Disusun oleh:
1. Rahmadi Harisenja 121611433027
2. Rachmad Ersan S. 121611433030
3. Sholeh Hilmi Qosim 121611433042
4. Rizal Andi Pratama 121611433070
5. Abied Yusthofa 121611433092
Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Puji
syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah melimpahkan rahmad, hidayah, dan
inayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan makalah review buku Outward
Appereances tepat pada waktunya sebagai bentuk pemenuhan tugas dalam mata kuliah
Pengantar Antropologi.
Penyusunan review berbentuk makalah ini semaksimal mungkin kami upayakan dan
didukung dengan literasi sesuai judul yang menurut kami isinya sangat bagus untuk
pemahaman sehingga dapat memperlancar dalam penyusunannya. Tidak lupa juga kami
mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu kami dalam
merampungkan makalah ini.
Namun, tidak lepas dari semua itu, kami menyadari sepenuhnya bahwa masih
terdapat kekurangan baik dari segi penyusunan bahasa dan aspek lainnya. Oleh karena itu,
dengan lapang dada kami membuka selebar-lebarnya pintu bagi para pembaca yang ingin
memberi kritik maupun saran demi memperbaiki makalah ini untuk kedepannya. Semoga
review berbentuk makalah ini bermanfaat bagi pembaca.
Penyusun
DAFTAR ISI
3.1 Kesimpulan.................................................................................................................
3.2 Saran……………………………………………………………...............................
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pakaian merupakan bentuk dari lapisan sosial dan kebudayaan masyarakat Indonesia.
Hal tersebut dapat dibuktikan dengan eksistensi pakaian ternyata ada hubungannya dengan
penampilan di mana pakaian dalam masyarakat Indonesia merupakan bentuk ekspresi dari
identitas karena saat orang memilih pakaian, berarti mendefinisikan atau menggambarkan
dirinya sendiri. Perkembangan pakaian selalu mengikuti perkembangan zaman dan terus
menyesuaikan dengan kebutuhan yang berlangsung terus-menerus. Pada zaman kolonial
Belanda hingga masa pemerintahan Orde Baru pakaian seakan mengalami perkembangan
dalam menggambarkan kalangan penguasa hingga masyarakat biasa yang ada pada periode
tersebut. Pakaian menjadi trend tersendiri, membangun identitas seseorang, dan adanya
kepentingan dibalik penggunaan pakaian (politik, sosial, dan budaya) tersebut pada periode
kolonial hingga orde baru.
Sebagai mahasiswa Ilmu Sejarah, Pengantar Antropologi merupakan salah satu mata
kuliah wajib yang harus dipenuhi. Dari adanya buku yang berjudul Outward Appereances
(Trend, Identitas, dan Kepentingan), kita dapat mengetahui bagaimana peranan pakaian dapat
membangun kehidupan kebudayaan masyarakat dari masa kolonial hingga masa orde baru.
Menjadi mahasiswa Ilmu Sejarah yang berintelek dalam mata kuliah Pengantar Antropologi
tidak hanya membutuhkan apresiasi dan pengetahuan saja, akan tetapi dapat menganalisa
secara baik bagaimana pakaian dapat membangun trend, identitas, dan kepentingan
masyarakat yang terdapat dalam buku tersebut. Oleh karena itu, pembahasan mengenai
pakaian tidak hanya sebatas mengetahui gambaran pakaian secara umum saja, akan tetapi
dapat memahami peranan-peranan dan perkembangan politik, sosial, dan budaya dari masa
kolonial hingga masa Orde Baru dalam sebuah pemikiran oleh para ahli.
1.2 Bab dalam Buku
Pada masa VOC pakaian Belanda merupakan penanda yang jelas akan kebudayaan
dan agama para tuan tanah asing. Pada awalnya Belanda ingin mempertahankan pakaian
Eropa untuk diri mereka sendiri. Orang-orang Indonesia yang menggunakan pakaian gaya
Barat merupakan penganut Kristen, agama bawaan orang-orang Eropa. Pelengkap bagi orang
Kristiani non-Eropa agar berbeda dengan orang Kristen Eropa adalah topi gaya Eropa, kaus
kaki, dan sepatu (De Haan, 1922,I:467). Pada tahun 1658, misalnya, suatu ordonasi
dikeluarkan yang melarang orang Jawa di Batavia untuk berbaur dengan “bangsa-bangsa”
Indonesia lainnya dan memakai kostum mereka (Plakaatboek, 1885-1900, II:306). Dari
sejumlah peraturan mengenai pakaian, jelaslah mengapa VOC demikian gigih menuntut agar
setiap orang Indonesia harus mengenakan pakaian dari tanah asal mereka masing-masing.
Tempat tinggal tetap dan pakaian yang khas ternyata memudahkan VOC untuk terus
mengawasi penduduk Batavia jika suatu kejahatan terjadi akan mudah untuk menemukan si
pelaku jika seseorang tahu dari pakaiannya dan dari komunitas mana ia berasal. Ada sebuah
catatan pada Juli 1701 yang menceritakan bahwa untuk menghindari pengawasan kepala-
kepala suku, penduduk mengganti tempat mereka menetap, meninggalkan daerah yang
ditetapkan mereka. Mereka juga menanggalkan pakaian nasional mereka (Plakaatboek, 1885-
1900, III:517). Hal inilah yang ingin dihindari oleh VOC. Oleh karena itu, tidak heran apabila
dalam suat deskripsi yang ditulis oleh N. de Graaf tentang Batavia pada 1742 disinggung
bahwa beragam kelompok etnis dibedakan oleh bentuk pakaian mereka yang khas.
