Anda di halaman 1dari 7

Soeharto Dan Peristiwa G30S 1965

Senin, 30 September 2013 | 22:33 WIB 5 Komentar | 23459 Views

Dalam sejarah yang disusun oleh Orde Baru, Gerakan 30 September (G30S)
digerakkan oleh Partai Komunis Indonesia (PKI). Gerakan yang dipimpin oleh Kolonel
Untung itu dituding berniat merebut kekuasaan pemerintahan yang sah.

Namun, tudingan itu tidak pernah terbukti. Bahkan pengadilan Mahkamah Militer Luar
Biasa (Mahmilub), yang mengadili pentolan G30S dan tokoh-tokoh PKI, gagal
membuktikan tuduhan tersebut. Malahan, berbagai kesaksian dan penelitian terbaru
mengenai peristiwa tersebut justru membantah tudingan tersebut.

Kini, setelah Orba runtuh, perlahan-lahan kebenaran terkuak. Keabsahan Soeharto


sebagai ‘pahlawan’ dalam kejadian tersebut mulai dipertanyakan. Belakangan, ada banyak
analisa yang mengaitkan Soeharto dalam G30S tersebut.

Dari berbagai analisa itu, saya menyimpulkan ada tiga hal yang cukup mendasar. Pertama,
Soeharto sudah mengetahui rencana G30S. Kedua, beberapa aktor kunci G30S adalah
anak buah atau, setidaknya, dikenal sebagai ‘orang dekat’ Soeharto. Ketiga, G30S hanya
dalih bagi Soeharto untuk menghabisi PKI dan menggulung kekuasaan Soekarno.

Yang pertama jelas menarik. Informasi bahwa Soeharto sudah mengetahui rencana
G30S berasal dari Kolonel Abdul Latief, salah seorang aktor penting dalam G30S. Dalam
pledoinya Kolonel Latif mengungkapkan, dua hari sebelum peristiwa Gestok, Ia dan
keluarganya mengunjungi keluarga Soeharto. Saat itu, ia sempat menanyakan isu Dewan

1
Jenderal kepada Soeharto. Soeharto mengaku sudah mendengar isu itu dari
anak-buahnya dari Jogja bernama Subagyo. Soeharto menyatakan akan dilakukan
penyelidikan.

Reaksi dingin Soeharto menimbulkan tanda-tanya. Sebagai Panglima Kostrad, yang


bertanggung-jawab atas keselamatan pemerintahan dan Presiden, Soeharto seharusnya
bereaksi aktif terkait laporan tentang rencana kudeta Dewan Jenderal itu.

Selain itu, dalam buku seorang penulis AS, Arnold Brackman, yang berjudul The
Communist Collapse in Indonesia, diungkapkan wawancara dengan Soeharto di tahun
1986. Dalam wawancara itu Soeharto mengatakan, dua hari sebelum 30 September 1965,
anak laki-lakinya yang berusia 3 tahun ketumpahan sup panas dan dibawah ke rumah sakit.
Pada malam 30 September, banyak rekan-rekan Soeharto yang menjenguk, termasuk
Kolonel Latief. Menurut Soeharto, kedatangan Latief malam itu, hanya beberapa jam
menjelang kejadian, adalah untuk menanyakan kesehatan anaknya.

Namun, Latief membantah itu dalam pledoinya. Menurutnya, kunjungannya ke rumah


sakit, selain untuk menjenguk anak Soeharto yang terkena musibah, juga untuk
“melaporkan akan adanya gerakan pada besok pagi harinya untuk menggagalkan rencana
Coup D’etat dari Dewan Jendral.” Dan, kata Kolonel Latif, inisiatif Latief melapor ke
Soeharto itu direstui Kolonel Untung dan Brigjend Soepardjo.

