Dardiri)
ABSTRACT
This article has successfully aroused the violence of human’s right (HAM) by
communists in the era of ironical HAM afterwards. Such a violence happens in the
form of political force in the course of stricking, imprisoning, torturing, and kill-
ing. Of those motives above, the forces can actually be traced back to its roots,
marxis ideology. According to Galtung, it is an ideology as the cause of such vio-
lence. He exemplifies with the case that most people have done killing for the sake
of ideology. This novel presents an episode significant for the Indonesian historical
background, G30S/PKI. The Indonesian Communist Party (PKI) force aimed to
internalize its ideology in a country, has a great deal of its victims in the nation.
Their violence is far from humanity principles. This case is illustrated by an author
by presenting symbolic Moslem characters as the victims of PKI violence.
153
Kajian Linguistik dan Sastra, Vol. 18, No. 35, 2006: 153-163
menjadi latar belakang (setting) penciptaan Dalam artikel di majalah Prisma, Ariel
novel. Jelas sekali bahwa karya sastra bukan- Heryanto (1988: 4-7) menyatakan bahwa ke-
lah dokumen sejarah resmi, tetapi karya sastra susastraan Indonesia mutakhir (tahun 1979-
merupakan potret artistik dari sebuah ling- 1980-an) cenderung besifat a-politis dan
kungan sosial. hegemonik (atau kesusastraan yang “dires-
Salah satu sejarah penting bangasa In- mikan/diabsahkan”). Di samping itu, terdapat
donesia adalah munculnya G.30S di peng- kesusastraan subordinat yang oleh Heryanto
hujung tahun 1965. Peristiwa ini merupakan (lihat Faruk H.T., 1994: 97-98) dibedakan
fase penting yang tidak mungkin dilupakan oleh menjadi tiga macam; (1) kesusastraan “ter-
bangsa Indonesia. Telikungan ideologi Komu- larang”, (2) kesusastraan yang “diremehkan”,
nis yang dicoba untuk dipenetrasikan ke dalam dan (4) kesusastraan yang “dipisahkan”.
tubuh bangsa ini meninggalkan luka dan trauma Kesusastraan yang diabsahkan atau
yang berkepanjangan. Dari pihak pemerintah, diresmikan merupakan kesusastraan yang
beberapa jenderal menjadi korban keganasan berkembang dengan definisi konseptual, studi
PKI, sementara Anderson (2000: 14) mencatat dan penulisan sejarah yang dominan serta
bahwa peristiwa pembantaian sebagai tindakan contoh-contoh karya sastra yang dianggap
reaktif yang berlangsung dari Oktober 1965 “sah” atau “puncak-puncak”. Kesusastraan
hingga Januari 1966 mengakibatkan kematian semacam inilah yang mendapat perhatian dan
tidak kurang dari setengah juta orang Indone- penghargaan tertinggi dalam masyarakat dan
sia yang berhaluan kiri. Belum lagi sejumlah mendapat legalitas dalam sekolah, seminar,
perlakuan represif dan pembatasan hak-hak karya ilmiah, dan ditemukan di toko-toko buku
politik terhadap orang-orang dan keluarga berlabel “kesusastraan”. Di pihak lain, ke-
yang terlibat peristiwa tersebut. susastraan yang “terlarang” merupakan ke-
Anehnya, peristiwa sejarah segenting susastraan yang dibasmi atau dimusuhi lembaga
G30S/1965 tidak banyak dijadikan bahan da- resmi pemerintah atau lembaga atau individu
lam penulisan kesusastraan Indonesia. Hanya yang tunduk di bawah kekuasaan resmi. Bobot
sejumlah pengarang yang mengangkat peristiwa karya-karya ini diakui, tetapi dianggap sebagai
sejarah tersebut ke dalam karya-karyanya, sesuatu yang berbahaya secara politis, karena
seperti Ahmad Tohari melalui novel Kubah dapat mengancam status quo kesusastraan
(1980) dan novel triloginya yang terkenal atau bahkan kehidupan sosial pada umumnya
Ronggeng Dukuh Paruk: Catatan Buat yang sedang mapan (Heryanto, 1988: 4-7).
