Anda di halaman 1dari 29

REVIEW BUKU OUTWARD APPEREANCES: TREND,

IDENTITAS, DAN KEPENTINGAN


(PENULIS: HENK SCHULTE NORDHOLT)

Disusun oleh:
1. Rahmadi Harisenja 121611433027
2. Rachmad Ersan S. 121611433030
3. Sholeh Hilmi Qosim 121611433042
4. Rizal Andi Pratama 121611433070
5. Abied Yusthofa 121611433092

PROGRAM STUDI ILMU SEJARAH


FAKULTAS ILMU BUDAYA
UNIVERSITAS AIRLANGGA
2017
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Puji
syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah melimpahkan rahmad, hidayah, dan
inayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan makalah review buku Outward
Appereances tepat pada waktunya sebagai bentuk pemenuhan tugas dalam mata kuliah
Pengantar Antropologi.

Penyusunan review berbentuk makalah ini semaksimal mungkin kami upayakan dan
didukung dengan literasi sesuai judul yang menurut kami isinya sangat bagus untuk
pemahaman sehingga dapat memperlancar dalam penyusunannya. Tidak lupa juga kami
mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu kami dalam
merampungkan makalah ini.

Namun, tidak lepas dari semua itu, kami menyadari sepenuhnya bahwa masih
terdapat kekurangan baik dari segi penyusunan bahasa dan aspek lainnya. Oleh karena itu,
dengan lapang dada kami membuka selebar-lebarnya pintu bagi para pembaca yang ingin
memberi kritik maupun saran demi memperbaiki makalah ini untuk kedepannya. Semoga
review berbentuk makalah ini bermanfaat bagi pembaca.

Surabaya, 08 April 2017

Penyusun
DAFTAR ISI

Halaman judul ……....……………………………………………………..............................


Kata pengantar………………………………………………………………..........................
Daftar isi………..………………………………………………………………......................
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang………………………………………………….............................
1.2 Bab dalam Buku…………………..........................................................................
1.3 Tujuan Bab dalam Buku..........................................................................................
1.4 Deskripsi Buku........................................................................................................
BAB II PEMBAHASAN
A. Sarung, Jubah, dan Celana (Penampilan sebagai Pembedaan dan Diskriminasi)....
B. Kostum dan Gender di Jawa Kolonial 1800-1940....................................................
C. Kenecisan Indonesia (Politik Pakaian Akhir Kolonial 1893-1942)..........................
D. Pakaian Musim Panas dan Makanan Kaleng Perempuan Eropa 1900-1942............
E. Pusaran Air dan Listrik Modernitas di Hindia..........................................................
F. Penampilan Revolusi (Pakaian, Seragam, dan Gaya Pemuda Jatim 1945-1949)......
G. Dari Celana Monyet ke Setelan Safari (Catatan Seorang Saksi Mata).....................
H. Penciptaan Pahlawan Nasional (Demokrasi Terpimpin-Orde Baru 1970-1980-an).
I. Gadis-Gadis dan Buaya-Buaya...................................................................................
J. Pakaian Seragam dan Pagar Beton (Mendandani Desa di Orde Baru 1970-1980-an).
K. Orang Kaya di Jakarta 1994........................................................................................
BAB III PENUTUP

3.1 Kesimpulan.................................................................................................................

3.2 Saran……………………………………………………………...............................
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang

Indonesia merupakan negara dengan gugusan pulau-pulau yang berserakan dan


merupakan wilayah yang sesuai untuk berkembangnya kebudayaan dalam suatu tatanan
kehidupan masyarakat. Perkembangan kehidupan masyarakat di Indonesia tentu
meninggalkan jejak dari sebuah eksistensi manusia prasejarah yang pernah ada, seperti
pakaian. Pakaian merupakan salah satu bagian dari kehidupan masyarakat yang tidak dapat
dilepaskan karena terkait dengan adanya ragam arti dan peranannya dalam pergaulan sosial.

Pakaian merupakan bentuk dari lapisan sosial dan kebudayaan masyarakat Indonesia.
Hal tersebut dapat dibuktikan dengan eksistensi pakaian ternyata ada hubungannya dengan
penampilan di mana pakaian dalam masyarakat Indonesia merupakan bentuk ekspresi dari
identitas karena saat orang memilih pakaian, berarti mendefinisikan atau menggambarkan
dirinya sendiri. Perkembangan pakaian selalu mengikuti perkembangan zaman dan terus
menyesuaikan dengan kebutuhan yang berlangsung terus-menerus. Pada zaman kolonial
Belanda hingga masa pemerintahan Orde Baru pakaian seakan mengalami perkembangan
dalam menggambarkan kalangan penguasa hingga masyarakat biasa yang ada pada periode
tersebut. Pakaian menjadi trend tersendiri, membangun identitas seseorang, dan adanya
kepentingan dibalik penggunaan pakaian (politik, sosial, dan budaya) tersebut pada periode
kolonial hingga orde baru.

Sebagai mahasiswa Ilmu Sejarah, Pengantar Antropologi merupakan salah satu mata
kuliah wajib yang harus dipenuhi. Dari adanya buku yang berjudul Outward Appereances
(Trend, Identitas, dan Kepentingan), kita dapat mengetahui bagaimana peranan pakaian dapat
membangun kehidupan kebudayaan masyarakat dari masa kolonial hingga masa orde baru.
Menjadi mahasiswa Ilmu Sejarah yang berintelek dalam mata kuliah Pengantar Antropologi
tidak hanya membutuhkan apresiasi dan pengetahuan saja, akan tetapi dapat menganalisa
secara baik bagaimana pakaian dapat membangun trend, identitas, dan kepentingan
masyarakat yang terdapat dalam buku tersebut. Oleh karena itu, pembahasan mengenai
pakaian tidak hanya sebatas mengetahui gambaran pakaian secara umum saja, akan tetapi
dapat memahami peranan-peranan dan perkembangan politik, sosial, dan budaya dari masa
kolonial hingga masa Orde Baru dalam sebuah pemikiran oleh para ahli.
1.2 Bab dalam Buku

A. Sarung, Jubah, dan Celana (Penampilan sebagai Pembedaan dan Diskriminasi).


B. Kostum dan Gender di Jawa Kolonial 1800-1940.
C. Kenecisan Indonesia (Politik Pakaian Akhir Kolonial (1893-1942).
D. Pakaian Musim Panas dan Makanan Kaleng Perempuan Eropa 1900-1942.
E. Pusaran Air dan Listrik Modernitas di Hindia.
F. Penampilan Revolusi (Pakaian, Seragam, dan Gaya Pemuda Jatim 1945-1949).
G. Dari Celana Monyet ke Setelan Safari (Catatan Seorang Saksi Mata).
H. Penciptaan Pahlawan Nasional (Demokrasi Terpimpin-Orde Baru 1970-1980-an).
I. Gadis-Gadis dan Buaya-Buaya.
J. Pakaian Seragam dan Pagar Beton (Mendandani Desa di Orde Baru 1970-1980-an).
K. Orang Kaya di Jakarta 1994.

1.3 Tujuan Bab dalam Buku

A. Untuk mengetahui pakaian sebagai pembedaan dan diskriminasi.


B. Untuk mengetahui kostum dan gender di Jawa Kolonial 1800-1940.
C. Untuk mengetahui politik pakaian akhir kolonial 1893-1942.
D. Untuk mengetahui pakaian musim panas dan makanan kaleng perempuan Eropa
1900-1942.
E. Untuk mengetahui pusaran air dan listrik modernitas di Hindia.
F. Untuk mengetahui pakaian, seragam, dan gaya pemuda Jatim 1945-1949.
G. Untuk mengetahui perkembangan celana monyet menuju setelan Safari.
H. Untuk mengetahui penciptaan pahlawan nasional masa Demokrasi Terpimpin-Orde
Baru 1970-1980-an.
I. Untuk mengetaahui gadis-gadis dan buaya-buaya.
J. Untuk mengetahui pakaian seragam dan pagar beton di desa masa Orde Baru 1970-
1980-an.
K. Untuk mengetahui orang kaya di Jakarta 1994.
1.4 Deskripsi Buku
A. Judul Buku: Outward Appearances: Trend, Identitas, dan Kepentingan.
B. Penulis: Henk Schulte Nordhotlt (ed.)
C. Penerbit: LKiS Pelangi Aksara, Jakarta.
D. Jumlah Halaman: 549 halaman
BAB II
PEMBAHASAN
A. Sarung, Jubah, dan Celana (Penampilan sebagai Pembedaan dan Diskriminasi)
Pakaian merupakan penanda pada penampilan luar seseorang yang saling
membedakan satu sama lain atau dapat juga sebagai penanda sebuah kelompok tertentu. Pada
masa kolonial Belanda bagi penduduk pribumi di Hindia, sebelum tahun 1900 dalam hal
berpakaian mereka dibatasi oleh aturan-aturan khusus yang dikeluarkan oleh kebijakan
kolonial berkaitan dengan pakaian-pakaian apa yang boleh dan yang tidak boleh dikenakan
oleh kelompok orang tertentu. Pengecualian aturan kebijakan kolonial akan pakaian berlaku
untuk orang-orang yang dekat dengan Belanda. Gaya Barat sangat didambakan pada saat itu
sehingga petinggi-petinggi Belanda melihat hal ini untuk membuat batasan-batasan
berpakaian bagi kaum yang dijajah oleh mereka, penduduk pribumi yang terdiri dari orang
Jawa, Islam, dan etnis Cina tidak diperkenankan mengenakan atribut-atribut Barat karena
mereka tidak sepantasnya disejajarkan dengan mereka. Sesuatu yang Barat adalah yang
utama. Segala yang berkaitan dengan pribumi hanya kekacauan belaka.
Adanya dominasi Belanda dalam waktu yang cukup lama dan pengaruh penduduk
yang mayoritas Muslim menjadikan fungsi pakaian di Indonesia lebih sekedar menandai
perbedaan dan kesamaan di dalam masyarakat pribumi. Pakaian juga menjadi sebuah media
untuk mengeekspresikan sikap tertentu terhadap pengaruh-pengaruh kebudayaan dan politik
asing. Bangsa Belanda serta Eropa lainnya yang ada di Hindia Belanda menghadapkan
bangsa Indonesia dengan gaya hidup Eropa, termasuk pakaian orang-orang Islam. Orang
Belanda dengan aturan akan pakaian orang Muslim di Indonesia menimbulkan konfrontasi
dari orang-orang Islam yang tidak semuanya orang pribumi karena Muslim di Indonesia juga
berasal dari negara lain di dunia sehingga menimbulkan pertentangan dengan orang-orang
Belanda. Hal ini disebabkan adanya bukti dengan kontak-kontak orang Indonesia dengan
dunia Islam lebih tua dari kontak dengan dunia Eropa. Rijckloff van Goens sebagai wakil
VOC mengunjungi istana Mataram dan menyaksikan salah satu penampilan publik biasa Raja
Mataram Islam, Susuhunan Amangkurat 1. “Ia mendapati dandanan kepala sang raja yang
mengenakan tutup kepala Jawa atau gaya turban Turki”. (Van Goens, 1856:323)

