Anda di halaman 1dari 9

RESUME

BAB II TENTANG ”SEJARAH DAN FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB


KORUPSI”

DISUSUN OLEH:

NAMA : GUSTRIA SALSABILA

NIM : 01.21.0076

TINGKAT : 2B

DOSEN PEMBIMBING:

PELDA AHMAD BADARUDDIN, S.Pd.,M.Si

YAYASAN WAHANA BHAKTI KARYA HUSADA

AKADEMI KEPERAWATAN KESDAM II/ SRIWIJAYA

TAHUN AKADEMIK 2022/2023


SEJARAH DAN FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB KORUPSI

a. Sejarah Korupsi
a. Pra Kemerdekaan
1. Masa Pemerintahan Kerajaan
Persoalan korupsi di Indonesia pada prinsipnya dilatar belakangi oleh
adanya kepentingan atau motif kekuasaan dan kekayaan. Literatur sejarah
masyarakat Indonesia, terutama pada zaman kerajaan-kerajaan kuno
(Mataram, Majapahit, Singosari, Demak, Banten dll), mengajarkan kepada
kita bahwa konflik kekuasan yang disertai dengan motif untuk memperkaya
diri (sebagian kecil karena wanita), telah menjadi faktor utama kehancuran
kerajaan-kerajaan tersebut.
Coba saja kita lihat bagaimana Kerajaan Singosari yang memelihara
perang antar saudara bahkan hingga tujuh turunan saling membalas dendam
berebut kekuasaan. Mulai dari Prabu Anusopati, Prabu Ranggawuni, hingga
Prabu Mahesa Wongateleng dan seterusnya. Hal yang sama juga terjadi di
Kerajaan Majapahit yang menyebabkan terjadinya beberapa kali konflik yang
berujung kepada pemberontakan Kuti, Nambi, Suro dan lain-lain. Bahkan kita
ketahui, kerajaan Majapahit hancur akibat perang saudara yang kita kenal
dengan “Perang Paregreg” yang terjadi sepeninggal Maha Patih Gajah Mada.
Lalu, kerajaan Demak yang memperlihatkan persaingan antara Joko Tingkir
dengan Haryo Penangsang. Dan ada juga Kerajaan Banten yang memicu
Sultan Haji merebut tahta dan kekuasaan dengan ayahnya sendiri, yaitu Sultan
Ageng Tirtoyoso6 .
Pelajaran menarik pada fase zaman kerajaan ini adalah, mulai
terbangunnya watak opurtunisme bangsa Indonesia. Salah satu contohnya
adalah posisi orang suruhan dalam kerajaan, atau yang lebih dikenal dengan
“abdi dalem”. Abdi dalem dalam sisi kekuasaan zaman ini, cenderung selalu
bersikap manis untuk menarik simpati raja atau sultan. Hal tersebut pula yang
menjadi cikal bakal (embrio) lahirnya kalangan opurtunis yang pada akhirnya
juga memiliki potensi jiwa korup yang begitu besar dalam tatanan kehidupan
berbangsa dan bernegara kita dikmudian hari.
2. Masa Kolonial Belanda
Pada zaman penjajahan, praktek korupsi telah mulai masuk dan meluas
ke dalam sistem sosial-politik bangsa kita. Tabiat korupsi telah dibangun oleh
para penjajah kolonial (terutama oleh Belanda) selama 350 tahun. Tabiat
korupsi ini berkembang dikalangan tokoh-tokoh lokal yang sengaja dijadikan
badut politik oleh penjajah, untuk menjalankan daerah adiministratif tertentu,
semisal demang (lurah), tumenggung (setingkat kabupaten atau provinsi), dan
pejabat-pejabat lainnya yang notabene merupakan orang-orang suruhan
penjajah Belanda untuk menjaga dan mengawasi daerah territorial tertentu.
Mereka yang diangkat dan dipekerjakan oleh Belanda untuk memanen upeti
atau pajak dari rakyat, digunakan oleh penjajah Belanda untuk memperkaya
diri dengan menghisap hak dan kehidupan rakyat Indonesia.
Sepintas, cerita-cerita film semisal Si Pitung, Jaka Sembung, Samson
& Delila, dll, sangat cocok untuk menggambarkan situasi masyarakat
Indonesia ketika itu. Para cukong-cukong suruhan penjajah Belanda (atau
lebih akrab degan sebutan “Kompeni”) tersebut, dengan tanpa mengenal
saudara serumpun sendiri, telah menghisap dan menindas bangsa sendiri
