Anda di halaman 1dari 17

Sosialisme Islam Menurut H.O.S.

Tjokroaminoto dan
Kemungkinan Bentuk Kenegaraannya
Leonardus Tri Purnanto

Pendahuluan

Sosialisme mencuat ke permukaan peradaban manusia sebagai antitesis dari


kapitalisme. Berkembang di Eropa, paham itu berhasil menyentuh dunia ketiga, termasuk
Indonesia, di awal abad XX. Marxisme yang menjadi salah satu kiblat sosialisme begitu
kuat dengan gagasan materialisme historis. Mengikuti pemikiran Karl Max yang
mengatakan bahwa agama adalah suatu kebingungan otak, gagasan materialisme historis
perlahan-lahan menyingkirkan agama dari kontestasi sosial dinamika hidup manusia. Di
Indonesia, hampir bisa dikatakan bahwa sosialisme, yang termanifestasi dalam
komunisme pada periode pergerakan nasional sebelum kemerdekaan tidak memberikan
tempat bagi agama, walaupun agama juga tidak ditolak secara eksplisit.

Sekularisasi total antara agama dengan gejolak politik, bahkan ekonomi global
menjadi tren setelah revolusi Prancis. Agama kehilangan pengaruhnya dalam kehidupan
manusia. Kapitalisme dan imperialisme seolah menjadi bukti bahwa agama tidak
memiliki cukup kekuatan untuk membawa perubahan hidup manusia. Inkonsistensi
agama yang sering kali tampil dengan dua wajah yang berbeda sama sekali: antara wajah
ajaran kebaikan, keharmonisan, egaliter dengan wajah potensi penafsiran yang mengarah
pada dominasi kekuasaan, diskriminasi, kekerasan.1 menjadikan agama kurang laku
dalam memperjuangkan keadilan.

Akan tetapi, sebagaimana diungkapkan oleh Ahmad Zainul Hamdi, agama tetap
memainkan peran penting dalam urusan-urusan politik2. Ini disebabkan bahwa legitimasi
politik memerlukan narasi lain di luar dirinya. Agama menawarkan narasi khas yang
mampu membentuk opini publik akan benar tidaknya seorang tokoh politik di mata
masyarakat. Di balik wajah yang sering kali gagal, wajah keadilan agama ternyata
mampu menjadi instrumen pembangun negara yang adil. Hanya saja, bukan perkara
mudah menggunakan narasi agama untuk membangun sebuah gagasan kenegaraan.

Menanggapi hal itu, paling tidak Indonesia memiliki satu contoh tokoh bangsa
yang mampu menggunakan agama sebagai instrumen pembangunan negara yang adil. Ia
adalah Tjokroaminoto. Hidup pada zaman imperialisme-kapitalisme Belanda ia berhasil
memadukan gagasan sosialisme dengan agama Islam sebagai dasar perjuangannya. Pada
masa pergerakan nasional, agama memang menjadi motor perjuangan mendirikan
negara. Namun, penggunaan agama untuk mendukung gagasan sosialisme yang pada
masa itu diidentikkan dengan komunisme dianggap tidak wajar. Hal ini disebabkan
mekanisme pergerakan ide di antara keduanya sangat berbeda. Sosialisme yang
berkembang pada saat Tjokro hidup mengusung ideologi komunisme yang berangkat
1
dari ide materialisme historis. Sedangkan agama Islam lahir dari pewahyuan. Dua
perbedaan mendasar itu nyatanya bisa dimaknai secara bersama-sama di bawah
pemikiran Tjokroaminoto.

Gagasan Tjokroaminoto tentang sosialisme Islam tidak berhenti di dalam pikiran


dan tulisan. Pemikirannya itu dibakukan menjadi ideologi dan asas partai SI pada tahun
19233. Mulawarman mencatat bahwa setelah diresmikan menjadi asas partai, ideologi
sosialisme Islam disebarkan melalui tulisan-tulisan dan seminar-seminar. Salah satu hasil
dari penyebaran ideologi sosialisme Islam adalah lahirnya perkumpulan Jong Islamiten
Bond4 yang terlibat dalam gerakan Sumpah Pemuda tahun 1928. Pemikirannya sangat
mewarnai perjuangan bangsa Indonesia.

Selama hidupnya, ia tidak hanya berjuang meraih kemerdekaan bangsa melalui


partai politik Sarekat Islam. Tetapi juga menyuarakan ide demokrasi sosialisme sebagai
bentuk kenegaraan yang baik. Meskipun sampai akhir hayatnya, gagasan negara sosialis
yang dicita-citakan belum terwujud, pemikiran dan semangat perjuangannya tetap hidup
bahkan hingga zaman kemerdekaan.

Biografi singkat

Haji Oemar Said Tjokroaminoto (1882-1934) lahir di Madiun, Jawa Timur. Ia


merupakan anak dari R.M. Tjokroamiseno, seorang wedana dari Madiun. Ia juga
mewarisi darah puritan yang diturunkan oleh buyutnya, Kiai Bagoes Kesan Besari 5.
Ketika beranjak remaja, ia menempuh pendidikan di OSVIA dengan harapan bisa bekerja
sebagai pegawai pemerintahan. Setelah lulus dari OSVIA, Tjokroaminoto bekerja selama
tiga tahun sebagai juru tulis di kesatuan pegawai administratif Bumiputra Ngawi. Selama
bekerja sebagai pegawai pemerintahan penjajah, daya kritisnya terhadap keadaan
bangsanya mulai berkembang. Ia pun menyadari bahwa bangsanya berada dalam
penindasan yang membutuhkan pembebasan. Kesadaran itu berdampak pada tumbuhnya
semangat perjuangan dalam dirinya untuk membebaskan bangsa. Sebagai langkah awal
keberpihakannya pada perjuangan itu, tahun 1905 Tjokroaminoto meninggalkan
pekerjaannya sebagai pegawai pemerintah.

Setelah keluar dari pekerjaannya, ia menjalani kehidupan sebagai pegawai pabrik.


