Oleh
TSABIT AZINAR AHMAD
S860209113
A. Pendahuluan
Penulisan sejarah selalu berkaitan dengan adanya kepentingan-
kepentingan politik. Ada dua kepentingan dalam penulisan dan pendidikan
sejarah, yakni sejarah dipandang sebagai alat untuk menumbuhkan
nasionalisme dan kesadaran kolektif tentang identitas kebangsaan. Kedua,
sejarah dilihat sebagai alat legitimasi kekuasaan. Makna politis pertama
dikategorikan sebagai kepentingan yang bersifat afirmatif. Sementara itu,
makna kedua bersifat kompulsif dan manipulatif. Sifat kompulsif dan
manipulatif itu disebabkan adanya pemanfaatan sejarah untuk kepentingan
salah satu pihak dengan menonjolkan keunggulan-keunggulan penguasa dan
mereduksi sejarah yang tidak sesuai dengan “sejarah resmi”. Akiatnya
penulisan sejarah lebih cenderung untuk bersifat tunggal, sehingga mereduksi
adanya pemikiran-pemikiran alternatif dari sudut pandang yang berbeda dalam
historiografi.
Pada masa Orde Baru, pemerintah sedemikian rupa melakukan upaya
pembentukan pengetahuan sejarah (historical knowledge) yang seragam dan
sesuai dengan versi pemerintah. Upaya pembentukan pengetahuan sejarah
telah menyebabkan tidak adanya apresiasi terhadap tulisan dan pemikiran
sejarah yang bersifat alternatif, serta memunculkan kecenderungan rekayasa
sejarah untuk kepentingan pihak-pihak tertentu. Henk Schulte Nordholt,
Bambang Purwanto, dan Ratna Saptari (2008: 3) menyatakan “para sejarawan
kritis telah menunjukkan bahwa sejarah versi Orde Baru telah membungkam
suara dari pihak-pihak yang dianggap mengganggu dan mengancam
pemerintahan militer yang berkuasa”. Senada dengan hal di atas, Bambang
Purwanto (2001: 111) menjelaskan bahwa “Indonesian history is considered
primarily as a product of social and political engineering of the New
Order rather than an appropriate scholarly apparatus”. Sejarah Indonesia
3
ditetapkan sebagai hasil dari mesin sosial dan politik dari Orde Baru daripada
(hasil dari) pihak akademisi.
Pada waktu itu Kejaksaan Agung dan Kopkamtib sangat berkuasa. Sejak
tahun 1970 ada ketentuan tidak boleh lagi ada peringatan hari lahir Pancasila.
Buku Bung Karno diperiksa. Ada ketakutan untuk menerbitkan buku-buku
tentang Bung Karno atau buku-buku sejarah yang sebenarnya bisa
diperdebatkan secara ilmiah. Sampai saat-saat terakhir Orde Baru, larangan itu
berlanjut. Buku Bayang-bayang PKI terbitan ISAI yang hanya mengatakan
ada beberapa versi tentang G30S dilarang. Larangan demi larangan terhadap
buku yang tidak sesuai versi pemerintah menyebabkan sejarawan jadi enggan
menulis buku tentang persoalan itu (Bambang Wisudo, 2005)
Permasalahan-permasalahan di atas, mencapai titik balik ketika pada
tahun 1998 terjadi perubahan dalam struktur pemerintahan dengan adanya
reformasi. Keterbukaan yang terjadi setelah reformasi memunculkan berbagai
pemkiran baru tentang penulisan sejarah di Indonesia. Dengan demikian,
dapat diungkapkan bahwa telah terjadi dinamisasi dan perubahan corak
historiografi Indonesia pascareformasi. Gagasan yang paling banyak
diperbincangkan adalah gagasan tentang pelurusan sejarah. Salah satu
sejarawan yang banyak mengeluarkan gagasan tentang pelurusan sejarah ini
adalah Asvi Warman Adam. Dari pemikiran di atas, secara ringkas tulisan ini
akan membahas tentang wacana pelurusan sejarah yang muncul
pascareformasi dan peran serta sejarawan yang turut serta membesarkan
wacana pelurusan sejarah, yakni Asvi Warman Adam.
sulit terjadi, (2) penerbitan sejarah akademis yang kritis, seperti penerbitan
karya ilmiah yang selama ini hanya dinikmati oleh kalangan terbatas, serta (3)
penerbitan biografi tokoh terbuang yang berisi kesaksian dari para tokoh yang
pada masa lalu dianggap sebagai tokoh yang dianggap “berbahaya” dan
“terbuang”. Dengan adanya hal-hal tersebut, sejak reformasi telah terjadi
pergeseran paradigma dan dinamisasi penulisan sejarah, dari sejarah yang
semula bersifat tunggal versi resmi pemerintah menjadi sejarah yang lebih
beragam dengan adanya beberapa versi yang muncul dalam masyarakat.