hanya untuk memuaskan kepentingan si penjajah. 5 Amin Rahayu, dalam
“Sejarah Korupsi di Indonesia”. Amanah No. 55, tahun XVIII, Oktober 2004,
Hlm.40-43. 6 Ibid. Ibarat anjing peliharaan, suruhan panjajah Belanda ini telah
rela diperbudak oleh bangsa asing hanya untuk mencari perhatian dengan
harapan mendapatkan posisi dan kedudukan yang layak dalam pemerintahan
yang dibangun oleh para penjajah. Secara eksplisit, sesungguhnya mentalitas
penjajah yang mempraktekkan hegemoni dan dominasi ini, menjadikankan
orang Indonesia juga tak segan menindas bangsanya sendiri lewat perilaku dan
praktek korupsi-nya. Tak ubahnya seperti drakula penghisap darah yang
terkadang memangsa kaumnya sendiri demi bertahan hidup (Survive).
b. Pasca Kemerdekaan
1. Orde Lama
Di Era Orde Lama, antara 1951–1956, isu korupsi mulai diangkat oleh
koran lokal seperti “Indonesia Raya” yang dipandu Mochtar Lubis dan
Rosihan Anwar. Pemberitaan dugaan korupsi Ruslan Abdulgani menyebabkan
koran tersebut kemudian di bredel. Kasus 14 Agustus 1956 ini adalah
peristiwa kegagalan pemberantasan korupsi yang pertama di Indonesia,
dimana atas intervensi Perdana Menteri Ali Sastroamidjoyo, Ruslan
Abdulgani, sang menteri luar negeri, gagal ditangkap oleh Polisi Militer.
Sebelumnya Lie Hok Thay mengaku memberikan satu setengah juta rupiah
kepada Ruslan Abdulgani, yang diperoleh dari ongkos cetak kartu suara
pemilu.
Dalam kasus tersebut mantan Menteri Penerangan kabinet
Burhanuddin Harahap (kabinet sebelumnya), Syamsudin Sutan Makmur, dan
Direktur Percetakan Negara, Pieter de Queljoe berhasil ditangkap. Mochtar
Lubis dan Rosihan Anwar yang mengangkat isu korupsi di koran lokal
mereka, justru kemudian dipenjara tahun 1961 karena dianggap sebagai lawan
politik Sukarno.
Nasionalisasi perusahaan-perusahaan Belanda dan asing di Indonesia
tahun 1958 dipandang sebagai titik awal berkembangnya korupsi di Indonesia.
Upaya Jenderal AH Nasution untuk mencegah kekacauan dengan
menempatkan perusahaan-perusahaan hasil nasionalisasi dibawah Penguasa
Darurat Militer justru melahirkan korupsi di tubuh TNI. Jenderal Nasution
sempat memimpin tim pemberantasan korupsi pada masa ini, namun kurang
berhasil.
Pertamina adalah suatu organisasi yang merupakan lahan korupsi
paling subur mulasi saat ini. Kolonel Soeharto, yang menjabat sebagai
Panglima Diponegoro saat itu, diduga terlibat dalam kasus korupsi gula.
Akhirnya ia diperiksa oleh: Mayjen Suprapto S Parman MT Haryono, dan
Sutoyo. Mereka semua dari Markas Besar Angkatan Darat. Sebagai hasilnya,
jabatan panglima Diponegoro yang diduduki oleh Kolonel Soeharto, akhirnya
diganti oleh Letkol Pranoto, Kepala Staffnya.
Proses hukum Suharto saat itu dihentikan oleh Mayjen Gatot Subroto,
yang kemudian mengirim Suharto ke Seskoad di Bandung. Kasus ini membuat
D.I. Panjaitan menolak pencalonan Suharto menjadi ketua Senat Seskoad. Dari
sinilah sebagian masyarakat sudah tahu sejak dulu, bahwa plot Gerakan 30
September 1965 yang sebenenarnya dibuat untuk membunuh para dewan
Jenderal pada masa lalu itu sebagai dendam, memiliki dampak yang akhirnya
meluas dan menguntungkan bagi satu pihak. Bahkan plot ini memiliki
beberapa keuntungan lainnya. Sambil menyelam minum air, sekali kayuh, dua
tiga pulau terlampaui. Hasilnya adalah sejarah kelam Indonesia, dengan
bantuan Amerika Serikat, Inggris dan sekutunya, yang pada masa itu memiliki
musuh ideologi: Komunisme, yang mana pada masa sebelumnya musuhnya
adalah Nazi, dan pada masa kini musuhnya adalah ISIS yang ternyata buatan
mereka juga dan termsuk dalam Operation False Flag untuk memerangi musuh