Pada masa VOC pakaian Belanda merupakan penanda yang jelas akan kebudayaan
dan agama para tuan tanah asing. Pada awalnya Belanda ingin mempertahankan pakaian
Eropa untuk diri mereka sendiri. Orang-orang Indonesia yang menggunakan pakaian gaya
Barat merupakan penganut Kristen, agama bawaan orang-orang Eropa. Pelengkap bagi orang
Kristiani non-Eropa agar berbeda dengan orang Kristen Eropa adalah topi gaya Eropa, kaus
kaki, dan sepatu (De Haan, 1922,I:467). Pada tahun 1658, misalnya, suatu ordonasi
dikeluarkan yang melarang orang Jawa di Batavia untuk berbaur dengan “bangsa-bangsa”
Indonesia lainnya dan memakai kostum mereka (Plakaatboek, 1885-1900, II:306). Dari
sejumlah peraturan mengenai pakaian, jelaslah mengapa VOC demikian gigih menuntut agar
setiap orang Indonesia harus mengenakan pakaian dari tanah asal mereka masing-masing.
Tempat tinggal tetap dan pakaian yang khas ternyata memudahkan VOC untuk terus
mengawasi penduduk Batavia jika suatu kejahatan terjadi akan mudah untuk menemukan si
pelaku jika seseorang tahu dari pakaiannya dan dari komunitas mana ia berasal. Ada sebuah
catatan pada Juli 1701 yang menceritakan bahwa untuk menghindari pengawasan kepala-
kepala suku, penduduk mengganti tempat mereka menetap, meninggalkan daerah yang
ditetapkan mereka. Mereka juga menanggalkan pakaian nasional mereka (Plakaatboek, 1885-
1900, III:517). Hal inilah yang ingin dihindari oleh VOC. Oleh karena itu, tidak heran apabila
dalam suat deskripsi yang ditulis oleh N. de Graaf tentang Batavia pada 1742 disinggung
bahwa beragam kelompok etnis dibedakan oleh bentuk pakaian mereka yang khas.

Aturan lain tentang peranan pakaian dapat ditunjukkan dari pria-pria Jawa yang sering
telanjang dada dan mengenakan kain di seputar pinggang mereka yang panjangnya sampai
lutut, kadang-kadang mereka mengikatkan selempang di pinggang, di mana mereka
kemudian menyisipkan keris atau senjata lain, kepala memakai semacam topi, namun mereka
bertelanjang kaki”. Para pria Ambon “melilitkan kain katun di seputar kepala mereka, kedua
ujungnya mengantung, dan menghiasi kain penutup kepala ini dengan berbagai macam
bunga” (De Graaf, 1942:22). Informasi yang sama diberikan di dalam buku lain tentang
Batavia, dengan menambahkan bahwa para pria Bugis juga hampir telanjang hanya memakai
kain di sekeliling pinggang, dengan semacam topi yang mirip keranjang kecil di kepala
mereka (Batavia, 1782-1783. III: 35). Aturan-aturan yang sama juga berlaku bagi bangsa
Cina. Mereka harus berpakaian sebagai bangsa Cina dan tidak diperbolehkan mengadopsi
atau mengenakan pakaian Indonesia atau “Eropa”. Bahkan, pada Juni 1658 dan Maret 1683
alasan-alasan pelarangan ini juga disertakan. Aturan-aturan ini dimaksudkan untuk mencegah
kejahatan, terutama pada malam hari (Plakaatboek, 1885-1900, II:506. III:112). Pada tahun
1851 seorang pengelana dari Jerman bernama Gerstacker mencatat bahwa bangsa Cina telah
mencoba untuk “mengeropakan” penampilan mereka, namun mereka dilarang melakukan hal
itu oleh Belanda, yang ingin mempertahankan “mantel terusan dan topi” khusus bagi
kalangan mereka sendiri (Gerstacker, 1885:425).
Pada masa VOC para budak membentuk kelas masyarakat tersendiri. Akan tetapi,
sebagaimana yang dicatat oleh De Haan, tidak jelas bagaimana mereka dapat dikenali. Dalam
kasus para budak pria, kenyataan bahwa mereka tidak mengenakan tutup kepala merupakan
suat tanda yang membedakan mereka dari kelompok lainnya pada masa-masa awal VOC di
Hindia. Pada tahun 1641 diputuskan bahwa untuk merangsang mereka belajar bahasa
Belanda, para budak tidak lagi diperbolehkan memakai topi kecuali mereka dapat memahami
dan berbahasa Belanda dengan baik. Jika para budak ingin merasakan “keistimewaan”
memakai, topi mereka harus membawa penyataan tertulis dari “komisioner-komisioner
urusan perkawinan”. Jika tidak dapat menunjukkan sertifikat ini maka topi tersebut disita dan
mereka dihukum cambuk (Plakaatboek, 1885-1900, I:460). Menurut De Haan, peraturan ini
merupakan usaha untuk mengurangi pemakaian bahasa Portugis di Batavia. Namun
demikian, sebagaimana ditambahkannya, setengah abad kemudian para budak masih tidak
diperbolehkan memakai penutup kepala (De Haan, 1922, I:467). Ada satu lagi pakaian yang
tidak boleh dipakai para budak sebagaimana disinggung dalam Peraturan Baru Batavia pada
pertengahan abad kedelapan belas. Para budak dilarang berjalan di jalan-jalan umum
mengenakan sarung atau kain-kain lain yang disampirkan di bahu (Plakaatboek, 1885-1900,
IX:585). Ini dilakukan untuk membedakan mereka dari pribumi. Dalam deskripsi awal
bangsa Eropa tentang kostum-kostum di Jawa, sering didapati bahwa pria bertealnjang dada.
Akan tetapi, tidak semua orang Jawa selalu membiarkan dada mereka tidak tertutup. Dalam
sebuah puisi Jawa Siwaratrikalpa abad ke-15 terdapat suatu deskripsi tentang seorang
pemburu yang “berangkat berburu, mengenakan jas pemburu berwarna biru tua” (Teeuw et
al., 1969:71). Namun demikian, kaum bangsawan setidaknya membiarkan sebagian
membiarkan sebagian dari dada mereka terbuka. Robson (1981:106), tentang bukti dalam
Wangbang Wideya, menyimpulkan bahwa menurut tata cara berpakaian di istana “biasanya
seorang pangeran mengenakan dua macam benda di pakaiannya, yaitu wastra (istilah lain
yang digunakan adalah kampuh dan dodot) dan sebuah sabuk. Wastra dililitkan di sekeliling
bawah tubuh, sementara sabuk adalah sebuah selempang yang dikenakan di sekeliling
pinggang”. Dalam lingkaran kerajaan, tradisi tidak menutup dada bagi pria memiliki fungsi
spesifik. Dalam sebuah acara, Kidung Sunda (Berg, 1927) memperlihatkan orang-orang yang
membiarkan dada mereka terbuka. Ini merupakan cara untuk mempelihatkan penghormatan
dan kepatuhan. Elias Hesse pada tahun 1680-an mengamati bahwa orang Jawa biasanya
berpakaian dengan tubuh bagian atas dibiarkan dalam keadaan telanjang dan “hanya
menutupi bagian yang diinginkan oleh alam agar tetap tersembunyi”. Menariknya, ia
melanjutkan pengamatannya dengan menunjukkan bahwa para pria, yang ingin
memperlihatkan perbedaan mereka, “mengenakan kain Persia yang meriah” (Reysen,
1694:223). Dari keterangan Vermeulen (1677:20) menegaskan hal ini: “Orang paling
terkemuka di antara mereka, dan semua bangsawan memakai pakaian dengan lengan yang
dihiasi pita-pita atau renda-renda indah”. Baik Hesse maupun Vermaulen mungkin merujuk
pada Banten atau Jawa Barat. Ketelanjangan dada merupakan bagian dari etiket istana Jawa.

Di luar istana, masih di bawah pengaruh gabungan Belanda dan Muslim, tubuh atas
mulai ditutupi, menjadikan kain-kain penutup dada sebagai tanda pembeda bagi kaum elite.
Sarung pada awalnya digunakan oleh orang-orang Jawa, kemudian identik dengan kehidupan
orang Muslim pula yang banyak tinggal di Jawa. Jubah identik dengan kehidupan orang-
orang pribumi elite yang memang non-Eropa, mereka diperbolehkan mengenakannya. Untuk
celana sendiri diidentikan dengan oraang-orang Cina dan pribumi kelas bawah. Orang-orang
Belanda dari sini dapat dilihat tujuan dari mereka untuk mendiskriminasi dan membedakan
orang-orang ini, tetapi dalam perkembangannya mereka nantinya sedikit memberontak akan
pakaian dikarenakan lama-kelamaan orang-orang Belanda sendiri sedikit melonggarkan
aturannya akan pakaian untuk selain golongan dari mereka.

