Anda di halaman 1dari 17

BAB 2

RADIKALISME PERGERAKAN KEBANGSAAN

2.1. Situasi Kolonial Pasca-PD I


Pada awal abad XX terjadi perkembangan baru dalam pelaksanaan politik kolonial
Belanda di Indonesia. Haluan politik baru itu banyak dipengaruhi oleh ide Van Deventer.
Idenya itu didasari atas pandangannya terhadap politik penghisapan yang dilakukan oleh
pemerintah jajahan di Indonesia, tetapi pemerintah melalaikan kewajibannya terhadap rakyat
jajahan dalam bidang kesejahteraan dan pendidikan. Haluan politik baru itu kemudian dikenal
dengan sebutan “politik balas budi” atau “politik etis” (Utomo, 1995, hlm. 77).
Politik etis yang dimulai dengan penuh semangat itu, pada dasawarsa kedua mulai
kabur dan pelaksanaannya diragukan. Perkembangan sosial politik sejak Kebangunan
Nasional dan pecahnya PD I menimbulkan situasi politik yang melemahkan tujuan seperti
termaktub dalam politik etis. Kemiskinan, buta huruf, dan kurangnya kesehatan masih
tampak jelas dalam kehidupan rakyat.
Suatu kenyataan bahwa politik etis akhinya gagal. Kegagalan tersebut tampak jelas
pada tahun-tahun akhir PD I, dimana-mana timbul kelaparan dan kemiskinan.
Pemberontakan-pemberontakan seperti di Jambi (1916), Pasarebo (1916), Cimareme (1918),
Toli-toli (1920) merupakan perwujudan yang jelas dari kegelisahan sosial tersebut. Bahkan
organisasi pergerakan kebangsaan telah pula dimanfaatkan sebagai media penyalur
ketidakpuasan.
Keadaan ekonomi yang buruk dan keresahan sosial yang semakin meluas itu
bertambah-tambah dengan adanya krisis pabrik gula (1918), krisis ekonomi (1921) dan
kenaikan pajak rakyat. Kondisi ekonomi rakyat dan keadaaan sosial yang semakin buruk itu
terus berlanjut, bahkan mencapai puncaknya pada masa pemerintahan de Jonge (1931-1936).
Lebih-lebih dengan kegagalan politik etis, krisis ekonomi, turunnya harga ekspor, dan
naiknya harga impor menjadikan kemelaratan penduduk Indonesia terutama di Jawa tambah
parah lagi (Utomo, 1995, hlm. 79).
A. Radikalisme Pergerakan
Dalam menghadapi suasana yang penuh kegelisahan pasca PD I dan gagalnya politik
etis itu, Gubernur Jenderal van Limburg Stirum mengeluarkan janji pemerintah untuk
mengadakan komisi perubahan yang akan bertugas meninjau kembali kekuasaan volksraad
dan struktur administrasi pemerintahan Hindia Belanda. Limburg Stirum (1916-1921) dapat
mengambil hati kaum pergerakan, karena pandangannya yang progresif, dan memberi

1
kesempatan organisasi pergerakan untuk hidup dengan terbuka. Kebijaksanaannya ternyata
tidak dilanjutkan oleh Fock yang menggantikannya.
Sebagai etikus gaya lama, Fock (1921-1926) memerintah secara otokratis dan mulai
menerapkan politik kolonial yang bersifat reaksioner, serta mengabaikan kekuatan rakyat
yang sedang tumbuh (Utomo, 1995, hlm. 79). Akibat langsung dari politik Fock tersebut
tidak lain adalah radikalisasi dalam pergerakan nasional.
Sejak permulaan tahun dua puluhan, radikalisme mendapat tempat berpijak secara
berangsur-angsur dan perkembangannya bersamaan dengan meruncingnya garis pemisah
antara golongan-golongan rasial. Pertentangan yang makin memuncak antara golongan Eropa
dan Indonesia sudah mulai. Yang menjadi dasar pertentangan itu adalah konflik-konflik
kepentingan antara penjajah dan yang dijajah, modal dan kerja, kaum konservatif dan kaum
progresif yang bagaikan menyiram minyak dalam api revolusi.
Boedi Oetomo, organisasi pergerakan nasional yang sebelumnya dikenal sebagai
organisasi yang bercorak sosial-kultural, ikut dalam arus radikalisme tersebut dengan masuk
ke dalam fraksi konsentrasi radikal di Dewan Rakyat. Setelah menilai bahwa perjuangan
melalui Dewan Rakyat tidak memberikan hasil yang cukup memadai, Sarekat Islam segera
mengambil langkah radikal dengan keluar dari Dewan Rakyat dan menjalankan politik
nonkooperasi. Organisasi pergerakan nasional yang lebih awal menunjukkan warna radikal
tersebut adalah Perhimpunan Indonesia (sesudah tahun 1920). Sementara itu, organisasi yang
sejak berdirinya telah menunjukkan sifat radikal adalah Partai Nasional Indonesia (Utomo,
1995, hlm. 80).
Akibat aktivitas pergerakan kebangsaan Indonesia yang radikal tersebut, kebijaksanaan
campur tangan kolonial terhadap organisasi pergerakan nasional semakin ditingkatkan
campur tangannya. Fenomena itu penting artinya sebab memberikan petunjuk bahwa
kebijaksanaan-kebijaksanaan politik kolonial terbukti selalu tidak menguntungkan bagi
tumbuh dan berkembangnya aspirasi-aspirasi pribumi (nasional). Fenomena tersebut juga
dapat dijadikan sebagai ukuran bagaimana tidak tepatnya atau piciknya bahkan menunjukkan
tidak cermatnya pemerintah kolonial dalam mengambil kebijaksanaan politiknya.
Pergolakan di Hindia Belanda memuncak pada akhir tahun 1926, dengan pecahnya
pemberontakan di Banten, Sumatera Barat, dan daerah lain di Jawa. Hal itu menyebabkan
Gubernur Jenderal de Graaf (1926-1931) bertindak keras dan reaksioner. Menghadapi
aktivitas pergerakan rakyat yang semakin radikal dan revolusioner tersebut, pemerintah
kolonial mengeluarkan peraturan-peraturan yang sangat keras.
Dikeluarkannya peraturan-peraturan yang keras oleh pemerintah tersebut tidak

