BERIKUT (DI BAWAH) INI, salinan lengkap: Cetakan Pertama buku kecil berjudul
"SOEHARTO, SOEHARTOISME dan SUMBER MALAPETAKA",
Penerbit: Pustaka GuGaT, Jakarta, 8 Juni 1998.
DAFTAR ISI:
Pengantar (dari Penerbit);
Bagian (1) - Nawaksara dan Sejumlah Pertanyaan, Oleh: Kikin Asikin;
Bagian (2) - Membangun Dinasti Enam Dasawarsa, Oleh: Ki Ranggawarsito VII.
BAGIAN 1
Menteri Pemuda dan Olahraga Hayono Isman, sebelum Pemilu yang lalu,
menghadap Presiden Soeharto minta restu bagi penyelenggaraan seminar
tentang Nawaksara, peristiwa yang menghantarkan kejatuhan Presiden
Soekarno dan pindahnya kekuasaan ke tangan Letnan Jenderal Soeharto.
Sebuah peristiwa yang katanya terjadi secara konstitusional.
Menengok kepada sejarah Hitler di Jerman, Mussolini di Italia dan Tojo
di Jepang, apa yang terjadi di Indonesia ternyata mirip. Mereka juga
menempuh cvara yang sama. Coup d’etat dikemas menjadi konstitusional.
Hasilnya: Perang Dunia II.
Budayawan YB Mangunwijaya mengulas peristiwa di Jerman, di Kompas 15 Mei
1997 bahwa bagi suatu kekuasaan fasis, tidak ada hal yang mustahil
dikonstitusionalkan. Bahkan amat konstitusional, konstitusional
sempurna, karena segala-galanya disahkan oleh DPR.
PROLOG
SUPERSEMAR
Demikianlah TAP MPRS XXXIII/1967. Tentu saja ketetapan ini menarik untuk
dipelajari karena beberapa alasan. Pertama, kalau dianggap bersalah,
mengapa Presiden Soekarno dirampas haknya untuk membela diri secara
politis melalui sarana demokrasi yaitu Pemilihan Umum atau pembelaan
secara hukum melalui pengadilan. Hal itu hanya bisa terjadi pada
pemerintahan yang belum mengenal peradaban hukum modern. Kedua, Presiden
Soekarno tidak pernah diangkat oleh MPRS tapi oleh Panitia Persiapan
Kemerdekaan Indonesia, sebagaimana yang tercantum dalam Aturan peralihan
UUD 1945 pada Pasal III. Sehingga, hanya Presiden yang dipilih MPR dapat
diberhentikan oleh MPR, apalagi oleh MPRS. Oleh karena itu menuurut
hukum, tindakan MPRS memberhentikan Presiden Soekarno sebagai presiden,
adalah in konstitusional. Ketiga, pelarangan warganegara melakukan
kegiatan politik tanpa melalui proses hukum, adalah tindakan in
konstitusional, kecuali pada zaman kolonial Belanda dengan adanya hak
exorbitanterechten (kekuasaan hukum luar biasa) pada Gubernur Jenderal
Hindia Belanda, oleh karena itu tindakan MPRS melarang kegiatan politik
bagi Presiden Soekarno adalah in konstitusional. Keempat, perlu
diteliti siapa yang bertanggung jawab atas penagkapan dan penahanan
Presiden Soekarno di Wisma Yaso, Jakarta, dengan perlakuan keji dan
bengis, sampai wafat di tahanan. Kelima, perlu diteliti juga siapa
bertanggung jawab menagkap Ketua MPRS Dr Chaerul Saleh yang ditahan
hingga wafatnya misterius di RTM (Rumah Tahanan Militer).
Sebetulnya yang sangat mencurigakan justru sikap Soeharto yang tidak mau
mengadili Aidit, Lukman dan Nyoto. Ketiga-tiganya adalah tokoh I, II dan
III PKI, sedang G30S disebut sejak dari awalnya disebut sebagai
G30S/PKI. Ketiga-tiganya tertangkap hidup bahkan sempat diperiksa, tapi
diperintahkan oleh soeharto supaya langsung ditembak mati, tidak usah
dihadapkan ke muka Pengadilan Mahmilub yang dibentuk oleh Presiden
Soekarno untuk menmgadili para pelaku G30S. Nampaknya Soeharto takut ada
hal-hal yang bisa terbongkar yang akan merugikannya, jika ketiga tokoh
PKI itu diadili.
PENUTUP (Bagian 1)
www.munindo.brd.de
Pustaka GuGaT: Soeharto, Soehartoisme dan Sumber Malapetaka (2)
BAGIAN 2
Tiap kekuasaan apa pun yang mau dibangun tidak mungkin terjadi mendadak
seperti air hujan dari langit. Jadi diperlukan pra kondisi.
Pada sekitar tahun 1960-an, terjadilah skandal penyelundupan di wilayah
Kodam IV Diponegoro. Pangdamnya itu waktu ialah Kolonel TNI-AD Soeharto,
sekarang (mantan - pen.) Presiden RI. Operasi penyelundupan itu dibantu
oleh Kolonel TNI-AD Moenadi, Liem Sioe Liong dan Bob Hasan.
Gara-gara penyelundupan ini nama pangdamnya masuk dalam black-list
PARAN (Panitia Retooling Aparatur Negara). Ketua PARAN tidak lain ialah
Jenderal TNI-AD Abdul Haris Nasution, sedang sekretarisnya ialah Kolonel
TNI-AD Moektio.
Tetapi, karena saran Wakil KSAD Jenderal Gatot Soebroto, Presiden/Pangti
ABRI Soekarno tidak memcat Soeharto. Yang terjadi kemudian ialah
mengirim Soeharto ke SSKAD (Sekolah Staf Komando Angkatan Darat).
Direktur SSKAD waktu itu ialah Brigadir Jenderal TNI-AD Soewarto. Di
SSKAD inilah Soeharto yang kemudian menjadi akrab dengan Soewarto,
rupanya mulai dibina oleh unsur-unsur luar yang Anti Soekarno untuk
menjadi calon pemimpin alternatif pasca Soekarno nanti.
Konon, Soeharto diusulkan oleh rekan perwira tinggi dekatnya (A.Tahir)
untuk dipilih menjadi Siswa Teladan Seskoad. Tetapi usulan ini ditolak
oleh Brigjen MT Haryono yang belakangan menjadi korban atau dikorbankan
dalam Peristiwa GG30S pada 1965.
SSKAD kemudian menjadi Seskoad. Tidak seperti Seskoad sekarang yang
terkesan santai, tetapi secara diam-diam namun pasti dijadikan dapur
pemikir atau think tank-nya AD oleh kelompok jenderal dan perwira
menengah tertentu. Semuanya itu harus diakui sebagai sukses kerja
Soewarto dengan kelompoknya. Seskoad-lah yang mengusulkan dibentuknya
Satuan Cadangan Strategis AD yang bernama CADUAD (Cadangan Umum Angkatan
Darat) dan kemudian menjadi KOSTRAD (Komando Strategi Angkatan Darat)
setelah Trikora.
Yang penting, KOSTRAD ditingkatkan menjadi Komando Utama sehingga
menjadi di bawah komando langsung PANGAD. Kemudian ditingkatkan lagi;
fungsi Pangkostrad menjadi alternatif pertama jikalau PANGAD berhalangan.
Peningkatan fungsi ini dirumuskan dalam standing order yang diusulkan
oleh Seskoad. Strategi ini dipersiapkan di bidang militer dalam konsepsi pasca Soekarno.
Berdasarkan pengalaman Mayjen Soeharto sebagai Panglima Komando Mandala
dalam melakukan koordinasi komando-komando antar angkatan, diusulkan lah
kepada KOSTRANAS ABRI agar KOSTRAD dirtingkatkan lagi menjadi KOSTRANAS
(Komando Strategi Nasional) dengan di bawah komando langsung Pangti
ABRI. Usulan ini ditolak oleh KASAD (Jenderal Yani) dan KASAB (Jenderal
Nasution).
Pada tahun 1964, Mayjen Soeharto diangkat menjadi Wakil Panglima Komando
Siaga (KOLA) dan kemudian menjadi Komando Mandala Siaga (Kolaga) dengan
Panglimanya Laksamana Omar Dani (Menteri Panglima Angkatan Udara).
Selama konfontrasi dengan Malaysia berlangsung, tercatat sejumlah
kegiatan Mayjen Soeharto di bidang penyelundupan kopra dari Sulawesi
Tengah dan sapi dari Bali untuk diekspor ke Hongkong, dan hilangnya
secara misterius sebuah pesawat pengangkut Hercules AURI lengkap dengan
penumpangnya yakni angota-anggota Pasukan Gerak Tjepat (PGT) AURI
beserta dengan persenjataannya.
Patut diduga keras bahwa peristiwa tragis ini terjadi akibat kebocoran
rencana operasi militer, mengingat Radio Malaysia dalam waktu singkat
telah menyiarkan nama-nama lengkap pasukan PGT yang tertangkap basah
begitu mereka diterjunkan. Fakta lain mencatat bahwa diketahui waktu itu
telah dilakukan hubungan gelap antara Soeharto dan kelompoknya dengan
pimpinan politik Malaysia.
Dan stetlah ditegur oleh Pimpinan ABRI, Mayjen Soeharto mengajukan
permohonan pengunduran diri. Permohonan mana pada prinsipnya disetujui
oleh Pimpinan ABRI, namun sebelum ada proses pelaksanaannya,
diletuskannyalah Peristiwa G30S.
YANG MENARIK,
MENGAPA DIPILIH FIGUR SOEHARTO?
Peter Dale Scott memberi fakta adanya faksi-faksi dalam AD. Tetapi
pilihan jatuh kepada Soeharto oleh karena Soeharto orang Jawa. Sebab
untuk menguasai Indonesia diperlukan figur Jawa (suku mayoritas).
Soeharto juga sudah dipra-kondisi untuk menjadi orang ke dua AD, yang
sewaktu waktu bisa menjadi orang pertama AD, dalam asumsi siapa
menguasai AD berarti menguasai Indonesia. Faktor ke tiga, Soeharto
anti-komunis dan dinilai berani melawan Soekarno.
TAHAP 2:
PENGGUSURAN SOEKARNO DAN CIVIL SOCIETY
TAHAP 3:
PERSIAPAN KUDETA KONSTITUSIONAL
TAHAP 4:
PEMANTAPAN ORDE SOEHARTO
TAHAP 5:
PELESTARIAN DINASTI SOEHARTO
[Selesai].
Penerbit: Pustaka GuGaT, Jakarta 8 Juni 1998.
--Trima kaish Bung Supardi--
--eu.
www.munindo.brd.de
Received on Sat Jul 26 02:13:08 MES 1997
Kalau pada awal masa baktinya yang ke enam (1993-1998) Presiden Soeharto merasa perlu
untuk terus-terusan menggebuki ABRI, maka ketika meng-akhiri masa bakti yang ke enam itu,
tepatnya sepanjang paruh pertama tahun 1997, Presiden Soeharto nampak membalik langkah-
langkahnya terhadap ABRI. Bahkan sampai ada kesan bahwa Soeharto malah berusaha
memanjakan ABRI. Kelihatannya, langkah-langkah ini dirasakan perlu oleh Presiden Soeharto
supaya bisa memperoleh kepastian dan jaminan bahwa ABRI tidak akan ber-buat macam-
macam ketika Soeharto dicalonkan kembali untuk masa jabatan berikutnya pada Sidang Umum
MPR Maret 1998.
Selain memerinci berbagai tindakan Soeharto terhadap ABRI, tulisan ini juga akan
menjabarkan alasan kenapa Presiden Soeharto harus menenangkan ABRI.
Termasuk langkah-langkah apa saja yang selama ini sudah dilakukannya dalam rangka
penenangan itu. Satu hal yang pasti, sebagai mantan perwira ABRI, Soeharto benar-benar sadar,
ancaman terhadap kedudukannya sebagai mandataris MPR hanya akan bisa datang dari pihak
angkatan bersenjata. Oleh karena itu Soeharto akan berbuat apa saja supaya ABRI tidak
menjatuhkannya, supaya ia tidak senasib dengan pendahulunya, supaya karma tidak
menimpanya.
Bagi Presiden Soeharto, masa-masa berlangsungnya Sidang Umum MPR adalah periode yang
sangat menegangkan. Sudah dalam dua kali Sidang Umum MPR sang Presiden menyaksikan
bagaimana ABRI sibuk merongrongi kekuasa-annya. Pengalaman buruk pertama terjadi pada
1988 ketika secara spektakuler, Brigjen Ibrahim Saleh dari Fraksi ABRI menginterupsi sidang
yang tengah sibuk mencalonkan Sudharmono sebagai Wakil Presiden. Interupsi itu tidak di-
terima, berarti ABRI harus menelan kekalahan. Sudharmono, saingan berat Benny Moerdani
yang beberapa hari sebelumnya dicopot dari jabatan Pangab, toh akhirnya tampil sebagai Wakil
Presiden.
Pengalaman buruk ke dua terjadi pada 1993. Secara tak diduga-duga, Kassospol waktu itu,
Letjen Harsudiono Hartas, mengadakan jumpa pers untuk mengumumkan calon yang dijagokan
ABRI pada jabatan Wakil Presiden, itu lah Pangab Jenderal Try Sutrisno. Jelas Soeharto marah
besar. Try Sutrisno memang berhasil sampai pada kursi Wakil Presiden, tetapi ia tidak bisa
menepati janjinya kepada Harsudiono Hartas.
Konon, ketika Hartas sudah resah dalam kedudukannya sebagai Kassospol (ia termasuk
Kassospol yang lama menduduki jabatan itu) ia pernah menerima janji dari Try Sutrisno bahwa
mereka senasib. Kalau Try naik, maka Hartas pun akan sama-sama ke atas. Tapi, akibat
nyalinya yang kelewat besar, mantan Kassospol ini akhirnya harus puas hanya dengan sebuah
kursi di Dewan Pertimbangan Agung.
Padahal Hartas sebelumnya sudah begitu tergiur dengan jabatan Menteri Dalam Negeri.
Presiden Soeharto jelas tidak menyia-nyiakan sedetik pun untuk melancarkan pembalasan.
Yang langsung nampak adalah makin sedikitnya jumlah perwira militer yang masih aktif (jadi
bukan yang sudah purnawirawan) dalam kabinet: tinggal dua orang menteri, yaitu Menteri
Penertiban Aparatur Negara serta Menteri Pertambangan dan Energi. Sedikitnya anggota ABRI
yang masih aktif dalam kabinet sekarang membuktikan bahwa ketika berlangsung
pembentukannya, Presiden Soeharto sama sekali tidak berkonsultasi dengan sang Wakil
Presiden, mantan Pangab Try Sutrisno. Yang jelas amat berpengaruh pada formasi kabinet
waktu itu adalah Menristek Habibie, karena banyak tokoh yang dekat dengannya, para pentolan
ICMI, tampil dalam jabatan menteri. Ingat saja Billy Joedono, Haryanto Dhanutirto, Wardiman
Djojonegoro dan Rahadi Ramelan, Wakil Ketua Bappenas.
Setelah menang dalam formasi kabinet, ternyata aksi balas dendam Cendana terhadap
Cilangkap (Markas Besar ABRI) masih juga berlanjut. Kedudukan ketua umum Golkar yang
semula berada di tangan Wahono (seorang militer) kemudian bukan saja diserahkan kepada
seorang yang masih punya bau-bau militer (seperti pendahulu Wahono yaitu Sudharmono),
tetapi sama sekali dipangkukan kepada seorang sipil asli, itu lah Harmoko. Dan ABRI harus
puas hanya dengan jabatan sekjen. Bisa dibayangkan kalau ABRI berontak, dan, seperti yang
dilakukan Ibrahim Saleh, pemberontakan itu dipusatkan dalam DPR: Sembiring Meliala
berteriak-teriak bahwa ABRI tidak rela kalau jabatan Ketua Umum Golkar jatuh ke tangan sipil.
Pembangkangannya ini harus dibayar mahal oleh Sembiring: ia direcall dari DPR. Sampai di
sini Presiden Soeharto sadar bahwa ABRI dalam DPR berpotensi ancaman dan bahaya, apalagi
dalam menghadapi Sidang Umum MPR 1998 mendatang. Bukan kah ABRI bisa berbuat apa
saja untuk mentorpedo pencalonannya atau melancarkan tindakan kurang ajar lain? Oleh karena
itu Presiden Soeharto mengurangi jatah kursi ABRI dalam DPR, dari 100 menjadi 75.
ABRI jelas tidak tinggal diam. Tapi taktik mereka berubah, karena nampaknya tidak punya
nyali untuk langsung berkonfrontasi dengan Cendana. Berbeda dengan sebelumnya, serbuan
mereka tidak lagi langsung dilancarkan terhadap Cendana.
Bukan hanya itu, markas besar pemberontakan mereka juga tidak lagi di DPR.