B. Kostum dan Gender di Jawa Kolonial 1800-1940


Penampilan tubuh manusia lewat pakaian, dandanan, dan tingkah laku pada tiap-tiap
masa menyiratkan sebuah pernyataan yang sangat kuat tentang kelas, status, dan gender.
Perubahan-perubahan dalam penampilan tubuh menawarkan petunjuk transformasi yang luas.
Penampilan tubuh manusia melalui pakaian, dandanan, dan tingkah laku pada tiap-tiap masa
menyiratkan sebuah pernyataan yang sangat kuat tentang kelas, status, dan gender.
Perubahan-perubahan dalam penampilan tubuh menawarkan petunjuk-petunjuk perubahan
sosial yang luas. Kostum dan tingkah laku merupakan merupakan sumber yang kaya bagi
sejarah kolonial. Tubuh manusia dikolonisasi, sebagaimana halnya tanah dan sumber
dayanya. Sejatinya pada masa 1800-1940 penggunaan pakaian ada hubungannya dengan
pembeda gender.
Peran Barat sebelum tahun 1850 diwujudkan dalam hal impor bahan-bahan jahitan
pakaian yang berasal dari India ke Jawa serta menampilkan tubuh tertutup sebagai atribut
para penguasa. Sejak pertengahan abad ke-19 peranan Barat dalam perubahan kostum pria di
Jawa tercermin dalam pengadopsian bagian-bagian tertentu pakaian Barat. Pria-pria Jawa
yang dekat dengan bangsa Belanda mulai mengenakan pakaian ala Barat dan mereka
merupakan para budak sekaligus priyayi yang menempatkan diri sebagai “pelayan” bagi
kekuasaan Belanda. Untuk sejarah kostum perempuan di Jawa ditandai oleh tema-tema dan
tingkatan-tingkatan yang berbeda. Adopsi pakaian Barat sebagai kostum perempuan di Jawa
dimulai di kalangan kaum Indo. Para perempuan yang memiliki status Eropa yang pada
awalnya tidak sama sekali mengenakan pakaian Hindia mulai memakai pakaian tersebut pada
1890-an. Gadis-gadis di Jawa yang belajar di sekolah yang didirikan oleh bangsa Belanda
mulai mengenakan pakaian seragam terusan pada 1920-an, serta perempuan-perempuan Jawa
yang rata-rata berumur dewasa mengenakan pakaian terusan pada 1950-an.
Kostum terkait dengan waktu dan tempat dalam dua makna, yaitu masa historis dan
masa kini. Orang-orang Belanda yang pria mengenakan setelan ala Barat selama bekerja
ternyata saat mereka kembali ke rumah mereka menggantinya dengan sarung. Mereka
mengenal gaya pemakaian sarung dari usaha-usaha yang dilakukan oleh para pedagang Bugis
di Nusantara. Sama dengan perempuan Belanda yang mengenakan sarung, selain sarung
mereka rupanya juga mengenal pemakaian kebaya di rumah. Pada akhir abad ke-19 pakaian
yang Indo oleh orang Belanda ini hanya menjadi kostum pagi hari atau mengunjungi kerabat
perempuan. Sejak 1890-an ketika orang-orang Belanda memasuki ruangan yang dikendalikan
oleh orang-orang kolonial mereka menggunakan pakaian Barat. Setelan dan baju terusan di
Jawa mendapatkan status sebagai seragam bagi kelas penguasa.
Sejarah perubahan pakian dapat dianggap sebagai “tulisan ccepat” bagi sejarah sosial
kolonialisme. Pakaian tidak hanya melibatkan struktur dan gaya model berpakaian maupun
kelas hingga gender, tetapi juga melibatkan bahan-bahan yang dibuat untuk membuat pakaian
serta para pekerja yang memproduksi bahan-bahan tersebut. Arus besar mengenai pengaruh
besar Eropa akan pakaian di Jawa dapat dilihat setelah pada 1870-an terdapat kamera yang
dapat mengambil gambar, dimulai dari studio foto pertama di Batavia pada 1857
menggantikan pekerja-pekerja VOC yang sebelumnya melukiskan orang-orang dengan
pakaiannya sebagai catatan sejarah mereka. Dari keterangan sebuah foto yang menampilkan
orang Jawa yang berkeluarga dengan orang Belanda kostum dipandang sebagai salah satu
sarana untuk membedakan diri dengan para pelayan. Orang pribumi yang mengenakan
pakaian ala Barat seolah mengatakan “Saya terlihat seperti orang Jawa, namun saya menuntut
penghormatan, hak-hak, serta keistimewaan seperti orang Belanda asli.”
Pada perkembangan selanjutnya pada akhir abad ke-18 VOC dibubarkan dan dalam
hal pakaian rupanya aturan-aturan akan pakaian ini mengendor. Hal tersebut dapat dilihat dari
penggunaan pakaian oleh pria-pria di Jawa yang lama-kelamaan mulai mengikuti pakaian ala
Barat tetapi tetap dicampurkan dengan pakaian ala Jawa. Hal tersebut dapat dilihat dari
sebuah contoh akan Sunan Solo yang menggabungkan elemen-elemen pakaian di Jawa dan
Belanda: kemeja kaku dan dasai, jas bermedali dan bertanda jasa Belanda layaknya menir
Belanda, tak lupa dibalut dengan kain Batik. Walaupun itu merupakan contoh dari keluarga
bangsawan pribumi, tetapi dalam dokumn foto-foto masa kolonial terutama pada abad ke-18
para fotografer di studio foto mengatakan orang-orang Indo mencampurkan pakaian Jawa
dengan pakaian Belanda sebagai bentuk pembauran kehidupan, tetapi tetap dengan batasan-
batasan yang sudah ditentukan oleh orang-orang kolonial Belanda dan tidak menyamai
mereka ataupun para bangsawan lainnya.
Untuk kaum perempuan pada abad ke-18 identik dengan penggunaan kebaya. Kain
kebaya merupakan pakaian yang berbentuk selembar kain utuh yang dililitkan di sekeliling
pinggang dengan panjang mencapai pergelangan kaki dipadankan dengan kebaya panjang
mencapai paha berlengan panjang. Kebaya dalam perkembangannya menjadi pakaian bagi
perempuan semua kelas sosial hingga abad ke-19 baik bagi orang Indo maupun orang
Belanda. Ketika para perempuan Belanda mulai berbaur dengan kehidupan pribumi sesudah
1870-an, kebaya mulai menjadi pakaian mereka dengan kualifikasi hanya sebagai pemanis di
pagi hari.
Memang benar bahwa pakaian sebagai penanda gender di Jawa, para pria
mengenakan baju seragam ala Barat dengan kualifikasi penanda moral dan tatakrama ala
pemerintahan, sedangkan untuk perempuan mereka mengenakan kebaya yang lama-kelamaan
“dibaratkan” dengan kualifikasi sebagai pemanis kehidupan pribumi-Belanda yang
berdampingan.
C. Kenecisan Indonesia (Politik Pakaian Akhir Kolonial (1893-1942)
Pada perkembangan ini gaya berpakaian dapat digambarkan dengan pembuatan
boneka oleh nyonya-nyonya Hindia Belanda yang pengerjaannya dilakukan oleh wanita-
wanita pribumi yang pada awalnya hanya mahir membuat wayang. Pada 1893 para nyonya
Hindia Belanda menampilkan boneka-bonekanya di hadapan Ratu Belanda beserta
katalognya, menunjukkan seluruh Nusantara Hindia yang dikuasai seakan mengekspresikan
konsep geografi dan optimisme historis dalam kata lain dimaksudkan untuk menampilkan
gambaran lengkap tentang masyarakat pribumi di Hindia. Sejumlah besar kelompok etnis dan
lapisan sosial masing-masing memiliki tiruannya sendiri lengkap dengan gaya berpakaiannya.
Dalam hal ini pakaian seakan berbicara dalam suara yang lengkap dan jelas. Apakah ini
karena tubuh dan jiwa orang-orang Hindia hanya terbuat dari kayu dan tanah liat sehingga
mereka dapat me-generalisasikan gambaran keseharian mereka?
Pada peralihan abad dari abad ke-18 menuju abad ke-19 politik-politik berpakaian
mendapatkan intensitas baru secara merata pada tempat-tempat yang berhubungan dengan
perkantoran, di antara strata subsistem pribumi dan Belanda yang bermunculan. Ketegangan
berkembang di sekitar pakaian: rakyat berjuang untuk menemukan pakaian-pakaian yang
dapat mereka gunakan sebagai pernyataan tentang era modern. Dalam situasi ini ternyata
menimbulkan suatu pertanyaan yang menganggu di kalangan kelas penguasa Belanda, jika
seorang pribumi berpakaian sebagaimana yang diinginkannya apakah ia tetap menjadi
seorang pribumi? Akan masuk dalam kelompok golongan mana ia? Tak ada relung bagi
pribumi seperti ini di peta manapun. Bangsa Belanda dihantui kecemasan yang terus
bertambah, muncul rasa kesimpangsiuran tidak menyenangkan yang mengakibatkan
munculnya cara baru untuk menggambarkan koloni pribumi ini yang dapat dilihat dari foto-
foto lama tentang stasiun kereta api, jembatan, halaman pabrik, serta perkantoran. Dari
adanya fenomena ini muncul sebuah tulisan “Kromoblanda (Pribumi-Belanda) sebagai cetak
biru bagi pribumi dan Belanda yang hidup bersama secara sehat” (Tillema,1915-1923).
Orang Belanda dan orang pribumi sudah mulai “menyeragamkan” tata berpakaian yang
diimbangi dengan adopsi penguasaan teknologi modern, walaupun tidak semua pribumi
mampu menderajatkan diri dengan orang-orang Belanda. Tetapi disamping itu orang-orang
“kulit putih” di koloni modern semakin keras mencoba untuk mendandani diri dengan cepat
berusaha untuk tetap terpisah dengan kaum pribumi. Di lain pihak, kaum pribumi
nampaknya semakin kagum dengan pose-pose orang kulit putih.
Kenecisan pribumi pertama kali dipikirkan oleh bangsa Belanda sendiri akibat
timbulnya kecemasan akan pribumi yang terus “meminjam” gaya pakaian Belanda untuk
menempatkan diri sebagai masyarakat kolonial modern. Dalam gambarannya, pribumi ini
bukanlah seorang “pribumi asli” melainkan meminjam istilah Madame Catenius, identik
dengan tiruan bahwa pribumi ini bukanlah suatu ukuran asli melainkan ikut-ikutan. Tetapi
dalam pandangan kaum pribumi ini merupakan suatu gerakan Nasionalisme di mana
masyarakat berusaha untuk mengikuti tren kaum penjajah, terutama dalam hal berpakaian.
Haal ini dilihat dari para banyaknya pribumi yang melihat manekin toko-toko pakaian gaya
Barat kemudian tidak lama mereka dapat berbalut kain dan setelan yang sama dengan
manekin-manekin yang ada pada toko itu, entah mereka membeli atau membuatnya sendiri
karena pada masa itu mesin jahit sangatlah populer. Gaya berpakaian orang-orang kulit putih
dengan cepatnya melekat pada orang-orang yang sebelumnya hanya berpakaian sederhana
(bertelanjang dada bagi laki-laki dan berkain tubuh bagi perempuan). Dari golongan rakyat
bawah, menengah, bangsawan lokal, pelajar, pekerja, hingga aktivis semuanya menunjukkan
kesetaraannya dengan penjajah melalui pakaian. Pada perkembangan ini bangsa Belanda
tidak melihat pakaian lagi sebagai asal-usul orang pribumi tetapi melihat dari gaya tingkah
mereka karena pembeda melalui pakaian sudah tidak dapat diandalkan lagi. Kaum pribumi
semakin “necis” dan mulai menunjukkan Nasionalismenya hingga masa Belanda akhirnya
habis di tangan penjajah baru bernama orang-orang Jepang.
D. Pakaian Musim Panas dan Makanan Kaleng Perempuan Eropa 1900-1942
Pakaian dapat dilihat sebagai ungkapan pembedaan strata sosial seperi usia,
kelompok, gender, demikian sebagai ungkapan indikator norma-norma dan nilai-nilai. Mode
dan pakaian berfungsi sebagai penanda sosial yang menciptakan, bagi kedua kelompok dan
individu-individu, sebuah identitas yang diinginkan. Seperti yang diketahui mode dan
pakaian merupakan sebuah identitas bagi golongan masyarakat tersebut, apakah mereka
golongan kaum bangsawan atau golongan pribumi. Bagi perempuan Eropa sendiri pakaian
merupakan gaya hidup tersendiri, mereka menganggap pakaian tidak hanya mencerminkan
identitas tapi mencerminkan kasta dan keberadaan mereka.
Dari tahun 1900 hingga sekarang pakaian dan mode terus-menerus berubah drastis
dalam hal fungsi, tidak lain lagi tidak hanya digunakan untuk melindungi atau menutupi aurat
