Anda di halaman 1dari 5

G30S

indoprogress.com/2007/09/g30s/

September 28, 2007

PADA dini hari menjelang subuh 1 Oktober 1965, sekelompok militer yang kemudian
menamakan diri sebagai Gerakan 30 September, melakukan penculikan terhadap 7
(tujuh) orang Angkatan Darat (AD). Salah satu jenderal yang disasar, Jenderal Nasution,
dapat meloloskan diri. Tapi, pengawalnya, Pierre Andries Tendean, dan putrinya, Ade
Irma Suryani, tewas diterjang peluru.

Keenam orang jenderal teras AD yang diculik dan kemudian dibunuh itu terdiri dari:
Letjen Ahmad Yani (Men/Pangad) , Mayjen Suprapto (Deputi II Men/Pangad), Mayjen
Haryono MT (Deputi III Men/Pangad), Mayjen S Parman (Asisten I Men/Pangad), Brigjen
DI Panjaitan (Asisten IV Men/Pangad), Brigjen Sutoyo (Oditur Jenderal AD).

Pagi-pagi 1 Oktober 1965, sebelum orang mengetahui apa yang sebenarnya terjadi,
Kolonel Yoga Sugomo, Asisten I Kostrad/Intelijen, serta merta menyatakan penculikan
diikuti pembunuhan itu pasti perbuatan PKI. Sementara, RRI Jakarta, pada pukul 07.00,
menyampaikan tentang Gerakan 30 September, di bawah Letkol Untung. Yoga pun
memerintahkan,

1/5
“Siapkan semua penjagaan, senjata, bongkar gudang. Ini PKI berontak”.

Darimana Yoga tahu bahwa perbuatan itu dilakukan PKI? Jangan-jangan Kolonel Yoga,
Kostrad, dan – siapa lagi kalau bukan Jenderal Suharto – telah mengantongi skenario
jalannya drama tragedi yang sedang dan hendak dipentaskan kelanjutannya? Tentu saja
pertanyaan ini amat mengggoda. Dokumen-dokumen rahasia CIA pun, mengungkapkan
berbagai skenario semacam itu dengan diikuti dijatuhkannya Presiden Sukarno sebagai
babak penutup.

Menurut tuduhan dan pengakuan Letkol (Inf) Untung, Komandan Batalion I Resimen
Cakrabirawa, pasukan pengawal Presiden RI yang secara formal memimpin Gerakan 30
September, para jenderal tersebut menjadi anggota apa yang disebut Dewan Jenderal.
Mereka hendak melakukan kudeta terhadap kekuasaan Presiden Sukarno yang sah pada
5 Oktober 1965. Karena itu, Letkol Untung sebagai insan revolusi, sesuai dengan ajaran
resmi yang didengungkan ketika itu, mengambil tindakan dengan menangkap mereka
guna dihadapkan kepada Presiden. Dalam kenyataannya, mereka dibunuh ketika diculik
di Lubang Buaya, Jakarta.

Tentang pembunuhan yang tidak patut ini, terjadi sejumlah kontroversi. Menurut
pengakuan Letkol Untung, hal itu menyimpang dari perintahnya. Dalam hubungan ini,
telah timbul berbagai macam penafsiran yang berhubungan dengan kegiatan intelijen
berbagai pihak yakni, pihak intelijen militer Indonesia, Syam Kamaruzaman sebagai
Ketua Biro Chusus (BC) PKI, intelijen asing, utamanya CIA, dalam arena perang dingin
yang memuncak antara Blok Amerika versus Blok Uni Soviet dengan Blok RRT yang anti
AS maupun Uni Soviet. Menurut pengakuan Syam, pembunuhan itu atas perintah Aidit,
Ketua PKI. Pembunuhan demikian sangat tidak menguntungkan pihak PKI, yang dituduh
sebagai dalang G30S. Karena, dengan mudahnya menyulut emosi korps AD melawan
PKI, sesuatu yang pasti tak dikehendaki Aidit dan sesuatu yang tidak masuk akal.
Dengan dibunuhnya Aidit atas perintah Jenderal Suharto, maka pengakuan Syam yang
berhubungan dengan Aidit sama sekali tak dapat diuji kebenarannya. Dengan begitu,
Syam memiliki keleluasaan untuk menumpahkan segala macam sampah yang
dikehendakinya maupun yang dikehendaki penguasa ke keranjang sampah bernama DN
Aidit.

Banyak pihak menafsirkan, Syam merupakan agen intelijen kepala dua (double agent),
atau bahkan tiga atau lebih. Ini, misalnya, ditengarai dari pengakuannya yang terus-
menerus merugikan PKI dan Aidit. Artinya, dalam posisi sebagai Ketua BC CC PKI, pada
saat bersamaan Syam menjadi agen yang sedang mengabdi pada musuh PKI. Dari
riwayat Syam, ada bayang-bayang buram misterius yang rupanya berujung pada pihak
AD, khususnya Jenderal Suharto. Aidit yang dituduh sebagai dalang G30S, yang
seharusnya dikorek keterangannya di depan pengadilan, segera dibungkam. Keterangan
dirinya tidak akan menguntungkan skenario Mahmillub yang dibentuk atas perintah
Jenderal Suharto, sebagaimana diperankan Syam atas nama Ketua PKI Aidit.