Emak (1982), Lintang Kemukus Dini Hari Dengan latar belakang analisis itulah,
(1985), dan Jentera Bianglala (1986); ke- barangkali yang menyebabkan tidak ba-
mudian Umar Kayam dalam Sri Sumarah dan nyaknya kesusastraan Indonesia yang meng-
Bawuk (1975), dan Para Priyayi (1992). angkat peristiwa politik G30S/1965, juga
Dalam penelitian Putra (2001: 306-307), Um- peristiwa-peristiwa lain yang berseberangan
ar Kayam menulis ketiga fiksi tersebut sebagai dengan kekuasaan. Kekuasaan yang dibicara-
bentuk simpatinya terhadap orang-orang yang kan dalam konteks analisis Heryanto tersebut
terlibat PKI sebagai korban yang dialami oleh adalah pemerintah Orde Baru dibawah pim-
tokoh Tun, Bawuk, dan Hari, ketiga tokoh dari pinan Suharto yang disebut oleh Tamagola
masing-masing karya fiksi tersebut. Ada (2003) sebagai bentuk neo-fasisme militer dan
apakah gerangan dengan kesusastraan Indo- penuh kekerasan.
nesia sehingga peristiwa sejarah yang begitu Dalam keterasingan peristiwa G30S/1965
penting itu tidak banyak diangkat ke dalam dari kesusastraan Indonesia, Najib Kailani,
kesusastraan Indonesia? mengusung sebuah novel sejarah berjudul
154
Menyaksikan Kekerasan Politik dalam Novel ‘Azra Jakarta (Taufik A. Dardiri)
‘Azra Jakarta (selanjutnya disebut AJ) yang maksudkan untuk melukai atau membunuh
bercerita tentang konflik ideologi Islam- orang, misalnya memukul atau menendang atau
Komunis di Indonesia. Ajaibnya lagi, sastra- menggunakan senjata atau bom. Honderich
wan ini berasal dari Mesir dan belum pernah (1989: 8) mendefinisikannya sebagai penggu-
berkunjung ke Indonesia. Akan tetapi, realitas naan kekuatan yang besar atau yang meng-
sejarah tentang kehadiran Komunisme di In- hancurkan terhadap orang atau benda, peng-
donesia begitu tampak nyata dengan dukungan gunaan kekuatan yang dilarang oleh hukum,
tokoh dan latar yang sangat mimetis. Novel diarahkan untuk mengubah kebijakan, lembaga
Najib ini, mencoba “memanjangkan” daftar atau sistem pemerintahan, dan karenanya juga
pendek dokumentasi peristiwa genting tersebut diarahkan untuk mengubah eksistensi individu
dalam kesusastraan Indonesia. dalam masyarakat dan mungkin juga dalam
Bila ditinjau dari tema yang ditawarkan, masyarakat lain. Di antara berbagai jenis
novel ini tidak termasuk kategori pembentuk kekerasan ada yang bersifat politis, dan keke-
public opinion sebagaimana harapan Kunto- rasan politik bisa digunakan untuk memper-
wijoyo tetapi justru meneguhkan identitas tahankan atau mengganggu status quo
Komunis dalam public opinion. Demikian (Hounderich, 1989: 8).
pula, karya sastra ini tidak termasuk dalam Kekerasan dalam diskursus kali ini,
kategori “terlarang” sebagaimana determinasi bukanlah dalam pengertian yang sempit seperti
Heryanto. Hal ini karena fakta cerita mengalir perang, pembunuhan, atau kekacauan saja,
dari mainstream besar. Maksudnya, novel ini melainkan kekerasan dalam pengertiannya
mendukung sterotipe Komunis yang mencoba yang lebih luas sebagaimana dipaparkan oleh
dengan segala cara (termasuk kekerasan) untuk Galtung (dalam Salmi, 2003: 31). Kekerasan
menanamkan ideologinya di tubuh bumi menurut Galtung terbagai dalam empat
pertiwi. Korban kekerasan politik pun berasal kategori besar, yaitu: (1) kekerasan langsung
dari kelompok yang secara de facto berpihak (direct violence), (2) kekerasan tak langsung
kepada ideologi pemerintah. Walaupun tidak (indirect violence), (3) kekerasan represif
setimpal dengan kekejaman reaktif rakyat In- (repressive violence), dan (4) kekerasan
donesia terhadap penganut ideologi ini, alienatif (alienative violence). Selain itu,
kekerasan Komunis dalam politik perebutan Fromm (2000) juga membahas kekerasan dari
kekuasaan tampil dalam bentuk yang tidak sisi sosio-psikologis atas watak manusia yang
kalah menyeramkan. dapat dijadikan referensi dalam melihat akar
Oleh karena itulah, penulis bertendensi kekerasan, sehingga dapat melihat munculnya
untuk melihat aspek kekerasan politik yang motif kekerasan itu.