tetapi digunakan sebagai ajang percantik diri bahkan pakaian sendiri sudah mempunyai
teknologi yang bisa dibilang berteknologi tinggi dalam membuat pakaian tersebut.
Berpakaian lebih dari sekadar kegiatan menutupi tubuh demi kehangatan, kesopanan, maupun
kenyamanan. Kebiasaan berpakaian kita lebih cenderung menciptakan ‘wajah’ yang secara
positif membangun suatu identitas daripada menyamarkan tubuh ‘alami’ atau identitas
sebenarnya” (Craik 1994: 4-5).
Memasak dan makanan adalah penanda identitas yang tidak terlalu jelas. Akan tetapi,
seperti halnya pakaian, memasak dan masakan memungkinkan adanya aturan-aturan yang di
definisikan secara sosial. Dan sebagaimana, pakaian pula, kedua nya secara langsung
mempengaruhi tubuh individu tersebut. Oleh karena itu suatu analisis tentang
kebiasaankebiasaan berpakaian dan pilihan makanan para perempuan eropa di hindia pada
1900-1942, terutama pada periode antara kedua perang dunia dapat memberikan pengetahuan
baru tentang identitas perempuan di dalam masyarakat kolonial Belanda.
Awal abad ke-20 merupakan masa pertumbuhan populasi Eropa di Hindia. Ini adalah
suatu masa ketika komunitas kolonial menutup pintu mereka terhadap orang luar. Orang luar
sendiri ialah kelompok-kelompok non-Eropa, yaitu yang mereka sebut oriental asing. Pola-
pola demografis, terutama yang berkaitan dengan perempuan, menggambarkan proses
penyertaan dan penyisihan. Pertumbuhan populasi perempuan eropa dimulai pada akhir abad
kesembilan belas. Hal ini sebagaian karena peningkatan jumlah perempuan menikah
kelahiran Belanda yang bermigrasi ke Hindia, yaitu yang disebut kelompok totok baik kulit
putih maupun Indo. Kemajuan dalam segala bidang mendukung ekspansi komunitas Eropa,
sementara pertumbuhan ekonomi membawa akibat lebih banyak pernikahan pada usia muda
diantara orang-orang Eropa. Perempuan totok merupakan minoritas pada semua kelompok
umur, meskipun yang berusia 30-39 tahun hampir sama jumlahnya dengan perempuan Eropa
yang lahir di Hindia. Karena perbedaan umur pernikahan antara pria dan perempuan di
Hindia, terdapat beberapa perempuan totok di atas usia 60 tahun di Nusantara. Meskipun
mereka berada dalam kelompok minoritas, para perempuan totok yang datang dari Eropa dan
merupakan elite mapan secara berangsur-angsur menjadi panutan-panutan utama.
Kebudayaan Kcolonial pada dasarnya adalaha urban, karena orang-orang Eropa tinggal di
perkotaan maka jumlah perempuan lebih banyak daripada pria dan para perempuan totok
lebih banyak daripada perempuan kulit putih kelahiran Hindia. Lebih dari separuh dari
keseluruhan perempuan Eropa dan dua pertiga perempuan totok menetap di salah satu kota di
Jawa. Oleh karena itu, pengalaman dan kebutuhan perempuan-perempuan Eropa di Hindia
sangat beragam. Sementara mayoritas besar masyrakat ini hidup dengan nyaman di
lingkungan urban dengan air keran dan lisrik, yang lainnya hidup sebagai pelopor-pelopor
terpencil dalam keadaan-keadaan yang masih primitif.
Pada 1896 dan 1923, pakaian yang di pakai dari kedua tahun tersebut bertahap
berubah dan bergantian dari yang banyak mode pakaian menjadi lebih sedikit pakaian yang
mereka kenakan. Paling hebatnya sarung dan kebaya telah sepenuhnya menghilang, bahkan
sebelum 1920 kostum khas Indonesia ini telah kehilangan pamor di kalangan orang-orang
Eropa. Sarung dan kebaya menjadi bagian dari masa lalu, paling paling dikenakan oleh
segelintir perempuan Eropa di daerah-daerah pinggiran dan di dalam rumah. Sekitar tahun
1900 posisi pakaian ini bukanlah tanpa tantangan, karena mereka harus bersaing dengan
pakaian seperti gaun.
Pada akhir abad ke-19 para perempuan Belanda berbelanja dan membeli pakaian
mereka di Belanda, di tok-toko yang mengkhususkan diri pada pakaian tropis seperti
Gerzon’s dan De Bijenkorf. Bahkan sarung dan kebaya dapat dibeli di Belanda, meskipun
lebih disarankan untuk membelinya di Hindia. Bagaimanapun, pakaian kebanyakan
perempuan Eropa kolonial dibuat dibuat di rumah. Para perempuan menjahit sendiri pakaian
mereka atau dibuatkan oleh penjahit Indonesia, yang disebut jahit, pejahit. Menjahit atau
setidaknya memotong pola merupakan kecapakan yang diperlukan oleh perempuan-
perempuan Eropa yang akan pergi ke Hindia, meski hanya untuk mengawasi kerja orang lain.
Menjahit juga merupakan bagian dari kurikulum sekolah kolonial untuk perempuan dan
gadis. Beberapa perempuan menjadikannya hobi dan pengisi waktu. Bahan-bahan seperti di
toko Bombay yang dikelola oleh orang India atau di toko-toko Jepang. Perempuan-
perempuan Eropa dengan demikian bergantung kepada penjahit untuk kebutuhan pakaian
mereka. Pola dan rancangan pakaian semua bergaya Eropa. Pengaruh-pengaruh oriental dari
China dan Timur Tengah telah menjadi bagian dari mode Eropa sejak abad ke-17. Sentuhan
oriental adalah kimono jepang. Kimono telah mendapatkan ketenaran di Eropa setelah
pembukaan Jepang terhadap Barat pada akhir abad ke-19, dan telah dengan cepat berintegrasi
ke dalam produksi pakaian baik di Eropa maupun di Hindia. Kimono memang benar-benar
merupakan pengecualian. Kesenangan kolonial terhadap kain dan pola Eropa merupakan
bagian dari sikap modernisasi. Perempuan-perempuan modern Eropa menganggap sudah
menjadi tugas mereka untuk memperkenalkan modernitas kepada penduduk asli dan
pemakaian pakaian Jawa tidaklah sejalan lagi dengan pemikiran mereka.
Berbicara soal makanan pilihan makanan orang-orang Eropa adalah hidangan nasi
dengan berbagai hidangan tambahan. Pada 1919 hidangan nasi masih dianggap santapan
utama pada pagi hari bagi orang-orang Eropa kaya. Orang-orang Eropa yang lebih miskin
demikian pula dengan penduduk pribumi makan nasi tiga kali sehari. Namun demikian,
bahkan pada 1900-an, hidangan Eropa dinilai lebih tinggi daripada hidangan Hindia. Dalam
pesta-pesta makan malam disajikan hidangan-hidangan Eropa. Pada periode antara kedua
perang dunia, hidangan nasi dipindahkan ke hari Minggu. Selama hari-hari selain Minggu,
hidangan Eropa seperti ayam dan saus apel, kobis merah dan asinan kobis, mengisi menu
totok.
Pada wilayah mode dan pakaian, perhatian tetap fokus ke Eropa sampai tahun 1942.
Setelah pendudukan Jerman di Perancis dan Belanda pada Mei 1940, jurnal-jurnal Hindia
dapat mengikuti trend-trend mode dengan berpaling ke London dan Amerika Serikat, yang
menjadi pusat-pusat utama mode bagi wilayah-wilayah yang tidak diduduki. Masa ini
merupakan masa kejayaan bagi rumah-rumah mode di Hindia, yang tumbuh bagaikan
cendawan di musim hujan.
Bagaimanapun proses pembaratan inilah dan nasionalisme Indonesia sebagai
reaksinya yang membawa kolonialisme menuju keruntuhan yang tiba-tiba. Nasionalisme
Indonesia, diperkuat oleh kemenangan Jepang dan propaganda politik Jepang, menantang
totokisasi Barat dan memunculkan kejayaan setelah tahun 1945. Perempuan-perempuan
Eropa tidak menyadari sifat fantasmagoris posisi mereka di Hindia. Dengan memperkuat
kolonialisme Belanda, perempuan-perempuan ini, seperti suami-suami mereka, merupakan
instrument dalam menghancurkan kejayaan.
E. Pusaran Air dan Listrik Modernitas di Hindia
Modernitas adalah pengalaman tentang paradoks, kita membiarkan kekuatan-kekuatan
yang berlawanan muncul, dimana gerakan yang sama ini mengilhami dan menyiksa,
mendisintegrasi dan memperbaru kita: “keinginan kita untuk berakar dari masa lalu pribadi
dan sosial yang stabil dan koheren, dan keinginan kita yang tak pernah habis akan
pertumbuhan” (Berman 1983:35).
Pengalaman terjebak dalam pusaran air ini dapat dijelajahi dalam beragam cara.
Bagaimanapun, agar meyakinkan dan relevan maka penjelajahan-penjelajahan seperti ini
pada akhirnya perlu secara solid berlabuh pada cerita-cerita tentang perubahan-perubahan
kondisi produksi, perubahan sirkulasi masyarakat dan barang-barang, perubahan pola
konsumsi, pengalaman modernitas sebagai penyebab dari perubahan-perubahan sekaligus
efek-efek mereka.
Pengiklanan sering dianggap sebagai perwujudan khas dari modernitas. Iklan muncul
di berbagai koran dan jurnal di hindia belanda pada akhir abad kesembilan belas, dari kali
pertama pers cetak memulai gerakan kemenangan mereka. Pada mulanya iklan muncul dalam
bentuk pengumuman dan pernyataan sederhana yang kadang-kadang dihiasi dengan sedikit
sketsa. Mengikuti perkembangannya iklan di tanah asal mereka mengambil beragam bentuk
dan sampai sekarang iklan pun terus berubah-berubah dalam hal bentuk desain dan yang
menunjang iklan tersebut berubah drastis mengikuti perkembangan modernitas. Dalam buku
ini juga megiklankan kegagalan menggunakan dan mempromosikan penggunaan lampu
minyak merebak dimana-mana yang tampak kuno dan tidak menjadi bagian dari klasifikasi
baru yang tengah dibangun ini. Pandji Poestaka merupakan publikasi Balai Poestaka, badan
penertiban yang disponsori oleh pemerintah yang didirikan pada tahun 1910-an untuk
menyediakan materi bacaan yang baik dan pantas bagi pribumi. Terlepas dari upaya untuk
menjelaskan kegagalan pandji poestaka dengan menggunakan pertimbangan-pertimbangan
kebudayaan. Pandji Poestaka sebelumnya bukan merupakan institusi berorientasi pada
keuntungan (jedamski, 1992). Anggaran Balai Pustaka telah dipotong dan badan penertiban
ini harus berpikir lebih komersial daripada sebelumnya. Perusahaan dipaksa beriklan lebih
banyak lagi agar mendapatkan pendapatan tambahan, dalam jiwa Philips, Ovomaltine,
Colgate dari slipstream produsen. Cahaya, listrik, Philips, perabotan, rokok, dan bahkan
senyum perempuan itu tentang keluarga yang bahagia membawa kita pada keselarasan,
kedamaian, dan keteraturan. Cahaya sebagai sumber pencerahan dan kesenangan barangkali
merupakan hal yang lumrah yang paling utama, metafora tentang cahaya berarti wawasan dan
pemahaman dapat ditemukan di seluruh dunia, di dalam berbagai budaya. Di balik cahaya itu
tersembunyi sesuatu yang lain, listrik, energi era modern dan di sanalah semua kisah dapat
bersatu. Listrik, dapat menuntun pada kebahagiaan sekaligus pada persaingan dan perjuangan
demi kelangsungan hidup kekuatan-kekuatan bertentangan yang menciptakan kemenduaan
dalam kehidupan ras manusia, dalam kehidupan sebuah keluarga jawa, di dalam kehidupan
Hindia kolonial yang lalu. Dari sudut pandang itu gambar Philip di dalam Pandji Poestaka
sebagai lambang modernitas Hindia, yang mengatakan tentang mimpi dan kenyataan, tentang
retorika dan rujukan. Listrik berlalu dengan cepat sementara semu membuat munculnya
derita dan semangat. Stroom merupakan kekuatan yang membuat kehidupan Hindia menjadi
“pusaran disintegrasi dan pembaruan abadi” yang seakan tak pernah diam. Sama dengan
listrik, air merupakan bentuk modernitas kehidupan di Hindia. Air juga tak dapat dilepaskan
kaitannya dengan listrik, air menjadi sumber kehidupan banyak orang.
F. Penampilan Revolusi (Pakaian, Seragam, dan Gaya Pemuda Jatim 1945-1949)

