Anda di halaman 1dari 18

DAFTAR ISI

 Kata pengantar
 Daftar isi
 Bab I pendahuluan
A. Latar belakang.
B. Rumusan masalah
C. Tujuan
 Bab II Materi
1.1.Peristiwa G3OS/PKI.
1.2.Tokoh atau dalang G30S/PKI.
1.3.Korban G30S/PKI.
1.4.Penyelesaian konflik G30S/PKI.
1.5.Dampak dari peristiwa G30S/PKI.
 Bab III Penutup
A. Kesimpulan
B. Saran
 Daftar pustaka
Bab II Materi
1.1. Peristiwa G3OS PKI

1) Latar Belakang G30S PKI.


G30S PKI dilatarbelakangi oleh dominasi ideologi Nasionalisme, Agama, dan
Komunisme (NASAKOM) yang berlangsung sejak era Demokrasi Terpimpin
diterapkan, yakni tahun 1959-1965 di bawah kekuasaan Presiden Soekarno.
Hal lain yang menyebabkan mencuatnya gerakan ini adalah ketidakharmonisan
hubungan anggota TNI dan PKI. Pertentangan kemudian muncul di antara
keduanya. Selain itu, desas-desus Kesehatan Presiden Soekarno juga turut
menjadi latar belakang pemberontakan G30S PKI.

2) Teori peristiwa G30S PKI


Setidaknya terdapat tujuh teori mengenai peristiwa kudeta G30S tahun
1965 ini:
a).Gerakan 30 September merupakan Persoalan Internal Angkatan Darat (AD).
Dikemukakan antara lain oleh Ben Anderson, W.F.Wertheim, dan Coen Hotsapel,
teori ini menyatakan bahwa G30S hanyalah peristiwa yang timbul akibat adanya
persoalan di kalangan AD sendiri. Hal ini misalnya didasarkan pada pernyataan
pemimpin Gerakan, yaitu Letnan Kolonel Untung yang menyatakan bahwa para
pemimpin AD hidup bermewah-mewahan dan memperkaya diri sehingga
mencemarkan nama baik AD. Pendapat seperti ini sebenarnya berlawanan
dengan kenyataan yang ada. Jenderal Nasution misalnya, Panglima Angkatan
Bersenjata ini justru hidupnya sederhana.
b). Dalang Gerakan 30 September adalah Dinas Intelijen Amerika Serikat (CIA).
Teori ini berasal antara lain dari tulisan Peter Dale Scott atau Geoffrey Robinson.
Menurut teori ini AS sangat khawatir Indonesia jatuh ke tangan komunis. PKI pada
masa itu memang tengah kuat-kuatnya menanamkan pengaruh di Indonesia.
Karena itu CIA kemudian bekerjasama dengan suatu kelompok dalam tubuh AD
untuk memprovokasi PKI agar melakukan gerakan kudeta. Setelah itu, ganti PKI
yang dihancurkan. Tujuan akhir skenario CIA ini adalah menjatuhkan kekuasaan
Soekarno.
c). Gerakan 30 September merupakan Pertemuan antara Kepentingan Inggris-AS.
Menurut teori ini G30S adalah titik temu antara keinginan Inggris yang ingin sikap
konfrontatif Soekarno terhadap Malaysia bisa diakhiri melalui penggulingan
kekuasaan Soekarno, dengan keinginan AS agar Indonesia terbebas dari
komunisme. Dimasa itu, Soekarno memang tengah gencar melancarkan provokasi
menyerang Malaysia yang dikatakannya sebagai negara boneka Inggris. Teori
dikemukakan antara lain oleh Greg Poulgrain.
d).Soekarno adalah Dalang Gerakan 30 September.
Teori yang dikemukakan antara lain oleh Anthony Dake dan John Hughes ini
beranjak dari asumsi bahwa Soekarno berkeinginan melenyapkan kekuatan
oposisi terhadap dirinya, yang berasal dari sebagian perwira tinggi AD. Karena PKI
dekat dengan Soekarno, partai inipun terseret. Dasar teori ini antara lain berasal
dari kesaksian Shri Biju Patnaik, seorang pilot asal India yang menjadi sahabat
banyak pejabat Indonesia sejak masa revolusi. Ia mengatakan bahwa pada 30
September 1965 tengah malam Soekarno memintanya untuk meninggalkan
Jakarta sebelum subuh. Menurut Patnaik, Soekarno berkata “sesudah itu saya
akan menutup lapangan terbang”. Di sini Soekarno seakan tahu bahwa akan ada
“peristiwa besar” esok harinya. Namun teori ini dilemahkan antara lain dengan
tindakan Soekarno yang ternyata kemudian menolak mendukung G30S. Bahkan
pada 6 Oktober 1965, dalam sidang Kabinet Dwikora di Bogor, ia mengutuk
gerakan ini.
e). Tidak ada Pemeran Tunggal dan Skenario Besar dalam Peristiwa Gerakan 30
September (Teori Chaos).
Dikemukakan antara lain oleh John D. Legge, teori ini menyatakan bahwa tidak
ada dalang tunggal dan tidak ada skenario besar dalam G30S. Kejadian ini hanya
merupakan hasil dari perpaduan antara, seperti yang disebut Soekarno: “unsur-
unsur Nekolim (negara Barat), pimpinan PKI yang keblinger serta oknum-oknum
ABRI yang tidak benar”. Semuanya pecah dalam improvisasi di lapangan.
f). Soeharto sebagai Dalang Gerakan 30 September
Pendapat yang menyatakan bahwa Soeharto adalah dalang Gerakan 30September
antara lain dikemukakan oleh Brian May dalam bukunya, “Indonesian Tragedy”.
Menurut Brian May terdapat kedekatan hubungan antara Letkol. Untung sebagai
pemimpin Gerakan 30 September 1965 dengan Mayjen. Soeharto yang saat itu
menjabat sebagai Panglima Kostrad.
g).Dalang Gerakan 30 September adalah PKI
Menurut teori ini tokoh-tokoh PKI adalah penanggungjawab peristiwa kudeta,
dengan cara memperalat unsur-unsur tentara. Dasarnya adalah serangkaian
kejadian dan aksi yang telah dilancarkan PKI antara tahun 1959-1965. Dasar
lainnya adalah bahwa setelah G30S, beberapa perlawanan bersenjata yang
dilakukan oleh kelompok yang menamakan diri CC PKI sempat terjadi di Blitar
Selatan, Grobogan, dan Klaten