direkam oleh novel ‘AJ sebagai bentuk cer- Selanjutnya, Galtung (2003: 4) menye-
minan kondisi sosial politik yang sedang ber- butkan bahwa kekerasan-kekerasan tersebut
langsung pada masa itu. Aspek kekerasan ter- membesar secara kultural dan dapat berwujud
sebut akan mengantarkan kita pada akar keke- secara simbolis; dalam agama dan ideologi,
rasan dan motifnya yang mampu memberikan dalam bahasa dan seni, dalam ilmu penge-
gambaran komprehensif tentang bentuk-bentuk tahuan dan hukum, dalam media dan pendi-
praktik pelanggaran hak-hak asasi manusia. dikan, yang kesemuanya memiliki fungsi seder-
hana, yaitu melegetimasi kekerasan. Selanjut-
2. Kekerasan, Politik, dan Sastra nya, kekerasan struktural mememiliki dimensi
Kekerasan, sebagaimana dikutip Beuken politik dan ekonomi.
(1997: 4) dari Collins Cobuild Dictionary of Galtung (2003: 14) juga menyebut bahwa
Essential English berarti perilaku yang di- agama dan ideologi Barat terbesar seperti Is-
155
Kajian Linguistik dan Sastra, Vol. 18, No. 35, 2006: 153-163
lam dan Kristen, liberalisme dan Marxisme rangka, atau kategori ‘sastra’ itu sendiri diang-
memiliki keragaman keras dan lunak. Keke- gap netral, nonpolitis, atauh bahkan dianggap
rasan dapat timbul dari keempat keyakinan di mulia. Politis atau tidaknya suatu karya sastra
atas karena keempatnya juga merupakan hanya diperhitungkan dari apa-apa yang
singularis, yang mengklaim sebagai satu- menjadi isinya (Budiarjo, 2002: 63-64). Hal
satunya, pembawa sah kebenaran, dan uni- ini didukung oleh Foulcher (yang terkesan
versalis, yang mengklaim validitas seluruh dunia membela pandangan seniman Lekra) yang
dan untuk seluruh waktu yang akan datang. menyarankan faham “politik di atas seni”. Me-
Agama dan ideologi, dituding Galtung ((2003: nurutnya, kegiatan bersastra merupakan tin-
13-14) sebagai penyebab terjadinya keke- dakan pengamalan ideologi.
rasan. Banyak orang membunuh atas nama Dalam sejarah sastra Indonesia, pernah
agama dan ideologi. Namun, ia juga mengakui terjadi pergulatan gagasan tentang kesatuan/
bahwa tidak semua agama atau ideologi ber- keterpisahan sastra dan politik. Budiarjo
sifat keras; sebagian bahkan lantang dalam (2002: 58), berkeyakinan bahwa sastra tidak
menganjurkan nonkekerasan. Dalam bahasa pernah lepas dari politik, atau tidak pernah
lain, agama dan ideologi dapat muncul dalam terlepas dari kepentingan politis pihak-pihak
ragam keras dan lunak, ragam keras cende- tertentu dalam masyarakat bersangkutan.
