Anda di halaman 1dari 13

1

ASVI WARMAN ADAM DAN


UPAYA PELURUSAN SEJARAH INDONESIA

Disusun Sebagai Tugas Mata Kuliah Historiografi


Dosen Pengampu Dra. Sutiyah, M.Pd., M.Hum.

Oleh
TSABIT AZINAR AHMAD
S860209113

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SEJARAH


PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
2010
2

ASVI WARMAN ADAM DAN


UPAYA PELURUSAN SEJARAH INDONESIA

Tsabit Azinar Ahmad

A. Pendahuluan
Penulisan sejarah selalu berkaitan dengan adanya kepentingan-
kepentingan politik. Ada dua kepentingan dalam penulisan dan pendidikan
sejarah, yakni sejarah dipandang sebagai alat untuk menumbuhkan
nasionalisme dan kesadaran kolektif tentang identitas kebangsaan. Kedua,
sejarah dilihat sebagai alat legitimasi kekuasaan. Makna politis pertama
dikategorikan sebagai kepentingan yang bersifat afirmatif. Sementara itu,
makna kedua bersifat kompulsif dan manipulatif. Sifat kompulsif dan
manipulatif itu disebabkan adanya pemanfaatan sejarah untuk kepentingan
salah satu pihak dengan menonjolkan keunggulan-keunggulan penguasa dan
mereduksi sejarah yang tidak sesuai dengan “sejarah resmi”. Akiatnya
penulisan sejarah lebih cenderung untuk bersifat tunggal, sehingga mereduksi
adanya pemikiran-pemikiran alternatif dari sudut pandang yang berbeda dalam
historiografi.
Pada masa Orde Baru, pemerintah sedemikian rupa melakukan upaya
pembentukan pengetahuan sejarah (historical knowledge) yang seragam dan
sesuai dengan versi pemerintah. Upaya pembentukan pengetahuan sejarah
telah menyebabkan tidak adanya apresiasi terhadap tulisan dan pemikiran
sejarah yang bersifat alternatif, serta memunculkan kecenderungan rekayasa
sejarah untuk kepentingan pihak-pihak tertentu. Henk Schulte Nordholt,
Bambang Purwanto, dan Ratna Saptari (2008: 3) menyatakan “para sejarawan
kritis telah menunjukkan bahwa sejarah versi Orde Baru telah membungkam
suara dari pihak-pihak yang dianggap mengganggu dan mengancam
pemerintahan militer yang berkuasa”. Senada dengan hal di atas, Bambang
Purwanto (2001: 111) menjelaskan bahwa “Indonesian history is considered
primarily as a product of social and political engineering of the New
Order rather than an appropriate scholarly apparatus”. Sejarah Indonesia
3

ditetapkan sebagai hasil dari mesin sosial dan politik dari Orde Baru daripada
(hasil dari) pihak akademisi.
Pada waktu itu Kejaksaan Agung dan Kopkamtib sangat berkuasa. Sejak
tahun 1970 ada ketentuan tidak boleh lagi ada peringatan hari lahir Pancasila.
Buku Bung Karno diperiksa. Ada ketakutan untuk menerbitkan buku-buku
tentang Bung Karno atau buku-buku sejarah yang sebenarnya bisa
diperdebatkan secara ilmiah. Sampai saat-saat terakhir Orde Baru, larangan itu
berlanjut. Buku Bayang-bayang PKI terbitan ISAI yang hanya mengatakan
ada beberapa versi tentang G30S dilarang. Larangan demi larangan terhadap
buku yang tidak sesuai versi pemerintah menyebabkan sejarawan jadi enggan
menulis buku tentang persoalan itu (Bambang Wisudo, 2005)
Permasalahan-permasalahan di atas, mencapai titik balik ketika pada
tahun 1998 terjadi perubahan dalam struktur pemerintahan dengan adanya
reformasi. Keterbukaan yang terjadi setelah reformasi memunculkan berbagai
pemkiran baru tentang penulisan sejarah di Indonesia. Dengan demikian,
dapat diungkapkan bahwa telah terjadi dinamisasi dan perubahan corak
historiografi Indonesia pascareformasi. Gagasan yang paling banyak
diperbincangkan adalah gagasan tentang pelurusan sejarah. Salah satu
sejarawan yang banyak mengeluarkan gagasan tentang pelurusan sejarah ini
adalah Asvi Warman Adam. Dari pemikiran di atas, secara ringkas tulisan ini
akan membahas tentang wacana pelurusan sejarah yang muncul
pascareformasi dan peran serta sejarawan yang turut serta membesarkan
wacana pelurusan sejarah, yakni Asvi Warman Adam.