Keterangan Kolonel Latief ini tidak berubah. Namun, penjelasan Soeharto terhadap
pertemuan itu justru berubah-ubah. Pada tahun 1970, dalam wawancara dengan majalah
Der Spiegel Jerman, Soeharto kembali menceritakan kisah pertemuan itu. Saat itu ia
ditanyai oleh wartawan begini: “Mengapa tuan Soeharto tidak termasuk daftar
jenderal-jenderal yang harus dibunuh?” Soeharto kemudian menjawab: “Pada jam 11.00
malam Kolonel Latief, seorang dari komplotan kup itu, datang ke rumah sakit untuk
membunuh saya, tetapi nampak akhirnya ia tidak melaksanakan rencananya karena tidak
berani melakukannya di tempat umum.”

Jelas, keterangan Soeharto berubah-ubah. Sementara keterangan Kolonel Latief tidak


berubah. Dengan sendirinya, kita bisa menyimpulkan siapa yang telah mengarang
kebohongan. Selain itu, jawaban Soeharto dalam wawancara dengan wartawan Der
Spiegel juga tidak masuk akal. Dalam teori manapun, tidak masuk akal seorang perancang
gerakan membuat aksi menghebohkan, yakni membunuh, hanya beberapa jam sebelum
aksi sebenarnya akan dimulai.

Namun, dari uraian di atas kita bisa menyimpulkan. Satu, Soeharto mengetahui perihal
rencana sejumlah perwira Angkatan Darat untuk melancarkan gerakan kontra-kudeta

2
terhadap Dewan Jenderal. Dua, kendati Soeharto mengetahui gerakan tersebut, tetapi
ia tidak mengambil langkah atau tindakan untuk mencegah gerakan itu.

Yang kedua juga cukup menarik. Beberapa analisa sejarah menunjukkan bahwa Soeharto
punya hubungan dekat dengan para pelaku G30S, seperti Kolonel A Latif, Kolonel Untung,
dan Sjam Kamaruzzaman. Baiklah, kita akan membahasnya satu per satu.

Mengenai hubungan Kolonel Latif dan Soeharto, saya mencoba merujuk pada dua
kesaksian, yakni Subandrio dan AM Hanafie. Subandrio adalah Wakil Perdana
Menteri/Menteri Luar Negeri/Kepala Badan Pusat Intelijen di saat peristiwa G30S
terjadi. Sedangkan AM Hanafie adalah bekas aktivis pemuda revolusioner di Menteng 31,
yang pada saat kejadian ditunjuk oleh Bung Karno sebagai Dubes di Kuba.

Menurut Subandrio, Kolonel Latief adalah bekas anak buah Soeharto semasa di Kodam
Diponegoro. Soeharto dan Latief sudah saling-kenal semasa masih di Jogjakarta. Kata
Subandrio, Latief memegang rahasia skandal Soeharto saat serangan umum 1 Maret
1949 di Jogjakarta. Menurut cerita Latief, sementara pasukan kompinya menyabung
nyawa melawan tentara Belanda, Soeharto malah sedang santai makan soto babat.

Pasca kejadian itu, Soeharto-Latief berada di kesatuan berbeda. Soeharto di


Pangkostrad, sedangkan Latief menjadi komandan Brigade Infanteri I Jayasakti Kodam
Jaya. Karena posisi Latief cukup stategis, yakni penanggung-jawab keamanan Jakarta,
Soeharto kembali membangun hubungan dengan Latief. Soeharto mengunjungi Latief dan
keluarganya saat ada acara khitanan anaknya.

Dalam pledoinya Latief juga mengaku kedekatannya dengan Soeharto. “Memang saya
pribadi adalah bekas anak buah beliau (Soeharto) sewaktu menjabat sebagai Dan Kie 100
yang langsung organisatoris dan taktis pada Brigade X pada waktu jaman gerilya,” kata
Latief. Di bagian lain, Latief menambahkan, “Saya sebagai anak buah sekalipun sudah
terlepas dalam ikatan komando dengan Bapak Jendral Soeharto di manapun beliau
berada selalu saya temui. Dengan sendirinya timbul keakraban secara kekeluargaan di
luar dinas.” Bahkan, menurut pengakuan Hanafie, karena rumah Soeharto terlalu kecil, ia
beberapa kali mengupayakan rumah untuk Soeharto.