Saat menyebut kata “pakaian” yang dikenakan para pemuda pada masa revolusi
tahun 1945-1949, maka otak kita akan secara otomatis membuat sebuah ilustrasi seperti pada
film-film yng menceritakan masa awal kemerdekaan, terutama film rock nasionalis Islam
milik Rhoma Irama pada tahun 1976, Perjuangan dan Doa.

Banyak dijumpai pembahasan yang serius mengenai revolusi ini di dalam literatur
akademis Indonesia. Tersebutlah R.W. Smail (1964) sebagai tokoh pertama internasional
yang yang menyampaikan tentang gaya dan penampilan pemuda Revolusi, yang kemudian
setlah itu secara permanen ditulis oleh Benedict Anderson (1970-1971,1972). Karya-karya
yang lahir belakangan kebanyakan menawarkan gambaran yang tidak jauh dari versi ini
(Lucas, 1981, 1986, 1991; D. Anderson , 1976).

Smail, memperkenalkan ide tentang tentang sebuah gaya pemuda dan


menempatkannya pada posisi utama dalam pandangannya tentang masa awal Revolusi,
hanya satu kali mendeskripsikan penampilan pemuda, dan kemudian secara tidak langsung
melaporkan hasil wawancara dengan seorang camat tentang pengalaman-pengalamnnya
selama revolusi. Ia menggambarkan pakaian camat tersebut dengan penuh kesedrhanaan,
tidak pernah mengenakan seragam pamong praja, membiarkan rambutnya tumbuh panjang
menurut gaya pemuda revolusi, dan selalu membawa sepucuk pistol. Ia juga menyebutkan
bahwa hanay dengan memakia gaya ini, Camat tersebut mampu memprtahankan keteraturan
di antara rakyat dan di antara beragam badan perjuangan. Sementara Anderson mencoba
memberikan ilustrasi tentang pemuda dengan lebih terperinci, namun dengan deskripsi yang
hanya sedikit. Ia menulis tentang “gaya khas dan legenda” Bung Tomo, ia menyebutkan
bahwa Bung Tomo memiliki rambut panjang, bersumpah tentang pantangan seksual;
penampilan ini berhubungan dekat dengan kebudayaan jago tradisional.

Tidak ada penulisan ilmiah tentang revolusi yang menggali lebih jauh tentang
kebudayaan Revolusi, kecuali sedikit seperti penelitian Reid. Ada beberapa alasan yang
menyebabkan tidak adanya kepuassan mengenai gambaran pakaian pemuda pada masa
revolusi. Pertama, catatan fotografis tentang Revoluis Indonesia sangat terbatas. Di dalam
catatan resmi fotografi terbitan Indonesia, pemuda dan gaya-gaya yang dinyatakan dalam
tulisan-tulisan akademis barat dapat dikatakan sangat langka. Kedua, ketidakjelasan ini
mungkin berkaitan erat dengan apa yang oleh Reid (1978:188) disebut dengan konsep
pemuda itu sendiri yang masih “tidak berbentuk”. Ketiga, pelajar-pelajar masa Revolusi
cenderung mengbaikan penampilan fisik - yaitu, pakaian, bahasa tubuh, ekspresi-ekspresi
wajah - bukan hanya karena hal-hal ini masih merupakan suatu topik minat serius yang tidak
konvensional melainkan, lebih penting lagi, karena “pendekatan telefoto” terhadap Revolusi
– yang memusatkan perhatian pada sejarah lokal namun, tetap menganggapnya sebagai
sejarah-sejarah nasional – terus mendominasi bidang ini.

Selama periode revolusioner tidak ada komoditas pokok yang lebih sedikit
persediannya selain kain. Krisis ini berawal pada tahun 1930-an, ketika pemerintah kolonial
berupaya melindungi pabrik-pabrik Belanda yang membatasi sangat ketat impor serat-serat
dan tekstil Jepang yang tidak mahal, terutama sarung katun dan rayon (Sutter, 959, I:41-44;
Wirodihardjo, 1951). Tindakan ini memiliki motif untuk melambungkan hargatekstil serta
meminimalisasi persediaan. (Statistich Zakbeje, 1936:62-5; 1939:72-76) Sementara efek
samping dari kebijakan tersebut adalah peningkatan perusahaan-perusahaan penenunan dan
pemintalan di Hindia yang luar biasa. Minimnya akses untuk mendapatkan tekstil tersebut
semakin diperparah dengan meletusnya perang pasifik. Pada akhir 1943 para pedagang tekstil
menghilang dari paar Jawa Tengah. Pada awal tahun berikutnya pasokan pakaian demikian
rendah di Malang sehingga kehadiran siswa di sekolah-sekolah menurunkarena naka-anakan
merasa malu tampil di depan umum dengan pakaian yang kurang layak. Bahkan, selama
delapan belas bulan terakhir masa perang karung-karung goni pun terlalu langka untuk dapat
dikenakan sebagai penutup tubuh. Petani di Jawa Timur dilaporkan bekerja telanjang di
lahan-lahan mereka.
Peristiwa Sepuluh November di Surabaya walaupun sudah berakhir pada bulan-bulan
akhir tahun 1945, namun “aksi-aksi polisi” masih terus berlanjut dan sejumlah operasi militer
yang lebih kecil menciptakan situsi yang luar biasa dimana identitas pribadi dan kelompok
ditantang, diciptakan, dan dicipta ulang dalam skala luas. Dalam keadaan tersebut posisi kain
dan pakaian menjadi penting. Kedua hal ini menawarkan suatu kunci identitas yang bersifat
langsung dan segera pada suatu masa ketika sering kali vital untuk mengumumkan,
menyembunyikan, atau menentukan diri seseorang, dan secara harfiah maupun kiasan, asal
seseorang.