terakhir mereka: Islam. Namun dalam hal ini, khususnya Indonesia pada masa
itu, CIA memiliki operasi khusus yang dinamakan The Black Operation untuk
menumbangkan Orde Lama.
Operasi menggulingkan Orde Lama oleh CIA dengan cara propaganda
media pada masa itu tak mempan. Maka CIA menggunakan cara lain, yaitu
pecah belah rakyat indonesia dengan cara menghasut. Hal ini pun berhasil.
Pada masa itu hasutan sangat dipercayai, apalagi juga yang menghasut orang
yang terpandang dan disegani. Hal ini berhasil karena pada masa itu belum
ada media seperti sekarang yang mana bisa dicari sumber kebenaran berita itu
secara langsung ke sumbernya dan secara real time. Kala itu kambing hitam
dibuat, terjadilah pembunuhan ratusan ribu nyawa setelah Orde Lama
tumbang, bahkan ada yang meyakini jutaan rakyat Indonesia dicabut
nyawanya oleh penguasa Orde Baru tak lama setelah Orde Lama berhasil
ditumbangkan. Jadi sejatinya, semua itu berawal dari korupsi, dan pihak yang
membasminya, dianggap sebagai musuh, dan harus ditumbangkan untuk
merebut kekuasaan, karena ideologi AS adalah faham Kapitalisme, dan musuh
Kapitalisme adalah Nazi dan Sosialis Komunisme yang mana ideologi tersebut
tidak memperbolehkan orang atau sekelompok orang menjadi sangat kaya
raya.
Ideologi pembagian harta secara lebih adil merata kepada warga lain
yang tak punya ini pastinya tidak disukai oleh para kapitalis elit dunia, seperti
keluarga dinasti Rothschild, Rockefeller, JP Morgan, Oppenheimer dan
beberapa dinasti ultra kaya dunia, yang selama ini membuat revolusi,
peperangan dan pecah belah sepanjang sejarah dunia. Keberhasilan membuat
pecah belahnya masyarakat Indonesia dengan membuat taktik tersebut,
akhirnya digunakan CIA di banyak negara hingga kini yang mana semuanya
meraih sukses, termasuk di Timur Tengah yang menyebabkan “Arab Springs”
yang juga berhasil. Taktik adu domba ini juga akan terus digunakan oleh CIA
pada masa yang akan datang. Mengingat sejarah kelam praktik korupsi dan
bagimana adanya campur tangan asing kala itu. Semestinya menjadi pelajaran
berharga bagi pemerintah dan generasi penerus. Nanti akan ada artikel susulan
awal korupsi di era orde baru dan orde lama. Ingat akan sejarah berarti kita
belajar untuk lebih dewasa dalam menghadapi tantangan ke depan.
2. Orde Baru
Di Era Orde Baru atau New Order, undang-undang anti korupsi
memiliki Dasar Hukum: UU 3 tahun 1971. Presiden Soeharto pernah membuat
kebijakan anti-korupsi tentang Penyelenggara Negara yang bersih. Tapi karena
kuatnya dari KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme), serta tak adanya restu
politik, progam ini kurang efektif membasmi koruptor. Apalagi mereka yang
berada di posisi strategis.
Korupsi dimulai dari penguasaan tentara atas bisnis-bisnis strategis.
Hal inilah yang membuat pemberantasan korupsi justru menjadi tumpul. Pada
masa Orde Lama, semua pajak yang disematkan dalam setiap perdagangan,
baik ekspor maupun impor disesuaikan dengan nilai barang yang dikirim.
Besaran nilai ditentukan oleh pemerintah daerah setempat. Namun usai tragedi
gerakan 30 September, dan Orde Baru berkuasa, kebijakan berubah. Kebijakan
ekspor tak lagi dipegang daerah, melainkan pemerintah pusat. Kondisi ini
menyebabkan perpindahan besar-besaran kantor pusat yang bermula berada di
daerah ke Jakarta.
Dalam kebijakan awal, perizinan ekspor impor barang harus dilakukan
di Jakarta. Kondisi ini membuat sejumlah perusahaan membangun kantor
cabang di ibu kota. Namun, pemerintah Orde Baru memutuskan mengubah