Aturan lain tentang peranan pakaian dapat ditunjukkan dari pria-pria Jawa yang sering
telanjang dada dan mengenakan kain di seputar pinggang mereka yang panjangnya sampai
lutut, kadang-kadang mereka mengikatkan selempang di pinggang, di mana mereka
kemudian menyisipkan keris atau senjata lain, kepala memakai semacam topi, namun mereka
bertelanjang kaki”. Para pria Ambon “melilitkan kain katun di seputar kepala mereka, kedua
ujungnya mengantung, dan menghiasi kain penutup kepala ini dengan berbagai macam
bunga” (De Graaf, 1942:22). Informasi yang sama diberikan di dalam buku lain tentang
Batavia, dengan menambahkan bahwa para pria Bugis juga hampir telanjang hanya memakai
kain di sekeliling pinggang, dengan semacam topi yang mirip keranjang kecil di kepala
mereka (Batavia, 1782-1783. III: 35). Aturan-aturan yang sama juga berlaku bagi bangsa
Cina. Mereka harus berpakaian sebagai bangsa Cina dan tidak diperbolehkan mengadopsi
atau mengenakan pakaian Indonesia atau “Eropa”. Bahkan, pada Juni 1658 dan Maret 1683
alasan-alasan pelarangan ini juga disertakan. Aturan-aturan ini dimaksudkan untuk mencegah
kejahatan, terutama pada malam hari (Plakaatboek, 1885-1900, II:506. III:112). Pada tahun
1851 seorang pengelana dari Jerman bernama Gerstacker mencatat bahwa bangsa Cina telah
mencoba untuk “mengeropakan” penampilan mereka, namun mereka dilarang melakukan hal
itu oleh Belanda, yang ingin mempertahankan “mantel terusan dan topi” khusus bagi
kalangan mereka sendiri (Gerstacker, 1885:425).
Pada masa VOC para budak membentuk kelas masyarakat tersendiri. Akan tetapi,
sebagaimana yang dicatat oleh De Haan, tidak jelas bagaimana mereka dapat dikenali. Dalam
kasus para budak pria, kenyataan bahwa mereka tidak mengenakan tutup kepala merupakan
suat tanda yang membedakan mereka dari kelompok lainnya pada masa-masa awal VOC di
Hindia. Pada tahun 1641 diputuskan bahwa untuk merangsang mereka belajar bahasa
Belanda, para budak tidak lagi diperbolehkan memakai topi kecuali mereka dapat memahami
dan berbahasa Belanda dengan baik. Jika para budak ingin merasakan “keistimewaan”
memakai, topi mereka harus membawa penyataan tertulis dari “komisioner-komisioner
urusan perkawinan”. Jika tidak dapat menunjukkan sertifikat ini maka topi tersebut disita dan
mereka dihukum cambuk (Plakaatboek, 1885-1900, I:460). Menurut De Haan, peraturan ini
merupakan usaha untuk mengurangi pemakaian bahasa Portugis di Batavia. Namun
demikian, sebagaimana ditambahkannya, setengah abad kemudian para budak masih tidak
diperbolehkan memakai penutup kepala (De Haan, 1922, I:467). Ada satu lagi pakaian yang
tidak boleh dipakai para budak sebagaimana disinggung dalam Peraturan Baru Batavia pada
pertengahan abad kedelapan belas. Para budak dilarang berjalan di jalan-jalan umum
mengenakan sarung atau kain-kain lain yang disampirkan di bahu (Plakaatboek, 1885-1900,
IX:585). Ini dilakukan untuk membedakan mereka dari pribumi. Dalam deskripsi awal
bangsa Eropa tentang kostum-kostum di Jawa, sering didapati bahwa pria bertealnjang dada.
Akan tetapi, tidak semua orang Jawa selalu membiarkan dada mereka tidak tertutup. Dalam
sebuah puisi Jawa Siwaratrikalpa abad ke-15 terdapat suatu deskripsi tentang seorang
pemburu yang “berangkat berburu, mengenakan jas pemburu berwarna biru tua” (Teeuw et
al., 1969:71). Namun demikian, kaum bangsawan setidaknya membiarkan sebagian
membiarkan sebagian dari dada mereka terbuka. Robson (1981:106), tentang bukti dalam
Wangbang Wideya, menyimpulkan bahwa menurut tata cara berpakaian di istana “biasanya
seorang pangeran mengenakan dua macam benda di pakaiannya, yaitu wastra (istilah lain
yang digunakan adalah kampuh dan dodot) dan sebuah sabuk. Wastra dililitkan di sekeliling
bawah tubuh, sementara sabuk adalah sebuah selempang yang dikenakan di sekeliling
pinggang”. Dalam lingkaran kerajaan, tradisi tidak menutup dada bagi pria memiliki fungsi
spesifik. Dalam sebuah acara, Kidung Sunda (Berg, 1927) memperlihatkan orang-orang yang
membiarkan dada mereka terbuka. Ini merupakan cara untuk mempelihatkan penghormatan
dan kepatuhan. Elias Hesse pada tahun 1680-an mengamati bahwa orang Jawa biasanya
berpakaian dengan tubuh bagian atas dibiarkan dalam keadaan telanjang dan “hanya
menutupi bagian yang diinginkan oleh alam agar tetap tersembunyi”. Menariknya, ia
melanjutkan pengamatannya dengan menunjukkan bahwa para pria, yang ingin
memperlihatkan perbedaan mereka, “mengenakan kain Persia yang meriah” (Reysen,
1694:223). Dari keterangan Vermeulen (1677:20) menegaskan hal ini: “Orang paling
terkemuka di antara mereka, dan semua bangsawan memakai pakaian dengan lengan yang
dihiasi pita-pita atau renda-renda indah”. Baik Hesse maupun Vermaulen mungkin merujuk
pada Banten atau Jawa Barat. Ketelanjangan dada merupakan bagian dari etiket istana Jawa.
