Anda di halaman 1dari 15

1. A.

    Pendahuluan

  Dari tahun ke tahun ilmu pengetahuan terus mengalami perkembangan


yang sangat pesat. Dari tahapan yang paling mitis, pemikiran manusia terus
berkembang hingga sampai pada pemikiran yang supra rasional. Atau kalau
meminjam terminologi Peursen, dari yang mitis,
ontologis hingga fungsional. Sementara menurut Comte, dari yang teologis,
metafisik hingga positif. Perkembangan industri di abad 18 yang telah
menimbulkan berbagai implikasi sosial dan politik telah melahirkan cabang
ilmu yang disebut sosiologi. Penggunaan senjata nuklir sebagaimana pada
abad 20 telah melahirkan ilmu baru yang disebut dengan polemologi (Koento
Wibisono, 1988:8) dan seterusnya entah apa lagi nanti namanya. Bagi orang
Islam, pengetahuan bukan merupakan tindakan atau pikiran yang terpencil
dan abstrak, melainkan merupakan bagian yang paling dasar dari
kemaujudan dan pandangan dunianya (world-view). Oleh sebab itu tidaklah
mengherankan jika ilmu memiliki arti yang demikian penting bagi kaum
muslimin pada masa awalnya, sehingga tidak terhitung banyaknya pemikir
Islam yang larut dalam upaya mengungkap konsep ini. Konseptualisasi ilmu
yang mereka lakukan  nampak dalam upaya mendefinisikan ilmu yang tiada
habis-habisnya, dengan kepercayaan bahwa ilmu tak lebih dari perwujudan
"memahami tanda-tanda kekuasaan Tuhan", seperti juga membangun
sebuah peradaban yang membutuhkan suatu pencarian pengetahuan yang
komperehensif. Sebagaimana kata Rosentall, sebuah peradaban Muslim
tanpa hal itu tak akan terbayangkan oleh orang-orang Islam abad
pertengahan sendiri, lebih-lebih pada masa sebelumnya (Anees, 1991:73).
Reorientasi intelektual umat Islam harus dimulai dengan suatu pemahaman
yang benar dan kritis atas epistemologinya. Dengan begitu, sebuah
reorientasi seharusnya bukan merupakan suatu pengalaman yang baru bagi
kita, melainkan sekadar sebuah proses memperoleh kembali warisan kita
yang hilang. Jika umat Islam tidak ingin tertinggal maju dengan dunia Barat,
maka sudah saatnya untuk menghidupkan kembali (revitalisasi) warisan
intelektual Islam yang selama ini terabaikan, dan jika perlu mendefinisikan
kembali ilmu dengan dasar epistemologi yang diderivasi dari wahyu (baca: Al-
Qur'an dan al-Hadis). Seperti kata Anees (1991: 83), pembaruan-pembaruan
pendidikan di seluruh dunia Islam saat ini lebih dipacu untuk membangun
tiruan-tiruan tonggak intelektual Barat daripada membentuk kembali sumber
akalnya sendiri. Jika kita tidak mendefinisikan kembali konsep pandangan
dunia (world-view) Islam, maka kita hanya akan menoreh luka-luka intelektual
kita sebelumnya. Bukankah sains dan teknologi adalah juga warisan
intelektual umat Islam sendiri? Oleh sebab itu kita harus menemukan kembali
warisan yang berharga itu. Kita mesti ingat sabda Nabi "Bahwa ilmu
pengetahuan (hikmah) adalah perbendaharaan orang mukmin yang telah
hilang. Barang siapa menemukannya, maka ia berhak atasnya." (Lihat Al-
Qardhawi, 1989 : 56). Dalam konteks ini, negara kita Indonesia termasuk
negara yang menempati posisi terbesar jumlah penduduk muslimnya. Tetapi
potensi mayoritas muslim tersebut belum menjamin peran sosialnya. Hal ini
tentu terkait dengan soal konseptualisasi ilmu dan pendidikan. Apakah
pendidikan yang dikembangkan oleh umat Islam Indonesia sudah memenuhi
fungsi dan sasarannya?   B. Prinsip Pendidikan Islam Sebagaimana yang
diungkap oleh Kuntowijoyo (l994: 350), bahwa  pendidikan tinggi Islam saat
ini --sebagaimana pendidikan tinggi lainnya-- secara empirik belum
mempunyai kekuatan yang berarti karena pengaruhnya masih kalah dengan
kekuatan-kekuatan bisnis maupun politik. Disinyalir, bahwa pusat-pusat
kebudayaan sekarang ini  bukan berada di dunia akademis, melainkan di
dunia bisnis dan politik. Dalam setting seperti ini lembaga pendidikan tinggi
Islam terancam oleh subordinasi. Pendidikan tinggi Islam, baik dalam konteks
nasional Indonesia maupun sebagai bagian dari dunia Islam, kini tengah
menghadapi tantangan yang lebih berat. Agenda besar yang dihadapi bangsa
Indonesia kini adalah, bagaimana menciptakan negara yang aman, adil dan
makmur dalam lindungan Tuhan Yang Maha Esa, yang didukung oleh warga
negara yang berpengetahuan, beriman dan bertakwa. Dengan begitu
maka pendidikan tinggi Islam dituntut untuk berperan serta mewujudkan
tatanan Indonesia baru dimaksud, dengan merumuskan langkah-langkah
pengembangannya (Zainuddin, 2003: 26 ). Hingga saat ini masih ditengarai