sistem perpajakan di mana perhitungan pajak ditentukan sepenuhnya oleh
pusat. Itulah yang menjadi awal mula korupsi, kebijakan yang sebelumnya
didasarkan kepada daerah masing-masing diubah dengan sistem sentralistik.
Kondisi itu menyebabkan terjadinya kongkalikong antara pengusaha dan
birokrat agar cepat merealisasikan permintaan mereka.
Sejak saat ini korupsi justru semakin mewabah dan mengakar kuat di
segala sendi-sendi penting pemerintahan dan swasta layaknya kanker. Selain
itu pada awal era ini muncul kebijakan pemerintah untuk para pemodal asing
masuk ke Indonesia dalam berbagai bidang karya, termasuk untuk
penambangan. Pada masa ini seluruh kekayaan alam Indonesia mulai dikuras
habis-habisan. Mulai dari minyak bumi, nikel, tembaga, emas, mangan, batu
bara dan seluruhnya, dikuasai pemodal asing. Begitu pula perusahaan-
perusahaan asing lainnya yang mulai masuk menguasai berbagai bidang
stragegis lain. Beberapa diantaranya membuat perusahaan bernama Indonesia
agar terlihat seperti perusahaan nasioal agar tak kentara. Hal ini terjadi selama
berpuluh-puluh tahun lamanya dan menjadikannya bak “cuci otak” bagi rakyat
Indonesia. Dimana ketika terjadi korupsi di depan mata, orang sudah
menganggapnya sebagai suatu hal yang biasa karena sudah terbiasa. Keadaan
ini sangat tidak baik, karena selain di cuci otak ke dalam alam bawah sadar,
juga akan membuat suatu “generasi yang hilang” di masa depan.
Pada masa Orde Baru ini, kasus korupsi begitu merebak dari warga
ultra kaya hingga komunitas yang bisa dibilang semi primitive. Budaya “uang
rokok” sogok-menyogok dan sejenisnya, semua cuci otak dan terjadi
pembiaran, dimana gaji dan kemewahan seseorang tidak sebanding walau
pakai rumus matematika sekalipun yang banyak menimbulkan tanda tanya.
Contoh kecil misalnya, pegawai negeri bisa punya rumah mewah, polisi bisa
punya mobil mahal, tentara bisa punya beberapa rumah. Memang tidak
mengapa untuk memiliki semua itu, namun tidak mungkin didapat dengan gaji
pada masa lalu. Hitungan matematika tidak berlaku. Pegawai yang
sebelumnya hanya berniat memiliki rumah kontrakan, kini bisa membeli satu
bahkan lebih. Rising demand ini juga menyebabkan praktik kolusi antara
pengusaha, birokrat dan politikus akibat proyek-proyek yang seluruhnya
ditangani kekuasaan. Tak hanya itu, korupsi yang menjangkiti pejabat maupun
PNS di negeri ini terjadi akibat adanya perubahan gaya hidup akibat
overcentralistic atau sentralistik yang berlebihan. Dimana akhirnya setiap
orang terdorong menjadi konsumerisme dengan berdirinya berbagai pusat
perbelanjaan, serta tingginya keinginan untuk memiliki sesuatu.
Budaya feodal juga diyakini masih mengikat sebagian besar
masyarakat. Ketika pejabatnya korupsi, tindakan serupa juga diikuti
bawahannya. Alhasil, pengawasan tidak bisa dilakukan karena atasannya
keburu merasa berdosa. Korupsi yang dilakukan pusat juga diikuti daerah.
Disinilah mulai ada istilah “korupsi berjama’ah”, dan tak ada satupun yang
berani melawan mereka karena strukturnya kuat dan tertutup. Bicara pejabat
yang korupsi pada masa ini adalah suatu ketabuan bahkan dapat mengancam
nyawa. Bahkan di ruang tertutup, seakan tembok pun bisa tahu dan seakan
dapat menjadi mata-mata untuk mengadu. Rakyat tahu semuanya, namun tetap
tutup mulut tak berani bersuara, apalagi bertindak.
3. Reformasi
Di Era Reformasi, undang-undang anti korupsi memiliki Dasar
Hukum: UU 31 tahun 1999 dan UU 20 tahun 2001.Pemberantasan korupsi di
Indonesia saat ini dilakukan oleh beberapa institusi, yaitu:

1. Tim Tastipikor (Tindak Pidana Korupsi), adalah suatu tindak pidana yang
dengan penyuapan manipulasi dan perbuatan-perbuatan melawan hukum
yang merugikan atau dapat merugikan keuangan negara atau
perekonomian negara, merugikan kesejahteraan atau kepentingan
rakyat/umum
2. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), adalah lembaga negara yang
dibentuk dengan tujuan meningkatkan daya guna dan hasil guna terhadap
upaya pemberantasan tindak pidana korupsi. KPK bersifat independen dan
bebas dari pengaruh kekuasaan mana pun dalam melaksanakan tugas dan
wewenangnya
3. BPKP (Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan), adalah
Lembaga pemerintah nonkementerian Indonesia yang melaksanakan tugas
pemerintahan di bidang pengawasan keuangan dan pembangunan yang
berupa Audit, Konsultasi, Asistensi, Evaluasi, Pemberantasan KKN serta
Pendidikan dan Pelatihan Pengawasan sesuai dengan peraturan yang
berlaku.
4. Kepolisian
5. Kejaksaan

Namun apa yang terjadi tidaklah signifikan. Walau sudah pada peyot
menjadi nenek dan kakek, para koruptor pada masa Orde Baru masih banyak
menduduki sebagai pejabat di legislatif pusat hingga ke daerah-daerah di era
Reformasi ini. Salah satu penyebabnya adalah: sudah banyaknya modal
mereka untuk tetap dapat berkuasa sebagai anggota MPR, DPR, DPRD dan
pejabat lainnya seantero Indonesia.

b. Faktor-Faktor Penyebab Korupsi


a. Faktor Penyebab Internal
1. Aspek Sifat Tamak
Faktor penyebab korupsi internal dan eksternal yang pertama adalah karena
sifat tamak yang dimiliki oleh manusia. Sifat tamak ini tergolong penyebab
internal. Umumnya, pelaku korupsi adalah pejabat atau para petinggi yang
sudah memiliki banyak kekayaan. Namun, sifat tamak dan rakus memunculkan
hasrat besar untuk memperkaya diri sendiri
2. Gaya Hidup Konsumtif
Faktor penyebab korupsi internal dan eksternal yang kedua yaitu karena gaya
hidup yang konsumtif. Menjalani hidup di kota-kota besar biasanya akan
mendorong gaya hidup seseorang menjadi lebih konsumtif. Sayangnya, gaya
hidup ini seringkali tidak seimbang dengan apa yang mereka miliki.
Pendapatan yang tidak dapat mendukung gaya hidup konsumtif akan
mendorong seseorang melakukan apa saja untuk memenuhi keinginannya.
Salah satunya adalah dengan tindakan korupsi.
3. Moral
Faktor penyebab korupsi internal dan eksternal yang ketiga yakni karena moral
yang dimiliki lemah. Orang yang memiliki moral yang tidak kuat atau lemah,
cenderung mudah terpengaruh untuk melakukan tindakan korupsi. Pengaruh-
pengaruh ini bisa datang dari atasan, teman kerja, atau pihak mana pun yang
memberi kesempatan untuk melakukan korupsi.
b. Faktor Penyebab Ekternal
1. Aspek Sosial
Kehidupan sosial seseorang berpengaruh dalam mendorong terjadinya korupsi,
terutama keluarga. Bukannya mengingatkan atau memberi hukuman, keluarga
malah justru mendukung seseorang korupsi untuk memenuhi keserakahan
mereka. Aspek sosial lainnya adalah nilai dan budaya di masyarakat yang
mendukung korupsi. Misalnya, masyarakat hanya menghargai seseorang karena
kekayaan yang dimilikinya atau terbiasa memberikan gratifikasi kepada
pejabat. Dalam means-ends scheme yang diperkenalkan Robert Merton,
korupsi merupakan perilaku manusia yang diakibatkan oleh tekanan sosial,
sehingga menyebabkan pelanggaran norma-norma. Menurut teori Merton,
kondisi sosial di suatu tempat terlalu menekan sukses ekonomi tapi membatasi
kesempatan-kesempatan untuk mencapainya, menyebabkan tingkat korupsi
yang tinggi. 