2
menjadikan aktivitas pergerakan kebangsaan Indonesia berhenti. Malahan sebaliknya,
gerakannya menjadi lebih kuat, lebih banyak menarik pengikut yang militan daripada masa-
masa sebelumnya. Kenyataan yang ada ialah bahwa “makin kuat radikalisasi pergerakan
nasional makin reaksioner dan represif tindakan-tindakan yang diambil pemerintah Hindia
Belanda” (Utomo, 1995, hlm. 82).
2.2. Perhimpunan Indonesia (Studie Club)
Memasuki pasca PD I, pergerakan nasional Indonesia menginjak babak baru, yakni
telah menginjak fase kelahiran nasionalisme dengan cita-citanya yang tegas ke arah
emansipasi politik dengan jalan kerja sendiri secara aktif dengan bersenjatakan ideologi
kesatuan Indonesia yang merdeka dan berdaulat. Pelopor dari gerakan adalah para mahasiswa
dari Indonesia di negeri Belanda yang tergabung dalam Perhimpunan Indonesia.
Perhimpunan Indonesia pada awalnya bernama Indische Vereeniging (Perhimpunan
India) yang berdiri enam bulan setelah berdirinya Boedi Oetomo di Jakarta itu (Utomo, 1995,
hlm. 83). Pada awal berdirinya Indische Vereeniging semula hanyalah perkumpulan yang
bersifat sosio-kultural berupa kelompok studi. Selain itu, organisasi itu juga merupakan
kelompok keakraban, karena sesama orang Indonesia mereka merasa senasib
sepenanggungan di perantauan.
John Ingelson dalam bukunya Perhimpunam Indonesia anda the Indonesian Nationalist
Movement 1923-1928 yang diterbitkan tahun 1975 oleh Monash University mengatakan
bahwa organisasi embrio dari Perhimpunan Indonesia yang berdiri tahun 1908 di negeri asing
ini bukanlah sebagai tempat bersantai bagi sesama mahasiswa Hindia sambil menanti-nanti
kabar hangat dari tanah air. Senada dengan pendapat itu Nagazumi mempertanyakan
bagaimana mungkin suatu organisasi yang hanya merupakan tempat bersantai kalangan
pelajar mengalami perubahan yang kemudian menjadikannya suatu organisasi yang sangat
bersifat politik hanya dalam waktu satu setengah dasa warsa (Utomo, 1995, hlm. 83).
1) Perkembangan Organisasi
a. 1908-1912: Masa Pembentukan Sebuah Periode Moderat
Pada awal abad XX motivasi penduduk bumi putera di Hindia Belanda untuk menuntut
pendidikan yang lebih baik semakin meningkat. Bukti peningkatan itu adalah adanya
beberapa pemuda Indonesia yang menempuh pendidikan tinggi di Eropa, terutama di
Belanda. Pada tahun 1908, jumlah mahasiswa yang menempuh pendidikan di negeri penjajah
itu sudah sebanyak 23 orang. Pada tahun yang sama itulah berdiri Indische Vereeniging.
Menurut Nagazumi (1986) lahirnya organisasi itu memiliki arti dalam dua hal. Pertama,
ia membuka pintu keanggotaan untuk semua mahasiswa dari Hindia Belanda. Akibatnya

3
Indische Vereeniging mampu mengatasi hambatan etnosentrisme. Kedua, Indische
Vereeniging bukan hanya sekedar “organisasi persahabatan” seperti ditulis oleh beberapa
sejarawan. Hal itu terbukti dari pasal dua dari anggaran dasarnya yang menetapkan sebagai
berikut: “memperbaiki atau meningkatkan kepentingan bersama orang Hindia di negeri
Belanda dan memelihara hubungan dengan Hindia Belanda”.
Selain Soemitro ada dua orang lagi yang menjadi pemimpin Indische Vereeniging,
yaitu Soetan Kasajangan Soripada dan R.M. Noto Soeroto. Tokoh pertama tidak jelas
identitasnya, tetapi tokoh Noto Soeroto jelas. Ia merupakan putra dari pangeran Notodirojo,
seorang pangeran dari keluarga Sri Paku Alam dari Yogjakarta. Ia seorang sastrawan dan
karena posisinya itu ia tidak berani menentang pemerintah Kolonial Belanda secara terang-
terangan, bahkan di kalangan tokoh Perhimpunan Indonesia pada masa selanjutnya dinilai
sebagai pro Belanda.
Selain tiga tokoh utama itumasih ada enam tokoh pemimpin lainnya, yaitu
Sosrokartono, Gondowinoto, Notodiningrat, Abdoel Rivai, Radjiman Wediodipoero
(Wediodiningrat), dan Brentel. Selain Abdoel Rivai yang berasal dari Minangkabau, tokoh-
tokoh ini semua berasal dari Jawa, yakni Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Jogjakarta.
Menurut suatu buku kenangan yang diterbitkan tahun 1923, kegiatan-kegiatan
organisasi ini pada masa awal mencakup dua ceramah oleh Noto Soeroto, yang berjudul:
“Gagasan R.A. Kartini sebagai pedoman Indische Vereeniging” dan ”Persatuan Hindia dan
Nederland”; ceramah Dr. Apituley mengenai pendidikan hiegiena untuk Hindia Belanda; dan
diskusi tentang cita-cita rakyat Minahasa yang dibawakan oleh Ratulangi (Utomo, 1995, hlm.
86).
b. Periode 1913-1922: Periode Konsolidasi
Pada periode ini Indische Vereeniging mendapat kunjungan beberapa pemimpin
Indische Partij yang dibuang keluar dari daerah jajahan, yaitu datangnya tiga serangkai Ki
Hajar Dewantara, Cipto Mangunkusumo, dan Douwes Dekker. Tiga tahun setelah kedatangan
tokoh-tokoh Indische Partij itu, pada tahun 1916 telah terbit sebuah penerbitan dari Indische
Vereeniging dengan nama Hindia Poetra. Jurnal itu telah mengalami berbagai perubahan.
Secara keseluruhan telah diterbitkan tiga seri publikasi.
Sejalan dengan kehadiran tokoh-tokoh Indische Partij di Belanda itu, arus pemuda
Indonesia yang mengikuti studi di Negeri Belanda semakin besar. Beberapa mahasiswa yang
pada periode ini datang ke negeri penjajah ini antara lain Moh. Hatta, Subardjo, Sukiman, Ali
Sastroamidjojo, Sunario, Nazir Dt. Pamuntjak, Supomo, Wirjono Prodjodikoro, A.K.
Pringgodigdo, Iwa Kusumasumantri, dan Sutan Sjahrir. Setibanya di Negeri Belanda mereka