Di luar istana, masih di bawah pengaruh gabungan Belanda dan Muslim, tubuh atas
mulai ditutupi, menjadikan kain-kain penutup dada sebagai tanda pembeda bagi kaum elite.
Sarung pada awalnya digunakan oleh orang-orang Jawa, kemudian identik dengan kehidupan
orang Muslim pula yang banyak tinggal di Jawa. Jubah identik dengan kehidupan orang-
orang pribumi elite yang memang non-Eropa, mereka diperbolehkan mengenakannya. Untuk
celana sendiri diidentikan dengan oraang-orang Cina dan pribumi kelas bawah. Orang-orang
Belanda dari sini dapat dilihat tujuan dari mereka untuk mendiskriminasi dan membedakan
orang-orang ini, tetapi dalam perkembangannya mereka nantinya sedikit memberontak akan
pakaian dikarenakan lama-kelamaan orang-orang Belanda sendiri sedikit melonggarkan
aturannya akan pakaian untuk selain golongan dari mereka.
Saat menyebut kata “pakaian” yang dikenakan para pemuda pada masa revolusi
tahun 1945-1949, maka otak kita akan secara otomatis membuat sebuah ilustrasi seperti pada
film-film yng menceritakan masa awal kemerdekaan, terutama film rock nasionalis Islam
milik Rhoma Irama pada tahun 1976, Perjuangan dan Doa.
Banyak dijumpai pembahasan yang serius mengenai revolusi ini di dalam literatur
akademis Indonesia. Tersebutlah R.W. Smail (1964) sebagai tokoh pertama internasional
yang yang menyampaikan tentang gaya dan penampilan pemuda Revolusi, yang kemudian
setlah itu secara permanen ditulis oleh Benedict Anderson (1970-1971,1972). Karya-karya
yang lahir belakangan kebanyakan menawarkan gambaran yang tidak jauh dari versi ini
(Lucas, 1981, 1986, 1991; D. Anderson , 1976).
Tidak ada penulisan ilmiah tentang revolusi yang menggali lebih jauh tentang
kebudayaan Revolusi, kecuali sedikit seperti penelitian Reid. Ada beberapa alasan yang
menyebabkan tidak adanya kepuassan mengenai gambaran pakaian pemuda pada masa
revolusi. Pertama, catatan fotografis tentang Revoluis Indonesia sangat terbatas. Di dalam
catatan resmi fotografi terbitan Indonesia, pemuda dan gaya-gaya yang dinyatakan dalam
tulisan-tulisan akademis barat dapat dikatakan sangat langka. Kedua, ketidakjelasan ini
mungkin berkaitan erat dengan apa yang oleh Reid (1978:188) disebut dengan konsep
pemuda itu sendiri yang masih “tidak berbentuk”. Ketiga, pelajar-pelajar masa Revolusi
cenderung mengbaikan penampilan fisik - yaitu, pakaian, bahasa tubuh, ekspresi-ekspresi
wajah - bukan hanya karena hal-hal ini masih merupakan suatu topik minat serius yang tidak
konvensional melainkan, lebih penting lagi, karena “pendekatan telefoto” terhadap Revolusi
– yang memusatkan perhatian pada sejarah lokal namun, tetap menganggapnya sebagai
sejarah-sejarah nasional – terus mendominasi bidang ini.
Selama periode revolusioner tidak ada komoditas pokok yang lebih sedikit
persediannya selain kain. Krisis ini berawal pada tahun 1930-an, ketika pemerintah kolonial
berupaya melindungi pabrik-pabrik Belanda yang membatasi sangat ketat impor serat-serat
dan tekstil Jepang yang tidak mahal, terutama sarung katun dan rayon (Sutter, 959, I:41-44;
Wirodihardjo, 1951). Tindakan ini memiliki motif untuk melambungkan hargatekstil serta
meminimalisasi persediaan. (Statistich Zakbeje, 1936:62-5; 1939:72-76) Sementara efek
samping dari kebijakan tersebut adalah peningkatan perusahaan-perusahaan penenunan dan
pemintalan di Hindia yang luar biasa. Minimnya akses untuk mendapatkan tekstil tersebut
semakin diperparah dengan meletusnya perang pasifik. Pada akhir 1943 para pedagang tekstil
menghilang dari paar Jawa Tengah. Pada awal tahun berikutnya pasokan pakaian demikian
rendah di Malang sehingga kehadiran siswa di sekolah-sekolah menurunkarena naka-anakan
merasa malu tampil di depan umum dengan pakaian yang kurang layak. Bahkan, selama
delapan belas bulan terakhir masa perang karung-karung goni pun terlalu langka untuk dapat
dikenakan sebagai penutup tubuh. Petani di Jawa Timur dilaporkan bekerja telanjang di
lahan-lahan mereka.
