Anda di halaman 1dari 9

Seabad Kontroversi Sejarah Asvi Warman Adam Terbit Pertama, Maret 2007 180 Halaman Selama orde baru

berkuasa, banyak penulisan sejarah yang tidak sesuai dengan peristiwa sebenarnya terjadi yang disuguhkan kepada masyarakat. Hal ini bertujuan untuk mempertahankan kekuasaan yang diusung oleh penguasa tersebut. Penulisan sejarah yang dipublikasikan ke masyarakat cendrung kabur bahkan di kaburkan demi kepentingan penguasa sehingga membinggungkan dan cendrung membohongi masyarakat. Masyarakat jadi tidak melek sejarah kerena memang sistim yang di kembangkan oleh pemerintah orde baru tidak memberikan kesempatan bagi masyarakat untuk memahami peristiwa-peristiwas masa lalu tersebut secara menyeluruh. Namun setelah orde baru berakhir, masyarakat mulai mengugat penulisan sejarah versi pemerintah itu. Buku-buku sejarah baru diluncurkan. Sejarah pun jadi kontroversi. Sejarah yang sebelumnya hanya di anggap sebagai nostalgia masa lalu sekarang ini mulai di perdebatkan. Sejarah merupakan peristiwa atau aktifitas yang di lakuakan manusia pada masa lampau yang membawa perubahan dan perkembangan secara bersikenambungan. Menurut Kuntowojoyo(1995) sejarah dapat sebagai ilmu apabila sudah memenuhi kriteria terentu, seperti harus empiris, memiliki objek formal dan meterial, memiliki teori, memiliki generalisasi serta memiliki metode. Selain sebagai media pendidikan, sejarah juga mempunyai peranan dalam membangkitkan semangat nasionalisme. Karena sejarah begitu penting dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, sudah seharusnya sejarah bebas dari kungkungan kekuasaan. Sudah saatnya masyarakat di berikan informasikan yang jelas mengenai peristiwa-peristiwa masa lalu yang benar-benar terjadi dan apa adanya, seperti penerbitan buku-buku sejarah yang baru. Buku yang bertitel Seabad Kontroversi Sejarah karya Asvi Warman Adam ini, merupakan kumpulan tulisan yang pernah dimuat di berbagai media massa nasional setelah Seoharto berhenti sebagai presiden. Di atara tulisan tersebut ada yang berasal dari makalah di seminarseminar dan sebagian lain di tulis untuk menyambut peringatan peristiwa sejarah tertentu. Dengan kata lain, tulisan-tulisan ini tidak disusun pada waktu yang bersamaan. Rentang waktu itulah yang menyebabkan terjadinya pergeseran pandangan penulis atau perubahan-peruban istilah yang digunakan. Pada penulisan-penulisan sebelumnya Asvi Warman Adam menulis Gestok (Gerakan Satu Oktober) namun sekarang penulis lebih konsisten mengunakan G30S/PKI karena istilah ini telah di kenal luas oleh masyarakat. Kategori kontroversi pertama dalam buku ini adalah benarkah Indonesia dijajah belanda selama 350 tahun? Prof. Mr. Gertudes Johan Resink (1911-1997) membantah pernyataan tersebut dalam buku Mereka Telah Menulis Sejarah (1996), Asvi Warman Adam tergabung dalam tim editornya. Kontroversi mengenai PKI yang ditulis menyatu dengan gerakan 30 September (G30S) dan sejarah yang berhubungan dengan mantan presiden soeharto juga termasuk kategori pertama dalam buku ini. Ada dua kategori lainnya yang patut untuk di cermati. Asvi Warman Adam membagi isi buku menjadi dua bagian, yaitu Kontroversi Dalam Sejarah Indonesia dan Dekontruksi Sejarah Indonesia pada bagian keduanya. Bagian pertama buku Asvi memfokuskan pada peristiwa masa lalu bangsa ini yang bertolak belakang dengan apa yang di ajarkan ke murid-murid dari tingkat dasar sampai Sekolah Menengah Atas (SMA) bahkan ditingkat universitas. Adapun bagian kedua dari buku,mencoba menjelaskan definisi pahlawan yang selama ini masih membingunkan masyarakat. Para guru tentu dibingungkan dengan sederet pertanyaan mengenai Ahmad Husein dengan PRRInya serta Kahar Mudzakar dengan kekecewaannya terhadap kedudukan militer serta kasus-kasus lainnya. Untuk kasus Ahmad Husein, kita perlu memilahmilah. Akhir keberadaan belanda di Indonesia (agresi I dan II), Husein tampil sebagai pejuang tapi ia bergejolak pada peristiwa PRRI tahun 1958. Untuk menjawab apakah ia pahlawan atau pembrontak, memang tidak gampa. Terlebih dahulu kita harus mamahami latar belakang kenapa hal itu bisa terjadi (hal.134).