Sasaran Cilangkap sekarang adalah anak emas Sang Presiden, itu lah Habibie dengan ICMI-
nya. Karena (lagi-lagi!) tidak berani langsung menggebuk Habibie, maka Cilangkap
menggebuki orang-orang ICMI yang duduk dalam kabinet. Pada akhir 1995 keluar lah segala
macam tuduhan terhadap Haryanto Dhanutirto, sang Menteri Perhubungan, seorang tokoh ICMI
yang jelas dekat dengan Habibie. Tuduhan itu keluar dari Irjenbang, mantan Pangdam Jaya
Kentot Harseno. Secara formal memang Kentot tidak pernah menyerang Van Dhanoe (begitu
julukan Haryanto Dhanutirto) karena menurutnya laporan tentang korupsi sang Menteri
dibocorkan. Tapi Menteri ICMI ini akhirnya harus membeberkan kekayaannya. Dalam tradisi
politik Orde Baru yang tidak pernah mempersoalkan kekayaan pribadi, sementara penumpukan
kekayaan itu dibiarkan saja, bahkan ditolerir, Haryanto Dhanutirto memang jelas seperti
dipaksa telanjang di depan umum. ABRI kali ini tidak sekonfrontatif seperti yang sudah-sudah,
tetapi bocornya dokumen yang mendiskreditkan tokoh ICMI ini memang membuat orang
gampang menarik kesimpulan.
Masalahnya adalah apakah serangan Cilangkap kali ini benarbenar mengenai sasarannya yaitu
Cendana? Ini lah yang patut diragukan. Soalnya Cendana juga baru saja menggeser seorang
tokoh ICMI, Billy Joedono, dari jabatan Menteri Perdagangan. Serangan terhadap Haryanto
Dhanutirto itu akibatnya tidak lah dirasakan sebagai serangan oleh Cendana. Di lain pihak
Cendana juga membiarkan saja kalangan lain yang tidak setuju dengan ICMI, khususnya tokoh-
tokoh Cilangkap, untuk mendirikan berbagai ikatan cendekiawan lain. Di sini yang menjadi
korban adalah ICMI sendiri yang makin lama makin dilihat sebagai monster yang kelak tidak
bisa dikendalikan lagi. Makanya, pada pergantian tahun itu ICMI lah yang menghadapi badai
dari dua arah. Pertama dari Cendana dengan pemecatan Billy Joedono, sesuatu yang belum
pernah terjadi dalam sejarah Orde Baru dan kedua dari Cilangkap dengan korbannya Haryanto
Dhanutirto dan wakil ketua Bappenas Rahadi Ramelan yang diisyu-kan pernah terlibat G30S.
ICMI memang tidak dibubarkan dan Habibie juga tidak perlu turun dari jabatannya, tetapi sejak
saat itu ICMI boleh dibilang telah dibonsai. Akan menjadi sesuatu yang masuk akal kalau
kemudian bisa terbukti bahwa pengaruh ICMI tidak sebesar seperti ketika kabinet sedang
disusun.
Ternyata langkah membonsai ICMI tidak berhenti di sini saja. Amien Rais, Ketua Dewan Pakar
ICMI yang dikenal lantang dalam mengkritik kebijakan pemerintah, terutama yang menyangkut
penanaman modal asing, harus meletakkan jabatan. Ia baru bersedia mundur dari Ketua Dewan
Pakar ICMI kalau kedudukannya sebagai Ketua PP Muhamadiyah tidak diganggu gugat.
Sampai Pemilu 1997, Presiden Soeharto, kabarnya setuju untuk tidak menggangu gugat Amien
Rais (sesudah itu, siapa tahu?). Sesudah Amien Rais yang juga harus meletakkan jabatan adalah
Parni Hardi, Pemimpin Redaksi harian Republika, korannya ICMI. Sebenarnya ada seorang lagi
yang diminta Soeharto supaya mundur, itu lah Adi Sasono dari jabatan Sekretaris Umum ICMI.
Tetapi untuk yang satu ini nampaknya BJ Habibie berhasil melakukan aksi penyelamatan.
Berlanjutnya langkah-langkah penggebukan ICMI ini berarti bahwa Presiden Soeharto akhirnya
memutuskan untuk berpihak saja kepada ABRI. Kalau dulu ICMI merupakan sasaran
langkahlangkah ABRI, (tentu saja sebagai tujuan antara, karena tujuan akhirnya adalah
Soeharto sendiri) maka kini dengan memihak ABRI, Soeharto lah yang berbalik menjadi sibuk
menggebuki ICMI. Suharto jelas sadar, ia tidak bisa terusterusan bermusuhan dengan tentara
dan terus menggebuki mereka, apalagi kalau ingin selamat melampaui Sidang Umum MPR
1998. Tak pelak lagi, di sini jelas terlihat betapa Soeharto berupaya mengambil hati ABRI,
memanjakannya dalam rangka menghadapi periode yang menegangkan itu.
Menjauhi ICMI jelas tidak membawa risiko tinggi, juga tidak membahayakan pencalonannya
kembali. Terutama karena organisasi yang dibentuk dari atas ini tidak (akan pernah) mendapat
dukungan massa. Kalau harus memilih antara ABRI atau ICMI, maka pilihannya jelas menjadi
sangat sederhana, ICMI patut dilupakan sama sekali.
Kassospol Letjen Syarwan Hamid sendiri ketika ditanya wartawan soal kemungkinannya
menjabat Ketua DPR/MPR, seperti dikutip Harian Kompas, mengatakan, "You tanya soal nasib
saya. ABRI itu 'kan diatur. Jadi kalau tanya soal nasib saya, silakan tanya Pangab, atasan saya."
Jelas ini jawaban standard seorang perwira yang bersembunyi di balik hirarki ABRI. Tentu saja
yang harus diperhatikan bukan lah jawaban basa-basi Syarwan Hamid ini. Yang pantas
dijadikan obyek analisis adalah latar belakang kariernya.
Secara hirarkis memang Feisal Tanjung lah yang menentukan atau paling sedikit tahu nasib
anak buahnya. Tetapi, dalam sejarah Orde Baru tidak pernah ada seorang Pangab yang benar-
benar berkuasa sampai ia sungguh-sungguh mandiri menentukan kedudukan anak buahnya,
apalagi anak buah yang sudah setaraf Letjen seperti Syarwan Hamid.(1)
Selain itu, ini juga sangat menentukan, Pangab Jenderal Feisal Tanjung sendiri sudah tiga kali
menerima Perpanjangan Dinas Keprajuritan. Dengan kata lain, Feisal seharusnya sudah pensiun
tiga tahun silam. Makanya, yang harus ditanyakan adalah, mana yang lebih berkuasa: seorang
Jenderal yang sudah harus pensiun tiga tahun silam atau seorang Letjen yang masih akan
pensiun tahun depan. Tentu saja jawabannya sudah bisa ditebak. Itu berarti sebagai Kassospol,
Syarwan Hamid jauh lebih tahu masa depannya sendiri ketimbang atasannya. Sehingga ucapan
Syarwan Hamid kepada wartawan supaya mereka menanyakan nasibnya kepada atasannya
tidak lebih dari basa-basi belaka. Ini baru soal pangkat. Belum lagi soal kepercayaan Presiden
Soeharto.
Tampilnya Syarwan Hamid sebagai Kassospol, pertengahan Februari 1996, sebenarnya pantas
disebut sebagai kejutan. Dari Assospol Kassospol, yaitu asisten Kassospol Mohamad Ma'roef,
dalam waktu singkat (baca: tidak sampai setahun) Syarwan Hamid diangkat menggantikan
atasannya itu. Dan lebih dari itu, dengan pengangkatan ini Syarwan masih diganjar dua kali
kenaikan pangkat dalam setahun. Dari Brigjen menjadi Mayjen, dan dari Mayjen menjadi
Letjen. Orang tentu masih ingat, sebelum menjabat Kassospol, baik ketika menjabat Kapuspen
mau pun Assospol Kassospol, Syarwan lah yang, berasama Kasum Soeyono, meributkan
tampilnya OTB (Organisasi Tanpa Bentuk) dan gerakan Kiri Baru.(2)
Sampai-sampai mingguan Asiaweek (edisi 23 Februari 1996) menyebut Letjen Syarwan Hamid
sebagai "tokoh garis keras" yang mengeluarkan berbagai pernyataan yang sebenarnya ingin
dikeluarkan oleh Presiden Soeharto sendiri.
Sampai di sini menjadi jelas bahwa untuk masa kini Syarwan Hamid lah orang yang paling
dipercaya oleh Presiden Soeharto. Kalau ketika diangkat ia berhasil merebut hati Presiden,
maka sesudah lebih dari setahun menjalankan jabatannya, Syarwan makin dipercaya saja oleh
Presiden. Sebagai Kassospol Syarwan Hamid dengan tepat, artinya tanpa penafsiran sendiri
(karena nampaknya Syarwan Hamid memang tidak cukup intelektual untuk bisa membuat
penafsiran sendiri) (3), menjalankan tugasnya. Ini nampak pada penyelenggaraan Konggres
Medan yang menggusur Megawati Soekarnoputri dan mengangkat Soerjadi sebagai Ketua
Umum DPP PDI. Selain itu, Syarwan Hamid juga berhasil menangani dampak Kerusuhan 27
Juli tahun lalu, sehingga sama sekali tidak mempermalukan pemerintah. PRD berhasil
ditampilkan sebagai kambing hitam yang mendalangi kerusuhan itu, dan dengan leluasa
Syarwan bisa membuktikan peringatannya, PRD lah perwujudan OTB dan gerakan Kiri Baru
itu.
Sebagai orang yang sangat dipercayai, dari berbagai pemberitaan bisa disimpulkan bahwa
Presiden Soeharto pada mingguminggu pertama bulan Juli itu sedang mempertimbangkan tugas
baru untuk Syarwan Hamid. Tugas itu tidak lain adalah mengamankan Sidang Umum MPR
Maret tahun depan. Di sini kata mengamankan paling sedikit menyangkut tiga perkara:
pertama, Sidang Umum itu harus kembali memilih Soeharto sebagai mandataris MPR, kedua,
pemilihan itu harus bisa menghasilkan mufakat bulat, jadi bukan mufakat lonjong karena ada
kalangan yang tidak setuju dan ketiga, selama berlangsungnya Sidang Umum Soeharto juga
tetap harus berkesempatan mengangkat Wakil Presiden pilihannya, tanpa ada pihak lain yang
menentang pilihan itu.
Pertanyaannya sekarang, selayaknya dalam jabatan apa Syarwan Hamid harus ditempatkan
supaya langkah-langkah pengamanan Sidang Umum MPR yang menyangkut tiga perkara tadi
bisa dijalankan sebaik mungkin? Ini jelas bukan pertanyaan gampang. Terutama kalau kita
mengingat bahwa di masa lampau, begitu sampai pada Sidang Umum MPR Presiden Soeharto
selalu menghadapi tantangan dari pihak ABRI sendiri. Sebagai Ketua DPR/MPR Syarwan
Hamid mungkin bisa mencegah tampilnya orangorang seperti Ibrahim Saleh. Tetapi mampu
kah Ketua DPR/MPR itu mencegah tampilnya seorang Kassospol lain yang ingin mencalonkan
tokoh pilihan ABRI sebagai Wakil Presiden?
Walau pun tentara menganut Dwifungsi, tetapi dalam soal ketua DPR/MPR dan jabatan
Kassospol itu, Dwifungsi ternyata tidak bisa memberi jawaban yang menguntungkan kekuasaan
Soeharto. Tegasnya, dalam hirarki militer, mana yang lebih berkuasa: seorang Kassospol atau
seorang Ketua DPR/MPR, tentu dengan catatan bahwa ketua DPR/MPR itu adalah seorang
perwira ABRI.(4). Ini lah masalah pelik pertama yang dihadapi Presiden Soeharto.
Belum lagi masalah tersebut terselesaikan, bahaya lain yang lebih besar lagi sudah sampai di
ambang pintu. Sebagai satusatunya kalangan yang masih bisa secara terbuka menentang
kehendak Presiden Soeharto, ABRI memang tidak perlu memiliki satu pola operasi tertentu.
Pada tahun 1988, ABRI memilih Sidang Umum MPR sebagai medan juangnya, dalam Sidang
Umum itu lah ditampilkan Brigjen Ibrahim Saleh. Tapi pada tahun 1993 kedudukan Kassospol
lah yang dijadikan pangkalannya. Tentu, untuk tahun depan ketika berlangsung Sidang Umum
MPR, kalau memang masih berniat mengajukan calon Wakil Presiden sendiri, dalam permainan
kucing-kucingan tanpa pola tetap ini, maka ABRI pasti memilih tempat lain. Dengan kata lain,
tidak ada jaminan bahwa dengan diangkatnya Syarwan Hamid sebagai ketua DPR/MPR maka
ia akan benar-benar mampu mencegah dan membungkam tentangan dari pihak ABRI.
Tapi masih juga harus dilihat bahwa dengan mengangkat Syarwan Hamid sebagai Ketua
DPR/MPR, maka teringkari lah kesepakatan yang ada dalam DPR bahwa yang diangkat sebagai
Ketua DPR/MPR biasanya adalah ketua fraksi terbesar. Fraksi terbesar itu tak pelak lagi adalah
Golkar, sehingga orang yang seharusnya paling pantas menjabat Ketua DPR/MPR adalah Ketua
Umum DPP Golkar, Harmoko.
Oleh karena itu dengan segera khalayak maklum bahwa ketika pada awal Juni 1997 Harmoko
dicopot dari jabatan Menteri Penerangan yang sudah dipangkunya selama 14 tahun, maka
sebagai Ketua Umum Golkar, ia pasti diprospekkan untuk menjadi Ketua DPR/MPR. Tapi akan
mudah kah langkah Harmoko menuju kursi ketua itu?
Hanya seorang naif yang akan menjawabnya dengan, "Ya!" Apalagi, dengan mengingat, seperti
diuraikan di atas, ABRI pernah dengan sengit menentang pengangkatan Harmoko sebagai
Ketua Umum DPP Golkar.
CATATAN KAKI:
1. Satu-satunya Pangab yang mandiri adalah Edi Sudradjat ketika ia pernah merangkap tiga
jabatan: KSAD, Pangab dan Menhankam. Dalam periode yang relatif singkat itu Edi memang
berhasil memutasi cukup banyak perwira, walaupun masih harus dipertanyakan apakah kerja
Edi itu berdampak memandirikan ABRI dari cengkeraman istana.
2. Tentu saja sebutan-sebutan ini cuma "asbun" (asal bunyi) belaka. Seorang anggota DPR dari
Fraksi PDI, dan tokoh ini pro Megawati, pernah mencegat Syarwan Hamid di kamar kecil.
Menurutnya ia pernah menasehati sang Kassospol supaya jangan omong ngawur, karena istilah
Kiri Baru merupakan sebutkan kepada gerakan kiri tahun 60an 70an yang memprotes berbagai
ketimpangan di dunia ini.
Jadi tidak ada hubungannya dengan komunisme. Waktu gerakan Kiri Baru tampil di Eropa
Barat dan Amerika, komunisme sudah tegak di Eropa Timur, Uni Soviet, Cina, Korea Utara,
Vietnam dan Kuba. Orang-orang Kiri Baru ini justru anti Komunis yang totaliter itu.
3. Satu-satunya saat ketika Syarwan Hamid "tampil mandiri" ialah ketika ia, sebagai Kapuspen
ABRI, menyesalkan tindakan Harmoko membredel tiga mingguan yaitu Tempo, Editor dan
Detik. Waktu itu, ia menyatakan harapan Mabes ABRI supaya masalahnya bisa diselesaikan
melalui hukum. (Kembali ini merupakan penegasan bahwa ABRI tidak menyukai Harmoko)
Pada periode itu ABRI memang kurang terkoordinir. Artinya, Pangdam Jaya Hendropriyono
tampil mandiri karena malas menggebuki para demonstran, sementara Presiden Soeharto
berkehendak supaya demonstran segera digebuk. Akhirnya yang menjalankan perintah Presiden
adalah Kasdam Kodam Jaya, Wiranto yang sekarang sampai pada kursi KSAD. Dengan kata
lain kemandirian Syarwan di situ lebih mencerminkan tidak adanya koordinasi dalam tubuh
ABRI katimbang kemandirian murni dirinya sendiri.
4. Salah satu kemungkinan untuk mengatasi masalah ini adalah membiarkan Kassospol berada
pada pangkat lebih rendah katimbang ketua DPR/MPR, paling sedikit selama berlangsungnya
Sidang Umum MPR. Dengan begitu, ketua DPR/MPR yang dijabat perwira ABRI itu (baca:
Letjen Syarwan Hamid) bisa mengendalikan Kassospol, karena pangkat Kassospol itu belum
mencapai Letjen.
(Bersambung ke bagian 2)
www.munindo.brd.de
(Soeharto terhadap ABRI menjelang SU MPR)
Pertanyaan yang dalam hal ini sangat mendesak untuk diajukan adalah, kalau Harmoko
menjabat Ketua DPR/MPR mampu kah ia mengamankan Sidang Umum MPR 1998 yang
menyangkut tiga perkara tadi? Dengan kata lain, mampu kah Harmoko membendung tampilnya
Ibrahim Saleh yang lain, membendung seorang Kassospol (siapapun dia nanti) yang, seperti
Harsudiono Hartas dulu, tiba-tiba mencalonkan tokoh pilihan ABRI sebagai Wakil Presiden?
Kalau Presiden Soeharto saja tidak sanggup menjagokan Harmoko, siapa pula yang akan
sanggup mencalonkan mantan Menteri Penerangan ini sebagai Ketua DPR/MPR? Langkah ini
jelas terlalu riskan. Soeharto jelas paham: biar pun Harmoko diberinya petunjuk selama 40 hari
40 malam berturutturut, Ketua Umum Golkar (yang konon bersaing sengit dengan Tutut ini)
tidak akan digubris ABRI, apalagi kalau ABRI memang sedang nekat untuk melawan
Panglima Tertinggi mereka sendiri.