Peristiwa Sepuluh November di Surabaya walaupun sudah berakhir pada bulan-bulan
akhir tahun 1945, namun “aksi-aksi polisi” masih terus berlanjut dan sejumlah operasi militer
yang lebih kecil menciptakan situsi yang luar biasa dimana identitas pribadi dan kelompok
ditantang, diciptakan, dan dicipta ulang dalam skala luas. Dalam keadaan tersebut posisi kain
dan pakaian menjadi penting. Kedua hal ini menawarkan suatu kunci identitas yang bersifat
langsung dan segera pada suatu masa ketika sering kali vital untuk mengumumkan,
menyembunyikan, atau menentukan diri seseorang, dan secara harfiah maupun kiasan, asal
seseorang.
Contoh penting dalam pemakaian pakaian sebagai identitas adalah saat bulan-bulan
awal revolusi , warna-warna nasional: merah dan putih sebagai simbol Republik; dan merah,
putih, dan biru sebagai simbol Belanda. Pemakaian warna-warna ini merupakan suatu
persoalan dengan konsekuensi besardalam membedakan kawan dari lawan. Sebelum
membahas mengenai gaya pemuda alangkah lebih baik kita memahami pengertian dan
kronologis munculnya istilah pemuda. Dalam organisasi-organisasi pergerakan, “pemuda”
dianggap sebagai orang-orang berusia tidak lebih dari 21 atau 22 tahun, mengenyam
pendidikan di sekolah-sekolah modern, berasal dari lingkungan sosial perkotaan dan sebagian
besar urban, serta setidaknya tengah mulai memiliki kesadaran politik. Pada masa
pendudukan Jepang makna “pemuda” diperluas, baik dari segi batasan umur (sampai 29 atau
30 tahun) maupun mempertimbangkan dengan orang-orang dengan pedidikan yang terkadang
lebih dari sekulah dasar dan latar belakang sosial pedesaan atau orang kecil.
Dalam sebuah foto yang diambil pada pertengahan tahun 1949 terlihat seorang
pemuda yang tampil di foto dengan kaki telanjang, kemeja khaki dengan lengan tergulung,
celana panjang berwarna sama yang juga digulung, dan peci kusut di kepalanya. Gambar ini
mengingatkan bahw penampilan dapat menipu, dan peringatan unu tampaknya tepat terutama
jika menyangkut gaya pemuda revolusioner yang sedang dibicarakan. Pemuda mengenakan
jumlah gaya seragam, sebagian karena seragam merupakan komditas langka, alasan lain
adalah karena selera perorangan dan perbedaan perndapat pribadi. Kelompok-kelompok
pemuda yang dekat dengan, dan dipasok langsung oleh TNI, misalnya umumnya memilih
satu dari tiga atau empat penampilan yang cukup khas. Penampilan paling populer adalah
semacam kombinasi antara seragam pengintai dan tentara dengan selempang kulit di dada,
dipadukan dengan celana pendek atau panjang, kadang disertai topi gaya penjaga hutan.
Sejak dari awal mula revolusi pemuda mengenakan penampilan luar untuk melakukan
menciptakan mitos tentang diri mereka dan peran mereka dalam perjuangan mencapai
kemerdekaan. Dengan mempertimbangkan kompleksitas maupun kesadaran diri dari gaya
pemuda ini dapat memberi pemahaman tentang fenomena historis pemuda selama masa
revolusi. Pengakuan akan nuansa penampilan ini merupakan fungsi penting yang hingga kini
belum dimanfaatkan bagi historiografi kelahiran Indonesia sebagai sebuah bangsa modern.
Diceritakan bahwa seorang anak peranakan Cina-Betawi yang kedua orang tuanya
berpendidikan sekolah metodis inggris. Ayahnya bersekolah di Singapura sedangkan ibunya
di Bogor. Sedangkan anak tersebut memperoleh pendidikan dari sekolah dasar Protestan
Belanda.
Sebagai seorang anak kecil dirumah, Ia mengenakan pakaian terusan gaya Eropa.
Ketika bepergian atau bersekolah, ia mengenakan pakaian anak-anak gaya Belanda yang
dipadankan dengan celana pendek di pagi hari dan celana panjang dimalam hari. Saat
remaja, ia diberi dua potong setelan gaya barat dengan sabuk kulit dan mulai mengenakan
celana dalam.
Para pria betawi yang bekerja sebagai centeng suka mengenakan pakaian gaya jagoan,
yang berpotongan sama dengan yamakuli, namun terbuat dari kain warna hitam. Selama
tahun 1930-an banyak orang dewasa di perkotaan mengenakan pakaian Barat. Sedangkan
para pegawai kantor di perkotaan mengenakan jas Eropa warna putih melapisi kemeja lengan
panjang, memakai dasi, serta celana panjang terbuat dari katun putih. Orang-orang Jawa tua
dan berdarah ningrat masih mempertahankan pakaian tradisional Jawa.