Perspektif penulisan sejarah juga mengalami suatu dinamika akibat
terjadinya reformasi. Bahkan dinamika yang terjadi setelah reformasi adalah
adanya perubahan corak historiografi Indonesia. Perubahan corak historiografi
Indonesia telah memunculkan pendapat-pendapat yang beranekaragam tentang
satu peristiwa sejarah, seperti berkembangnya beberapa versi dari Gerakan 30
September tahun 1965.
Perubahan corak dan dinamisasi dalam historiografi Indonesia
pascareformasi dapat dilihat juga dengan bermunculannya trend yang disebut
sebagai ”sejarah korban” (Asvi Warman Adam, 2007a: 9). Sejarah korban
merupakan sejarah yang ditulis berdasarkan perspektif dari pihak yang merasa
dirugikan atau yang menjadi korban dalam suatu peristiwa sejarah dan
penulisannya di kemudian hari. Dengan demikian hal ini telah memberikan
suatu keseimbangan dalam penulisan sejarah dan memperkaya wacana tentang
suatu peristiwa sejarah.
Historiografi Indonesia yang berkembang pascareformasi sebagian
mencoba untuk mempertanyakan versi masa lampau sejarah Indonesia dan
menguji kerangka yang sudah lama mapan (Curaming, 2006). Lebih lanjut
lagi dinyatakan bahwa pada historiografi pascareformasi terjadi kecederungan
berupa adanya keinginan untuk membersihkan upaya penulisan sejarah dari
kedekatannya dengan Orde Baru dan adanya upaya mengubah paradigma yang
telah lama berkembang bahwa sejarah identik dengan sejarah politik
(Curaming, 2006).
6
Proses pergulatan intelektual dari Asvi Warman Adam tidak lepas dari
aliran sejarah tempat di mana ia melakukan studi, yakni tempat lahir dan
berkembangnya aliran sejarah baru atau yang sering dikenal dengan mazhab
Annales. Pada tahun 1920-an di Perancis ada istilah “sejarah jenis baru” yang
dikembangkan oleh Marc Bloch dan Lucien Febvre dari Universitas
Strasbourg dengan menerbitkan jurnal berjudul Annales d’histoire
eqonomique et sociale yang mengkritik tajam sejarawan tradisional. Mereka
ingin mengganti sejarah politik menjadi sejarah yang lebih luas dan
manusiawi. Oleh karena itu sejarah bukan lagi semata-mata narasi mengenai
kejadian-kejadian, tetapi analisis mengenai struktur. Kelompok ini kemudian
dikenal dengan mazhab Annales. Mazhab Annales menekankan pada
pendekatan holistik, interdisiplin, struktural, serta berbagai perkembangan
penulisan dengan pendekatan yang baru. Dengan demikian muncul tema-tema
baru dalam penulisan sejarah, seperti sejarah wanita, sejarah mentalitas, dan
sebagainya (Kuntowijoyo, 2008). Aliran sejarah ini pulalah yang turut
mempengaruhi padangan Asvi Warman Adam dalam tulisan-tulisannya yang
lebih cenderung bersifat alternatif dalam historiografi Indonesia kontemporer
pascareformasi.
lagi bagaimana? Apakah akan diluruskan kembali, kalau begitu tidak akan
selesai-selesai. Tetapi di lain pihak, ada juga sejarawan yang setuju dengan
istilah pelurusan sejarah tersebut. Alasan mereka yang setuju adalah bahwa
istilah ini penting diajukan untuk menyatakan, bahwa pada masa lampau
sudah terjadi pembelokan sejarah (Rakyat Merdeka, 13 April 2005). Lebih
lanjut lagi dinyatakan bahwa pelurusan sejarah akan mampu memberikan
sebuah wacana bahwa sejarah yang selama ini dipergunakan sebagai alat
penindas perlu diubah menjadi medium pembebasan (Bambang Wisudo,
2005).
Dalam pandangan Asvi Warman Adam, pelurusan sejarah berkaitan
dengan sejarah sebagaimana diceritakan, bukan sejarah sebagai peristiwa yang
dialami (Asvi Warman Adam, 2007a: 3-4). Artinya hal tersebut lebih
cenderung menitikberatkan pada aspek interpretasi terhadap suatu peristiwa
sejarah.
Ketertarikan Asvi Warman Adam terhadap pelurusan sejarah khususnya
tentang peristiwa 1965 muncul setelah reformasi. pada tahun 1999. Dia
diminta ceramah oleh Yayasan Hidup Baru, sebuah yayasan yang mengurusi
bekas tahanan politik 1965. “Saya terharu atas semangat juang mereka. Saya
terharu ketika mereka, bapak-ibu berusia sepuh itu, mengumpulkan uang
recehan. Hasilnya sekitar Rp 25.000, diserahkan sebagai honorarium ceramah
saya.” (Sularto, 2009).
Dengan ketekunan, dia ikuti dan teliti segala narasi Peristiwa 1965 yang
berkembang selama ini. Dia sampaikan obsesi itu dalam berbagai tulisan dan
karangan pengantar buku, yang semuanya berfokus ajakan menguak
kebohongan sejarah, utamanya sekitar Peristiwa 1965 (Sularto, 2009).