B. Reformasi dan Perkembangan Historiografi Indonesia


Semenjak bergulirnya reformasi, perubahan-perubahan terjadi dalam
berbagai aspek kehidupan bangsa Indonesia. Salah satu perubahan yang paling
menonjol adalah dengan terwujudnya satu keadaan yang memungkinkan
masyarakat untuk mengemukakan pendapatnya secara bebas. Terwujudnya
kebebasan dalam mengungkapkan pendapat ini menjadi satu indikator dari
pencapaian iklim yang demokratis dalam sebuah sistem pemerintahan.
Reformasi dengan demikian telah mengubah mind set atau pola pikir sebagian
4

besar masyarakat menjadi lebih terbuka dan memiliki keluasan pandangan


tentang kondisi diri dan lingkungannya.
Perubahan pola pikir masyarakat yang ditunjang dengan adanya
serangkaian perubahan kebijakan pemerintah pascareformasi telah membawa
seperangkat perubahan dalam bidang sejarah. Kemunculan reformasi telah
membawa satu tahapan baru dalam historiografi Indonesia yang oleh
Kuntowijoyo disebut dengan “gelombang ketiga” (Asvi Warman Adam,
2007a:8-9). Gelombang pertama disebut sebagai dekolonisasi sejarah yang
diawali dengan adanya Seminar Sejarah Nasional pertama pada tahun 1957 di
Yogyakarta. Pada tahap ini terdapat keinginan yang sangat kuat dalam
masyarakat sesudah merdeka untuk memiliki sejarah nasional sendiri yang
tidak lagi ditulis oleh penjajah belanda. Pendekatan sejarah yang
neerlandosentris digugat untuk diubah menjadi pendekatan yang
Indonesiasentris (Asvi Warman Adam, 2007a: 8).
Gelombang kedua ditandai dengan adanya pemanfaatan ilmu sosial
dalam sejarah yang terlihat secara menonjol dalam Seminar Sejarah Nasional
II di Yogyakarta pada 1970. Pendekatan ini dipelopori oleh Sartono
Kartodirdjo. Pendekatan ilmu sosial ini memiliki dua keuntungan, pertama
secara akademis ia meningkatkan mutu penulisan sejarah. Secara politis
sejarah bersikap netral terhadap penguasa bahakn ia jauh dari posisi sebagai
kritis sosial. Namun demikian, pada waktu itu bersamaan pula dengan
munculya segelintir sejarawan yang melakukan rekayasa sejarah untuk
kepentingan rezim yang memerintah. Sejarah menjadi alat legitimasi bagi
penguasa sekaligus alat represi terhadap kelompok yang berseberangan (Asvi
Warman Adam, 2007a: 9).
Sementara itu gelombang ketiga dalam historiografi Indonesia ditandai
dengan adanya upaya pelurusan terhadap hal-hal yang kontroversial dalam
sejarah yang ditulis semasa Orde Baru. Berkaitan dengan munculnya
gelombang ketiga dalam perkembangan historiografi Indonesia, Asvi Warman
Adam (2007:9-14) memberikan penjelasan tentang ciri dari gelombang ketiga
sejarah Indonesia yakni (1) penulisan sejarah ”terlarang”, yang ditandai
dengan munculnya beragam versi dan teori baru yang pada masa lalu hal ini
5

