Anda di halaman 1dari 5

Nama: Muh. Bima Sakti Nur R.

NIM: 17101020055

PENGERTIAN "PROFETIK" DALAM PEMIKIRAN SEJARAH

KUNTOWIJOYO

Perkembangan modernisme di barat sebagai produk dari renaisance telah memunculkan

semangat imperialisme dan kolonialisme ke dunia ketiga. Penjajahan tak hanya

mengkploitasi kekayaaan sumber daya alam jajahnya tetapi juga turut menghancurkan

kebudayaan Budaya atau tradisi bangsa jajahanya. Baez dalam bukunya Penghancuran

Buku dari masa ke masa menarasikan imperialisme yang dilakukan oleh bangsa

Spanyol terhadap dunia baru yaitu budaya Pra-Hisanik di Benua Amerika yang

menghancurkan kebudayaan bangsa jajahanya akibat rasa superioritas yang berlebihan,

sedangkan disatu sisi mereka yang terjajah mengidap inferioritas yang akut. Fenomena

yang sama turut terjadi di nusantara atau dinamakan sebagai Indonesia saat ini, ketika

berada masa kolonialisme Barat.

Selain itu, upaya revitalisasi keilmuwan yang diwujudkan dalam pembaharuan

pendidikan Islam cendurung sporadis dan tidak komprehensif. Hal ini diungkapkan oleh

Azyumardi Azra yang telah merumuskan beberapa penyebab problematika pendidikan

Islam yaitu: pendidikan islam tidak bersifat dinamis dalam merumuskan diri dalam

merespons dinamika sosial, berorientasi pada aspek humaniora dengan


mengesampingkan aspek sains, pembaharuan pendidikan Islam yang bersifat parsial dan

tidak komprehensif, sehingga tidak terjadi perubahan yang esensial, dan terakhir

problematika dari aspek manejemen pendidikan Islam yang belum terkelola dengan

baik.

Kuntowijoyo ialah seorang tokoh besar yang dikenal dengan berbagai profesinya.

Disamping seorang sejarawan, ia dikenal sebagai sastrawan, budayawan, serta

akademisi. Ia menjalan pengembaraan ilmiah dengan memperlakukan kebudayaan

sebagai proses Transformation in continuity and continuity in transformation.

Kebudayaan tidak mungkin ada tanpa sejarah dan sejarah tidak mungkin ada tanpa

kebudayaan. Melalui sejarah kebudayaan terwujud dan melalui kebudayaan sejarah

tercipta.

Merespon problematika pendidikan dan pengembangan keilmuwan di Indonesia

menegaskan urgensi dari pembumian dan intenaliasasi gagasan kuntowijoyo mengenai

Ilmu Sosial Profetik (ISP). Gagasan tersebut dibangun oleh tiga konponen yaitu:

humanisasi, liberalisasi dan transdensi. Komponen pertama dan ketiga yaitu humanisasi

dan transdensi sebenarnya saling berkolerasi, sehingga akan lebih komprehensif untuk

mendeskripsikan koherensi keduanya. Isu humanisasi yang diangkat oleh Kuntowijoyo

tak terlepas dari adanya fenomena revolusi industri sehingga melahirkan apa yang

dengan dinamakan sebagai liberalisme, sehingga privatisasi dan kapitalisme menjadi

konsekuensi atas bergejolakya liberalisme tersebut.


Kuntowijoyo menghadiahkan pada kita warisan paradigma berpikir yang begitu dalam

dan filosofis dengan apa yang disebut sebagai Konsep Profetik. Konsep ini adalah

bentuk turunan dari prinsip integrasi ilmu pengetahuan (sains) dan agama yang diyakini

sepenuhnya oleh Kuntowijoyo. Apakah itu Profetik? Dari segi bahasa, Profetik dapat

dikatakan sebagai sifat transformatif dan mencerahkan. Maka intelektual Profetik adalah

intelektual yang akan membawa perubahan terhadap masyarakat.

Secara genealogis, Kuntowijoyo dibesarkan dalam tradisi Intelektual Barat. Namun, ia

mampu untuk mendewasakan pemikiran kesejarahannya. Ia merupakan wujud

kontekstual dari kenyataan yang berlangsung dalam masyarakat. Ia menempatkan

subjek yang menjadi dasar untuk membangun cara berfikir memahami dan menjelaskan

kenyataan-kenyataan masa lalu.

Secara epistemologis, Konsep Profetik berpendirian bahwa sumber pengetahuan itu ada

tiga, yaitu realitas empiris, rasio dan wahyu. Ini bertentangan dengan paham positivisme

yang memandang wahyu sebagai bagian dari mitos. Sementara secara metodologis ilmu

sosial Profetik jelas berdiri dalam posisi yang berhadap-hadapan dengan positivisme.

Profetik menolak klaim-klaim positivis seperti klaim bebas nilai dan klaim bahwa yang

sah sebagai sumber pengetahuan adalah fakta-fakta yang terindera. Namun Profetik

tidak hanya menolak klaim bebas nilai dalam positivisme tapi lebih jauh juga

mengharuskan ilmu sosial untuk secara sadar memiliki pijakan nilai sebagai tujuannya.

Profetik tidak hanya berhenti pada usaha menjelaskan dan memahami realitas apa

adanya tapi lebih dari itu mentransformasikannya menuju cita-cita yang diidamkan

masyarakatnya. Profetik merumuskan tiga nilai penting sebagai pijakan yang sekaligus
menjadi unsur-unsur yang akan membentuk karakter paradigmatiknya, yaitu

humanisasi, liberasi dan transendensi.

Pada intinya, Kuntowijoyo ingin mengatakan bahwa, pendekatan ilmu sosial dalam

ilmu sejarah yang berkembang di Indonesia mampu keluar bebas dari ideologisasi ilmu

pengetahuan dan mampu memahami sejarah dari dalam. Namun, ilmu sosial yang

diperkenalkan Sartono Kartodirdjo menjadikan sejarah seolah bebas dan aman bagi

semua orang, dan cenderung tidak berkontribusi apa-apa kepada masyarakat.

“Menjadi seorang sejarawan di Indonesia merupakan sebuah petualangan” menurut

Kuntowijoyo. Karena sejarah terbukti menjadi sesuatu yang beresiko. Sejarah sebagai

ilmu dan profesi yang mengikutinya juga menjadi dilematis. Namun menjadi

independen juga berada pada posisi yang salah. Dalam hal ini, menjadi independen bagi

Kuntowijoyo bukan hanya menjadi sejarawan yang sekedar berpijak pada prinsip

“sejarah memihak” seperti yang dipahami oleh sejarawan hari ini, melainkan kembali

pada prinsip historiografi yang bermanfaat bagi masyarakat luas.

Pada tataran tersebut, tidak hanya menggunakan dasar social saintific namun

Kuntowijoyo menambahkan socially important sebagai sesuatu yang melekat pada

peristiwa masa lalu yang dikategorikan sebagai sejarah untuk membandingkannya

dengan peristiwa lain dari masa lalu yang tidak masuk kategori sejarah, menjadi lebih

jelas dan berfungsi.


Sejarah memang memihak namun tidak dalam artian partisan politik, ia merupakan

kekuatan berpikir kritis yang dapat mendobrak batasan ideologi sehingga mampu

bermanfaat bagi umat manusia dalam menjalankannya.

Pemikiran sejarah profetik dimaknai sebagi konseptualisasi keilmuan yang bersumber

dari tradisi keagamaan (khususnya islam), yang memunculkan kesadaran paradigmatik

baik secara kultural maupun intelektual

Anda mungkin juga menyukai