Anda di halaman 1dari 4

April 27, 2019 kalamkopi Opini, Uncategorized

Menggagas Historiografi yang Progresif


Oleh Saiful Anwar

Kritik terhadap historiografi Indonesia sudah dilakukan sejak negara ini berdiri hingga hari ini.
Sartono Kartodirdjo, sejarawan yang diyakini sebagai peletak dasar sejarah sosial Indonesia
melakukan kritik terhadap historiografi kolonial. Kritik itu didasarkan pada satu argumen bahwa
Indonesia sebagai negara baru perlu merumuskan narasi sejarahnya sendiri, sebuah usaha untuk
membangkitkan semangat nasionalisme. Kritik itu disampaikan pada seminar sejarah pertama
tahun 1957 yang kemudian dikenal dengan istilah “dekolonisasi sejarah Indonesia”. Inti dari
dekolonisasi sejarah ialah membalik narasi sejarah kolonial. Jika pada masa kolonial Diponegoro
dianggap sebagai pemberontak, maka pada zaman republik ia dianggap sebagai pahlawan. Lebih
sederhana lagi, siapapun yang pada masa lalu melawan penjajah, pada zaman republik ia akan
diangkat sebagai pahlawan. Dekolonisasi sejarah dianggap penting dan perlu untuk
meningkatkan kepercayaan diri bangsa Indonesia, sebuah reaksi terhadap penindasan yang
diterima selama ratusan tahun.
Dekolonisasi meninggalkan sejumlah masalah hari ini. Bambang Purwanto (BP), seorang guru
besar Universitas Gadjah Mada (UGM), melakukan kritik terhadap konsep dekolonisasi sejarah
tersebut. Ia berpendapat bahwa konsep dekolonisasi sejarah, adalah konsep yang usang dan tidak
relevan lagi (tidak kontekstual). Baginya konsep dekolonisasi terlalu men-generalisir masa lalu.
Men-generalisir maksudnya menganggap bahwa siapapun yang pada masa lalunya melawan
penjajah adalah pahlawan Indonesia. Argumen BP cukup kuat mengingat bahwa konsep
“Indonesia” baru lahir awal abad ke-20. Sederhananya, Cut Nyak Dien, Hassanudin, atau Sultan
Agung melawan Belanda bukan didasari semangat nation (perasaan sebagai satu kelompok yang
terjajah), melainkan lebih didasari pada kepentingan mempertahankan wilayah teritorinya.
Bahkan, tidak sedikit pula orang bumiputra di masa lalu yang melawan orang asing untuk
kepentingannya sendiri, bukan untuk kepentingan bangsa. Garong, dan Begal, pada masa lalu
merampok orang Belanda untuk kepentingan dirinya sendiri dan kelompoknya.

Saat BP dilantik menjadi guru besar UGM, ia menulis sebuah pidato yang mengkritik
historiografi Indonesia (lagi). Salah satu kritiknya ditujukan kepada historiografi empati yang
digagas oleh sejarawan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Asvi Warman Adam
(baca: Menggugat Historiografi Indonesia). Ada satu kata yang sering diulang-ulang oleh BP
dalam pidato tersebut, yakni “netral”. Bagi pembaca yang tak pernah mengenal pemikiran
Foucault pasti akan tersihir dengan kata-kata BP tersebut. Jika kita menelusuri pemikiran
Foucault tentang hegemoni ilmu pengetahuan, maka argumen BP patut dipertanyakan.
Sesungguhnya, ketika ia mengulang-ulang kata “netral” saat itu pula ia sedang memainkan
politik ilmu pengetahuan, semacam wacana untuk menghegemoni perkembangan ilmu sejarah.
Saat ia menekankan netralitas dalam ilmu sejarah, saat itu pula ia tidak netral. Pertanyaannya:
apakah ada sesuatu di dunia ini yang netral?

Selain kritik, juga ada beberapa terobosan menarik tentang bagaimana seharusnya historiografi
Indonesia dibangun. Beberapa di antaranya adalah Historiografi Pembebasan-nya Singgih
Trisantoso dan Historiografi yang tidak rasis oleh Ariel Haryanto. Nama pertama adalah seorang
guru besar sejarah Universitas Diponegoro (UNDIP). Gagasan Historiografi Pembebasan ditulis
dan diucapkan pada upacara pengukuhannya sebagai guru besar. Kata “pembebasan” dalam kata
Historiografi Pembebasan diambil dari istilah “teologi pembebasan”, sebuah gerakan di Amerika
Latin pada tahun 1960-an yang menggunakan agama (Nasrani) sebagai alat untuk membebaskan
rakyat dari kesengsaraan akibat kebijakan ekonomi kapitalis. Historiografi Pembebasan adalah
konsep penulisan sejarah yang bertujuan untuk membebaskan manusia dari segala sesuatu yang
dianggap menyengsarakan kehidupan. Singgih tidak menyebutkan secara spesifik siapa objek
pembebasan itu, sehingga Historiografi Pembebasan terkesan mengambang dan “mencari aman”.
Oleh karena itu, Historiografi Pembebasan belum mampu menjawab tantangan historiografi kita
saat ini.