Secara umum masyarakat zaman sekarang baik yang tinggal didaerah pedesaan
maupun kota, mengenakan pakaian Barat. Pakaian tradisional hanya dikenakan pada
kesempatan-kesempatan khsusus seperti ritual-ritual lingkar kehidupan dan upacara-upacara
keagamaan.
H. Penciptaan Pahlawan Nasional (Demokrasi Terpimpin-Orde Baru 1970-1980-an)
Sejak penetapan Demokrasi Terpimpin oleh Soekarno pada tahun 1959 sebuah
panteon nasional yang terdiri dari 93 pria dan sembilan perempuan telah di bangun untuk
menghormati sejumlah dramatis pahlawan dalam sejarah Indonesia dari masa Sultan Agung
pada abad ke-17 hingga masa lalu yang terbaru.
1. Kriteria
Prosedur formal bagi pemilihan dan pengumuman para pahlawan digaris bawahi
dalam serangkaian dekrit, dan ordonasi presidensial yang dikeluarkan oleh mendiang
Presiden Soekarno. Tiga dari hal-hal yang mendapatkan perhatian khusus dari hal
tersebut adalah perturan-peraturan yang memuat tentang Hari pahlawan, definisi
tentang siapa yang dianggap sebagai pahlawan, dan pemberian kewajiban-kewajiban
apa yang menyertai penghormatan ini.
Menurut Keputusan Presiden No.24 tahun 1958, deskripsi seorang pahalawan adalah
hampir semua aktivitas apa pun yang secara retrospektif dianggap berjasa dapat
memenuhi persyaratan untuk mendapatkan gelar kepahlawanan yang diakui secara
resmi. Pada tahun 1964 Keputusan tersebut direvisi ulang dan dekrit baru tersebut
sangat berbeda dengan dekrit sebelumnya. Namun tidak jelas kriteria apa yang
termasuk dalam ketegori tindakan kepahlawanan ataupun dalam periode apa tindakan-
tindakan ini seharusnya dilakukan. Suatu kecenderungan tentang kekurangjelasan dan
penerapan yang lebih umum juga ditemukan dalam istilah “Pahalawan” yang
digantikan dengan istilah “Pahalawan Kemerdekaan Nasional”. Sementara pokok-
pokok pentingnya tetap samar, keadaan-keadaan ini peneyebab calon pahalawan-
pahlawan ini meninggal dideskripsikan secara lebih terperinci.
2. Prosedur-prosedur birokratis
Prosedur yang meghasilkan pengumuman pahlawan-pahlawan secara resmi adalah
suatu proses vertikal. Idealnya, proses ini dimulai pada tingkat administratif regional
bupati dan walikota. Di tingkat lebih tinggi berikutnya adalah pemerintah provinsi
yang diwakili oleh gubernur. Pada tingkat nasional terdapat dua depertemen yang
berwenang atas urusan kepahlawanan: Menteri Sosoal dan Menteri Pertahanan. Tahap
awal dari prosedur tersebut adalah memeriksa kondisi-kondisi formal yang berkaitan
dengan pahlawan-pahlawan yang diajukan. Wewenang untuk meneliti isi dan
substansi proposal tersebut ada di tangan Badan Pembina Pahalawan Daerah (BPPD).
Kemudian BPPD memberikan perhatian khusus terhadap sejarah dari orang yang
diajukan, terutama menyangkung aksi-aksi militer maupun sipil. Setelah itu BPPD
kemudian meneruskan berkas tersebut kepada Badan Pembinaan Pahlawan Pusat
(BPPP) baru kemudian menunggu persetujuan dari presiden yang terlebih dahulu
melakukan perundingan dalam Dewan Tanda Kehormatan, dan hasil akhir dari
pertimbangan-pertimbangan tersebut menghasilkan Keputusan Presiden.
Pahlawan kemerdekaan Nasional, gelar yang paling sering digunakan selama masa
Soekarno, dianugerahkan sebanyak 33 kali. Sejak awal dokumen-dokumen resmi
menunjukkan suatu perkataan yang seragam yang tidak mengindikasikan jasa-jasa individual
orang tersebut ataupun alasan-alasan spesifik mengapa gelar tersebut dianugerahkan.
Mengikuti periodisasi historiografi Indonesia, berdasarkan pendirian Budi Utomo pada tahun
1908 yang menandai titik mula Kebangkitan Nasional, hampir semua pahlawan yang disebut
selama era Soekarno bagaimanapun juga berasal dari masa gerakan nasional Indonesia.
Kesepuluh pahlawan revolusi diangkat sebagai Pahlawan Nasional tak lama setelah
kematian mereka membentuk kategori tersendiri dan menandai titik balik dari Demokrasi
Terpimpin ke Orde Baru. Enam jendral, dua ajudan mereka, dan dua perwira yang berasal
dari daerah komando Yogyakarta diangkat sebagai pahlawan Revolusi pada hari pemakaman
mereka di bulan Oktober 1965. Namun upaya tersebut gagal dan hal tersebut dimanfaatkan
untuk melucuti kekuasaan sang proklamator. Pada tahun 1967 Soeharto mulai mengubah
”Pahlawan-Pahlawan Revolusi” menjadi martir-martir Orde Baru dan ideologi nasional
Pancasila dengan mendirikan “Monumen Sakti” di Lubang Buaya. Kesepuluh pahlawan
tersebut juga menjadi simbol periode peralihan dari tahun 1966 hingga 1969, yang dicirikan
oleh ketidakpastian yang berkaitan dengan ketegori pahlawan dan berkurangnya jumlah
nominasi. Orang terakhir yang disebut di dalam rekomendasi Soekarno mugkin adalah
Sjahrir, yang meninggal di perasingan di Swiss pada bulan April 1966. Orang pertama yang
didominasikan oleh rezim Soeharto adalah Admiral Martadinata, yang mendukung Soeharto
sesaat setelah Kudeta Untung. Sejak akhir tahun 1960-an pemilihan pahlawan-pahlawan dari
berbagai pulau di luar Jawa dan dari masa-masa sejarah yang berbeda telah mengikuti pola
yang baru. Lebih jauh hampir semua pahlawan sejak saat itu disebut sebagai pahlawan
nasional.