Di sini lah menariknya: kalau dulu ketika mengangkat Harmoko sebagai Ketua Umum DPP
Golkar Soeharto ingin menggebuk ABRI, maka kini justru karena khawatir terhadap ABRI,
Harmoko lah yang dikorbankan. Padahal ia telah berjasa meningkatkan jumlah kursi Golkar
dalam DPR. Dan di sini pula lah makna sebenarnya kenapa Harmoko harus turun dari jabatan
Menteri Penerangan menjadi Menteri Urusan Khusus dengan tugas memberikan perbekalan
kepada para calon anggota DPR. Tugas yang tidak jelas itu, apalagi karena konon ia tidak
berkantor dan tidak berstaf, juga mencerminkan betapa tidak jelasnya (untuk tidak mengatakan
betapa suramnya) masa depan politik Harmoko.
Harmoko yang dari dulu tidak pernah disukai ABRI, kini telah dijadikan tumbal oleh Soeharto
supaya ABRI terbujuk.
Juga perlu dicatat bahwa Harmoko pernah kelihatan begitu dekat dengan Habibie ketika
berlangsung Munas Golkar yang mengangkatnya sebagai ketua umum. Selain itu, Harmoko
juga membela Habibie, tentu saja atas perintah (atau petunjuk) Soeharto, ketika ia membredel
Tempo, Editor dan Detik pada bulan Juni 1994.
Maklum, Habibie sempat marah ketika tiga majalah itu memberitakan soal pembelian kapal
bekas milik Jerman Timur. Dengan begitu, kalau sekarang Harmoko ditendang maka
diharapkan ABRI tidak terus-terusan kecewa dan tidak lagi berniat menggagalkan pencalonan
kembali Panglima Tertinggi mereka.
Bukan lah kebetulan kalau yang diangkat menggantikan Harmoko sebagai Menteri Penerangan
adalah mantan KSAD Hartono. Terlepas dari prospek masa depan jabatan Hartono (konon ia
sedang diperam untuk jabatan Wakil Presiden), sekali lagi, ini tetap dalam rangka menenangkan
ABRI, atau tepatnya mengalihkan perhatian ABRI supaya tidak terus berniat merongrong
kekuasaan Soeharto. Yang juga perlu dilihat dari naiknya Hartono sebagai Menpen ini adalah
imbangan antara jumlah menteri ICMI dengan jumlah menteri ABRI. Kalau dengan dicopotnya
Billy Joedono jumlah menteri ICMI berkurang satu, maka dengan naiknya Hartono jumlah
menteri ABRI lah yang bertambah satu, walau pun, harus diakui bahwa Hartono baru saja
pensiun, ia bukan seorang perwira ABRI aktif. Tapi, sebagai seorang mantan KSAD, setidak-
tidaknya kalangan ABRI masih bisa mengidentifikasikan diri mereka dalam Hartono.
Menariknya dalam soal pertikaian Habibie dengan harian The Jakarta Post, Menteri
penerangan Hartono berpihak kepada koran itu dengan menyatakan bahwa The Jakarta Post
dimaafkan. Mei 1997 jelas berbeda dengan Juni 1994 ketika Harmoko masih menjabat Menteri
Penerangan dan ketika Habibie masih merupakan anak emas Soeharto. Dengan kata lain,
selamatnya The Jakarta Post sebenarnya lebih disebabkan oleh tatanan politik Indonesia
menjelang Sidang Umum MPR, di mana Habibie dan ICMI-nya sudah tidak berpengaruh lagi,
ketimbang, misalnya, seperti apa yang disumbarkan oleh Adnan Buyung Nasution, pengacara
IPTN, perusahaan Habibie. Buyung menegaskan sebagai seorang demokrat, ia berhasil
mendesak Habibie supaya tidak menggunakan kekuasaan, tetapi memilih jalan hukum saja.
Bahkan konon, menurut pengakuannya, Buyung akan mundur sebagai pengacara IPTN kalau
Habibie sampai membredel koran berbahasa Inggris itu. Jelas ini omong kosong karena
memang tidak masuk akal. Untuk masa kini perlu dipertanyakan, kekuasaan mana pula yang
masih dimiliki Habibie?
Dalam kerangka berpikir memanjakan ABRI itu, maka bisa dipastikan bahwa tidak lama lagi
Syarwan Hamid akan ditunjuk menjadi Ketua Fraksi ABRI dalam DPR, baru setelah itu ia akan
diangkat menjadi Ketua DPR/MPR. Untuk jabatan ini, Presiden Soeharto jelas tidak
mempercayai orang lain kecuali Syarwan Hamid.
Tetapi, seperti yang telah diuraikan, sebetulnya langkah ini belum menjamin bahwa ABRI tidak
akan berbuat kurang ajar terhadap Panglima Tertingginya. Oleh karena itu, langkah mengangkat
Syarwan Hamid sebagai ketua DPR/MPR bisa dipahami sebagai apa yang oleh para jenderal
pensiunan (seperti M. Yusuf atau Rudini) disebut sebagai schade beperking, atau damage
limitation, kata orang Inggris. Itu lah langkah yang masih bisa dilakukan untuk membatasi
kekalahan.
Seperti sudah diuraikan, di mata Presiden Soeharto, DPR merupakan sarang di mana perwira-
perwira kritis ABRI merongrongi kekuasannya. Ini dimulai oleh Ibrahim Saleh yang berhasil
memaksakan mufakat lonjong atas pengangkatan Sudharmono sebagai Wakil Presiden pada
tahun 1988. Menyusul Ibrahim Saleh, malah muncul tokoh-tokoh kritis lain dari Fraksi ABRI,
seperti Syamsudin dan almarhumah Rukmini yang menyerukan keterbukaan. Untung
keterbukaan ini bisa dihentikan oleh Harmoko ketika Habibie mengaku mendapat pemberitaan
tidak menguntungkan soal pembelian bekas kapal Jerman Timur. Kemudian masih ada
Sembiring Meliala yang memprotes pengangkatan Harmoko sebagai Ketua Umum DPP Golkar
dan sebelum pemilu lalu, Theo Syafei masih sempat berseru bahwa menjadi Golput itu tidak
melanggar hukum. Untung ada mekanisme recall, sehingga perwira-perwira kritis itu kini sudah
berhasil disingkirkan dari Fraksi ABRI.
Yang penting sekarang, terutama menjelang Sidang Umum Maret tahun depan, adalah
membersihkan Fraksi ABRI dari orangorang kritis itu. Dan satu-satunya tokoh yang bisa
menjalankannya tidak lain adalah Syarwan Hamid sendiri. Apalagi karena Syarwan sudah
berpengalaman melitsus para calon anggota legislatif.
Masalah kritisnya Fraksi ABRI, di bawah Syarwan Hamid, nampaknya akan bisa diatasi. Dari
sini Syarwan kemudian pantas untuk diangkat sebagai Ketua DPR/MPR. Dengan begitu, bisa
dipastikan DPR dan MPR akan bersih dari orang-orang kritis. Menangkap maling, biasanya
memang lebih gampang kalau mengerahkan maling yang lain.
Tapi, seperti yang telah diuraikan, dan seperti terbukti pada tahun 1993, beresnya Fraksi ABRI
dan seluruh anggota DPR/MPR lainnya, belum merupakan jaminan bahwa ABRI secara
keseluruhan tidak akan berbuat macam-macam ketika berlangsung Sidang Umum MPR. Ini
masalah tersulit ke dua yang dihadapi oleh Presiden Soeharto. Bagaimana harus mengatasinya?
Pada minggu ke dua bulan Juli, tepatnya hari Rabu 9 Juli, diumumkan bahwa Syarwan Hamid
menjadi Fraksi ABRI dalam DPR bersama 5 Pangdam lain, yaitu Pangdam III/Siliwangi
Mayjen Tayo Tarmadi, Pangdam IX/Udayana Mayjen R.A. Rivai, Pangdam VI Tanjungpura
Mayjen Namoeri Anom, Pangdam II/Bukit Barisan Mayjen Sedaryanto dan Pangdam V
Brawijaya Mayjen Imam Utomo.
Jelas ini merupakan langkah pengamanan besar-besaran supaya Sidang Umum MPR berjalan
lancar, memenuhi tiga kriteria di atas. Kepada pers, Syarwan Hamid pun segera menjamin tidak
akan munculnya interupsi Sidang Umum dan tampilnya seorang Kassospol yang
mengumumkan jago pilihan ABRI untuk jabatan Wakil Presiden.
Untuk dua hal ini Syarwan memang pantas memberikan jaminan, karena keduanya memang
berada di bawah kekuasaannya. Apalagi dengan masuknya lima Pangdam itu.(1)
Tetapi bagaimana kalau anggota ABRI lainnya memutuskan untuk memindahkan operasinya ke
tempat lain, yang sebelumnya sama sekali tidak pernah terbayangkan? Ibaratnya tempat
menampung air yang sudah sering bocor, ditambal di satu tempat bisa bocor di tempat lain.
Inilah masalah besar yang dihadapi Presiden Soeharto.
Langkah-langkah lain yang sudah ditempuh Presiden Soeharto untuk menertibkan ABRI, selain
berbaik-baik terhadap ABRI dengan menggebuki siapa saja yang tidak disukai ABRI, tidak lain
adalah berbagai mutasi perwira ABRI yang berlangsung begitu Hartono dicopot dari jabatan
KSAD.
Tentu saja, seperti ramai diberitakan media massa, yang terpenting dalam mutasi itu adalah
naiknya orang-orang yang pernah menjabat sebagai ajudan. Dua ajudan terpenting telah sampai
pada pucuk pimpinan Angkatan Darat, itulah Wiranto sebagai KSAD dan Subagyo Hari
Siswoyo sebagai Wakasad. Ajudan tak pelak lagi adalah trayek utama bagi para calon
pemimpin ABRI. Supaya tidak menimbulkan iri di antara perwira lain, maka ajudan nampaknya
memang dipilih dari para lulusan terbaik Akademi Militer. Memang sejak jaman Belanda dulu
Akademi Militer selalu punya tradisi untuk, dalam masa liburan, memondokkan kadet-kadet
terbaik mereka pada perwira-perwira tinggi. Dengan begitu langkah mengangkat para bekas
ajudan ini bisa dikatakan tidak terlalu menimbulkan perasaan iri di kalangan perwira lainnya
yang tidak terpilih.
Yang juga menarik adalah pengganti Wiranto sebagai Pangkostrad, Sugiyono, sebe-lumnya
menjabat Komandan Paspampres. Di sini terlihat muncul semacam "pelebaran jalur" menuju
pucuk pimpinan ABRI. Tidak lagi harus ajudan, tetapi juga pasukan pengaman presiden. Tetapi
bukankah para anggota paspampres itu juga secara fisik dekat dengan Presiden Soeharto,
sehingga mereka dianggap paham apa kehendak sang Panglima Tertinggi. Orang memang
gampang tergoda untuk berkesimpulan bahwa langkah ini merupakan semacam kompromi atau
tepatnya langkah memanjakan ABRI.
Langkah menunjuk kalangan yang pernah menjadi ajudan atau kalangan yang pernah
memimpin Paspampres itu sebenarnya diambil karena sebagai orang yang sudah lebih dari 30
tahun berada di luar ABRI, Soeharto tidak punya pegangan lagi dalam mengenali dan mengerti
perwira-perwira itu. Ajudan dan sejenisnya adalah orang yang paling dekat dengannya,
walaupun paling lama cuma tiga tahun. Di sini nampaknya ia berharap orang- orang yang
secara fisik pernah dekat dengannya itu bisa memahami kehendaknya.
Jelas nampak bahwa Presiden Soeharto tengah mengerjakan sesuatu yang tidak mungkin.
Soeharto, begitu makin hari makin jelas, nampak tengah berusaha melawan alam. Adalah tidak
mungkin perbedaan usia yang hampir 30 tahun antara dia dan bawahannya itu bisa dijembatani
dengan faktor kedekatan fisik ini.
Kalaupun ada orang yang bisa mengerti, memahami dan menerima langkah-langkahnya
pastilah orang-orang itu seusia atau segenerasi dengan Soeharto yang, sialnya, kebanyakan
sudah tutup usia. Perbedaan generasi, ini yang tak mau dipahami Soeharto, pasti membawa
perbedaan pandangan dan perbedaan langkah.
Lagi pula, tidakkah ia mengerti bahwa tidak mungkin men-duduki kursi kepresidenan untuk
selamalamanya. Orang-orang seperti Wiranto, Subagyo atau Sugiyono, menurut hukum alam,
pasti akan menggantikannya. Belum lagi kalau dipertimbangkan bahwa mereka juga punya
ambisi.
Tapi sekali lagi, langkah-langkah yang belakangan ditempuh masih belum merupakan jaminan
bahwa Wiranto atau Subagyo misalnya akan tetap setia kepada Panglima Tertinggi mereka.
Secara bergurau seorang perwira pernah mengatakan, dari dulu yang melantik para lulusan
Akmil itu orang yang sama juga, sementara anak buahnya sudah sering kali berganti. Perwira
ini ada benarnya. Kalau Wiranto, Subagyo atau Sugiyono memikirkan masa depan mereka
sendiri, jadi tidak usah susah-susah dan repot-repot memikirkan masa depan bangsa, pasti
mereka juga berpikir apa artinya kesetiaan bagi masa depan mereka?
Sebenarnya yang juga menonjol dari mutasi belakangan, dan ini dimulai pada mutasi tahun-
tahun 90an, adalah makin pendeknya masa dinas seorang panglima.
Kalau dulu sampai jaman Benny Moerdani, masa dinas itu normal-nya tiga tahun, atau 1000
hari, maka sekarang masa dinas itu cuma separuhnya, 500 hari saja. Para pengamat ABRI di
Cornell University, yang sudah dengan seksama mewaspadai ABRI sejak tahun 60an
berpendapat, perpendekan ini terjadi karena banyakan lulusan Akademi Militer antara tahun
1964 sampai 1975, yang per tahunnya mencapai 300 sampai 400 orang. Sejak tahun 1976
lulusan itu jumlahnya stabil, yaitu 100 orang per tahunnya.
Nah, dalam rangka memberi kesempatan rata kepada semua perwira untuk bisa sampai pada
jabatan pimpinan maka, demikian para pakar Cornell University ini, waktu jabatan
diperpendek. Sebelum sampai pada kesimpulan ini, para pakar ABRI di Cornell University itu
mendakwa bahwa Presiden Soeharto merasa tidak aman kalau seorang perwira sampai lama-
lama duduk dalam sebuah jabatan.
Jelas argumen terakhir ini ada benarnya juga. Bukankah lamanya masa jabatan seorang perwira
juga memberinya kesempatan untuk memperkuat basis dukungan?
Cara seorang penguasa mutlak atau penguasa otoriter untuk memelihara kekuasaannya adalah
terus mencurigai para pembantunya sendiri!
Tulisan ini sebaiknya diakhiri dengan sebuah pertanyaan. Kalau menjelang Sidang Umum MPR
ini Presiden Soeharto nampak begitu memanjakan ABRI, maka ini mendesak orang untuk
bertanya-tanya apa sebenarnya yang akan dikerjakan Soeharto pada saat Sidang Umum
berlangsung? Akan kah Soeharto kemudian berbuat sesuatu yang mengejutkan ABRI, yang
tidak menyenangkan ABRI?
CATATAN KAKI:
1. Penempatan lima Pangdam ini di satu pihak memang bisa diartikan sebagai langkah
mengambil kepastian di tengah situasi yang begitu tidak pasti, tetapi di lain pihak, hal ini juga
bisa berarti bahwa Presiden Soeharto sendiri tidak yakin pada kemampuan Syarwan Hamid.
Untuk itulah perlu dipasang lima Pangdam lain.
www.munindo.brd.de
Kekejaman & kekerasan struktural di era Soeharto(1/9)
Received on Wed Aug 12 09:30:38 MET DST 1998
----------------------------------------------------------
PENGANTAR:
Tepat sekali judul buku Dr. Sulistyo itu mencerminkan keadaan kita sekarang. Seolah-olah kita
sekarang telah melupakan pembantaian besar-besaran oleh ABRI dan bangsa sendiri terhadap
bangsa sendiri --sebagian terbesar dari mereka tidak tahu apa-apa dan tidak berdosa.
Pembantaian itu memakan korban sekurang-kurangnya 500 ribu orang, kalau tidak hendak
dikatakan jauh lebih banyak lagi. Seolah-olah kita membenarkan apa yang pernah
menggemparkan dunia itu, dengan dalih "penumpasan PKI dan Komunisme yang jahat dan
anti-Tuhan".
Kekejaman itu telah mengantarkan bangsa Indonesia memasuki era Orde Baru, dan kemudian
terbukti telah menjadi bagian dari struktur dan sistem kekuasaan Orde Baru sampai
tumbangnya di tahun 1998. Orde Baru itu sendiri berdiri sebagai hasil penggulingan kekuasaan
Presiden Sukarno dan sekaligus penumpasan PKI. Dalih langsung yang digunakan waktu itu
adalah "penumpasan G30S yang melakukan upaya kudeta terhadap pemerintahan yang sah."
Namun -- sebagaimana diajukan dalam tesis David Johnson, Center for Defense Information,
AS, (lihat artikel "[SP] Bukan G30S/PKI melainkan G30S/Soeharto #1-#4" yang ditayangkan
kemarin dalam MILIS-SPIRITUAL) -- justru Soeharto-lah yang dicurigai merupakan dalang
G30S, bekerja sama dengan CIA. Faktanya KASAD Jenderal Ahmad Yani bersama kelima
jenderal
Pahlawan Revolusi lainnya telah dibantai oleh kesatuan-kesatuan G30S yang berasal dari
Kostrad, sedangkan Soeharto sendiri, Panglima Kostrad waktu itu, secara aneh "lolos" dari
kekejaman G30S.