Bersama anak dan istrinya, Tjokroaminoto tinggal di salah satu rumah beralamat Jalan
Peneleh VII Surabaya. Rumah itu bisa dikatakan sebagai dapur nasionalisme bagi bangsa
Indonesia6. Di tempat itu ia mengalami perkembangan pemikiran politik sekaligus
menjadi awal keterlibatannya dengan Sarekat Dagang Islam, suatu perkumpulan
pedagang yang kelak berkembang menjadi gerakan politik Sarekat Islam (SI). Di rumah
itu pula, ia membuka tempat kos yang dihuni oleh para tokoh Indonesia, seperti Sukarno,
Semaoen, Alimin, dan Moeso serta mendidik kaum muda itu menjadi pejuang
kemerdekaan.

2
Tahun 1905-1907 merupakan periode kesadaran kritis dan terbakarnya semangat
untuk membebaskan rakyat (Mulawarman, 2015:71). Ia berani menyimpang dari tradisi
keluarganya. Sekalipun berasal dari keluarga priyayi, ia justru menolak menikmati
kenyamanan hidup, yang menjadi milik kelompok elit. Ia justru lebih memilih hidup
sebagai orang biasa dan ikut serta berjuang bersama rakyat kecil untuk melawan
ketidakadilan imperialisme-kapitalisme. Tjokroaminoto mulai berani mengritisi setiap
kebijakan Belanda dan menuangkan gagasannya ke dalam tulisan. Setelah tahun 1907, ia
pun secara aktif terjun ke dunia organisasi pergerakan nasional dan politik.

Latar belakang jauh pemikiran sosialisme Islam Tjokroaminoto

Awal pergerakan nasional muncul di Hindia Timur7, hampir setiap kelompok


memiliki ideologi yang berbeda-beda. Namun, ideologi sosialisme lebih banyak diusung
pada masa itu. Tjokroaminoto pun bergerak dengan cita-cita ini. Hanya saja nilai-nilai
agama Islam yang diturunkan dari para leluhurnya turut mewarnai corak sosialismenya.
Ia memiliki pemikiran yang berbeda dan bisa dikatakan tidak mengikuti arus sosialisme
yang berkembang di Indonesia, bahkan di Eropa. Ia membangun sosialisme Islam di
tengah ramainya paham sosialisme-marxisme dan juga gerakan komunisme-leninisme.

Tentu saja pemikiran sosialisme Islam dan keterlibatannya di dalam pergerakan


nasional dari Tjokroaminoto tidak muncul begitu saja. Latar belakang Hindia Timur dan
bahkan politik dunia turut mempengaruhi sepak terjangnya. Untuk lebih memahami hal
itu, kiranya perlu juga untuk melihat konteks zaman di mana Tjokroaminoto hidup.

Tahun 1830, atas prakarsa dari Johanes van den Bosch, pemerintah Belanda
memberlakukan sistem tanam paksa (Cultuurstelsel) di daerah jajahannya8. Kebijakan itu
diberlakukan sebagai upaya memperbaiki keuangan kerajaan Belanda yang porak
poranda akibat pemberontakan Diponegoro di Jawa (1825-1830) dan perang Belgia 9.
Prinsip dari sistem tanam paksa adalah memaksa jajahan menanam jenis tanaman
tertentu sesuai dengan kepentingan Belanda. Kontrol terhadap jenis tanaman yang
ditanam itu sebagai cara meningkatkan komoditi perdagangan sesuai permintaan pasar
dunia sehingga sistem ini murni berdasarkan permasalahan ekonomi.

Secara sistem, praktek tanam paksa sangat merugikan petani. Mereka kehilangan
kebebasan mengolah lahan sendiri. Hasil panen pun harus dijual kepada pemerintah
dengan harga yang sangat murah. Setiap kerugian akibat dari persoalan pertanian
menjadi tanggung jawab dari petani. Selain itu, petani masih mendapat beban membayar
pajak.

Cultuurstelsel memang menimbulkan penderitaan yang hebat. Namun, sistem itu


bisa dipandang sebagai blessing in disguise. Penderitaan karena tanam paksa
memunculkan kesamaan identitas di antara rakyat sebagai bangsa yang menderita.
Kesamaan identitas ini sangat penting karena di kemudian hari mampu mengubah corak
perjuangan dari bersifat lokal menjadi bersifat nasional10.
3
Ketika sistem tanam paksa sudah berjalan selama delapan belas tahun, kerajaan
Belanda mengalami gejolak politik yang sangat hebat. Kekuasaan absolut kerajaan
mengalami serangan politik dari kelompok liberal Belanda. Melalui perubahan UUD,
kelompok liberal berhasil mengubah bentuk pemerintahan dari monarki absolut menjadi
monarki parlementer. Ini berarti mengubah Belanda dari negara kekuasaan menjadi
negara hukum11.

Perubahan bentuk pemerintahan itu berdampak di tanah jajahan. Tanah Hindia


Timur tidak lagi menjadi milik raja melainkan negara dengan acuan hukum yang
diberlakukan. Sistem tanam paksa yang sebelumnya bebas dari kritik karena kekuasaan
mutlak berada pada raja, kini mulai mendapat kontrol audit sebagai bentuk
pertanggungjawaban di parlemen. Parlemen Belanda mulai mengetahui bahwa ada
ketidakadilan dan korupsi di dalam praktek tanam paksa. Akibat dari temuan-temuan
audit, culturstelsel diberhentikan dan mulai tahun 1870 pemerintah Belanda
memberlakukan politik liberal.

Politik liberal membuka peluang dari para pemodal untuk membentuk badan
usaha di Belanda dan di tanah jajahan. Pengusaha swasta mulai masuk ke Hindia Timur
untuk mendirikan industri baru dan melakukan perdagangan, suatu praktek
perekonomian yang sudah berkembang terlebih dahulu di Eropa. Munculnya tuntutan
perbaikan infrastruktur membuka peluang pekerjaan. Selain itu perbaikan sistem sewa
tanah bagi bumiputra dengan UU Agrarianya seolah menjadi jendela baru untuk
memperbaiki nasib rakyat yang telah lama hancur karena praktek tanam paksa12.

Politik liberal yang terlihat menjanjikan itu ternyata dalam prakteknya tidak
mampu membendung datangnya penderitaan dengan mekanisme baru. Masuknya
perindustrian telah mengubah pola hidup rakyat dari petani mandiri menjadi buruh
terikat. Kemungkinan untuk tetap menjadi petani mandiri sangatlah kecil, sebab tekanan
dari pemerintah dan pemilik modal menggiring rakyat melepaskan tanah mereka.
Ditambah lagi ketika politik liberal disahkan, cultuurstelsel tidak otomatis berhenti.
Culturstelsel tetap berjalan hingga tahun 191513. Ini berarti bahwa rakyat mengalami dua
jenis penindasan sekaligus, imperialisme dan kapitalisme.