Contoh penting dalam pemakaian pakaian sebagai identitas adalah saat bulan-bulan
awal revolusi , warna-warna nasional: merah dan putih sebagai simbol Republik; dan merah,
putih, dan biru sebagai simbol Belanda. Pemakaian warna-warna ini merupakan suatu
persoalan dengan konsekuensi besardalam membedakan kawan dari lawan. Sebelum
membahas mengenai gaya pemuda alangkah lebih baik kita memahami pengertian dan
kronologis munculnya istilah pemuda. Dalam organisasi-organisasi pergerakan, “pemuda”
dianggap sebagai orang-orang berusia tidak lebih dari 21 atau 22 tahun, mengenyam
pendidikan di sekolah-sekolah modern, berasal dari lingkungan sosial perkotaan dan sebagian
besar urban, serta setidaknya tengah mulai memiliki kesadaran politik. Pada masa
pendudukan Jepang makna “pemuda” diperluas, baik dari segi batasan umur (sampai 29 atau
30 tahun) maupun mempertimbangkan dengan orang-orang dengan pedidikan yang terkadang
lebih dari sekulah dasar dan latar belakang sosial pedesaan atau orang kecil.

Dalam sebuah foto yang diambil pada pertengahan tahun 1949 terlihat seorang
pemuda yang tampil di foto dengan kaki telanjang, kemeja khaki dengan lengan tergulung,
celana panjang berwarna sama yang juga digulung, dan peci kusut di kepalanya. Gambar ini
mengingatkan bahw penampilan dapat menipu, dan peringatan unu tampaknya tepat terutama
jika menyangkut gaya pemuda revolusioner yang sedang dibicarakan. Pemuda mengenakan
jumlah gaya seragam, sebagian karena seragam merupakan komditas langka, alasan lain
adalah karena selera perorangan dan perbedaan perndapat pribadi. Kelompok-kelompok
pemuda yang dekat dengan, dan dipasok langsung oleh TNI, misalnya umumnya memilih
satu dari tiga atau empat penampilan yang cukup khas. Penampilan paling populer adalah
semacam kombinasi antara seragam pengintai dan tentara dengan selempang kulit di dada,
dipadukan dengan celana pendek atau panjang, kadang disertai topi gaya penjaga hutan.
Sejak dari awal mula revolusi pemuda mengenakan penampilan luar untuk melakukan
menciptakan mitos tentang diri mereka dan peran mereka dalam perjuangan mencapai
kemerdekaan. Dengan mempertimbangkan kompleksitas maupun kesadaran diri dari gaya
pemuda ini dapat memberi pemahaman tentang fenomena historis pemuda selama masa
revolusi. Pengakuan akan nuansa penampilan ini merupakan fungsi penting yang hingga kini
belum dimanfaatkan bagi historiografi kelahiran Indonesia sebagai sebuah bangsa modern.

G. Dari Celana Monyet ke Setelan Safari (Catatan Seorang Saksi Mata)

Diceritakan bahwa seorang anak peranakan Cina-Betawi yang kedua orang tuanya
berpendidikan sekolah metodis inggris. Ayahnya bersekolah di Singapura sedangkan ibunya
di Bogor. Sedangkan anak tersebut memperoleh pendidikan dari sekolah dasar Protestan
Belanda.

Sebagai seorang anak kecil dirumah, Ia mengenakan pakaian terusan gaya Eropa.
Ketika bepergian atau bersekolah, ia mengenakan pakaian anak-anak gaya Belanda yang
dipadankan dengan celana pendek di pagi hari dan celana panjang dimalam hari. Saat
remaja, ia diberi dua potong setelan gaya barat dengan sabuk kulit dan mulai mengenakan
celana dalam.

Para pria betawi yang bekerja sebagai centeng suka mengenakan pakaian gaya jagoan,
yang berpotongan sama dengan yamakuli, namun terbuat dari kain warna hitam. Selama
tahun 1930-an banyak orang dewasa di perkotaan mengenakan pakaian Barat. Sedangkan
para pegawai kantor di perkotaan mengenakan jas Eropa warna putih melapisi kemeja lengan
panjang, memakai dasi, serta celana panjang terbuat dari katun putih. Orang-orang Jawa tua
dan berdarah ningrat masih mempertahankan pakaian tradisional Jawa.

Selama pendudukan militer Jepang, setelan-setelan Barat masih dikenakan oleh


masyarakat urban, namun memakai dasi tidak lagi populer. Setelah tahun 1945, bentuk
pakian Indonesia tidak berubah secara mencolok. Selama masa revolusi pakaian barat
tersedia dalam skala terbatas hanya di kota-kota besar yang dikuasai Belanda.

Secara umum masyarakat zaman sekarang baik yang tinggal didaerah pedesaan
maupun kota, mengenakan pakaian Barat. Pakaian tradisional hanya dikenakan pada
kesempatan-kesempatan khsusus seperti ritual-ritual lingkar kehidupan dan upacara-upacara
keagamaan.
H. Penciptaan Pahlawan Nasional (Demokrasi Terpimpin-Orde Baru 1970-1980-an)

Sejak penetapan Demokrasi Terpimpin oleh Soekarno pada tahun 1959 sebuah
panteon nasional yang terdiri dari 93 pria dan sembilan perempuan telah di bangun untuk
menghormati sejumlah dramatis pahlawan dalam sejarah Indonesia dari masa Sultan Agung
pada abad ke-17 hingga masa lalu yang terbaru.

1. Kriteria
Prosedur formal bagi pemilihan dan pengumuman para pahlawan digaris bawahi
dalam serangkaian dekrit, dan ordonasi presidensial yang dikeluarkan oleh mendiang
Presiden Soekarno. Tiga dari hal-hal yang mendapatkan perhatian khusus dari hal
tersebut adalah perturan-peraturan yang memuat tentang Hari pahlawan, definisi
tentang siapa yang dianggap sebagai pahlawan, dan pemberian kewajiban-kewajiban
apa yang menyertai penghormatan ini.
Menurut Keputusan Presiden No.24 tahun 1958, deskripsi seorang pahalawan adalah
hampir semua aktivitas apa pun yang secara retrospektif dianggap berjasa dapat
memenuhi persyaratan untuk mendapatkan gelar kepahlawanan yang diakui secara
resmi. Pada tahun 1964 Keputusan tersebut direvisi ulang dan dekrit baru tersebut
sangat berbeda dengan dekrit sebelumnya. Namun tidak jelas kriteria apa yang
termasuk dalam ketegori tindakan kepahlawanan ataupun dalam periode apa tindakan-
tindakan ini seharusnya dilakukan. Suatu kecenderungan tentang kekurangjelasan dan
penerapan yang lebih umum juga ditemukan dalam istilah “Pahalawan” yang
digantikan dengan istilah “Pahalawan Kemerdekaan Nasional”. Sementara pokok-
pokok pentingnya tetap samar, keadaan-keadaan ini peneyebab calon pahalawan-
pahlawan ini meninggal dideskripsikan secara lebih terperinci.
2. Prosedur-prosedur birokratis
Prosedur yang meghasilkan pengumuman pahlawan-pahlawan secara resmi adalah
suatu proses vertikal. Idealnya, proses ini dimulai pada tingkat administratif regional
bupati dan walikota. Di tingkat lebih tinggi berikutnya adalah pemerintah provinsi
yang diwakili oleh gubernur. Pada tingkat nasional terdapat dua depertemen yang
berwenang atas urusan kepahlawanan: Menteri Sosoal dan Menteri Pertahanan. Tahap
awal dari prosedur tersebut adalah memeriksa kondisi-kondisi formal yang berkaitan
dengan pahlawan-pahlawan yang diajukan. Wewenang untuk meneliti isi dan
substansi proposal tersebut ada di tangan Badan Pembina Pahalawan Daerah (BPPD).
Kemudian BPPD memberikan perhatian khusus terhadap sejarah dari orang yang
diajukan, terutama menyangkung aksi-aksi militer maupun sipil. Setelah itu BPPD
kemudian meneruskan berkas tersebut kepada Badan Pembinaan Pahlawan Pusat
(BPPP) baru kemudian menunggu persetujuan dari presiden yang terlebih dahulu
melakukan perundingan dalam Dewan Tanda Kehormatan, dan hasil akhir dari
pertimbangan-pertimbangan tersebut menghasilkan Keputusan Presiden.

Pahlawan Kemedekaan Nasional dan Pahlawan Nasional, kedua gelar tersebut


merupakan penyebutan gelar yang di anugerahkan kepada para pahlawan-pahlawan
Indonesia. Gelar pertama merupakan gelar yang umum digunakan selama masa Demokrasi
Terpimpin, sementara yang kedua diinstitusionalisasi oleh Orde Baru.

Pahlawan kemerdekaan Nasional, gelar yang paling sering digunakan selama masa
Soekarno, dianugerahkan sebanyak 33 kali. Sejak awal dokumen-dokumen resmi
menunjukkan suatu perkataan yang seragam yang tidak mengindikasikan jasa-jasa individual
orang tersebut ataupun alasan-alasan spesifik mengapa gelar tersebut dianugerahkan.
Mengikuti periodisasi historiografi Indonesia, berdasarkan pendirian Budi Utomo pada tahun
1908 yang menandai titik mula Kebangkitan Nasional, hampir semua pahlawan yang disebut
selama era Soekarno bagaimanapun juga berasal dari masa gerakan nasional Indonesia.

