebut rancangan Pembukaan UUD ini dengan nama “Mukadimah”, oleh Mohammad
Yamin dinamakan “Piagam Jakarta”, sedangkan oleh Soekiman Wirjosandjojo disebut “Gentlemen’s
Agreement”. Lihat Yudi Latif, Negara Paripurna,Historisitas,Rasionalitas,dan Aktualitas Pancasila (Jakarta:
Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama,cetakan keempat,2012),284. Rumusan Piagam Jakarta dari Panitia Kerja
9 BPUPKI tertera dalam lampiran 1 dari disertasi ini.
34
Saafroedin Bahar dkk., (Penyunting), Risalah Sidang . . . , 69-76. Lihat Yudi Latif, Negara
Paripurna, Historisitas, Rasionalitas dan Aktualitas Pancasila (Jakarta: Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama,
cetakan keempat, 2012), 78.

112
K.H. Agus salim.35 Dalam Pancasila versi Piagam Jakarta Kebangsaan digeser oleh
Ketuhanan. Terjadinya pergeseran ini saja, oleh Darmaputra sudah ditafsirkan sebagai
kesepakatan kompromis kelompok nasionalis dan kelompok Islam dalam Panitia Sembilan
untuk memenuhi aspirasi kelompok Islam yang memang menghendaki ideologi Islam sebagai
ideologi negara.36

Dalam Pancasila dan UUD kesepakatan 16 Juli 1945, yang nampaknya memang
sebagai sebuah kesepakatan kompromistis antara golongan ideologi kebangsaan dan
golongan ideologi Islam, masyarakat Islam diberi hak khusus, berbeda dari komunitas-
komunitas Indonesia lainnya. Hak khusus ini, oleh wakil kaum Islam memang sangat
diperjuangkan dengan alasan, pertama, Islam tidak dapat dipisahkan dari negara sebab Islam
mengandung ideologi negara, dan kedua, karena komunitas Islam adalah mayoritas. Hak
khusus ini sudah terlihat jelas dalam sila pertama Pancasila versi Piagam Jakarta sebagaimana
tertuang dalam rumusan: “ke-Tuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi
pemeluk-pemeluknya.” Hak khusus bagi kaum Islam, tercantum pula dalam pasal 29 ayat 1
dan pasal 6 ayat 1 UUD. Dalam pasal 29 ayat 1: “Negara berdasar atas keTuhanan Yang
Maha Esa, dengan kewajiban menjalankan sjari’at Islam bagi pemeluk- pemeluknya.” Dalam
pasal 6 ayat 1: “Presiden ialah orang Indonesia asli yang beragama Islam.”37

Makna Indonesia sebagai sebuah fenomena baru, dimana Pancasila adalah ideologi
politiknya, tergambar jelas dan final dalam pergumulan, perdebatan dan ketetapan yang
diambil dalam sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). PPKI yang disebut
Dokuritzu zyunbi Iinkai juga dibentuk oleh pemerintah Jepang pada tanggal 7 Agustus 1945,
sehari setelah Amerika membom Hiroshima. PPKI yang anggotanya adalah semua orang
Indonesia, dipimpin oleh Soekarno sebagai ketua dan Mohammad Hatta sebagai wakil ketua.
Dalam sidangnya pada tanggal 18 Agustus 1945, sehari setelah Indonesia memproklamirkan
kemerdekaannya, PPKI mengamandemen hak khusus kaum Islam dalam Pancasila dan dalam
UUD hasil kesepakatan 16 Juli 1945. Peniadaan hak khusus kaum Islam ini terjadi karena
keberatan dari wakil-wakil Katolik dan Protestan yang memandang bahwa kalimat “dengan
kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluknya”, (dalam Pancasila Piagam Jakarta
dan UUD pasal 29 ayat 1 keputusan BPUPKI 16 Juli 1945) dan kalimat “Presiden ialah orang
35
Saafroedin Bahar,dkk(penyunting), Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan
Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia(PPKI) (Jakarta:Sekretariat
Negara Republik Indonesia, 1995), 94-95, 120, 177.
36
Eka Darmaputra, Pancasila Identitas dan Modernitas, cetakan III (Jakarta: BPK. Gunung
Mulia,1991), 108.
37
Roeslan Abdulgani,Bahan-bahan Pokok . . . , 266, 351.

113
Indonesia aseli yang beragama Islam” (UUD pasal 6 alinea 1 keputusan BPUPKI 16 Juli
1945) sebagai politik diskriminasi yang sengaja dimuat dalam dasar negara dan undang
undang dasar terhadap kelompok minoritas. Keberatan dan pandangan para wakil Katolik dan
Protestan membuat PPKI meyadari bahwa politik diskriminasi memang sepatutnya tidak
boleh ada pada dasar negara dan UUD dari Indonesia merdeka. Hal itu disadari demikian,
karena masyarakat Indonsia yang pluralistis suku dan agama, dengan spirit dan prinsip-
prinsip nasionalisme telah menyatakan kemerdekaannya sebagai kemerdekaan dari satu
bangsa yaitu bangsa Indonesia.38

Berdasarkan keputusan sidang PPKI pada tanggal 18 Agustus 1945, maka Pancasila
yang absah secara yuridis konstitusional berlaku sebagai dasar negara Indonesia adalah
Pancasila tanpa hak khusus bagi kaum Islam. Pancasila dalam bentuk definitif dan resmi itu,
tercantum dalam pembukaan UUD keputusan PPKI 18 Agustus 1945. Rumusan dan urutan
dari Pancasila termaksud ialah sebagai berikut:Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan
yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat
kebijaksanaan dalam permusyawarahtan-perwakilan, Keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia. Urutan Pancasila ini tidak bersifat sequent atau prioritas, tetapi justru masing-
masing sila ini saling kait mengait.

Dilihat dari proses penetapannya sebagai dasar negara Indonesia, dapat disimpulkan
bahwa Pancasila dikonstruksi berlandaskan pada kesadaran dan kesepakatan bersama bangsa
Indonesia, sebagai sumber otoritas transendental bagi seluruh rakyat Indonesia dalam
pluralitasnya dan dalam kebersamaan sosialnya

IV. 3. Maksud Perumusan Masing-Masing Sila Dari Pancasila

Memperhatikan konteks kelahirannya dan mencermati proses perumusan dan penetapan


Pancasila sebagai karakter dan dasar negara sebagaimana terpapar pada uraian-uraian di poin
IV.1 dan IV.2, maka maksud urutan dan rumusan masing-masing sila dari Pancasila dpat
didiskripi sebagai berikut:

IV.3.a. Maksud Sila Ketuhanan Yang Maha Esa

Ditetapkannya “Ketuhanan Yang Maha Esa” sebagai sila pertama dimaksudkan sebagai
dasar yang memimpin. Artinya kelima sila dari Pancasila tidak ada yang lepas dari yang lain.

38
Mohammad Hatta,Memoir(Jakarta:Tinta Nas Indonesia,1979), 458-9. Lihat Saafroedin Bahar dkk.,
Risalah Sidang . . . , 415.

114
Sila yang satu harus djalankan bersamaan dengan sila-sila yang lainnya. Tidak ada yang
boleh terlepas dengan sendirinya. Sila “Ketuhanan Yang Maha Esa” sebagai lapis etik dari
dasar negara didahulukan, karena ia merupakan sumber yang tidak hanya semata-mata
rasional, sehingga bila suatu saat bangsa Indonesia buntu jalan atau sesat jalan, ada unsur
gaib yang memberikan petunjuk dan yang akan mendorong bangsa ini menuju ke jalan yang
benar39. Dengan berdasar “Ketuhanan Yang Maha Esa”, nasionalisme Indonesia ialah
nasionalisme ke-timuran dan sekali-kali bukanlah nasionalisme ke-baratan yang menurut
perkataan C.R. Das adalah suatu nasionalisme yang menyerang-nyerang, suatu nasionalisme
yang mengejar keperluannya sendiri. Suatu nasionalisme perdagangan yang untung atau rugi.
Nasionalisme Indonesia adalah nasionalisme yang digerakkan oleh spirit bahwa Indonesia
adalah perkakasnya Tuhan sehingga harus hidup dalam roh.40

Dengan berdasar “Ketuhanan Yang Maha Esa”, Indonesia adalah negara demokrasi
yang memberi tempat pada peran publik agama tanpa terjebak dalam paham teokrasi. Dalam
hal ini, bangsa Indonesia tidak meniru sejarah negara-negara Barat yang mengalami
pertentangan antara agama dan negara. Mulanya gereja menguasai segala-galanya termasuk
negara. Kemudian negara memprotes sampai akhirnya berbagi tugas, dunia diurus negara,
akhirat diurus gereja. Dengan berdasar “Ketuhanan Yang Maha Esa”, Indonesia adalah
negara demokrasi dimana fungsi antara agama dan negara tidak dalam pola penyatuan atau
pemisahan namun dalam pola pembedaan, ada urusan agama dan ada urusan negara. Dalam
pola yang demikian, negara tidak dikendalikan oleh agama dan agama tidak diperalat oleh
negara.41

IV.3.b.Maksud Sila Kemanusiaan Yang Adil Dan Beradab

Dengan ditetapkannya “Kemanusiaan Yang Adil Dan Beradab”, sebagai sila kedua dari
Pancasila, dimaksudkan bahwa Indonesia adalah bangsa yang menghargai manusia sebagi
manusia dari segi batinnya. Melalui sila kedua ini, Pancasila yang adalah karakter dan
falsafah Indonesia melihat semua anak manusia yang walaupun pada berbeda suku, ras dan
agama adalah sesama manusia yang harus diperlakukan secara manusiawi dan bermartabat.
Sebagai bangsa yang berperikemanusiaan, Indonesia hendak menjalankan perilaku yang anti
kekerasan dan anti penyiksaan42. Sebagai bangsa yang menjunjung tinggi kemanusiaan,

39
Z.Yasni,Bung Hatta Menjawab,Cetakan ketiga(Jakarta:Gunung Agung,1980),90-91.
40
Yudi Latif,Negara Paripurna . . . , 68.
41
Z.Yasni,Bung Hatta Menjawab. . . . , 89. Lihat juga Yudi Latif,Negara Paripurna . . . , 72-4.
42
Z.Yasni,Bung Hatta Menjawab . . . , 90.

115
Indonesia memiliki kesadaran bersama bahwa setiap manusia dari latar belakang apapun dia,
adalah teman dan kawan seperjuangan, bukan musuh, bukan benda atau mesin atau barang
mati. Oleh karena begitu kesadaran bersama Pancasila, Indonesia melihat bahwa unsur
manusia sangat penting dihormati dan jangan sampai diinjak atau terinjak. Dalam hal ini,
kekerasa, intimidasi, teror, mau menang sendiri bukanlah jiwa Indonesia.43

Prinsip kehidupan dalam sila “Kemanusiaan Yang Adil Dan Beradab” seperti
termaksud di atas, memberi tempat bagi semua agama di Indonesia ada dalam posisi yang
setara, duduk sama rendah dan berdiri sama tinggi. Semua agama di Indonesia memiliki hak
dan kewajiban yang sama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Semua agama
Indonesia memiliki tanggung jawab bersama untuk membangun Indonesia menuju cita-
citanya. Agama-agama yang ada di Indonesia bukan hanya sekedar aksesoris yang menempel
di Indonesia dan karena itu dapat berlaku semena-mena dan dangkal terhadap Indonesia.
Semua agama menjadi bagian yang utuh dari Indonesia bukan dalam rangka menguasai
Indonesia menurut tradisi yang membentuknya, melainkan semua agama ada dalam rangka
memanifestasikan keindonesian. Semua agama Indonesia terpanggil untuk selalu sensitif dan
korektif terhadap segala tindakan dan perilaku mereka, agar mereka jangan sampai
mengkhianati karakter dan cita-cita Indonesia. Agama-agama Indonesia terpanggil untuk
membuang sifat triumphalis dan kebiasaan hidup sendiri-sendiri secara eksklusif, karena itu
akan mengganggu karakter keindonesiaan yang sangat menghargai kemanusiaan.

IV.3.c. Maksud Sila Persatuan Indonesia

Penetapan “Persatuan Indonesia” sebagai sila ketiga dari Pancasila, adalah menganti
sila Kebangsaan yang disebut Soekarno. Hal itu terjadi demikian karena pada masa BPUPKI
dan PPKI bekerja, ada suatu arah-arah Jepang hendak membagi-bagi Indonesia. Dengan
penekanan pada Persatuan Indonesia sebagai ganti kata Kebangsaan, dimaksudkan bahwa
Indonensia sebagai suatu bangsa tidak dapat dibagi-bagi dan harus tetap menjadi satu.
Penekanan Persatuan Indonesia yang demikian ini, dimaksudkan bahwa Indonesia adalah
bangsa yang didasarkan pada kolektivisme bukan individualisme. Maksudnya Indonesia
adalah bangsa yang berbeda dengan kebanyakan bangsa Eropa, tidak mendahulukan individu
dari masyarakat, namun mengutamakan masyarakat dari individu.44

43
Z.Yasni, Bung Hatta Menjawab . . . , 92-93.
44
Ibid., 91.

116
Melalui sila “Persatuan Indonesia” Pancasila sebagai ideologi politik Indonesia,
membuat Indonesia yang terdiri dari berbagai identitas primordial menyatu menjadi satu
keluarga besar Indonesia.Namun ideologi politik Indonesia ini tidak menghilangkan identitas
primordial. Oleh karena itu, jati diri Indonesia yang berideologi politik Pancasila, memiliki
dua identitas yaitu identitas nasional dan identitas primordial. Kedua identitas ini tidak bisa
ditiadakan dan juga tidak bisa saling meniadakan. Sebaliknya kedua identitas ini saling
mendukung dan menguatkan. Hubungan timbal balik antara identitas nasional dan identitas
primordial membuat Indonesia menjadi sungguh Indonesia. Memaksakan satu identitas
primordial menjadi identitas nasional bagi yang lainnya, membuat Indonesia tidak menjadi
Indonesia yang sesungguhnya. Dalam hal ini, setiap komponen Indonesia dalam kategori
identitas primordial harus mengidentifikasi dirinya sebagai anak bangsa dan bukan sebagai
anak emas. Sebagai anak bangsa, masing-masing komponen bangsa terpanggil untuk diatur
dan dikontrol oleh identitas nasional demi optimalnya fungsi mereka sebagai bagian dari
keluarga besar Indonesia.45

Gagasan tentang persatuan Indonesia, tidak dimaksudkan untuk menghapuskan segala


wujud dan bentuk keragaman yang secara alami, kultural dan historis ada dan berkembang
dalam proses dinamik mengindonesia dari segenap penduduk yang sebelumnya berada di
wilayah Hindia Belanda. Nampaknya, cita-cita yang demikianlah yang melatarbelakangi
Indonesia menetapkan Bhinneka Tunggal Ika sebagai semboyan nasional. Sebagai semboyan
nasional, Bhinneka Tunggal Ika adalah pengakuan masyarakat Indonesia akan keragaman
bangsa dan sekaligus merupakan penegasan bahwa keragaman Indonesia itu diikat oleh
bingkai kesatuan. Dalam bercita-cita mewujudkan Indonesia yang ber-Bhinneka Tunggal Ika,
yakni Indonesia yang satu dalam keragaman dan beragam dalam kesatuan, setiap komponen
bangsa terpanggil untuk mengelola secara dialektik antara ide kesatuan dan realita keragaman
Indonesia.46Setiap komponen bangsa patut merawat dan menghargai keragaman Indonesia
tidak dalam rangka mengorbankan kesatuan Indonesia. Demikian pula setiap rakyat
Indonesia patut memeliara dan mengutamakan kesatuan Indonesia, namun tidak dalam
rangka menafikan keragaman Indonesia.