Imperialisme menjadi sumber kemiskinan karena segala kekayaan rakyat dan


bangsa dihisap demi kemakmuran penjajah. Ditambah lagi kapitalisme telah
menciptakan perbedaan kelas antara pemilik modal dan buruh. Pemilik modal selalu
berusaha mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya dengan menekan biaya produksi
serendah mungkin. Prinsip ini membuka peluang untuk mengeksploitasi rakyat dengan
upah yang serendah mungkin. Situasi ganda itu akhirnya melatarbelakangi perjuangan
Tjokroaminoto.

Rangsangan pergerakan

4
Di awal abad XX tampak jelas bahwa musuh utama yang dihadapi oleh Hindia
Timur adalah imperialisme-kapitalisme. Masalah ganda tersebut tidak bisa hanya
diselesaikan melalui pemberontakan yang bersifat lokal seperti perjuangan di era abad
XIX14. Perjuangan itu juga tidak bisa hanya berfokus pada penolakan kapitalisme. Kedua
hal tersebut saling berkaitan, sehingga diperlukan suatu mekanisme yang mampu
mengakomodir dua permasalahan sekaligus.

Di Eropa permasalahan serupa telah lebih dahulu dialami. Penderitaan yang


dialami oleh kaum buruh diyakini sebagai akibat dari keserakahan individu, yang
memonopoli hasil dan alat-alat produksi untuk kepentingan dirinya sendiri. Adanya
kepemilikan pribadi itu mendorong terjadinya kesenjangan dan ketidakadilan sosial.
Berhadapan dengan hal itu, sosialisme menjadi cita-cita yang sangat mungkin diharapkan
bisa terwujud.

Sosialisme adalah paham yang meyakini bahwa keadilan sosial tercapai melalui
penghapusan hak milik pribadi atas alat-alat produksi15. Gagasan ini muncul karena
kesadaran bahwa manusia adalah makhluk sosial dan segala kekayaan alam adalah milik
bersama. Menurut Frans Magnis, gagasan sosialisme itu sudah ada sejak zaman Yunani
kuno16. Penghapusan milik pribadi dan membuatnya menjadi milik bersama diyakini
akan menghilangkan kesenjangan kesejahteraan. Dengan prinsip milik bersama itu tidak
lagi ada penindasan, kesetaraan antar manusia terwujud, dan persaudaraan akan semakin
kuat.

Dalam perkembangannya, ada banyak jenis interpretasi dan penerapan paham


sosialisme, salah satunya adalah Marxisme17. Sosialisme menurut Marx sebagaimana
diungkapkan oleh Franz Magnis, terwujud setelah syarat-syarat obyektif penghapusan
milik pribadi terpenuhi tanpa melibatkan penilaian moral terhadap masing-masing
kelas18. Masyarakat berkembang membentuk struktur kekuasaan yang sering kali disebut
negara. Struktur kekuasaan yang harusnya bisa menjalankan keadilan ternyata lebih
cenderung berpihak pada kelas atas. Demi mencapai cita-cita sosial, struktur kekuasaan
negara harus diubah dengan revolusi penghapusan kelas dan penghapusan milik pribadi
atas hasil dan alat produksi. Tanpa ada perbedaan kelas berarti negara tidak lagi memiliki
kepentingan membela kelas tertentu. Seiring berjalannya waktu, negara pun akan lenyap
dengan sendirinya. Akhirnya keadilan sosial pun dapat dicapai karena dengan
penghapusan milik pribadi berarti yang ada hanyalah milik bersama.

Sosialisme menjadi populer di Eropa pada era modern. Dengan menawarkan


keadaan tanpa kelas, gagasan itu bukan hanya bergelut pada masalah ekonomi tetapi juga
akan memiliki dampak pembaharuan politik. Keadaan tanpa kelas itu menawarkan cita-
cita kesejahteraan dan keadilan sosial yang merata. Sedangkan revolusi yang dilakukan
akan menyasar dunia politik karena memiliki singgungan langsung dengan struktur
kekuasaan negara. Dua ciri itu sangat sesuai dengan kebutuhan bangsa Indonesia yang
sedang mengalami penindasan akibat ketidakadilan ganda: politik dan ekonomi,
imperialisme dan kapitalisme.

5
Ajaran sosialisme Karl Marx yang lebih berciri materi itu kemudian berkembang
menjadi gerakan komunisme yang revolusioner demi segera mewujudkan cita-cita
sosialisme itu. Cita-cita sosialisme dan gerakan komunisme sedemikian kuat di Eropa
hingga gaungnya sampai ke Indonesia. Gambaran sosialisme dan gerakan komunisme itu
pun akhirnya ikut mewarnai kiprah pergerakan nasional di Indonesia.

Tjokroaminoto yang terlibat dalam pergerakan nasional tidak luput dari pengaruh
sosialisme dan komunisme. Keterlibatannya dengan Sarekat Islam justru mendekatkan
dia pada kelompok yang berjuang dalam haluan komunisme. Setidaknya, di dalam tubuh
SI sendiri mengalami perbedaan pandangan. SI cabang semarang tumbuh berhaluan
komunisme. Sedangkan sebagian besar SI masih tetap mengikuti gagasan sosialisme.

Berkembangnya komunisme yang bertolak dari materialisme mendorong


Tjokroaminoto memikirkan kembali makna sosialisme yang sebenarnya. Ia menolak
gagasan sosialisme Karl Marx yang dikembangkan hanya pada masalah materialisme
sejarah: suatu ide bahwa keadaan manusia itu bergantung dari syarat-syarat material
produksi19. Didukung oleh pemahaman nilai-nilai agama Islam yang kuat, Tjokroaminoto
mengembangkan gagasan sosialisme Islam sebagai arahan yang harus dituju untuk
membebaskan rakyat dari penindasan kaum imperialis dan kapitalis.