Betapa kejamnya pembunuhan-pembunuhan bermotif politik itu terungkap secara grafis dalam
artikel #9; begitu sadis, sebaiknya tidak dibaca oleh mereka yang berhati lembut. (Sekalipun di
sini artikel itu tidak jelas sumbernya, namun barang siapa yang telah menginjak usia remaja
atau dewasa pada tahun 1965 itu pasti masih ingat apa yang didengarnya -- atau bahkan
mungkin dilihatnya sendiri -- di kampungnya pada waktu itu.)
Sukar dibayangkan bahwa selama 3 dasawarsa bangsa Indonesia telah dikelabui oleh suatu
rezim yang berkuasa dengan dalih "melaksanakan Pancasila secara murni dan konsekuen"
serta keabsahan konstitusional, namun tangannya berlumuran darah. Ada suatu penolakan
psikologis dalam diri kita, suatu rasa tidak percaya, bahwa selama ini ternyata kita telah hidup
dan menghirup kenikmatan di bawah bayang-bayang dosa dan kutukan. Ada perasaan sedikit-
banyak ikut bersalah di dalam ketidaktahuan dan keawaman kita.
Serangkaian tulisan ini bertemakan kekerasan dan kekejaman yang merajalela pada era Orde
Baru, terdiri dari:
* "Pancasila Ditunggangi dan Diselewengkan" oleh Kartaprawira (#2);
* "September to Remember", Publikasi 29/1997, Laboratorium Studi Sosial Politik Indonesia
(#3);
* "Pembunuhan 3 Juta Orang dan Kup terhadap Presiden Sukarno", dimuat dalam Pijar, 23
September 1997 (#4);
* "Tak Ada Konsep Seragam dalam Pembunuhan Massal '65", wawancara dengan r.
Hermawan Sulistyo, penulis "The Forgotten Years", Suara INDEPENDEN, o 11/III/September
1997 (#5);
* "Rekayasa Soeharto pada Peringatan 30 September", oleh : Sutandi astraprawira (#6);
* "Beringas di Balik Mitos Kekeluargaan", Topik Utama, Suara INDEPENDEN, o
11/III/September 1997 (#7);
* "Orde Baru Itu Lahir dari Kekerasan", wawancara dengan YB angunwijaya, Topik Utama,
Suara INDEPENDEN, No 11/III/September 1997 #8);
* "Pembantaian Setelah G30S", Topik Utama, Suara INDEPENDEN, No 1/III/September
1997 #9).
Pengungkapan di dalam milis ini dimaksudkan untuk membuka mata kita elebar-lebarnya akan
apa yang terjadi di masa lampau yang belum terlalu auh. Suatu peristiwa mahahebat yang
menimbulkan luka yang dalam pada bangsa kita, luka yang sampai sekarang belum selesai,
menurut Dr Sulistyo. Dan luka itu hanya bisa kita harapkan sembuh -- bukan dengan ditutup-
tutupi -- melainkan dengan dibuka lebar-lebar, dikaji, dihayati secara berani dan terus terang,
diakui bersama, sehingga tidak akan terulang kembali di kemudian hari. Demikian Romo
Mangunwijaya.
Salam,
Hudoyo Hupudio
<hudoyo@cbn.net.id
www.munindo.brd.de
Kekejaman & kekerasan struktural di era Soeharto(2/9)
Received on Wed Aug 12 09:31:09 MET DST 1998
----------------------------------------------------------
Memperingati GESTAPU/GESTOK 1965
Oleh Kartaprawira
Tapi toh tidak perlu pada hari jatuhnya RMS dijadikan Hari Kesaktian
Pancasila? Tapi toh tidak perlu hari runtuhnya PRRI-Permesta dijadikan
Hari Kesaktian Pancasila? Tapi toh tidak perlu hari direbutnya kembali
Irian Barat dijadikan Hari Kesaktian Pancasila? Jawaban mengapa 1
Oktober dijadikan Hari Kesaktian Pancasila adalah rekayasa penguasa
untuk menunggangi Pancasila demi kepentingan-kepentingan politik.
Memang benarlah apa yang ditulis LPSI bahwa tekad pelaksanaan Pancasila
secara murni dan konsekwen itu "perlu dipertanyakan terus menerus agar
tetap segar dan tidak sekedar jadi slogan politik sementara isinya tidak
pernah tersentuh". Dan benarlah tulisan kritis LPSI mengenai pengamalan
Pancasila yang ditelaah dari sisi kebijakan penguasa dalam menangani
bencana kebakaran hutan dan kebijakan dalam lapangan transportasi yang
tidak sesuai dengan Pancasila.
Kita tidak boleh menutup mata bahwa di samping kesaktian yang telah
terbukti, ternyata dalam perjalanan sejarah selanjutnya, pusaka sakti
Pancasila tidak sepenuhnya berhasil digunakan. Malah ada kesan dia
disimpan dalam lemari kaca sebagai perhiasan belaka. Dan Pancasila hanya
dijadikan label dalam segala move politik penguasa, demi untuk
kepentingan-kepentingannya yang sesungguhnya jauh dari bau-baunya
hakekat Pancasila. Sehingga hal itu mengakibatkan timbulnya keresahan,
kegoncangan, dan kesenjangan dalam masyarakat. Akibatnya akhir-akhir ini
(1996-97) di banyak tempat di Indonesia timbul kerusuhan-kerusuhan yang
mengakibatkan korban jiwa, raga dan harta-benda (Situbondo, Tasikmalaya,
Rengasdengklok, Kalimantan Barat, Banjarmasin, Ujungpandang dan
lain-lainnya). Dengan adanya pembakaran gereja-gereja dan tempat ibadah
lainnya, telah membuktikan tentang adanya bahaya yang mengancam ajaran
toleransi antar-agama yang terkandung dalam Sila Ketuhanan Yang Maha
Esa. Dengan adanya bentrokan fisik antara orang-orang Dayak dan
orang-orang Madura di Kalimantan Barat yang mengorbankan ratusan
(mungkin ribuan) nyawa juga membuktikan adanya bahaya yang mengancam
atas ajaran kerukunan antar-sukubangsa yang terkandung di dalam Sila
Persatuan Indonesia (Nasionalisme). Meskipun demikian tidaklah berarti
bahwa Pancasila telah kehilangan kesaktiannya. Bagaimana mungkin bisa
dimanfaatkan kesaktiannya, kalau Pancasila diselewengkan, dipenjara
dalam almari kaca, hanya labelnya sajalah yang ditempelkan dimana-mana?
Yang sangat tidak terpuji adalah ucapan Menteri Agama Dr. Tarmizi Taher.
di Surabaya (17 Juni '97) dihadapan 500 kyai, yang di atas mimbar dengan
keras mengucapkan: 'Halal darah dan nyawa para perusuh' dengan diikuti
pekikan Allahu Akbar. Tarmizi Taher jelas tidak berjiwa pancasilais,
sebab dengan mudah menggunakan pendekatan 'pembasmian' (bertentangan
dengan jiwa Sila Kemanusiaan yang adil dan beradab) terhadap sesama
bangsa sendiri (bertentangan dengan jiwa Sila Persatuan Indonesia atau
Nasionalisme). Bahkan dalam ajaran Islampun dimungkinkan adanya
pendekatan-pendekatan lainnya. Apakah Tarmizi tidak akan terusik
jiwanya, kalau para perusuh itu ternyata juga muslimin, seperti terjadi
dimana-mana sekarang ini? Suatu kebodohan besar kalau dia menyimpulkan
bahwa para perusuh itu PASTI orang komunis atau anak-cucunya yang mau
balas dendam. Saya kira Tarmizi sebagai menteri harus masih banyak
belajar mengenai hakekat Pancasila dan lebih bijak dalam mengeluarkan
pikirannya. Apakah ucapan Tarmizi di Surabaya tersebut tidak bisa
dinilai sebagai provokasi untuk lebih memperkeruh situasi yang sangat
rawan dewasa ini, untuk membakar rasa permusuhan antar-ummat? Apakah
ucapan Tarmizi tersebut secara tidak langsung tidak bertujuan untuk
menyelewengkan hakekat Pancasila?
Suatu pertanyaan yang meskipun utopis perlu juga kami teriakkan demi
pelampiasan desakan hati nurani: "Bisakah MPR/DPR (1997-2002)berbuat
sesuatu demi pelurusan pengamalan Pancasila secara murni dan konsekwen?
Berani dan mampukah MPR/DPR memperjuangkan aspirasi rakyat yang
'diwakili', sesuai dengan tuntutan filsafat/dasar negara Pancasila.
---------
#) Kartaprawira, 'Pancasila: Pusaka Sakti Untuk Perdamaian, Persatuan dan Kemakmuran',
Indonesia-l, 25 Juni 1997.
<bersambung
www.munindo.brd.de
Kekejaman & kekerasan struktural di era Soeharto(3/9)
=============================================================
Publikasi 29/1997
LABORATORIUM STUDI SOSIAL POLITIK INDONESIA
Motto: Membela Pancasila dan UUD'45
Email: LSSPI@hotmail.com, LSSPI@theoffice.net
============================================================
SEPTEMBER TO REMEMBER
30 September datang dan pergi lagi. Walaupun ritus apa yang dinamakan
'Hari Kesaktian Pancasila' masih diteruskan, makin terasa kehampaan
upacara-upacara serta kegiatan resmi lainnya yang diselenggarakan dalam
rangka hari yang dikaitkan dengan apa yang dinamakan pemberontakan
"G30S/PKI". Kian tampak bahwa hari itu tak ada kaitannya dengan
Pancasila, tak ada hubungannya pula dengan kesaktian.
Bagi orang yang berbalik pikirannya mengenai peristiwa tragis itu, mudah
tergoda untuk menyangsikan tuduhan-tuduhan Orba terhadap PKI mengenai
peristiwa Madiun yang juga terjadi dalam bulan September (1948). Ini
juga hasil proses penalaran logis.
Beberapa waktu yang lalu, dalam majalah Tiras, wartawan senior Rosihan
Anwar menulis sesuatu tentang peristiwa Madiun, dengan judul 'Wild
West'. Sorotannya khusus ditujukan terhadap prolog peristiwa itu. Tentu
diperlukan logika dan obyektivitas sebelum menerima atau menolak
kebenaran tulisan itu.
Mengenai peristiwa "G30S" ada seorang saksi mahkota yang tak pernah
diberi kesempatan untuk memberikan kesaksiannya. Ia cepat-cepat dibunuh
atas perintah Jendral Soeharto, jauh sebelum ia membubarkan PKI dengan
menggunakan Supersemar. Nama saksi ini adalah D.N. Aidit, pemimpin utama
PKI.
Kita perlu mendengar apa yang dikatakan oleh Rosihan Anwar dan
orang-orang lain. Tapi kita perlu juga mendengar kisah yang diceritakan
oleh orang PKI sendiri. Karena itu, berilah kesempatan kepada Aidit
untuk bicara. Dua-duanya, begitu juga tulisan-tulisan lain mengenai hal
yang sama, perlu disikapi secara ilmiah.
R. Solehan
<bersambung
++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++
www.munindo.brd.de
Kekejaman & kekerasan struktural di era Soeharto(4/9)
Received on Wed Aug 12 09:32:05 MET DST 1998
----------------------------------------------------------
Date: Tue, 23 Sep 1997 01:26:22 -0000
From: "KdP Net" <kdpnet@usa.net
Peristiwa besar ini mempunyai pengaruh yang besar dan dalam, bukan hanya
pada waktu itu tetapi juga sampai sekarang, bukan hanya secara nasional
tetapi juga internasional. Ia mengubah jalan, arah revolusi, sejarah
Indonesia, dari arah mencapai Indonesia merdeka yang demokratis menjadi
Indonesia yang militeris fasistis. Namun sampai hari ini di Indonesia
masih belum jelas benar apakah peristiwa itu sebenarnya, siapakah aktor
yang berdiri dibelakangnya dan apakah peranan Jenderal Suharto.
Dalam menelaah peristiwa besar ini tidak dapat melepaskan dari situasi
politik secara Internasional yaitu 'Perang Dingin' waktu itu, situasi
politik regional dan dalam negeri Indonesia, pertentangan antara partai
politik, golongan, kelas-kelas, perseorangan dengan kepentingan,
karakter, ambisi, posisinya masing-masing yang berbeda dan bertentangan
satu sama lainnya yang mempunyai pengaruh sangat dalam terhadap
terjadinya peristiwa G30S.
Peran apakan yang dimainkan oleh Jenderal Suharto, terutama pada malam
menjelang 1 Oktober 1997 tersebut, maka marilah kita simak kembali
pembelaan kolonel Latief didepan Mahkamah Militer Tinggi II Jawa Bagian
Barat pada tahun 1978.
(a) Jenderal Suharto terlibat langsung dalam G.30-S (tahu lebih dulu
persoalan G.30-S);
(b) Jenderal Suharto kemudiannya memimpin langsung penggulingan Presiden
Sukarno dan pemerintahannya, tanpa saya ikut di dalamnya.
Disini perlu saya ungkapkan dimuka sidang Mahmilti ini agar persoalannya
lebih jelas.
Dua hari sebelum peristiwa tanggal 1 Oktober 1965, saya beserta keluarga
mendatangi ke rumah keluarga Bapak Jenderal Suharto di rumah
jl.H.Agusalim, yang waktu itu beliau masih menjabat sebagai Panglima
Kostrad, disamping acara keluarga, saya juga bermaksud: "menanyakan
dengan adanya info Dewan Jenderal, sekaligus melaporkan kepada beliau".
Oleh beliau sendiri justru memberitahukan kepada saya, bahwa sehari
sebelum saya datang ke rumah beliau, ada seorang bekas anak buahnya
berasal dari Yogyakarta, bernama Soebagiyo, memberitahukan tentang adanya
info Dewan Jenderal AD yang akan mengadakan coup d'etat terhadap kekuasaan
Pemerintahan Presiden Sukarno.
Tanggapan beliau akan diadakan penyelidikan. Oleh karena itu tempat/ruangan
tsb banyak sekali tamu, maka pembicaraan dialihkan dalam soal-soal lain,
antara lain soal rumah.
Saya datang ke rumah Bapak jenderal Suharto bersama istri saya dan tamu
istri saya berasal dari Solo, Ibu kolonel Suyoto dan dalam perjamuan di
ruangan beliau ada terdapat Ibu Tien Suharto, orang tua suami istri Ibu
Tien, tamu Ibu Tien Suharto berasal dari Solo bersama Bapak Dul dan Ibu
Dul, juga termasuk putera bungsu laki-laki Bapak Jenderal Suharto, yang
kemudian harinya ketimpa sup panas.
Adalagi sebuah wawancara dari surat kabar Der Spiegel Jerman Barat pada
bulan Juni 1970 yang menanyakan bagaimana Suharto tidak termasuk dalam
daftar Jenderal-Jenderal yang harus dibunuh, Suharto menjawab:
"Kira-kira jam 11 malam itu, kolonel Latief dari komplotan Pucht datang
ke rumah sakit untuk membunuh saya, tapi nampaknya ia tidak melaksanakan
berhubung kekawatirannya melakukan di tempat umum".
Dari dua versi keterangan tsb diatas yang saling bertentangan satu sama
lain, yaitu yang satu hanya "mencek" dan yang satu "untuk membunuh",
saya kira Hakim Ketua sudah bisa menilai dari dua keterangan tsb dan
akan timbul pertanyaan tentunya: mengapa Latief datang pada saat yang
sepenting itu? Mungkinkah Latief akan membunuh Jendral Suharto pada
malam itu?
Mungkinkah saya akan berbuat jahat kepada orang yang saya hormati, saya
kenal semenjak dahulu yang pernah menjadi komandan saya? Logisnya,
seandainya benar saya berniat membunuh Bapak Jenderal Suharto, pasti
perbuatan saya itu adalah merupakan suatu blunder yang akan menggagalkan
gerakan tanggal 1 Oktober 1965 itu.
Dalih Jenderal Suharto yang bohong itu, yang kepada Brackman menyatakan
kedatangan Latief 30 September malam hanya "untuk mengecek", kepada Der
Spiegel "untuk membunuh", menjadi lebih lengkap dengan cerita dalam
otobiografinya, di mana dikatakan ia bukan bertemu dengan Latief di
RSPAD, melainkan hanya melihat dari ruangan di mana anaknya dirawat, di
mana ia berjaga bersama Ibu Tien, dan Latief jalan di koridor melalui kamar itu.
Operasi G.30-S dini hari 1 Oktober 1965 tidak akan terjadi, sekiranya
Jenderal Suharto mencegahnya atau melarangnya, misalnya dengan segera
menangkap Kolonel Latief dan komplotannya! Juga operasi itu tidak akan
terjadi sekiranya Jenderal Suharto melaporkan kepada Jenderal A Yani,
atau kepada Nasution bahkan kepada Presiden Sukarno! Dengan demikian
tidak akan terbunuh 6 Jenderal itu. Peranan Jenderal Suharto sangat
menentukan dalam hal berlangsung atau tidak berlangsungnya operasi
G.30-S di pagi 1 Oktober 1965 itu.