3) Kronologi Peristiwa G30S/PKI


Berikut adalah kronologi dari peristiwa G30S/PKI :
 Pada tanggal 30 September 1965, PKI dibawah Letkol Untung melakukan
penculikan terhadap para petinggi PKI yang dianggap sebagai Dewan Jenderal
yang akan menggulingkan kekuasaan Soekarno. Penculikan ini dilanjutkan
dengan pembunuhan para jenderal yang menolak mengakui akan melakukan
pemberontakan. Jasad para jenderal TNI AD dimasukkan ke lubang sumur tua
di kawasan Pondok Gede, Jakarta (Lubang Buaya).
 Pemberontakan G30S/PKI menyebar ke berbagai wilayah lain seperti Jawa dan
Yogyakarta.
 Pada tanggal 1 Oktober 1965, Cakrabirawa dibawah pimpinan Mayjen
Soeharto dikerahkan guna menguasai RRI dan Telekomunikasi guna
menyebarkan kabar Presiden Soekarno dan A.H. Nasution dalam keadaan
selamat.
 Pada tanggal 2 Oktober 1965, operasi berlanjut ke kawasan Halim
Perdanakusuma, tempat PKI mundur dari kawasan Monas. Atas petunjuk Polisi
Sukitman yang lolos dari pembunuhan PKI, pemerintah menemukan tempat
jenazah para perwira TNI di lubang sumur tua (Lubang Buaya) di kawasan
Pondok Gede, Jakarta.
 Pada tanggal 4 Oktober 1965, dilakukan pengangkatan jenazah para petinggi
TNI dan keesokan harinya dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata
Jakarta.

1.2. Tokoh Atau Dalang G30S PKI.

1) Dalang peristiwa G30S PKI.