Sosialisme Islam

Sosialisme Islam dianggap sebagai internalisasi ajaran Islam secara mendalam


pada diri Tjokroaminoto di bidang politik-ekonomi 20. Bagi Tjokro, Islam adalah batu
penjuru dari sosialisme, Nabi Muhammad sebagai Bapak sosialisme sejati, dan Al-Quran
adalah guru sekaligus penuntun gerakan sosialisme21. Sosialisme yang berdasarkan
ajaran agama Islam juga diyakininya memiliki dua tujuan keselamatan yang sangat
penting, yaitu keselamatan di dunia (berhubungan erat dengan masalah politik dan
ekonomi) dan keselamatan di akhirat (tempat akhir hidup manusia). Sebagai orang Islam
sejati, ia merasa wajib melakukan ajaran Islam secara total, termasuk mewujudkan ide
sosialisme yang telah ada sejak kemunculan Islam seperti terungkap dalam tulisannya:

Jikalau kita menyebut sosialisme, ... yang wajib dituntut oleh umat Islam itu bukanlah sosialisme
lain, melainkan sosialisme berdasar kepada azas-azas Islam belaka ... Sosialisme yang kita tuju
bermaksud mencari keselamatan dunia dan juga keselamatan akhirat.22

Gagasan sosialisme Islam yang dikembangkan oleh Tjokroaminoto sebenarnya


muncul sebagai tanggapan atas sosialisme-komunisme yang ada di Indonesia dan Eropa.
Ia sendiri sebenarnya tidak menolak sosialisme. Ia bahkan menyetujui bahwa sosialisme
itu penting untuk melawan penindasan Belanda terhadap bangsanya dan praktek
kapitalisme23. Akan tetapi, sosialisme yang hanya berfokus pada materi seperti yang
diajarkan Karl Marx hanya menimbulkan kepentingan yang sama dengan kapitalisme,
yaitu kepentingan manusia atas materi24. Menyingkirkan agama dari sosialisme hanya
akan melahirkan sosialisme semu, karena jaminan hidup bermoral manusia hilang. Hal

6
ini bisa menjadi bom waktu yang suatu saat akan meledak melahirkan penindasan model
baru atas manusia.

Tjokro mengritik sosialisme yang dikembangkan oleh Marx dan Engels. Ia


mengatakan:

... bahwa historisch materialisme pelajaran Karl Marx, yang menjadi dasarnya dia punya
wetenschappelik socialisme, adalah dengan semata-matanya mungkin akan keadaan Tuhan,
malaikat, roh dan beberapa perkara yang lain pula, yang diajarkan oleh segala agama terutama
sekali oleh Islam ... adalah Marx berkata begini: agama adalah kebingungan otak ... agama
adalah candu rakyat.25

Bagi Tjokro, sosialisme yang hanya berdasarkan pada materi akan menafikan
keberadaan Allah. Itu jelas bertentangan dengan ajaran Islam yang menjunjung tinggi
Tauhid. Dengan berdasar pada materialisme sebagai asal dan tujuan segala sesuatu,
sosialisme Marx menempatkan benda (materi) sebagai Allah. Gagasan inilah yang tidak
disetujui oleh Tjokro dalam gerakan komunisme di Indonesia yang mengadopsi
pemikiran barat.

Sosialisme Islam versi Tjokroaminoto memiliki makna yang sama dengan


sosialisme barat. Ia membenarkan cara hidup sosialisme, satu buat semua dan semua
buat satu26, yang memiliki makna penghapusan milik pribadi demi kesejahteraan
bersama. Akan tetapi, gagasan sosialismenya memiliki perbedaan yang sangat mendasar
dengan pemikiran barat. Sosialisme barat terutama marxisme mendasarkan diri pada
materialisme, sedangkan Tjokro mendasarkan diri pada nilai-nilai agama Islam.
Menurutnya, Islam telah menampilkan corak hidup sosialisme jauh sebelum sosialisme
barat ada. Ia mengemukakan empat dasar sosialisme yang ada di dalam Islam sebagai
landasan sosialisme yang sejati27:

1. Perikemanusiaan sebagai satu persatuan

Tjokro mengungkapkan bahwa tidak ada manusia yang lebih rendah atau lebih tinggi
dari manusia yang lain. Prinsip egaliter itu membawa kesadaran bahwa orang yang satu
adalah sesama bagi yang lain. Ketika semua orang merasa bahwa dirinya berada di dunia
ini dalam relasinya dengan yang lain, muncul semangat persaudaraan yang kuat.
Persaudaraan tidak akan membawa pola hidup saling menindas. Masing-masing orang
akan merasa bertanggung jawab terhadap sesamanya, tanpa membedakan derajat
kemanusiaan. Perikemanusiaan ini mendorong suatu kesatuan di antara manusia untuk
hidup bersama.

2. Membangun kedamaian (keselamatan) di antara manusia

Kedamaian antar umat manusia yang berbeda-beda suku dan golongan telah ditekankan
di dalam Islam. Tjokro menggunakan Al-Qur’an sebagai dasar bahwa perbedaan yang
ada di muka bumi dimaksudkan oleh Allah agar masing-masing manusia mengetahui
satu sama lain. Maksudnya adalah perbedaan justru membawa orang pada semangat

7
untuk memahami orang lain, sehingga tahu akan kebutuhan dan kesulitan yang
dihadapinya.

3. Allah telah menghilangkan kecongkakan dan kesombongan

Tjokroaminoto menjelaskan bahwa suatu bangsa tidak berhak menyombongkan diri


dengan merendahkan bangsa yang lain, manusia yang satu atas manusia yang lain.
Kesombongan itu akan membawa pada sikap ekstrim, menindas bangsa lain karena rasa
berani yang berlebihan. Padahal di dunia ini hanya ada satu yang perlu ditakuti, yaitu
Allah. Seharusnya setiap orang hanya perlu tunduk pada Allah dan keadilan-Nya.

4. Hanya ada satu Allah sebagai asal dan tujuan manusia dan hanya ada satu agama.

Manusia adalah satu badan yang beraturan (Organisch lichaam) karena berasal dari satu
sumber yang sama yaitu Allah. Penderitaan salah satu anggota adalah penderitaan bagi
seluruh badan. Kesatuan ini membawa konsekuensi bahwa dari semula manusia memang
memiliki cara hidup sosialisme.