sulit terjadi, (2) penerbitan sejarah akademis yang kritis, seperti penerbitan
karya ilmiah yang selama ini hanya dinikmati oleh kalangan terbatas, serta (3)
penerbitan biografi tokoh terbuang yang berisi kesaksian dari para tokoh yang
pada masa lalu dianggap sebagai tokoh yang dianggap “berbahaya” dan
“terbuang”. Dengan adanya hal-hal tersebut, sejak reformasi telah terjadi
pergeseran paradigma dan dinamisasi penulisan sejarah, dari sejarah yang
semula bersifat tunggal versi resmi pemerintah menjadi sejarah yang lebih
beragam dengan adanya beberapa versi yang muncul dalam masyarakat.
Perspektif penulisan sejarah juga mengalami suatu dinamika akibat
terjadinya reformasi. Bahkan dinamika yang terjadi setelah reformasi adalah
adanya perubahan corak historiografi Indonesia. Perubahan corak historiografi
Indonesia telah memunculkan pendapat-pendapat yang beranekaragam tentang
satu peristiwa sejarah, seperti berkembangnya beberapa versi dari Gerakan 30
September tahun 1965.
Perubahan corak dan dinamisasi dalam historiografi Indonesia
pascareformasi dapat dilihat juga dengan bermunculannya trend yang disebut
sebagai ”sejarah korban” (Asvi Warman Adam, 2007a: 9). Sejarah korban
merupakan sejarah yang ditulis berdasarkan perspektif dari pihak yang merasa
dirugikan atau yang menjadi korban dalam suatu peristiwa sejarah dan
penulisannya di kemudian hari. Dengan demikian hal ini telah memberikan
suatu keseimbangan dalam penulisan sejarah dan memperkaya wacana tentang
suatu peristiwa sejarah.
Historiografi Indonesia yang berkembang pascareformasi sebagian
mencoba untuk mempertanyakan versi masa lampau sejarah Indonesia dan
menguji kerangka yang sudah lama mapan (Curaming, 2006). Lebih lanjut
lagi dinyatakan bahwa pada historiografi pascareformasi terjadi kecederungan
berupa adanya keinginan untuk membersihkan upaya penulisan sejarah dari
kedekatannya dengan Orde Baru dan adanya upaya mengubah paradigma yang
telah lama berkembang bahwa sejarah identik dengan sejarah politik
(Curaming, 2006).
6

C. Sekilas Sosok Asvi Warman Adam


Asvi Warman Adam, lahir di Bukittinggi 8 Oktober 1954. Pada saat ini
ia bekerja di Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
(LIPI) sejak tahun 1983. Sebelumnya ia merupakan seorang wartawan pada
majalah Sportif sejak 1980. Pengalamannya sebagai seorang wartawan inilah
yang nanti akan memberikan sentuhan-sentuhan dalam tulisan-tulisannya yang
bersifat populer.
Pendidikan sarjana muda ia tempuh di Universitas Gadjah Mada
Yogyakarta lulus pada tahun 1977, dan tingkat sarjana pada Universitas
Indonesia lulus pada tahun 1980. Semuanya dari jurusan sastra Perancis.
Inilah yang menjadi bekal dalam perjalanan akademik berikutnya, ketika ia
melanjutkan studi di Perancis dengan mengambil sejarah sebagai bidang
kajiannya.
Asvi Warman Adam mendapatkan gelar doktor dalam bidang ilmu
sejarah dari EHESS (Ecole des Hautes Etudes en Sciences Sociales) di Paris
pada tahun 1990. EHESS Paris merupakan sekolah tinggi di Perancis yang
sangat terkemuka di bidang Sejarah. Di sini berkumpul pada profesor yang
menganut aliran Nouvelle Histoire (New History). Sekolah ini didirikan da
pertama kali dipimpin oleh Fernand Braudel, pelopor aliran sejarah tersebtut.
Disertasinya mengangkat tentang hubungan Hindia Belanda dengan Indochina
pada masa kolonial Les Relations entre les Indes Neerlandaises et l’Indochine
1870-1914 di bawah bimbingan Denys Lombard.
Sepulangnya ke Indonesia pada tahun 1990 meneli di LIPI tentang
masalah Vietnam, Kamboja, dan ASEAN. Selain itu ia juga berniat untuk
mengembangkan aliran sejarah dari EHESS. Sejak tahun 1999 sering menulis
tentang rekayasa sejarah Orde Baru dan mengembangkan wacana tentang
pelurusan sejarah Indoesia, serta penulisan historiografi Indonesia dari
perspektif korban. Ia pernah menjadi anggota tim Pengkaji Pelanggaran HAM
Berat Soeharto yang dibentuk Komnas HAM tahun 2003. Ia juga pernah
menjadi narasumber pada CAVR Timor Leste tahun 2004 dan Komisi
Kebenaran dan Persahabatan Indonesia-Timor Leste tahun 2008.
7