Dalam buku ini, Asvi Warman Adam lebih menonjolkan gugutan masyarakat pada penulisan sejarah setelah presiden Soeharto lengser. Dari kelompok masyarakat mana yang mengugat, tidak dijelaskan dalam buku ini. Pada Tahun 1957 dalam acara seminar sejarah nasioanal yang pertama sudah ada gugatan terhadap penulisan sejarah Indonesia atau yang lebih dikenal dengan gagalnya Historiografi Indonesiasentris (Bambang Purwanto) dari kalangan sejarawan Indonesia. Beberapa sumber dalam buku juga tidak terlacak, ini menandakan bahwa beberapa sumber yang digunakan tidak sahih dan tidak jelas. Sub-sub judul yang diuraikan, semua berdasarkan tulisan yang ditelah di muat dalam koran-koran terbitan nasional yang sudah tentu diketahui oleh masyarakat luas terutama para pelangan koran-koran tersebut. Sejarawan muda atau akadimisi yang berkejimpung dalam bidang ilmu sosial dapat memanfaatkan buku ini sebagai pembuka wawasan tentang perbedaan perspektif dalam masyarakat mengenai sejarah yang pengawasan dan pengendaliannya secara politik yang berpengaruh terhadap penulisan sejarah tersebut. Buku ini juga dapat di jadikan salah satu pengangan bagi guru dan pelajar serta masyarakat yang selama orde baru berkuasa telah menjadi korban rekayasa sejarah rezim Soeharto. Post to: delicious, Digg, ma.gnolia, Stumbleupon Menyikapi G30S Salahuddin Wahid AAT terjadi Peristiwa G30S, mayoritas masyarakat luas secara terbuka dan mantap meyakini bahwa PKI adalah dalang dari G30S. Januari 1966, Benedict Anderson dan Ruth McVey menulis Cornell Paper yang mengemukakan suatu hipotesa yang intinya menyatakan bahwa G30S adalah masalah internal Angkatan Darat dan tidak ada kaitannya dengan PKI. Beberapa pamen dari Diponegoro Jawa Tengah merasa tidak puas dan frustrasi terhadap kepemimpinan tentara yang rusak oleh kemewahan di Jakarta. Keterlibatan PKI hanyalah suatu kecelakaan. Ada sekitar sepuluh teori tentang siapa dalang G30S. Secara garis besar, ada beberapa intepretasi yang dikemukakan. Pertama, seperti yang dikemukakan oleh Anderson dan MacVey. Kedua, suatu gerakan yang dilakukan kelompok didalam TNI yang keseluruhannya diotaki PKI. Ketiga, suatu gerakan yang diintepretasikan sebagai suatu komplotan antara perwira pembelot dengan pemimpin-pemimpin PKI. Tentu tidak dapat diabaikan peran CIA dan Bung Karno. Setelah Orde Baru tumbang, kebebasan untuk menyatakan pendapat dibuka lebar. Muncul dorongan kuat untuk mengugat keabsahan versi resmi G30S. Kebanyakan generasi muda punya rumus tentang Peristiwa G30S: karena kami musuh Orde Baru, maka musuh Orde Baru adalah kawan kami. Maka, gugatan terhadap teori keterlibatan PKI dalam G30S diajukan dengan usulan untuk membatalkan materi dari kurikulum 1994 dibidang sejarah yang secara tegas mencantumkan kata G30S/ PKI dan bahwa PKI ialah dalang. Dibentuklah Tim untuk menulis kembali sejarah Indonesia yang terdiri dari para ahli sejarah tua dan muda, yang dipimpin oleh Prof Dr Taufik Abdullah. Dalang G30S PKI adalah dalang G30S. Itulah yang ingin dikemukakan Prof Aminuddin Kasdi dalam bukunya G30S/PKI, Bedah Ceasar Dewan Revolusi Indonesia. Judul itu menunjukkan bahwa G30S dan PKI adalah suatu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan dan bahwa G30S/PKI merupakan operasi untuk melahirkan Dewan Revolusi pada tanggal 1 Oktober 1965 pagi yang merupakan sebuah kudeta terhadap pemerintahan Bung Karno.