45
John A.Titaley, Religiositas Di Alinea Tiga Pluralisme, Nasionalisme dan Transformasi Agama-
Agama (Salatiga: Satya Wacana University Press, 2013), 37-38. Bandingkan, John A Titaley, Pluralisme Agama
Dan Nasionalisme, Peranan Agama Dalam Pembentukan Dasar Dasar Kehidupan Berbangsa Di Indonesia
(Bogor: Materi ceramah seminar agama-agama, September,1992), 16.
46
Djohan Effendi, Pluralisme dan Kebebasan Beragama (Yogyakarta: Institut Dian/Interfidei,
Cetakan IV, 2013),1-3.

117
IV.3.d. Maksud Sila Kerakyatan Yang dipimpin Oleh Hikmat Kebijaksanan Dalam
Permusyawaratan/Perwakilan

Dengan ditetapkannya “Kerakyatan Yang dipimpin Oleh Hikmat Kebijaksanaan Dalam


Permusyawaratan/Perwakilan, sebagai sila keempat dari Pancasila dimaksudkan bahwa
demokrasi yang hendak dianut oleh Indonesia bukanlah kerakyatan yang mencari suara
terbanyak saja, tetapi kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/perwakilan. Demokrasi Indonesia bukan demokrasi liberal dan juga bukan
demokrasi totaliter. Demokrasi yang dipimpin oleh hikmat-kebijaksanaan ini, dihidupkan
melalui daya rasionalitas, kearifan konsensual, dan komitmen keadilan yang dapat
menghadirkan suatu toleransi dan sintesis yang positif, sekaligus dapat mencegah kekuasaan
dikendalikan oleh mayokrasi dan minokrasi.47

Dalam demokrasi permusyawaratan, suatu keputusan politik dikatakan benar jika


memenuhi setidaknya empat prasyarat. Pertama, harus didasarkan pada asas rasionalitas dan
keadilan, bukan hanya berdasarkan subyektivitas ideologis dan kepentingan. Kedua,
didedikasikan bagi kepentingan banyak orang, bukan demi kepentingan perseorangan atau
golongan. Ketiga berorientasi jauh kedepan, bukan demi kepentingan jangka pendek melalui
akomodasi transaksional yang bersifat destruktif atau toleransi negatif. Keempat, bersifat
imparsial, dengan melibatkan dan mempertimbangkan pendapat semua pihak, minoritas
terkecil sekalipun, secara inklusif yang dapat menangkal, dikte-dikte minoritas elite penguasa
dan pengusaha, serta klaim-klaim mayoritas.48 Bertolak dari empat persyaratan yang harus
dipenuhi dalam setiap pengambilan keputusan politis dalam demokrasi permusyawaratan itu,
Hatta menegaskan bahwa faham demokrasi Indonesia didasarkan pada mufakat sebagai hasil
daripada permusyawaratan. Dalam bermufakat sebagai hasil dari permusywaratan, mufakat
tidak dipaksakan sebagaimana lazim terjadi di negeri-negeri totaliter, melainkan dibuat
setelah masyarakat menggunakan haknya untuk menyatakan pendapat dalam
permusyawaratan.49Lebih jauh Hatta mengemukakan bahwa, sebagai bangsa yang
berdemokrasi permusyawaratan, setiap rakyat Indonesia berikhtiar untuk merawat mentalitas
kolektifnya tanpa harus menjadi objek kolektivitas yang tidak memiliki kebebasan. Dalam
merawat mentalitas kolektifnya setiap rakyat Indonesia tetap sebagai subyek yang
mempunyai kemauan. Kemudian Hatta juga mengatakan bahwa sebagai bangsa yang

47
M.Hatta, Tanggung Djawab Moril Kaum Inteligensia(Jakarta:Penerbit Fasco,1957),34-5.
48
Yudi Latif,Negara Paripurna . . . , 478.
49
Ibid., 478-479.

118
bermental kolektif demokratis, Indonesia berkehendak agar pendapat dan tindakan setiap
rakyatnya cendrung dikendalikan oleh kepentingan umum. Dalam arti kemauan pribadi setiap
rakyat Indonesia harus beroperasi dalam batas garis kontur kemaslahatan umum.50

Melalui gagasan demokrasi yang berorientasi pada kemaslahatan umum seperti


termaksud di atas,Indonesia hendakmenjadi tempat bagi setiap rakyatnya untuk mewujudkan
kebebasan dengan dijiwai oleh rasa persamaan, persaudaraan dan kekeluargaan bagi semua
kelompok ideologiyang ada di Indonesia.51Dalam berdemokrasi yang demikian ini,
dimungkinkan terjadinya transformasi diri bagi masing-masing kelompok yang ada di
Indonesia. Hal itu diasumsi demikian, karena dalam mewujudkan kebebasan yang tidak
menafikan perasaan bersetara, bersaudara dan berkeluarga, dimungkinkan terjadinya
pemaknaan baru akan hakikat masing-masing kelompok, bahwa dirinya hanya bermakna
sepanjang ia berada dalam relasi yang setara, sederajat, sepersaudaraan bahkan
sekekeluargaan dengan kelompok Indonesia lainnya.

Dalam rangka berdemokrasi Pancasila yang transformatorik, masing-masing identitas


etnik dalam interaksinya dengan indentitas etnik lainnya, perlu terbuka untuk menerima yang
lain dalam batasan cita-cita Indonesiayang mensejahtera, yaitu Indonesia yang hidup
menghargai manusia sebagai manusia, yang hidup dalam persatuan, dan yang hidup dalam
kesetaraan.Dalam demokrasi yang transformatorik, juga terkandung maksud bahwa Indonesia
melihat perbedaan ideologi bukan sebagai ancaman yang harus dimusnahkan, bila senyatanya
ideologi tersebut tidak berseberangan dengan apa yang diperjuangkan Indonesia yakni
kemanusiaan, persatuan, dan kesetaraan.Ideologi-ideologi yang demikian ini, justru dapat
dipergunakan untuk memperkaya rekayasa sosial bangsa Indonesia52

IV.3.e. Maksud Sila Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia

Penetapan sila “Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia” sebagai sila kelima
dari Pancasila, dimaksudkan bahwa Indonesia adalah bangsa yang sangat menghargai
manusia sebagai manusia dari segi lahirnya. Sebagai bangsa yang sangat menghargai manusia
sebagai manusia dari segi lahirnya, Indonesia melihat bahwa memperbaiki taraf kehidupan
rakyat secara fisik sangat penting. Mengadakan perbaikan kehidupan rakyat agar rakyat tidak
hidup dalam kemiskinan tetapi dalam kemakmuran, bagi Hattaadalah strategi efektif untuk

50
Yudi Latif, Negara Paripurna . . . , 479.
51
Ibid.,480.
52
John A.Titaley, “Panggilan Gereja Dalam Heterogenitas Masyarakat
Indonesia”,Makalah(Salatiga,19 Juli 1997),2.

119
merawat dan memperkuat suatu bangsa melawan komunisme. Dengan maksud untuk
membenarkan pendapatnya, Hatta menyebutkan bahwa kehidupan rakyat yang makmur di
Amerika Serikat, menyebabkan tak ada tempat berpijak bagi komunisme berkembang di
Amerika Serikat. Kalaupun dahulu di sana ada masalah diskriminasi terhadap penduduk kulit
hitam, tetapi karena penduduk Amerika yang berkulit hitam memiliki hidup yang lebih baik
dibandingkan dengan sesama mereka yang berkulit hitam yang hidup di negara-negara lain,
maka mereka juga tidak bisa menjadi tempat berpijaknya komunisme.53

Masih terkait dengan sila kelima, Hatta mengatakan bahwa, sila “Kerakyatan Yang
Dipimpin Oleh Hikmat Kebijaksanaan Dalam Permusyawaratan/Perwakilan”, berhubungan
erat dengan sila “ Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia”.54 Hatta berkata demikian,
karena menurut dia, demokrasi politik saja tidak akan dapat mewujudkan persamaan dan
persaudaraan Indonesia. Disamping demokrasi politik, Indonesia melalui sila kelima
Pancasila, juga memberlakukan demokrasi sosial ekonomi. Tanpa ada demokrasi politik dan
ekonomi, Indonesia belum merdeka, Indonesia belum hidup dalam persamaan dan
persaudaraan.55 Senada dengan komentar Hatta ini, Soekarno juga mengkumandangkan
bahwa tanpa ekonomi yang merdeka tidak mungkin kita bisa mendirikan negara, dan tidak
mungkin kita bisa hidup secara merdeka.56 Komentar Hatta dan Soekarno ini, mengantarkan
kita untuk melihat bahwa sila kerakyatan didahului dengan sila persatuan dan diakhiri dengan
sila keadilan. Itu berarti bahwa demokrasi Indonesia mengandaikan adanya semangat
kekeluargaan terlebih dahulu, dan setelah demokrasi politik dijalankan, pemerintah yang
memegang kekuasaan diharapkan dapat mewujudkan keadilan sosial. Demokrasi politik
menjadi prasyarat bagi demokrasi sosial ekonomi yang besifat kekeluargaan.57

Para pendiri Republik Indonesia secara sadar menganut pendirian bahwa revolusi
kebangkitan bangsa Indonesia, sebagai bekas bangsa terjajah dan sebagai bangsa yang telah
hidup dalam alam feodalisme ratusan tahun lamanya, harulah berwajah dua: revolusi politik
dan revolusi sosial. Revolusi politik adalah untuk mengenyahkan kolonialisme dan
imperialisme serta untuk mencapai satu negara Republik Indonesia. Revolusi sosial adalah
untuk mengoreksi struktur sosial-ekonomi yang ada dalam rangka mewujudkan suatu
masyarakat adil dan makmur. Keadilan dan kemakmuran sebagai tujuan akhir dari revolusi
53
Z.Yasni,Bung Hatta Menjawab . . . , 92-3.
54
M. Hatta,Tanggung Djawab Moril . . . ,35,
55
M.Hatta,Demokrasi Kita(Jakarta:Pandji Masyarakat,1960),24.
56
Soekarno,Revolusi Belum Selesai:Kumpulan Pidato Presiden Soekarno,30 September 1965,
Pelengkap Nawaksara(Yogyakarta:Ombak,2005),587.
57
Yudi Latif,Negara Paripurna . . . , 484.

120
Indonesia, hendak diwujudkan dengan jalan mensinergikan demokrasi politik dengan
demokrasi ekonomi, melalui pengembangan dan pengintegrasian pranata kebijakan ekonomi
dan pranata kebijakan sosial, yang berorientasi kerakyatan, keadilan dan kesejahteraan.
Keadilan ekonomi dan jaminan sosial diupayakan tanpa mengorbankan hak milik dan usaha
swasta. Hak milik pribadi dan daulat swasta dihormati dalam kerangka penguatan kedaulatan
seluruh rakyat.58

Makna dari sila “keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia” seperti terurai di atas
menunjukkan bahwa sistem ekonomi Indonesia adalah bukan kapitalis dan juga bukan
sosialis, tetapi sosialis ala Indonesia. Sistem sosialis ala Indonesia adalah perpaduan dari apa
yang baik dari kapitalis dan sosialis, dan seraya dengan itu penghilangan apa yang buruk dari
kedua sistem itu. Sistem sosialis ala Indonesia dalam berekonomi adalah sistem yang
menjunjung tinggi kebebasan individu untuk membangun ekonomi dan mendapat hak milik,
namun dengan penekanan bahwa setiap individu itu adalah individu yang kooperatif dengan
sikap altruis yang mengedepankan tanggungjawab dan solidaritas sosial bagi kebajikan
kolektif. Jadi sistem ekonomi sosialis ala Indonesia adalah sistem yang dijiwai oleh semangat
tolong-menolong, kekeluargaan, gotong-royong, kooperasi, guna untuk mengupayakan
keuntungan bersama dalam berekonomi.59Dalam sistem ekonomi Indonesia yang demikian,
tidak dibenarkan seorang atau satu golongan kecil menguasai penghidupan orang banyak.
Sebaliknya keperluan rakyat yang harus menjadi pedoman bagi seseorang atau kelompok
dalam berusaha. Dengan sistem ekonomi sosialis ala Indonesia, Soekarno merindukan ada
persamaan bagi seluruh rakyat Indonesia di lapangan ekonomi, agar tidak ada kemiskinan di
dalam Indonesia merdeka.60

Sebagai ekspresi dari demokrasi yang bersemangat keadilan, demokrasi Indonesia


mengembangkan sistem pemerintahan yang memberi peran penting pada negara dalam
mengembangkan kesejahteraan rakyat. Para pendiri bangsa menghendaki penjelmaan negara
Republik Indonesia sebagai “negara kesejahteraan” atau “negara pengurus”. Basis legitimasi
“negara kesejahteraan” atau “negara pengurus” ala Indonesia ini, bersumber pada empat jenis
tanggung jawab yaitu: perlindungan, kesejahteraan, pengetahuan dan keadilan-perdamaian.
Negara memilki legitimasi perlindungan sejauh dapat melindungi segenap bangsa Indonesia
dengan mengatasi paham perseorangan dan golongan. Negara memiliki legitimasi

58
Yudi Latif,Negara Paripurna . . . , 492-3.
59
Ibid., 529,570,574,588.
60
Ibid., 583.

121
kesejahteraan sejauh dapat menguasai cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan
yang menguasai hajat hidup orang banyak, menguasai bumi dan air dan kekayaan alam yang
terkandung di dalamnya untuk dipergunakan sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat,
mampu mengembangkan perekonomian sebagai usaha bersama berdasar atas asas
kekeluargaan, serta mengembangkan pelbagai sistem jaminan sosial. Negara memiliki
legitimasi pengetahuan sejauh dapat mencerdaskan kehidupan bangsa dengan jalan
memajukan pendidikan dan kebudayaan. Negara memiliki legitimasi keadilan-perdamaian,
sejauh ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi
dan keadilan sosial dengan mengembangkan politik luar negeri bebas aktif.61

Dengan menjadikan Pancasila sebagai dasar negara, Indonesia bermaksud menjadi


bangsa yang beragama dengan menjunjung tinggi perikemanusiaan dan persatuan. Bangsa
yang hendak menyelesaikan persoalan Indonesia dengan musyawarah untuk mufakat bukan
dengan logika mayoritas. Bangsa yang hendak melihat penduduk Indonesia tidak hidup
dalam kesenjangan sosial yang ekstrem.62

IV.4. Penjabaran Nilai-Nilai Pancasila

Nilai-nilai Pancasila atau religiositas Indonesia sebagaimana telah tergambar sedikit


pada uraian tentang maksud perumusan dari masing-masing sila Pancasila, dapat dijabarkan
lebih dalam dengan menggalinya dari proklamasi kemerdekaan Indonesia, dari Pembukaan
UUD 1945 dan dari Batang Tubuh UUD 1945. Hal itu dimungkinkan demikian, karena nilai-
nilaikeindonesian sebagaimana terbenam atau terkandung dalam Pancasila, tertuang dan
terjabar dalam proklamasi kemerdekaan Indonesia, dalam Pembukaan UUD 1945 dan dalam
Batang Tubuh UUD 1945. Dengan kata lain, semua konsepsi yang terdapat pada Proklamasi
Kemerdekaan Indonesia, Pembukaan UUD 1945, dan Batang Tubuh UUD 1945
merefleksikan nilai-nilai keindonesian, memancarkan kesadaran bersama Indonesiadan
menjunjung tinggi kontrak sosial rakyat Indonesia.63

IV. 4.a. Penjabaran Nilai-Nilai Pancasila Dalam Naskah Proklamasi Kemerdekaan

Teks proklamasi kemerdekaan Indonesia berbunyi sebagai berikut:“Proklamasi. Kami


Bangsa Indonesia dengan ini menyatakan kemerdekaan Indonesia. Hal hal yang berkaitan

61
Yudi Latif,Negara Paripurna . . . , 483,484,493.
62
Yonky Karman,Republik Galau Merajut Asa Esai-Esai Tentang Negara, Bangsa Dan
Kepemimpinan,Cetakan Kedua(Jakarta:BPK Gunung Mulia,2014),118.
63
Kaelan, Pancasila Yuridis Kenegaraan (Yogyakarta: Liberty, 1987), 73.

