Anda di halaman 1dari 3

Jenderal Besar 

TNI (Purn.) H. M. Soeharto, (Hanacaraka: ꦯꦸꦲꦂꦠ; IPA: /suːˈhɑːrtɔ/)


(ER, EYD: Suharto; 8 Juni 1921 – 27 Januari 2008) adalah Presiden kedua Indonesia yang
menjabat dari tahun 1967 sampai 1998, menggantikan Soekarno. Di dunia internasional,
terutama di Dunia Barat, Soeharto sering dirujuk dengan sebutan populer "The Smiling Gen-
eral" (bahasa Indonesia: "Sang Jenderal yang Tersenyum") karena raut mukanya yang
senantiasa tersenyum dan menunjukkan keramahan. Meski begitu, dengan berbagai kontro-
versi yang terjadi, ia sering juga disebut sebagai otoriter bagi yang berseberangan dengan-
nya.[1][2][3]
Sebelum menjadi presiden, Soeharto adalah pemimpin militer pada masa Hindia Be-
landa dan Kekaisaran Jepang, dengan pangkat terakhir Mayor Jenderal. Setelah Gerakan
30 September 1965, Soeharto kemudian melakukan operasi penertiban dan pengamanan
atas perintah dari Presiden Soekarno, salah satu yang dilakukannya adalah dengan
menumpas Gerakan 30 September dan menyatakan bahwa PKI sebagai organisasi ter-
larang. Berbagai kontroversi menyebut operasi ini menewaskan sekitar 100.000 hingga 2
juta jiwa, namun jumlah ini patut dipertanyakan karena korban dari Gerakan 30 September
juga banyak.[4][5]
Soeharto kemudian diberi mandat oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara
(MPRS) sebagai Presiden pada 26 Maret 1968 [6] menggantikan Soekarno, dan resmi men-
jadi presiden pada tahun 1968. Ia dipilih kembali oleh MPR pada tahun 1973, 1978, 1983,
1988, 1993, dan 1998. Pada tahun 1998, masa jabatannya berakhir setelah mengundurkan
diri pada tanggal 21 Mei tahun tersebut, menyusul terjadinya kerusuhan Mei 1998 dan pen-
dudukan gedung DPR/MPR oleh ribuan mahasiswa. Ia merupakan orang terlama yang men-
jabat sebagai presiden Indonesia. Soeharto digantikan oleh B.J. Habibie.
Soeharto juga merupakan sosok yang kontroversial karena membatasi kebebasan warga
negara Indonesia keturunan Tionghoa, menduduki Timor Timur, pemaksaan asas tung-
gal Pancasila di berbagai bidang, dan disebut sebagai salah satu rezim paling korup dalam
sejarah dunia modern. Menurut Transparency International, estimasi kerugian negara adalah
sekitar 15–35 miliar dolar Amerika Serikat selama pemerintahannya.[7] Namun, hal ini tidak
berhasil dibuktikan, bahkan Majalah Time kalah dalam gugatan [8] dan usaha lain untuk men-
gadili Soeharto gagal karena kesehatannya yang memburuk. Setelah menderita sakit
berkepanjangan, ia meninggal karena kegagalan organ multifungsi di Jakarta pada tanggal
27 Januari 2008.
Keluarga
Orang Tua

Lukisan Ny Sukirah, Ibu Kandung Soeharto.


Artikel utama: Keluarga Soeharto
Soeharto lahir pada tanggal 8 Juni 1921 dari seorang wanita yang merupakan ibunya, yang
bernama Sukirah di Dusun Kemusuk, Desa Argomulyo, Kecamatan Sedayu, Bantul, Yo-
gyakarta. Kelahiran itu dibantu dukun beranak bernama Mbah Kromodiryo yang juga adalah
adik kakek Sukirah, Mbah Kertoirono. [9]
Dalam autobiografinya, Pikiran, Ucapan dan Tindakan Saya, yang disusun G. Dwipayana,
Sukirah digambarkan oleh Soeharto sebagai ibu muda yang sedang sulit memikirkan
masalah-masalah rumah tangga. Namun, banyak catatan di buku-buku sejarah Soeharto
lain yang banyak menyebutkan Sukirah sedang mengalami masalah mental yang amat sulit.
[10]
 Sebelum Soeharto (yang lahir 8 Juni 1921) berumur 40 hari, Sukirah harus menghadapi
talak suaminya, Kertosudiro.[11]
Kertosudiro, seorang mantri ulu-ulu (pengatur irigasi) miskin yang kelak sebagai ayah Soe-
harto, tidak memainkan peran banyak dalam kehidupan Soeharto. Bahkan, banyak penga-
mat Soeharto, seperti R.E. Elson, beberapa biografer dan orang dekatnya, termasuk mantan
Menteri Penerangan yang dekat dengan Soeharto, Mashuri, meyakini bahwa Kertosudiro
bukanlah ayah kandung Soeharto.[10] Pada tahun 1974, pernah muncul pemberitaan yang
menghebohkan dari majalah gosip bernama ‘POP’ dengan liputan yang menurunkan kisah
lama yang beredar bahwa Soeharto adalah anak dari Padmodipuro, seorang bangsawan
dari trah Hamengkubowono II.[10] Soeharto kecil yang berumur 6 tahun dibuang ke desa dan
diasuh oleh Kertosudiro. Hal ini kemudian dibantah keras oleh Soeharto. Dengan separuh
murka, Soeharto mengadakan konferensi pers di Bina Graha bahwa liputan mengenai asal
usul dirinya yang anak bangsawan bisa saja merupakan tunggangan untuk melakukan sub-
versif. Soeharto dengan caranya sendiri ingin mengesankan bahwa dia adalah anak desa. [10]
Ketidakjelasan asal-usul Soeharto secara genealogi sampai sekarang masih belum terpec-
ahkan.[10] Namun, dari semua itu, bayi Soeharto berada di dunia dengan kondisi keluarga
yang kurang menguntungkan. Sukirah yang tertekan dan senang bertapa pernah ditemukan
hampir mati di suatu tempat karena memaksa dirinya berpuasa ngebleng (tidak makan dan
minum selama 40 hari) di suatu tempat yang tersembunyi, dan hilangnya sempat pernah
membuat panik penduduk desa Kemusuk sehingga para penduduk mencarinya. [10] Sadar
dengan kondisi Sukirah yang kurang baik, keluarga Sukirah akhirnya memutuskan untuk
menyerahkan pengurusan bayi Soeharto kepada kakak perempuan Kertosudiro. [10]
Sukirah menikah lagi dengan Pramono dan dikaruniai tujuh anak, termasuk putra ke-
dua, Probosutedjo.

Anda mungkin juga menyukai