Kesepuluh pahlawan revolusi diangkat sebagai Pahlawan Nasional tak lama setelah
kematian mereka membentuk kategori tersendiri dan menandai titik balik dari Demokrasi
Terpimpin ke Orde Baru. Enam jendral, dua ajudan mereka, dan dua perwira yang berasal
dari daerah komando Yogyakarta diangkat sebagai pahlawan Revolusi pada hari pemakaman
mereka di bulan Oktober 1965. Namun upaya tersebut gagal dan hal tersebut dimanfaatkan
untuk melucuti kekuasaan sang proklamator. Pada tahun 1967 Soeharto mulai mengubah
”Pahlawan-Pahlawan Revolusi” menjadi martir-martir Orde Baru dan ideologi nasional
Pancasila dengan mendirikan “Monumen Sakti” di Lubang Buaya. Kesepuluh pahlawan
tersebut juga menjadi simbol periode peralihan dari tahun 1966 hingga 1969, yang dicirikan
oleh ketidakpastian yang berkaitan dengan ketegori pahlawan dan berkurangnya jumlah
nominasi. Orang terakhir yang disebut di dalam rekomendasi Soekarno mugkin adalah
Sjahrir, yang meninggal di perasingan di Swiss pada bulan April 1966. Orang pertama yang
didominasikan oleh rezim Soeharto adalah Admiral Martadinata, yang mendukung Soeharto
sesaat setelah Kudeta Untung. Sejak akhir tahun 1960-an pemilihan pahlawan-pahlawan dari
berbagai pulau di luar Jawa dan dari masa-masa sejarah yang berbeda telah mengikuti pola
yang baru. Lebih jauh hampir semua pahlawan sejak saat itu disebut sebagai pahlawan
nasional.

Gelar pahlawan proklamator menegaskan suatu kategori eksklusif yang ditetapkan


oleh rezim Soeharto yang merujuk hanya kepada dua orang: Soekarno dan Mohammad Hatta.
Sekilas mungkin tampak masuk akal bahwa kedua tokoh ini, yang ditakzimkan sebagai
dwitunggal ini memperoleh gelar yang sama karena mereka bersama-sama
memproklamasikan kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945.

Agar dapat mempopulerkan panteon nasional, pada tahun 1975 dibentuk Proyek
Biografi Pahlawan Indonesia dibawah lindungan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan.
Tujuannya adalah untuk mengumpulkan dan menerbitkan materi-materi biografis para
pahlawan nasional dan tokoh lain yang dianggap sebagai sosok-sosok penting di dalam
sejarah Indonesia.

Ada beberapa hal yang dihasilkan dari penciptaan pahlawan-pahlawan, seperti


ritualisasi, hari pahlawan dan keterlibatan negara → Di bawah Demokrasi Terpimpin hari
pahlawan dicirikan oleh rapat-rapat massal yang yang sering berfungsi sebagai hadirin pada
salah satu pidato-pidato Soekarno yang terkenal, sementara pada masa Orde Baru merupakan
hal yang sangat rumit dan diformalitaskan. Kemudian ada Slogan-slogan dan Ritual-ritual →
setiap tahun pada perayaan 10 November, sebuah motto baru diciptakan, menyerukan keada
rakyat untuk berikrar demi tujuan-tujuan negara. Dengan menganalisis beragan aktivitas
ritual pada masa Soekarno dan Soeharto secara lebih dekat,kita mencatat bukan saja
peningkatan keberagaman, melainkan juga adaptasi pada perubahan di dalam masyarakat
Indonesia yang diakibatkan oleh moderenisasi yang cepat dan dipaksakan. Pada zan\man
sekarang hadiah-hadiah materi lebih umum dipakai untuk menarik partisipasi rakyat, yang
mengakibatkan persaingan-persaingan terkomersialisasi dan membuat rakyat gembira.
Semangat ritual-ritual Demokrasi Terpimpin telah digantikan dengan hadiah-hadiah materi
dalam strategi pembangunan Orde Baru.

Aktifitas ritual Hari Pahlawan adalah apel kehormatan, biasanya berhubungan dengan
renungan suci; apel/upacara bendera, mengheningkan cipta, ziarah ke taman makam
pahlawan, pemakaman kembali atau pemindahan kerangka pahlawan. Aktivitas-aktivitas
yang sangat formal ini dapat dilihat sebagai elemen-elemen pemujaan negara.
I. Gadis-Gadis dan Buaya-Buaya

Fiksi I : Citra-citra monumen Pancasila Sakti

Pada pembahasan tersebut membahas tentang sosok beberapa wanita yang ikut serta
dalam pembantaian di sebuah sumur kecil yang dinamai “Lubang Buaya”. Tak hanya
perempuan itu saja namun juga beserta rekan-rekannya, ada beberapa dari mereka para lelaki
yang bertelanjang dada dan celana terlipat setengah kaki salahsatu dari mereka, dengan
tangan yang dilengkapi senjata api. Para perempuan membentuk adegan-adegan lateral. Di
latar depan Soekarno membawa berkas bertuliskan NASAKOM. Ia dikeilingi oleh pria-pria.
Ekpresi wajah mereka serius. Mereka mewakili kebaikan. Ekspresi-ekspresi para pria yang
terletak diantara mereka dengan kelompok-kelompok yang digambarkan (gambar perempuan
dengan telunjuk yang terangkat) lebih tampak mengancam dibandingkan sedih. Mereka
seakan menandakan kejahatan.

Fiksi II : Catatan-Catatan Teror Dan Pelupaan

Pada pembahasan tersebut membahas tentang catatan-catatan pembunuhan dan


perlakuan sadis terhadap mayat para jendral yang terbunuh tersebut, mulai dari di mutilasi,
disayat-sayat dengan silet oleh para wanita-wanita hingga memotong alat kelamin dari mayat
para jendral tersebut. Pada bagian tersebut juga membahas mengenai para wartawan luar
negeri yang ikut menyelidiki kejadian-kejadian yang telah dilakukan oleh para eksekutor
jendral-jendral tersebut. Tak sedikit catatan-catatan yang berbau fiksi. Karena sumber yang
terbatas adanya.

Para juru bicara pemerintah Indonesia membedakan dua periode sejarah negara
Indonesia sejak tahun 1945, yaitu yang disebut dengan “Orde Lama” dan “Orde Baru”.
Pembedaan ini dibuat berdasarkan kronologi dan nilai-nilai yang mugkin berkaitan dengan
ide-ide lama dan baru. Untuk Orde Lama sendiri dianggap yang mewakili adalah Soekarno,
sedangkan untuk Orde baru diwakili oleh Soeharto.

Jacques Leclerc mengutip catatan-catatan dari karya J. P. Vernant tentang mitos-mitos


kedaulatan. Ia menganggap fiksi naratif dan figuratif tentang G30S benar-benar merupakan
mitos asli Orde Baru. Ia menanyakan pertanyaan berikut, yang mungkin tidak dapat di jawab;
Apakah elemen-elemen terdahulu tentang mitologi Indo-Eropa mempengaruhi kerangka
acuan Indonesia? Jika memang demikian, bagaimana efek terjadi? Jika tidak, apakah ia
merupakan perwujudan dari ketidakakuran femininitas dan kekuasaan yang bersifat
universal?

J. Pakaian Seragam dan Pagar Beton (Mendandani Desa di Orde Baru 1970-1980-an)

Pada masa orde baru, wilayah pedesaan mengalami sebuah peralihan secara sosial dan
budaya. Dimana yang tadinya kehidupan didesa bebas atau bahkan terisolasi dari
kompleksitas kota. Di masa ini, semua itu berubah dengan Suharto sebagai ‘Commander in
Chief’. Tertib, bersih, dan aman merupakan hal yang paling disayangi dalam masyarakat.
Karena tujuan orde baru, selain pembangunan negara, adalah menciptakan stabilitas, terutama
setelah ‘kudeta’ tahun 65. Pembasmian yang mengikuti peristiwa tersebut merupakan sebuah
tragedi yang akan menghantui negara ini yang menggunakan alasan ‘untuk kebaikan
bersama’ sebagai legitimasi aksi tersebut. Alasan yang sama juga digunakan dalam
mengerakan semangat pembangunan yang menjadi trademark masa ini. Dan masa ini juga,
desa mengalami seragamisasi dalam hal administrasi serta beberapa hal yang menyangkut
‘aesthetic’ desa tersebut.

Salah satu aksi dari peralihan tersebut berada dalam bidang kepemimpinan desa, yang
sebelumnya jabatan kepala desa berlangsung selama seumur hidup. Menjadi hanya berjangka
10 tahun. Serta perubahan ini pada awalnya kurang di terima oleh masyarakat dikarenakan
terciptanya celah yang memisahkan antara rakyat dan ‘perwakilan negara’ yang baru ini.
Celah yang dimaksudkan adalah perbedaan cara memimpin yang sangat berbeda dari
pendahulunya serta perbedaan penguasaan budaya yang kurang, membuat ‘wakil’ ini kurang
dihormati oleh rakyat desa. Hal ini juga membawa aspek permainan politik dalam artian,
setiap kepala desa sekarang fokus mencari dan membuat hubungan pertemanan antar satu
dengan yang lain demi mendapatkan pengaruh/kekuatan politk yang lebih besar. Hal tersebut
menyebabkan terlantarkannya infrastruktur seperti jalan dan jembatan yang telah ada semejak
masa kolonial. Oleh karena itu gotong royong menjadi bagian dari nasionalisme. Dalam
konteks ini, kaum pria, kebanyakan pemuda, mulai memperbaiki infrastruktur tersebut
dengan sukarela. Dengan kepala desa memberikan bantuan logistik berupa dana untuk
konsumsi.