Teori korupsi akibat faktor sosial lainnya disampaikan oleh Edward Banfeld.
Melalui teori partikularisme, Banfeld mengaitkan korupsi dengan tekanan
keluarga. Sikap partikularisme merupakan perasaan kewajiban untuk
membantu dan membagi sumber pendapatan kepada pribadi yang dekat dengan
seseorang, seperti keluarga, sahabat, kerabat atau kelompoknya. Akhirnya
terjadilah nepotisme yang bisa berujung pada korupsi
2. Aspek Politik
Aspek politis dapat menyebabkan terjadinya korupsi. Tindakan ini dilakukan
karena memiliki jabatan atau kekuasaan yang tinggi di pemerintahan. Demi
mempertahankan jabatan dan memenangkan urusan politik, maka banyak orang
melakukan tindakan korupsi.
3. Aspek Hukum
Hukum sebagai faktor penyebab korupsi bisa dilihat dari dua sisi, sisi
perundang-undangan dan lemahnya penegakan hukum. Koruptor akan mencari
celah di perundang-undangan untuk bisa melakukan aksinya. Selain itu,
penegakan hukum yang tidak bisa menimbulkan efek jera akan membuat
koruptor semakin berani dan korupsi terus terjadi. Hukum menjadi faktor
penyebab korupsi jika banyak produk hukum yang tidak jelas aturannya, pasal-
pasalnya multitafsir, dan ada kecenderungan hukum dibuat
untuk menguntungkan pihak-pihak tertentu. Sanksi yang tidak sebanding
terhadap pelaku korupsi, terlalu ringan atau tidak tepat sasaran, juga membuat
para pelaku korupsi tidak segan-segan menilap uang negara
4. Aspek Ekonomi
Penyebab terjadinya korupsi paling sering karena adanya aspek ekonomi.
Karena banyaknya kebutuhan untuk hidup dan merasa memiliki pendapatan
yang kurang, sehingga ada sebagian orang yang nekat melakukan korupsi.
Aspek ekonomi bisa menjadi dasar manusia merasa terdesak untuk mengambil
jalan pintas, demi mencukupi kebutuhan dan keinginannya.
5. Aspek Organisasi
Penyebab terjadinya korupsi yang terakhir, yaitu karena aanya aspek
organisasi. Biasanya hal ini akan didukung karena organisasi tersebut tidak
memiliki aturan yang kuat. Organisasi juga tidak memiliki pemimpin yang
dapat diteladani. Parahnya, organisasi tidak memiliki lembaga pengawasan
dan sistem pengendalian manajemen yang lemah.
c. Faktor Penyebab Korupsi Dalam Perspektif Teori
Berikut ini adalah Teori-Teori penyebab korupsi yang dihimpun dari
aclc.kpk.go.id:
1. Teori korupsi Jack Bologne GONE Theory
Faktor-faktor penyebab korupsi adalah keserakahan (greed), kesempatan
(opportunity), kebutuhan (needs), dan pengungkapan (expose). Keserakahan
berpotensi dimiliki setiap orang dan berkaitan dengan individu pelaku korupsi.
Organisasi, instansi, atau masyarakat luas dalam keadaan tertentu membuka
Faktor Kesempatan melakukan kecurangan. Faktor kebutuhan erat dengan
individu-individu untuk menunjang hidupnya yang wajar. Dan, faktor
pengungkapan berkaitan dengan tindakan atau konsekuensi yang dihadapi oleh
pelaku kecurangan apabila pelaku diketemukan melakukan kecurangan.
GONE = GREED + OPPORTUNITY + NEED + EXPOSE
2. Teori Korupsi Robert Klitgaard CDMA Theory
Korupsi terjadi karena adanya faktor kekuasaan dan monopoli yang tidak
dibarengi dengan akuntabilitas.
Corruption = Directionary + Monopoly + Accountability (CDMA)
3. Teori Korupsi Donald R. Cressey Fraud Triangle Theory
Tiga faktor yang berpengaruh terhadap fraud (kecurangan) adalah kesempatan,
motivasi, dan rasionalisasi. Ketiga faktor tersebut memiliki derajat yang sama
besar untuk saling mempengaruhi
4. Teori Cost-Benefit Model
Menurut teori ini, korupsi terjadi jika manfaat korupsi yang didapat dirasakan
lebih besar dari biaya/risikonya (Nilai Manfaat Bersih Korupsi)
5. Teori Willingness and Opportunity to Corrupt
Korupsi terjadi jika terdapat kesempatan/peluang (kelemahan sistem
pengawasan kurang. Dan sebagainya) dan niat/keinginan (didorong karena
kebutuhan & keserakahan

Anda mungkin juga menyukai