Memasuki pengujung September, masyarakat Indonesia akan selalu diingatkan
perihal peristiwa Gerakan 30 September atau G30S PKI —berdasarkan literatur
Orde Baru, nama tersebut ditambah menjadi G30S/PKI. Peristiwa tersebut
menyisakan luka bagi sejarah bangsa Indonesia sendiri.
Selain pembunuhan jenderal, peristiwa tersebut juga membunuh jiwa-jiwa
masyarakat Indonesia yang diduga berafiliasi dengan PKI (Partai Komunis
Indonesia). New York Times pada Mei 1966 menuliskan jumlah korban tewas
mencapai 300 ribu orang. New York Times beberapa bulan kemudian, seperti
dipaparkan buku Dalih Pembunuhan Massal, kembali menyelidiki dan
menyimpulkan jumlah korban mati seluruhnya lebih dari setengah juta orang.
Selain jumlah korban yang sudah dipaparkan sebelumnya, hal yang masih menjadi
tanda tanya hingga saat ini adalah siapa dalang terjadinya peristiwa tersebut. Dari
berbagai penelitian setidaknya terdapat lima versi dalang terjadinya peristiwa
tersebut. Mulai dari PKI, konflik internal angkatan darat, Soekarno, Soeharto,
hingga unsur asing seperti CIA (Badan Intelijen Amerika Serikat).
a. PKI
Versi ini hadir setelah rezim Orde Baru berkuasa pasca peristiwa tersebut. Hal ini
termaktub di dalam buku Tragedi Nasional Percobaan Kup G30S/PKI di Indonesia
(1968) karya Nugroho Notosusanto dan Ismael Saleh. Dalam buku tersebut
menjelaskan bahwa ketika itu PKI ingin membuat negara Indonesia berideologi
komunisme.
Nugroho juga ikut menyunting buku Sejarah Nasional Indonesia yang dikeluarkan
oleh Sekretariat Negara. Buku tersebut akhirnya menjadi rujukan untuk
pembelajaran di sekolah. Dalam buku ini pula kata PKI ditambahkan setelah kata
G30S. Hal itu yang menjadi propaganda rezim Orde Baru untuk menyatakan
bahwa PKI-lah satu-satunya dalang di balik peristiwa tersebut.
b. Konflik Internal Angkatan Darat
Berdasarkan lipi.go.id, beberapa teori menyebutkan bahwa perwira Angkatan
Darat ditambah satu-dua orang dari angkatan lain juga terlibat dalam aksi
tersebut. Mereka bersekongkol dengan segelintir anggota Biro Khusus PKI untuk
menculik beberapa perwira tinggi yang ditengarai anggota Dewan Jenderal yang
akan melakukan kudeta 5 Oktober 1965.
Sejarawan Harold Crouch dalam Army and Politics in Indonesia (1978)
mengatakan, menjelang tahun 1965, kubu Angkatan Darat terbagi menjadi dua
fraksi. Walaupun kedua fraksi ini memiliki kesamaan sikap anti-PKI, namun
keduanya bersebrangan dalam menghadapi Sukarno.
c. Sukarno
Terdapat beberapa buku yang menyebutkan bahwa salah satu The Foundung
Father ini terlibat dalam peristiwa tersebut. Adapun buku-buku tersebut
yaitu Anatomy of Jakarta Coup, October 1, 1965 (2004) karya Victor M. Vic,
Antonie C.A. Dake dalam The Sukarno File, 1965-1967: Chronology of Defeat
(2006), dan Pembeantaian yang Ditutup-tutupi, Peristiwa Fatal di Sekitar
Kejatuhan Bung Karno karya Lambert Giebels.
Buku-buku tersebut mengarah pada de-Soekarnoisasi yaitu menjadikan Presiden
RI pertama sebagai dalang pembunuhan G30S dan bertanggung jawab atas
dampak kejadian tersebut. Soekarno tidak mau mengutuk PKI dan karena itu
diartikan mendukung pelaku kudeta.
d. Soeharto
Soebandrio dalam jurnalnya Kesaksianku tentang G30S (2000) menuliskan, bahwa
sejumlah pihak menduga Soeharto sempat bertemu dengan Latief dan Letkol
Untung, pemimpin aksi penculikan perwira militer.
Ketika itu Latief mengungkapkan rencana kudeta Presiden Sukarno, namun
Soeharto tidak menggagalkannya dan justru membiarkan hal tersebut. Selain itu
Soeharto juga tidak memberitahu kejadian tersebut kepada Jenderal
AH. Nasution.
e. CIA
Memasuki era 1960-an, perang tidak lagi dilakukan secara terang-terangan
dengan menenteng senjata. Di era tersebut perang dilakukan dengan pemikiran
yang menghasilkan buah-buah ideologi. Hal inilah yang menjadi pemicu Amerika
Serikat melalui CIA diduga terlibat dalam peristiwa ini.
Ketika itu Inggris, Jepang, dan Australia tidak ingin Indonesia jatuh ke tangan
negara-negara yang berporos dengan ideologi tersebut. Selain itu, Uni Soviet yang
trurut membantu Indonesia dalam pembebasan Irian Barat juga membuat
Amerika Serikat cemburu dengan hal tersebut.