Berbagai fakta dikemukakan untuk mendukung kesimpulannya, yang diambil dari berbagai sumber termasuk dari berkas pengadilan (Mahmillub) untuk perkara Nyono, Untung dan lainlain. Saya juga mengutip paper Harold Crouch Another Look At Indonesian Coup (jurnal Indonesia No 15/1973) yang juga mengambil hasil persidangan Mahmillub (proceeding pengadilan) dan sebagian dari rekaman proses lengkap persidangan Mahmillub serta pendapat pakar lain. Dari bukti-bukti pengadilan yang diberikan tokoh-tokoh penting komunis, bisa ditarik kesimpulan ada tiga interpretasi pokok. Pertama, Nyono dalam persidangan mengakui bahwa ia mendukung perwira pemberontak secara pribadi dan menyusun daftar sejumlah anggota organisasi di bawah PKI untuk dilatih sebagai kekuatan pasukan cadangan, tetapi ia menolak bahwa PKI sendiri terlibat. Kedua, menurut Sudisman dan Pardede, pemimpin PKI telah mengambil keputusan untuk mendukung usaha coup tetapi mereka mengelak dengan mengatakan bahwa inisiatif gerakan justru datang dari "perwira" progresif, bukan dari PKI. Ketiga, Ketua Biro Khusus, Syam, memberikan bukti yang mengarah pada kesimpulan bahwa PKI telah merencanakan sejak awal gerakan coup dan bahwa perwira yang terlibat digerakkan PKI. Menurut Nyono, Politbiro PKI telah mengadakan 3 pertemuan pada bulan Agustus 1965 setelah Aidit kembali lawatan ke luar negeri. Ada tiga masalah yang dilontarkan Aidit. Pertama, berkaitan dengan sakitnya Presiden Soekarno yang dianggap sebagai hal serius. Kedua, informasi mengenai "Dewan Jenderal" yang berencana melakukan coup. Ketiga, prakarsa "perwira progresif" yang bermaksud mengambil tindakan preventif terhadap aksi "Dewan Jenderal". Menurut Nyono, dalam pertemuan itu Aidit melontarkan soal apakah PKI lebih baik menyokong "perwira progresif" yang akan melakukan aksi pencegahan atau melaporkan kepada presiden dan menunggu sikap presiden. Pada akhir pertemuan (28 Agustus 1965) itu, Aidit mengaskan bahwa pilihan kedualah (melapor kepada presiden) yang diambil. Tetapi Nyono mengakui bahwa Aidit telah memutuskan untuk melakukan kontak dengan para perwira pembelot itu. Dia juga mengakui, sebagai anggota Politbiro telah bekerja sama dengan para perwira pemberontak itu untuk merekrut sukarelawan dari organisasi massa PKI untuk pasukan cadangan yang dilatih disekitar Halim dengan koordinasi Angkatan Udara pada bulan Juli-September 1965. Kesaksian Tokoh PKI Peris Pardede, anggota Politbiro PKI, dalam kesaksian pada pengadilan Nyono menyatakan bahwa dalam rapat tanggal 28 Agustus 1965 ketika akan mengambil sikap terhadap aksi perwira progresif, Aidit melontarkan usul agar masalah itu untuk sementara diserahkan pada Standing Committee Politbiro. Rapat menyetujui usul itu. Kira-kira sepuluh hari kemudian, Pardede menanyakan kepada Sudisman mengenai keputusan itu. Jawab Sudisman, mereka memutuskan untuk mendukung sikap mengambil tindakan preventif yang akan dilakukan oleh para "perwira progresif". Dalam sidang pengadilannya (1967), Sudisman membenarkan kesaksian Pardede itu. Mengikuti keputusan itu, menurut Sudisman, Aidit lalu meminta Nyono untuk merekrut 2000 anggota ormas dibawah PKI untuk menjadi pasukan cadangan yang akan dimanfaatkan untuk melancarkan aksi "perwira progresif" itu.