Agar dapat mempopulerkan panteon nasional, pada tahun 1975 dibentuk Proyek
Biografi Pahlawan Indonesia dibawah lindungan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan.
Tujuannya adalah untuk mengumpulkan dan menerbitkan materi-materi biografis para
pahlawan nasional dan tokoh lain yang dianggap sebagai sosok-sosok penting di dalam
sejarah Indonesia.
Aktifitas ritual Hari Pahlawan adalah apel kehormatan, biasanya berhubungan dengan
renungan suci; apel/upacara bendera, mengheningkan cipta, ziarah ke taman makam
pahlawan, pemakaman kembali atau pemindahan kerangka pahlawan. Aktivitas-aktivitas
yang sangat formal ini dapat dilihat sebagai elemen-elemen pemujaan negara.
I. Gadis-Gadis dan Buaya-Buaya
Pada pembahasan tersebut membahas tentang sosok beberapa wanita yang ikut serta
dalam pembantaian di sebuah sumur kecil yang dinamai “Lubang Buaya”. Tak hanya
perempuan itu saja namun juga beserta rekan-rekannya, ada beberapa dari mereka para lelaki
yang bertelanjang dada dan celana terlipat setengah kaki salahsatu dari mereka, dengan
tangan yang dilengkapi senjata api. Para perempuan membentuk adegan-adegan lateral. Di
latar depan Soekarno membawa berkas bertuliskan NASAKOM. Ia dikeilingi oleh pria-pria.
Ekpresi wajah mereka serius. Mereka mewakili kebaikan. Ekspresi-ekspresi para pria yang
terletak diantara mereka dengan kelompok-kelompok yang digambarkan (gambar perempuan
dengan telunjuk yang terangkat) lebih tampak mengancam dibandingkan sedih. Mereka
seakan menandakan kejahatan.
Para juru bicara pemerintah Indonesia membedakan dua periode sejarah negara
Indonesia sejak tahun 1945, yaitu yang disebut dengan “Orde Lama” dan “Orde Baru”.
Pembedaan ini dibuat berdasarkan kronologi dan nilai-nilai yang mugkin berkaitan dengan
ide-ide lama dan baru. Untuk Orde Lama sendiri dianggap yang mewakili adalah Soekarno,
sedangkan untuk Orde baru diwakili oleh Soeharto.
J. Pakaian Seragam dan Pagar Beton (Mendandani Desa di Orde Baru 1970-1980-an)
Pada masa orde baru, wilayah pedesaan mengalami sebuah peralihan secara sosial dan
budaya. Dimana yang tadinya kehidupan didesa bebas atau bahkan terisolasi dari
kompleksitas kota. Di masa ini, semua itu berubah dengan Suharto sebagai ‘Commander in
Chief’. Tertib, bersih, dan aman merupakan hal yang paling disayangi dalam masyarakat.
Karena tujuan orde baru, selain pembangunan negara, adalah menciptakan stabilitas, terutama
setelah ‘kudeta’ tahun 65. Pembasmian yang mengikuti peristiwa tersebut merupakan sebuah
tragedi yang akan menghantui negara ini yang menggunakan alasan ‘untuk kebaikan
bersama’ sebagai legitimasi aksi tersebut. Alasan yang sama juga digunakan dalam
mengerakan semangat pembangunan yang menjadi trademark masa ini. Dan masa ini juga,
desa mengalami seragamisasi dalam hal administrasi serta beberapa hal yang menyangkut
‘aesthetic’ desa tersebut.
Salah satu aksi dari peralihan tersebut berada dalam bidang kepemimpinan desa, yang
sebelumnya jabatan kepala desa berlangsung selama seumur hidup. Menjadi hanya berjangka
10 tahun. Serta perubahan ini pada awalnya kurang di terima oleh masyarakat dikarenakan
terciptanya celah yang memisahkan antara rakyat dan ‘perwakilan negara’ yang baru ini.
Celah yang dimaksudkan adalah perbedaan cara memimpin yang sangat berbeda dari
pendahulunya serta perbedaan penguasaan budaya yang kurang, membuat ‘wakil’ ini kurang
dihormati oleh rakyat desa. Hal ini juga membawa aspek permainan politik dalam artian,
setiap kepala desa sekarang fokus mencari dan membuat hubungan pertemanan antar satu
dengan yang lain demi mendapatkan pengaruh/kekuatan politk yang lebih besar. Hal tersebut
menyebabkan terlantarkannya infrastruktur seperti jalan dan jembatan yang telah ada semejak
masa kolonial. Oleh karena itu gotong royong menjadi bagian dari nasionalisme. Dalam
konteks ini, kaum pria, kebanyakan pemuda, mulai memperbaiki infrastruktur tersebut
dengan sukarela. Dengan kepala desa memberikan bantuan logistik berupa dana untuk
konsumsi.