2). Tokoh Utama yang Terlibat G30S PKI


Berikut nama-nama tokoh kunci yang terlibat dalam pemberontakan G30S PKI.
1. D.N Aidit.
DN Aidit atau Dipa Nusantara Aidit lahir di Bangka, 30 Juli 1923.
Masa kecilnya diisi dengan pendidikan Belanda yang diajarkan ayahnya, Abdullah
Aidit, pemimpin gerakan pemuda di Belitung saat melawan kekuasaan kolonial
Belanda. Setelah Indonesia merdeka, Abdullah menjadi anggota DPR (Sementara)
Belitung dan membentuk perkumpulan keagamaan Nurul Islam yang berorientasi
Muhammadiyah.Beranjak dewasa, D.N Aidit kemudian pindah dari Belitung
menuju Jakarta. Kemudian dia mendirikan perpustakaan "Antara" di Tanah Tinggi,
Senen, Jakarta Pusat pada 1940. DN Aidit juga pernah belajar di Sekolah Dagang
(Handelsschool). Di sana, dia mempelajari sejumlah teori politik Marxis bersama
Himpunan Demokratik Sosial Hindia Belanda (yang kemudian berganti nama
menjadi Partai Komunis Indonesia).
Sosok DN Aidit memang tidak bisa dilepaskan dengan peristiwa G30S/PKI. Sebagai
pemimpin Central Comitte Partai Komunis Indonesia (CC-PKI), ia membawa
partainya mendapatkan banyak dukungan dan pengikut dalam kampanye pemilu
1955. Sejak saat itu, PKI menjadi partai pengimbang di antara partai yang
berlatarbelakang Islam dan Militer. Di tahun 1965, PKI menjelma menjadi partai
politik terbesar di Indonesia dan makin berani menunjukkan kecenderungannya
terhadap kekuasaan. Dan di tahun itulah tragedi G30S PKI terjadi. Di masa orde
baru, Aidit dan partainya resmi ditetapkan sebagai dalang G30S oleh
pemerintahan Soeharto. Sayangnya tuduhan tersebut hingga kini jadi misteri
lantaran saat dikejar militer, DN Aidit melarikan diri ke Yogyakarta dan meninggal.
Kematian DN Aidit juga tak dapat dibuktikan dengan jelas. Ada dua versi yang
menjelaskan soal kematiannya, yakni:
 DN Aidit tertangkap di Jawa Tengah lalu dibawa oleh sebuah batalyon Kostrad
ke Boyolali dan ditembak mati.
 DN Aidit diledakkan bersama-sama dengan rumah tempat ia ditahan.
Misteri kematiannya masih terus jadi tanda tanya sejarah. Bahkan makam DN
Aidit tak diketahui letak pastinya.
2. Syam Kamarumazam
Syam adalah satu dari lima orang yang ikut rapat dalam persiapan operasi
penculikan tujuh jenderal TNI AD. Adapun empat sisanya adalah Supono
Marsudidjojo (Asisten Syam di Biro Chusus), Kolonel Abdul Latief (Komandan
Garnisun Kodam Jaya), Letkol Untung (Komandan Batalion Pasukan Pengawal
Presiden Cakrabirawa), dan Mayor Sujono (Komandan Resimen Pasukan
Pertahanan Pangkalan di Halim).
Rapat perencanaan tersebut langsung dipimpin Syam. Inisiatif gerakan ini datang
dari Ketua Umum Comite Central PKI, Dipa Nusantara Aidit yang baru pulang dari
China pada Agustus 1965. Aidit saat itu galau karena mengetahui kondisi
Soekarno yang sedang sakit-sakitan. Aidit takut situasi ini justru akan
dimanfaatkan oleh para pimpinan TNI AD untuk merebut kekuasaan. Aidit
meminta bantuan Syam yang juga merupakan tangan kanannya. Syam diminta
Aidit untuk melakukan gerakan terbatas.
Dua hari setelah bertemu dengan Aidit, dia mengumpulkan dua asistennya, Pono
dan Bono, di rumahnya di Salemba Tengah, Jakarta Pusat. Tiga perwira menengah
TNI menjadi kandidat utama pelaksana 'operasi terbatas' Aidit. Mereka adalah
Kolonel Abdul Latief, Letkol Untung, dan Mayor Soejono.
Rapat persiapan dilakukan sampai sepuluh kali. Lokasinya berganti-ganti: rumah
Sjam, Kolonel Latief, atau kediaman Kapten Wahyudi. Sasaran operasi terbatas
PKI baru ditentukan pada 26 September 1965. Tim pelaksana menentukan ada 10
tokoh antikomunis yang harus "diamankan". Syam mengusulkan penculikan
mantan Wakil Presiden Mohammad Hatta, Wakil Perdana Menteri III Chairul
Saleh, dan Jenderal Soekendro. Aidit yang mencoret tiga nama terakhir.
Setelah sempat menghilang, Sjam akhirnya muncul dua tahun setelah gerakan
gagal. Pada Juli 1967, ia menjadi saksi bagi Sekjen PKI Sudisman. Ia pun akhirnya
sempat dipenjara di LP Cipinang.
Saat diinterogasi oleh polisi militer, Sjam setidaknya memiliki lima nama alias
Syam: Djimin, Sjamsudin, Ali Mochtar, Ali Sastra, dan Karman. Syam menulis surat
perpisahan untuk adiknya, Latifah, setahun sebelum dieksekusi pada 1986, ia
menandatangani surat itu dengan nama Rusman.
Kawan Syam, Hamim yang sempat dipenjara di Cipinang, ia mengatakan bahwa
Sjam dieksekusi pada 1986. Hingga kini sosok Sjam masih misterius. Kematiannya
menjadi misteri.
3. Letkol Untung Syamsuri
Letnan Kolonel atau Letkol Untung adalah Komandan Batalyon I Resimen
Cakrabirawa. Letkol Untung disebut sebagai sosok yang memimpin Gerakan 30
September 1965 (G30S).
Letkol Untung Syamsuri lahir di Desa Sruni, Kedung Bajul, Kebumen, Jawa Tengah
pada 3 Juli 1926 dengan nama kecil Kusmindar alias Kusman. Mbah Sadeli (85),
warga RT 01/ RW 02, Dusun Kedung Bajul, Desa Bojongsari, Kecamatan Alian,
Kabupaten Kebumen menjadi bukti masa kecil Untung alias Kusnindar. Pada 1943,
saat Untung berusia 18 tahun, dia mendaftar organisasi militer di masa
pendudukan Jepang, Heiho. Dua tahun kemudian, Untun bergabung dengan
Batalyon Sudigdo yang bermarkas di Wonogiri, Jawa Tengah.
Pada 1947 Batalyon Sudigdo yang berada di bawah Divisi Panembahan Senopati
ditarik menjadi pendukung Partai Komunis Indonesia (PKI). Bersama anggota
Batalyon Sudigdo dan prajurit TNI, Untung mendapat pengetahuan tentang
paham komunisme langsung dari elit PKI, Alimin. Hal ini menjadikan Panglima
Besar TNI Jenderal Soedirman khawatir.
Jenderal Soedirman memerintahkan Letkol Soeharto untuk meyakinkan sejumlah
prajurit Divisi Panembahan Senopati agar tidak ikut paham komunis. Namun,
Untung dan sejumlah prajurit dari Divisi Panembahan Senopati gagal dibujuk.
Pada 18 September 1948, PKI melakukan pemberontakan di Madiun, Jawa Timur.
Untung dan sejumlah prajurit dari Divisi Panembahan Senopati tak mendapat
hukuman atas pemberontakan tersebut. Bahkan Untung kemudian masuk TNI
melalui Akademi Militer di Semarang. Di sinilah nama Kusmindar alias Kusman
berganti menjadi Untung.
Penumpasan G30S/PKI yang dipimpin oleh Mayjen Soeharto, akhirnya, pada 11
Oktober 1965, Letkol Untung Syamsuri pemimpin pasukan Gerakan 30 September
1965 (G30S) sekaligus pemimpin Dewan Revolusi Indonesia, berhasil ditangkap di
Tegal. Letkol Untuk ditangkap ketika dirinya hendak melarikan diri ke Jawa
Tengah.