Sementara versi AM Hanafie, dalam bukunya AM Hanafie Menggugat, menyatakan


bahwa Latief adalah bekas anggota Pesindo (Pemuda Sosialis Indonesia). Pada saat
peristiwa Madiun 1948 meletus, Latief berhasil meloloskan diri. Akhirnya, pasca
kejadian, Latief menggabungkan pasukannya di bawah batalyon Overste Soeharto. Sejak
itulah Latief menjadi anak buah Soeharto.

3
Kemudian relasi Soeharto dan Kolonel Untung. Di sini, saya merujuk pada tiga kesaksian:
Subandrio dan Kolonel Latief. Menurut Subandrio dalam bukunya Kesaksianku Tentang
G30S menceritakan bahwa Untung juga adalah anak buah Soeharto semasa di Divisi
Diponegoro. Sekitar tahun 1950-an, keduanya pisah kesatuan. Namun, di tahun 1962,
mereka disatukan lagi, yakni dalam rangka pembebasan Irian Barat. Saat itu, Soeharto
bertindak sebagai Panglima Komando Mandala untuk pembebasan Irian Barat, sedangkan
Untung menjadi anak-buahnya di garis depan. Saat itulah Untung dikenal sebagai tentara
pemberani. Ia memimpin kelompok pasukan kecil bertempur di hutan belantara Kaimana.

Pasca itu, kata Subandrio, Soeharto dan Untung pisah lagi. Soeharto menjadi
Pangkostrad. Sedangkan untuk ditarik Bung Karno menjadi salah komandan kawal
pasukan Tjakrabirawa. Namun, ungkap Subandrio, tugas baru Untung itu membuat
Soeharto marah. Sebab, Soeharto ingin merekrut Untung menjadi anak-buahnya di
Kostrad. Kendati demikian, Soeharto tetap memelihara Untung. Ketika Untung menikah
di Kebumen, Soeharto dan istrinya menyempatkan datang.

Kolonel Latif dalam pledoinya juga mengakui kedekatan Soeharto dan Untung tersebut.
“Letkol Untung pun juga pernah menjadi anak buah langsung (Soeharto) sewaktu di
daerah Korem Sala yang kemudian Letkol Untung terpilih sebagai salah seorang pimpinan
Gerilyawan yang diterjunkan di Kaimana sewaktu Trikora,” ungkap Latief. Lalu, ia
menambahkan, “Pernah saya dengar dari pembicaraan Letkol Untung sendiri sewaktu
selesai tugas Trikora ia dipindahkan ke Resimen Cakrabirawa, ia katakan dengan
peristiwa itu Jendral Soeharto pernah marah-marah atas kepindahannya ke Resimen
Cakra itu, karena ia akan ditarik sebagai pasukan Kostrad di bawah pimpinan beliau.
Selain itu sewaktu Letkol Untung menjadi temanten di Kebumen Jendral Soeharto juga
memerlukan datang untuk turut merayakan pesta perkawinan.”

Yang menarik dari kesaksian Subandrio, bahwa pada tanggal 15 September 1965, Kolonel
Untung mendatangi Soeharto. Ia menyampaikan perihal rencana kup oleh Dewan Jendral.
Karena itu, ia menyampaikan kepada Soeharto, bahwa pihaknya punya rencana
mendahului gerakan Dewan Jenderal dengan menangkap mereka lebih dulu.

Soeharto menyambut baik rencana Untung itu. “Bagus kalau kamu punya rencana begitu.
Sikat saja, jangan ragu-ragu,” kata Soeharto, sebagaimana dituturkan oleh Subandrio.
Malahan, Soeharto menjanjikan bantuan pasukan untuk mendukung gerakan Untung itu.