rung memfokuskan pada tujuan abstrak dan Menurutnya, walaupun terjadi perdebatan
transenden dan ragam lunak memfokuskan tentang kedua hal ini, sastra dan politik tak
pada empati, bahkan kasih saying. dipandang oleh masyarakat sebagai dua
Sejak awal, Max Weber telah mengka- perkara yang dipisahkan. Jadi jelas, sastra
itkan kekerasan dengan negara (yang tentunya dapat saja menjadikan politik sebagai isinya,
mempunyai sistem politik). Ia menyatakan bahkan lebih jauh bahwa sastra sangat bisa
bahwa sejak negara muncul, negara telah mem- bersifat politis. Oleh karena itulah beberapa
bangun dirinya di atas kekerasan. Tindakan pementasan dan karya sastra sempat dilarang
kekerasan yang absah merupakan salah satu terbit atau dipentaskan.
karakteristik Negara (Beuken, 1997: ix.). Mengacu pada pikiran di atas, maka
Kekerasan yang dilakukan negara meru- sistematika logis dari diskursus ini adalah
pakan otoritas pemangkunya karena mereka bahwa politik, yang secara sederhana dapat
berhak menentukan tujuan-tujuan politik dan disebut sebagai aneka siasat dan tingkah
melaksanakannya serta mengambil keputusan/ memperebutkan atau mempertahankan ke-
kebijakan dan seleksi alternatif. Melaksanakan kuatan sosial (Heryanto, 1985: 40), tidak ja-
kebijakan berarti harus memiliki kekuatan rang menggunakan kekerasan sebagai salah
(power) dan kewenangan (authority) yang satu faktor pendukung keberhasilannya. Pada
dipakai untuk kerja sama atau menyelesaikan sisi yang lain, kesusastraan berperan penting
konflik dari proses ini. Untuk itulah cara yang sebagai perekam fenomena sosial, sejarah, dan
dipakai dalam sistem politik terkadang politik yang dapat dijadikan bahan bagi sebuah
berbentuk persuasif (meyakinkan) dan bisa bangsa untuk berkaca, walau hanya pada
juga paksaan (coercion) (Budiarjo, 2002: 8). cermin yang berbentuk karya sastra.
Kekerasan dan politik ternyata tak luput
dari rekaman para sastrawan. Edwar Said 3. Kekerasan Politik dalam ‘Azra
menengarai bahwa di negerinya para sastrawan Jakarta
juga berbicara tentang politik sebagai bagian Novel ‘AJ berlatar kehidupan sosial
dari isi karya sastra walaupun hanya pada politik Indonesia pada tahun 1965, di mana
masalah yang terbatas. Adapun bentuk, ke- pertarungan ideologi mengalami titik-titik
156
Menyaksikan Kekerasan Politik dalam Novel ‘Azra Jakarta (Taufik A. Dardiri)
kulminasi. Sumber utamanya adalah ideologi menggunakan kekuatan yang besar atau yang
Marxisme-Leninisme yang memiliki manifesto menghancurkan sistem guna mengubah kebi-
Komunis sebagai aliran politik dan mate- jakan, lembaga atau sistem pemerintahan In-
rialisme sebagai pandangan hidup (Soerojo, donesia kepada haluan sosialis-Komunis.
1988: 352), telah masuk ke Indonesia dengan Kekerasan-kekerasan dalam novel ‘AJ
melakukan infiltrasi ke tubuh Sarikat Islam akan dilihat secara detil berdasarkan klasifikasi
(Merah), mendirikan Perserikatan Komunis yang diungkapkan Galtung. Hanya saja, uru-
Indie, lalu berganti nama Partai Komunis In- tannya akan disesuaikan dengan alur plot agar
donesia (PKI) (Soerojo, 1988: 36). Seba- mempermudah proses pembacaan keseluruhan
gaimana diyakini Galtung bahwa ideologi novel.
seperti ini kemudian menjadi gelombang
dahsyat yang menyatakan dirinya singularis, 3.1 Kekerasan Tak Langsung (Indirect
sebagai satu-satunya yang mengklaim kebe- Violence)
naran bahwa sosialisme adalah solusi pamu- Kekerasan tak langsung maksudnya
ngkas dari permasalahan bangsa Indonesia adalah melakukan tindakan yang melukai (bisa
yang masih belia. Untuk itulah, segala perbuatan berarti nonfisik) orang dengan cara mengusik
antirevolusioner, antiimperialisme harus dibe- sesuatu atau seseorang yang berkaitan dengan
rangus dari bumi pertiwi dengan cara apapun, kepentingan vital orang tersebut.