1.3. Korban peristiwa G30S PKI.


a.Jenderal Ahmad Yani

Pahlawan Revolusi yang pertama adalah Jendral Ahmad Yani. Ahmad Yani lahir di
Purworejo, Jawa Tengah pada 19 Juni 1922 silam. Karier militernya dimulai
dengan mengikuti pendidikan Heiho di Magelang dan Pembela Tanah Air (PETA) di
Bogor. Ahmad Yani kemudian diangkat menjadi komandan Tentara Keamanan
Rakyat di Purwokerto. Ia terlibat dalam beberapa operasi penting pasca-Indonesia
merdeka. Sebut saja pemberontakan PKI di Madiun 1948, penumpasan DI/TII di
Jawa Tengah dan juga pemberontakan PRRI.

b. Letjen Raden Suprapto

Letjen Raden Suprapto lahir di Purwokerto pada 20 Juni 1920 silam. Ia pernah
mengenyam pendidikan militer di Akademi Militer Kerajaan di Bandung. Pada
awal kemerdekaan, Suprapto turut aktif dalam perebutan senjata Jepang dan
menjadi ajudan dari Panglima Besar Jenderal Sudirman. Letjen Suprapto pernah
menjabat sebagai Deputi Kepala Staf AD di Sumatra, Kepala Staf Tentara dan
Teritorium IV Diponegoro di Semarang, dan pernah menjabat sebagai Deputi II
Menteri/Panglima Angkatan Darat.
c. Letjen S. Parman

Pemilik nama lengkap Siswondo Parman ini lahir di Wonosobo, Jawa Tengah,
pada 4 Agustus 1918 silam. Setelah Indonesia merdeka, S. Parman lantas turut
bergabung dengan Tentara Keamanan Rakyat (TKR) yang menjadi cikal-bakal
Tentara Nasional Indonesia. Dalam menimba ilmu kemiliteran, S. Parman pernah
dikirim untuk mengikuti Sekolah Militer di Amerika Serikat pada 1951. Ia juga
pernah dikirim ke Inggris sebagai perwakilan Kedutaan Indonesia di sana.

d. Mayjen Mas Tirtodarmo Haryono

Mayjen Mas Tirtodarmo Haryono atau yang lebih dikenal dengan nama M.T
Haryono merupakan pahlawan revolusi kelahiran Surabaya, Jawa Timur, pada 20
Januari 1924.
Sebelum bergabung dengan kemiliteran, M.T Haryono pernah mengenyam
pendidikan di Sekolah Kedokteran atau Ika Dai Gaku di Jakarta. Berkat
kelihaiannya dalam menguasai bahasa asing, pahlawan yang namanya juga
diabadikan sebagai nama jalan di kawasan Tebet, Jakarta Selatan ini kerap
mengikuti perundingan yang diadakan Indonesia dengan pihak Belanda maupun
Inggris.

e. Mayjen Donald Isaac Pandjaitan

Mayjen Donald Isaac Pandjaitan atau D.I Pandjaitan lahir pada 9 Juni 1925 di
Balige, Tapanuli, Sumatra Utara. D.I Pandjaitan juga menjadi salah satu sosok yang
membentuk Tentara Keamanan Rakyat dan diangkat menjadi Komandan
Batalyon. Sederet posisi penting pernah diembannya. Sebut saja Komandan
Pendidikan Divisi IX/Banteng di Bukittinggi, Kepala Staf Umum IV Komandan
Tentara Sumatera, dan pernah ditugaskan sebagai atase Militer RI di Bonn,
Jerman Barat.
f. Mayjen Sutoyo Siswomiharjo

Mayjen Sutoyo Siswomiharjo lahir di Kebumen, Jawa Tengah pada 28 Agustus


1922. Seperti para pendahulunya, setelah kemerdekaan Indonesia, Sutoyo
bergabung dengan TKR pada bagian kepolisian dan menjadi anggota Corps Polisi
Militer pada saat itu. Selain menjabat sebagai Kepala Bagian Organisasi Resimen II
Polisi Tentara di Purworejo, Sutoyo juga pernah menjadi ajudan dari Kolonel
Gatot Subroto.

g. Kapten Pierre Tendean

Pahlawan revolusi yang terakhir adalah Kapten Pierre Tendean. Pierre Tendean
lahir di Jakarta, 21 Februari 1939. Setelah lulus dari Akademi Militer pada 1962, ia
lantas mendapatkan mandat untuk menjabat Komandan Peleton Batalyon Zeni
Tempur 2 Komando Daerah Militer II/Bukit Barisan di Medan. Peristiwa kelam
G30S PKI yang turut menyeretnya terjadi pada saat ia menjadi ajudan Jenderal
Nasution yang saat itu menjabat sebagai Menteri Koordinator Pertahanan dan
Keamanan/Kepala Staf Angkatan Bersenjata.