Kemudian munculnya istilah ‘tujubelasan’, nama tidak resmi dari perayaan hari
kemerdekaan. Sebuah hari dimana pada masa orde baru membutuhkan perencanaan di bulan
sebelumnya. Para kepala desa akan cenderung mementingkan hal tersebut pada bulan
mendekati perayaan tersebut dari pada mengurus masalah desanya seperti irigasi dan hal
semacamnya. Serta pada masa ini juga terjadi peningkatan rata-rata pendidikan yang
menyebabkan terjadi segregasi antara kaum terpelajar, yang pada saat itu adalah minoritas
walaupun peningkatan tersebut, dengan kaum yang tidak terpelajar. Tetapi dengan adanya
peningkatan pendidikan, menyebabkan pemuda terpelajar tidak ingin menjadi seorang petani,
walaupun mereka sendiri mengalami kesulitan dalam mencari pekerjaan yang mereka
inginkan. Hal tersebut menyebabkan mereka lebih sering bermalas-malasan dipinggiran desa.
Dengan adanya ‘tujubelasan’ ini, paling tidak mereka dapat membantu dengan persiapan
perayaan tersebut. Tetapi ada sebuah komplkasi yang sedikit bermasalah, mayoritas dari
pemuda di desa merupakan kaum tidak terpelajar dan kurang mengerti dengan konsep
berbahasa bahasa Indonesia.

Tentunya dengan adanya sebuah perayaan, pastinya ada sebuah usaha untuk mendekorasi
lingkungan sekitar dengan tema yang sesuai. Pada masa orde baru, desa mulai membangun
pagar beton dan gapura sebagai simbol-simbol pembangunan serta mereka telah menjadi
pemandangan yang umun di Jawa. Pada “HUT RI ke-30”, dari atap, pagar beton sampai
gapura, dicat atau diukir yang bertuliskan “HUT RI ke-30” untuk melambangkan semangat
nasionalis mereka. Bahkan samapai ada yang mengecat ulang rumah. Serta masyarakat juga
memasang dekorasi berupa miniatur bendera merah putih.

Kemudian pada perayaan, beberapa desa mencoba untuk memakai sebuah seragam
karena merasa hal tersebut merupakan sesuatu yang pantas. Hal itu juga menyebabkan
terjadinya ‘seragamisasi’ desa sekitar yang memiliki keunikan tersendiri. Kembali ke
prerayaan hari kemerdekaan, seperti biasa, ada sebuah upacara bendera yang dihadiri oleh
tentara, polisi, dan siswa SMP dipagi hari. Kemudian pada malam harinya suasana jauh
berbeda dari pagi yang ketat menjadi malam yang sangat santai dengan adanya hiburan yang
berupa orkes melayu dan pertunjukan wayang amatir. Seiring berjalannya waktu acara
tersebut mulai ditiadakan di tingkat Kecamatan, dikarenakan sebuah aksi pencegahan untuk
menjaga kestabilan. Hal ini dikarenkan wayang orang atau ‘langendriyan’ cukup populer
sebelum tahun 65 dan dilindungi oleh partai-partai politik, khususnya partai komunis. Serta
hal tersebut merupakan kecenderungan masa itu juga yaitu pemusatan atau sentralisasi.

‘Proyek Pagar Beton’ merupakan sebuah aksi untuk me-majukan desa yang di dorong
oleh lomba antar desa dimana setiap desa akan berkompetisi dalam menjadikan desa merka
menjadi yang paling bersih dan maju. Konsep maju disini berarti menyamakan dengan apa
yang ada di kota, yaitu konsumerism pada saat itu. Tapi bagi mereka hal tersebut tidaklah
buruk melainkan sebagai tanda keanggotaan didalam komunitas nasional Indonesia. Hal ini
juga yang mengakibatkan istilah “masih bodoh” yang berarti warga desa yang belum bisa
berbahasa Indonesia dengan lancar.

K. Orang Kaya di Jakarta Tahun 1994

Dalam bab ini dibicarakan mengenai kaum elite pada akhir orde baru yang cenderung
memiliki banyak muka dalam permainan politik di pusat. Untuk mata yang tak terlatih,
kehidupan mereka hanyalah berpesta, berfoya-foya, atau menghamburkan harta demi
kesenangan mereka. Tetapi sebenarnya setiap aksi yang mereka lakukan adalah sebuah
langkah atau manuver politik yang sudah direncanakan. Tetapi bab ini tidak membicarakan
hal tersebut, melainkan pengaruhnya kepada sebuah keluarga orang kaya yang bisa dibilang,
disfungsional. Dengan setiap anggota keluarga memiliki rahasia mereka tersendiri. Hal yang
mempersatukan mereka hanyalah Public Image yang mereka miliki dalam masyarakat elit.
Tentunya sebuah hal yang kontradiktif dari bab sebelumnya yang membahas tentang
pengaruh orde baru di wilayah pedesaan.

Kehidupan kaum elit ini, dapat dianalogikan seperti permainan catur yang memiliki
banyak pemain. Dengan setiap langkah yang diambil akan memiliki potensi untuk di
eksploitasi oleh lawan. Kemudian dalam permainan ini hanya ada aliansi sementara. Tidak
ada yang namanya seorang teman. Hal tersebut sangat terlihat saat sang suami memiliki
keluarga kedua. Dan dalam hal istri yang ingin perhatian dari pasanganya, memamerkan
karya-karyanya. Serta kedua anak yang sudah terbiasa dengan kemewahan, telah, kurang
lebih, membuat mereka tidak sejalan dengan semangat koletif orde baru. Dari acara
pernikahan, kunjungan ke sebua galeri kesenian, sampai hal yang sepele seperti acara makan
malam. Menunjukan akan kebebasan yang dialami oleh kaum elit ini dengan kandang public
image yang mereka buat sendiri.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan

Dari dalam bab-bab yang ada dapat di ambil kesimpulan bahwa akaian merupakan
penanda pada penampilan luar seseorang yang saling membedakan satu sama lain atau dapat
juga sebagai penanda sebuah kelompok tertentu. Dalam hal berpakaian, kehidupan yang ada
di Hindia diatur oleh kebijakan politik Belanda. Penampilan tubuh manusia lewat pakaian,
dandanan, dan tingkah laku pada tiap-tiap masa menyiratkan sebuah pernyataan yang sangat
kuat tentang kelas, status, dan gender. Perubahan-perubahan dalam penampilan tubuh
menawarkan petunjuk transformasi yang luas. Penampilan tubuh manusia melalui pakaian,
dandanan, dan tingkah laku pada tiap-tiap masa menyiratkan sebuah pernyataan yang sangat
kuat tentang kelas, status, dan gender. Perubahan-perubahan dalam penampilan tubuh
menawarkan petunjuk-petunjuk perubahan sosial yang luas. Kostum dan tingkah laku
merupakan merupakan sumber yang kaya bagi sejarah kolonial. Tubuh manusia dikolonisasi,
sebagaimana halnya tanah dan sumber dayanya. Pada perkembangan selanjutnya gaya
berpakaian dapat digambarkan dengan pembuatan boneka oleh nyonya-nyonya Hindia
Belanda yang pengerjaannya dilakukan oleh wanita-wanita pribumi yang pada awalnya hanya
mahir membuat wayang. Pada 1893 para nyonya Hindia Belanda menampilkan boneka-
bonekanya di hadapan Ratu Belanda beserta katalognya, menunjukkan seluruh Nusantara
Hindia yang dikuasai seakan mengekspresikan konsep geografi dan optimisme historis dalam
kata lain dimaksudkan untuk menampilkan gambaran lengkap tentang masyarakat pribumi di
Hindia. Kemudian di Hindia pribumi mencapai kenecisannya yang pertama kali dipikirkan
oleh bangsa Belanda sendiri akibat timbulnya kecemasan akan pribumi yang terus meminjam
gaya pakaian Belanda untuk menempatkan diri sebagai masyarakat kolonial modern hingga
kekuasaan Belanda berakhir di tangan penjajah baru, Jepang. Pada masa pendudukan Jepang,
perempuan-perempuan modern Eropa menganggap sudah menjadi tugas mereka untuk
memperkenalkan modernitas kepada penduduk asli dan pemakaian pakaian Jawa tidaklah
sejalan lagi dengan pemikiran mereka. Dari berpakaian, bergeser sedikit dalam modernitas
yaitu kebutuhan listrik dan air yang menjadi trend sendiri, kedua hal tersebut tidak dapat
dilepaskan satu sama lain karena masyarakat sudah terjebak dalam arus pusaran kebutuhan
modern ini. Kemudian terlepas dari masa kependudukan Jepang para pemuda dalam
kesehariannya dapat disejajarkan dengan kehidupan film drama perjuangan. Menurut sebuah
catatan seorang saksi mata, pakaian Barat dan tradisional kemudian dibedakan menurut
kegunaannya. Memasuki era orde baru, bahasan mengenai pakaian sudah mencapai
transformasi desa-desa dan disamping itu terjadi dualisme rezim yang berantakan karena
G30S. Setelah peristiwa mencekam itu, fokus orde baru terletak pada gaya orang-orang di
Jakarta, di mana kaum elite pada akhir orde baru cenderung memiliki banyak muka dalam
permainan politik di pusat. Untuk mata yang tak terlatih, kehidupan mereka hanyalah
berpesta, berfoya-foya, atau menghamburkan harta demi kesenangan mereka. Tetapi
sebenarnya setiap aksi yang mereka lakukan adalah sebuah langkah atau manuver politik
yang sudah direncanakan.

3.2 Saran

Diharapakan dari adanya review yang telah disusun oleh penyusun, pembaca dapat
menggali informasi lainnya akan politik, sosial, dan budaya masyarakat Indonesia tidak
hanya melalui pakaian saja karena dari review ini hanyalah sekumpulan tulisan-tulisan yang
sedikit diubah dan diringkas kembali. Selain itu, penyusun juga menyadari bahwasanya
review berbentuk makalah ini masih jauh dari kata sempurna. Semoga pembaca lebih
bersemangat lagi membaca buku-buku lain dan sumber referensinya guna untuk menambah
wawasan pengetahuan akantrend, identitas, dan kepentingan kehidupan politik, sosial, dan
budaya masyarakat dari Hindia hingga menjadi Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai