NIM: 17101020055
KUNTOWIJOYO
mengkploitasi kekayaaan sumber daya alam jajahnya tetapi juga turut menghancurkan
kebudayaan Budaya atau tradisi bangsa jajahanya. Baez dalam bukunya Penghancuran
Buku dari masa ke masa menarasikan imperialisme yang dilakukan oleh bangsa
Spanyol terhadap dunia baru yaitu budaya Pra-Hisanik di Benua Amerika yang
sedangkan disatu sisi mereka yang terjajah mengidap inferioritas yang akut. Fenomena
yang sama turut terjadi di nusantara atau dinamakan sebagai Indonesia saat ini, ketika
pendidikan Islam cendurung sporadis dan tidak komprehensif. Hal ini diungkapkan oleh
Islam yaitu: pendidikan islam tidak bersifat dinamis dalam merumuskan diri dalam
tidak komprehensif, sehingga tidak terjadi perubahan yang esensial, dan terakhir
problematika dari aspek manejemen pendidikan Islam yang belum terkelola dengan
baik.
Kuntowijoyo ialah seorang tokoh besar yang dikenal dengan berbagai profesinya.
Kebudayaan tidak mungkin ada tanpa sejarah dan sejarah tidak mungkin ada tanpa
tercipta.
Ilmu Sosial Profetik (ISP). Gagasan tersebut dibangun oleh tiga konponen yaitu:
humanisasi, liberalisasi dan transdensi. Komponen pertama dan ketiga yaitu humanisasi
dan transdensi sebenarnya saling berkolerasi, sehingga akan lebih komprehensif untuk
tak terlepas dari adanya fenomena revolusi industri sehingga melahirkan apa yang
dan filosofis dengan apa yang disebut sebagai Konsep Profetik. Konsep ini adalah
bentuk turunan dari prinsip integrasi ilmu pengetahuan (sains) dan agama yang diyakini
sepenuhnya oleh Kuntowijoyo. Apakah itu Profetik? Dari segi bahasa, Profetik dapat
dikatakan sebagai sifat transformatif dan mencerahkan. Maka intelektual Profetik adalah
subjek yang menjadi dasar untuk membangun cara berfikir memahami dan menjelaskan
Secara epistemologis, Konsep Profetik berpendirian bahwa sumber pengetahuan itu ada
tiga, yaitu realitas empiris, rasio dan wahyu. Ini bertentangan dengan paham positivisme
yang memandang wahyu sebagai bagian dari mitos. Sementara secara metodologis ilmu
sosial Profetik jelas berdiri dalam posisi yang berhadap-hadapan dengan positivisme.
Profetik menolak klaim-klaim positivis seperti klaim bebas nilai dan klaim bahwa yang
sah sebagai sumber pengetahuan adalah fakta-fakta yang terindera. Namun Profetik
tidak hanya menolak klaim bebas nilai dalam positivisme tapi lebih jauh juga
mengharuskan ilmu sosial untuk secara sadar memiliki pijakan nilai sebagai tujuannya.
Profetik tidak hanya berhenti pada usaha menjelaskan dan memahami realitas apa
adanya tapi lebih dari itu mentransformasikannya menuju cita-cita yang diidamkan
masyarakatnya. Profetik merumuskan tiga nilai penting sebagai pijakan yang sekaligus
menjadi unsur-unsur yang akan membentuk karakter paradigmatiknya, yaitu
Pada intinya, Kuntowijoyo ingin mengatakan bahwa, pendekatan ilmu sosial dalam
ilmu sejarah yang berkembang di Indonesia mampu keluar bebas dari ideologisasi ilmu
pengetahuan dan mampu memahami sejarah dari dalam. Namun, ilmu sosial yang
diperkenalkan Sartono Kartodirdjo menjadikan sejarah seolah bebas dan aman bagi
Kuntowijoyo. Karena sejarah terbukti menjadi sesuatu yang beresiko. Sejarah sebagai
ilmu dan profesi yang mengikutinya juga menjadi dilematis. Namun menjadi
independen juga berada pada posisi yang salah. Dalam hal ini, menjadi independen bagi
Kuntowijoyo bukan hanya menjadi sejarawan yang sekedar berpijak pada prinsip
“sejarah memihak” seperti yang dipahami oleh sejarawan hari ini, melainkan kembali
Pada tataran tersebut, tidak hanya menggunakan dasar social saintific namun
dengan peristiwa lain dari masa lalu yang tidak masuk kategori sejarah, menjadi lebih
kekuatan berpikir kritis yang dapat mendobrak batasan ideologi sehingga mampu