Proses pergulatan intelektual dari Asvi Warman Adam tidak lepas dari
aliran sejarah tempat di mana ia melakukan studi, yakni tempat lahir dan
berkembangnya aliran sejarah baru atau yang sering dikenal dengan mazhab
Annales. Pada tahun 1920-an di Perancis ada istilah “sejarah jenis baru” yang
dikembangkan oleh Marc Bloch dan Lucien Febvre dari Universitas
Strasbourg dengan menerbitkan jurnal berjudul Annales d’histoire
eqonomique et sociale yang mengkritik tajam sejarawan tradisional. Mereka
ingin mengganti sejarah politik menjadi sejarah yang lebih luas dan
manusiawi. Oleh karena itu sejarah bukan lagi semata-mata narasi mengenai
kejadian-kejadian, tetapi analisis mengenai struktur. Kelompok ini kemudian
dikenal dengan mazhab Annales. Mazhab Annales menekankan pada
pendekatan holistik, interdisiplin, struktural, serta berbagai perkembangan
penulisan dengan pendekatan yang baru. Dengan demikian muncul tema-tema
baru dalam penulisan sejarah, seperti sejarah wanita, sejarah mentalitas, dan
sebagainya (Kuntowijoyo, 2008). Aliran sejarah ini pulalah yang turut
mempengaruhi padangan Asvi Warman Adam dalam tulisan-tulisannya yang
lebih cenderung bersifat alternatif dalam historiografi Indonesia kontemporer
pascareformasi.

D. Asvi dan Pelurusan Sejarah


Pelurusan sejarah menjadi wacana yang sangat kental dan berkembang
dengan pesat setelah reformasi. Sebagai sebuah terma, istilah pelurusan
sejarah sebenarnya masih mengundang sejumlah perdebatan diantara
sejarawan itu sendiri. Ada sebagian kalangan yang tidak sepakat dengan
penggunaan istilah “pelurusan sejarah” karena menurut mereka apakah sejarah
itu dapat diluruskan.
Dalam pandangan Asvi Warman Adam, golongan yang tidak setuju itu
bisa kategorikan menajdi tiga. Pertama, yang memang orang awam, yang
tidak mengetahui apa arti atau makna pelurusan sejarah itu; kedua, para
sejarawan yang dulu terlibat dalam usaha memanipulasi sejarah; dan yang
ketiga, sejarawan yang lain yang tidak terlibat, tetapi menganggap bahwa
istilah itu sendiri kurang ilmiah. Karena, kalau sudah diluruskan, kalau salah
8

lagi bagaimana? Apakah akan diluruskan kembali, kalau begitu tidak akan
selesai-selesai. Tetapi di lain pihak, ada juga sejarawan yang setuju dengan
istilah pelurusan sejarah tersebut. Alasan mereka yang setuju adalah bahwa
istilah ini penting diajukan untuk menyatakan, bahwa pada masa lampau
sudah terjadi pembelokan sejarah (Rakyat Merdeka, 13 April 2005). Lebih
lanjut lagi dinyatakan bahwa pelurusan sejarah akan mampu memberikan
sebuah wacana bahwa sejarah yang selama ini dipergunakan sebagai alat
penindas perlu diubah menjadi medium pembebasan (Bambang Wisudo,
2005).
Dalam pandangan Asvi Warman Adam, pelurusan sejarah berkaitan
dengan sejarah sebagaimana diceritakan, bukan sejarah sebagai peristiwa yang
dialami (Asvi Warman Adam, 2007a: 3-4). Artinya hal tersebut lebih
cenderung menitikberatkan pada aspek interpretasi terhadap suatu peristiwa
sejarah.
Ketertarikan Asvi Warman Adam terhadap pelurusan sejarah khususnya
tentang peristiwa 1965 muncul setelah reformasi. pada tahun 1999. Dia
diminta ceramah oleh Yayasan Hidup Baru, sebuah yayasan yang mengurusi
bekas tahanan politik 1965. “Saya terharu atas semangat juang mereka. Saya
terharu ketika mereka, bapak-ibu berusia sepuh itu, mengumpulkan uang
recehan. Hasilnya sekitar Rp 25.000, diserahkan sebagai honorarium ceramah
saya.” (Sularto, 2009).
Dengan ketekunan, dia ikuti dan teliti segala narasi Peristiwa 1965 yang
berkembang selama ini. Dia sampaikan obsesi itu dalam berbagai tulisan dan
karangan pengantar buku, yang semuanya berfokus ajakan menguak
kebohongan sejarah, utamanya sekitar Peristiwa 1965 (Sularto, 2009).
Peristiwa seputar 1965 menjadi fokus yang sering ditulis oleh Asvi. Hal
ini karena Peristiwa 1965 merupakan tahun pembatas zaman. Zaman berubah
antara sebelum 1965 dan sesudahnya. Perubahan itu terjadi dalam bidang
ekonomi, politik, dan sosial budaya secara serentak. Setelah tahun 1965,
politik luar negeri berubah total. Dari nonblok menjadi pro-Barat, menjadi
pengikut Amerika Serikat. Ekonomi Indonesia yang dulunya berdikari
berubah menjadi ekonomi yang tergantung pada modal asing. Dalam bidang
9