termasuk dengan cara kekerasan. Dalam novel ini, kekerasan tak langsung
Tokoh-tokoh yang berperan di sini ada- ditujukan kepada Fatimah (tokoh protagonis)
lah, Fatimah, Abul Hasan, H. Muhammad yang dilakukan oleh Zaim (tokoh antagonis).
sebagai representasi ideologi Islam dan Zaim Penyebabnya adalah, di suatu kampus di
beserta aparatnya sebagai representasi Jakarta tokoh antagonis mendapatkan pen-
ideologi Komunis. Di samping itu, peristiwa- debat pidatonya sekaligus menentang ideologi
peristiwa yang lebih penting diletakkan pada Komunis yang coba dimasukkannya ke dalam
tokoh-tokoh netral sebagaimana didefinisikan pikiran para mahasiswa untuk mendukung
Altenbernd & Lewis (dalam Nurgiantoro, perjuangan berdirinya negara dengan ideologi
2003: 37) sebagai tokoh cerita yang berek- Komunis. Tokoh protagonis, si penentang itu,
sistensi demi cerita itu. Tokoh ini hadir (atau akhirnya mendapatkan nilai lebih dari tokoh
dihadirkan) semata-mata demi cerita, atau antagonis sebagai gadis yang harus ditak-
bahkan dialah sebenarnya yang empunya lukkan. Skenario yang disusun adalah memi-
cerita, pelaku cerita, dan yang diceritakan. sahkan hubungan keluarga dan kekerabatan
Tokoh-tokoh yang dimaksud adalah Paduka, tokoh protagonis. Tujuan terakhir, tokoh
Kolonel, Komandan Pengawal Istana, dan tersebut akan memohon-mohon padanya untuk
beberapa Jenderal. Sesungguhnya, dapat mencari ayahnya dan ia akan masuk perang-
dikatakan bahwa tokoh utama dan tambahan kap lelaki yang doyan wanita dan minuman
dihadirkan hanya untuk menopang dan menjadi keras itu.
saksi peristiwa sebenarnya yang dimainkan Pertama, H. Muhammad (tokoh bawah-
oleh tokoh-tokoh netral ini. an), ayah tokoh protagonis diculik sepu-lang
Sebagai perang ideologi, definisi Ted ten- dari sebuah pulau guna menilik sekolah-
tang kekerasan tergambar jelas dalam novel sekolah di bawah yayasannya. Rupanya, kapal
ini. Ideologi Komunis yang direpresentasikan yang ia tumpangi sengaja dibelokkan ke sebuah
oleh pengarang sebagai organisasi wanita di pulau tengah menuju sebuah penjara.
bawah pimpinannya yang bernama Zaim
157
Kajian Linguistik dan Sastra, Vol. 18, No. 35, 2006: 153-163
158
Menyaksikan Kekerasan Politik dalam Novel ‘Azra Jakarta (Taufik A. Dardiri)
159
Kajian Linguistik dan Sastra, Vol. 18, No. 35, 2006: 153-163
dalam novel sejarahnya banyak mengung- (Fatimah) dan tokoh tambahan lainnya (H.
kapkan realitas nyata kebangsaan (dalam hal Muhammad, dan Abul Hasan) adalah repre-
ini sebuah negara menjadi setting novelnya) sentasi Islam, sedangkan organisasi wanita
secara menakjubkan disertai dengan fakta- yang dipimpin oleh Zaim merupakan repre-
fakta sejarah yang bersifat ilmiah. Dalam novel sentasi Ideologi Komunis. Sementara peme-
AJ, fakta-fakta sejarah dirunut dari usaha partai rintah (kepala negara dan aparatnya), sebagai
Komunis yang beriktikad buruk mengkooptasi pemersatu kedaulatan rakyat berada di te-
pemerintahan. Al’Arini dalam menganalisis ngah-tengah, dan oleh karena itu diperebutkan
tema novel-novel Najib merujuk nama-nama bagai tanah subur untuk berladang ideologi.