4
langsung bergabung dengan Indische Vereeniging.
Suasana internasional pun ketika itu memang mendukung bagi perkembangan Indische
Vereeniging ke arah pergerakan politik. Sehabis PD I orang di Eropa dan di seluruh penjuru
dunia sedang demam gagasan Presiden Wilson dari Amerika Serikat yang terkenal dengan
Wilsons Fourteen Points. Selain itu para mahasiswa di Nederland juga tertarik untuk
mempelajari faham sosialisme yang beraneka ragam coraknya. Mereka juga mengenal
perjuangan kemerdekaan dari berbagai negara dan bangsa lain seperti India, Irlandia, dan
Turki.
Pada permulaan tahun 1920 peran sosio-kultural memang tetap, tetapi berkat pengaruh
perkembangan baru kedua peran tersebut tidak lagi dominan. Sejak Februari 1925 mereka
telah mengembangkan organisasi tersebut sebagai sebuah organisasi yang mengutamakan
masalah politik. Sebagai identitas nasional yang baru, mereka memakan nama “Perhimpunan
Indonesia” dan memberikan nama baru “Indonesia Merdeka” kepada majalah mereka.
Berkembangnya organisasi ini menjadi suatu organisasi politik yang revolusioner terutama
merupakan hasil pembinaan Muhammad Hatta. Ia adalah seorang organisator sekaligus
perangsang intelektual bagi rekan-rekannya (Utomo, 1995, hlm. 88).
c. 1922-1928: Periode Radikal
Sejak tahun 1922, masa konsolidasi dalam tubuh Indische Vereeniging sudah mantap.
Sejak saat itu langkah-langkah Indische Vereeniging menjadi semakin berani. Pada tahun
1922 para anggota Indische Vereeniging setelah mengkaji dengan seksama bahwa kata yang
pas adalah “Indonesia” dan bukan “India” untuk nama perkumpulannya, mengganti nama
perkumpulan ini menjadi “Indonesische Vereeniging”. Sebagian para anggota organisasi
masih tidak puas dengan nama itu yang masih menggunakan nama dalam bahasa Belanda.
Akhirnya pada tanggal 8 April 1925, perkumpulan mahasiswa di negeri Belanda ini
menggunakan nama Indonesia, yakni Perhimpunan Indonesia.
Penggunaan nama “Indonesia” yang diawali oleh Perhimpunan Indonesia ini segeraa
menjadi populer di tanah air. Di Surabaya berdirilah sebuah studyclub dengan nama
Indonesische Studieclub yang dipimpin Dr. Soetomo. Sementara itu nama-nama gerakan
politik banyak yang menggunakan nama Indonesia seperti Perhimpunan Pelajar-Pelajar
Indonesia (PPPI) yang didirikan pada tahun 1926, dan Partai Nasional Indonesia (PNI) yang
berdiri tahun 1927.
Berbeda dari pada saat pertumbuhannya, para pemimpin Perhimpunan Indonesia kini
terdiri dari tokoh-tokoh yang radikal. Mereka itu adalah Iwa Kusumasumantri, JB. Sitanala,
Moh. Hatta, Sastromuljono, dan D. Mangunkusumo (Hartono, 1994, hlm. 60). Akibatnya

5
perjuangan organisasi ini berubah dari gerakan yang moderat menjadi gerakan yang radikal.
Engelson mengemukakan dari sekian tokoh Perhimpunan Indonesia, Muhammad Hatta
lah yang merupakan pionir bagi perkembangan organisasi ini menjadi radikal. Dialah
penyebab sebagian besar perkembangannya, organisator utama kegiatan-kegiatannya dan
perangsang intelektual bagi teman-teman sejawatnya.
Hatta dan teman-teman terdekatnya percaya bahwa kegiatan-kegiatan Perhimpunan
Indonesia harus diarahkan untuk mencapai tiga tujuan. Pertama, menyadarkan teman-teman
mahasiswa mereka semakin merasakan diri sebagai orang Indonesia dan mengembangkan
komitmen yang bulat kepada orang Indonesia yang bersatu dan merdeka. Kedua, mereka
percaya bahwa Perhimpunan Indonesia harus menghapuskan gambaran tentang Indonesia
yang diciptakan oleh pemerintah Belanda. Ketiga, mereka harus mengembangkan suatu
ideologi yang kuat dan bebas dari pembatasan-pembatasan Islam dan Komunisme.
Ada empat pikiran pokok sebagai ideologi Perhimpunan Indonesia yang
dikembangkannya sejak permulaan tahun 1925. Keempat pokok pikiran tersebut adalah:
pertama, kesatuan nasional. Kedua, solideritas. Ketiga, nonkooperasi. Keempat, swadaya.
2) Aktivitas Perhimpunan Indonesia
Aktivitas-aktivitas Perhimpunan Indonesia setelah memasuki periode radikal itu adalah:
sejak tahun 1923, Perhimpunan Indonesia mempelopori dari jauh perjuangan kemerdekaan
untuk seluruh rakyat Indonesia dengan berjiwa persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia
yang murni dan kompak. Langkah selanjutnya dari sikap radikal Perhimpunan Indonesia ini
adalah mengubah nama majalahnya dan Hindia Putra menjadi Indonesia Merdeka pada
tahun 1924 (Utomo, 1995, hlm. 92).
Sejalan dengan perubahan Anggaran Dasar pada permulaan tahun 1925 yang mana
didalamnya disebut kemerdekaan penuh bagi Indonesia hanya akan diperoleh dengan aksi
bersama yang akan dilakukan serentak oleh kaum nasionalis dan berdasarkan atas dasar
kekuatan sendiri, maka kegiatan Perhimpunan Indonesia meningkat menjadi nasional
demokratis, nonkooperasi, dan meninggalkan sikap bekerja sama dengan kaum penjajah,
bahkan menjadi internasional dan anti kolonial. Di bidang internasional ini Perhimpunan
Indonesia bertemu dan bekerjasama dengan perkumpulan-perkumpulan Asia dan Afrika yang
mempunyai cita-cita yang sama dengan Indonesia merdeka. Perhimpunan Indonesia memang
berusaha supaya masalah Indonesia mendapatkan perhatian dari dunia internasional.
Pada bulan Februari tahun 1927 diadakan Kongres I Liga Penentang Imperialisme dan
Penindasan Kolonial di Berlin yang diwakili antara lain oleh wakil-wakil penggerakan negara
jajahan. Perhimpunan Indonesia pada waktu itu bertindak atas nama PPPKI di Indonesia juga