122
dengan penyerahan kekuasaan dan lain-lain dilaksanakan secara saksama dan dalam tempo
yang sesingkat-singkatnya.Jakarta, 17 Agustus 1945. Atas nama Bangsa Indonesia Soekarno-
Hatta”. Teks proklamasi ini merupakan pernyataan mengenai dekolonisasi Indonesia.
Proklamasi kemerdekaan itu menggambarkan bahwa Soekarno dan Hatta mewakili bangsa
Indonesia. Bangsa Indonesia yang kemerdekaannya diproklamirkan itu, adalah bukan hanya
kemerdekaan dari satu identitas suku atau satu identitas agama saja, melainkan kemerdekaan
bangsa Indonesia dengan segala kemajemukan suku dan agama yang dianut oleh
penduduknya.64

Teks proklamasi kemerdekaan Indonesia disusun oleh Soekarno-Hatta dengan para


pemuda pada tanggal 17 Agustus 1945 jam 03.00 pagi. Teks itu tidak mengikuti rancangan
Pernyataan Indonesia Merdeka yang dipersiapkan oleh BPUPKI. Rencana Pernyataan
Indonesia Merdeka yang dipersiapkan oleh BPUPKI,65 merupakan pengembangan dari
Piagam Jakarta. Konsep Indonesia merdeka versi rencana Pernyataan Indonesia Merdeka
adalah Indonesia sebagai kelanjutan Sriwijaya dan Majopahit, Indonesia yang berada di
bawah persemakmuran Jepang, dan Indonesia yang Islam. Disinyalir oleh Titaley,
sehandainya rancangan ini, yang dipakai untuk proklamasi Indonesia merdeka, maka akan
ada tiga hal yang menjadi ciri dominan Indonesia. Ketiga ciri itu ialah: Pertama, Indonesia
adalah kelanjutan dari kerajaan Sriwijaya dan Majopahit. Kedua, Indonesia adalah bagian
dari Jepang sebagai saudara tua. Ketiga, Indonesia adalah Islam. Melihat latar yang demikian,
teks proklamasi kemerdekaan Indonesia, secara substantif menolak dan menggugurkan
hakikat Indonesia tiga dimensi seperti yang dimaksudkan dalam rancangan BPUPKI. Teks
proklamasi dalam bentuk dua kalimat sederhana namun mengandung makna yang sangat
mendalam dan berarti, menyingkapkan bahwa Indonesia adalah bangsa dengan paham, siprit
dan nilai kebangsaan (persatuan) sehingga meraih kemerdekaan dan kini menjadi satu
bangsa.66

IV.4.b. Penjabaran Nilai-Nilai Pancasila Dalam Pembukaan UUD 1945

Pembukaan UUD 1945 terdiri dari empat alinea. Alinea pertama berbunyi, “Bahwa
sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan
64
Aidul Fitriciada Azhari, UUD 1945 Sebagai Revolutiegrounwet:Tafsir Postkolonial atas Gagasan-
gagasan Revolusioner dalam Wacana Konstitusi Indonesia (Yogyakarta: Jalasutra, 2011), 48.
65
Rancangan Pernyataan Indonesia Merdeka yang dipersiapkan oleh BPUPKI tertera pada lampiran 2
daridisertasi ini.
66
Saafroedin Bahar dkk. Risalah Sidang,390. Lihat John Titaley, Pertimbangan-Pertimbangan
Pendirian Program Pascasarjana Bidang Studi Agama dan Masyarakat (PPSAM) (Salatiga:UKSW,1991), 5.
Bandingkan juga Marwati Djoened Poesponegoro Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia-VI, 66.

123
di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan peri-
keadilan.” Kalimat pada alinea pertama dari Pembukaan UUD 1945 ini, mengandung suatu
pernyataan oyektif dan subyektif. Dalam pernyataan obyektif didogmakan bahwa
imperialisme tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan, sehingga harus
ditentang dan dihapuskan agar semua bangsa di dunia dapat menjalankan hak kemerdekaaan
sebagai hak asasinya. Dalam dogma ini juga terkandung panggilan bahwa setiap hal atau sifat
yang bertentangan atau tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan, juga harus
secara sadar ditentang oleh bangsa Indonesia. Dalam pernyataan subyektif disaksikan bahwa
alinea pertama Pembukaan UUD 1945, adalah juga sebuah aspirasi bangsa Indonesia sendiri
untuk membebaskan dirinya dari imperialisme dan kapitalisme, yang memperlakukan mereka
secara tidak manusiawi dan tidak beradab dalam kurun waktu yang sangat lama. Nilai
keindonesiaan yang ada pada alinea pertama Pembukaan UUD 1945, yang bersifat historis
namun juga sangat bersifat universal, adalah sebuah pengagungan dan pemuliaan akan
kemanusiaan manusia.67

Alinea kedua Pembukaan UUD 1945 menyatakan, “Dan perjuangan pergerakan


kemerdekaan Indonesia, telah sampailah kepada saat yang berbahagia, dengan selamat
sentosa mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu kemerdekaan Negara Indonesia yang
merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur.” Kalimat ini mencerminkan: Pertama, adanya
ketajaman penglihatan bahwa perjuangan kemerdekaan Indonesia telah sampai pada tingkat
yang menentukan. Kedua, adanya pemahaman bahwa momentum berupa kemerdekaan yang
telah dicapai tersebut harus dimanfaatkan untuk menyatakan kemerdekaan. Ketiga, adanya
kesadaran bahwa kemerdekaan itu bukan merupakan tujuan akhir, tetapi masih harus diisi
dengan mewujudkan negara yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur. Bertolak
dari pemahaman dan kesadaran yang demikian, maka nilaikeindonesiaan sebagaimana
diproyeksikan oleh alinea kedua Pembukaan UUD 1945 ialah sebuah penghargaan akan
kebebasan, persatuan, kedaulatan dan keadilan.

Rumusan alinea ketiga Pembukaan UUD 1945 berbunyi, “Atas berkat rahmat Allah
Yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan yang luhur, supaya berkehidupan
kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya.”
Kata “Allah” dalam teks ini harus diganti dengan kata “Tuhan” sesuai dengan konsensus

67
Soekarno, Indonesia Menggugat (Jakarta: Yayasan Pendidikan Sukarna-Inti Idayu Press, 1983), 13-
61. Bandingkan, John Titaley, Nilai-Nilai Dasar Yang Terkandung Dalam Pembukaan Undang Undang Dasar
1945 (Salatiga: Fakultas Teologi UKSW,1999),8. Bandingkan juga,Tim Pusdiklat Pegawai, Undang-Undang
Dasar 1945 (Jakarta: Pusdiklat Pegawai, 2008), 15.

124
PPKI tanggal 18 Agustus 1945. Kesepakatan tentang pengakuan iman bersama semua agama
Indonesia untuk menamai “dia yang mutlak itu” sebagai “Tuhan” bukan “Allah” adalah
penamaan konsensus yang berdasarkan sejarah. Dalam kesepakatan itu dipahamai dan
disetujui bahwa kata “Allah” sebagaimana disampaikan oleh I Gusti Ktut Puja, berkonotasi
hanya untuk sebagian manusia Indonesia, sedangkan kata ”Tuhan” dapat mencakup dan
merangkum manusia Indonesia secara keseluruhan. Kesepakatan PPKI untuk menamai “dia
yang mutlak itu” sebagai “Tuhan” dan bukan “Allah” menyatakan bahwa Indonesia menolak
hegemoni agama tertentu dalam berbangsa dan bernegara. Bahwa dalam Lembaran Negara
No.1 tahun 1945 dan dalam Berita Repoeblik Indonesia – No 7 tertanggal 15 Pebroeari 1946,
penaman untuk “dia yang mutlak itu” masih memakai kata “Allah” bukan “Tuhan” adalah
sebuah penulisan yang bertentangan dengan keputusan bersama, tidak memiliki dasar sejarah,
sehingga Indonesia harus memperbaikinya. Perbaikan ini mutlak harus dilakukan sebagai
salah satu langkah untuk tidak menodai karakter keindonesiaan.68

Dengan mengganti kata “Allah” menjadi kata “Tuhan”, alinea ketiga Pembukaan UUD
1945 seyogianya berbunyi: “Atas berkat rahmat Tuhan ...... maka rakyat Indonesia
menyatakan dengan ini kemerdekaannya”. Menurut Titaley, ini merupakan suatu religiositas
seluruh rakyat Indonesia, yang membuat pernyataan kemerdekaan itu, sebagaimana nampak
dalam anak kalimat terakhir, “maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini
kemerdekaannya.” Rakyat Indonesia ini bukanlah rakyat Indonesia yang beragama Islam
saja, akan tetapi juga yang beragama Hindu, Budha, Kristen, Kebatinan, KongHucu, Marapu,
Kaharingan dan semua agama suku lainnya yang ada di Indonesia. Semua agama Indonesia
mengakui bahwa kemerdekaan itu bukanlah hanya sekedar hak manusia per se, sebab yang
asasi itu bisa menjadi hak manusia karena dimungkinkan oleh rahmat Tuhan. Melalui
pengakuan yang demikian, seperti diungkap Titaley, Indonesia mau menunjukkan rasa
keagamaan dirinya, bahwa teraihnya kemerdekaan yang dalam kenyataannya memang
diperjuangkan oleh bangsa Indonesia dengan korban jiwa, tidak terlepas dari adanya campur
tangan Tuhan Yang Maha Kuasa. Makna dari pengakuan yang demikian, memperlihatkan
bahwa religiositas Indonesia adalah sebuah kesadaran bersama bangsa Indonesia bahwa rasa

68
John Titaley, “Panggilan Gereja Dalam Konteks Heterogenitas Masyarakat Indonesia” Makalah
(Salatiga, 19 Juli 1997), 7,

125
kemanusiaannya tidak bisa dilepaskan dari penghayatan atas keyakinan dan rasa
ketuhanannya.69

Sehubungan dengan gagasan religiositas dalam alinea ketiga Pembukaan UUD 1945 itu
terkait dengan Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, maka Tuhan Yang Maha Kuasa
itu adalah Tuhan dari bangsa Indonesia yang memberi mereka kemerdekaan. Melalui
pemahaman dan pernyataan yang demikian, bangsa Indonesia dalam kepelbagian cara
menghayati agamanya, bersama–sama mengaku mempunyai satu religiositas yang sama,
yaitu adanya kepercayaan bersama terhadap Ketuhanan Yang Maha Kuasa. Dan Ketuhanan
Yang Maha Kuasa itu adalah Ketuhanan Yang Maha Esa. Pemahaman terhadap Ketuhanan
Yang Maha Esa ini, menurut Titaley harus bertolak dari keberadaan bangsa Indonesia itu
sendiri. Lebih jauh Titaley menegaskan bahwa, sehandainya pemahaman terhadap Ketuhanan
Yang Maha Esa, berangkat dari titik tolak yang lain, maka yang akan terjadi adalah
pengingkaran terhadap keberadaan bangsa Indonesia itu sendiri. Dalam pemahaman yang
demikian, masing-masing agama di Indonesia harus membangun perilaku beragamanya
dalam perspektif bahwa sebagai bangsa Indonesia, mereka bersama mengaku mempunyai
Ketuhanan Indonesia Yang Esa. Dalam pembangunan karakter yang demikian, masing-
masing agama Indonesia patut menempatkan diri sebagai anak bangsa dan anak manusia
Indonesia, anak-anak dari Tuhannya bangsa Indonesia demi terpeliharanya kemanusiaan kita.
Jadi, religiositas Indonesia sebagaimana tertuang dalam ungkapan” atas berkat rahmat Tuhan
Yang Maha Esa”, memiliki signifikansi kemanusiaan yang dalam, dimana masing-masing
agama Indonesia menyadari bahwa mereka setara, sama-sama sesama manusia Indonesia
dihadapan Tuhan.70

Mengingat masing-masing agama Indonesia mengaku bahwa mereka sederajat, sama-


sama sesama manusia Indonesia dihadapan Tuhan, maka dalam religiositas Indonesia semua
agama yang pada beragam terpanggil untuk saling mengakui dan saling menghargai satu
terhadap yang lainnya. Dalam religiositas Indonesia, tidak ada salah satu agama melebihi
agama lain, dihadapan Tuhan dan negara. Religiositas Indonesia yang demikian adalah
religiositas inklusif-transformatif. Disebut inklusif karena sebuah agama menerima
keberadaan agama-agama lainnya. Dikatakan transformatif karena agama itu juga mau

69
John A.Titaley, “Pembangunan dan Pengembangan Umat Kristen di Indonesia:Suatu Refleksi
Kontekstual”, Bahan seminar disampaikan dalam Ramadhan di Kampus Universitas Islam Sultan Agung,tanggal
3 Pebruari 1996 di Semarang, 7.
70
Ibid., 8-9.

126
menerima keberadaan dan kepercayaan agama-agama lain, sebagai bagian dari
keberadaannya, sehingga dimungkinkan terjadinya transformasi dalam diri agama itu.71

Alinea keempat Pembukaan UUD 1945 menyatakan, “kemudian daripada itu untuk
membentuk susunan pemerintahan negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa
Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, dan untuk memajukan kesejahteraan umum,
mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan
kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah kemerdekaan
kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia yang
terbentuk dalam susunan negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan
berdasarkan kepada: Ketuhanan Yang Maha Esa, kemanusiaan yang adil dan beradab,
persatuan Indonesia, dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh
rakyat Indonesia.” Dalam alinea ini terpancar jelas bahwa para pendiri bangsa kita, dari sejak
semula menghendaki terbentuknya suatu negara kesatuan, negara yang bersatu dalam bingkai
Negara Kesatuan Republik Indonesia. Jadi pokok pikiran dalam alinea keempat ialah adanya
negara persatuan.

IV.4.c. Penjabaran Nilai-Nilai Pancasila Dalam Beberapa Pasal Dari UUD 1945

Pokok pikiran dalam alinea keempat diuraikan lebih lanjut dalam pasal 1 ayat 1 UUD
1945 yang berbunyi: “Negara Indonesia ialah Negara Kesatuan yang berbentuk Republik.”
Bangsa Indonesia memilih bentuk negara yang dinamakan Republik yaitu suatu bentuk
negara atau pemerintahan yang mengutamakan pencapaian kepentingan umum (res publika)
dan bukan kepentingan perseorangan atau kepentingan golongan. Dalam negara yang
berbentuk republik, dimana bentuk negara yang demikian ini, ditetapkan untuk tidak boleh
dirubah sebagaimana dinyatakan dalam pasal 37 ayat 5 UUD 1945, tercermin jelas bahwa
nilaikeindonesiaan adalah sebuah kesadaran bahwa masing-masing kelompok Indonesia patut
melakukan praktek kehidupan yang mengutamakan kepentingan bersama, tidak merugikan
kelompok lain, tidak mengkerdilkan golongan lain, apalagi mentiadakannya, sebab jika
demikian gagasan tentang negara persatuan Indonesia akan terancam.

Gagasan tentang negara persatuan juga tertuang dalam pasal 6 ayat 1 UUD 1945, yang
berbunyi, “Presiden ialah orang Indonesia asli.” Panitia Lima dalam uraian Pancasila

71
John Titaley,Nilai-nilai . . . ,13 - 16

127
mengatakan bahwa yang dimaksud dengan Indonesia asli dalam UUD pasal 6 ayat 1 ialah
manusia Indonesia yang dijiwai persatuan hidup dengan seluruh alam semesta ciptaan Tuhan
Yang Maha Kuasa, dimana ia menjadi makhlukNya pula, menganut agama apa pun
jua.72Dalam pemahaman yang demikian, UUD 1945 pasal 6 ayat 1 mau menyatakan bahwa
tidak ada penonjolan agama tertentu dalam memilih atau mengangkat pemimpin Indonesia.
Pasal 6 ayat 1 UUD 1945 juga menyatakan bahwa Indonesia adalah negara “semua buat
semua”, dimana tidak ada agama superior maupun inferior oleh polarisasi populasi penganut
sesuatu agama. Nilai keindonesiaan sebagaimana terbenam dalam pasal 6 ayat 1 UUD 1945
adalah sebuah pengakuan bahwa bangsa Indonesia dalam berbagai perbedaannya justru saling
menerima dan saling membutuhkan satu sama lain.