tokoh dalam AJ dengan peristiwa kudeta di Komunis, dalam hal ini, bermaksud mere-
tahun 1965, seperti Ketua Partai Komunis: but kekuasaan yang sah karena dukungan rakyat
Aidid, dan Presiden: Sukarno. Kekuatan fakta yang diwakili oleh beberapa partai. Partai-partai
historis yang dikemukakan oleh Najib didukung yang berhaluan berbeda dengan ideologi
pula oleh tokoh-tokoh nyata yang diikutser- komunis kemudian harus dimusnahkan. Adapun
takan dalam novel, seperti Untung (Panglima partai penghalang yang besar bagi tumbuhnya
TNI), Jenderal Ahmad Yani, dan Jenderal Abul ideologi komunis di antaranya adalah partai
Hasan Nasution (disamarkan dari Jenderal Masyumi dan Partai Syarikat Islam yang dinamai
Abdul Haris Nasution). dengan “Kaum Kepala Batu” (Soerojo, 1988:
Menariknya, fakta sejarah yang bersifat 108). Menurut teori kekerasan, mereka harus
ilmiah tersebut didapatkan pengarang dari balik diubah dan karenanya diarahkan atau dipaksa
terali besi karena keterlibatannya dalam orga- untuk mengubah eksistensi setiap individu dan
nisasi Ikwanul Muslimin di Mesir. Semasa masyarakat. Oleh karena itu komunis meng-
kuliah (pada tahun1955), ia dipenjara selama gunakan kekerasan politik untuk mengganggu
tiga tahun dari sepuluh tahun tuntutan jaksa. status quo bangsa Indonesia.
Pada saat kudeta terjadi di Indonesia dari pe- Dahsyatnya kekerasan komunis di Indo-
merintahan yang sah, Najib juga sedang di- nesia akibat kudeta meninggalkan penderitaan
penjara (tahun 1965) selama satu tahun lebih bangsa yang berkepanjangan. Orang-orang
beberapa bulan (Al-Aryani, TT: 14-15). hilang (kebanyakan adalah kaum Muslim),
Dengan demikian, pengarang tidak penyiksaan, pemenjaraan sebagaimana dilu-
pernah melihat kondisi politik Indonesia secara kiskan oleh tokoh-tokoh novel adalah masa
langsung. Terdapat indikasi bahwa pijakan kelabu bagi bangsa Indonesia. Akibatnya, ber-
fakta sejarah yang kuat dalam novelnya AJ tahun-tahun setelah itu, Indonesia mengalami
antara lain didapatkan pengarang dari infor- komunisto phobi, sesuatu yang justru diha-
masi para mahasiswa Indonesia yang sedang ramkan pada masa pemerintahan Sokarno ka-
belajar di Cairo Mesir, di samping juga Najib rena infiltrasi komunis dalam pemerintahannya.
Al-Kailani berprofesi sebagai wartawan. Hal Rakyat Indonesia seharusnya berterima kasih
inilah yang membuat Najib menyorotkan pan- pada sastrawan Mesir ini karena mampu
dangnya ke Indonesia sebagaimana dilansir merekam dan menyorot kekejaman Komunis
oleh Al-’Ariny, bahwa Najib selalu tertarik terhadap Masyumi yang dipersonifikasikan
untuk menulis permasalahan ummat Islam dengan tokoh Fatimah, H. Muhammad, Abul
sedunia berdasarkan peristiwa-peristiwa pen- Hasan dengan tindakan-tindakan kekerasan
ting, termasuk kudeta PKI di Indonesia. destruktif yang dahsyat, hingga pembunuhan
Dengan merefleksikan peristiwa dalam para jenderal yang tidak manusiawi. Rekaman
AJ pada kenyataan politik Indonesia di tahun yang sulit ditemui sequelnya dalam khazanah
1965, maka didapatkan bahwa tokoh utama sastra Indonesia.