Empat dasar itu menggambarkan pandangan yang bertolak belakang di antara


pemikiran Tjokro dengan sosialisme yang sudah berkembang di Hindia Timur dan Eropa.
Dengan menggunakan agama sebagai dasar paham sosialisme, Tjokro menyetujui
kesadaran manusia sebagai dasar utama perkembangan masyarakat. Ini berarti sosialisme
yang diusung oleh Tjokro mengandaikan adanya nilai moral yang bersumber dari agama.
Sebaliknya, sosialisme barat yang di Hindia Timur termanisfestasi dalam gerakan
komunisme meyakini, bahwa keadaan manusia-materi itulah yang menjadi dasar
perkembangan masyarakat. Oleh karena perbedaan dasar pemahaman ini, gerakan yang
dihasilkan pun berbeda, Marxisme bersifat revolusioner, sedangkan sosialisme sosial
bersifat evolutif dengan membangun kesadaran.

Selain empat dasar tersebut, Tjokroaminoto mengungkapkan bahwa Islam


memberikan tiga unsur penting yang ada di dalam sosialisme, yaitu kemerdekaan
(vrijheid), persamaan (gelijkheid), dan persaudaraan (broederschap)28. Prinsip itu berlaku
tidak hanya di sosialisme Islam tetapi juga sosialisme model apa pun.

1. Kemerdekaan mengandung arti, bahwa setiap orang bebas untuk mengekspresikan


hidupnya tanpa ada ketakutan terhadap kuasa orang lain. Bagi Tjokro, manusia tidak
memiliki kewajiban tunduk terhadap manusia lain. Manusia hanya boleh tunduk kepada
Allah.

2. Persamaan mengandung arti bahwa tidak ada kelas di antara manusia. Tidak adanya
kelas membawa keadilan sosial. Tjokro menunjuk pada kisah Sayidina Umar r.d.a yang
memutuskan hukuman terhadap Djabalah - pemimpin bangsa Gassan atas
penganiayaannya terhadap orang miskin yang tidak sengaja telah menginjak pakaiannya,
sebagai contoh pelaksanaan prinsip persamaan di dalam Islam.

3. Persaudaraan dimaknai bukan hanya sebagai status. Persaudaraan yang dimaksud oleh
Tjokro adalah prinsip hidup yang berlandaskan cinta sebagaimana diajarkan oleh Nabi
8
Muhammad. Dengan cinta sejati, manusia tidak akan tega melihat saudaranya menderita.
Masalah orang yang satu menjadi permasalahan orang yang lain. Prinsip persaudaraan di
dalam Islam begitu penting karena hal itu tidak bisa membenarkan penindasan dalam
bentuk apa pun.

Selanjutnya, Tjokro mengungkapkan ada dua jenis sosialisme yang dikenal dalam
Islam, yaitu Staats-sosialisme dan Industri-sosialisme29. Dua model sosialisme itu
berkaitan satu sama lain. Staats-sosialisme menekankan bahwa negara diatur secara
sosialis. Pengaturan itu memiliki maksud bahwa segala tanah dijadikan kepunyaan
negara, sehingga segala kekayaan tanah tidak dikelola perorangan, melainkan negara
demi kemakmuran semua rakyat. Industri-sosialisme bermakna bahwa segala industri
harus dilakukan dalam bentuk kerja bersama. Di dalamnya ada kebebasan bekerja,
namun tetap dalam koridor perserikatan, entah secara terpusat di satu titik atau secara
desentralisasi. Ini mengandaikan bahwa tidak ada intervensi orang atau kelompok
tertentu yang mengumpulkan keuntungan pribadi. Kepemilikan terhadap hasil produksi
hanya mungkin setelah hasil itu didistribusikan dan diberikan kepadanya. Dengan berada
di dalam koridor perserikatan, segala hasil industri digunakan untuk kesejahteraan
bersama dan bebas dari persaingan kepemilikan.

Dua konsep sosialisme itu menunjukkan, bahwa sosialisme Islam tidak


menghilangkan negara, berbeda dengan sosialisme barat yang menganggap bahwa kelak
negara akan kehilangan kekuasaannya dan dengan sendirinya akan lenyap. Bagi Tjokro,
negara tetaplah penting. Namun, kehadirannya hanya sebatas mengontrol dinamika
sosialisme agar berjalan dengan baik. Negara tidak memiliki kekuasaan apa pun untuk
membuat kebijakan dan hukum karena semua aturan selalu didasarkan pada Al-Qur’an.

Tjokro menyadari bahwa sosialisme hanya bisa menjadi sempurna ketika


manusia tidak hidup untuk dirinya sendiri, melainkan untuk hidup bersama. Namun,
untuk membangun sosialisme dalam suatu negara tidaklah mudah. Permasalahannya
adalah negara dengan model pemerintahan apa pun selalu memerlukan beberapa orang
yang diberi kuasa untuk menjalankan pemerintahan30. Namun, pemberian kuasa itu tidak
lepas dari kemungkinan terjadinya penyelewangan. Pemberian kuasa atas orang-orang
tertentu berpotensi membentuk kelas baru dan berpotensi menghasilkan ketidakadilan
terhadap rakyat. Kesulitan-kesulitan itu hampir selalu menjadi sisi negatif suatu
pemerintahan.

Berhadapan dengan berbagai jenis model pemerintahan yang ada, Tjokro


menganggap bahwa demokrasi sosialis adalah bentuk yang paling cocok meskipun bukan
yang paling baik. Pemerintahan demokrasi yang ditekankan adalah seluruh rakyat
menjadi pengawas atas kinerja para petugas pemerintahan. Seluruh kekayaan adalah
milik rakyat dan untuk rakyat. Negara dan petugas pemerintahan hanya menjalankan
amanat rakyat untuk mengontrol pendistribusian kekayaan. Bila petugas pemerintahan
tidak memiliki moralitas yang baik, mengambil keuntungan untuk diri sendiri sangat
mungkin terjadi.

9
Di dalam pemerintahan demokrasi, rakyatlah yang memiliki kuasa. Meski
demikian, untuk menjalankan pemerintahan tetap ada orang-orang yang ditunjuk untuk
mewakili rakyat. Menurut Tjokro, orang-orang yang dipilih harus memiliki kriteria pro
rakyat. Ia memberikan syarat seseorang bisa menjalankan tugasnya di pemerintahan,
yaitu orang tersebut harus memiliki kepandaian dan moralitas yang mumpuni, serta jiwa
sosialis yang tinggi. Orang tersebut juga harus beriman dan takut hanya kepada Allah31.