Pada September 1965 Sudisman mengirim utusan ke Medan, Palembang, Banten, Jawa Tengah dan Jawa Timur untuk menginformasikan kemungkinan aksi "Dewan Jenderal" kepada cabangcabang PKI. Semua pengurus PKI diwilayah diharuskan memantau terus menerus perkembangan di Jakarta lewat radio dan juga "membantu Dewan Revolusi". Dengan demikian Sudisman mengakui bahwa pemimpin PKI secara sadar menyokong usahausaha coup. Namun dia menyatakan bahwa PKI hanyalah membantu gerakan yang secara nyata dilakukan "perwira-perwira progresif". Dia menyatakan bahwa keterlibatan para pemimpin PKI dalam gerakan coup itu tidak berarti bahwa partai secara keseluruhan terlibat. Syam (Kamaruzzaman) menjadi saksi dalam persidangan Sudisman dan dirinya sendiri. Dia adalah Kepala Biro Khusus Politbiro PKI yang dibentuk tahun 1964, yang bertanggungjawab secara langsung kepada Aidit. Banyak langkah yang dibuat Syam yang tidak diketahui pimpinan partai selain Aidit. Dia dicurigai sebagai double agent. Versi Syam berbeda. Menurutnya, Aiditlah yang mengambil prakarsa dengan mengintruksikan kepada Syam untuk menggalang perwira pemberontak yang bisa diajak untuk menjalankan rencana yang disusun oleh PKI. Jadi menurut Syam, "perwira progresif" tidak memainkan peran independen, mereka hanyalah alat yang siap digunakan apa saja oleh PKI. Jadi, dari uraian singkat di atas tampaknya bisa disimpulkan bahwa banyak pemimpin PKI terlibat dalam usaha coup, namun derajat keterlibatannya masih mengundang interpretasi yang beragam. Yang mengundang pertanyaan adalah pendapat para pemimpin PKI yang menyatakan bahwa keterlibatan mereka itu secara pribadi dan tidak melibatkan partai. Pernyataan itu sulit untuk diterima. Soeharto Terlibat? Sebaliknya, pihak yang mempunyai pendapat bertentangan juga mengajukan argumentasi dan "bukti" untuk mendukung pendapat mereka. Sebuah tulisan di Kompas (27-10-2004) berjudul "G30S, Terlibatkah Soeharto ?" oleh James Luhulima, mengemukakan pendapat bahwa tidak tertutup kemungkinan keterlibatan Pak Harto dalam G30S, bahkan posisinya amat strategis. Argumentasi yang dikemukakan adalah adanya kunjungan Kolonel Latief ke RSPAD menemui Pak Harto yang sedang menunggui Tommy yang sedang dirawat di sana, (29 dan 30 September 1965). Dalam kesempatan itu, menurut Kolonel Latief, dia menyampaikan kepada Pak Harto bahwa dalam waktu yang amat dekat akan terjadi penjemputan paksa terhadap beberapa jenderal yang tergabung dalam Dewan Jenderal yang diyakini akan melakukan kudeta terhadap Bung Karno. Para jenderal itu akan dibawa kehadapan Bung Karno untuk diinterogasi. Menurut penulis itu Pak Harto adalah satu-satunya perwira tinggi TNI yang mengetahui informasi tentang adanya operasi penjemputan paksa beberapa jenderal itu. Seharusnya Pak Harto tanggap dan melaporkannya pada Jenderal Ahmad Yani. Menanggapi laporan itu, menurut Kolonel Latief, Pak Harto hanya menjawab telah mengetahui hal itu dari seorang bekas anak buahnya bernama Subagiyo. Oey Tjoe Tat, seorang menteri diera Bung Karno, dalam memoirnya menyatakan bahwa dia bertemu Subagiyo di dalam tahanan yang mengatakan bahwa dia memang bertemu Pak Harto dan meyampaikan informasi seperti di atas. Tulisan itu juga menyatakan bahwa hampir semua pelaku inti G30S punya hubungan dekat dengan Pak Harto. Brigjen Soepardjo, Kolonel Untung, Syam Kamaruzzaman dan pimpinan batalyon yang bertugas dilapangan Monas. Selain itu juga ada informasi dari Wadanyon 530/ Para Brigade/ Brawijaya Kapten Soekarbi (Detak 29-9-1998) bahwa dalam Radiogram Pangkostrad No 220 dan No 239 tanggal 21-9-1965 yang ditandatangani Mayjen Soeharto,

diperintahkan agar batalyon tersebut yang dipersiapkan dalam rangka HUT ke-20 ABRI, datang dengan "perlengkapan tempur garis pertama". Tidak heran, pada saat G30S berlangsung, Pak Harto hanya melihat perkembangan untuk menunggu saat yang tepat dan dengan cepat melakukan langkah yang diperlukan, di saat pihak lain di dalam maupun di luar TNI masih tidak tahu apa yang sesungguhnya terjadi. Dengan memiliki seluruh informasi, Pak Harto dengan leluasa dapat mengendalikan keadaaan termasuk mengambil alih kendali TNI AD. Apalagi kemudian juga mengendalikan pers nasional sehingga seluruh informasi kepada masyarakat dapat sepenuhnya dikendalikan. Karena itu, menurut James Luhulima amat patut diduga bahwa Pak Harto terlibat dalam G30S, bahkan memegang posisi paling strategis. Tentu Pak Harto membantah keterangan Kolonel Latief itu. Memang Kolonel Latief datang ke RSPAD untuk membunuh Pak Harto tetapi gagal karena banyak orang. Tuduhan terhadap Pak Harto juga dibantah oleh Jenderal Nasution. Versi yang Dipakai Dari uraian singkat di atas, kita bisa melihat bahwa ternyata memang tidak mudah untuk bisa menentukan dengan pasti siapa dibalik G30S. Setiap kesimpulan yang dibuat akan dibantah oleh yang lain sehingga tidak akan ada kesimpulan yang diterima oleh semua pihak. Setiap orang mempunyai kesimpulan sesuai pengalaman dan keyakinan masing-masing yang sifatnya individual. Saya yakin dan berpendapat bahwa PKI berada di belakang G30S, dengan dasar argumentasi di atas yang didukung fakta yang cukup kuat. Tetapi keyakinan dan pendapat saya itu akan dibantah oleh pihak yang punya keyakinan dan pendapat bahwa TNI atau Mayjen Soehartolah yang berada di belakang G30S, dengan dasar argumentasi yang juga didukung fakta, walaupun fakta itu belum diuji didalam pengadilan. Timbul pertanyaan, bagaimana cara Tim Penulisan Kembali Sejarah itu membuat kesimpulan "siapa di belakang G30S?" Para ahli sejarah yang tergabung dalam Tim itu tampaknya terbelah dalam pendapat yang bertentangan dalam menjawab pertanyaan di atas. Apakah harus dilakukan pemungutan suara untuk menentukan jawaban terhadap pertanyaan di atas ? Hal itu tidak lazim dan tidak tepat. Kebenaran sejarah tidak bisa ditentukan dengan pemungutan suara. Tidak berlebihan kalau saya mengatakan bahwa tampaknya para ahli sejarah kita tidak mampu membuka misteri Peristiwa G30S. Bagaimana harus menjelaskan kepada puluhan juta siswa melalui kurikulum tentang suatu episode paling menentukan dalam sejarah Indonesia? Kurikulum 2004 tidak menjelaskan siapa di belakang G30S. Kurikulum itu memicu protes oleh kelompok lawan PKI ke Mendiknas yang mengakibatkan dicabutnya kurikulum 2004 itu. Nah, kalau Tim Penulisan Kembali Sejarah memang betul-betul tidak bisa menentukan siapa di belakang G30S, apa yang harus ditulis di dalam kurikulum bidang sejarah khususnya tentang Peristiwa G30S? Apakah sama sekali tidak ditulis seperti yang tercantum dalam Kurikulum 2004 yang diperbaiki setelah ada protes dari yang anti-PKI? Apa masih mungkin kembali ke Kurikulum 1994? Saya usul, supaya dikemukakan apa yang dapat digali dalam persidangan seperti yang saya kemukakan di atas, sebagai suatu pendapat dan juga pendapat lain yang berbeda tetapi harus didukung dengan data dan fakta yang cukup kuat, yang dikumpulkan dan dianalisis secara cermat oleh timnya Pak Taufik Abdullah. Biarkan masyarakat menilai dan menentukan sendiri versi mana yang mereka percaya. Tiga Aspek