Kemudian munculnya istilah ‘tujubelasan’, nama tidak resmi dari perayaan hari
kemerdekaan. Sebuah hari dimana pada masa orde baru membutuhkan perencanaan di bulan
sebelumnya. Para kepala desa akan cenderung mementingkan hal tersebut pada bulan
mendekati perayaan tersebut dari pada mengurus masalah desanya seperti irigasi dan hal
semacamnya. Serta pada masa ini juga terjadi peningkatan rata-rata pendidikan yang
menyebabkan terjadi segregasi antara kaum terpelajar, yang pada saat itu adalah minoritas
walaupun peningkatan tersebut, dengan kaum yang tidak terpelajar. Tetapi dengan adanya
peningkatan pendidikan, menyebabkan pemuda terpelajar tidak ingin menjadi seorang petani,
walaupun mereka sendiri mengalami kesulitan dalam mencari pekerjaan yang mereka
inginkan. Hal tersebut menyebabkan mereka lebih sering bermalas-malasan dipinggiran desa.
Dengan adanya ‘tujubelasan’ ini, paling tidak mereka dapat membantu dengan persiapan
perayaan tersebut. Tetapi ada sebuah komplkasi yang sedikit bermasalah, mayoritas dari
pemuda di desa merupakan kaum tidak terpelajar dan kurang mengerti dengan konsep
berbahasa bahasa Indonesia.
Tentunya dengan adanya sebuah perayaan, pastinya ada sebuah usaha untuk mendekorasi
lingkungan sekitar dengan tema yang sesuai. Pada masa orde baru, desa mulai membangun
pagar beton dan gapura sebagai simbol-simbol pembangunan serta mereka telah menjadi
pemandangan yang umun di Jawa. Pada “HUT RI ke-30”, dari atap, pagar beton sampai
gapura, dicat atau diukir yang bertuliskan “HUT RI ke-30” untuk melambangkan semangat
nasionalis mereka. Bahkan samapai ada yang mengecat ulang rumah. Serta masyarakat juga
memasang dekorasi berupa miniatur bendera merah putih.
Kemudian pada perayaan, beberapa desa mencoba untuk memakai sebuah seragam
karena merasa hal tersebut merupakan sesuatu yang pantas. Hal itu juga menyebabkan
terjadinya ‘seragamisasi’ desa sekitar yang memiliki keunikan tersendiri. Kembali ke
prerayaan hari kemerdekaan, seperti biasa, ada sebuah upacara bendera yang dihadiri oleh
tentara, polisi, dan siswa SMP dipagi hari. Kemudian pada malam harinya suasana jauh
berbeda dari pagi yang ketat menjadi malam yang sangat santai dengan adanya hiburan yang
berupa orkes melayu dan pertunjukan wayang amatir. Seiring berjalannya waktu acara
tersebut mulai ditiadakan di tingkat Kecamatan, dikarenakan sebuah aksi pencegahan untuk
menjaga kestabilan. Hal ini dikarenkan wayang orang atau ‘langendriyan’ cukup populer
sebelum tahun 65 dan dilindungi oleh partai-partai politik, khususnya partai komunis. Serta
hal tersebut merupakan kecenderungan masa itu juga yaitu pemusatan atau sentralisasi.
‘Proyek Pagar Beton’ merupakan sebuah aksi untuk me-majukan desa yang di dorong
oleh lomba antar desa dimana setiap desa akan berkompetisi dalam menjadikan desa merka
menjadi yang paling bersih dan maju. Konsep maju disini berarti menyamakan dengan apa
yang ada di kota, yaitu konsumerism pada saat itu. Tapi bagi mereka hal tersebut tidaklah
buruk melainkan sebagai tanda keanggotaan didalam komunitas nasional Indonesia. Hal ini
juga yang mengakibatkan istilah “masih bodoh” yang berarti warga desa yang belum bisa
berbahasa Indonesia dengan lancar.
Dalam bab ini dibicarakan mengenai kaum elite pada akhir orde baru yang cenderung
memiliki banyak muka dalam permainan politik di pusat. Untuk mata yang tak terlatih,
kehidupan mereka hanyalah berpesta, berfoya-foya, atau menghamburkan harta demi
kesenangan mereka. Tetapi sebenarnya setiap aksi yang mereka lakukan adalah sebuah
langkah atau manuver politik yang sudah direncanakan. Tetapi bab ini tidak membicarakan
hal tersebut, melainkan pengaruhnya kepada sebuah keluarga orang kaya yang bisa dibilang,
disfungsional. Dengan setiap anggota keluarga memiliki rahasia mereka tersendiri. Hal yang
mempersatukan mereka hanyalah Public Image yang mereka miliki dalam masyarakat elit.
Tentunya sebuah hal yang kontradiktif dari bab sebelumnya yang membahas tentang
pengaruh orde baru di wilayah pedesaan.