Menurut Forum Keadilan Mayjen (purn) Sunarso pada tgl 9 Sept 1966
mengajukan pertanyaan secara tertulis kepada Presiden Sukarno dan
jawaban baru diberikan Presiden Sukarno tanggal 16 Agust 1966. Di antara
yang ditanyakan: Apakah benar Bapak memanggil kembali Aidit dari Moskow,
untuk mengumpulkan bahan penyusunan teks pidato 17 Agust 1965?
Inti dari kasaksian Bung Karno yang dikejar Durmawel adalah soal siapa
yang memanggil DN Aidit pulang dari Moskow. Karena menurut analisanya,
kepulangan Aidit di tengah isu sakitnya Bung Karno adalah dalam rangka
mempersiapkan G.30-S. Artinya siapa yang berinisiatif memanggil Aidit,
itulah yang tahu tentang rencana G.30-S. Ternyata Bung Karno tidak
memanggil Aidit. Kesaksian itu bagi Durmawel adalah kartu truf yang
melicinkan jalan bagi vonis seumur hidup untuk Soebandrio.
Kamaruzzaman ini diawal revolusi pernah menjadi anak buah Suharto dalam
kelompok Pathok Yogya sewaktu melakukan penyerbuan ke sebuah tangsi
tentara Jepang di Kota Baru. Pada tahun 1951 dia salah seorang dari 9
kader pilihan PSI yang mendapat pendidikan/latihan khusus dan kemudian
pada tahun 1954 menjadi informan Kodam V Jaya.
Sesungguhnya yang melanggar GBHN adalah DPRGR sendiri, karena GBHN yang
berlaku ketika itu ialah GBHN-Manipol, GBHN yang memegang prinsip
persatuan berdasarkan Nasakom. Membubarkan PKI sama artinya dengan
menentang GBHN-Manipol, apalagi tidak ada bukti bahwa PKI yang
mendalangi G.30-S seperti yang dikemukakan Dewi Sukarno dalam tabloid
Detik No 030 th 1993.
Begitu pula MPRS yang lahir dari Dekrit Presiden Sukarno kembali ke UUD
1945 tanggal 5 Juli 1959 tidaklah sama fungsinya dengan dengan MPR,
seperti dikatakan Presiden Sukarno dalam amanat negaranya tanggal 10
November 1960. Presiden Sukarno mengatakan bahwa fungsi MPRS itu sama
dengan lembaga-lembaga negara yang lain, yaitu sebagai alat revolusi dan
tidak berwenang merubah UUD 1945 serta memilih Presiden dan Wakil
Presiden.
Menurut JK Tumakaka bahwa MPRS tsb adalah semacam Komite Nasional. Ini
sesuai dengan pasal IV aturan peralihan UUD 1945, artinya berkedudukan
sebagai pembantu Presiden. Karena itu pulalah Ketua dan Wakil-wakil
ketuanya berkedudukan sebagai Menteri ex-officio (masyarakat Pancasila,
secercah pengalaman bersama Bung Karno", hal: 191-194).
Dengan "Dekrit" Nasution yang merubah kedudukan MPRS menjadi MPR, yang
bertentangan dengan pasal IV Aturan Peralihan UUD 1945, MPRS menarik
mandat dari Presiden Sukarno serta segala kekuasaan pemerintahan yang
diatur dalam UUD 1945 dan mengangkat Jenderal Suharto sebagai pejabat
Presiden.
<bersambung
www.munindo.brd.de
Kekejaman & kekerasan struktural di era Soeharto(5/9)
Received on Wed Aug 12 09:32:22 MET DST 1998
Ia tolak anggapan, bahwa pembunuhan massal tahun 1965-1966 di Jawa Timur dilakukan
secara sistematis oleh tentara saja. Dalam "The Forgotten Years", desertasi yang baru
diselesaikannya di Arizona State, Amerika Serikat, ia kemukakan sejumlah faktor penyebab
yang saling tumpang-tindih. Yang ingin ia katakan, persoalan itu tidaklah sesederhana konflik
antara tentara dengan PKI. Sebab, "tentara yang ada di Jawa Timur itu tentara yang semuanya
PKI." Kiranya harus diakui bahwa tragedi itu, dalam banyak hal disebabkan pertentangan
sesama masyarakat sendiri. Benar bahwa di Jawa Tengah, pembantaian itu sepenuhnya adalah
operasi militer, tapi di Bali dan Jawa Timur, sungguh berbeda. Khusus Jawa Timur, konflik
sosial-politik yang terjadi sudah berkepanjangan.
"Selama satu dekade penuh, orang bertarung tiap hari, wajar saja kalau bunuh-bunuhan," ujar
mantan dosen Unas yang perlu 13 tahun mengumpulkan data untuk desertasinya. G30S
baginya, hanya menjadi satu faktor pemicu pembantaian itu. Ia juga menjelaskan mengapa PKI
sebagai partai besar bisa dengan mudah kalah. Ikuti selengkapnya, wawancaranya dengan
Suara INDEPENDEN:
-----------------------------
* Apa yang membedakan hasil penelitian Anda tentang pembunuhan massal '65 dengan yang
selama ini diyakini secara umum?
** Selama ini, hanya ada dua versi mengenai pembunuhan-pembunuhan massal '65. Pertama,
versi mereka yang menang; bahwa PKI itu jahat. Oleh karena itu pembunuhan-pembunuhan
itu dibenarkan. Bahkan, dipuji sebagai langkah penyelamatan bangsa. Kedua,versi sebaliknya;
bahwa pembunuhan adalah tindakan sistematik yang dilakukan oleh negara yang diwakili
tentara pada kelompok yang memiliki hak hukum sah, yaitu PKI. Nah, kita tidak punya versi
alternatif selain dari dua ini. Karena dalam proses pembentukan ingatan kolektif bangsa ini,
kita dibiasakan menerima tanpa ada pertanyaan lagi. Padahal, fakta sejarah itu ditafsirkan
untuk kepentingan masing-masing. Ternyata, tidak sesederhana itu.
Misalnya, tentang asumsi bahwa semua tentara adalah lawan PKI. Kasus yang saya temukan di
Jawa Timur, ternyata, tentara yang ada semuanya PKI. Pada Pemilu tahun 1955, di beberapa
batalyon, PKI menang. Tentara kan banyak yang bersimpati pada PKI.
** Bahwa tak ada satu konsep yang seragam, atau cetak biru, yang bisa dikenakan secara
nasional pada pembunuhan massal '65. Studi di Jawa Tengah menunjukkan, (pembantaian itu
dilakukan melalui) operasi militer, penuh. Tentara masuk, lalu perang lawan orang yang kalah.
Di Bali,
operasi militer ditambah konflik lokal. Di Jawa Timur, mayoritas disebabkan oleh konflik
sosial-politik berkepanjangan, yang sudah bertahun-tahun. Satu dekade penuh, orang bertarung
tiap hari. Wajar saja kalau bunuh-bunuhan. Ketanpa-adaan blue print ini yang membedakan
kasus di Indonesia dengan genosida di Kamboja.
* Di Jawa Timur, kelompok mana yang saling konflik dan apa penyebabnya?
** Antara buruh-buruh yang afiliasinya PKI dengan petani-petani yang afiliasinya NU.
Sebabnya: perbedaan afiliasi politik yang tumpah-tindih dengan orientasi kultural, dan dengan
kepentingan ekonomi. Tumpang-tindih lagi dengan lifestyle. Ini terasa sekali, karena seluruh
kawasan perkebunan di sana punya ciri-ciri wilayah perambahan, frontier area. Misalnya,
pabrik-pabrik gula dan kantong-kantong persentuhan industri dan agraria. Suatu wilayah baru
yang terbuka, yang biasanya diasosiasikan dengan sifat-sifat sekuler.
Ini wilayah yang secara kultural, potensial konfrontatif.
Satu lagi sebab penting: retorika politik di tingkat nasional, diterjemahkan secara harafiah oleh
massa politik. Di berbagai koran partai, Harian Rakyat milik PKI, koran NU dan koran-koran
daerah, ditulis ketua partai menyebut "ganyang". "Ganyang" itu diterjemahkan harafiah di
tingkat bawah, berarti "bunuh". Dan pembunuhan itu terjadi hampir tiap minggu. Bukan pasca
'65 saja. Dari tahun lima puluhan, sudah ada. Semua pelaku yang saya wawancarai bilang,
"Biasa saja kalau mati dua puluh, tiga puluh..."
** Sama sekali bukan. Karena PKI-nya banyak orang Islam juga. Para korban, banyak yang
sebelum dibunuh, minta shalat dulu. Habis sembahyang disembelih.
** Kalau berbicara tentang deprivasi ekonomi -teori yang menganggap sumber utama konflik
semacam itu adalah ketertindasan ekonomi dan alienasi ekonomi-, studi saya menemukan yang
sebaliknya. Makin miskin, makin mereka tidak ikut. Yang ikut, justru mereka yang secara
ekonomi relatif survive, kelas menengahnya.
** Yang berafiliasi dengan PKI. Umumnya kalau aktif, tidak bawa bendera PKI. Tapi,
onderbouw-nya. Misalnya, Serikat Buruh Gula dan Pemuda Rakyat. Buruh ini ada juga yang
bukan anggota PKI. Tapi, karena secara organisatoris di bawah naungan PKI, jadi korban juga.
** Istilah saya vigilante group, kelompok kewaspadaan - dalam tanda petik. Bukan juga
Ansor. Kyai Mahrus dari NU, salah satu yang paling berpengaruh di Kediri, sempat bilang,
"Jangan diteruskan bunuh-bunuhan ini." Tapi, perintahnya nggak diikuti. Vigilante group ini,
pemuda-pemuda yang sebelumnya sudah bertarung. Mereka gabungan dari macam-macam
kelompok. Operasinya pun jangan dibayangkan sistematis. Kadang-kadang, 3 orang pergi
nangkep 10 orang. Diikat dan dibunuh. Senjatanya seadanya saja. Pentungan, clurit, pacul...
** Betul, sebagai faktor pemicu. Karena peristiwa di Jakarta itu, mengubah keseimbangan
lokal, dan membuat orang melakukan serangan mendadak, pre-emptive strike. Penjelasannya
begini: Sebelum 30 September ada keseimbangan nasional yang diciptakan Bung Karno
(keseimbangan
antara Angkatan Darat dengan PKI-red.). Setelah peristiwa itu, terjadi kevakuman hingga 5
Oktober. Usai penguburan jenderal-jenderal itu, terjadi titik balik. Di level nasional,
keseimbangan mulai bergeser ke "kanan" (tentara). PKI yang di level bawah tak disiapkan
untuk bertarung, hanya menunggu. Nah, saat itulah, lawan-lawannya melakukan serangan
lebih dulu. Di Kediri, tanggal 13 Oktober. Tapi, konflik ini sama sekali bukan baru. Musuhnya
pun musuh lama. Ibarat kita sedang berantem, tiba-tiba dihentikan karena ada kejadian di luar
ring. Semua menunggu. Begitu terjadi perubahan keseimbangan di pusat, PKI digebug duluan.
Karena menunggu, ya tidak siap. Habis. Kata pengurus PKI itu, "Lho kami ini 'nunggu, dan
nggak ada perintah. Kalau kami diperintah berantem ya berantem."
* Lawan-lawan PKI di situ merasa menang secara moril, begitu tahu perubahan keseimbangan
di pusat?
** Nggak juga. Ketika pertama, NU, Masyumi dan sebagainya menyerang, mereka sendiri
juga tidak yakin menang. Karena melihat kekuatan PKI sebelumnya. Kodimnya saja takut.
Tentaranya kan juga banyak yang PKI.
Batalyon Ronggolawe dan Madiun itu, PKI-nya menang (dalam pemilu 1955).
Tentara waktu itu berpolitik, punya afiliasi politik.
** Bahwa penyelesaian politik dengan kekerasan itu harganya mahal sekali. Lalu, meskipun
bentuknya luka-luka, ini adalah bagian dari sejarah kita. Bicara tentang 400.000 korban,
artinya kita bicara juga tentang jutaan orang yang membuat ada korban. Bila sudah jutaan
orang, itu bukan sekedar persoalan pemerintah dengan masyarakat. Tak sesederhana state
versus society. Ini persoalan bangsa yang lebih kompleks, luka-luka bangsa yang dalam sekali,
dan belum selesai.
Peristiwa ini sampai ke tingkat tertentu, harus tetap dibuka dan dipelajari. Kalau tidak kita tak
akan pernah belajar. Dengan mudah, orang bisa dicap PKI. PKI kan partai sah waktu itu.
Hanya saja, mereka kalah dalam percaturan politik. Seandainya PKI menang, sejarah yang
sekarang akan lain.
Replies: siar@mole.gn.apc.org
<bersambung
www.munindo.brd.de
Kekejaman & kekerasan struktural di era Soeharto(6/9)
Received on Wed Aug 12 09:32:34 MET DST 1998
----------------------------------------------------------
Kelompok Arief Kusno alias Romo Imam Mahdi Prawironegoro sejak Juli 1997
lalu sudah diincar yang berwajib di Malang. Dan baru tanggal 26
September, mereka digebuk karena diduga telah menghimpun kekuatan dan
melakukan aktifitas militer ilegal.
Memang, penampilan Imam Mahdi hampir sempurna seperti Bung Karno, selalu
menenteng tongkat komando lengkap dengan pakaian kebesarannya berwarna
putih memakai kopiah songkok, berkacamata hitam, tubuhnya tegap, nada
dan bicaranya tegas seperti Ir Soekarno semasa hidupnya. Jika hal ini
diskenariokan untuk sebuah permainan sinetron, maka publik Indonesia
benar-benar akan terkesima. Sebab, sungguh hebat sang sutradara bisa
mendapatkan tokoh yang sangat persis dengan Bung Karno semasa hidupnya.
Di Jawa Timur, di mana Menpen Jenderal Hartono masih punya link, memang
dibuat gempar dengan adanya peristiwa ini. Malah para pengikut Imam
Mahdi, atau Romo Yoso ini dikhabarkan sudah menyebar sampai ke Jember
dan lain-lain. Juga seluruh tanah air menjadi terheran-heran karena
sudah kurun waktu 27 tahun Bung Karno wafat, masih saja ada hal-hal yang
menggelikan.
Dari sumber yang sangat dapat dipercaya, Soeharto sangat gusar dengan
pernyataan-pernyataan Megawati beberapa waktu silam. Waktu itu Megawati
mengeluarkan statement "jangan coba-coba menggoyang saya", beberapa
waktu kemudian ia mengeluarkan pernyataan lagi "jangan coba-coba
menyingkirkan saya".
Bayangkan saja, pasukan-pasukan gadungan ini sudah enam bulan yang lalu
dibiarkan melakukan aktivitasnya dan baru sekarang ditangkapi dan di
diumumkan, diekspose besar-besaran oleh orangnya Soeharto dengan tuduhan
makar. Apa tidak aneh dan lucu, jika sudah diumumkan oleh polisi bahwa
sudah enam bulan dibuntuti kenapa tidak ditangkap enam bulan yang lalu?
Para tokoh yang tersangkut paut dengan rekayasa ini tergugah hatinya
tidak sampai hati merusak nama baik Bung Karno, di saat-saat seperti ini
menceritakan kepada kita, yang jelas akan mengkambinghitamkan nama harum
Bung Karno yang arahnya menjurus untuk menghancurkan Mega.
Tapi ternyata hal yang berbeda telah terjadi. Alam telah menurunkan
azabnya. Berbagai bencana telah menimpa bangsa ini. Mulai dari krisis
ekonomi, asap kebakaran dari hutan yang dibakar, tewasnya 234 penumpang
pesawat Garuda yang jatuh di Sibolangit, kelaparan di Irian Jaya yang
menelan korban lebih dari 351 orang, sampai berbagai kecelakaan akibat
tabrakan di jalan-jalan serta gempa bumi di Sulawesi Selatan.***
<bersambung
www.munindo.brd.de
Kekejaman & kekerasan struktural di era Soeharto(7/9)
Received on Wed Aug 12 09:32:51 MET DST 1998
----------------------------------------------------------
Puluhan tahun setelah pembunuhan massal 1965, potensi keberingasan masih saja mengancam.
Penyebabnya, bukan semata-mata datang dari pemegang kuasa dan senjata. Seperti peristiwa
saling bantai di Sanggau Ledo, keberingasan juga dibuahi oleh masyarakat sendiri.
Seharusnya, keadaan ini tak perlu jadi kian memburuk, andaikan sistem demokrasi sebagai
sarana mengelola konflik, berjalan dengan baik.
Time edisi 17 Desember 1966: “Dipersenjatai berbagai pisau ukuran besar yang disebut
parang, kelompok-kelompok muslim mendatangi rumah-rumah milik para komunis,
membunuh seluruh keluarganya dan menguburkan mayat-mayatnya secara sembarangan.
Pembunuhan itu begitu keterlaluannya, di beberapa tempat di Jawa Timur, sampai-sampai
kepala-kepala para korban ditancapkan di tiang-tiang dan kemudian dipamerkan ke seluruh
desa...”
Demikianlah rekaman situasi mencekam dari peristiwa pembantaian massal 1965, yang dikutip
salah satu majalah terkemuka di dunia itu. Peristiwa yang sayangnya, sampai kini tak pernah
dibuka tuntas. Sehingga, masyarakat Indonesia tak pernah belajar, mengambil hikmah di balik
itu. Yang muncul akhirnya, hanyalah cerita-cerita serba hitam-putih. Pemerintah Orde Baru,
memang berkepentingan untuk menutupi kisah tragis ini. Sebab, dari ketidaktahuan
masyarakat, akan mudah membentuk mitos mereka adalah “penyelamat Pancasila”, yang telah
menyingkirkan “musuh negara”. Meskipun, ketika itu PKI adalah partai yang sah, dan pernah
mengikuti pemilu.