Kita harus bisa memilah kasus G30S ke dalam tiga aspek, yaitu aspek kemanusiaan, ajaran, dan politik, supaya bisa diselesaikan satu persatu. Yang paling mendesak ialah masalah kemanusiaan, yaitu mencari jalan guna mewujudkan rekonsiliasi antara mantan tapol 1965 beserta keluarga dengan masyarakat luas, yang bersifat kultural dan juga yuridis. Dengan rekonsiliasi diharapkan perlakuan diskriminatif terhadap mantan aktivis PKI dan onder bouw-nya beserta keluarga mereka dapat betul-betul diakhiri. Kalangan muda NU dalam Syarikat telah cukup lama merintis dan mendorong terwujudnya rekonsiliasi kultural. Rekonsiliasi yuridis dimungkinkan dengan terbentuknya KKR, entah bagaimana dalam kenyataannya nanti. Aspek ajaran yaitu penyebaran Marxisme yang masih dilarang oleh Tap MPR No XXV Tahun 1966. UU No 27/1999 mengandung ancaman pidana terhadap penyebaran marxisme/komunisme. Sebaliknya, UUD 1945 Pasal 28 menjamin hak kemerdekaan pikiran dan hak menyatakan pikiran sebagai aturan yang memperbolehkan penyebaran marxisme. Nyatanya, upaya pelarangan penyebaran marxisme kurang efektif. Penulisan buku yang bermutu untuk melawan marxisme akan lebih efektif. Aspek terakhir adalah aspek politik kepartaian. Realitas politik saat ini tampaknya tidak mendukung upaya menghidupkan kembali PKI karena keterlibatan dalam peristiwa Madiun dan Peristiwa G30S. Pembentukan partai baru beraliran marxisme juga tidak menjanjikan dukungan yang kuat dari masyarakat. Dengan memilah dan memisahkan ketiga aspek seperti di atas, diharapkan penyelesaian masalah kemanusiaan akan dapat lebih mudah dilakukan. Empat puluh tahun G30S seyogyanya kita pergunakan tidak untuk menumbuhkan kembali saling curiga, saling benci dan saling menyalahkan. Tetapi untuk menyadarkan diri kita masing-masing bahwa kita pernah bermusuhan dan saling menyakiti, dan kita semua menderita. Juga untuk menumbuhkan kesadaran bahwa kita harus melakukan rekonsiliasi nasional kalau kita ingin bangsa Indonesia menjadi besar. * Penulis adalah Ketua Majelis Pengurus Pusat (MPP) Ikatan Cendekiawan Muslim se- Indonesia (ICMI)

Teori-teori G 30 S
Menurut penulis In the Spirit of the Red Banteng: Indonesian Communism between Moscow and Peking ini, Bung Karno memang terlibat dalam peristiwa yang dikenal dengan nama G-30-S/PKI atau kudeta 1965 itu.Kutipan di atas rasanya tepat untuk menggambarkan "keuntungan" yang didapatkan oleh Prof Dr Antonie C.A. Dake, sejarawan Belanda, setelah karyanya yang berjudul Sukarno File, Berkas-berkas Sukarno 1965-1967, Kronologi Suatu Keruntuhan diterbitkan dalam bahasa Indonesia. Buku itu dirilis di Jakarta pada 17 November. Namun, "keuntungan" yang diraih Dake juga menuai gugatan keluarga Bung Karno. Atas kekecewaan bahkan gugatan Sukmawati, Dake, yang meraih gelar sarjana hukum di Universitas Amsterdam, lalu master di Fletcher School of Law and Diplomacy di Massachusetts, dan doktor di Universitas Freie Berlin itu hanya bisa memohon maaf. Menurut penulis In the Spirit of the Red Banteng: Indonesian Communism between Moscow and Peking ini, Bung Karno memang terlibat dalam peristiwa yang dikenal dengan nama G-30-S/PKI atau kudeta 1965 itu. Keterlibatan itu bisa dibaca dari indikasi bahwa Bung Karno tidak hanya sekadar mengetahui akan terjadinya aksi pembersihan terhadap sejumlah jenderal Angkatan Darat. Konon, Bung Karno pernah minta tolong kepada Untung untuk menertibkan para jenderal yang dianggapnya tidak loyal, tidak setia, dan antikomunis. Dalam buku yang diterbitkan Aksara Karunia itu, Dake menulis bahwa Soekarnolah orang yang mengadu domba Angkatan Darat dengan PKI serta antarpemimpin Angkatan Darat sendiri. Memang, kalau kita membicarakan