6
mengirimkan delegasinya. Mereka itu adalah Moh. Hatta, Nasr Pamontjak, Gatot dan
Akhmad Soebardjo.
Aktivitasnya di forum internasional ini, menimbulkan reaksi keras dari pemerintah
kolonial Belanda. Dengan tuduhan membuat tulisan yang menghasut pemberontakan kepada
pemerintah kolonial di Indonesia, maka empat tokoh Perhimpunan Indonesia ditangkap
(1927). Mereka itu ialah: Muhammad Hatta, Nasir Pamuncak, Abdulmadjid Joyoningrat, dan
Ali Sastroamidjojo.
Ketika mereka kemudian diadili, Muhammad Hatta berkesempatan membacakan pidato
pembelaannya yang berjudul “Indonesia Vrij” (Indonesia Meredeka). Pidato pembelaannya
itu ternyata dapat meyakinkan para hakim Belanda yang ternyata lebih bebas dari prasangka
kolonial. Dan setelah diadakan pemeriksaan, maka mereka dibebaskan dari segala tuntutan
karena terbukti tidak bersalah (Utomo, 1995, hlm. 94).
3) Reaksi Belanda
Berbeda dengan ketika Perhimpunan Indonesia baru lahir yang mana pemerintah
Belanda tidak memberikan reaksi yang keras, maka ketika Perhimpunan Indonesia telah
bergerak ke arah menentang kolonialisme dengan secara terang-terangan pemerintah Belanda
memberikan reaksi yang represif. Pada tahun 1926 terjadi penggeledahan dan penggerebekan
oleh polisi Belanda terhadap Perhimpunan Indonesia karena diduga mereka menyimpan
perjanjian rahasia Semaun-Hatta.
Pemerintah kolonial semakin garang untuk membekuk tokoh-tokoh Perhimpunan
Indonesia ini. Atas tuduhan “dengan tulisan menghasut di muka umum untuk memberontak
terhadap pemerintah”, maka pada tanggal 10 Juni 1927 empat tokoh Perhimpunan Indonesia
yakni Moh. Hatta, Nazir Pamontjak, Abdulmadjid Djojoadiningrat, dan Ali Sastroamidjojo
ditangkap dan ditahan sampai tanggal 8 Maret 1928. Akan tetapi dalam pemeriksaannya di
sidang pengadilan tanggal 22 Maret 1928 mereka dibebaskan karena tidak ada bukti-bukti
bersalah.

4) Pengaruh Perhimpunan Indonesia Terhadap Pergerakan Kebangsaan di


Indonesia
Sejak pertengahan tahun 1925 Perhimpunan Indonesia menganjurkan bekas-bekas

7
anggota-anggotanya pulang ke Indonesia untuk bergabung dengan partai-partai yang ada dan
meyakinkan mereka agar mau menerima gagasan Perhimpunan Indonesia. Sejak saat itu
dilakukan propa ganda kegiatan Indonesia oleh Budhiyarto, Sartono, dan Arnold Monunutu.
Propa ganda itu terutama dilakukan lewat saluran majalah perjuangannya “Indonesia
Merdeka”. Majalah Indonesia Merdeka ini banyak dibaca oleh kalangan mahasiswa di
Bandung dan Jakarta. Tulisa-tulisan yang terdapat didalamnya banyak dijadikan dasar bagi
diskusi-diskusi politik.
Menurut Suhartono (1994, hlm. 62), hubungan Perhimpunan Indonesia di Belanda
dengan Indonesia berjalan lancar berkat peranan partisipan Perhimpunan Indonesia, Sujadi,
seorang juru tulis Departemen Keuangan di Jakarta. Ia mempublikasikan majalah “Indonesia
Merdeka” dan mendistribusikannya di kalangan para intelektual Indonesia selain itu ia juga
memberikan laporan situasi politik di Indonesia kepada tokoh-tokoh Perhimpunan Indonesia
di Belanda.
Ide-ide Perhimpunan Indonesia juga berpengaruh terhadap organisasi baru yang
bernama “Kelompok Studi Umum” di Bandung itu. Kelompok ini dibentuk di Bandung pad
bulan September 1925, dan dalam tahun 1926 menolak orang-orang PKI untuk menjadi
anggotanya dengan alasannya karena pemerintah Hindia Belanda sedang melancarkan
penekanan keras terhadap PKI dan diperkirakan juga akan dilakukan kepada organisasi-
organisasi yang menerima PKI (Utomo, 1995, hlm. 96).

2.3. Indonesische Studieclub

Indonesische Studieclub (lSC) adalah kelompok studie yang didirikan di bulan Juli
pada tahun 1924 untuk mendiskusikan berbagai problem kehidupan sosial ekonomi bangsa.
Kelompok studie ini merupakan usaha nyata bekas anggota Perhimpunan Indonesia yang
kembali ketanah air untuk merealisasikan tentang pembangunan bangsa. Terbentuknya
Indonesische Studieclub (lSC) merangsang terbentuknya kelompok studi diwilayah lain
seperti Yogyakarta, Semarang, Bandung, Jakarta, dan Solo. Selain Indonesische Studieclub
(lSC) kelompok studi yang paling aktif adalah Algemene Studieclub di Bandung.