Menurut Tjokro, agama menjadi kunci utama untuk membangun negara


demokrasi sosialis yang sempurna. Agama Islam dalam sejarahnya sudah menunjukkan
pola hidup sosialisme yang sempurna. Sebagai penganutnya yang sejati, menjalankan
nilai-nilai agama adalah kewajiban. Bila nilai-nilai agama sudah diterapkan dengan baik,
bukan tidak mungkin negara sosialis sempurna akan kembali terwujud, sebagaimana
tampak dalam argumentasinya:

Kalau kita orang Islam mengerti benar-benar dan dengan sungguh-sungguh hati menjalankan
perintah-perintah Islam, maka tak boleh tidak kita mesti menjadi demokrat dan juga menjadi
socialist yang sebenar-benarnya. Kalau orang Islam ... menjalankan perintah-perintah Islam,
maka selamanya mereka tidak akan bisa dihinggapi nafsu egoisme, individualisme, despotisme,
kapitalisme ...32

Bagi Tjokro, membangun negara yang merdeka dan berkeadilan sosial tidak
mungkin dicapai dengan pergerakan dari puncak seperti yang dilakukan kelompok
ideologi komunis. Keyakinannya itu bukan tanpa alasan. Ia memiliki contoh kegagalan
gerakan dari puncak, yang hendak dilakukan oleh kaum komunis dengan pertama-tama
merebut kuasa pemerintahan. Partai Komunis Indonesia mengikuti pola pikir Karl Marx
bahwa perubahan itu menuntut revolusi perebutan kekuasaan dan membentuk diktator
proletar sebagai pelaksana prinsip komunisme. Di tahun 1926-1927 partai komunis
melakukan pemberontakan terhadap pemerintah Hindia Timur, akan tetapi
pemberontakan itu gagal33.

Seandainya pemberontakan itu berhasil dan diktator proletar berhasil dibentuk,


yang terjadi adalah sosialisme semu. Menurut Tjokro sosialisme adalah keadaan tanpa
kelas dan semua orang memiliki kebebasan. Dengan kehadiran diktator proletar, rakyat
justru kehilangan kebebasannya. Diktator proletar tanpa moralitas yang baik akan
menghadirkan dominasi kekuatan dan penindasan baru bagi rakyat.

Pembentukan negara yang berkeadilan sosial sejati hanya bisa dimulai dengan
gerakan dari bawah. Yang dimaksud gerakan dari bawah adalah proses formasi moralitas
setiap manusia secara radikal sehingga menghasilkan orang-orang sosialis yang agamis.
Setelah terbentuk orang-orang yang bermental sosialis, tidak mungkin tidak, negara akan
berhaluan sosialis. Bagi Tjokro, yang terpenting adalah karakter manusianya terlebih
dahulu. Sesudah itu semua siap, sistem pengaturan negara baru mendapat sentuhan
formasi ulang. Tanpa semangat sosialis dan agamis yang mumpuni, rakyat tidak akan
siap membangun negara sosialis dan demokratis.

10
Relevansi pemikiran Tjokroaminoto

Di zaman sekarang, pemikiran Tjokroaminoto tercermin dalam berbagai aspek


konstelasi politik, sosial, ekonomi, dan tata perundangan bangsa Indonesia. Gagasan
sosialisme dan ketegasan menggunakan ajaran agama masih relevan di Indonesia. Dari
hasil pemikirannya itu, bangsa Indonesia mendapatkan banyak pembelajaran untuk
membangun hidup bersama yang lebih ideal.

Di bidang ekonomi, Indonesia memiliki undang-undang yang mencirikan


semangat sosialisme. Dalam UUD 1945 pasal 33 dikatakan bahwa:

Ayat 1. Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan.

Ayat 2. Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat
hidup orang banyak dikuasai oleh negara.

Ayat 3. Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh
negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Undang-undang tersebut menggambarkan bahwa negara Indonesia dibangun dengan


semangat hidup bersama. Kekayaan alam tidak dimiliki pribadi tetapi dikuasai negara
dengan tujuan kemakmuran bersama.

Hanya saja, dalam prakteknya semangat sosialisme Islam yang pernah


dicanangkan oleh Tjokroaminoto kurang nampak. Sering kali, distribusi hasil produksi
kekayaan alam tidak merata. Banyak juga rakyat yang hanya menjadi penonton ketika
kekayaan alam mereka dieksploitasi.

Gagasan Staats-sosialisme dan Industri-sosialisme dalam sosialisme Islam


kiranya dapat menjadi jalan keluar mengatasi permasalahan tersebut. Kekayaan alam
yang dikuasai oleh negara memang sudah sesuai dengan staats-sosialisme. Akan tetapi,
proses produksi dan bahkan distribusi masih jauh dari industri-sosialisme. Padahal untuk
menghasilkan kemakmuran bersama, proses produksi harus dikerjakan bersama. Dalam
prakteknya, pengelolaan hasil kekayaan alam dikuasai oleh pemilik modal asing dan
negara hanya mendapatkan berapa persen dari keuntungannya. Ketegasan untuk
mengelola kekayaan alam secara mandiri sangat diperlukan. Akan tetapi, tidak banyak
orang Indonesia yang cukup mampu dalam mengolah kekayaan itu secara mandiri. Oleh
karenanya, kesiapan kader bangsa seperti yang dicanangkan oleh Tjokro menjadi sangat
relevan dalam hal ini.

Di bidang politik syarat membangun negara demokrasi sosialis yang ditawarkan


oleh Tjokroaminoto adalah pembangunan karakter rakyat dengan keutamaan-keutamaan
moral dan ilmu pengetahuan. Terpenuhinya syarat tersebut menjadi salah satu tanda
bahwa rakyat siap membangun negara demokrasi sosialis yang sejati. Hal ini dapat
mendorong kemajuan bangsa apabila syarat tersebut benar-benar diperhatikan dan
dipenuhi. Negara Indonesia akan dipenuhi dengan orang-orang yang berkualitas tinggi
dalam hal ilmu dan perilaku moral. Pemerintahan akan terisi dengan orang-orang sosialis
11
sejati yang hidup bukan untuk dirinya sendiri. Akibatnya, segala tindakan korupsi dan
usaha-usaha lain yang menguntungkan dirinya sendiri akan hilang.