peristiwa 1965, selama ini sudah berkembang banyak teori. Versi Dake merupakan salah satunya, kalau tidak mau disebut lagu lama yang diaransir baru. John Hughes juga pernah mendukung versi Dake. Berikut ini beberapa teori lain yang berkembang, diantaranya : 1. Teori Arnold Brackman, yang mengutip Buku Putih Orde Baru menyebutkan bahwa dalang peristiwa itu PKI dan Biro Khususnya, dengan merekayasa ABRI. Motifnya merebut kekuasaan dan menciptakan masyarakat komunis di Indonesia. Ini adalah versi yang sekarang diajarkan di sekolah-sekolah dan menjadi sejarah resmi. Didukung oleh pemerintah Orba, TNI dan beberapa sejarawan macam : Guy Pauker, Marshall Green dan Arnold Brackman. Teori ini menunjuk pada alasan2 yang kasat mata, seperti : PKI menculik dan mengeksekusi para jendral. PKI telah menghimpun massa di daerah Lubang Buaya. PKI membentuk sebuah biro rahasia non-organik, yang disebut dengan kode : kelompok Pringgondani dengan dikomandoi oleh tokoh misterius berkode Syam dan PKI beberapa waktu sebelumnya sudah menuduh Dewan Jendral hendak melakukan kudeta thd Sukarno. Namun demikian teori ini masih punya kejanggalan berupa : tidak logis PKI memberontak ketika sedang menikmati kekuasaan termasuk kedekatannya dengan Presiden Sukarno. Dan lagi sosok misterius Syam sampai sekarang belum terungkap jatidirinya. 2. Teori Cornell Paper, yang menyebut pelaku utama adalah sebuah klik Angkatan Darat. Peristiwa itu persoalan konflik internal di tubuh Angkatan Darat dengan memancing agar PKI terlibat. Wertheim, Cornel Paper, Coen Hotzappel, dan M.R. Siregar mendukung teori ini. Pendukung utama teori ini adalah para peneliti dari Universitas Cornell. Alasannya pelaksana Gestapu adalah pasukan TNI-Cakra Bhirawa yang dikomandani Letkol Oentoeng dan didukung oleh TNI-AU dan pasukan KKO ( sekarang Marinir ) yang dikomandani Omar Dhani ( CMIIW ). Pada waktu itu TNI telah terpecah belah karena memiliki afiliasi politik masing2. Contoh : TNI-AU yang mendukung PKI, TNI-AL yang loyalis Sukarno dan TNI-AD yang cenderung anti-komunis.

3. Teori yang dipopulerkan Peter Dale Scott dan Geoffrey Robinson bahwa otaknya adalah CIA yang ingin menjatuhkan Soekarno yang dianggap pro-PKI. 4. Teori yang dicuatkan Greg Poulgrin. Menurut dia, skenario besar CIA (seperti teori Peter Cale Scott) bertemu dengan Inggris yang mempunyai motif melindungi kepentingan aset-asetnya dengan cara menghentikan politik Soekarno yang vokal terhadap para neoimperialis seperti AS dan Inggris. 5. Teori seperti yang dikemukakan Bung Karno sendiri dalam Nawaksara bahwa dalam G-30-S tidak ada pelaku tunggal. Ada konspirasi antara unsurunsur nekolim (neokolonialisme dan imperialisme) yang ingin menggagalkan jalannya revolusi Indonesia. Gerakan itu juga didukung oleh segelintir pemimpin PKI dan oknum-oknum Angkatan Darat. Oei Tjoe Tat, Manai Sophiaan, dan para Soekarnois lain meyakini teori semacam ini. 6. Teori yang dikemukakan oleh WF. Wertheim, Coen Holtzappel serta media dan jurnalis Amerika. Bahwa menjadi latarbelakangnya adalah bingkai besar dunia yang sedang dalam Perang Dingin. Amerika menginginkan Indonesia bebas dari pengaruh Komunis karena sebagai buffer kawasan Oceania ( Aussie ). Ditunjang oleh kekuatan kaum hijau ( ijo ) yaitu kalangan santri dan tentara yang nasionalis, maka Amerika mendukung Suharto sebagai perwira muda yang masih segar terhadap dikotomi politik waktu itu. Sementara Jendral2 tua sudah memiliki afiliasi2 politik sendiri2.Tapi yang jelas sebelumnya Dewan Jendral TNI-AD memang pernah melakukan usaha kudeta terhadap presiden