Pada awalnya Indonesische Studieclub (lSC) merupakan sebuah perkumpulan kaum


terpelajar yang bekerja di Surabaya saja, kemudian mempunyai pengaruh cukup luas. Satu
tahun setelah berdiri, mengadakan Interinsulaire Vag atau Hari Nusantara di Surabaya, yang
merupakan pertemuan besar antara berbagai suku bangsa, seperti Jawa, Madura, Sumatera,
Bali, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, dll. Tujuan utamanya adalah menyebarluaskan prinsip-

8
prinsip persatuan dan solidaritas Indonesia. Dr. Sutomo adalah perintis Indonesische Studie
Club. Rapat pembentukan organisasi ini diadakan di rumah RM Hariyo Suroyo di Jl.
Sudirman No 35 Jakarta, yang dihadiri oleh sekitar 25 orang cendekiawan, antara lain
Sunaryo, Sunyoto, Mr. Kusnun, dr. Saleh, serta beberapa orang Belanda, ternyata organisasi
ini tampak begitu Jawa Sentris bagi Sutomo, maka untuk mempertegas idenya tentang
Indonesische Vereniging, pada 1925 Sutomo keluar dari Budi Utomo.

Indonesische Studie Club mempunyai misi untuk mendorong kaum terpelajar di


kalangan orang-orang pribumi supaya memupuk kesadaran hidup bermasyarakat,
pengetahuan politik, mendiskusikan masalah-masalah nasional dan sosial, serta bekerja sama
untuk membangun Indonesia. Kelompok studi ini merupakan usaha nyata bekas anggota-
anggota Perhimpunan Indonesia (PI) yang kembali ke tanah air untuk merealisasikan ide-ide
mereka tentang pembangunan Indonesia, yang telah terbentuk dan berkembang ketika mereka
masih aktif dalam organisasi PI di Negeri Belanda. Terbentuknya Indonesische Studiedub ini
merangsang dibentuknya kelompok-kelompok studi di tempat lain, seperti di Bandung,
Yogyakarta, Jakarta, Semarang, dan Solo. Selain ISC, kelompok studi yang paling aktif
adalah Algemene Studiclub di Bandung.

Di bidang penerbitan, ISC menerbitkan sebuah majalah yang bernama Sulah


Indonesia. Majalah ini kemudian disatukan dengan majalah Algemene Sudieclab di Bandung
dengan nama Sulah Indonesia Muda. Pada saat ISC mempropagandakan persatuan Indonesia,
kehidupan rakyat Indonesia sedang sangat tertekan. Politik penghematan yang diterapkan
oleh pemerintah Hindia Belanda sejak tahun 1920-an ternyata mempunyai pengaruh buruk
terhadap kehidupan masyarakat. Dalam situasi seperti ini Indonesische Studieclub juga
melakukan kegiatan sosial-ekonomi yang bertujuan untuk meringankan penderitaan rakyat.

Asrama-asrama pelajar didirikan, Vrouwenhuis (Wisma Wanita) juga didirikan guna


menampung wanita-wanita tuna susila untuk diberi ketrampilan sebagai bekal mencari nafkah
yang halal. Sekolah pertenunan diselenggarakan. Selain itu, pada bulan Maret 1926 Bank
Bumiputra didirikan. Karena keberhasilan bank ini, pada kongres PPPKl (federasi organisasi
pergerakan tempat ISC juga ikut bergabung) bulan September 1928, Bank Bumiputra
kemudian diubah menjadi Bank Nasional Indonesia. ISC merintis pula berdirinya koperasi,
baik koperasi konsumsi maupun koperasi produksi. Atas usaha organisasi ini, koperasi-
koperasi kecil yang ada dihimpun dalam Persatuan Koperasi Indonesia (PCI).

9
Pada tanggal 16 Oktober 1930, ISC mengadakan reorganisasi, dan mengubah
namanya menjadi Persatuan Bangsa Indonesia (PBI). Latar belakang reorganisasi ini adalah
tekanan yang makin kuat dari pihak pemerintah Hindia Belanda terhadap organisasi-
organisasi non-kooperatif dan kesadaran akan kebangsaan semakin kuat. Anggaran dasar
organisasi diubah, sehingga anggota organisasi tidak lagi terbatas pada kaum terpelajar, tetapi
juga kepada masyarakat umum. Dalam anggaran dasar dicanturnkan pula bahwa PBI
bertujuan mencapai kebahagiaan yang sempurna bagi tanah air dan rakyat Indonesia atas
dasar nasionalisme Indonesia. PBI berpendapat rakyat Indonesia telah sadar akan
kedudukanya dan mempunyai hasrat kuat memperbaiki kedudukanya. Program kerja PBI
sendiri menekankan pemberian perlindungan, penerangan, dan pimpinan. Pada tahun 1935,
bersama-sama dengan Budi Utomo yang lebih dahulu membubarkan diri PBI menjelma
menjadi Partai Indonesia Raya (parindra) dengan dr. Sutomo sebagai ketuanya. Algemene
Studie Club di Bandung yang didirikan oleh Ir. Soekarno pada tahun 1925 telah mendorong
para pemimpin lainnya untuk mendirikan partai politik yakni Partai Nasional Indonesia
( PNI).

2.4. Partai Nasional Indonesia


1) Latar Belakang dan Perkembangan Awal
Ada dua hal yang memberi inspirasi pembentukan Partai Nasional Indonesia, yaitu
pertama, merembesnya gagasan-gagasan Perhimpunan Indonesia dalam pikiran para
mahasiswa di kota-kota besar Indonesia seperti Surabaya, Jakarta, dan terutama Bandung.
Lahirnya Partai Nasional Indonesia pada tahun 1927 pada hakekatnya diilhami oleh
Perhimpunan Indonesia. Kedua, situasi dan kondisi di Indonesia sendiri diantaranya adalah
kegagalan pemberontakan-pemberontakan komunis di beberapa tempat di Indonesia pada
tahun 1926/1927 yang mengakibatkan dilarangnya organisasi ini berdiri di Hindia Belanda
(Utomo, 1995, hlm. 97).
Merembesnya gagasan PI dalam tubuh mahasiswa di Indonesia antara lain terlihat
dengan berdirinya kelompok-kelompok studi terutama di Surabaya dan Bandung yang
kemudian disusul dengan kota-kota lain di seluruh Jawa dan luar Jawa. Kelompok-kelompok
studi ini merupakan langkah pertama ke arah aksi politik yang baru dan merupakan embrio
kelahiran Partai Nasional Indonesia.
Yang pertama berdiri adalah Kelompok Studi Indonesia di Surabaya pada tanggal 11
Juli 1924. Kelompok-kelompok studi di tempat lain mengikuti model Kelompok Studi
Surabaya. Diantara kelompok studi itu yang paling penting adalah Kelompok Studi Umum