sosial budaya juga terjadi perubahan sangat besar. Pada masa lampau, orang
boleh mempersoalkan tanah. Pada masa Orde Baru, penelitian tentang agraria
pun hilang. Orang tidak boleh lagi mengungkit-ungkit tanah. Dalam bidang
kebudayaan, sebelum 1965, kita bebas berpolemik. Sesudah tahun 1965
budaya menjadi seolah-olah satu, menjadi monolitik. Tidak ada lagi perbedaan
dan semua menjadi seragam.
Bagi Asvi Warman Adam, peristiwa 1965 menimbulkan dampak sangat
besar. Dari tahun 1965 sampai 1966, ada sekitar setengah juta orang terbunuh.
Ini luar biasa. Sebuah peristiwa yang harus ditulis dalam buku pelajaran
sejarah nasional. Akan tetapi, peristiwa ini tidak pernah disinggung.
Pembunuhan 1965-1966 sengaja dihilangkan dalam sejarah. Akibatnya,
kekerasan lebih kurang serupa terulang lagi melalui pelanggaran HAM di
mana-mana. Peristiwa 1965 merupakan kekerasan paling besar dalam sejarah
Indonesia modern (Bambang Wisudo, 2005).
Pelurusan sejarah ini bagi Asvi Warman Adam (dalam Bambang
Wisudo, 2005) berkaitan dengan kenyataan bahwa sudah terjadi pembelokan
atau manipulasi pemalsuan sejarah pada masa Orde Baru. Walaupun demikian
tentunya tidak berarti pelurusan sejarah ini hanya menyangkut periode Orde
Baru saja, tetapi juga bisa berkenaan dengan masa-masa sebelumnya.
Misalnya, masa yang panjang yang selalu dikatakan bahwa penjajahan
Belanda di Indonesia berlangsung selama 350 tahun itu. Padahal sewaktu
masa penjajahan Belanda, banyak kerajaan-kerajaan di Nusantara yang masih
berdaulat. Belanda tidak sampai menjajah atau menguasai kerajaan-kerajaan
itu.
Di dalam tulisannya yang berjudul Pelurusan Sejarah dan Historiografi
Alternatif (2005) dinyatakan bahwa pelurusan sejarah yang populer setelah
kejatuhan Suharto pada dasarnya merupakan upaya untuk membenahi
penulisan sejarah yang selama Orde Baru bersifat monolitik terutama yang
bersangkutan dengan pengajaran sejarah di sekolah. Masyarakat pda saat itu
hanya boleh mengetahui versi pemerintah. Oleh karena itu, pelurusan sejarah
berarti membuat sejarah yang seragam itu menjadi beragam. Apabila dahulu
hanya terdapat satu versi mengenai Gerakan 30 September, maka kini telah
10