Kehidupan kaum elit ini, dapat dianalogikan seperti permainan catur yang memiliki
banyak pemain. Dengan setiap langkah yang diambil akan memiliki potensi untuk di
eksploitasi oleh lawan. Kemudian dalam permainan ini hanya ada aliansi sementara. Tidak
ada yang namanya seorang teman. Hal tersebut sangat terlihat saat sang suami memiliki
keluarga kedua. Dan dalam hal istri yang ingin perhatian dari pasanganya, memamerkan
karya-karyanya. Serta kedua anak yang sudah terbiasa dengan kemewahan, telah, kurang
lebih, membuat mereka tidak sejalan dengan semangat koletif orde baru. Dari acara
pernikahan, kunjungan ke sebua galeri kesenian, sampai hal yang sepele seperti acara makan
malam. Menunjukan akan kebebasan yang dialami oleh kaum elit ini dengan kandang public
image yang mereka buat sendiri.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Dari dalam bab-bab yang ada dapat di ambil kesimpulan bahwa akaian merupakan
penanda pada penampilan luar seseorang yang saling membedakan satu sama lain atau dapat
juga sebagai penanda sebuah kelompok tertentu. Dalam hal berpakaian, kehidupan yang ada
di Hindia diatur oleh kebijakan politik Belanda. Penampilan tubuh manusia lewat pakaian,
dandanan, dan tingkah laku pada tiap-tiap masa menyiratkan sebuah pernyataan yang sangat
kuat tentang kelas, status, dan gender. Perubahan-perubahan dalam penampilan tubuh
menawarkan petunjuk transformasi yang luas. Penampilan tubuh manusia melalui pakaian,
dandanan, dan tingkah laku pada tiap-tiap masa menyiratkan sebuah pernyataan yang sangat
kuat tentang kelas, status, dan gender. Perubahan-perubahan dalam penampilan tubuh
menawarkan petunjuk-petunjuk perubahan sosial yang luas. Kostum dan tingkah laku
merupakan merupakan sumber yang kaya bagi sejarah kolonial. Tubuh manusia dikolonisasi,
sebagaimana halnya tanah dan sumber dayanya. Pada perkembangan selanjutnya gaya
berpakaian dapat digambarkan dengan pembuatan boneka oleh nyonya-nyonya Hindia
Belanda yang pengerjaannya dilakukan oleh wanita-wanita pribumi yang pada awalnya hanya
mahir membuat wayang. Pada 1893 para nyonya Hindia Belanda menampilkan boneka-
bonekanya di hadapan Ratu Belanda beserta katalognya, menunjukkan seluruh Nusantara
Hindia yang dikuasai seakan mengekspresikan konsep geografi dan optimisme historis dalam
kata lain dimaksudkan untuk menampilkan gambaran lengkap tentang masyarakat pribumi di
Hindia. Kemudian di Hindia pribumi mencapai kenecisannya yang pertama kali dipikirkan
oleh bangsa Belanda sendiri akibat timbulnya kecemasan akan pribumi yang terus meminjam
gaya pakaian Belanda untuk menempatkan diri sebagai masyarakat kolonial modern hingga
kekuasaan Belanda berakhir di tangan penjajah baru, Jepang. Pada masa pendudukan Jepang,
perempuan-perempuan modern Eropa menganggap sudah menjadi tugas mereka untuk
memperkenalkan modernitas kepada penduduk asli dan pemakaian pakaian Jawa tidaklah
sejalan lagi dengan pemikiran mereka. Dari berpakaian, bergeser sedikit dalam modernitas
yaitu kebutuhan listrik dan air yang menjadi trend sendiri, kedua hal tersebut tidak dapat
dilepaskan satu sama lain karena masyarakat sudah terjebak dalam arus pusaran kebutuhan
modern ini. Kemudian terlepas dari masa kependudukan Jepang para pemuda dalam
kesehariannya dapat disejajarkan dengan kehidupan film drama perjuangan. Menurut sebuah
catatan seorang saksi mata, pakaian Barat dan tradisional kemudian dibedakan menurut
kegunaannya. Memasuki era orde baru, bahasan mengenai pakaian sudah mencapai
transformasi desa-desa dan disamping itu terjadi dualisme rezim yang berantakan karena
G30S. Setelah peristiwa mencekam itu, fokus orde baru terletak pada gaya orang-orang di
Jakarta, di mana kaum elite pada akhir orde baru cenderung memiliki banyak muka dalam
permainan politik di pusat. Untuk mata yang tak terlatih, kehidupan mereka hanyalah
berpesta, berfoya-foya, atau menghamburkan harta demi kesenangan mereka. Tetapi
sebenarnya setiap aksi yang mereka lakukan adalah sebuah langkah atau manuver politik
yang sudah direncanakan.
3.2 Saran
Diharapakan dari adanya review yang telah disusun oleh penyusun, pembaca dapat
menggali informasi lainnya akan politik, sosial, dan budaya masyarakat Indonesia tidak
hanya melalui pakaian saja karena dari review ini hanyalah sekumpulan tulisan-tulisan yang
sedikit diubah dan diringkas kembali. Selain itu, penyusun juga menyadari bahwasanya
review berbentuk makalah ini masih jauh dari kata sempurna. Semoga pembaca lebih
bersemangat lagi membaca buku-buku lain dan sumber referensinya guna untuk menambah
wawasan pengetahuan akantrend, identitas, dan kepentingan kehidupan politik, sosial, dan
budaya masyarakat dari Hindia hingga menjadi Indonesia.