Religiositas Pancasila sebagaimana termaksud di atas, memandang manusia tanpa


polarisasi suku, agama maupun gender.Semua agama saling mengakui dan menghargai, tidak
ada mayoritas minoritas. Semua agama adalah peserta penuh baik dalam hak maupun dalam
kewajiban dalam berindonesia. Semua agama mendapat ruang yang sama bukan saja untuk
mempertahankan identitasnya masing-masing, tetapi juga untuk menyumbangkan sebaik-
baiknya dan sebanyak-banyaknya untuk kepentingan seluruh bangsa Indonesia.73Bertolak
dari pasal 6 ayat 1 UUD 1945, masing-masing agama Indonesia juga terpanggil untuk
mampu berlintas budaya, dalam arti mampu menerima sesuatu di luar atau di atas
keyakinannya yakni keagamaan Indonesia sebagai identitas dirinya selaku manusia
Indonesia.

Makna mengenai negara persatuan tertayang pula dalam pasal 9 ayat 1 UUD 1945 yang
berbunyi, “Demi Allah, saya bersumpah akan memenuhi kewajiban Presiden Republik
Indonesia(Wakil Presiden Republik Indonesia) dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya,
memegang teguh Undang-Undang Dasar dan menjalankan segala undang-undang dan
peraturannya dengan selurus-lurusnya serta berbakti kepada Nusa dan Bangsa.” Kata “Allah”
dalam teks ini seyogianya perlu diganti juga dengan kata “Tuhan “sesuai konsensus PPKI
tanggal 18 Agustus 1945. Dengan perbaikan itu, maka sumpah Presiden/Wakil Presiden
berbunyi,“Demi Tuhan Yang Maha Kuasa, saya bersumpah....”. Sumpah yang demikian tidak
didominasi oleh satu religi tetapi disesuaikan dengan religiositas Indonesia. Menurut pasal 9
72
Mohammad Hatta dan Panitia Lima: Ahmad Subardjo Djojodisujo, A. A. Maramis, Sunario, A. G.
Pringgodigdo, Uraian Pancasila (Jakarta: Mutiara,1984), 17.
73
John Titaley, “Kemerdekaan dan Masa Depan Indonesia”, dalam Tim Balitbang PGI (Penyunting),
Meretas Jalan Teologi Agama-Agama di Indonesia (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1999), 212-213. Lihat John
Titaley, Nilai-nilai dasar yang terkandung dalam Pembukaan UUD 1945 (Salatiga: Universitas Kristen Satya
Waacana, 1999), 16-17. Lihat juga Eka Darmaputra, Pancasila Identitas dan Modernitas, 146.

128
ayat 1 UUD 1945, pemerintah harus menjalankan negara sesuai dengan sumpah
Presiden/Wakil Presiden berdasarkan Ketuhanan keagamaan Indonesia agar pemerintah tidak
kehilangan wibawa ghaib rakyat dari semua agama Indonesia. Pemerintah yang hidup di
dalam religiositas Indonesia, wajib melaksanakan tugas dengan tidak boleh menyimpang dari
jalan yang lurus untuk mencapai kebahagiaan nusa dan bangsa. Dalam hal ini tercermin
bahwa religiositas Indonesia adalah sebuah keyakinan akan ketuhanan yang terwujud dalam
tingkah laku manusia(pemerintah dan rakyat) yang bertanggung jawab untuk kemaslahatan
umum.

Pokok pikiran tentang negara persatuan juga terjabar dalam pasal 29 ayat 2 UUD 1945
yang berbunyi,“Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk
agamanya masing-masing dan untuk beribadah menurut agama dan kepercayaannya itu.”
Hukum ini terlahir dari fakta bahwa bangsa Indonesia mengakui intervensi Tuhan merahmati
perjuangan bangsa Indonesia yang beragam agama. Pengakuan ini memiliki arti bahwa
pemerintah dan rakyat Indonesia meyakini Tuhan merahmati penganut agama apapun yang
ada di Indonesia. Menjamin kebebasan beragama berarti saling mengakui dan saling
mengusahakan keharmonisan dalam berinteraksi antar agama. Pada saat menjabarkan sila
ketuhanan bagi Indonesia merdeka, Soekarno tidak saja menyebut bahwa masing-masing
agama Indonesia bertuhan tuhannya sendiri-sendiri, melainkan juga dia mengatakan bahwa
negara Indonesia merupakan suatu negara yang bertuhan.

Lebih detailnya Soekarno berkata sebagai berikut:“Hendaknja negara Indonesia ialah


negara jang tiap-tiap orangnja dapat menjembah Toehannja dengan tjara jang leloeasa.
Segenap rakjat hendaknja ber-Toehan setjara keboedajaan, ja’ni dengan tiada egoisme-
agama. Dan hendaknja negara Indonesia satu negara jang bertoehan.”74 Perkataan Soekarno
ini mengandung makna bahwa umat beragama Indonesia dalam alam Indonesia merdeka
nanti tidak hanya sekedar menjadi pemeluk-pemeluk suatu agama saja, tetapi lebih dari itu
diharapkan menjadi manusia Indonesia yang memiliki peri kehidupan beragama ala
Indonesia. Dengan kata lain, dalam Indonesia merdeka nanti, semua umat beragama
Indonesia diharapkan tidak saja merupakan masyarakat yang pada beragama, tetapi lebih dari
itu menjadi masyarakat pemeluk sebuah agama yang memiliki religiositas Indonesia yakni
sebuah keyakinan akan ketuhanan yang berimplikasi sosial. Sebuah kesadaran bersama untuk

74
Saafroedin Bahar, dkk., (penyunting), Risalah Sidang . . . , 81.

129
menghormati Tuhan dengan menghapus kolonisasi dalam hal beragama dan melihat semua
agama yang ada di Indonesia adalah setara dihadapan Tuhan, bangsa dan Negara.75

Melalui ungkapan ungkapan seperti: “ber-Toehan secara keboedadajaan, dengan tiada


egoisme agama, dan hendaknya negara Indonesia satoe negara jang bertoehan, dengan tjara
berkeadaban, hormat menghormati satoe sama lain, berketoehanan jang berboedi pekerti jang
loehoer”, Soekarno hendak menunjukkan bahwa religiositas Pancasila tidak diambil dari
salah satu rumusan agama yang ada. Religiositas Pancasila adalah sebuah cita-cita dari rakyat
Indonesia untuk berperilaku sesuai dengan keberadaban manusia-manusia Indonesia.
Religiositas Pancasila adalah sebuah cita-cita bersama dari seluruh rakyat Indonesia untuk
berperilaku sebagai pemeluk agama yang tidak egois, yang berani terbuka untuk saling
menghormati, dan yang berbudi pekerti luhur. Religiositas Pancasila merupakan suatu akad
dan tekad bersama dari manusia-manusia Indonesia untuk menghayati kehidupan mereka
selaku satu bangsa yang merdeka dan berketuhanan yang maha esa. Keberagamaan Pancasila
memiliki kepentingan yang sama dengan kebangsaan Indonesia yakni terciptanya kebangsaan
Indonesia yang bulat. Arti kebangsaan Indonesia yang bulat adalah tidak memuja suatu
kepentingan kelompok, melainkan kebangsaan yang menegakkan peri kemanusiaan secara
universal. Religiositas Pancasila adalah keberagamaan yang tidak mengkultuskan suatu
agama, melainkan menyatukan agama-agama yang ada pada aras praksis bagi penegakkan
peri kemanusiaan.76

Religiositas Pancasila itu berbeda dengan agama. Religiositas Pancasila bukanlah


agama yang berpretensi mengatur sistem kepercayaan, sistem peribadatan dan identitas
keagamaan. Religiositas Pancasila adalah berupa nilai moral universal agama-
agamaIndonesia, sehingga tidak dapat dilepaskan dari cita-cita Indonesia untuk
memperjuangkan kebebasan, kemanusiaan, persatuan, dan keadilan. Dalam religiositas
Pancasila, semua agama Indonesia terpanggil untuk memikirkan ulang keberadaannya,
dogmatisme dan ritualismenya dalam memperjuangkan cita-cita Indonesia yang universal
termaksud di atas. Dalam religiositas Pancasila semua agama di Indonesia dimungkinkan
untuk melakukan tinjauan kritis terhadap eksistensinya di Indonesia. Dalam religiositas
Pancasila, terpancar jelas bahwa agama adalah suatu pranata ilahi yang juga pada saat yang
sama memiliki pranata sosial. Dalam religiositas Pancasila tidak ada perpisahan antara yang

75
Yayasan Idayu (pengumpul), Sekitar Tanggal dan Penggalinya, Guntingan Pers dan Bibliografi
tentang Pancaila, edisi II (Jakarta: 1991), 198
76
Lahirnya Pancasila, dalam Bacaan Kuliah Agama Dan Masyarakat, program pasca sarjana
Universitas Kristen Duta Wacana, dikumpulkan oleh John Titaley (Salatiga, UKSW, 1993),475-6.

130
ilahi dengan yang alami. Keharmonisan antara manusia degan sesama, alam dan Tuhan
adalah kerohanian Indonesia.Karena begitu religiositas Pancasila, maka pranata ilahi yang
diemban oleh agama-agama patut diformulakan seturut dengan ideologi politik Indonesia,
agar semua agama Indonesia fungsional di Indonesia. Dalam hal ini, masing-masing agama
Indonesia tidak dapat memaksakan religionisme di negara Indonesia. Sebaliknya justru
religiositas Indonesia berfungsi sebagai pendorong bagi pemeluk-pemeluk agama menjadi
pejuang-pejuang kemerdekaan, kemanusiaan, kesatuan, kesamaderajatan, dan keadilan.77

Religiositas Pancasila sebagaimana termanifestasi dalam Teks Proklamasi


Kemerdekaan, dalam Pembukaan dan Batang Tubuh UUD 1945 (seperti padapasal 1, 6, 9 dan
29,) adalah sebuah keyakinan atau kesadaran bersama rakyat Indonesia bahwa semua anak
bangsa adalah umat kepunyaan Tuhan yang sama-sama diberi hak untuk hidup dalam
kemerdekaan, persatuan dan kesetaraan. Bertolak dari kesadaran bersama ini, seluruh rakyat
Indonesia terpanggil untuk menjunjung tinggi rasakemanusiaan, rasa persatuandan rasa
kesetaraan dalam berbangsa dan bernegara. Mengingkari kemanusiaan anak bangsa dan
memperlakukan mereka secara diskriminatif adalah sebuah tindakan yang sangat tidak
menghormati Tuhan, sangat tidak manusiawi, tidak memancarkan rasa persatuan sehingga
sekaligus juga sebagai tindakan yang mengingkari religiositas Indonesia. Sebaliknya perilaku
yang menjamin kemerdekaan anak bangsa, menjunjung tinggi rasa kemanusiaan, merawat
persatuan, menegakkan kesederajatan sebagai wujud menghayati rasa ketuhanan demi
keadilan dan kemakmuran bersama, adalah perbuatan yang sangat mencerminkan religiositas
Indonesia.78

Religiositas Pancasila sebagaimana tergambar di atas, dalam pandangan Titaley


bukanlah sebuah religiositas yang eksklusif atau inklusif atau pluralis, tetapi transformatoris.
Bahwa religiositas Pancasila itu bersifat transformatoris, menurut Titaley, karena religiositas
Pancasila menuntut pemahaman yang melewati batas-batas kebenaran ajaran dan dogma hasil
pergumulan manusia dalam agama-agama tertentu. Lebih jauh Titaley mengemukakan bahwa
dalam religiositas Pancasila semua agama Indonesia memposiskan dirinya sebagai manusia
yang bertuhan kepada satu sajaTuhan manusia, yaitu Tuhan Pencipta, sumber dari segala
kehidupan dan kemanusiaan manusia. Di depan Tuhan yang satu itu, bangsa Indonesia degan

77
Yudi Latif,Negara Paripurna, Historisitas, Rasionalitas dan Aktualitas Pancasila (Jakarta: Penerbit
PT Gramedia Pustaka Utama, cetakan keempat, 2012), 110-111.
78
John A.Titaley, Pembangunan dan Pengembangan Umat Kristen di Indonesia: Suatu Refleksi
Kontekstual, Bahan seminar disampaikan dalam Ramadhan di Kampus Universitas Islam Sultan Agung, tanggal
3 Pebruari 1996 di Semarang, 14-15.

131
agamanya masing-masing mengakui dirinya secara sadar bahwa mereka semua adalah sama-
sama anak-anak Tuhan itu, dengan segala kekuatan dan kelemahan mereka, kemuliaan dan
kehinaan mereka. Dalam religiositas Pancasila, banga Indonesia adalah manusia-manusia
yang berusaha dengan segala kekuatannya belajar untuk memahami lebih baik Tuhan yang
satu itu dan kehendakNya bagi umat manusia, melalui pengalaman bersama dan pengenalan
terhadap sesamanya dengan agamanya. Dalam religiositas Pancasila, yakni dalam sebuah
kesadaran dan sikap keagamaan yang bersifat transformatoris, bangsa Indonesia
dimungkinkan untuk menjadi manusia Indonesia yang baik dari Tuhan yang semakin mereka
kenal dengan lebih baik.79

Dilihat dari maksud Pancasila sebagaimana tertuang dalam urutan dan rumusan sila-
silanya dan berdasarkan pada nilai-nilai yang terkandung di dalam rumusan Pancasila
sebagaimana terjabar dalam Proklamasi Kemerdekaan, Pembukaan UUD’45, dan Batang
Tubuh UUD’45, dapat disimpulkan bahwa Pancasila yang merupakan sumber otoritas
transendental bagi Indonesia, yang melahirkan dan yang akan memelihara bahkan yang akan
menyelamatkan Indonesia, dalam meraih kesejahteraan bersama mereka adalah berupa
pengagungan akan kemanusiaan, kesatuan dan kesetaraan.

IV.5. Aktualisasi Pancasila Dalam Perjalanan Sejarah Bangsa

Aktualisasi Pancasila sebagai karakter dan dasar negara Indonesia dalam sejarah
perjalanan bangsa, dilihat dari segi inspirasi fenomenal yang diberi Presiden, bisa
diklasifikasi kedalam tiga jenis aktualisasi. Ketiga jenis aktualisasiitu ialah: aktualisasi
Pancasila sebagai karakter dan ideologi politik Indonesia pada masa pemerintahan Soekarno,
aktualisasi Pancasila sebagai karakter dan ideologi politik Indonesia pada masa pemerintahan
Soeharto, dan aktualisasi Pancasila sebagai karakter dan ideologi politik Indonesia pada masa
pemerintahan Abdurrahman Wahid (masa reformasi). Nampaknya, tidak sulit untuk diasumsi
bahwa bentuk penghayatan akan Pancasila sebagai karakter dan ideologi politik Indonesia,
sangat ditentukan oleh konteks negara dan bangsa Indonesia pada masing-masing masa itu.
Pada masa pemerintahan Soekarno (1945-1966), konteks Indonesia lebih terarah kepada
persoalan bagaimana kedudukan negara Indonesia dalam menghadapi Negara-negara lain,
sehingga negara dan bangsa kurang tanggap untuk menyelesaikan masalah-masalah yang
berkaitan dengan problem intern. Konteks Indoneia pada masa pemerintahan Soeharto (1966-
1998) lebih terfokus pada masalah-masalah intern yang berkaitan dengan kesadaran nasional

79
John A. Titaley, Pembangunan dan Pengembangan . . . , 15-6.

132
yang merelativisasikan dan mempersatukan kepentingan-kepentingan dari kelompok
solidaritas kultural. Kemudian konteks Indonesia pada masa Reformasi (1998 - sampai kini)
merupakan konsentrasi kebangsaan Indonesia yang ditandai oleh kesadaran akan pemilahan
antara pemahaman kebangsaan sebagaimana terumus dalam Pancasila dan UUD 1945,
dengan pemahaman terhadap jenis pemerintahan dalam mengurus bangsa dan negara.