Selanjutnya ada Ariel Heryanto, orang Indonesia yang menjadi guru besar di Monash University,
Australia. Ariel mengatakan dalam sebuah acara di Jakarta, bahwa historiografi Indonesia adalah
historiografi yang rasis (lihat video kuliah Ariel Haryanto di Youtube berjudul “Historiografi
Indonesiai yang Rasis”). Menurutnya historiografi Indonesia dibangun dari semangat rasis,
semangat anti terhadap sesuatu yang asing (Belanda). Hal itu dapat dilihat dari “produk sejarah”
seperti buku atau film sejarah yang hampir semuanya mengesankan orang bumiputra (non-Arab
dan non-Tionghoa) memainkan peran protagonis (baik), sedangkan di sisi lain orang berkulit
putih (Belanda) memainkan peran antagonis (jahat). Hal tersebut salah, dan tentu bisa
diperdebatkan. Dalam sejarah pergerakan nasional kita mengenal Douwes Dekker, salah satu
dari tiga serangkai pendiri Indische Partij yang memimpikan negara Hindia yang merdeka atau
Van Deventer, seorang aktivis politik etis di bidang pendidikan. Di sisi lain, kita tidak bisa
menampik fakta bahwa bupati-bupati dan kaum ningrat di jaman kolonial adalah golongan yang
paling setia kepada Gubernur Jenderal. Penjajahan di Indonesia tidak sehitam-putih seperti yang
diajarkan di sekolah. Dalam historiografi yang rasis, analisis kelas absen karena penjajahan
hanya dimaknai sebagai pertarungan antara kulit putih melawan kulit berwarna. Historiografi
yang rasis akan melahirkan nasionalisme yang rasis.

Historiografi yang Progresif

Penulisan sejarah Indonesia mengalami dialektika dari masa ke masa. Sejarah merupakan unsur
penting pembangun identitas bangsa. Melalui sejarah-lah ingatan kolektif dirawat, dirumuskan,
dan diimplementasikan dalam kebijakan negara. Bahkan tak jarang sejarah digunakan untuk
kepentingan politik.

Dari hal-hal yang disampaikan penulis di atas dapat kita tarik beberapa poin. Pertama, gagasan
historiografi pasca-kemerdekaan (dekolonisasi sejarah), sudah tidak relevan lagi untuk hari ini
(tidak kontekstual). Kedua, historiografi pembebasan belum mampu menjawab tantangan hari
ini, bahkan cenderung tidak jelas arah dan tujuannya. Tiga, penulisan sejarah Indonesia bersifat
rasis.

Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan besar dalam historiografi sejarah Indonesia itu, perlu
dirumuskan suatu jenis historiografi yang baru. Penulis menawarkan suatu konsep yang disebut
Historiografi yang Progresif. Hstoriografi yang progresif adalah historiografi yang konstekstual,
tidak rasis, dan memiliki tujuan yang jelas. Kontekstual memiliki arti tulisan sejarah mampu
menjawab tantangan hari ini. Tidak rasis artinya tulisan sejarah berfokus pada proses sosial.
Faktor penggerak sosial itu bermacam-macam, jika kita menggunakan analisis Marxis maka
faktor penggerak sosial-nya adalah kepentingan materi. Memiliki tujuan yang jelas, arti-nya
bahwa tulisan sejarah harus politis, melawan penindasan, dan membebaskan rakyat dari segalai
instrumen yang melanggengkan penindasan tersebut. Hal yang terkahir perlu ditekankan, sebab
sudah berabad-abad lamanya penulisan sejarah dilakukan ‘hanya’ untuk melanggengkan
kekuasaan sejak zaman Majapahit hingga zaman Orde Baru. Historiografi yang progresif
menolak penggunaan sejarah sebagai instrumen kekuasaan.

Tulisan sejarah harus fokus pada proses sosial di masa lalu. Seringkali dalam historiografi
Indonesia terjadi sesuatu yang dinamakan “pengkultusan tokoh”. Misalnya sejarah Serangan
Umum 1 Maret 1949 yang sangat menonjolkan peran Soeharto. Setelah Orde Baru tumbang,
perdebatan mengenai peran Soeharto dalam peristiwa tersebut mulai mencuat. Cerita Serangan
Umum 1 Maret itu tidak termasuk dalam historiografi yang progresif. Historiografi progresif
menolak “pengkultusan tokoh”, sebab dalam suatu peristiwa sejarah semua orang memiliki
peran. Manusia adalah makhluk sosial (homo hominisocius) yang tidak bisa hidup tanpa bantuan
dari manusia lain.
Membahas penulisan sejarah tidak bisa dilepaskan dari pengaruh kekuasaan. Maka tantangan
yang dihadapi historiografi yang progresif, selain berbagai masalah yang sudah dikemukakan
diatas, adalah kekuasaan politik itu sendiri. Sebab pada zaman apapun, di wilayah kekuasaan
manapun, penguasa pasti dan akan menggunakan segala instrumen untuk mempertahankan
kekuasaannya, tak terkecuali narasi sejarah. Historiografi yang progresif, bukanlah historiografi
yang ditulis untuk melegitimasi kekuasaan, tetapi melawan segala yang menindas. Jika
instrumen yang menindas itu adalah kekuasaan, tugas historiografi yang progresif adalah
melawan kekuasaan itu.

Sebuah konklusi

Membincangkan sejarah tak akan ada habisnya. Sejarah adalah intinya inti, core of the core,
sumber dari kekuasaan politik, sesuatu yang menentukan arah gerak suatu kelompok
manusia/bangsa. Setelah kita tahu bahwa historiografi Indonesia memiliki segudang
permasalahan dan tak jarang digunakan oleh penguasa untuk melegitimasi kekuasaannya;
mungkinkah kita menggagas sebuah historiografi yang progresif?

Gambar: http://www.hariansejarah.id

Anda mungkin juga menyukai