Dan sekarang relasi Soeharto dan Sjam Kamaruzzaman. Menurut cerita AM Hanafie,
Soeharto mengenal baik Sjam sejak di Jogjakarta. Sjam dikenal sebagai anggota Pemuda
Pathuk. Ini adalah kelompok pemuda revolusioner hasil didikan Djohan Sjahroezah,

4
seorang aktivis sosialis. Kelompok pemuda inilah yang memprakarsai aksi penyerbuan
markas Jepang di Jogjakarta. Kelompok ini pula yang mendorong Sri Sultan Hamengku
Buwono dan seorang anggota BKR bernama Soeharto untuk berdiplomasi dengan Jepang
agar menyerahkan senjata. Sejak itu, Hanafie meyakini, Soeharto sudah mengenal Sjam.
Saat itu Sjam masih dikenal dengan nama: Syamsul Qamar Mubaidah.

Pasca kejadian itu, Sjam pindah ke Semarang dan bergabung dengan AMKRI-nya Ibnu
Parna. Kemudian, ia menjadi informan polisi pada Komisaris Polisi Mudigdo di Pekalongan.
Sjam juga pernah hadir di Konferensi Pesindo di Surakarta. Ia mewakili pemuda Laskar
PAI (Partai Arab Indonesia). Ketika peristiwa Madiun meletus, Sjam menghilang. Tidak
ada yang tahu dia dimana saat kejadian itu.

Dari Wikana, seorang tokoh PKI, Hanafie mendapat cerita bahwa Sjam lari ke Jakarta.
Tepatnya ke Tanjung Priok. Di sana ia ditemukan oleh Hadiono Kusumo Utoyo, seorang
tokoh pro-Sjahrir. Lalu, atas anjuran Hadiono, Sjam mengorganisir serikat buruh
bernama SBKP (Serikat Burub Kapal dan Pelabuhan). Dari sinilah Sjam berkenalan
dengan Aidit dan MH Lukman.

Namun, kata Hanafie, gara-gara razia Sukiman–razia terhadap orang-orang komunis,


Sjam menghilang lagi. Menurut Hanafir, yang mendapat cerita dari Wikana, pasca
kejadian itu Sjam menjadi informan SESKOAD dengan pangkat Sersan Mayor. Saat itu,
Soeharto juga ditempatkan di SESKOAD pasca mendapat sanksi karena terlibat bisnis
penyelundupan. Di sini, Sjam dan Soeharto kembali dipertemukan.

Di sini, kita mendapatkan adanya klik antara Soeharto-Untung-Latief-Sjam. Subandrio


sendiri dalam kesaksiannya menyebut Soeharto membangun dua klik, yakni klik yang
dikorbankan (Soeharto-Latief-Untung) dan trio yang dilanjutkan (Soeharto-Yoga
Soegama- Ali Moertopo). Dari situ, kita bisa melihat, dua klik inilah yang dimainkan
Soeharto. Klik ‘Untung-Latief-Sjam’ dipakai Soeharto untuk membuat gerakan
kontra-kudeta yang dirancang gagal. Sedangkan klik ‘Soeharto-Yoga Soegama-Ali
Moertopo’ dipakai untuk menumpas G30S, lalu menumpas PKI, dan kemudian menggulung
kekuasaan Soekarno.

Kesaksian Sjam di Mahmilub jelas-jelas menguntungkan Soeharto. Di situ Sjam


membeberkan bahwa semua tindak-tanduknya, termasuk dalam mengorganisir Dewan
Revolusi, adalah atas persetujuan dan perintah DN Aidit. Hal itu dibutuhkan Soeharto
untuk memperkuat dalihnya menumpas PKI sebagai otak G30S.

Dari dua hal di atas, kita menjadi terang untuk memahami kesimpulan ketiga di atas,
bahwa G30S hanya dalih bagi Soeharto untuk menghabisi PKI dan menggulung kekuasaan

5
Soekarno. Kita menjadi tahu kenapa Soeharto tidak dijadikan sasaran penculikan oleh
G30S, karena hampir semua otak G30S adalah anak buah Soeharto sendiri. Selain itu,
pada tanggal 1 Oktober 1965, markas Kostrad tidak dijaga oleh pasukan ‘G30S’.

Pertama, Soeharto mengetahui rencana G30S, tetapi tidak berusaha menghentikannya.