Sementara itu, Panglima TNI AH Nasution yang menjadi target utama berhasil
meloloskan diri. AH Nasution adalah satu-satunya jenderal yang selamat dari
G30S PKI. Namun, putrinya Ade Irma Nasution tewas tertembak dan ajudannya,
Lettu Pierre Andreas Tendean diculik dan ditembak di Lubang Buaya.
Keenam jenderal di atas beserta Lettu Pierre Tendean kemudian diberikan
penghargaan sebagai Pahlawan Revolusi. Dan sejak berlakunya UU No. 20 tahun
2009, gelar tersebut juga diakui sebagai Pahlawan Nasional.
Selain nama-nama di atas, beberapa orang lainnya juga menjadi korban
pembunuhan G30S PKI di Jakarta dan Jogja. Berikut ini daftarnya:

1. Brigadir Polisi Ketua Karel Satsuit Tubun


2. Kolonel Katamso Darmokusumo
3. Letnan Kolonel Sugiyono Mangunwiyoto

1.4. Penyelesaian konflik G30S PKI.


Peristiwa Pemberontakan G 30 S/PKI merupakan peristiwa pemberontakan
terekam dalam sejarah indonesia,pemberontakan G30S/PKI dimana peristiwa-
peristiwa terjadi pada tanggal 30 September sehingga pemberontakan tersebut
dikatakan G30S/PKI, Pemerintah memiliki cara-cara dalam memusnahkan para
pemberontak G 30 S/PKI sehingga Pemberontak G30S/PKI tak berdaya.
Pemberontak G30S/PKI adalah partai komunis yang ingin menguasai indonesia
dengan cara apapun termasuk membunuh para jenderal sehingga anggota TNI AD
tidak mempunyai seorang komando untuk digerakkan. Penyelesaian G 30 S/PKI
sebagai berikut:
Operasi penumpasan G3OS/PKI yang dilancarkan pada tanggal 1 Oktober 1965
diusahakan sedapat mungkin tidak menimbulkan bentrokan senjata. Langkah
yang pertama kali dilakukan adalah menetralisasi pasukan yang berada di sekitar
Medan Merdeka yang dimanfaatkan atau dipergunakan oleh kaum Gerakan 30
September. Pasukan tersebut berasal dari anggota pasukan Batalyon
503/Brawijaya dan anggota pasukan Batalyon 545/Diponegoro. Anggota pasukan
Batalyon 503/Brawijaya berhasil disadarkan dari keterlibatan Gerakan 30
September tersebut dan kemudian mereka ditarik ke Markas Kostrad di Medan
Merdeka Timur. Sedangkan anggota pasukan Batalyon 545 / Diponegoro berhasil
ditarik mundur sekitar pukul 17.00 WIB oleh pihak Gerakan 30 September ke
Lapangan Udara Halim Perdana Kusuma.
Operasi militer tentang penumpasan Gerakan 30 September mulai dilakukan sore
hari, tanggal 1 Oktober 1965 pukul 19.15 WIB. Sementara itu, pasukan RPKAD
berhasil menduduki kembali gedung RRI Pusat, gedung telekomunikasi dan
mengamankan seluruh wilayah Medan Merdeka tanpa terjadi bentrokan
bersenjata atau pertumpahan darah. Juga pasukan Batalyon 238 Kujang/Siliwangi
berhasil menguasai Lapangan Banteng dan mengamankan Markas Kodam V/Jaya
dan sekitarnya. Batalyon I Kavaleri berhasil mengamankan BNI Unit I dan
percetakan uang negara di daerah Kebayoran. Dengan demikian, dalam waktu
yang sangat singkat, yaitu pada tanggal 1 Oktober 1965 itu juga kota Jakarta telah
berhasil dikuasai kembali oleh ABRI dan kekuatan G3OS/PKI yang memberontak
telah berhasil dilumpuhkan.
Untuk menentramkan kegelisahan masyarakat dan menyadarkan pasukan yang
terlibat dalam G3OS/PKI, maka dilakukanlah berbagai bentuk upaya. Di antaranya
melalui siaran RRI pada pukul 20.00 WIB, Mayor Jenderal Soeharto selaku
pimpinan sementara Angkatan Darat mengumumkan adanya usaha perebutan
kekuasaam Usaha perebutan kekuasaan itu dilakukan oleh gerombolan yang
menamakan dirinya “Gerakan 30 September 1965” serta penculikan terhadap
enam perwira tinggi Angkatan Darat Sementara itu Presiden dan Menko
Hankam/KASAB dalam keadaan aman dan sehat. Dinyatakan pula bahwa di antara