160
Menyaksikan Kekerasan Politik dalam Novel ‘Azra Jakarta (Taufik A. Dardiri)
Bila dikaitkan dengan HAM, maka pe- seperti Champs (minoritas Islam) dan Biksu
ristiwa kekejaman komunis tahun 1965 terjadi Buddha (Cassesse, 1994: 293).
setelah tujuh belas tahun Deklarasi Universal Brzenzinski ( 1992: 216-217) mencatat
Hak-Hak Asasi Manusia yang disahkan dan korban kekerasan politik komunis:
diproklamirkan oleh Resolusi Umum 217 (111) (1) Ikhtisar penghukuman mati dalam proses
10 Desember 1948. Artinya, komunis telah pengambilan kekuasaan. Hukuman mati
dengan sengaja menentang rambu-rambu sekurang-kurangnya sejuta orang di Uni
internasional tentang bagaimana menghargai Soviet, beberapa juta di Cina, sekitar
martabat manusia sebagaimana sudah diatur 1000.000 di Jerman Timur, dan sekurang-
dalam 30 pasal, terutama pasal 5 dan pasal 9 kurangnya 150.000 di Vietnam. (korban
yang berbunyi: tidak termasuk yang mati akibat perang).
(2) Penghukuman mati lawan dan penentang
“Tidak seorangpun boleh dianiaya atau politik setelah memegang kekuasaan.
diperlakukan secara kejam dengan tidak Jumlah korban berkisar lima juta orang
mengingat kemanusiaan, ataupun jalan (3) Kematian yang berkaitan dengan de-
perlakuan atau hukum yang menghina- portasi massal dan pemukiman ulang
kan” (pasal 5), dan dengan paksa. Korban berkisar 10 juta
“Tidak seorangpun boleh ditangkap, di Uni Soviet dan 30 Juta di Cina.
ditahan atau dibuang secara sewenang (4) Hukuman mati atau kematian dalam
wenang” (pasal 9) (Cassesse, 1994: kamp kerja dari komunis yang diber-
293). sihkan. Korban di Uni Soviet berkisar
satu juta orang dan puluhan ribu di Eropa
Praktik-praktik kekejaman komunis Timur, serta beberapa juta jiwa melayang
seperti pemenjaraan dan penyiksaan tokoh- di Cina.
tokoh novel sebagai representasi (umat Islam (5) Luka fisis dan psikologis dari pemenja-
dan rakyat Indonesia umumnya) dan peristiwa raan dan kerja paksa yang panjang.
tragis lubang buaya (hlm. 185-191) sebagai (6) Penganiayaan anggota keluarga korban
representasi pemerintah yang sah, betul-betul rezim yang berkuasa.
keluar dari semangat HAM yang telah dise- (7) Suasana ketakutan dan pengucilan
pakati negara-negara yang tergabung dalam pribadi dan politis yang menyebar di
PBB. Akan tetapi, peristiwa pelanggaran masyarakat.
HAM yang terjadi dalam masa ini tidak men-
dapatkan perhatian PBB karena pembe- Daftar kekerasan politik komunis di atas,
rontakan PKI dianggap sebagai urusan negara memang ada yang terjadi pada sebelum
yang terkait karena bisa digolongkan ke dalam deklarasi universal HAM 1948. Akan tetapi,
perang saudara. motif kekerasan yang dilakukan memiliki
Pada saat yang kurang lebih sama, ko- kemiripan dengan beberapa tragedi politik
munis di seluruh dunia juga melakukan praktek pasca 1948. Proses pembinasaan setiap
kekerasan dan kekejaman serupa untuk ideologi yang bertentangan merupakan main-
memaksakan ideologi kiri menjadi pondasi stream politik komunis yang utama di setiap
sebuah negara, baik di Eropa, Asia, maupun negara, termasuk di Indonesia sebagaimana
di Afrika. Pol Pot dengan Khmer Merahnya yang telah direkam oleh Najib. Dengan
menghancurkan kira-kira 2 juta orang di demikian, kita dapat menyimpulkan kekerasan
Kamboja pada tahun 1975-1978. Di an- dalam AJ berakar pada masalah ideologi
taranya beberapa kelompok etnis atau agama sebagaimana diasumsikan oleh Galtung.