IV.5.a. Aktualisasi Pancasila Pada Masa Pemerintahan Soekarno

Pemerintahan Soekarno dimulai pada tanggal 18 Agustus 1945, ketika PPKI


mengangkat Soekarno sebagai Presiden dan Muhammad Hatta sebagai wakil Presisden
Republik Indonesia. Di masa awal pemerintahannya (1945-1949), Soekarno mengijinkan
lahirnya partai-partai politik dengan karakternya masing-masing. Semua partai politik
termaksud dapat dikelompokkan kedalam tiga aliran ideologi besar, yaitu partai politik yang
berorientasi pada ideologi keagamaan, ideologi kebangsaan, dan ideologi Barat modern non
agama.80 Tujuan dibiarkannya lahir partai-partai politik adalah untuk memperkuat perjuangan
bangsa dalam mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia. Namun dalam
kenyataannya, munculnya partai-partai politik itu hanya menyebabkan berkembangnya
ideologi kelompok, tidak menciptakan adanya kemajuan dalam pemahaman dan penghayatan
serta penghormatan terhadap Pancasila sebagai karakter dan ideologi politik Indonesia.81

Pada masa lima tahun pertama pemerintahan Soekarno (1945-1949), ketika pola politik
partai-partai lebih berorientasi kepada ideologi golongan masing-masing dan mengabaikan
Pancasila sebagai falsafah dan ideologipolitik Indonesia, hakikat politik kelompok anak
bangsa cendrung lepas dari rasa persatuan, kemanusiaan,dankesetaraan.Hakikat politik yang
demikian, menimbulkan di dalam benak masing-masing kelompok anak bangsa, usaha-usaha
ke arah pemusatan kekuasaan dan kekuatan, yang selanjutnya menghasilkan struktur politik
adu kekuatan dan struktur penghitungan kawan-lawan. Struktur politik yang antagonistis ini,
yang dalam pelaksanaannya menghasilkan power-struggle, mengakibatkan banyak
ketegangan, kecurigaan, perpecahan dan juga banyak kali menyebabkan adanya pertumpahan
darah dan pembunuhan di antara sesama anak bangsa.82

80
J. Kristiadi, “Sejarah Perkembangan Organisasi Sosial dan Politik di Indonesia”, Analisa (Jakarta:
CSIS, 1984-1988), 601-2.
81
A. M. W. Pranarka, Sejarah pemikiran tentang Pancasila (Jakarta: Yayasan Proklamasi, CSIS,
1985), 79.
82
A. M. W. Pranarka, Menuju Satu Indonesia Baru (Yogyakarta, 1991), 24.

133
Pemberontakan-pemberontakan yang terjadi pada kurun waktu 1945-1949 adalah
indikator bahwa masing-masing kelompok tega melakukan tindakan kekerasan ketika mereka
hanya terobsesi oleh ideologi golongannya, namun sementara itu Pancasila sebagai
religiositas Indonesia sama sekali tidak terinternalisasi di dalam diri mereka. Tindakan
kekerasan yang demikian itu, bisa terlihat dari pemberontakan Partai Komunis Indonesia
pada bulan September 1948 di Madiun. Karena terobsesi oleh ideologi politik komunis,
mereka menentang sistem pemerintahan yang dinilainya kurang berafiliasi bagi kepentingan
rakyat, dan mereka berjuang menegakkan kelas proletar. Tindakan kekerasan yang mengadu
kekuatan, juga bisa dilihat dari pemberontakan Darul Islam atau Tentara Islam Indonesia
pimpinan Kartosuwiryo, yang karena terobsesi oleh ideologi agama memproklamirkan negara
Islam pada bulan Agustus 1949, sebagai jalan untuk menjadikan Indonesia sebagai negara
agama. Disamping pemberontakan tersebut di atas, juga ada pemberontakan yang bersifat
kesukuan seperti gerakan Republik Maluku Selatan yang ingin mendirikan negara kesukuan
di daerah Maluku pada tahun 1950, pemberontakan pemerintah revolusioner Republik
Indonesia (PRRI) di Sumatra, yang kemudian bergabung dengan gerakan Pembangunan
Semesta(Permesta).

Dalam periode lima tahun pertama pemerintahan Soekarno (1945-1949) Indonesia


memiliki dua Undang-Undang Dasar, yaitu UUD 1945 tertanggal 18 Agustus 1945 dan UUD
Republik Indonesia Serikat tertanggal 27 Desember 1945. Hal itu terjadi demikian, karena
Negara Republik Indonesia Serikat(RIS) hasil dari perundingan meja bundar di Den Haag
Belanda, dimana melaluinya Belanda ingin melemahkan kedudukan Republik Indonesia, juga
memiliki Undang-Undang Dasarnya sendiri. Pancasila sebagaimana dicantumkan dalam
pembukaan UUD 1945, ia dicantumkan juga dalam pembukaan UUD RIS sebagai dasar
negara. Nampaknya keadaan yang demikian ini, membuat Indonesia pada masa pemerintahan
Soekarno di periode 1950-1959, memberlakukan Undang-Undang Dasar sementara (UUDS)
yaitu Undang-Undang Dasar 1950 tertanggal 15 Agustus 1950. Dalam pembukaan UUDS,
Pancasila tetap diterima sebagai dasar negara. Penamaan UUD sementara untuk UUD 1950
agaknya mengindikasikan bahwa pemerintah dan bangsa Indonesia menaruh harap Majelis
Konstituante hasil pemilihan umum 1955, akan membuat Undang-Undang Dasar yang baru
dan permanen.

Sebelum pemilihan umum digelar, Pancasila mendapat dukungan yang kuat dari
berbagai komponen bangsa. Lambang nasional yang berbentuk Garuda telah disetujui pada
tahun 1951 dengan lambang Pancasila dikalungkan pada lehernya. Pada tahun 1951

134
juga,Angkatan Bersenjata merumuskan sumpah prajurit. Dalam sumpah prajurit tersebut
antara lain dinyatakan bahwa seorang prajurit Indonesia adalah seorang yang berdiri di atas
Pancasila sebagai ideologi negara, pendukung yang bertanggung jawab dan juga pelindung
Pancasila sebagai ideologi Indonesia.Angkatan Bersenjata menempatkan dirinya sebagai
pendukung kuat Pancasila. Pancasila juga diterima sebagai satu-satunya dasar oleh beberapa
partai kecil yang baru berdiri.83

Pada masa administrasi Soekarno di periode 1950-1959, bahkan berlanjut sampai tahun
1962, aneka gerakan dari kelompok Darul Islam, seperti gerakan Ibnu Hajar di Kalimantan
Selatan pada tahun 1950, Gerakan Kahar Muzakar di Sulawesi Selatan pada tahun 1951,
Gerakan Tentara Islam Indonesia di Jawa Tengah padatahun 1951, Gerakan Daud Beureueh
di Aceh pada tahun 1953,84tetap berusaha untuk mengganti Pancasila dengan Islam sebagai
dasar negara Indonesia. Usaha itu mereka lakukan baik dengan jalan kekerasan maupun
melalui jalur legal dalam persidangan Konstituante(1957-1959) di Bandung. Waktu
perdebatan dalam Konstituante tentang dasar negara, semua partai Islam sudah bulat
menyuarakan satu cita-cita memperjuangkan ajaran dan hukum Islam menjadi dasar dan
ideologi Negara Republik Indonesia. Perdebatan tentang dasar negara ini mengalami jalan
buntu, sebab baik golongan yang mempertahankan Pancasila sebagai ideologi Negara
maupun golongan yang menghendaki Islam sebagai ideologi Negara, tidak mencapai
mayoritas dalam pemungutan suara. Pemerintah memang mengusulkan supaya, Konstituante
mengesahkan UUD 1945, namun usaha kembali ke UUD 1945 juga mengalami kegagalan,
walau sudah sampai tiga kali diadakan pemungutan suara. Keadaan yang sangat kritis secara
politis inilah yang mendorong Presiden Soekarno untuk menggunakan hak darurat negara
mengadakan Dekrit Presiden Indonesia kembali ke UUD 1945 pada tanggal 5 Juli 1959.

Hal yang juga terjadi pada periode 1950-1959 dari pemerintahan Soekarno, adalah
fakta bahwa Partai Komunis Indonesia (PKI) semakin menguat di Indonesia. Soekarno
merangkul dan banyak memakai orang-orang dari PKI melaksanakan kebijakannya. Hal itu
dilakukan Soekarno, agaknya karena pada masa itu PKI adalah partai yang kuat dan memiliki
banyak kader yang militan. Sangat bisa jadi, Soekarno bertimbang bahwa PKI dapat dipakai
dan diajak bekerjasama untuk menentang penjajahan Belanda di Irian Barat.85 Strategi
Soekarno yang mendekat kepada PKI ini, menimbulkan rasa tidak senang dan kekhawatiran

83
A.M.W.Pranarka,Sejarah Pemikiran . . . , 91-93.
84
J. Kristiadi,Sejarah Perkembangan . . . , 611.
85
Sajuti Melik, “Perkenalan Saya dengan Bung Karno”,80 Tahun Bung Karno(Jakarta:Pustaka Sinar
Harapan,1981),87.

135
dari beberapa kelompok masyarakat. Ketidaksenangan termaksud tercermin pada sikap dari
beberapa komponen bangsa seperti, Partai Katolik menolak konsepsi Presiden pada tanggal
21 Pebruari 1957 karena Partai Katolik tidak mau duduk dalam satu kabinet dengan orang-
orang PKI.86 Demikian juga beberapa Sinode Gereja KristenProtestan seperti Gereja Masehi
Injili Minahasa dan Huria Kristen Batak Protestan menulis keprihatinan terhadap
perkembangan ajaran komunis.87

Dekrit Presiden 5 Juli 1959 memang telah menghentikan perdebatan mengenai dasar
negara di dalam sidang Konstituante. Tetapi kontroversi mengenai dasar negara belum
berakhir. Tidak lama berselang sesudah dekrit Presiden, kedudukan Pancasila
dipermasalahkan dengan dimajukannya persoalan tentang kedudukan Piagam Jakarta.
Masalah ini muncul sebab ada pendapat yang menyatakan bahwa Piagam Jakarta harus
memiliki kedudukan hukum sebagai kaidah fundamental negara.88 Merespon persoalan ini,
Partai Kristen mengemukakan bahwa Piagam Jakarta hanyalah memiliki kedudukan sebagai
dokumen sejarah saja, bukan sebagai dokumen yang mempunyai kekuatan hukum.
Pandangan dari Partai Kristen ini juga memperlihatkan bahwa, kedudukan Piagam Jakarta
hanya disebutkan di dalam konsiderans, tidak di dalam dictum.89Kontroversi mengenai dasar
negara yang belum berakhir ini, menunjukkan bahwa Pancasila sebagai ideologi dan
religiositas Indonesia sebagaimana tercantum dalam UUD 1945 belum diterima secara benar
oleh seluruh masyarakat Indonesia. Beberapa golongan masih berkeinginan untuk
menafsirkan Pancasila menurut ideologi kelompoknya masing-masing. Keadaan yang
demikian ini berpotensi menimbulkan pertentangan ideologis diantara anak bangsa.

Bertolak dari asumsi dan dalam rangka mengantisipasi kemungkinan terjadinya


pertentangan ideologis diantara anak bangsa yang justru dipicu oleh kehidupan partai, maka
pemerintahan Soekarno pada tanggal 31 Desember 1959 mengeluarkan Penpres No.7 tahun
1959 tentang syarat-syarat bagi kepartaian. Syarat-sayarat bagi kepartaian tersebut adalah
sebagai berikut: Pertama, partai harus menerima dan mempertahankan asas dan tujuan
Negara Kesatuan Republik Indonesia menurut UUD 1945 yang memuat dasar-dasar negara

86
G. Moedjanto, “Pandangan Khatolik Dan Sejarah Demokrasi di Indonesia”, Himpunan materi
saresehan Dewan Riset Nasional ke IV (Jakarta: 1989),138.
87
Dewan Gereja Indoneia,Warta Pekerjaan Badan Pekerja DGI dari Juli 1953-Juli 1956 (Jakarta:
DGI), 21-22.
88
Endang Saifuddin Anshari, Piagam Jakarta 22 Juni 1945, Dan Sejarah Konsensus Nasional Antara
Nasionalis Islam Dan Nasionalis Sekuler Tentang Dasar Negara Republik Indonesia 1945-1959 (Bandung:
Pustaka Salman ITB, 1983), 116-128.
89
J. C. T. Simorangkir, “Tentang Anjuran Untuk Kembali Kepada Undang-Undang Dasar 1945,
Honeste Vivere (Jakarta: Fak. Hukum UKI No. 11, 1991), 70.

136
yaitu:Ketuhanan Yang Maha Esa,Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia,
Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan,
dan Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Kedua, program kerja berdasarkan
Manifesto Republik Indonesia. Ketiga, dalam Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga
harus dengan tegas dicantumkan organisasi lain yang mendukung, dan atau bernaung di
bawah partai politik. Keempat, dalam memperjuangkan kegiatan harus menggunakan jalan
damai dan demokratis. Kelima, partai harus mempunyai cabang yang tersebar paling sedikit
seperempat jumlah Daerah Tingkat (Dati) I dan jumlah cabang minimal seperempat jumlah
Dati II di seluruh Indonesia. Keenam, partai tidak boleh menerima orang asing sebagai
pengurus maupun bantuan dari orang asing. Ketujuh, Presiden berhak mengawasi dan
memerintahkan untuk memeriksa tata usaha, keuangan dan kekayaan partai-partai.90

Syarat-syarat kepartaian seperti tersebut di atas, pada periode 1959-1965 dari


pemerintahan Soekarno, ternyata belum mampu menciptakan politik yang stabil. Hal ini
terjadi demikian, agaknya karena masyarakat telah terlanjur masuk kedalam kotak-kotak
golongan yang berorientasi kepada ideologi kelompok bukan kepada ideologi Indonesia.
Keadaan yang demikian, menimbulkan pertentangan di antara anak bangsa. Pertentangan
yang terjadi itu tidak hanya di antara partai-partai politik, tetapi juga di antara organisasi-
organisasi masyarakat yang bernaung di bawah partai-partai politik. Pertentangan-
pertentangan adu kekuatan di dalam masyarakat semakin lama semakin tajam dan meningkat
menjadi pemberontakan. Salah satu pemberontakan dimana beberapa tokoh Partai Politik
Masyumi dan Partai Sosialis Indonesia terlibat, adalah pemberontakan yang dilakukan oleh
kelompok anak bangsa yang bermaksud memisahkan diri dari negara Republik Indonesia dan
ingin mendirikan Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI). Sehubungan dengan
terlibatnya beberapa tokoh dari Partai Politik Masyumi dan Partai Sosialis Indonesia dalam
pemberontakan itu, maka melalui Keppres No.200 dan 201 tahun 1960, kedua partai tersebut
dibubarkan.91

Dengan dibubarkannya Partai Masyumi, hubungan Soekarno dengan beberapa kekuatan


politik-politik Islam agak renggang. Sementara itu, kendatipun Partai Naional Indonesia
adalah partai terbesar namun karena sedang ada dalam perpecahan, maka Partai Komunis
Indonesia menjadi partai politik terkuat di Indonesia pada masa lima tahun terakhir
pemerintahan Soekarno. Walaupun keadaannya demikian, Soekarno tetap setia kepada cita-