10
(Algemene Studie Club) yang didirikan di Bandung pada tanggal 29 November 1925 atas
inisiatif bersama bekas anggota PI, tokoh-tokoh nasional terkenal di Bandung dan mahasiswa
Sekolah Tinggi Tekhnik Bandung.
Berdirinya kelompok-kelompok studi ini juga didorong oleh kegagalan pemberontakan
PKI yang berakibat dilarangnya organisasi itu berdiri di Hindia Belanda. Kini para peminpin
Kelompok Studi Umum telah menggantikan cita-cita Perhimpunan Indonesia di Belanda
mereka mulai merencanakan organisasi baru itu menurut garis-garis yang lebih mudah
diterima. Kedua orang organisator terpenting dalam organisasi tersebut ialah Sartono, seorang
ahli hukum lulusan Leiden dan Sukano yang baru saja tamat sebagai seorang insinyur pada
Sekolah Tinggi Teknik di Bandung.
Partai Nasional Indonesia terkenal dengan propaganda-propagandanya baik lewat
tertulis maupun lisan (pidato). Pada masa permulaannya, tema utama propaganda Partai
Nasional Indonesia adalah kelanjutan dari tema-tema yang telah diajukan oleh Perhimpunan
Indonesia selama tiga tahun sebelumnya, yaitu: watak hubungan yang bersifat perjajahan dan
konflik yang tidak dapat dihindari antara penjajah dan yang dijajah; perlunya front sawo
matang psikologis kepada Belanda dan melalui usaha sendiri mencapai kemerdekaan;
perlunya membentuk suatu ‘negeri dalam negeri’.
Cita-cita yang selalu ditekankan dalam rapat-rapat umum Partai Nasional Indonesia itu
ternyata dalam waktu yang singkat dapat diwujudkan. Dalam rapatnya tanggal 17-18
Desember 1927 di Bandung Partai Nasional Indonesia dan beberapa organisasi lain, yakni:
Partai Serikat Islam, Boedi Oetomo, Pasudan, Soematranen, Bond, Kaum Betawi,
Indonesiche Studieclub dan Algeemene Studieclub sepakat mendirikan suatu federasi yaitu
Permufakatan Perhimpunan Politik Kebangsaan Indonesia (PPPKI).
Dalam rapat Partai Nasional Indonesia di Bandung tanggal 24-26 Maret disusunlah
program asas dan daftar usaha. Program asas dan daftar usaha, suatu anggaran dasar Partai
Nasional Indonesia kemudian disahkan pada kongres Partai Nasional Indonesia di Surabaya
pada tanggal 27-30 Mei 1928. Dalam program asas itu dikemukakan bahwa perubahan-
perubahan struktur masyarakat Belanda pada abad XVI yang membawa pula kebutuhan-
kebutuhan ekonomi baru, menyebabkan timbulnya imperialisme Belanda.
Tujuan dari Partai Nasional Indonesia tidak lain adalah bekerja untuk kemerdekaan
Indonesia. Pokok keyakinan PNI sebagai tertulis dalam buku keterangan asasnya adalah:
“PNI berkeyakinan bahwa syarat yang penting untuk pembaikan kembali semua susunan
pergaulan hidup Indonesia melalui kemerdekaan nasional. Tujuan itu akan dicapai dengan
asas percaya pada diri sendiri, dan tidak bersedia bekerjasama dengan pemerintah kolonial

11
atau nonkooperasi.
Dari asas dan tujuan tampak jelas orientasi politik perjuangannya yang bersifat
antikolonialisme dan non kooperasi. Sehubungan dengan hal itu membangkitkan kesadaran
nasional merupakan tugas utama Partai Nasional Indonesia, antara lain dengan menginsafkan
rakyat akan besarnya penderitaan dalam menghadapi eksploitasi ekonomi, sosial, dan politik
yang dijalankan oleh penguasa kolonial.
Dalam usaha mempersatukan seluruh kekuatan Indonesia dan persatuan nasional,
Partai Nasional Indonesia tidak mengabaikan potensi politik organisasi-organisasi pemuda
yang ada. Pada permulaan tahun 1927 Kelompok Studi Umum mendirikan suatu organisasi
pemuda di Bandung yang diberi nama Jong Indonesia (Indonesia Muda) yang pada bulan
Desember berubah namanya menjadi Pemuda Indonesia. Organisasi itu kemudian
membentuk organisasi wanita, Putri Indonesia.
Sampai dengan bulan Mei 1929 jumlah anggota Partai Nasional Indonesia mengalami
kenaikan yang cukup berarti, yakni menjadi 3.860 orang. Kenaikan itu sebagai akibat
propaganda yang dilakukan dengan amat aktifnya selama tahun 1928 dan tahun berikutnya.
Demikian pula peningkatan popularitas Partai Nasional Indonesia di kalangan masyarakat,
terutama di perkotaan melalui rapar-rapar umum yang diselenggarakan menunjukkan
keunggulan Partai Nasional Indonesia sebagai partai massa (Utomo, 1995, hlm. 104).
2) Akselerasi Kegiatan Partai Nasional Indonesia dan Reaksi Belanda
Gubernur Jenderal De Graeff sebelum diadakannya kongres PNI yang pertama pada
bulan Mei 1928 memberikan penilaiannya tentang pergerakan nasional di depan volksraad. Ia
mengatakan bahwa situasi politik telah berubah karena bahaya kaum komunis telah
berkurang. Selanjutnya ia memetakan dua kelompok pergerakan nasional di Hindia Belanda,
yaitu golongan nasionalis evolusioner dan kaum nasionalis revolusioner. Dari dua kelompok
itu yang dianggap membahayakan adalah kelompok kedua, sedangkan kelompok pertama
jusru dibina pemerintah Belanda.
Pidato itu sangat dipengaruhi oleh laporan Charles van der Plass, dari Kantor Penasehat
masalah-masalah bumi putera. Salah satu rekomendasi Charles van der Plass adalah
hendaknya pemerintah memisahkan kaum nasionalis moderat seperti Boedi Oetomo dan
Kelompok Studi Indonesianya Sutomo dari kelompok nasionalis ekstrem. Dan diantaranya
yang perlu dicurigai adalah PNI.
Strategi politik De Graeff ini mendapat reaksi yang keras dari para nasionalis, tidak
hanya mereka yang revolusioner seperti PNI dan PI tetapi juga dari kalangan yang dinilai
evolusioner. Politik pemisahan antar golongan nasionalis itu mereka pandang hanyalah suatu