Angkatan Darat Angkatan Laut dan Kepolisian telah terjadi saling pengertian
untuk bekerja sama menumpas G3OS/PKI.
Mayjen Soeharto juga menganjurkan kepada rakvat Indonesia agar tetap tenang
dan waspada. Setelah berhasil diketahui bahwa basis utama dari G3OS/PKI berada
di sekitar lapangan udara Halim Perdana Kusuma. maka Iangkah berikutnya
adalah berupaya membebaskan pangkalan tersebut dan tangan G3OS/PKI.
Presiden Soekarno dihimbau untuk meninggalkan daerah Halim Perdana Kusuma.
Hal ini dimaksudkan. untuk menjaga keselamatannya apabila terjadi bentrokan
fisik antara pasukan TNI dengan pasukan pendukung G3OS/PKI yang bersembunyi
di sekitar pangkalan udara Halim Perdana Kusuma.
Kemudian Presiden Soekarno meninggalkan halim Perdana Kusuma menuju Istana
Bogor. Sedangan pasukan RPKAD yang dibantu oleh pasukan Batalyon 238
Kujang/Siliwangi dan Batalyon 1 Kavaleri diperintahkan bergerak menuju sasaran.
Juga didatangkan bantuan kekuatan pasukan sebanyak tiga kompi tempur
Kavaleri pengintai yang langsung dipimpin oleh Komandan Kesejahteraan Kavaleri
(Dansenkav) Kolonel Subiantoro. Mereka tiba di Cijantung dan langsung
diikutsertakan dalam gerakan untuk menutup jalan simpang tiga Cililitan, Kramat
Jati dan simpang tiga Lanuma Halim Lubang Buaya tanpa menemui kesulitan.
Pada pukul 06.10 WIB tanggal 2 Oktober 1965 daerah pangkalan udara Halim
Perdana Kusuma sudah berhasil dikuasai, walaupun sempat mendapat
perlawanan kecil dan timbul kontak senjata. Kontak senjata juga terjadi pada saat
dilakukan gerakan pembersihan yang dilanjutkan hingga ke kampung-kampung di
sekitar wilayah lubang Buaya. Karena di daerah-daerah itu sebelumnya disinyalir
dijadikan sebagai tempat latihan kemiliteran Pemuda Rakyat dan Gerwani.
Dalam gerakan pembersihan ke kampung-kampung di sekitar Lubang Buava, Ajun
Brigadir Polisi (Abriptu/Kopral Satu) Sukitman yang sempat ditawan oleh regu
penculik Brigjen Dl Pandjaitan berhasil meloloskan diri. Kemudian pada tanggal 3
Oktober 1965 berhasil menemukan jenazah para perwira tinggi Angkatan Darat
yang dikuburkan dalam sumur tua.
Pengangkatan jenazah baru berhasil dilaksanakan pada tanggal 4 Oktober 1965
oleh anggota RPKAD dan KKOAL (marinir). Seluruh jenazah dibawa ke Rumah Sakit
Pusat Angkatan Darat (sekarang RSPAD Gatot Subroto) untuk dibersihkan dan
kemudian disemayamkan di Markas Besar Angkatan Darat. Keesokan harinya
bertepatan dengan Hari Ulang Tahun ABRI tanggal 5 Oktober 1965, jenazah para
perwira tinggi Angkatan Darat itu dimakamkan di Taman Makam Pahlawan
Kalibata. Mereka dianugerahi gelar Pahlawan Revolusi, serta diberi kenaikan
pangkat setingkat lebih tinggi, anumerta. Ketika berada di Halim Perdana Kusuma
pada tanggal 1 Oktober 1965, Presiden Soekarno mengeluarkan perintah yang
ditujukan kepada seluruh jajaran Angkatan Bersenjata.
Presiden Soekarno meminta untuk mempertinggi kesiapsiagaan dan untuk tetap
di pos masing-masing serta hanya bergerak jika ada perintah. Seluruh rakyat agar
tetap tenang dan meningkatkan kewaspadaan serta memelihara persatuan dan
kesatuan nasional. Selain itu, diumumkan bahwa pimpinan Angkatan Darat untuk
sementara waktu dipegang oleh Presiden/Panglima Tertinggi ABRI dan untuk
melaksanakan tugas sehari-hari dalam Angkatan Darat ditunjuk untuk sementara
Mayor Jenderal Pranoto Reksosamudro, Asisten II Men/Pangad. Perintah itu tidak
segera diketahui oleh anggota ABRI yang berada di luar Halim. Oleh karena itu,
pada hari yang sama, sesuai dengan tata cara yang berlaku, Mayor Jenderal
Soeharto menyatakan untuk sementara memegang pimpinan Angkatan Darat.