90
J.Kristiadi, Sejarah Perkembangan . . . , 614-5.
91
Ibid., 615.

137
citanya untuk mempersatukan kekuatan-kekuatan yang secara ideologis berbeda bahkan
bertentangan, menjadi satu kekuatan melalui konsep nasional agama dan komunis
(NASAKOM). Dalam konsep NASAKOM Soekarno berkeyakinan dan berharap bahwa
meskipun masing-masing golongan mempunyai ciri khasnya sendiri-sendiri, semua golongan
tersebut dapat dipersatukan guna mencapai tujuan bersama yaitu masyarakat Indonesia yang
adil dan makmur. Kemudian dalam rangka mengajak rakyat untuk menyelamatkan dan
melanjutkan revolusi, Soekarno dalam pidatonya pada ulang tahun Proklamasi Kemerdekaan
Indonesia, dengan judul “Laksana Malaikat yang Menyerbu dari Langit: Jalannya Revolusi
Kita”, mengkumandangkan Manifestasi Politik: UUD 1945, Sosialisme Indonesia,
Demokrasi Terpimpin, Ekonomi Terpimpin dan Kepribadian Indonesia (MANIPOL
USDEK). Menurut Soekarno,MANIPOLUSDEK adalah proyeksi daripada Pancasila. Ia
merupakan satu kesatuan dengan Pancasila. Lebih jauh Soekarno menegaskan bahwa
MANIPOL USDEK adalah progresif kiri yang mengabdi kepada kepentingan masyarakat
banyak, dalam semangat gotong royong.92

Upaya Soekarno sendiri, untuk menggalang semua kekuatan bagi persatuan bangsa,
nampak nyata dalam amanat yang disampaikannya, pada Sidang Raya V Dewan Gereja-
Gereja di Indonesia yang berlangsung di Jakarta pada tahun 1964. Melalui amanatnya yang
berjudul “Tudjuan Revolusi Indonesia Paralel dengan Tudjuan Agama Kristen”, Soekarno
ingin komunitas Kristiani Indonesia berpartisipasi aktif dalam revolusi yang berlangsung di
Indonesia.93Upaya Soekarno untuk menggalang semua kekuatan bagi persatuan bangsa juga
terlihat jelas dalam sikapnya yang bersahabat terhadap beberapa institusi Islami seperti
Yayasan Api Islam yang berdiri tahun 1964, yang memiliki arah pikiran sejalan dengan
konsep NASAKOM, bahwa untuk mencapai kebebasan manusia, makhluk ciptaan Allah
meliputi semua umat manusia, baik Islam maupun bukan, harus membentuk persatuan dan
solidaritas.94

Konsep NASAKOM, MANIPOL USDEK dan posisi PKI yang seolah-olah berperan
sebagai pembela Soekarno, dipakai oleh PKI sebagai batu loncatan untuk memperjuangkan
cita-citanya. Berlindung dibalik citra baiknya di mata Soekarno, PKI beserta ormas-ormasnya
meningkatkan aktivitas politiknya yaitu memperluas pengaruh ideologi yang dianutnya di

92
Sukarno, Amanat Proklamasi: Pidato Ulang Tahun Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, Jilid III
(Jakarta: Inti Idayu Press-Yayasan Pendidikan Soekarno,1986), 145.
93
Dewan Gereja Indonesia, Jesus Kristus Gembala Jang Baik(Djakarta: DGI, 1964), 343-344
94
Howard M.Federspiel, “Soekarno dan Apolog-Apolog Muslimnya”, Jurnal Ulumul Quran (II/1990
No.7), 40-2.

138
kalangan masyarakat. PKI semakin berani melakukan tekanan-tekanan terhadap kelompok
nasionalis dan agamais, serta pada waktu yang bersamaan berusaha meningkatkan
pengaruhnya kepada Soekarno.95Dalam suasana yang demikian, kedudukan Pancasila sebagai
religiositas Indonesia menjadi semakin kabur. Pancasila sebagai kesadaran dankonsensus
bersama Indonesia telah tergantikan oleh NASAKOM dan MANIPOL USDEK, yang
dirasakan sebagai ideologi baru dengan fungsi kritis yang lebih nyata dibandingkan dengan
Pancasila. Dalam keadaannya yang demikian, walau Pancasila banyak dibicarakan, pada
masa lima tahun terakhir pemerintahan Soekarno, namun secara formal, pemahaman dan
penghayatan akan Pancasila telah menjadi suatu interpretasi, yang bila dicermati secara kritis
sesungguhnya pemahaman dan penghayatan itu, tidak lagi sama dengan Pancasila.96

Bahwa pemahaman dan penghayatan PKI tidak lagi sama dengan Pancasila,
sebagaimana terlihat dalam tindakannya, melakukan tekanan-tekanan terhadap kelompok
nasionalis dan agamais, menampak juga dalam aksinya mendalangi usaha kudeta dalam
gerakan 30 September 1965. Mengingat fakta-fakta yang terkumpul banyak mengindikasikan
keterlibatan PKI dalam usaha kudeta itu, maka kelompok nasionalis dan agamais merapatkan
barisan, kemudian menyatukan pendapat untuk menuntut pembubaran PKI oleh Presiden
Soekarno. Atas tuntutan komponen-komponen bangsa tersebut, maka Preiden Soekarno
mengeluarkan surat perintah pada tanggal 11 Maret 1966 (Supersemar) diberikan kepada
Jenderal Soeharto untuk mengambil segala tindakan yang dianggap perlu, dalam menjamin
stabilitas keamanan demi kelancaran pemerintahan dan revolusi. Berdasarkan surat perintah
tersebut, maka Jenderal Soeharto pada tanggal 12 Mare 1966 atas nama Presiden/Panglima
tertinggi mengeluarkan keputusan Presiden nomer: 1/3/1966 yang isinya menyatakan
pembubaran PKI97. Terkait dengan keputusan ini, Majelis Permusyawaratan Rakyat
Sementara, pada tanggal 5 Juli 1966 dalam Sidang Umum-IV telah mengeluarkan Ketetapan
MPRS Nomer: XX/MPRS/1966, tentang Pancasila98 sebagai satu-satunya sumber dari segala
sumber hukum di Indonesia, dan Ketetapan MPRS Nomer: XXV/MPRS/1966. yang isinya
memperkuat keputusan Presiden Nomer: 1/3/1966 tentang pembubaran PKI dan pernyataan

95
Alfian,Komunikasi Politik Dan Sistem Politik Indonesia (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1991),
40-1.
96
A.M.W.Pranarka, Sejarah Pemikiran . . . , 246.
97
I Ketut Seregig, Filsafat Pancasila . . . , 119-120.
98
Pancasila yang dimaksud oleh Ketetapan MPRS No.XX/MPRS/1966 ialah Pancasila yang terdapat
dalam Pembukaan UUD 1945, A. H. Nasution, Ketetapan 2 MPRS Tonggak Konstitusionil Order Baru
(Djakarta: Pantjuran Tujuh, 1966), 133-151.

139
sebagai partai terlarang, serta meningkatkan keputusan Presiden termaksud menjadi ketetapan
MPRS.99

Seiring dengan dibubarkannya Partai Komunis Indonesia, bahkan dinyatakannya


sebagai partai terlarang di Indonesia, maka runtuhlah konsep NASAKOM dan MANIPOL
USDEKnya Soekarno, dan berakhir pula masa pemerintahan Soekarno.Kesadaran dan
konsensus bersama Indonesiasebagaimana tertuang dalam Pancasila, senyatanya memang
adalah sebuah titik berangkat dan titik tujuan Indonesia untuk mewujudkan: kemanusiaan,
persatuan, dan kesetaraan. Pada jaman Soekarno nilai-nilai ini memang sudah dipahami dan
dihayati sebagai ideologi bangsa. Namun karena pemerintahan Soekarno agak lengah dan
terkesan sangat mempercayai partai-partai, ternyata partai-partai politik di Indonesia, tidak
serta merta dengan sendirinya menghidupi kesadaran dan konsensus bersama Indonesia itu,
tetapi justru mereka lebih berorientasi kepada ideologi dan kepentingan kelompok mereka
masing-masing, bahkan ingin mengganti Pancasila dengan ideologi lain. Walaupun ada
banyak tantangan menghadang dan mencoba untuk merobohkannya, Pancasila sebagai
sebuah sintese nilai-nilai luhur bangsa (moralitas bangsa) dan kesepakatan politis Indonesia
berupa : kesatuan, kemanusiaan dan kesetaraan, telah membuktikan kesaktiannya bahwa bila
nilai-nilai Pancasila itu dilaksanakan secara konsekuen dan konsisten akan sanggup
menyelamatkan Indonesia dari kehancuran dan ketiadaannya.100

IV.5.b. Aktualisasi Pancasila Pada Masa Pemerintahan Soeharto

Dengan berbekal sejarah bagaimana Pancasila dihayati oleh komponen anak bangsa
pada masa pemerintahan Soekarno (1945-1965), Soeharto memulai pemerintahannya dengan
mengajak seluruh anak bangsa melakukan suatu reaksi dan koreksi prinsipil, terhadap
praktek-praktek tidak diterapkannya nilai-nilai Pancasila berupa kesatuan, kemanusiaan dan
kesetaraan secara murni dalam berbangsa dan bernegara. Reaksi awal yang dilakukan
Soeharto dalam mengendalikan negara dan bangsa yang berlandaskan Pancasila, ialah
membubarkan Partai Komunis Indonesia. Pembubaran PKI dilakukan, nampaknya adalah
karena dalam pandangan beberapa komponen anak bangsa, ideologi komunis dipahami
sebagai suatu idilogi kediktatoran yang dengan sengaja memperalat rakyat demi kepentingan
golongan tertentu. Disamping itu, ideologi komunis juga diidentifikasi sebagai atheisme dan
sebagai sebuah ideologi yang membantutkan peranan agama yang positif serta mencurigai

99
I Ketut Seregig,Filsafat Pancasila . . . , 121. Lihat juga A.H. Nasution, Ketetapan 2 MPRS Tonggak
Konstitusionil Order Baru (Djakarta: Pantjuran Tujuh, 1966), 133-151.
100
C. S. T. Kansil, Pancasila & Undang Undang Dasar 1945 (Jakarta: Pradnya Paramita, 1986), 268.

140
agama sebagai sesuatu yang mampu menghambat pembangunan nasional. Dengan kata lain,
peranan dan fungsi ideologi komunis dihadapan beberapa komponen anak bangsa, pada masa
awal pemerintahan Soeharto, dilihat tidak sesuai dengan karakter keindonesiaan, karena
senyatanya ideologi komunis hanya sebagai pengacau dan perusak stabilitas, kesatuan, dan
ketahanan nasional, sebabmenghancurkan pembangunan Indonesia dalam bidang politik,
ekonomi, dan sosial.101

Berangkat dari pemahaman seperti tersebut di atas dan seusai pembubaran PKI,
Soeharto mengemudikan roda bahtera Indonesia, dengan mengajak seluruh rakyat Indonesia
untuk memahami dan mengamalkan Pancasila sebagai jiwa, pandangan dan cara hidup dari
bangsa Indonesia. Soeharto melihat bahwa nilai-nilai Pancasila memang baru dibahas sebagai
perjanjian bersama bangsa Indonesia, oleh wakil-wakil rakyat Indonesia pada masa persiapan
kemerdekaan dan baru ditetapkannya sehari setelah proklamasi kemerdekaan. Namun
sesungguhnya, nilai-nilai Pancasila itu berupa cinta akan kemanusiaan, kebersamaan dan
kesetaraan adalah pandangan hidup rakyat Indonesia yang telah lama berurat akar pada
kebudayaan masyarakat Nusantara. Oleh karena begitu keadaan Pancasila, maka dalam
rangka menghayati dan mengamalkannya, Soeharto menghimbau seluruh rakyat Indonesia
untuk melihat Pancasila sebagai pedoman hidup bersama bangsa Indonesia, yang harus
diterapkan setiap hari secara murni dan konsekuen dalam segala segi kehidupan, dalam tata
pergaulan Bangsa Indonesia dan dalam tingkah laku rakyat Indonesia, demi tercapainya
tujuan akhir Indonesia, yaitu Indonesia adil dan makmur. Terkait dengan himbauan ini,
Soeharto mengingatkan bahwa Pancasila tidak boleh berubah lagi menjadi NASAKOM dan
MANIPOL USDEK atau ideologi lainnya yang berseberangan dengan moralitas Pancasila.102

Soeharto juga mengajak rakyat Indonesia untuk mengidentifikasi dan mengamalkan


Pancasila sebagai tujuan hidup bangsa Indonesia. Sebagai tujuan hidup bangsa, Soeharto
menegaskan bahwa Pancasila patut diamalkan demi terciptanya masyarakat Indonesia yang
Pancasilais sejati. Sesuai dengan nilai-nilai Pancasila, maka penghayatan Pancasila
sebagaimana diserukan Soeharto, dilakukan untuk menuntun rakyat Indonesia menjadi
masyarakat yang bersifat religius dan kekeluargaan. Masyarakat Indonesia yang bersifat
religius dan kekeluargaan adalah masyarakat Indonesia yang hormat kepada Tuhan Yang
101
Sekretaris Negara Republik Indonesia,Gerakan 30 Sepetember, Pemberontakan Partai Komunis
Indonesia,Latar Belakang Aksi dan Penumpasanya,dengan kata pengantar oleh Murdiono (Jakarta: Ghalia
Indonesia, Cet. II, 1994), 114-116.
102
Krissantono, Pandangan Presiden Suharto tentang Pancasila (Jakarta: CSIS-Yayasan Proklamasi,
1976), 5, 6, 12. Lihat juga Ali Murtopo,Dasar-Dasar Tentang Akselerasi Modernisasi Pembangunan 25 Tahun
(Jakarta: CSIS, 1972), 54.

141
Maha Esa, cinta kepada Tanah Air, kasih dan sayang kepada sesama manusia, suka bekerja
dan rela berkorban untuk kepentingan bersama rakyat Indonesia.103

Pada tanggal 12 April 1968 Soeharto mengeluarkan Intruksi Presiden No.12 tahun 1968
mengenai Tata Urutan Perumusan Pancasila. Intruksi Presiden ini menunjukkan bahwa
sumber Pancasila yang mempunyai kekuatan hukum adalah Pembukaan UUD
1945.104Intruksi Presiden ini dikeluarkan untuk menangkal tuntutan beberapa segmen dari
kelompok Islam dan mencegah perdebatan mengenai sumber Pancasila. Beberapa segmen
dari kelompok Islam berupaya agar “Piagam Jakarta” menjadi preambul resmi dari Undang
Undang Dasar 1945. Ada dua alasan yang diajukan oleh pihak Islam. Alasan pertama,
“Piagam Jakarta” dalam dekrit Presiden 5 Juli 1959 dikatakan sebagai “menjiwai UUD 1945
dan menjadi kesatuan dengan Konstitusi” Alasan kedua, ada pada asumsi bahwa muslim
merupakan mayoritas rakyat Indonesia. Pemerintahan Soeharto menyadari bahwa tuntutan
dari kelompok Islam ini akan merusakkan kesatuan bangsa. Berdasarkan pada kesadaran itu
Soeharto menolak tuntutan kelompok Islam.Melihat sikapnya yang demikian, Soeharto
menunjukkan kepada seluruh rakyat, bahwa Indonesia yang berreligiositas Pancasila,
bukanlah negara agama, bukan negara yang didominasi oleh suatu agama tertentu. Tetapi
bangsa yang berkeagamaan Indonesia, yakni bangsa dimana seluruh rakyatnya melalui
masing-masing agama yang dianutnya menjunjung dan menerapkan keagamaan Indonesia
berupa nilai-nilai: kemanusiaan, persatuan, dan kesetaraan.105

Dalam sebuah pidatonya Soeharto pernah menyampaikan bahwa, tanah air Indonesia
adalah karunia Tuhan bagi seluruh rakyat Indonesia, sehingga Indonesia adalah tempat bagi
seluruh rakyat Indonesia secara bersama untuk bertanah air dan berbangsa. Kemudian dalam
pidato itu, Soeharto juga mengingatkan bahwa karena rakyat Indonesia telah ditakdirkan oleh
Tuhan Yang Maha Esa untuk hidup sebagai satu bangsa, bangsa Indonesia pun telah
bersumpah sebagai bangsa yang bertanah air satu yaitu Tanah Air Indonesia dan berbangsa
satu yaitu Bangsa Indonesia. Berangkat dari kedua fakta tersebut di atas, Soeharto mengajak
seluruh rakyat Indonesia agar melihat perbedaan-perbedaan bukanlah untuk dipertentangkan,
melainkan harus diharmonisasikan guna untuk mencapai cita-cita bersama yaitu
kesejahteraan Indonesia bersama.106 Pidato Soeharto yang demikian ini, sangat jelas

103
Krissantono, Pandangan Presiden Suharto . . . , 22-3.
104
A. M. W. Pranarka,Sejarah Pemikiran . . . , 222-3.
105
H. Anton Djawamaku, “Dialektika Struktur dan Kultur dalam proses Pembaharuan Politik Order
Baru”, Analisa, 1984-8, 640.
106
Krissantono, Pandangan Presiden Soeharto . . . , 29-30.