Keterangan Syam, bahwa pembunuhan para jenderal itu, merupakan perintah Aidit, tidak
dapat diuji kebenarannya. Dengan ddemikian, tidak dapat dipercaya. Beberapa pihak di
Mahmillub menyatakan, perintah itu datang dari Syam. Tapi, siapa yang memerintahkan

2/5
dirinya? Pertanyaan ini mau-tidak-mau perlu dilanjutkan dengan pertanyaan, siapa yang
diuntungkan oleh pembunuhan para jenderal itu? Bung Karno tidak, Nasution tidak, Aidit
pun tidak. Hanya ada satu orang yang diuntungkan: Jenderal Suharto! Jika Jenderal Yani
tidak ada, menurut tradisi AD, Suharto-lah yang menggantikannya. Hal ini terbukti dari
kenyataan, ketika Presiden Sukarno menunjuk Jenderal Pranoto sebagai pengganti
sementara pada 1 Oktober 1965, keputusan itu ditentang keran oleh Jenderal Suharto.
Jelas dia berambisi menjadi satu-satunya pengganti yang akan memanjat lebih jauh ke
atas padahal, ketika itu nasib Jenderal Yani cs belum diketahui jelas.

Perlu ditambahkan, rencana pengambilan (penculikan) para jenderal telah diketahui


beberapa hari sebelumnya serta beberapa jam sebelum kejadian berdasarkan laporan
Kolonel Abdul Latief, bekas anak buah Suharto yang menjadi salah seorang penting
dalam G30S. Jenderal Suharto, sebagai Panglima Kostrad, tidak mengambil langkah apa
pun, justru hanya menunggu. Kenyataan ini membuat kecewa dan dipertanyakan salah
seorang bekas tangan kanan Suharto yang telah berjasa mengepung Istana Merdeka
pada 11 Maret 1966, Letjen (Purn) Kemal Idris. Masih dapat ditambahkan lagi, keenam
jenderal yang dibunuh tersebut memiliki riwayat permusuhan internal dengan Suharto,
karena tindakan korupsinya sebagai Panglima Kodam (Pangdam) Diponegoro.

Ada fakta sangat keras, dua batalion AD dari Jateng dan Jatim yang didatangkan ke
Jakarta dengan senjata lengkap dan peluru tajam yang kemudian mendukung pasukan
G30S. Kedua batalion ini bergerak atas perintah Panglima Kostrad Mayjen Suharto, yang
diinspeksinya pada 30 September 1965 jam 08.00. Tentunya, dia pun mengetahui
dengan tepat kekuatan dan kelemahan pasukan tersebut beserta jejaring intelijennya. Di
samping adanya tali-temali dengan intelijen Kostrad lewat tangan Kolonel Ali Murtopo.
Tentu saja masalah ini tak pernah diselidiki karena, jika dilakukan dapat membuka kedok
Suharto di depan korps TNI AD saat itu. Mungkin saja jejaring Suharto yang telah
melumpuhkan logistik kedua batalion tersebut, hingga Yon 530 dan dua kompi Yon 434
melapor dan minta makan ke markas Kostrad pada sore hari 1 Oktober 1965. Kedua
pasukan ini bersama pasukan Letkol Untung, dihadapkan pada pasukan RPKAD. Itulah
sejumlah indikasi kuat keterlibatan Jenderal Suharto dalam G30S. Ia bermain di dua kubu
yang dia hadapkan dengan mengorbankan 6 jenderal.

Lalu siapa yang diuntungkan dengan dibunuhnya Aidit? PKI dan Bung Karno pasti tidak.
Lawan-lawan politik PKI jelas senang (meski ada jyang kemudian menyesalkan, kenapa
tidak dikorek keterangannya di depan pengadilan). Di puncaknya ialah Jenderal Suharto,
yang memang memerintahkannya. Jika Aidit diberi kesempatan bicara di pengadilan,
maka dia akan mempunyai kesempatan membeberkan peran dirinya dalam G30S yang
sebenarnya. Bukan sekedar menelan keterangan Syam di Mahmillub sesuai dengan
kepentingan Suharto cs. Tapi, jika ini berlaku, resikonya skenario yang telah tersusun
akan kacau.