Tentu ada pula kepentingan lain, apalagi kalau bukan untuk mencegah “bocornya” versi-versi
alternatif Peristiwa ‘65. Versi-versi yang umumnya, mendukung asumsi keterlibatan Angkatan
Darat mengkudeta Presiden Soekarno.
Ketiadaan sikap berterus terang akan sejarah ini, akibatnya terkadang membuat mereka yang
punya sikap kritis juga terjebak dalam pilihan hitam-putih. Mereka tidak lagi berusaha mencari
sejarah yang apa adanya, tapi lebih menyukai mencari versi sejarah yang “anti-mitos”
Perang „mitos“ ini yang membuat kebanyakan orang melihat, peristiwa pembunuhan massal
1965 itu sebagai persoalan struktural semata-mata. Persoalan negara lawan masyarakat, state
versus society. Seperti dalam sebuah artikel bernada kritis yang beredar di internet kira-kira
setahun lalu, disebutkan, „orang-orang Islam dukungan tentara dan para pelajar ‚dimobilisasi’
untuk melawan PKI, dan tentara telah melatih dan mempersenjatai kelompok Islam... »
Kenyataannya, seperti terungkap dalam penelitian selama belasan tahun Dr. Hermawan
Sulistyo tentang pembunuhan massal 1965 di Jombang dan Kediri, persoalan ketika itu begitu
rumit. Yang ia temukan di Jawa Timur, malah tak ada mobilisasi oleh tentara. Rakyat bergerak
sendiri, bukan dipersenjatai, dengan membawa clurit, pentungan ataupun golok. Pembantaian
itu terjadi, karena sejak lama telah ada konflik yang penyebabnya tumpang tindih (lihat:
wawancara Hermawan Sulistyo, „Tak Ada Konsep Seragam dalam Pembunuhan Massal ‚65“).
Konflik itu, kemudian mendapatkan momentum pemicu dari meletusnya peristiwa G30S yang
menyudutkan posisi PKI. Dengan kejatuhannya di tingkat nasional, maka para kader PKI di
Jawa Timur yang “tak siap bertarung”, akhirnya “digasak” oleh musuh-musuh lamanya.
Sekali lagi, persoalannya memang tidak sederhana. Bahwa di Jawa Tengah dan Bali,
pembantaian massal itu umumnya dilakukan oleh tentara, itu memang sudah faktanya. Tapi,
untuk kasus Jawa Timur, tentaranya bahkan banyak yang PKI. Seperti di Batalyon
Ronggolawe dan Madiun, ketika itu.
Nah, jika memang persoalannya tak melulu bisa diasalkan dari kesalahan pemerintah, secara
tidak langsung, bukankah ini merupakan pengakuan akan adanya sesuatu yang tak beres dalam
masyarakat Indonesia? Harus diakui bahwa tak cuma penguasa yang bersenjata saja, di dalam
masyarakat Indonesia pun masih banyak yang ‘sakit’. Sebab, jika tidak, sulit membayangkan
angka korban yang diperkirakan mencapai 500.000 jiwa itu.
Bukti bahwa “penyakit” itu memang ada dalam masyarakat, sebenarnya, dapat dilihat dari
berbagai peristiwa saling bantai sebelum dan sesudah Pembunuhan Massal ‘65 itu.
Di jaman Hindia-Belanda, jauh sebelum Indonesia merdeka, tanggal 9 Oktober 1740, pernah
terjadi peristiwa yang juga tak kalah tragisnya di Batavia -kini sudah jadi Jakarta. Ketika itu
pun, kanal-kanal dipenuhi bangkai serta darah tumpah ruah di mana-mana. Para tentara, pelaut,
warga Belanda serta budak-budak memenuhi jalan-jalan. Mereka tak saja membunuh orang
dewasa dan
anak-anak, tapi juga merampok para korban yang umumnya adalah orang-orang Cina.
Selain peristiwa tahun 1996, kejadian besar lainnya terjadi tahun 1979, di Kabupaten Sambas.
Dimulai tak lama setelah seorang petani Madura membunuh petani Dayak. Sebabnya, ia
tersinggung, sesudah ditegur lantaran mengambil rumput di tanah milik petani Dayak tadi
tanpa ijin. Perang pun berkobar. Puluhan jiwa melayang. Sempat pula didirikan „tugu
perdamaian“ di Salamantan, atas prakarsa pemerintah. Namun, tugu itu ternyata bukan obat
mujarab. Tahun 1983 dan 1993, perang masih juga berkobar.
Bahwa benih-benih keberingasan ini, masih tertanam pada alam bawah sadar masyarakat dapat
dilihat dari berbagai peristiwa „kecil“ sepanjang tahun 1995 dan 1996. Hanya karena isu dan
sebab sepele kerusuhan dengan mudahnya meletus. Boleh dibilang, tahun- tahun itu adalah
rekor terjadinya kerusuhan. Mulai dari pembakaran toko-toko dan gereja, 25 November 1995
di Pekalongan; pengeroyokan hingga tewas oleh sejumlah pemuda Katholik pada pemuda
lainnya yang dianggap menodai air suci, sehari setelah Natal 1995 di Nusa Tenggara Timur;
pembakaran 25 gereja dan terbunuhnya 5 warga di Situbondo, 10 Oktober 1996; pembakaran
terhadap 14 pos polisi, 13 gereja, 4 pabrik dan 89 bangunan lainnya di Tasikmalaya, 26
Desember 1996; hingga pembakaran 4 gereja dan 2 vihara di Rengasdengklok, 30 Januari
1996. Betapa mudahnya orang terpicu, lalu melakukan penghancuran.
Lalu apa hikmah semua ini? „Ini persoalan bangsa yang lebih kompleks, luka-luka bangsa
yang dalam sekali,“ ujar Hermawan Sulistyo. Dengan itu ia mengingatkan agar semua pihak
tak terbiasa menyederhanakan masalah. Mungkin, dengan menyadari kehadiran benih-benih
tak sehat ini, akan ada keinginan semua pihak untuk berusaha membangun kultur yang lebih
baik, yang minimal harus dimulai dari diri sendiri. Bahwa masyarakat -dan mungkin kita
sendiri- juga bisa salah, bukan cuma penguasa.
Bukan berarti, tak perlu lagi membenahi persoalan struktural seperti demokratisasi. Justru itu
yang lebih penting. Bukankah keberingasan itu dimungkinkan terjadi, karena ada
ketidakpercayaan rakyat terhadap sistem? Setiap kali rakyat digusur tanahnya, kehilangan mata
pencahariannya, sistem tak berpihak pada mereka. Makanya, tak perlu heran bila terjadi
peristiwa pembakaran kantor polisi seperti di Pameungpeuk, baru-baru ini. Jika rakyat sudah
tak percaya pada sistem, tak ada jalan lain memang, selain memakai cara mereka sendiri. Tak
peduli betapa pun mahal harga yang harus dibayar.
„Demokrasi adalah sarana mengelola konflik yang sehat,“ demikian ucap Arief Budiman,
suatu kali. Kiranya, memang itulah prioritas utama yang harus segera diwujudkan, agar tak
makin banyak darah yang bergelimang, akibat keberingasan ini.
Sayangnya, penguasa memang tak pernah mau belajar. Peristiwa berdarah sudah semakin
banyak, tapi pendekatan kekuasaan malah makin menjadi-jadi. Bukannya memberikan ruang
gerak bagi demokrasi, malah memberi kekuasaan tanpa batas pada presiden dengan Tap MPR
VI yang kontroversial itu. Mimpi buruk ini, kapankah berakhir?
<bersambung
www.munindo.brd.de
Kekejaman & kekerasan struktural di era Soeharto (8/9)
Received on Wed Aug 12 09:33:14 MET DST 1998
----------------------------------------------------------
Suara INDEPENDEN, No 11/III/September 1997
TOPIK UTAMA
YB Mangunwijaya, Budayawan:
Keprihatinan Mangun, tentang gejala meruyaknya kekerasan massa, dapat ditemui di hampir
setiap karyanya. Tokoh ini pula, yang tak henti-henti menyarankan agar Tragedi 65 dipelajari
secara tuntas, agar tak terulang di masa depan. Mangun berpendapat, kekerasan di masa Orde
Baru ini lebih sistematis, dibanding Orde Lama. Intensitasnya pun makin tinggi. Ia menunjuk
macetnya demokrasi, sebagai sebab uneg-uneg masyarakat menumpuk; dan siap meledak
kapan saja, seperti lahar gunung berapi yang lama terpendam. Berikut cuplikan bincang-
bincang Suara INDEPENDEN dengan romo yang juga novelis itu, di rumahnya. Termasuk
soal Kalimantan Barat, yang dinilainya belum selesai.
· Setelah kekerasan massal tahun 1965, ternyata masih saja terjadi kekerasan antar
masyarakat...
** Ya, kekerasan setelah tahun 1965 agaknya melebihi jaman Orla. Tapi memang kekerasan
itu gejala umum, semua negara, semua negeri ada kekerasan. Hanya saja, ada kekerasan yang
dapat dikekang oleh adat istiadat. Kalau „kekerasan gaya modern internasional“ itu kan karena
manusia terlepas dari kerangka adat istiadat lama, tapi belum menemukan adat istiadat baru.
Orang itu kalau lepas dari suatu kerangka terus mudah mengikuti egoisme, hawa nafsu.
· Kekerasan itu terjadi karena faktor struktural atau kultural?
** Orde Baru itu lahir dari kekerasan dan memang metodenya adalah kekerasan, paksaan.
Tidak sekeras, misalnya, Hitler, atau Stalin tapi toh intinya itu kekerasan. Lain dengan revolusi
atau Orde Lama generasi ‚28 memang ada kekerasan tapi bukan „struktural“. Jadi revolusi
waktu itu pun selalu mencari jalan damai. Hanya karena Belanda mempergunakan kekerasan
maka dilawan. Tapi secara struktural, revolusi dan Orde Lama itu sendinya, prinsipnya
berunding, perdamaian, non violence. Perjuangan perintisan kemerdekaan jaman Jepang pun
tidak ada kekerasan.
· Bagaimana menjelaskan kekerasan masyarakat yang terjadi sejak ‘65 hingga akhir akhir ini?
Kenapa masyarakat Indonesia mampu melakukan itu?
** Karena bangsa Indonesia itu tidak mempunyai suatu struktur dan sistem mengajukan
pendapat pribadi atau mengeluarkan uneg-uneg itu tidak ada. Ya masyarakat dan negara.
Masyarakat juga terkekang, kalau ada yang punya pendapat lain dengan teman-teman di
kampung ya dipukuli. Jadi dari segi masyarakat, pergaulan sehari hari, berpendapat lain itu
musuh. Agama juga begitu, „Kalau bukan agama saya berarti musuh.“ Kalau negara dan
masyarakat saling memperkuat suasana ketakutan yang timbul dari kekerasan fisik maupun
psikis, lalu suatu ketika meledak, atau orang lari. Banyak orang lari; daripada mengamuk,
minggat. Sekarang yang lari itu siapa? Kaum yang punya duit, ijasah tinggi, punya
kemampuan itu lari ke luar negeri; yang tidak suka sama Orde Baru itu ya lari.
· Negara sering menyatakan bahwa bangsa Indonesia itu bangsa yang cinta damai « toto
tentren karto raharjo »...
** Itu kan watak bangsa, suka damai. Tapi itu lain dari struktur politik. Cinta damai itu setiap
bangsa, setiap orang. Bangsa kita itu memang cinta damai, tapi cinta damai ini sering
dikacaukan dengan “cinta mengalah”. Jadi, kalau tidak berani, terus mengalah, dongkol tapi
diam. Itu sering disebut cinta damai tapi sebenarnya bukan itu cinta damai. Terus menghindari
konflik atau ya, “jangan ramailah, jangan bikin heboh”, itu belum tentu cinta damai. Jadi cinta
damai bagi bangsa kita itu sebetulnya ideal. Tapi kenyataannya banyak orang yang mengamuk,
terutama akhir-akhir ini.
· Ada kepentingan negara dengan jargon “cinta damai” itu?
** Ya, mestinya begitu. RI itu dulu, jaman revolusi dan Orla, tidak pakai kekerasan. Bahwa
ada orang yang keras, itu memang ada, tapi tidak struktural, tidak sistematis, karena ada arus
top down dan bottom up. Jadi kalau top down melulu, pasti ada kekerasan. Dan kekerasan itu
tidak hanya kekerasan brutal, fisik, tapi juga ada kekerasan batin, mental.
Kalau ada suatu suasana di mana masyarakat takut, dan ketakutan itu tidak hanya di kalangan
bawah tapi juga kalangan menengah, kalangan atas, itu indikator paling jelas ada kekerasan
struktural. Di Orde Lama orang tidak takut. Ada orang menderita, orang lapar, orang
menggerutu, orang protes, orang maki-maki Soekarno, tapi tidak takut. Revolusi juga begitu.
Jaman Belanda itu takut dan sejak tahun 1965. Dan yang takut bukan orang kecil saja; semua
pegawai negeri itu semua kan takut, walaupun menteri atau dirjen ya takut, gubernur takut,
panglima pun takut, profesor juga takut. Nah, itu indikator bahwa iklim kekerasan merajalela.
· Amok itu sebenarnya gejala apa?
** Amok ya karena orang tidak berani; ketakutan yang menumpuk.. menumpuk.. menumpuk.
Gambaran paling tepat itu seperti gunung berapi itu. Laharnya menumpuk.. menumpuk,
kelihatannya „damai, indah“; tapi 10 tahun kemudian meledak. Kalau masyarakat itu seperti
Gunung Merapi ini, laharnya bisa keluar, seperti gunung di Hawai, ya tidak meletus. Tapi
kalau tersumbat seperti Kelud, Semeru, Galunggung; nah, di situlah maka meledak.
· Betulkah Amok itu gejala khas Melayu?
** Di mana-mana amok itu ada. Di Inggris juga ada orang menembaki anak-anak TK, di
Australia juga ada orang yang menembaki orang mandi di pantai. Itu jika orang sedang
frustrasi, seperti vulkan yang menumpuk, tersumbat, tidak ada outlet. Jadi, demokrasi itu
mencegah ledakan amok, itu demokrasi. Kalau tidak demokratis, ya mesti ada amok.
· Apakah tragedi 30 September 1965 itu tergolong amok?
** ‘65 itu ya amok, jelas itu. Jadi jaman Orla itu sampai Soekarno menjadi diktator itu orang
mengeluarkan pendapat tidak takut. Tapi sesudah PKI kuasa, sejak konstituante dibubarkan,
‘59 , itu orang mulai takut. Karena PKI memang keras, walaupun yang keras tidak hanya PKI,
semua pihak keras. Di situlah mulainya terjadi kekerasan.
· Pihak mana lagi yang keras?
** Ya banyak, yang non-PKI juga keras, Soekarno kemudian juga jadi keras, ada Manikebu,
LEKRA, itu kan kekerasan juga. Jadi sejak Soekarno jadi diktator -selalu diktator, ketakutan
dan kekerasan itu suatu tritunggal. Selalu ada diktator, ketakutan dan kekerasan. Nah, mulai
Soekarno jadi diktator, PKI banyak (melakukan) intimidasi, partai lain juga intimidasi, sama
saja terus ketakutan merayap di kalangan masyarakat. Sehingga seperti yang dikatakan Aidit
itu, “Republik kita hamil tua”. Hamil tua apa, tidak jelas. Tapi memang betul istilah Aidit itu.
Ternyata ya itu, meledak kekerasan ‘65.
· Apa ada kesamaan background antara kekerasan massal ‘65 dengan yang baru-baru ini terjadi
beruntun?
** Itu agak lain. Kebanyakan amok akhir-akhir ini rekayasa, bukan massa.
Bukan penduduk asli di situ; datang dengan truk-truk itu kan orang luar. Kalau amok ‘65 itu
kan massa di situ sendiri yang membunuh kawannya sendiri. Tapi yang akhir-akhir ini kan
tidak; yang membakar itu kan bukan orang di situ, didatangkan.
· Seperti Kalbar kan penduduk setempat...
** Lha, itu mungkin. Yang jelas itu Dayak (Sangau Ledo). Kalau Dayak itu memang psikologi
massa. Itu mengamok sungguh, frustrasi, trance. Orang sudah tidak sadar berbuat apa. Seperti
kerasukan. Kalau Dayak yang membunuh Madura itu sungguh kerasukan, bukan dari luar. Itu
memang perselisihan antara Dayak dan Madura. Itu sejarahnya memang mengerikan. Jadi di
sana itu kalau ada proyek yang mengambil biasanya selalu orang Madura, atau orang Banjar
atau orang Jawa. Orang Dayak itu tersingkir.
Suatu ketika ada seorang kepala desa Dayak, yang entah bagaimana kebetulan mendapat
proyek, tapi kemudian dicemburui. Suatu ketika dia, anaknya dan sopirnya bepergian di jalan,
mereka dihadang oleh pihak yang mencemburui itu. Anak dan sopirnya kemudian diculik dan
disembunyikan, tapi sopirnya masih sempat melihat bagaimana bosnya itu dipukul dan
dianiaya. Anak dan sopir ini kemudian disuruh pergi tapi nasib kepala desa ini sudah tidak
jelas. Ini kan sudah lama ada api dalam sekam. Rakyat kemudian menuntut,yaitu paling tidak
ABRI harus mengembalikan jenazah kepala desa yang dibunuh.