142
menunjukkan bahwa Soeharto ingin seluruh rakyat Indonesia mengaktualisasikan
keindonsiaan dengan jalan bertoleransi dan hidup saling menghargai. Hal itu patut dilakukan,
karena Pancasila adalah sebuah kesadaran dan kesepakatan bersama rakyat Indonesia akan
nilai kemanusiaan, kesatuan dan kesetaraan sebagai jalan menuju kebahagiaan bersama.

Dalam banyak kesempatan Soeharto yang ingin rakyatnya mengaktualisasikan


Pancasila sebagai religiositas Indonesia, juga mengurai bahwa agama dan pembangunan tidak
berseberangan, Sebaliknya sejalan bahkan saling memerlu dalam menggapai cita-cita bangsa
yaitu Indonesia sejahtera. Agama tanpa pembangunan tidak akan membuat bangsa menjadi
maju. Sedangkan pembangunan tanpa agama bisa membuat bangsa menjadi kehilangan arah.
Melanjutkan paparan di atas, Soeharto mengemukakan agama akan kehilangan cahayanya
apabila masyarakatnya lemah, miskin, dan melarat. Kemudian dengan maksud untuk
menunjukkan kepada rakyat Indonesia akan kebenaran pandangannya ini, Soeharto juga
memberitahu rakyat Indonesia, bahwa semua agama yang ada di Indonesia mengajarkan
umatnya agar suka membangun. Sembari mengemukakan hal itu, Soeharto juga
mengetengahkan bahwa, tidak ada satu agamapun yang melarang umatnya untuk
bekerjasama dengan umat yang berlainan agama, dalam pembangunan bangsa demi
kepentingan dan kemaslahatan bersama seluruh rakyat.107Indoktrinasi Soeharto seperti
termaksud di atas mengindikasikan bahwa Soeharto ingin seluruh rakyat Indonesia dalam
mengaktualisasikan Pancasila dalam kehidupan beragama, melakukan karya-karya sosial
yang senyatanya menyejahterakan kehidupan semua umat.

Dalam rangka memantapkan seruannya tentang pengaktualisasian Pancasila secara


murni, demi kemaslahatan bangsa, Soeharto menyelengarakan program kesatuan tafsir
Pancasila yang disebut dengan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila(P4).
Program Soeharto untuk melaksanakan program P4, dicetuskan atau disosialisasikan
beberapa kali. Diantaranya pada waktu Hari Ulang Tahun(HUT) ke -25 Universitas Gadjah
Mada pada tanggal 19 Desember 1974 di Yogyakarta, pada waktu Dies Natalis XXV
Universitas Indonesia pada tanggal 15 Pebruari 1975 di Jakarta, pada waktu acara pembukaan
Musyawarah Kwarnas Gerakan Pramuka se Indonesia pada tanggal 12 April 1976 di Istana
Negara, dan pada waktu upacara pengambilan sumpah para anggota DPR dan MPR pada
tanggal 1 Oktober 1977. Program P4 diselengarakan kepada seluruh rakyat Indonesia yang
meliputi Badan Legislatif, Badan Eksekutif dan Badan Yudikatif, para pengusaha, ekonom,

107
Krissantono, Pandangan Presiden Soeharto . . . , 35-7.

143
organisasi sosial politik, sosial ekonomi, sosial budaya, keluarga besar ABRI. Program P4
Soeharto tentang kesatuan tafsir Pancasila demi terbentuknya manusia Indonesia yang
berkarakter Pancasilais, yakni manusia yang selalu memuliakan kemanusiaan, kesatuan dan
kesetaraan demi kemaslahatan bangsa, nampaknya dinilai strategis oleh MPR; sehingga
mendapat ketetapan MPR dengan No.II/MPR/1978 tentang PedomanPenghayatan
Pengamalan Pancasila(P4), yang juga disebut dengan Ekaprasetia Pancakarsa. Eka berarti
satu atau tunggal. Prasetia berarti janji atau tekad, Panca berarti lima, dan karsa punya arti
kehendak yang kuat. Dengan demikian Eka Prasetia Panca Karsa berarti tekad yang tunggal
untuk melaksanakan lima kehendak.108

Dalam melaksanakan program pengaktualisasian yang murni tentang Pancasila,


Soeharto melalui Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 10 tahun 1979, membentuk
Badan Pembinaan Pendidikan Pedoman Pelaksanaan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan
Pancasila(BP7). Badan ini bersifat non departemen, tetapi berada di lingkungan pemerintahan
yang berkedudukan langsung di bawah Presiden. BP7 berkoordinasi dengan Tim Penasehat
Presiden tentang Pelaksanaan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P7), yaitu
tim khusus yang mempersiapkan materi dan pendidikan P4. BP7 dan P7 bertugas
melaksanakan kerja-kerja ideologis untuk mengamankan tafsir terhadap Pancasila.109

Seiring dengan adanya Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila, yang


dikeluarkan oleh pemerintahan Soeharto pada masa Rencana Pembangunan Lima Tahun III
(1978-1983), maka bangsa Indonesia disamping memiliki Pancasila sebagai kesepakatan
nasional dengan rumusannya yang umum, kini bangsa Indonesia juga mempunyai pedoman
untuk mengaktualisasikan Pancasila. Dengan melihat latar belakang munculnya, Michael
Morfit menilai bahwa melalui penyusunan dan penerbitan P4, pemerintahan Soeharto mau
menunjukkkan kepada bangsa Indonesia bahwa P4 itu adalah tafsir tentang Pancasila yang
objektif dan legitimate. Jika ada tafsir yang lain, dengan mudah dan cepat diduga sebagai
tafsir yang anti Pancasila dan sekaligus anti negara.Keadaan yang demikian ini
memungkinkan kita berasumsi bahwa, Pancasila pada jaman Soeharto sangat difungsikan
secara nyata dan sakti oleh negara sebagai pertahanan dan integrasi bangsa110.

108
I Ketut Seregig, Filsafat Pancasila . . . , 125-126.
109
Daniel Dhakidae, Cendekiawan dan Kekuasaan dalam Negara Order Baru (Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama, 2003), 704.
110
Michael Morfit, “Pancasila: The Indonesian State Ideology According to the New Order
Government”, Asian Survey, Vol. 21, No.8 (Aug.,1981), 845-846.

144
Tindakan-tindakan demonstratif yang dilakukan pemerintahan Soeharto menjadi fakta
yang membuat asumsi di atas beralasan. Beberapa fakta termaksud dapat disebutkan sebagai
berikut: Pertama, Pemerintahan Soeharto melakukan pembunuhan terhadap banyak orang
komunis Indonesia. Kedua, pemerintahan Soeharto menetapkan 30 September sebagai hari
pengkhianatan terhadap Pancasila dan 1 Oktober sebagai hari kesaktian Pancasila. Penetapan
ini seakan-akan mau berbicara bahwa Pancasila terbukti sakti dari rongrongan kelompok
yang dianggap anti Pancasila dan anti Negara Kesatuan Republik Indonesia. Ketiga, Soeharto
membangun Monumen Kesaktian Pancasila. Monumen ini dibangun sebagai alat pengikat
dan pembentuk pengetahuan akan saktinya Pancasila sebagai ideologi yang melahirkan dan
sekaligus menyelamatkan Indonesia. Ketiga, pemerintahan Soeharto membuat film tentang
gerakan pengkhianatan terhadap Pancasila berdasarkan tafsir resmi pemerintah.Film ini
dibuat juga untuk memproduksi pengetahuan tentang gerakan mempertahan
Pancasila.111Melalui aktualisasi Pancasila yang demikian,Soeharto mau menunjukkan bahwa
Pancasila adalah moralitas dan kesepakatan bersama Indonesia atas seperangkat nilai nilai
berupa: kemanusiaan, kesatuan, dan kesetaraan, yang sangat sakti karena ia senyatanya
adalah jiwa yang melahirkan dan jalan yang menyelamatkan Indonesia, sehingga patut
dirawat.

Pada masa pemerintahannya, tindakan-tindakan Soeharto memang sangat menuntun


rakyat Indonesia untuk mengaktualisasikan Pancasila, sebagai moralitas bersama bangsa
Indonesia yang berfungsi untuk mempertahankan Indonesia. Sikap Soeharto yang demikian
itu menampak juga pada kebijaksanan konseptual dan konstitusional yang dibuatnya
sebagaimana tertuang pada Undang-Undang Nomer 8 tahun 1985 tentang Organisasi
Kemasyarakatan. Pada pasal 2 ayat 1 dari Undang-Undangini, dikatakan bahwa organisasi
kemasyarakatan harus berasaskan Pancasila sebagai satu-satunya asas. Kemudian pada pasal
16 Undang-Undang ini, dinyatakan bahwa pemerintah membubarkan organisasi
kemasyarakatan yang menganut, mengembangkan dan menyebarkan paham atau ajaran
komunisme/marxisme-leninisme serta ideologi, paham, atau ajaran lain yang bertentangan
dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, dalam segala bentuk dan perwujudannya.
Melalui Undang-Undang Nomer 8 tahun 1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan,
pemerintahan Soeharto mengajak seluruh organisasi masyarakat tidak terkecuali organisasi
agama, untuk menempatkan nilai-nilai Pancasila sebagai nilai-nilai keutamaan dalam

111
Khatharina E. McGregor, History in Uniform: Military Ideology and the Construction of Indonesia,
terjemahan Ketika Sejarah Berseragam: Membongkar Ideologi Militer dalam Menyusun Sejarah Indonesia
(Yogyakarta: Syarikat, 2008), 161, 163, 173-179.

145
berorganisasi di Indonesia. Pancasila berfungsi sebagai payung hukum bagi semua organisasi
masyarakat termasuk organisasi agama dalam menjalankan roda organisasi dalam rangka
berindonesia atau demi keselamatan Indonesia.

Aktualisasi Pancasila pada Jaman Soeharto, oleh Michael Morfit, dinilai hanya menitik
beratkan pada fungsi Pancasila sebagai pemersatu dan pertahanan bangsa, namun menafikkan
peranan Pancasila sebagai mobilisator masyarakat dalam pembangunan bangsa.112 Penilaian
Michael Morfit ini nampaknya beralasan sehingga memiliki kebenaran. Hal itu dikatakan
demikian, karena demi keutuhan bangsa, pemerintahan Soeharto memposisikan karyanya
berupa Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila, sebagai pemahaman yang objektif
dan legitimate tentang Pancasila. Dalam memimpin rakyat untuk mengaktualisasikan
Pancaila demi keselamatan bangsa, pemerintahan Soeharto menempatkan diri sebagai
penafsir dan penjaga tunggal Pancasila. Terbentuknya aktualisasi Pancasila yang menekankan
keselamatan bangsa, dan sikap pemerintah yang melihat diri sebagai penafsir tunggal
Pancasila, nampaknya tidak terlepas dari latar belakang sejarah bahwa pada era Soeharto,
bentuk penghayatan Pancasila pertama-tama memang sebagai respon terhadap kelompok kiri
yang anti Pancasila. Oleh karena begitu pemerintah memposiskan diri, maka pemahaman lain
tentang Pancasila yang berbeda dengan tafsir pemerintah, walaupun sangat bisa jadi
pemahaman pemerintah tentang Pancasila belum tentu sepenuhnya murni, dan pemahaman
individual atau kelompok komponen bangsa tentang Pancasila bisa jadi memiliki unsur
kebenaran, diabaikan bahkan dihakimi sebagai anti Pancasila dan sekaligus anti Negara.
Dalam hal ini, salah satu contoh bisa dikemukakan bahwa pemerintahan Soeharto tidak bisa
menjawab pertanyaan apakah dapat diketemukan dalam Pancasila, alasan mengapa orang
komunis harus dibunuh dan bukan dibina kembali secara kekeluargaan.113

Pada masa Soeharto, sesungguhnya Pancasila dipahami dan dihayati sama seperti pada
masa Soekarno, yaitu sebagai sintese nilai-nilai luhur bangsa (moralitas bangsa) yang
mengagungkan: kemanusiaan, kesatuan dan kesetaraan, yang berfungsi
sebagaikeselamatanbangsa. Namun pada masa pemerintahan Soeharto, Pancasila lebih
dijadikan sebagai norma untuk menakar mana masyarakat yang Pancasilais dan mana

112
Michael Morfit, “Pancasila: “The Indonesian State Ideology According to the New Order
Goverment”, Asian Survey,Vol. 21, No. 8 (Aug., 1982), 845.
113
Katharine E.McGregor, History in Uniform: Military Ideology and the Construction of
Indonesia,terjemahan Ketika Sejarah Berseragam: Membongkar Ideologi Militer dalam Menyusun Sejarah
Indonesia (Yogyakarta: Syarikat, 2008), 171-172,173-179,163.

146
masyarakat yang anti Pancasila, dari perspektif pemerintah bukan dari sudut pandang
Pancasila itu sendiri.

IV.5.c. Aktualisasi Pancasila Dalam Masa Pemerintahan Abdurrahman Wahid

Abdurrrahman Wahid yang biasa disapa dengan Gus Dur menjadi Presiden Republik
Indonesia pada waktu-waktu awal Indonesia memasuki masa Reformasi. Pada masa-masa
awal Reformasi yang dimulai sejak tanggal 21 Mei 1998, secara evolusioner gaung Pancasila
agak terbenam oleh teriakan-teriakan kaum reformis, sehingga keran kebebasan terbuka
lebar, nyaris tidak ada filter dalam mengekspresikan kebebasan berpendapat, menulis, dan
berkarya. Etika bermasyarakat, berbangsa dan bernegara semakin memudar dan luntur,
tergerus oleh semangat reformasi yang berlandaskan kebebasan. Menghujat para pejabat,
membakar foto pejabat Negara dan menghancurkan fasilitas umum, dianggap reformis
bahkan dipandang sebagai pejuang. Dalam keadaan bangsa yang seperti itu, ketika memberi
sambutan pada waktu pelantikkannya sebagai Presiden ke-4 pada tanggal 20 Oktober 1999,
Gus Dur mengatakan bahwa demokrasi hanya dapat dipelihara dan dikembangkan oleh
orang-orang yang mengerti tentang hakikat demokrasi. Dalam pidato itu, Gus Dur mengajak
seluruh masyarakat Indonesia untuk menjunjung tinggi demokrasi dalam pengertiannya yang
benar, karena hanya dengan cara itu, menurut Gus Dur, Indonesia dapat menegakkan
kedaulatan hukum, kebebasan, persamaan hak bagi semua orang tanpa memandang
perbedaan keturunan, perbedaan bahasa, perbedaan budaya dan perbedaan agama 114. Dari
kalimat Gus Dur yang demikian ini, tampak jelas bahwa dia mengajak seluruh komponen
bangsa, untuk memahami dan menghayati Pancasila sebagai nilai-nilai keindonesiaan yang
tidak membunuh demokrasi, tetapi justru memeliaranya, lewat pemeliaraan hak-hak asasi
manusia dan penegembangan struktur masyarakat yang adil, sebagai jalan untuk
mengagungkan bahkan mengutamakan martabat kemanusiaan.115

Terkait dengan posisi Islam di Indonesia, Gus Dur memaparkan pendiriannya sebagai
berikut: Pertama, Islam harus secara kreatif dan substantif direinterpretasi atau direformulasi
dalam menjawab kehidupan modern. Kedua, dalam konteks keindonesiaan, Islam tidak
seharusnya menjadi agama negara. Ketiga, Islam harus menjadi kekuatan yang inklusif,

114
Abdurrahman Wahid, Pidato Presiden Terpilih di Hadapan Majelis Permusyawaratan Rakyat
Republik Indonesia, 20 Oktober 1999.
115
Abdurrahman Wahid, Pergulatan Negara,Agama, dan Kebudayaan (Jakarta: Desantara, 2001), 89,

147
demokratis dan pluralistik daripada menjadi ideologi negara yang eksklusif.116 Dalam
mengelaborasi pendiriannya ini, Gus Dur mengemukakan bahwa formalisasi Islam di
Indonesia, dalam arti mewujudkan hukum Islam secara formal dalam negara Indonesia, akan
mengancam kebersamaan umat Islam Indonesia dan kebersamaan bangsa Indonesia. Hal itu
dikatakan demikian oleh Gus Dur karena fondasi kehidupan Indonesia adalah pada asas
pluralitas. Bertolak dari pendirian dan pandangannya ini, ketika mendengar beberapa suara
yang ingin menjadikan Islam sebagai ideologi negara, Gus Dur menilai bahwa munculnya
suara-suara yang demikian itu adalah karena terjadinya penyempitan pandangan mengenai
Pancasila itu sendiri.117Dari sini kita bisa melihat bahwa Gus Dur sebagai presiden dan
sekaligus seorang Muslim yang taat, ingin mengajak seluruh bangsa untuk tetap memahami,
mengakui dan mengaktualisasikan Pancasila sebagai tiang penyangga kehidupan berbangsa.