12
taktik adu domba (divide et impera) dari pemerintah kolonial untuk memecah belah kaum
nasionalis.
Pemerintah Batavia semakin lebih memberikan kekuasaan untuk melakukan
pengawasan dan tindakan secara tegas terhadap aktivis PNI yang “membahayakan keamanan
dan ketertiban”. Frekuensi intervensi polisi semakin tinggi dengan cara menghentikan pidato
oleh karena merasa terkena provokasi melalui ucapan-ucapan dengan bahasa politik yang
menghasut hadirin.
Sementara pemerintah kolonial mulai mengawasi gerak-gerik aktivis PNI, organisasi
itu pada tahun 1929 menghasilkan pertumbuhan yang sangat mencolok, yaitu berupa
kenaikan jumlah anggota. Dalam gerakan mengembangkan organisasi serta memobilisasi
rakyat pemimpin PNI telah menghapus persyaratan-persyaratan untuk menjadi anggota.
Pemerintah menjadi sangat khawatir terhadap bahaya yang mungkin muncul dari
organisasi itu. Untuk itu dilakukanlah berbagai upaya untuk dapat melakukan tindakan tegas
terhadap tokoh-tokohnya. Desas-desus yang berkembang dalam masyarakat bahwa PNI akan
mengadakan pemberontakan pada tahun 1930 dijadikan alasan untuk melakukan
pengeledahan dan penangkapan-penangkapan terhadap para aktivis PNI. Pada tanggal 29
Desember 1929 Ir. Soekarno dan kawan-kawannya ditangkap oleh Polisi Yogyakarta dan
selanjutnya dibawa ke Bandung.
Setelah melalui pemeriksaan selama sembilan bulan, empat orang tokoh PNI, yaitu: Ir.
Soekarno (ketua PNI), R. Gatot Mangkuprodjo (sekretaris II PB PNI), Maskoen Sumadiredja
(sekretaris II PNI cabang Bandung), dan Supriadinata (sekretaris II PNI cabang Bandung)
diajukan di depan pengadilan di Bandung pada tanggal 18 Agustus sampai dengan 29
September 1930. Yang menarik dari persidangan terhadap tokoh-tokoh PNI tersebut adalah
pembelaan Soekarno yang diberi judul Indonesia Menggugat. Didalam pembelaannya itu ia
mengupas dengan tegas dan mengecam dan tajam sifat dan watak kolonial Belanda yang
eksploatatif.
Oleh karena pasal-pasal karet yang terdapat dalam aturan Belanda, Pengadilan Negeri
Bandung menghukum keempat pemimpin PNI itu. Hukuman ini didasarkan pada pasal 153
bis dan pasal 169 dari KUH Pidana. Hukuman terhadap para pemimpin PNI yang didasarkan
pada pasal-pasal itu juga mengandung pengertian bahwa barang siapa melakukan tindakan
seperti para pemimpin itu juga dapat dituduh melakukan kejahatan dan dijatuhi hukuman.
Berdasarkan pertimbangan keberlangsungan perjuangan nasional, dalam kongres luar biasa
ke II di Jakarta, diambil keputusan untuk membubarkan PNI pada tanggal 25 April 1931.
Pembubaran itu menimbulkan pro dan kontra. Pada pokoknya mereka menginginkan

13
derap perjuangan untuk mencapai kemerdekaan Indonesia harus tetap dilanjutkan. Mereka
yang mendukung pembubaran itu kemudian mendirikan partai baru dengan nama Partai
Indonesia (Partindo) di bawah pimpinan Mr. Sartono. Sementara itu yang tidak setuju dengan
pembubaran mendirikan partai baru lain dengan nama Pendidikan Nasional Indonesia di
bawah pimpinan Moh. Hatta dan Sutan Sjahrir (Utomo, 1995, hlm. 111).

2.5. Partai Komunis Indonesia (PKI)

1). Latar Belakang

Benih-benih paham Marxis datang dari luar negeri dan mulai ditanamkan di bumi
Indonesia pada masa sebelum Perang Dunia I, yaitu dengan datangnya seorang pemimpin
buruh negeri Belanda bernama H.J.F.M Sneevliet. Ia adalah anggota Sociaal Democratische
Arbeiderspartij (SDAP) atau Partai Buruh Sosial Demokrat.

Di Indonesia ia mula-mula bekerja sebagai anggota staf redaksi pada surat kabar
Soerabajaasch Handelsblad, tidak lama kemudian pada tahun 1913 ia pindah ke Semarang
dan menjadi sekretaris pada Semarangse Handelsvereniging. Atas prakarsanya pada tanggal
9 Mei 1914 bersama-sama dengan orang-orang sosialis lainnya seperti J.A. Brandsteder,
H.W. Dekker, dan Bergsma berhasil didirikan suatu organisasi yang diberi nama Indische
Sociaal-Democratische Vereniging (ISDV). Pada tahun 1915, ISDV menerbitkan majalah
Het Vrije Woord dengan redaksi Sneevlit, Bergsma, dan Adolf Baars. Sneevlit dan kawan-
kawan merasa bahwa ISDV tidak dapat berkembang karena tidak berakar di dalam
masyarakat Indonesia. Oleh karena itu, mereka menganggap adalah lebih efektif untuk
bersekutu dengan gerakan yang lebih besar yang dapat bertindak sebagai jembatan kepada
massa Indonesia. Mula-mula bersekutu dengan Insulinde yang mempunyai anggota lebih
besar dari ISDV. Akan tetapi, karena tidak memenuhi sasaran tujuan ISDV, sesudah satu
tahun, kerja sama itu bubar. Sasaran kemudian dialihkan kepada Sarekat Islam yang pada
masa itu (1916) mempunyai ratusan ribu anggota dan merupakan satu gerakan raksasa
didalam pergerkan nasional Indonesia, dengan menggunakan taktik infiltrasi yang dikenal
dengan nama “blok di dalam”, ISDV berhasil menyusup ke dalam SI.