Dengan mengetahui rencana itu, Soeharto menjadi aktor yang paling paham keadaan dan
paling ‘siap’ untuk memainkannya. Dengan membiarkan rencana G30S berjalan, itu sama
saja dengan merestui pembunuhan para Jenderal, termasuk Jenderal A Yani yang saat
itu menjabat Menteri/Panglima Angkatan Darat (Menpangad). Sementara ada konsensus
di AD saat itu, bahwa bila Menpangad berhalangan, maka otomatis Pangkostrad menjadi
penggantinya. Hal inilah yang memudahkan Soeharto untuk mengorganisir serangan balik
terhadap G30S.

Kedua, Soeharto sebetulnya menyadari bahwa G30S hanyalah gerakan internal Angkatan
Darat untuk mencegah kup Dewan Jenderal terhadap Bung Karno. Jadi, Soeharto
mestinya sadar bahwa G30S bukanlah kudeta, melainkan ‘gerakan penyelamatan’ alias
‘kontra-kudeta’. Soeharto juga tahu bahwa yang menggerakkan G30S ini adalah
‘anak-buahnya’. Tetapi kemudian, Soeharto mengarang cerita bahwa G30S digerakkan
oleh PKI untuk merebut kekuasaan Soekarno.

Tudingan bahwa PKI ingin merebut kekuasaan juga cukup janggal. Pertama, PKI dan
Soekarno saat itu berada dalam satu blok, yakni anti-imperialisme. Eksistensi PKI juga
sangat diuntungkan di bawah kekuasaan Soekarno. Kedua, bila ingin merebut kekuasaan,
PKI tidak perlu menggunakan jalur kudeta. Cukup menuntut Pemilu dipercepat. Sebab,
sejak pemilu Dewan Daerah pada tahun 1957, PKI sudah menang besar. Banyak yang
berkesimpulan, kalau ada pemilu saat itu, PKI pasti tampil sebagai pemenang.

Ketiga, kelihatan bahwa G30S dirancang untuk gagal. Kita bisa melihat betapa
amburadulnya gerakan ini melalui evaluasi Brigjend Supardjo yang berjudul “Beberapa
Pendapat Yang Mempengaruhi Gagalnya G30S Dipandang Dari Sudut Militer”: adanya
perwira yang mengundurkan diri, belum adanya kesiapan pasukan, rencana operasi tidak
jelas, dan tidak ada upaya melawan serangan balik Soeharto-Nasution.

Yang juga aneh, gerakan ini awalnya hanya bermaksud untuk menangkap para Jenderal
yang dituding anggota Dewan Jenderal dan menghadapkannya kepada Bung Karno. Namun,
pada prakteknya, sejumlah Jenderal dieksekusi ditempat.

Di sini ada kejanggalan. Pimpinan lapangan operasi penculikan adalah Dul Arief. Menurut
Ben Anderson, Indonesianis dari Universitas Cornell, Dul Arief ini orang yang sangat

6
dekat dengan Ali Moertopo. Malahan, menurut pengakuan Letnan Kolonel Udara
(Purnawirawan) Heru Atmodjo, Dul Arief itu anak angkat Ali Moertopo.

Jadi, dari uraian panjang di atas, kita bisa menyimpulkan bahwa Soeharto punya andil
dalam G30S. Dan, satu hal yang tak bisa dibantah: Soeharto-lah yang paling diuntungkan
dari peristiwa G30S. Kita tahu, Soeharto menjadikan peristiwa itu sebagai dalih untuk
menumpas PKI, membunuh jutaan jiwa rakyat Indonesia yang dituding kader atau
simpatisan PKI, dan memfitnah Bung Karno terlibat G30S sebagai jalan untuk
menggulung kekuasan Soekarno.

Rudi Hartono, pengurus Komite Pimpinan Pusat – Partai Rakyat Demokratik (PRD);
Pimred Berdikari Online

Sumber Artikel:
http://www.berdikarionline.com/soeharto-dan-peristiwa-g30s-1965/#ixzz3nCjx6McL
Follow us: @berdikarionline on Twitter | berdikarionlinedotcom on Facebook

Anda mungkin juga menyukai