Tatkala berbicara tentang peranan Islam dalam berindonesia, Gur Dur menegaskan
bahwa fungsionalisasi Islam haruslah dalam konteks bahwa Islam menjadi alternatif penafsir
Pancasila, bukan alternatif ideologi. Dalam posisinya yang demikian, menurut Gus Dur,
Islam memiliki fungsi yang sama dengan semua agama Indonesia lainnya, dengan
nasionalisme, dan dengan sosialisme, yaitu sebagai penafsir dan pengaktualisasi Pancasila.
Oleh karena begitu posisi semua komponen bangsa dihadapan Pancasila, maka yang patut
dilakukan adalah bagaimana ikatan moral yang telah disepakati bersama yang bernama
Pancasila, ditafsirkan dan diwejahwantahkan oleh masing-masing identitas keagamaan,
identitas kebangsaan dan identitas sosialisme. Berdasarkan pada posisi dan fungsi semua
komponen bangsa atas Pancasila seperti termaksud di atas, maka bagi Gus Dur yang patut
menjadi ukuran legal untuk diberlakukan secara formal dan menjadi patokan dalam
mengaktualisasikan Pancasila, adalah bukan penafsiran dan pemaknaan oleh pemerintah atas
Pancasila, tetapi oleh seluruh komponen bangsa.118Pendirian dan sikap Gus Dur yang
demikian ini menunjukkan bahwa dia ingin mengajak seluruh rakyat Indonesia untuk
memposisikan nilai-nilai Pancasila berupa kemanusiaan, kesatuan dan kesetaraan yang adalah
nilai-nilai keutamaan Indonesia itu, sebagai jalan bersama bagi Indonesia dalam meraih
kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia.

116
John L. Esposito dan John O. Voll, Makers of Contemporary Islam (Inggris: Oxford University
Press, 2001), 206.
117
Abdurrahman Wahid, Islamku, Islam Anda Islam Kita:Agama Masyarakat Negara Demokrasi
(Jakarta: The Wahid Institute, 2006), 75-89.
118
Abdurrahman Wahid, Islamku Islam Anda . . . , 90.

148
Terkait dengan kesejahteraan bersama seluruh rakyat Indonesia, Gus Dur menunjukkan
bahwa orientasi keislaman sesungguhnya adalah kesejahteraan umum. Kesejahteraan
bersama, kata Gus Dur, telah dari sejak dahulu menjadi pegangan dan gerakan Islam di
Indonesia. Berangkat dari kenyataan ini, menurut Gus Dur, gugurnya Piagam Jakarta dari
Undang-Undang Dasar 1945, adalah preseden yang sangat berharga. Alasan Gus Dur
berpandangan demikian, adalah karena muatan Piagam Jakarta sangat kental dengan nuansa
primordial Islami, dan tidak memiliki jaminan akan kesejahteraan umum. Tentang Pancasila
dan UUD 1945, oleh Gus Dur, dikatakan sangat sejalan dengan prinsip dasar agama Islam
yang memang mencita-citakan hadirnya kesejahteraan umum dalam masyarakat. Kalimat
Gus Dur yang demikian ini, bisa diartikan bahwa menurut Gus Dur Pancasila dan Undang
undang Dasar 1945 sangat Islami secara teologis.119Pandangan Gus Dur yang demikian ini,
tidak keliru untuk ditafsirkan sebagai sebuah seruan bagi seluruh rakyat Indonesia untuk
memposisikan Pancasila sebagai keagamaan bersama seluruh agama Indonesia.

Melanjutkan pandangannya di atas, Gus Dur mengingatkan bahwa agama-agama


Indonesia patut mengembangkan kemampuan untuk menghargai perbedaan. Gus Dur
berpesan demikian, karena menurut dia, hanya dengan mengembangkan kemampuan untuk
menghargai perbedaan itu, sebuah bangsa besar akan terbentuk.120 Kemudian lebih jauh, Gus
Dur mengemukakan bahwa dalam menghargai perbedaan, kita harus menanggalkan klaim
kebenaran mutlak. Dalam memposisikan Pancasila sebagai keagamaan Indonesiaan, menurut
Gus Dur masing-masing agama yang pada berbeda, sama-sama melihat bahwa nilai-nilai
Pancasila berupa kemanusiaan, kesatuan dan kesetaraan, tidak bertentangan dengan aspirasi
keagamaan semuaagama.121 Implikasi dari pandangan Gus Dur ini adalah bahwa Pancasila
bukan milik satu agama. Ia adalah milik semua agama. Di dalam Pancasila semua agama
Indonesia yang pada berbeda tidak bertentangan. Sekalipun Pancasila bukan milik pribadi
dari masing-masing agama namun milik bersama, nilai-nilai Pancasila berupa kemanusiaan,
kesatuan dan kesetaraan tidak bertentangan dengan ajaran dari masing-masing agama. Oleh
karena prinsip-prinsip ajaran dari masing-masing agama tidak berseberangan dengan
Pancasila, maka bila kita mempraktekkan nilai-nilai Pancasila, secara tidak langsung kita
juga mengamalkan prinsip-prinsip ajaran agama kita. Dengan melakukan teologisasi terhadap
Pancasila seperti tergambar di atas, Gus Dur mau seluruh rakyat Indonesia mencintai dan
mengaktualisasikan nilai-nilai Pancasila berupa kemanusiaan, kesatuan dan kesetaraan

119
Abdurrahman Wahid, Islamku,Islam Anda . . . , 21-22.
120
Abdurrahman Wahid, Gus Dur Bertutur (Jakarta: Proaksi, 2005), 31.
121
Abdurrahman Wahid, Islamku Islam Anda . . . , 349.

149
sebagai inti dasarkeindonesiaan yang selaras dengan prinsip-prinsip ajaran semua agama
Indonesia.

Meski ada sedikit perbedaan dalam menterjemahkan Pancasila, baik Soekarno,


Soeharto maupun Gus Dur memiliki kesamaan. Mereka bertiga melihat Pancasila dan
Indonesia seperti sekeping mata uang. Keduanya, yaitu Pancasila dan Indonesia tidak bisa
dipisahkan. Soekarno, Soeharto, dan Gus Dur sama-sama menempatkan Pancasila sebagai
religiositas Indonesia yang berfungsi untuk melahirkan, merawat dan menyelamatkan
Indonesia. Bahwa demi untuk keselamatan bangsa, sehingga dalam menjalankan Pancasila,
Pancasila difungsikan sebagai legitimasi kekuasaan, sangat kuat terasa pada masa
pemerintahan Soeharto dan Soekarno. Di masa Gus Dur gaung Pancasila sebagai alat
legitimasi kekuasaan tidak sekeras pada jaman Soeharto dan Soekarno. Gus Dur lebih
menekankan pada partisipasi rakyat untuk menjunjung nilai-nilai yang terkandung dalam
religiositas Indonesia yakni kemanusiaan, kesatuan, dan kesetaraan. Pancasila dengan nilai-
nilainya yang demikian ini, oleh Gus Dur dijadikan garansi dalam merawat dan menumbuh
kembangkan identitas dan keberadaan Indonesia.

Berdasarkan pada sejarah perjalanan bangsa dalam mengaktualisasikan Pancasila, dapat


disimpulkan bahwa sumber otoritas transendental Indonesia, berupa pemuliaan akan
kemanusiaan, kesatuan dan kesetaraan, tidak berseberangan dengan prinsip-prinsip dasar
ajaran dari masing-masing agama, sehingga di bawah kepemimpinan negara, setiap warga
negara patut mengaktualisasikan pemuliaan akan kemanusiaan, kesatuan dan kesetaraan
dalam misinya pada kehidupan beragama, bermasyarakat dan berbangsa guna untuk
mengantar bangsa Indonesia mewujudkan kehendak umum mereka yakni kesejahteraan batin
lahir bagi seluruh rakyat Indonesia.

IV.6. Pancasila Sebagai Keagamaan Negara Kebangsaan Indonesia

Dari konteks kelahirannya, sudah terlihat jelas bahwa, Pancasila adalah ekspresi dan
sekaligus perlawanan terhadap penderitaan rakyat Indonesia yang dialaminya atas
kolonialisme, imperialisme dan kapitalisme. Dalam proses penetapannya sebagai dasar
negara Indonesia, telah tampak lugas bahwa, Pancasila dikonstruksi berlandaskan pada
kesadaran dan kesepakatan bersama bangsa Indonesia, bukan sebagai sebuah institusi agama
dengan keyakinan-keyakinan eksklusif yang hendak mentiadakan institusi agama-agama
Indonesia, melainkan sebagai sumber otoritas transendental bagi seluruh rakyat Indonesia
dalam pluralitasnya dan dalam kebersamaan sosialnya. Dilihat dari maksud dan tujuan

150
Pancasila sebagaimana tertuang dalam rumusan dan urutan sila-silanya, dan berdasarkan pada
nilai-nilai yang yang terkandung di dalam Pancasila, sebagaimana dijabarkan dalam
Proklamasi Kemerdekaan, dalam Pembukaan UUD’45, dan dalam Batang Tubuh UUD’45,
telah dapat disimpulkan pula bahwa, Pancasila yang adalah sumber otoritas transendental
bagi Indonesia, yang melahirkan Indonesia dan yang akan memelihara kualitas keagamaan
dan solidaritas kebangsaan Indonesia, bahkan yang akan menyelamatkan Indonesia dalam
meraih kesejahteraan bersama mereka, adalah berupa pengagungan akan nilai-nilai:
kemanusiaan, kesatuan dan kesetaraan.

Kemudian berdasarkan pada sejarah perjalanan bangsa Indonesia dalam


mengaktualisasikan Pancasila, telah juga dapat terbaca bahwa Pancasila yang adalah sebagai
sumber otoritas transendental Indonesia, berupa pengagungan akan kemanusiaan, kesatuan
dan kesetaraan, tidak berseberangan dengan prinsip-prinsip ajaran dari masing-masing agama
Indonesia, sehingga di bawah kepemimpinan negara setiap warga negara patut
mengaktualisasikan pemuliaan akan kemanusiaan, kesatuan dan kesetaraan dalam misi
mereka pada kehidupan beragama, bermasyarakat dan berbangsa, guna untuk mengantar
bangsa Indonesia meraih kehendak umum mereka yakni kesejahteraan batin lahir bagi
seluruh rakyat Indonesia. Mensandingkan identitas, karakter dan fungsi Pancasila seperti
telah tegambar di atas, dengan pengertian agama sipil dalam gagasan Durkheim, Rousseau,
Bellah, Shank, Coleman, Kung, dan dengan pemahaman tentang hubungan antara agama dan
negara dari Wogaman, Leege, Glock, Hammond, Beiner, dan Cox, sebagaimana telah terurai
pada BAB III, maka dapat disimpulkan bahwa Pancasila adalah agama sipil negara-bangsa
Indonesia.

Dalam rangka mengaktualisasikan Pancasila sebagai religiositas Indonesia dalam misi


agama-agama Indonesia, maka nilai-nilai keindonesiaan harus diformulasikan dalam misi
agama-agama Indonesia, agar misi agama-agama Indonesia itu kontekstual dan fungsional,
yakni sesuai dengan roh dan karakter Indonesia, yang menghidupinya dan yang harus mereka
hidupi. Dalam rangka membangun misi agama yang kontekstual dan fungsional ala Indonesia
seperti termaksud di atas, masing-masing agama Indonesia tidak boleh memaksakan
religionismenya di negara Indonesia. Sebaliknya justru religiositas atau misi Indonesialah
yang harus berfungsi sebagai roh pendorong bagi pemeluk-pemeluk agama Indonesia, agar

151
mereka menjadi pengaktualisasi nilai-nilai kemanusiaan, kebersamaan dan kesederajatan
dalam beragama, bermasyarakat dan berbangsa demi kesejahteraan Indonesia.122

Upaya untuk menjadikan nilai-nilai keindonesiaan sebagai misi agama-agama


Indonesia tentu sangat dimungkinkan, sebab nilai-nilai keindonesiaan itu tidak bertentangan,
malah justru mengakomodir aspirasi keagamaan semua agama Indonesia. Misi agama-agama
menyatu dalam misi Pancasila.123 Di tangan John A. Titaley, misalnya, Pancasila dan
UUD’45 itu dipandang sangat Injili, dengan alasan nilai-nilai yang terkandung dalam
Pancasila dan UUD’45 selaras dengan nilai-nilai Injil.124Pandangan yang substansinya sama,
juga datang dari Abdurrahman Wahid. Wahid mengemukakan bahwa Pancasila itu sangat
Islami. Wahid berpendirian demikian karena menurut dia, nilai-nilai Pancasila itu tidak
berseberangan dengan pokok-pokok ajaran Islam sebagaimana terkandung dalam Alquran.125

Mengingat nilai-nilai Pancasila itu mengakomodir aspirasi keagamaan semua agama


Indonesia, atau dengan kata lain, mengingat kepentingan atau misi semua agama Indonesia,
menyatu dalam nilai-nilai Pancasila, maka seorang warga negara Indonesia yang
mengamalkan nilai-nilai Pancasila dalam hidupnya senyatanya bersamaan dengan itu, dia
juga mempraktekkan ajaran agamanya. Oleh karena demikian esensi Pancasila sebagai
keagamaan Indonesia, maka dalam berreligiositas Pancasila, negara dan warga negara
Indonesia patut mencintai dan mengaktualisasikan nilai-nilai Pancasila berupa: kemanusiaan,
kesatuan dan kesetaraan dalam misinya pada kehidupan beragama, bermasyarakat dan
berbangsa, sebagai jalan untuk meningkatkan kualitas keagamaan dan solidaritas kebangsaan,
guna untuk merawat serta menyelamatkan Indonesia dalam mewujudkan kehendak umumnya
yaitu Indonesia raya mensejahtera. Secara sosiologis Pancasila adalah agama sejati dari
rakyat Indonesia, sebab ia mengajarkan kebajikan yang bermanfaat bagi sesama manusia.

122
Yudi Latif,Negara Paripurna . . . , 110-111.
123
Ibid.
124
Pandangan John A. Titaley ini, disampaikan dalam kuliah Pancasila dan Agama Sipil bagi
mahasiswa Magister Sosiologi Agama Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga Nopember 2013.
125
Abdurrahman Wahid,Islamku Islam Anda Islam Kita, Agama Masyarakat Negara
Demokrasi(Jakarta:The Wahid Institute,2006),75-89.

152
289

Anda mungkin juga menyukai