Kemudian Sneevlit dan kawan-kawan berhasil mengambil alih beberapa pemimpin


muda SI menjadi pemimpin ISDV. Yang terpenting antara pemimpin muda itu adalah
Semaun dan Darsono yang pada tahun 1916 menjadi anggota SI cabang Surabaya.

Sementara itu, di dalam ISDV sendiri timbul perpecahan. Oleh karena sikap

14
pemimpinnya yang terlalu radikal, golongan yang moderat di dalam ISDV mengundurkan
diri. Pada bulan September 1917 mereka membentuk SDAP cabang Hindia Belanda yang
kemudian menjadi Indische Sociaal-Democratische Partij (ISDP).

Pada waktu pecah revolusi Bolsyewik di Rusia, tubuh ISDV telah bersih dari unsur-
unsur ynag moderat dan dapat dikatakan sikapnya telah bersifat komunistis. Berita tentang
kemenangan kaum Bolsyewik disambut dengan penuh antusiasme. Baars dengan berapi-api
menyerukan agar revolusi Rusia diikuti sekarang juga di Hindia Belanda. Darsono melalui
surat kabar ISDV menyerukan dikobarkannya pemberontakan dan dikibarkannya bendera
merah. Sneevlit diusir, sedangkan Darsono, Abdul Muis, dan beberapa pemimpin Indonesia
lainnya ditangkap. Akhir 1918 merupakan akhir masa pertama pertumbuhan ISDV.

Ketika SDAP di negeri Belanda pada tahun 1918 mempermaklumkan dirinya menjadi
Partai Komunis Belanda (CPN), beberapa anggota bangsa Eropa di dalam ISDV
mengusulkan untuk mengikuti jejak itu. Pada kongres ISDV ke-7 di bulan Mei 1920
dibicarakan usul untuk menggantikan ISDV menjadi Perserikatan Kommunist di Hindia.
Akhirnya pada tanggal 23 Mei 1920, ISDV merubah namanya menjadi Partai Kommunist
Hindia yang pada bulan Desember tahun yang sama menjadi Partai Komunis Indonesia
(PKI).

2). Perkembangan Partai Komunis Indonesia (PKI)

Pada kongres istimewa tanggal 24 Desember 1920 PKI mengambil keputusan untuk
berafiliasi dengan organisasi Komintern. Afiliasi dengan Komintern menyebabkan PKI harus
menyesuaikan sikapnya dengan garis politik Asia daripada Komintern. Salah satu pandangan
yang harus diubahnya ialah sikap terhadap partai-partai nonkomunis menurut garis
Komintern yang diputuskan dalam kongres tahun 1920 yaitu taktik yang disebut “front
persatuan dari atas”.

Sementara itu dalam tubuh SI terjadi perpecahan yang disebabkan perbedaan tujuan dan
taktik perjuangan antara golongan “kiri” dan “kanan”. Pemimpin golongan kiri, antara lain,
Semaun, Alimin, dan Darsono. Dalam hal ini peran H.O.S Tjokroaminoto sangat menentukan
sebagai tenaga pemersatu terhadap kedua aliran yang berbeda itu. Dengan munculnya
pendirian Komintern yang menentang cita-cita pan-Islamisme, jurang pertentangan antara
golongan kiri dan kanan makin melebar.

Dalam kongres SI tanggal 6-10 Oktober 1921 pertentangan-pertentangan itu makin

15
memuncak juga. Agus Salim dan Abdul Muis mendesak agar ditetapkan peraturan disiplin
partai yang melarang keanggotaan rangkap. Terhadap usul ini Tan Malaka meminta agar
terhadap disiplin partai itu diadakan pengecualian terhadap PKI. Akan tetapi, disiplin partai
diterima oleh kongres dengan mayoritas suara.

Pada tanggal 25 Oktober 1922 PKI menggerakan cabang-cabang yang prokomunis


untuk mengimbangi pengaruh SI-Tjokroaminoto. Mereka mendapat julukan “SI-Merah”.
Pada permulaan bulan November 1922 PKI menghimpun mereka ke dalam suatu organisasi
yang dinamakan Perserikatan Islam (PSI). Nama ini kemudian diganti menjadi Sarekat
Rakyat.

Pada kongres SI bulan Februari 1923 di Madiun, Tjokroaminoto mempertajam


ketentuan disiplin partai dan meningkatkan pendidikan kader SI dalam usaha memperkuat
organisasi partai. Sesudah kongres ini, berakhirah pengaruh PKI di dalam SI yang asli.

Organisasi PKI makin kuat ketikaa pada bulan Februari 1923 Darsono kembali dari
Moskow atas perintah Komintern untuk mendampingi Semaun. Ditambah dengan tokoh-
tokoh Alimin yang memimpin SI-Merah dan Musso, maka peran PKI dalam percaturan
politik di Hindia Belanda semakin luas.

Sesudah kongres bulan Juni 1924, PKI dengan giat berusaha membangun Sarekat
Rakyat. PKI juga mulai membentuk organisasi pemuda dengan nama Barisan Muda, dan
mulai memperhitungkan partisipasi kaum perempuan di dalam organisasi.

Setelah berhasil menempatkan dirinya sebagai partai terbesar, PKI merasa dirinya kuat
untuk melancarkan suatu petualangan yang akan membawa malapetaka bagi ribuat patriot
Indonesia. Petualangan itu adalah apa yang dikenal dengan nama “Pemberontakan 1926”.

Akhirnya, pemberontakan meletus pada tanggal 13 November 1926 di Jakarta, disusul


dengan tindakan-tindakan kekerasan di Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Dalam
waktu satu hari pemberontakan di Jakarta telah ditumpas dan dalam waktu satu minggu di
seluruh Jawa. Di Sumatra Barat baru pada tanggal 1 Januari 1927 pemberontakan meletus,
tetapi dalam waktu tiga hari sudah dapat ditindas oleh pemerintah Belanda. Dengan
pemberontakan yang sejak semula sudah diperkirakan akan gagal itu, pemimpin-pemimpin
PKI telah mengorbankan ribuan pengikutnya serta ribuan patriot yang bukan pengikut
mereka tetapi dapat dihasut untuk ikut berontak. Puluhan ribu ditangkap, dipenjarakan, dan
ada yang dibuang ke Tanah Merah, Digul Atas, Irian Jaya.

16
17

Anda mungkin juga menyukai