Sejak 4 Oktober 1965, ketika dilakukan penggalian jenazah para jenderal di Lubang
Buaya, disiapkanlah skenario yang telah digodok dalam badan intelijen militer untuk
melakukan propaganda hitam terhadap PKI. Rangkaian propaganda hitam itu dimulai
dengan pidato fitnah Jenderal Suharto tentang penyiksaan kejam dan biadab, Lubang
Buaya sebagai wilayah AURI. Hari-hari selanjutnya dipenuhi dengan dongeng horor

3/5
fitnah keji tentang perempuan Gerwani, yang menari telanjang sambil menyilet kemaluan
para jenderal dan mencungkil matanya. Ini semua bertentangan dengan hasil visum
dokter yang dilakukan atas perintah Jenderal Suharto sendiri yang diserahkan kepadanya
pada 5 Oktober 1965. Kampanye hitam terhadap PKI, terus-menerus dilakukan secara
berkesinambungan oleh dua koran AD Angkatan Bersendjata dan Berita Yudha, RRI dan
TVRI yang juga telah dikuasai AD, sedang koran-koran lain diberangus. Ketika sejumlah
koran lain diperkenankan terbit, semuanya harus mengikuti irama dan pokok arahan AD.
Seperti disebutkan dalam studi Dr Saskia Eleonora Wieringa, mungkin tak ada rekayasa
lebih berhasil untuk menanamkan kebencian masyarakat daripada pencitraan Gerwani
(gerakan perempuan kiri) yang dimanipulasi sebagai “pelacur bejat moral.” Kampanye ini
benar-benar efektif dengan memasuki dimensi moral religiositas manusia Jawa,
khususnya kaum adat dan agama.

Setelah lebih dari dua minggu propaganda hitam terhadap PKI dan organisasi kiri lain
berjalan tanpa henti, ketika emosi rendah masyarakat bangkit dan mencapai puncaknya
dengan semangat anti komunis anti PKI yang disebut sebagai golongan manusia anti-
agama dan anti-Tuhan, kafir dst yang darahnya halal. Dan situasi telah matang dan tiba
waktunya untuk melakukan pembasmian dalam bentuk pembunuhan massal. Itulah yang
terjadi di Jawa Tengah setelah kedatangan pasukan RPKAD di bawah Kolonel Sarwo
Edhie Wibowo, sesudah minggu ketiga Oktober 1965. Menyusul Jawa Timur pada
minggu berikutnya dan Bali pada Desember 1965/Januari 1966. Sudah sangat dikenal
pengakuan Jenderal Sarwo Edhie, yang membanggakan telah membasmi 3 juta jiwa
manusia.

Dalam khasanah sejarah G30S, ada gambaran yang disesatkan. Disebutkan, saat itu
situasinya antara ‘dibunuh atau membunuh’ seperti dalam perang saudara. Ini sama
sekali tidak benar, tidak ada buktinya. Hal ini dengan sengaja diciptakan sesuai dengan
kepentingan rezim militer Suharto, guna melegitimasi kekejaman mereka. Situasi telah
dimatangkan oleh propaganda hitam pihak militer di bawah Jenderal Suharto, beserta
segala peralatannya yang menyinggung nilai-nilai moral dan agama tentang perempuan
sundal Gerwani, sebagai yang digambarkan dalam dongeng horor Lubang Buaya. Emosi
ketersinggungan kaum agama beserta nilai-nilai moralnya, dikerek sampai ke puncaknya.
Tujuannya, untuk menyulut dan memuluskan pembantaian anggota PKI dan kaum kiri
lainnya, yang disebut sebagai kaum kafir.

Setelah seluruh organisasi kiri, utamanya PKI, dihancurlumatkan, sisa-sisa anggotanya


dipenjara, tiba waktunya untuk menghadapi dan menjatuhkan Presiden Sukarno, yang
kini dalam keadaan terpencil karena diisolasi. Dikepunglah Istana Merdeka oleh pasukan
AD di bawah pimpinan Kemal Idris, pada saat Presiden Sukarno sedang memimpin rapat
kabinet yang tidak dihadiri Jenderal Suharto pada 11 Maret 1966. Hasil pengepungan itu,
telah kita ketahui bersama: Supersemar. Kudeta merangkak ini dilanjutkan dengan
pengukuhan Jenderal Suharto sebagai Pejabat Presiden (sesuatu yang menyimpang dari
UUD 1945, tak satu pun pakar yang berani buka mulut ketika itu), selanjutnya sebagai
Presiden RI.

4/5
G30S di bawah pimpinan Letkol Untung, dirancang untuk gagal. Ada rancangan lain yang
tidak pernah diumumkan alias rancangan gelap. Sejarah selanjutnya, adalah cerita
tentang pemberontakan PKI dan kepahlawanan Suharto. Misalnya, untuk melegitimasi
segala tindakan dan memperkokoh kedudukannya, rezim militer Orba menamakan
gerakan Letkol Untung tersebut dengan G30S/PKI. Pendeknya nama keduanya saling
dilekatkan. G30S ya PKI, bukan yang lain.

Di sepanjang kekuasannya, rezim ini terus-menerus tanpa henti mengindoktrinasi dan


menjejali otak kita semua, kaum muda dan anak-anak sekolah dengan kampanye ini.
Ketika studi sejarah di Indonesia tak lagi bisa dikekang, banyak pakar menolak kesahihan
penyebutan tersebut. Studi netral hanya menyebut Gerakan 30 September (G30S).
Dasarnya adalah pengumuman gerakan di RRI Jakarta, pada pagi hari 1 Oktober
1965.***

Harsutejo

5/5

Anda mungkin juga menyukai