Tentu saja ABRI kemudian mencari korban itu. Saya punya sahabat-sahabat pastor di sana,
ABRI datang minta tolong. Sudah ketemu jenazahnya. Nah jenazah itu akan dikembalikan ke
keluarga korban. Keluarga ini sudah didatangi oleh ribuan orang Dayak, berkumpul di desa
korban. Mereka menuntut supaya jenazah ini dikembalikan. Nah, ABRI minta tolong (pada
pastor-pastor) karena tahu situasi gawat, bagaimana mengembalikan jenazah ini. Pastor
sebagai pimpinan agama supaya meredakan suasana. Lalu disiapkan. Ada 10 pastor
mempersiapkan ini. Kemudian menentukan hari untuk mengambil jenazah. Pada hari „H“,
pastor dan beberapa suster naik mobil berangkat ke tempat ABRI seperti yang sudah
disepakati. Sesampai di sana, ada berita dari ABRI itu bahwa jenazah sudah dipulangkan ke
desa. Nah, pastornya terkejut. „Waduh gawat, sungguh gawat,“ gitu. Kemudian rombongan
pastor ini dengan mobil ngebut ke desa itu. Persis pada saat rombongan pastor ini sampai di
desa itu, peti jenazah kepala desa itu sedang dibuka oleh penduduk Dayak.
Ketika penduduk membuka peti, ternyata mayatnya penuh lumpur, belum dibersihkan,
tangannya sudah tidak ada, kepalanya sudah putus tapi dijahit lagi, dan yang gawat itu
kemaluannya hilang. Sudah; ribuan yang datang itu, pastor sudah tidak mampu untuk
menguasai situasi. Ketika itu kepala keluarga masih bisa mengekang perasaan, kemudian dia
pidato, „Inilah jenazah Ayahanda kepala desa sudah datang, tapi jelas bahwa kami orang-orang
Dayak sudah tidak dianggap sebagai lelaki!“ Langsung ribuan orang itu menjadi semacam
trance sambil mengeluarkan bunyi, „uuu..uuu... uuu..“; itu ribuan. Trance itu bagi kepercayaan
Dayak adalah ketika nenek moyang datang dan manjing (merasuk) kembali pada penduduk
(istilahnya „Tariu“). Kalau sudah demikian, orang Dayak sudah lupa segala-galanya, tidak
kenal takut, tidak takut mati, terus mengamuk. Mengamuknya luar biasa, berhari-hari. Sampai
polisi dan tentara tidak berani.
Gereja mencoba meredakan itu tapi para panglima bilang, „Ini bukan urusan gereja, ini urusan
Dayak.“ Trance ini bahkan sampai menjalar ke daerah Serawak Malaysia, dan penduduk sana
juga ikut kesurupan dan membantu, tapi distop oleh Malaysia sendiri dan ABRI dengan
menutup perbatasan. Tapi ya pasti ada yang menyusup. Terus berhari-hari, berminggu-minggu
terus terjadi pembunuhan, ribuan, ribuan rumah terbakar.
Tapi masjid tidak ada yang dibakar, dan kalau menemukan Al Quran di rumah orang Madura,
maka Al Quran tersebut dikumpulkan di masjid. Jadi mereka tidak menyentuh barang-barang
yang keramat, masjid aman, mushola aman, kitab-kitab Al Quran ya diamankan di masjid.
Tapi rumah semua dibakar, habis, dibunuh habis. Mereka itu bisa mencium siapa orang yang
Madura. Bis-bis distop, masuk dalam bis, diciumi penumpangnya, „Wah ini Madura!“ diambil
lalu dibunuh. Sesudah ‚65, ya ini yang besar-besaran. Lalu Kopassus didatangkan, tapi tidak
mampu mengatasi. Kemudian mendatangkan bantuan 3 ribu tentara dari Sumatera, terus agak
reda sedikit. Tapi ini belum selesai.
· Apa maksudnya belum selesai?
** Jadi ada 3 tahap, perdamaian (perdamaian pertama itu bagi orang Dayak tidak ada artinya,
hanya formalitas saja), tahap kedua juga belum, tahap ketiga yang trance itu juga belum. Jadi
trance, kesurupan nenek moyang berdasarkan kepercayaan orang Dayak itu namanya „Tariu“.
Kalau sudah „Tariu“ itu roh-roh nenek moyang manjing (merasuk) di situ, mereka mengamuk
dan tidak kenal takut. Teman-teman pastor itu cerita mereka melihat, „Waduh..sudah, menutup
mata tidak bisa lihat, tidak tega“. Orang-orang biasa itu terus membunuh, minum darah
memenggal kepala, makan hati enak saja pada saat itu. Nah, fase „Tariu“ itu sekarang belum
klikmaks. Fase pertama perdamaian itu, bagi orang Dayak tidak berarti apa-apa.
Nah, sekarang mereka berhenti karena ada pemilu tapi mereka tetap membuat senjata,
senapan-senapan. Mereka membuat sendiri senapan itu dan yang dicari sebagai bahan senapan
itu pipa-pipa setir mobil itu menjadi senapan yang besar. Dan pelurunya diambil dari Malaysia,
katanya ada peluru khusus yang besar. Mereka terus produksi senapan. Nah, „Tariu“ ini belum.
Makanya saya pikir, pembakaran hutan di Kalimantan itu apa ya betul hanya dilakukan oleh
perusahaan-perusahaan pemegang HPH?
· Anda mengaitkan kebakaran hutan dengan „tariu“?
** Itu harus diinvestigasi. Apa betul itu seperti kata presiden „Bukan penduduk asli tetapi
perusahaan-perusahaan!“ Biasanya kan kalau secara resmi dibantah itu kan biasanya ada udang
di balik batu. Kok dibantah. Level presiden lho ini, bahwa ada kebakaran hutan itu tidak oleh
penduduk asli. Lha ini bagi kita, „Jangan-jangan justru oleh penduduk asli.“ Tapi bukan karena
mereka berladang pindah-pindah sebagai nomad, itu mereka sudah tahu caranya. Tapi
mungkin pembalasan dendam, kemarahan. Jadi mungkin pembalasan dendam dengan
membakar perkebunan-perkebunan itu.
Secara politis, kalau hal ini dinyatakan karena „Tariu“ itu, sungguh membahayakan dan SARA
dan juga memalukan. Lebih baik kalau perusahaan-perusahaan itu yang dijadikan kambing
hitam saja, netral. Keterangan resmi memang begitu, yang membakar itu perusahaan atau
clearing hutan. Tapi saya pikir, kalau perusahaan-perusahaan besar itu, ya apa mereka sebodoh
itu dalam membakar hutan. Karena mereka sudah berpengalaman berpuluh-puluh tahun
membakar hutan, apa ya seperti ini sampai jalan, sungai pun penuh dengan asap. Jangan-
jangan yang membakar hutan itu penduduk (orang Dayak) yang „Tariu“. Mereka itu kan sudah
berpuluh-puluh tahun dendam karena perkebunan-perkebunan dari konsesi-konsesi HPH.
Makanya ketika dijelaskan oleh koran bahwa presiden mengatakan bahwa yang membakar itu
bukan penduduk, malah saya curiga, kok sampai presiden, wong Sarwono saja belum
ngomong, kok presiden sudah mendekritkan bahwa itu bukan penduduk.
· Sarwono menyebut beberapa perusahaan sebagai pihak yang telah melakukan pembakaran,
tapi anehnya perusahaan itu menurutnya tak bisa dilacak alamatnya....
** Makanya itu, karena kok presiden sendiri langsung mengatakan bahwa ini bukan penduduk.
Lho.. bagi saya dalam kaitan dengan „Tariu“ tadi, rupa-rupanya ya pembalasan dendam orang
Dayak. Kalau perusahaan ya aneh, bunuh diri itu namanya. Lagian kayunya dijual kan masih
bisa, kok dibakar. Ya saya tidak mengatakan pasti, tapi saya curiga.
· Apa tindakan untuk menghilangkan kekerasan massa?
** Ya, demokratisasi itu ditangani serius. Orang bisa bicara, ketakutan-ketakutan itu harus
dihilangkan. Jangan sampai takut mengutarakan pendapat, itu satu satunya jalan
menggemboskan insting-insting yang terpendam, yang mendongkol itu. Orang itu kalau sesak
harus berteriak, kalau berteriak tidak boleh, ya membunuh nantinya.
· Bagaimana kalau lebih mengefektifkan lembaga perwakilan rakyat?
** Kalau sistem politiknya berubah ya bisa. Kalau sistemnya begini ya tidak bisa, wong semua
takut kok. Kalau semua takut ya bagaimana? Jadi harus struktur yang efektif menghilangkan
ketakutan. Kalau orang takut terus, ya ndongkol terus, wong takut.
· Apakah aparat militer yang kuat selalu meredam gejolak kejengkelan masyarakat?
** Tidak mungkin, 200 juta orang kok. Kalau ketel dikompor masih bisa, tapi kalau
masyarakat itu tidak seperti ketel. Masyarakat itu kalau sudah out of control, sudah habis.
Seperti orang mengamuk, bisanya kalau sudah membunuh ini-ini lalu sadar kemudian dia
nangis.
<bersambung
www.munindo.brd.de
Kekejaman & kekerasan struktural di era Soeharto(9/9)
Received on Wed Aug 12 09:33:00 MET DST 1998
----------------------------------------------------------
Suara INDEPENDEN, No 11/III/September 1997
TOPIK UTAMA
Orde Baru lahir dengan genangan darah dan airmata. Inilah sejarah hitam pembantaian massal
yang menumpuk ketakutan. Tapi sampai kapan ketakutan mampu ditahan?
-----------------------------
Tahun 1965 bagi Indonesia sungguh menyayat hati. Apa yang kita rayakan sebagai hari
“Kesaktian Pancasila” sesungguhnya adalah saling bunuh saudara sebangsa. Terlepas dari
siapa yang benar ; Soekarno? Soeharto? TNI AD? PKI? atau partai dan ormas saat itu?
Peristiwa itu berbuntut ajal yang tak pasti jumlahnya. Mereka dituduh PKI, sebagian memang
PKI, tapi sebagian lain tak tahu apa-apa, termasuk ibu-ibu dan anak-anak.
Berapa yang mati? Angka resmi pertama yang diumumkan di akhir 1965 adalah 78.832 jiwa.
Perinciannya; korban di pihak PKI di Bali 12.500, Jawa Timur 54.000, Jawa Tengah 10.000,
Sumatra Utara 2.000, sementara korban non PKI yang dibunuh orang-orang PKI tercatat 328
orang. Itu hasil Komisi Pencari Fakta dengan anggota 9 orang yang dibentuk Soekarno. Tapi
dari wawancara John Hughes tahun 1968 dengan salah satu anggota Komisi, angka yang benar
adalah 780.000 jiwa (baca: tujuh ratus delapan puluh ribu jiwa). Oei Tjoe Tat, Menteri Negara
d/p Presidium Kabinet yang juga anggota Komisi, saat ditanya Bung Karno usai penyampaian
laporan resmi menjawab 500.000 atau 600.000 korban.
Memang angka resmi baru kemudian muncul setelah Kantor Berita Antara menyatakan ada
500.000 orang yang mati. Laksamana Soedomo dalam wawancara resmi tahun 1977 dengan
wartawan Newsweek, Bernard Krisher, mengaku ada setengah juta korban dibunuh. Begitu
banyak orang PKI yang mati dilatari dendam warga non PKI karena aksi sepihak, kampanye
PKI yang begitu provokatif, hingga penculikan dan pembunuhan terencana oleh aktivis PKI.
Di samping itu, pemuda-pemuda anti PKI dilatih dua-tiga hari oleh Pasukan RPKAD yang
dipimpin Sarwo Edhie, lalu dilepas untuk menggerakkan masyarakat di bawah gerakan Komite
Aksi Pengganyangan.
Pembunuhan massal
Seperti mendapat pembenaran dengan maraknya demonstrasi anti PKI dan berita-berita media
massa yang menyiarkan betapa kejamnya PKI membunuhi para jendral. Koran-koran terbitan
Angkatan Darat, seperti Angkatan Bersenjata dan Berita Yudha, koran Kristen Sinar Harapan,
dan koran umum seperti Duta Masyarakat dan Mingguan Berita, menyiarkan kekejian PKI dan
ormas-ormasnya yang membunuhi para jendral dengan silet, sabit, sundutan rokok, dengan
diiringi tarian cabul para Gerwani sampai memotong alat vital korban. Sedangkan menurut
otopsi dokter yang diperintahkan Soeharto, para jendral mati karena tembakan, sama sekali tak
ada luka pukulan atau akibat senjata tajam, sedangkan lebam di kulit diakibatkan benturan saat
korban dijatuhkan ke sumur Lobang Buaya (Anderson, 1987). Tapi dendam dan
pengkondisian anti PKI terlanjur menyulut pembantaian. Cara-cara yang digunakan sering di
luar nalar, sampai Mayjen Achmadi -Menteri Penerangan yang juga anggota Komite Pencari
Fakta- mengucap, “Wah terlalu, kok bangsaku bisa begitu kejam”. Di Jakarta, menurut pelaku,
mereka menjerang air dalam drum sampai mendidih. Seorang aktivis IPPI (Ikatan Pemuda
Pelajar Indonesia) diikat dengan kepala di bawah lantas dicelupkan ke air yang menggelegak
itu. Saat diangkat, kulitnya melepuh, sebagian terkelupas matang, dan kedua bola matanya
meletup. Sebuah keluarga, suami-isteri dan anak-anak, semuanya dibunuh. Jenazah seluruh
keluarga ditusuk dengan sebatang bambu, masuk dari dubur dan keluar pada kerongkongan,
kemudian diarak berkeliling untuk tontonan umum.
Di Jawa Tengah, menurut fakta yang ditemukan H.J. Princen, 800 orang dibunuh massal
dengan pukulan batang-batang besi ke kepala. Pembantaian itu terjadi setelah dua bulan
penggulungan atas orang-orang yang dinyatakan sebagai komunis, yang sebelumnya
dijebloskan dalam kamp-kamp tahanan di Purwodadi, Gundi dan Kuwu.
Interogator dari Batalyon 404 dan 409 menggunakan listrik untuk menstroom alat vital para
tahanan demi mengorek info gerakan bawah tanah PKI. Saksi mata mengatakan pada Princen
bahwa Let.Kol. Tedjo Suwarno adalah orang yang memerintahkan pembantaian massal di
Purwodadi. Para pemuka umat diancam agar tidak lapor ke Semarang. TNI AD membantah
bahwa telah terjadi pembantaian massal di Jawa Tengah. Panglima Kodam VII (kini IV)
Mayjen. Surono mengatakan bahwa para tahanan ditembak saat hendak melarikan diri.
Sementara yang lainnya mati karena bunuh diri dipenjara.
Massa PKI di Jawa Tengah dan DIY memang cukup besar. Di Yogya, Kol. Katamso dan
Let.Kol. Sugijono mati dibantai PKI. Oleh sebab itu Kol. Sarwo Edhie Wibowo meminta
Soeharto agar pasukannya (RPKAD) dikonsentrasikan di Jawa Tengah. Sarwo Edhie terkenal
berdarah dingin. Ia pernah memerintah langsung eksekusi atas perempuan-perempuan yang
dituduh Gerwani. Ketika penduduk desa kasak-kusuk tak puas atas pembunuhan itu, seluruh
desa disukabumikan.
Di Jawa Timur, Gatot Lestario (tokoh PKI) sebelum dieksekusi sempat membeberkan
pembelaan di pengadilan (banyak eksekusi kasus PKI tanpa pengadilan) betapa „inovatif“,
„kreatif“ dan „kompetitif“ para algojo terhadap korban-korban mereka. “Sadisme dan
penyiksaan tak manusiawi yang tak terperikan,” gugat Gatot, “Menyertai pembantaian-
pembantaian massal. Keluarga-keluarga secara keseluruhan dihabisi, di mana anak-anak satu
demi satu dibunuh di depan mata orang tuanya hingga akhirnya tiba giliran sang ayah. Seorang
perempuan dibunuh dalam keadaan hamil. Perempuan-perempuan dengan anak-anak di
pinggul mereka dibunuh di pesisir-pesisir sungai. Ada kompetisi dilakukan dalam
pembunuhan, siapa yang terbaik membelah dalam sekali bacok dari atas ke bawah akan
memperoleh hadiah ekstra (ini terjadi di Singosari). Banyak pembunuhan terjadi di pesisir-
pesisir sungai, agar dengan demikian orang tak perlu lagi menggali kuburan. Kepala-kepala
yang telah dipenggal digantungkan di pasar-pasar, di depan rumah, di pinggir jalan, beberapa
di antaranya dilabur dengan kapur. Mayat-mayat perempuan dengan bayi susuannya
mengapung di Kali Brantas dan di sungai Bengawan Solo, di Bojonegoro banjaran mayat-
mayat diikat satu menjadi rakit. Pada sebuah jembatan di lingkungan Babat yang telah
berfungsi sebagai rumah potong manusia, aliran dari gumpalan-gumpalan darah membuktikan
betapa banyak orang yang telah dibunuh di situ. Sejumlah korban dibunuh secara perlahan-
lahan, dengan cara memotong anggota-anggota badannya satu demi satu, yang lainnya dipaksa
terjun ke dalam parit untuk ditanam di situ hidup-hidup...”