terungkap berbagai versi sejarah. Ini artinya bahwa munculnya kontroversi


sejarah merupakan bagian dari upaya terhadap pelurusan sejarah itu. Pelurusan
sejarah itu menyangkut penjelasan peristiwa yang lebih tepat, lebih
berimbang, dan lebih terbuka.
Pelurusan sejarah tentulah tidak berkisar tentang Suharto versus Sukarno
dan PKI saja, tetapi juga mencakup seluruh zaman. Akan tetapi, pada
pemerintahan Orde Baru, rekayasa sejarah itu dilakukan lebih sistematis
daripada masa-masa sebelumnya dan sesudahnya.
Secara struktural, pelurusan sejarah merupakan upaya untuk
menyelesaikan masalah masa lalu bangsa. Pelurusan sejarah juga menyangkut
pengungkapan hal-hal yang tabu pada masa lampau seperti berbagai
pelanggaran berat HAM. Bukan hanya kasus 1965, tetapi berbagai peristiwa
yang terjadi sebelum dan sedudahnya juga harus diungkap. Kasus Aceh, Irian
Jaya, Timor Timur, Lampung, Tanjung Priok, Peristiwa 27 Juli 1996, Kasus
Trisakti dan Semanggi, dan sebagainya perlu diteliti dan dituliskan dalam
sejarah. Jika hal ini tidak dilakukan, maka bangsa ini akan melangkah ke
depan dengan menyandang beban (Asvi Warman Adam, 2007a: 27).
Dari ketertarikannya terhadap tema-tema seputar pelurusan sejarah,
terbitlah beberapa buku yang mengulas tentang permasalahan tersebut.
Berkaitan dengan upaya pelurusan sejarah, ia telah menulis beberapa buku
antara lain Suharto: Sisi Gelap Sejarah Indonesia (2004), Menggugat
Historiografi Indonesia (2005), Seabad Kontroversi Sejarah (2007),
Pelurusan Sejarah Indonesia (2007), Membongkar Manipulasi Sejarah:
Kontroversi Pelaku dan Peristiwa (2009), Orang-Orang di Balik Tragedi
(2009), dan sebagainya. Selain itu ia juga banyak menulis dalam berbagai
forum dan media massa yang berkaitan dengan pelurusan dan kontroversi
sejarah Indonesia.
Dalam mengembangkan wacana tentang pelurusan sejarah, Asvi
Warman Adam (2005: 65-66) memandang pelurusan sejarah tampaknya
sejalan dengan historiografi alternatif. Kemunculan historiografi alternatif ini
diilhami oleh gebrakan-gebrakan yang dilakukan oleh Mazhab Annales yang
melakukan upaya pembaruan dalam bidang sumber, metodologi, dan
11

perspektif. Dengan demikian, historiografi alternatif yang dimaksud adalah


historiografi yang mengandung pembaharuan dalam hal sumber, metodologi,
dan perpektif. Dalam hal ini dapat disebutkan pula bahwa sejarah lisan
menjadi alternatif dari sumber tertulis. Kalau dulu sejarah ditulis dalam
perspektif pemenang, kini sejarah bisa ditulis oleh pihak yang kalah atau
korban. Sejarah dalam perspektif korban dapat menjadi sejarah alternatif, kini
dan esok. Lebih lanjut lagi dijelaskan bahwa sejarah bukan saja tentang
peristiwa besar dan orang-orang besar, melainkan juga menyangkut
keseharian orang-orang kecil. Mengenani metodologi, dapat disarankan
digunakannya pendekatan Marxisme dalam sejarah atau dekonstruktif
yagdikembangkan oleh aliran posmodernisme (Asvi Warman Adam, 2005:
66).

E. Pelurusan Sejarah dalam Munculnya Kontroversi Sejarah


Kontroversi sejarah merupakan salah satu bagian yang tidak lepas dari
upaya terhadap pelurusan sejarah di Indonesia. Hal ini karena pelurusan
sejarah ditandai dengan adanya apresiasi terhadap tulisan-tulisan alternatif,
sehingga hal ini berpeluang bagi kemunculan tulisan-tulisan dari berbagai
sudut pandang. Kajian tentang kontroversi sejarah ini juga menjadi satu
wacana yang dicoba untuk dikembangkan oleh Asvi Warman Adam. Wacana
tentang kontroversi sejarah dimunculkan oleh Asvi Warman Adam (2007b)
dalam bukunya berjudul Seabad Kontroversi Sejarah. Dalam buku ini ia
banyak bercerita tentang berbagai peristiwa sejarah yang bersifat
kontroversial, mulai dari mitos penjajahan 350 tahun sampai peristiwa
reformasi.
Dalam kajian tentang kontroversi sejarah, Asvi Warman Adam
menawarkan tiga macam penyebab dari tipologi kontroversi sejarah.
Kontroversi sejarah di Indonesia disebabkan oleh fakta dan interpretasi yang
(1) tidak tepat, (2) tidak lengkap, dan (3) tidak jelas. Contoh kategori pertama
adalah kontroversi tentang mitos penjajahan 350 tahun, munculnya versi
tunggal tentang peristiwa Gerakan 30 September tahun 1965 dan Supersemar.
Sementara itu kategori kedua menyangkut Budi Utomo dan kaitannya dengan
12