161
Kajian Linguistik dan Sastra, Vol. 18, No. 35, 2006: 153-163
DAFTAR PUSTAKA
Al-Aryani, Abdulllah bin Salih. (TT) Al-Ittijah al-Islamy fi A’mal Najib Kaiylani al-Qasasiyah.
Abrams, M.H. 1976. The Mirror and the Lamp. London: Oxford University Press.
Abrams, M.H. 1981. A Glossary of Literary Terms. New York: Holt, Rinehart and Winston.
Al-Kaylani, Najib. 1974. ‘Azra Jakarta (Cetakan Kedua). Cairo: al-Mukhtar al-Islamy.
Anderson, Benedict. 2000. Kuasa Kata Jelajah Budaya-Budaya Politik di Indonesia. Terj.
Revianto Budi Santosa. Yogyakarta: Mata Bangsa.
Bauken, Wim. 1997. Agama Sebagai Sumber Kekerasan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Budiarjo, Miriam. 2002. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: Pustaka Gramedia Utama.
Brzenzinski, Zbigniew. 1992. Kegagalan Besar: Munculnya dan Runtuhnya Komunisme
dalam Abad Kedua Puluh (Terj. Tjun Surjaman). Bandung: Remaja Rosdakarya.
Cassesse, Antonio. 1994. Hak Asasi Manusia di Dunia Yang Berubah (Terj. A. Rahman
Zainudin). Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
162
Menyaksikan Kekerasan Politik dalam Novel ‘Azra Jakarta (Taufik A. Dardiri)
Davis, Peter. 1994. Hak-Hak Asasi Manusia Sebuah Bunga Rampai (Terj. A.
Rahman Zainudin). Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Eagleton, Terry. 2002. Marxisme dan Kritik Sastra (Terj. Roza Muliati dkk.). Yogyakarta:
Sumbu.
Faruk H.T. 1994. Pengantar Sosiologi Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Fromm, Erich. 2000. Akar Kekerasan (Terj. Imam Muttaqin). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Galtung, Johan. 2003. Studi Perdamaian: Perdamaian dan Konflik, Pembangunan dan
Peradaban. Surabaya: Pustaka Eureka.
Gottschalk, Louis. 1985. Mengerti Sejarah, (terj. Nugroho Notosusanto). Jakarta: Penerbit
Universitas Indonesia.
Heryanto, Ariel, 1988. “Masihkan Politik Jadi Panglima? Politik Kesusastraan Indonesia
Mutakhir”, Prisma No. 8 Th. XVII. Jakarta: LP3ES.
Heryanto, Ariel. 1985. “Sastra dan Politik” dalam Perdebatan Sastra Kontekstual. Jakarta:
Rajawali.
Hounderich, T.1989. Violence For Equality. London: (TP).
Kuntowijoyo. 1987. Budaya dan Masyarakat. Yogyakarta: Tiara Wacana.
Nurgiantoro, Burhan. 2003. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada
UniversityPress.
Prasetyo, Eko. 2001. HAM Kejahatan Negara dan Imperialisme Modal. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Putra, Sri Heddy Ahmisa. 2001. Strukturalisme Levi-Strauss, Mitos dan Karya Sastra.
Yogyakarta: Galang Press.
Salmi, Jamil. 2003. Kekerasan dan Kapitalisme. Terj. Agung Prihantoro. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Sugihastuti 2002. Teori dan Apresiasi Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Sumardjo, Jakob. 1992. Lintasan Sastra Indonesia Modern I. Bandung: Citra Aditya Bakti.
Soerojo, Soegiarso. 1988. Siapa Menabur Angin Akan Menuai Badai. Jakarta: Intermasa.
Soehisno. 1986. Ilmu Negara. Yogyakarta: Liberty.
Tamagola, Tamrin Amal. 2003. “Geliat Cendekiawan dalam Cengkraman Neo-Fasisme Orde
Baru” dalam Kompas, Edisi 19 Juli 2003.
163