Di bidang religius-sosio-kultural nilai-nilai agama yang dijadikan dasar hidup


bersama tercermin nyata dalam masyarakat multi religius. Nilai-nilai kerukunan,
perdamaian, kesatuan, dan persaudaraan yang ditawarkan oleh masing-masing agama
menjadi daya pengikat bangsa. Tjokroaminoto dalam pemikirannya pun menegaskan hal
tersebut. Sebagai bangsa yang senasib dan sependeritaan akibat imperialisme Belanda,
sudah sepatutnya mengikatkan diri sebagai satu kesatuan. Tjokroaminoto melalui
tulisannya telah lebih dahulu menawarkan corak kehidupan bersama yang menuju
persaudaraan sejati. Dengan memupuk rasa persaudaraan, rasanya akan sangat sulit
bangsa ini terpecah belah.

Namun pada prakteknya, saat ini tidak jarang bangsa Indonesia harus mengalami
luka akibat perbedaan. Nilai-nilai agama yang mempersatukan justru dimaknai sebagai
dasar untuk menyingkirkan yang lain. Di dunia politik, identitas kolektif yang terbentuk
karena agama juga berulang kali jatuh pada usaha mempertahankan dominasi kekuasaan,
bukan sebagai dasar untuk menghasilkan politik yang bersih. Dalam hal ini, ramalan
Tjokroaminoto bahwa kesiapan setiap orang masih rendah untuk mendirikan negara
sosialis terbukti benar.

Mengikuti pemikiran Tjokroaminoto, kiranya revolusi mental yang digaungkan


oleh Jokowi, bisa menjadi tanda bagi bangsa ini mulai berbenah menuju karakter diri
yang berkualitas. Kesiapan seluruh elemen rakyat mendirikan negara yang adil sejahtera
memang menuntut perbaikan karakter yang selama ini didominasi oleh nafsu egoisme,
individualisme, dan despotisme. Cara yang ditawarkan oleh Tjokroaminoto untuk
mengadakan perubahan itu adalah dengan memperdalam ajaran-ajaran agama dan
mengaplikasikannya dalam kehidupan nyata. Agama tidak lagi hanya dalam tataran
harapan eskatologis keabadian, melainkan sungguh-sungguh menjelma dalam hidup
konkret para penganutnya.

Catatan kritis

Tjokroaminoto berhasil membangun gagasan sosialisme yang berbeda dari


sosialisme Karl Marx yang populer di Hindia Timur. Ia mempertahankan keyakinan
bahwa sosialisme Islam telah lebih ada sebelum Marxisme. Selain itu, ia tidak
mengklaim bahwa telah menggabungkan sosialisme dengan agama Islam. Akan tetapi, ia
menggunakan agama Islam sebagai dasar sosialisme. Baginya, di dalam agama Islam
terdapat prinsip-prinsip sosialisme yang sejati.

Sosialisme Islam dalam bentuk demokrasi yang ditawarkan oleh Tjokroaminoto


sanggup memberikan harapan akan negara yang adil dan sejahtera secara merata. Ini
didasarkan pada prinsip persaudaraan, egaliter, dan persatuan yang kuat. Prinsip ini
mendapatkan kekuatan dari institusi keagamaan (Islam) yang telah menjadi identitas
12
kelompok. Identitas kelompok inilah yang menggerakkan umat Islam berani bersatu dan
berjuang bersama.

Penerapan gagasan sosialisme Islam secara tepat akan membuahkan keadilan


sosial dan konstelasi politik yang bersih. Hal ini disebabkan penggunaan nilai-nilai
agama secara tepat pula, sehingga mampu membentuk karakter rakyat yang bermoral
baik dan sekaligus agamis sejati. Harapannya adalah dengan karakter seperti itu
kecenderungan-kecenderungan untuk memperkaya diri semakin hilang. Tanpa adanya
aksi mengambil keuntungan diri sendiri tentu kesejahteraan rakyat akan terjamin. Politik
Indonesia juga akan lebih berbuah karena mereka memiliki jiwa sosialis yang tinggi dan
memiliki moralitas yang baik.

Namun, penggunaan agama sebagai dasar sosialisme dan demokrasi bisa


menggeser bentuk pemerintahan. Awalnya negara yang bercirikan demokrasi bisa
bergeser ke teokrasi. Ini sangat mungkin terjadi mengingat bahwa Tjokroaminoto
mengungkapkan bahwa satu-satunya hukum dan kebijakan adalah berasal dari Allah
yang termanifestasi dalam ajaran-ajaran agama. Kekuasaan negara menjadi lemah.
Acuan berpolitik bukan lagi ilmu-ilmu terapan melainkan agama. Padahal, ajaran agama
yang tidak direfleksikan secara kontekstual, kurang mampu menjawab tantangan zaman.

Di dunia politik, penggunaan unsur-unsur keagamaan memang menjadi cara jitu


untuk merangsang jiwa korsa. Hal ini didasarkan pada identitas kolektif masyarakat.
Akan tetapi, politik Indonesia adalah politik yang dibangun di atas kemajemukan unsur
bangsa. Memberikan tempat yang lebih pada satu agama hanya akan melahirkan politik
identitas. Akibatnya, politik menjadi tidak netral dan tentu berpotensi menimbulkan
intrik-intrik yang dapat merugikan kelompok-kelompok lain.

Tjokroaminoto juga menegaskan perlunya beberapa orang pilihan yang diberi


mandat untuk menjalankan pemerintahan negara. Meskipun mereka tidak diberikan
wewenang untuk membuat aturan, kehadiran mereka sudah menimbulkan kelas baru.
Mereka mau tidak mau akan memiliki jarak dengan rakyat. Jarak itulah yang membuat
mereka bisa lolos dari kontrol rakyat. Ketika karakter sosialis belum kuat dan celah
kejahatan terbuka, bukan tidak mungkin ketidakadilan akan kembali terjadi.

Selain itu, agama memerlukan orang-orang tertentu untuk menafsirkan ajaran


yang terkandung di dalam kitab suci. Pekerjaan itu menuntut orang-orang tertentu
dengan spesialis khusus. Sekali lagi, hal ini membuka celah munculnya kelas-kelas baru
yang berpengaruh di dalam pemerintahan. Dengan keahlian menafsirkan teks kitab suci,
orang-orang tersebut memiliki kuasa lebih untuk menentukan hukum yang sesuai.
Mereka akhirnya memiliki kuasa di atas rakyat biasa. Hal ini dapat mengakibatkan
demokrasi sosialisme berubah menjadi oligarki.