hari kebangkitan nasional, Sumpah Pemuda sebagai tonggak dalam


mewujudkan persatuan, dan sebagainya. Adapun sejarah yang termasuk
kategori kegita adalah tentang hal-hal yang tidak jelas dalam sejarah
Indonesia, seperti naskah asli Supersemar, peristiwa Malari tahun 1974,
petrus, dan peristiwa yang masih belum terbukti dan bersifat kabur (Asvi
Warman Adam, 2007b; 2009, 101-106).
Dikaitkan dengan tipologi yang dilakukan oleh Asvi arman Adam
(2007b) terhadap kontroversi sejarah, dengan demikian tugas dari pelurusan
sejarah adalah untuk menepatkan, melengkapi, dan memperjelas suatu
peristiwa sejarah.

F. Penutup
Pelurusan sejarah merupakan sebuah wacana yang tidak dapat
terelakkan setelah kemunculan reformasi yang membawa harapan tentang
keterbukaan. Munculnya berbagai tulisan yang mengangkat tema-tema yang
pada masa Orde Baru mengalami pelarangan, ditulisnya biografi tokoh-tokoh
terbuang, dan penerbitan karya sejarah akademik menjadi satu tanda era
pelurusan sejarah tersebut. Selain itu pelurusan sejarah merupakan upaya yang
dilakukan untuk memunculkan pemikiran-pemikiran alternatif yang selama ini
tidak mendapatkan apresiasi, sehingga pelurusan sejarah memunculkan
keberagaman dalam penulisan sejarah. Salah satu sejarawan yang intens dalam
kajian tentang pelurusan sejarah adalah Asvi Warman Adam. Dalam berbagai
tulisannya, terutama di media massa ia banyak mewacanakan tentang
pelurusan sejarah Indonesia, yakni tentang upaya membongkar kebohonan-
kebohongan dan rekayasa dalam historiografi Indonesia dan mengarahkan
histiriografi Indonesia menjadi ajang pembebasan bagi kaum yang tertindas.
13

DAFTAR PUSTAKA

Asvi Warman Adam. 2005. “Pelurusan Sejarah dan Historiografi Alternatif”.


Dalam Asvi Warman Adam dan Bambang Purwanto. 2005. Menggugat
Hisoriografi Indonesia. Yogyakarta: Penerbit Ombak.

--------. 2007 a. Pelurusan Sejarah Indonesia (Edisi Revisi). Yogyakarta: Penerbit


Ombak.

--------. 2007 b. Seabad Kontroversi Sejarah. Yogyakarta: Penerbit Ombak.

--------. 2009. Membongkar Manipulasi Sejarah: Kontroversi Pelaku dan


Peristiwa. Jakarta: Kompas.

Bambang Purwanto. 2001. “Reality and Myth in Contemporary Indonesian


History”. Humaniora. Volume XIII, No. 2/2001. Hlm. 111-123.

Bambang Wisudo, P. 2005. “Asvi Warman Adam Meluruskan Sejarah”. Kompas.


17 Juli 2005.

Curaming, Rommel. 2006. Toward Reinventing Indonesian Nasionalist


Histriography. Dalam http://kyotoreview.cseas.kyoto-
u.ac.jp/issue/issue2/article_245.html. Diunduh pada 17 Desember 2006.

Kuntowijoyo. 2008. Penjelasan Sejarah (Historical Explanation). Yogyakarta:


Tiara Wacana

Nordholt, Henk Schulte, Bambang Purwanto, & Ratna Saptari (ed). 2008.
Perspektif baru Penulisan Sejarah Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia, KITLV-Jakarta, Pustaka Larasan.

Rakyat Merdeka. 2005. Dr.Asvi Warman Adam, Tentang Pelurusan Sejarah. 13


April 2005.

Sularto, S.T. 2009. “Asvi Menggapai Kebenaran Sejarah”. Kompas. 30 September


2009.

Anda mungkin juga menyukai