Sukarno. Dan kemudian ditemukannya dokumen rahasia dari diplomat Inggris yang berisi bahwa Dewan Jendral akan mengkudeta Sukarno ( eh eh eh yang ini nanti aja wa bahas, soal na harus ubek2 lagi buku2 wa.....wa lupa pernah baca di buku apa ya ? ). Kelemahan teori ini : tidak ada bukti valid.Namun ada alasan lain yang sangat mencolok yaitu mengapa Suharto sebagai pangkostrad tidak masuk dalam daftar eksekusi PKI ? Padahal posisinya merupakan ketiga tertinggi dalam tongkat komando bila terjadi kondisi gawat darurat. Dan lagi sebagai mantan Panglima Divisi Diponegoro ( Jawa Tengah ), Suharto kenal baik dengan Oentoeng, Latief dan Suparjo yang merupakan pimpinan tentara pro-PKI ( Madiun ). Wertheim berpendapat Syam adalah intelejen suruhan suharto yang meng-infiltrasi PKI. 7. Teori Operasi intelejen Partai Komunis Cina. Ini pernah dikemukakan oleh pihak Amerika dan CIA namun kemudian dicabut kembali. Alasannya adalah tanggal 1 Oktober adalah hari nasional Cina ( ? ada yang tahu mengenai ini ? ) dan PKI hanya mengirimkan delegasi kelas rendahan ke Cina, sementara para pemimpinnya tetap berada di Indonesia, mengindikasikan bahwa PKI sedang melakukan sesuatu . Amerika menuduh Partai Komunis Cina telah memiliki daftar jendral yang dieksekusi bahkan sebelum peristiwa Gestapu terjadi. Kelemahan teori ini adalah : tidak ada bukti valid. 8. Teori yang muncul setelah lengsernya Soeharto pada 1998 yang diyakini oleh Ben Anderson bahwa dalam peristiwa 1965, Soeharto terlibat. Sebab, siapakah yang paling diuntungkan dengan peristiwa itu? Hanya Soeharto yang selama 32 tahun mampu menggenggam kekuasaan di negeri ini. Dan selama Orde Baru berkuasa, sejarah telah menjadi alat propaganda untuk melanggengkan kekuasaan. Karena itu, tidak boleh ada teori lain, terlebih mengenai peristiwa G-30-S, selain versi pemerintah Orde Baru. Mana teori yang paling benar? Apa pun jawabannya, yang pertama-tama paling diuntungkan, entah keuntungan finansial entah politis, tentu saja adalah para sejarawan atau para penulis teori itu, seperti bunyi kutipan di awal tulisan ini. Tapi bagaimana dengan tanggung jawab keilmuan para sejarawan? Untuk menjawab yang terakhir ini kiranya juga dibutuhkan sejarawan tersendiri untuk menyelidikinya.

Sejarah peristiwa 1965 versi Orde Baru, misalnya, jelas harus dikritik. Contohnya dalam buku Kesaktian Pancasila di Bumi Pertiwi terbitan BP Alda/Penerbit Almanak RI. Pada halaman 150 terdapat sebuah foto mayat-mayat bergelimpangan dalam keadaan terikat di tepi Bengawan Solo. Dalam keterangan foto tertulis bahwa mereka korban keganasan PKI. Padahal fakta yang benar mayat-mayat itu justru anggota PKI yang dibantai dan mayatnya dibiarkan begitu saja di tepian Bengawan Solo. Dalam hal ini, sejarawan memang harus bisa obyektif dan bukan hanya mengejar keuntungan politis atau finansial. Sejarawan tidak boleh tinggal diam ketika kemanusiaan dikorbankan serta kebenaran dimanipulasi. Teori Dake mengenai keterlibatan Bung Karno juga perlu dikritik. Apa motif sesungguhnya? Menurut Soekarnois yang masih cukup banyak di Belanda, apalagi di Indonesia, keberadaan Bung Karno memang membuat jengkel negara-negara pengusung neoliberalisme seperti AS atau Belanda serta negara Barat lainnya. Semasa Bung Karno, para neolib atau nekolim tidak bisa menjajah Indonesia seperti sekarang ini. Masih menurut para Soekarnois, buku Soekarno File tampaknya akan dijadikan salah satu persiapan strategi jangka panjang guna memuluskan jalan bagi usaha negara-negara neoliberalisme untuk memecah belah Negara Kesatuan RI.

Anda mungkin juga menyukai