Peristiwa seputar 1965 menjadi fokus yang sering ditulis oleh Asvi. Hal
ini karena Peristiwa 1965 merupakan tahun pembatas zaman. Zaman berubah
antara sebelum 1965 dan sesudahnya. Perubahan itu terjadi dalam bidang
ekonomi, politik, dan sosial budaya secara serentak. Setelah tahun 1965,
politik luar negeri berubah total. Dari nonblok menjadi pro-Barat, menjadi
pengikut Amerika Serikat. Ekonomi Indonesia yang dulunya berdikari
berubah menjadi ekonomi yang tergantung pada modal asing. Dalam bidang
9
sosial budaya juga terjadi perubahan sangat besar. Pada masa lampau, orang
boleh mempersoalkan tanah. Pada masa Orde Baru, penelitian tentang agraria
pun hilang. Orang tidak boleh lagi mengungkit-ungkit tanah. Dalam bidang
kebudayaan, sebelum 1965, kita bebas berpolemik. Sesudah tahun 1965
budaya menjadi seolah-olah satu, menjadi monolitik. Tidak ada lagi perbedaan
dan semua menjadi seragam.
Bagi Asvi Warman Adam, peristiwa 1965 menimbulkan dampak sangat
besar. Dari tahun 1965 sampai 1966, ada sekitar setengah juta orang terbunuh.
Ini luar biasa. Sebuah peristiwa yang harus ditulis dalam buku pelajaran
sejarah nasional. Akan tetapi, peristiwa ini tidak pernah disinggung.
Pembunuhan 1965-1966 sengaja dihilangkan dalam sejarah. Akibatnya,
kekerasan lebih kurang serupa terulang lagi melalui pelanggaran HAM di
mana-mana. Peristiwa 1965 merupakan kekerasan paling besar dalam sejarah
Indonesia modern (Bambang Wisudo, 2005).
Pelurusan sejarah ini bagi Asvi Warman Adam (dalam Bambang
Wisudo, 2005) berkaitan dengan kenyataan bahwa sudah terjadi pembelokan
atau manipulasi pemalsuan sejarah pada masa Orde Baru. Walaupun demikian
tentunya tidak berarti pelurusan sejarah ini hanya menyangkut periode Orde
Baru saja, tetapi juga bisa berkenaan dengan masa-masa sebelumnya.
Misalnya, masa yang panjang yang selalu dikatakan bahwa penjajahan
Belanda di Indonesia berlangsung selama 350 tahun itu. Padahal sewaktu
masa penjajahan Belanda, banyak kerajaan-kerajaan di Nusantara yang masih
berdaulat. Belanda tidak sampai menjajah atau menguasai kerajaan-kerajaan
itu.
Di dalam tulisannya yang berjudul Pelurusan Sejarah dan Historiografi
Alternatif (2005) dinyatakan bahwa pelurusan sejarah yang populer setelah
kejatuhan Suharto pada dasarnya merupakan upaya untuk membenahi
penulisan sejarah yang selama Orde Baru bersifat monolitik terutama yang
bersangkutan dengan pengajaran sejarah di sekolah. Masyarakat pda saat itu
hanya boleh mengetahui versi pemerintah. Oleh karena itu, pelurusan sejarah
berarti membuat sejarah yang seragam itu menjadi beragam. Apabila dahulu
hanya terdapat satu versi mengenai Gerakan 30 September, maka kini telah
10
F. Penutup
Pelurusan sejarah merupakan sebuah wacana yang tidak dapat
terelakkan setelah kemunculan reformasi yang membawa harapan tentang
keterbukaan. Munculnya berbagai tulisan yang mengangkat tema-tema yang
pada masa Orde Baru mengalami pelarangan, ditulisnya biografi tokoh-tokoh
terbuang, dan penerbitan karya sejarah akademik menjadi satu tanda era
pelurusan sejarah tersebut. Selain itu pelurusan sejarah merupakan upaya yang
dilakukan untuk memunculkan pemikiran-pemikiran alternatif yang selama ini
tidak mendapatkan apresiasi, sehingga pelurusan sejarah memunculkan
keberagaman dalam penulisan sejarah. Salah satu sejarawan yang intens dalam
kajian tentang pelurusan sejarah adalah Asvi Warman Adam. Dalam berbagai
tulisannya, terutama di media massa ia banyak mewacanakan tentang
pelurusan sejarah Indonesia, yakni tentang upaya membongkar kebohonan-
kebohongan dan rekayasa dalam historiografi Indonesia dan mengarahkan
histiriografi Indonesia menjadi ajang pembebasan bagi kaum yang tertindas.
13
DAFTAR PUSTAKA
Nordholt, Henk Schulte, Bambang Purwanto, & Ratna Saptari (ed). 2008.
Perspektif baru Penulisan Sejarah Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia, KITLV-Jakarta, Pustaka Larasan.