1.5. Dampak peristiwa G30S PKI.


Setengah abad telah berlalu, tetapi Gerakan 30 September (G30S) 1965 masih
menyimpan banyak misteri. Tragedi yang menewaskan enam jenderal dan satu
perwira Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat (TNI AD) memiliki
kompleksitas tersendiri, hingga menjadi salah satu peristiwa paling kontroversial
dalam sejarah Indonesia. Dari sekian banyak kontroversi G30S, pertanyaan terkait
siapa dalang di balik peristiwa itu menjadi hal paling sulit dijawab. Ada yang
menuduh dalangnya Partai Komunis Indonesia (PKI), Angkatan Darat, Soekarno,
Soeharto, hingga Amerika Serikat melalui CIA-nya. Yang pasti, peristiwa G30S
telah mengguncang berbagai aspek kehidupan bangsa Indonesia. Lantas,
bagaimana dampak dari peristiwa G30S bagi bangsa Indonesia?
a. Soeharto menjadi Panglima AD
Pada 1 Oktober 1965, nasib Menteri Panglima Angkatan Darat Letnan Jenderal
Ahmad Yani belum diketahui. Mayor Jenderal Soeharto, yang saat itu menjabat
sebagai Panglima Komando Strategi Angkatan Darat (Pangkostrad), mengambil
alih komando Angkatan Darat. Soeharto kemudian memerintahkan Divisi
Siliwangi, Kavaleri, dan Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD) untuk
menumpas pemberontakan. Pada 3 Oktober 1965, jenazah tujuh jenderal
ditemukan di sebuah sumur di Lubang Buaya, salah satunya adalah Letjen Ahmad
Yani. Setelah itu, pada 16 Oktober 1965, Presiden Soekarno melantik Mayjen
Soeharto menjadi Menteri/Panglima Angkatan Darat di Istana Negara.
b. Adanya penumpasan unsur unsur PKI.
Dalam situasi kacau dan serba membingungkan, dendam lama muncul antara
pihak anti-komunis dengan anggota atau pendukung PKI. Sejumlah kelompok
anti-PKI pun mendesak Presiden Soekarno agar membersihkan Kabinet Dwikora,
DPR-GR, MPRS, dan semua lembaga negara dari unsur komunis.
Menteri/Panglima Angkatan Darat Mayjen Soeharto terus melanjutkan operasi
penumpasan sisa G30S. Para tokoh G30S seperti Kolonel Latief, Letkol Untung,
dan rekan-rekannya pun berhasil ditangkap satu-persatu. Sejak itu, para anggota,
simpatisan, atau orang yang diduga berafiliasi dengan PKI, menjadi buronan
nasional. Rumah para tokoh PKI dan kantor-kantornya menjadi sasaran
penghancuran oleh massa.
Kontak fisik antara massa yang setia kepada Pancasila dengan simpatisan PKI pun
tidak terhindarkan. Lebih lanjut, terjadi penangkapan dan pembunuhan massal
terhadap orang-orang PKI atau dianggap PKI. Tragedi pembantaian massal
terhadap orang yang diduga terlibat dan berhubungan dengan PKI mengakibatkan
jumlah korban jiwa yang tidak sedikit. Tercatat lebih dari 500.000 terduga
simpatisan PKI di berbagai daerah dibantai dalam kurun waktu Oktober 1965
hingga awal 1966. Tidak semua yang meninggal berideologi kiri. Bahkan banyak
yang tidak tahu apa-apa tetapi ikut terbunuh atau ditangkap tanpa ada surat
penangkapan. Selain dibunuh, ada juga yang menjadi tahanan politik selama
puluhan tahun tanpa melalui proses hukum yang adil. Bahkan, karena banyaknya
tahanan politik, dibuatlah kamp pengasingan di Pulau Buru. Tahanan tersebut
baru dilepas pada 1978 atas desakan dunia internasional, utamanya PBB dan
WHO.
c. Keadaan ekonomi memburuk
Dampak G30S di bidang sosial dan politik kemudian berimbas lebih jauh pada
kehidupan ekonomi negara yang sudah tidak stabil. Kehidupan sosial masyarakat
semakin mencekam dan penuh teror akibat adanya penghancuran, penjarahan,
pembakaran, pengusiran, dan pembunuhan. Akibatnya, di berbagai daerah
mengalami masalah bahan makanan, yang membuat harga barang-barang
membumbung tinggi. Inflasi terus merangkak naik, sementara pemerintah belum
mempunyai langkah strategis untuk mengatasinya.
d. Dikeluarkannya Supersemar
Gerakan yang terjadi pada tanggal 30 September 1965 menimbulkan perubahan
yang besar pada keberlangsungan negara Indonesia. Salah satu dampak yang
timbul dari gerakan tersebut adalah munculnya Supersemar. Dalam situasi negara
yang karut-marut dan serba tidak menentukan, Presiden Soekarno memberikan
mandat kepada Letjen Soeharto untuk memulihkan keadaan dan kewibawaan
pemerintah. Mandat tersebut dikenal sebagai Surat Perintah Sebelas Maret atau
Supersemar, yang dikeuarkan pada 11 Maret 1966.
e. Lahirnya Orde Baru.
Supersemar menjadi tonggak lahirnya Orde Baru. Pasalnya, sehari setelah
mendapat mandat dari Presiden Soekarno, Soeharto mengeluarkan sebuah
keputusan atas nama presiden. Keputusan itu kemudian dikukuhkan ke dalam
ketetapan MPRS Nomor XXV/MPRS/1996 tanggal 5 Juli 1966. Dengan demikian,
sebuah tatanan politik baru diletakkan di Indonesia. Pembersihan terhadap
semua unsur PKI dilakukan, baik di bidang militer maupun birokrasi. Supersemar
menyebabkan kedudukan Soekarno sebagai Presiden RI kian tergerus, sementara
posisi Soeharto kian menguat atau terjadi peralihan kekuasaan dari Soekarno
kepada Soeharto. Status Soekarno yang menjabat sebagai presiden seumur hidup
akhirnya dicabut oleh MPRS pada 7 Maret 1967. Setelah Soekarno lengser dari
kursi kepresidenan, Soeharto menjadi presiden pada 27 Maret 1968, yang
menandai dimulainya era Orde Baru.
f. Lahirnya tritura
Tritura adalah singkatan dari tiga tuntutan rakyat, yang dicetuskan dan diserukan
oleh kesatuan aksi yang tergabung dalam Front Pancasila yang dilindungi tentara.
Tritura disuarakan pada 12 Januari 1966, ketika Front Pancasila melakukan
demonstrasi di halaman Gedung DPR-GR. Aksi itu sebagai bentuk protes terhadap
Soekarno, yang dianggap tidak mengusut G30S dan tidak bisa mengatasi buruknya
perekonomian di masa pemerintahannya. Isi Tritura di antaranya: Pembubaran
PKI dan ormas-ormasnya Pembersihan kabinet Dwikora dari unsur-unsur PKI
Penurunan harga barang.

Anda mungkin juga menyukai