Secara keseluruhan, pemikiran Tjokroaminoto tentang sosialisme Islam dengan


bentuk negara demokrasi harus diakui sangat sulit untuk diterapkan di Indonesia zaman
sekarang. Meski demikian gagasannya berkaitan dengan penggunaan nilai-nilai agama
sebagai landasan untuk membangun negara patut untuk diikuti. Persaudaraan, persatuan,
13
kebebasan, dan persamaan serta dorongan untuk mengembangkan moralitas yang baik
demi hidup bersama sebagai satu bangsa masih sangat relevan bagi rakyat Indonesia
terutama para pelaku politik hingga saat ini.

14
Daftar Pustaka

A., Zainul Hamdi,

Kompas edisi Rabu 12 September 2018, Separasi Agama-Negara dan Mitos


Modernitas.

Haryatmoko,

2010 Dominasi Penuh Muslihat, Gramedia, Jakarta.

Mehden, F.R.v.d.,

1958 “Marxism and Early Indonesian Islamic Nationalism”, dalam Political


Science Quarterly, Vol. 73, No. 3, Sept., 335-351. Didownload dari www.jstor.org
pada tanggal 11 Desember 2018.

Moedjanto, G.,

1988 Indonesia Abad Ke-20 jilid I, Kanisius, Yogyakarta.

Mulawarman, A.D.,

2015 Jang Oetama Jejak dan Perjuangan H.O.S. Tjokroaminoto, Galang Press,
Yogyakarta.

Simbolon, P.T.,

1995 Menjadi Indonesia, Kompas, Jakarta.

Suseno, F.M.,

2000 Pemikiran Karl Marx, Gramedia, Jakarta.

Tjokroaminoto, H.O.S.,

2003 Islam dan Sosialisme, Tride, Yogyakarta.

Turnan K., G.Mc.,

1995 Nasionalisme dan Revolusi Di Indonesia, UNS Press, Solo, diterjemahkan


oleh N.B. Soemanto.

Vishal, Singh,

1961 “The Rise of Indonesian Political Parties”, dalam Journal of Southeast Asian
History, Vol. 2, No. 2, Juli, 43-65. Didownload dari www.jstor.org pada tanggal 11
Desember 2018.

15
Catatan Akhir

16
1
Haryatmoko, Dominasi Penuh Muslihat, Gramedia, Jakarta, 2010, 81.
2
Ahmad Z.M, Separasi Agama-Negara dan Mitos Modernitas, Kompas, Rabu 12 September 2018.
3
A.D. Mulawarman, Jang Oetama Jejak dan Perjuangan H.O.S. Tjokroaminoto, Galang Press, Yogyakarta, 2015, 182.
4
A.D. Mulawarman, Jang Oetama Jejak dan Perjuangan H.O.S. Tjokroaminoto, 184.
5
A.D. Mulawarman, Jang Oetama Jejak dan Perjuangan H.O.S. Tjokroaminoto, 15.
6
A.D. Mulawarman, Jang Oetama Jejak dan Perjuangan H.O.S. Tjokroaminoto, 21.
7
Hindia Timur menunjuk pada Indonesia. Nama Hindia Timur penulis gunakan karena konteks sejarah berada di zaman
kolonialisme.
8
Parakitri T. Simbolon, Menjadi Indonesia, Kompas, Jakarta, 1995, 114.
9
Parakitri T. Simbolon, Menjadi Indonesia, 116.
10
G. Moedjanto, Indonesia Abad Ke-20 jilid I, Kanisius, Yogyakarta, 1988, 26.
11
Parakitri T. Simbolon, Menjadi Indonesia, 126.
12
Parakitri T. Simbolon, Menjadi Indonesia, 153.
13
George Mc Turnan K, Nasionalisme dan Revolusi Di Indonesia, UNS Press, Solo, 1995, 13, diterjemahkan oleh N.B.
Soemanto.
14
G. Moedjanto, Indonesia Abad Ke-20 jilid I, 25.
15
Franz M. Suseno, Pemikiran Karl Marx, Gramedia, Jakarta, 2000, 270.
16
Franz M. Suseno, Pemikiran Karl Marx, 14.
17
Marxisme adalah ideologi ekonomi dan masyarakat yang merupakan hasil interpretasi dari ajaran Karl Marx (1818-1883).
Marxisme lebih sempit dari keseluruhan ajaran Karl Marx. Marxisme begitu populer digunakan untuk mewujudkan
masyarakat sosialis. Contoh keberhasilan penerapkan ideologi Marxisme adalah gerakan yang dilakukan oleh Lenin di
Rusia. Ia berhasil mendirikan gerakan komunisme dengan menginterpretasikan pemikiran Marx.Lih. Franz M. Suseno,
Pemikiran Karl Marx, 270.
18
Franz M. Suseno, Pemikiran Karl Marx, 137.
19
Franz M. Suseno, Pemikiran Karl Marx, 139-140.
20
A.D. Mulawarman, Jang Oetama Jejak dan Perjuangan H.O.S. Tjokroaminoto, 118.
21
F.R. von der Mehden, “Marxism and Early Indonesian Islamic Nationalism”, dalam Political Science Quarterly, Vol. 73,
No. 3, Sept., 1958, 335-351.
22
Tjokroaminoto, Islam dan Sosialisme, Tride, Yogyakarta, 2003, 5.
23
A.D. Mulawarman, Jang Oetama Jejak dan Perjuangan H.O.S. Tjokroaminoto, 164.
24
A.D. Mulawarman, Jang Oetama Jejak dan Perjuangan H.O.S. Tjokroaminoto, 165.
25
Tjokroaminoto, Islam dan Sosialisme, 20.
26
Tjokroaminoto, Islam dan Sosialisme, 1.
27
Tjokroaminoto, Islam dan Sosialisme, 24-25.
28
Tjokroaminoto, Islam dan Sosialisme, 33.
29
Tjokroaminoto, Islam dan Sosialisme, 8.
30
Tjokroaminoto, Islam dan Sosialisme, 116.
31
Tjokroaminoto, Islam dan Sosialisme, 102.
32
Tjokroaminoto, Islam dan Sosialisme, 136.
33
Vishal Singh, “The Rise of Indonesian Political Parties”, dalam Journal of Southeast Asian History, Vol. 2, No.
2, Juli, 1961, 43-65. Didownload dari www.jstor.org pada tanggal 11 Desember 2018.

Anda mungkin juga menyukai