Di Jawa Barat, menurut John Hughes (Indonesian Upheaval) dan Robert Cribb (The
Indonesian Killings), kekerasan massa tidak merajalela kecuali di Indramayu, antara Subang
dan Cirebon. Meski dekat dengan pusat kekuasaan, pendukung PKI di daerah ini relatif sedikit.
Hanya di Indramayu PKI punya massa karena wilayah ini selalu miskin. Alasan lain, dendam
terhadap orang-orang PKI tidak begitu terasa di Jawa Barat. Meski bukan berarti tak ada
kebengisan, seperti pengiriman kepala tanpa badan seorang tokoh PKI kepada keluarganya di
rumah.
Di Aceh, pengganyangan dikomandani Kolonel Ishak Djuarsa. Semua orang PKI di Aceh
binasa, tidak hanya kader-kader tapi juga seluruh keluarga, bahkan para pembantu-pembantu
rumah mereka. Di Medan, kantor SARBUPRI/SOBSI diserang saat ada rapat. Gedung tingkat
tiga itu disiram bensin dan dibakar. Para aktivis serikat buruh yang panik mencoba
menyelamatkan diri. Tapi begitu keluar dari pintu, mereka segera disambut dengan
berondongan peluru atau keroyokan orang ramai. Melihat tak ada lagi jalan keluar kecuali
maut, sebagian menyelimuti tubuh dengan bendera serikat buruh atau spanduk merah dengan
menyerukan slogan „Hidup SARBUPRI, Hidup SOBSI,“ lalu terjun ke jilatan api. Tindakan
itu makin menyulut kemarahan penyerbu yang banyak di antaranya adalah aktivis Pemuda
Pancasila, sehingga korban yang terbakar itu diseret dari api, kepalanya dipenggal dan
ditendang-tendang bagai bola mainan.
Di Bali, pembunuhan massal berlangsung tak kalah mengerikan. „Teror massa“, sebuah term
yang populer di Rusia jaman Stalin, justru dirasakan orang-orang PKI. Mereka dengan
perasaan takut dan tiada harapan menyerahkan diri untuk diapakan saja oleh penguasa. Hal ini
dilakukan untuk menghindari siksa aniaya oleh massa lawan politiknya.
Sebulan setelah peristiwa 1 Oktober 1965, Gubernur Bali, Sutedja (tokoh PKI) masih
berkuasa. Ketika ditanya Bung Karno di hadapan Sabur, Chaerul Saleh, dan pejabat lain,
apakah dia PKI? Sutedja menjawab bahwa itu hanya fitnah belaka. Para pejabat Bali yang
punya sangkut paut dengan PKI mulai cuci tangan. Saat itu kabar tentang pembantaian di Jawa
Tengah dan Timur telah santer terdengar di Bali.
Rakyat menunggu ABRI. Tapi rupanya pimpinan ABRI di Bali, khususnya Pangdam
Sjafiuddin pun menunggu siapa yang akan menang di Jakarta. Sebetulnya istri Sjafiuddin
sendiri adalah simpatisan Gerwani. Ketua DPRGR I Gusti Media, Ketua Bamumas I Gede
Puger, Ketua Lembaga Pariwisata Ida Bagus Komjang juga tokoh-tokoh PKI.
Namun ketika gelagat Bung Karno kalah kian menguat, para pejabat itu mulai menghilangkan
jejak. Dan pembunuhan, adalah jalan paling cepat dan aman sebab orang mati tidak akan bisa
bersaksi. Orang-orang Nasakom yang berkuasa di Bali ingin menunjukkan bahwa merekalah
yang paling anti PKI dan paling Pancasilais.
Wedagama (tokoh PNI) menghasut rakyat bahwa membunuh PKI dibenarkan oleh Tuhan dan
tidak akan disalahkan hukum. Wijana, yang mengaku masih kerabat Bung Karno, menyatakan
bahwa mengambil barang-barang PKI bukanlah pekerjaan yang melanggar peraturan.
Pembakaran rumah orang PKI dianjurkan sebagai warming up. Dan akhirnya pembunuhan itu
pun berlangsung di seluruh pelosok Pulau Dewata. Menurut Soe Hok Gie yang menggunakan
nama samaran Dewa dalam tulisannya di Mahasiswa Indonesia (Des’67), pembunuhan massal
di Bali telah memakan korban sedikitnya 80.000 jiwa. Korban material tak terhitung.
Sementara itu pemerkosaan terhadap mereka yang dituduh anggota Gerwani merajalela.
Widagda, tokoh PNI adik Wedastra Suyasa yang jadi anggota DPRGR Pusat, diketahui umum
telah memperkosa belasan wanita yang dituduhnya Gerwani.
Anak Agung Made Agung, Kepala Djawatan Penerangan Bali diculik dan dibunuh. Terbukti
kemudian pembunuhan itu direncanakan wakilnya yang ingin menduduki jabatan kepala.
Sedangkan Lie Lie Tjien, pengusaha yang jadi kasir PKI, selamat jiwa dan hartanya karena
menyogok Widjana birokrat Bali Utara. Saingan Lie Tjien, Tjan Wie difitnahnya hingga
gudang kopi milik tauke itu diserbu massa dan ratusan ton kopi dibuang berserakan di jalan-
jalan Singaraja. Tjan Wie pun jadi gila setelah peristiwa itu.
Begitulah..., fitnah, pemerkosaan dan pembunuhan massal terjadi di berbagai pelosok tanah
air. Indonesia yang „hamil tua“ akhir-nya melahirkan Orde Baru dengan genangan air mata
dan darah. Siapa yang salah, barangkali bukan pertanyaan yang relevan sebab tak
menyelesaikan persoalan. Yang terjadi adalah amok.
“Amok ya karena orang tidak berani, ketakutan yang menumpuk... menumpuk... menumpuk.
Kelihatannya damai, indah, tapi 10 tahun kemudian meledak,” ujar Romo Mangunwijaya.
www.munindo.brd.de
Naskah SUPER SEMAR
Date: 26 Sep 1998 15:08:15 +0700
SURAT PERINTAH
I. Mengingat:
1.1. Tingkatan revolusi sekarang ini, serta keadaan politik baik
Nasional maupun Internasional.
1.2. Perintah harian Panglima Tertinggi Angkatan Bersenjata/
Presiden/Pemimpin Besar Revolusi pada tanggal 8 Maret 1966.
II. Menimbang:
2.1. Perlu adanya ketenangan dan kestabilan Pemerintah dan djalannja revolusi.
2.2. Perlu adanja djaminan dan keutuhan Pemimpin Besar Revolusi, ABRI
dan Rakyat untuk memelihara kepemimpinan dan kewibawaan Presiden/
Panglima Tertinggi/Pemimpin Besar Revolusi serta segala adjaran-adjarannja.
III. Memutuskan/Memerintahkan
IV. Selesai
ttd
SUKARNO
Diketik ulang oleh Gerakan Sarjana Jakarta
26 September 1998 (sesuai ejaan dan penggalan aslinya)
www.munindo.brd.de
BERNAS: Catatan Seputar Supersemar (1)
Received on Mon Aug 31 02:58:09 MET DST 1998
----------------------------------------------------------
Catatan Seputar Supersemar (1)
Panggabean pagi-pagi sudah membantah kesaksian Soekardjo. Ia menyata- kan tidak ikut ke
Istana Bogor pada 11 Maret 1966. Sebaliknya, ia berada di Markas Besar Angkatan Darat
(Mabad). Dan pada pukul 01.00 ia sudah beristirahat.
Bantahan Panggabean itu disampaikan tertulis dalam press release. Meskipun keterangan pers
itu diberikan langsung kepada wartawan yang da- tang, tetapi Panggabean tidak menyediakan
waktu bagi para wartawan untuk tanya jawab.
Menurut mantan Ketua DPA ini, keterangan Soekardjo adalah bohong be- sar. Ia menyatakan
sedih ada mantan perwira (maksudnya Soekardjo) yang ber- moral bejat.
"Mungkin dia sakit mata," kata Panggabean.
Ketika dikonfirmasi balik ke Soekardjo, ayah 9 anak ini teguh pada pendiriannya. Ia
menegaskan, ingatannya masih baik. Dan ia tidak sakit ma- ta. "Tuhan Maha Tahu," ucapnya.
Tentang hal ini Kabid Operasional LBH Yogyakarta A Budi Hartono, SH berpendapat, kalau
Panggabean tidak terima dengan kesaksian Soekardjo, Panggabean harus menggugat. "Tidak
beralasan bila Panggabean tidak mau menggugat hanya dengan dalih kasihan," kata Budi.
Kini, masyarakat harus sabar menunggu penjelasan Jenderal TNI (Purn) M Jusuf. Sebagai salah
satu pelaku sejarah, Jenderal Jusuf belum menje- laskan apa-apa.
Pernah dalam suatu kesempatan mantan Pangab dan Ketua BPK ini mengatakan, suatu saat ia
akan menjelaskan masalah Supersemar. Dari dialah, barangkali kebenaran sejarah dapat
terkuak.
Sebab, beberapa koleganya menilai, Jusuf adalah seorang tentara yang jujur.
Menurut Probo melalui siaran pers, ia tahu persis Panggabean tidak ke Istana Bogor pada 11
Maret 1966. Sebab, pada tanggal itu sekitar pukul 15.00 Panggabean datang ke rumah
Menpangad Letjen TNI Soeharto di Jalan H Agus Salim No 98, Jakarta.
"Siang itu sekitar pukul 11.00 - 12.00 WIB, tamu yang datang menemui Pak Harto adalah M
Jusuf, Basuki Rachmat dan Amir Machmud yang melaporkan akan menemui Bung Karno di
Istana Bogor.
Panggabean datang ke Jalan H Agus Salim sekitar pukul 15.00 WIB hari itu," jelas Probo.
Waktu itu, Panggabean tidak bertemu Soeharto, karena Soeharto tidur dan perlu istirahat karena
masuk angin.
Sementara itu, mantan Kassospol ABRI Letjen TNI (Purn) Bambang Tri- antoro tidak
membantah ada pemaksaan terhadap Presiden Soekarno agar me- nandatangani naskah
Supersemar. Waktu itu, keadaan memang sudah sangat mendesak dan perlu ada kekuasaan
yang bisa mengatasi kondisi Jakarta.
Meskipun yakin ada pemaksaan, Bambang tidak yakin kalau Jenderal Basuki Rachmat dan
Jenderal Panggabean menodong Bung Karno dengan pistol. "Memang, bisa dikatakan ada
pemaksaan, karena Bung Karno saat itu tidak mau menandatangani," kata Bambang di
Semarang Kamis (27/8).
Bambang mengaku mengenal betul watak Panggabean dan almarhum Basuki Rachmat.
"Mereka orang-orang yang lembut dan tidak pernah kasar. Jadi, Pak Basuki dan Panggabean
tidak mungkin mengangkat pistol menodong Bung Karno." Pada tanggal 11 Maret 1966, kata
Bambang Triantoro, negara memang sedang kacau. Dan Bung Karno berada di Bogor. Jadi
diperlukan kekuasaan untuk mengatasi keadaan yang kacau. Sehingga, lahirlah Supersemar.
"Supersemar hanya memberikan kuasa kepada Soeharto selaku Panglima untuk operasi
keamanan.
Kalau terjadi perkembangan politik, kemudian Sidang Istimewa MPR mengangkatnya menjadi
presiden, itu bukan lagi Supersemar. Itu Tap MPR," jelas Bambang.
Bahwa Supersemar bukan untuk pengalihan kekuasaan, sejalan dengan apa yang disampaikan
Bung Karno sebagaimana dikisahkan Soekardjo.
Mepat jenderal, Soekardjo mengatakan, "Ya sudah, kalau memang saya harus menyerahkan
kepada Harto. Tapi kalau situasinya sudah baik, mandat ini kembalikan pada saya." (put -- dari
berbagai sumber).
BERNAS 30/8/98
www.munindo.brd.de
BERNAS: Catatan Seputar Supersemar (2)
Received on Mon Aug 31 02:58:06 MET DST 1998
----------------------------------------------------------
Catatan Seputar Supersemar (2)
SEJAK Gerakan 30 September 1965 meletus, situasi politik dalam negeri Indonesia
memang terus memanas. Bukti-bukti menunjukkan bahwa PKI berada di balik peristiwa
ini. Namun, Presiden Soekarno kokoh berpendirian bahwa komunis tidak dapat
dienyahkan dari Indonesia.
Sesuai dengan surat yang dikirim kepada Presiden Soekarno melalui kurir, DN Aidit
menyarankan agar Presiden Soekarno mengambil langkah- langkah untuk hanya
menindak anggota-anggota PKI yang terlibat di dalam Gerakan 30 September saja. Apa
yang dilakukan Presiden Soekarno setelah ga- galnya G-30-S/PKI adalah mengarah
kepada menyelamatkan organisasi PKI dan paham komunisme sebagaimana diinginkan
Aidit.
Sikap dan tindakan Bung Karno itu antara lain terlihat dari pidatonya pada peringatan
HUT Trikora di Istora Senayan pada 21 Desember 1965. ".... Gestoknya harus kita
hantam, tapi komunisnya tidak bisa, karena ajaran komunis itu adalah hasil keadaan
obyektif dalam masyarakat Indonesia se- perti halnya nasionalis dan agama."
".... Nasakom telah kutulis sejak aku berumur 25 tahun dalam tahun 1926, dan ini akan
kupegang teguh sampai aku masuk ke liang kubur." ("Buku Putih" hal 151).
Sikap dan tindakan Bung Karno itu telah menyulut tekad rakyat agar PKI dibubarkan.
Pada 15 Januari 1966, Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) mencetuskan tiga
tuntutan yang dikenal sebagai Tritura (Tri -- tiga -- Tuntutan Rakyat). Inti Tritura adalah,
bubarkan PKI, bersihkan Kabinet dari unsur-unsur G-30-S/PKI dan turunkan harga-harga.
Tuntutan tersebut didukung kesatuan-kesatuan aksi yang lain.
Situasi menjadi semakin panas ketika pada 17 Januari 1966, Dr Soebandrio sebagai Wakil
Perdana Menteri I menganjurkan agar teror dihadapi dengan teror. Pada tanggal 25
Februari 1966 Presiden Soekarno membubarkan KAMI.
Buntutnya, pada 8 Maret 1966 terjadi aksi demonstrasi besar-besaran yang ditujukan
kepada Dr Soebandrio yang sikapnya menguntungkan PKI. Lalu pada 9 Maret 1966,
Kedutaan Besar RRC dan Kantor Berita Cina Hsin Hua, men- jadi sasaran demonstrasi,
karena rakyat yakin akan keterlibatan RRC dalam Gerakan 30 September/PKI di
Indonesia.
*** SITUASI yang makin memanas itu, mungkin telah menyebabkan Bung Karno
tegang. Apalagi, ketika Bung Karno memimpin Sidang Kabinet Dwikora pada 11 Maret
1966 di Istana Merdeka Jakarta, terjadi pengepungan istana oleh Angkatan Darat
(RPKAD).
Menteri Panglima TNI Angkatan Darat (Menpangad) waktu itu Letjen TNI Soeharto,
memerintahkan penangkapan sejumlah menteri yang pro PKI.
Langkah Soeharto berawal ketika pada 4 Maret 1966, Soeharto meminta izin Presiden
Soekarno hendak menangkap sejumlah menteri yang dianggap ter- libat G-30-S/PKI, tapi
Presiden Soekarno menolaknya. (Manai Sophiaan: 225).
Menurut Jenderal TNI (Purn) Soemitro, dalam buku otobiografinya yang ditulis
Ramadhan KH, pada minggu kedua Maret, sebelum tanggal 11, ada rapat staf SUAD
yang dipimpin oleh Pak Harto.
Pada rapat itu ada briefing dari Pak Harto dan kami mengadakan analisa mengenai
keadaan yang akhirnya sampai kepada keputusan: kami ingin memisahkan Bung Karno
dari durno-durno"-nya seperti Subandrio dan sejumlah orang dari "Seratus Menteri".
"Jadi Pak Harto waktu itu memutuskan untuk menangkap sebagian dari Kabinet Seratus
Menteri, yang harus dilakukan oleh RPKAD. Bahkan waktu itu saya yang ditugaskan
untuk membuat surat perintahnya. Perintah saya teruskan ke Kostrad dan RPKAD," tutur
Soemitro.
Perintah itu, tambahnya, akan dilaksanakan pada saat ada sidang kabinet di Istana
Merdeka pada tanggal 11 Maret.
Pada saat RPKAD sudah akan mengelilingi Istana hendak menanagkap menteri-menteri
itu, Soemitro yang sedang berada di rumah Jl Iskandarsyah menerima telepon dari
Alamsyah Ratu Perwiranegara. Intinya, Alamsyah diperintah Soeharto untuk memberi
tahu Soemitro agar perintah penangkapan dibatalkan.
Soemitro yang berprinsip, ibarat ludah sudah dikeluarkan pantang di- jilat kembali,
menolak pembatalan penangkapan.
Ketika Bung Karno tengah memimpin sidang kabinet, dia menerima laporan dari Brigjen
M Sabur, Ajudan Senior Presiden. Ia melapor, bahwa ada pasukan yang tidak dikenal
kengelilingi Istana dan ada kekhawatiran pasukan ini akan menyerbu.
BERNAS 31/8/98
www.munindo.brd.de