bahwa sistem pendidikan Islam belum mampu menghadapi perubahan dan
menjadi counter ideas terhadap globalisasi kebudayaan. Oleh sebab itu pola
pengajaran maintenance learning yang selama ini dipandang terlalu bersifat
adaptif dan pasif harus segera ditinggalkan. Dengan begitu, maka lembaga
pendidikan Islam setiap saat dituntut untuk selalu melakukan rekonstruksi
pemikiran kependidikan dalam rangka mengantisipasi setiap perubahan yang
terjadi. Setidaknya ada tiga faktor yang menjadikan model pendidikan Islam
berwatak statis dan tertinggal: pertama, subject matter pendidikan Islam
masih berorientasi ke masa lalu dan bersifat normatif serta tekstual. Ini bukan
berarti bahwa kita harus meninggalkan warisan masa lalu. Warisan masa lalu
sangat berharga nilainya karena ia merupakan mata rantai sejarah yang tidak
boleh diabaikan. Prinsip: tetap memelihara tradisi warisan masa lalu yang
baik dan mengambil tradisi yang lebih baik (al-muhafadhat ala ‘l-Qadim as-
Shalih wa ‘l-akhdzu bi ‘l-Jadid al-Ashlah) justru merupakan prinsip yang tepat
bagi sebuah rekonstruksi pemikiran pendidikan Islam; kedua, masih
mengentalnya sistem pengajaran maintenance learning yang bercirikan
lamban, pasif dan menganggap selalu benar terhadap warisan masa
lalu; ketiga masih ada pandangan dikotomis ilmu secara substansial (ilmu
agama dan ilmu umum). Secara umum Johan Hedrik Meuleman (Perta, 2002:
16-17) melihat adanya beberapa kelemahan tradisi ilmiah di kalangan
Muslim, yaitu pertama, adanya logosentrisme, tektualis. Akibat logosentrisme
tersebut kemudian mengabaikan  unsur tak tertulis dari agama dan
kebudayaan Islam, seperti tindakan sosial, seni dst.; kedua sikap apologetik
terhadap aliran (teologi, fiqh dst.); ketiga adanya kecenderungan yang
verbalistik dan memberikan wibawa terlalu besar pada tradisi, yang
berimplikasi pada sikap ekskulisivisme. Kondisi demikian menurut Meuleman,
bebannya masih terasa sampai sekarang ini. Malangnya hal serupa juga
dialami oleh Islamolog Barat. Pada sebagian besar masyarakat kita sekarang
ini juga masih muncul anggapan, bahwa “agama” dan “ilmu” merupakan
entitas yang berbeda dan tidak bisa ditemukan, keduanya dianggap memiliki
wilayah sendiri-sendiri baik dari segi objek formal-material, metode penelitian,
kriteria kebenaran, peran yang dimainkan oleh ilmuwan maupun status teori
masing-masing, bahkan sampai pada penyelenggaraan institusinya.
Kenyataan ini bisa kita lihat misalnya pada pemisahan departemen dalam
sistem pemerintahan Indonesia (ada departemen agama ada pula
departemen pendidikan). Adalah sangat penting untuk melihat sejarah masa
lalu, bahwa dalam sejarah kependidikan Islam telah terbelah dua wajah
paradigma integralistik-ensiklopedik di satu pihak dan paradigma spesifik-
paternalistik di pihak lain. Paradigma pengembangan keilmuan
yang integralistik-ensiklopedik ditokohi oleh ilmuwan Muslim, seperti Ibn Sina,
Ibn Rusyd, Ibn Khaldun, sementara yang spesifik-paternalistik diwakili oleh
ahli hadis dan ahli fiqh. Keterpisahan secara diametral antara keduanya
(dikotomis) dan sebab lain yang bersifat politis-ekonomis itu menurut Amin
Abdullah (Perta, 2002: 49) berakibat pada rendahnya kualitas pendidikan dan
kemunduran dunia Islam saat itu.  Oleh sebab itu Amin Abdullah menawarkan
gerakan rapproachment (kesediaan untuk saling menerima keberadaan yang
lain dengan lapang dada) antara dua kubu keilmuan yang dianggap sebagai
sebuah keniscayaan. Gerakan ini juga disebut dengan reintegrasi
epistemologi. Di sini pula Brian Fay (1996) menyarankan agar kita waspada
terhadap adanya dikotomi, menghindari dualisme buruk dan supaya berpikir
secara dialektis. Disarankan oleh Fay, agar kita tidak terjebak pada kategori-
kategori yang saling bertolak belakang. Kategori-kategori atau dikotomi-
dikotomi itu harus disikapi secara terbuka dan dipikirkan secara dialektis.
Dalam perspektif keilmuan Islam, posisi filsafat Islam adalah sebagai
landasan adanya integrasi berbagai disiplin dan pendekatan  yang makin
beragam, karena dalam konstruks epistemologi Islam, filsafat Islam dengan
metode rasional-transendentalnya dapat menjadi dasarnya. Sebagai contoh,
fiqh pada hakikatnya adalah pemahaman yang dasarnya adalah filsafat, yang
kemudian juga dikembangkan dalam ushul fiqh. Tanpa filsafat, fiqh akan
kehilangan semangat inovasi, dinamisasi dan perubahan. Oleh karena itu jika
terjadi pertentangan antara fiqh dan filsafat seperti yang pernah terjadi dalam
sejarah pemikiran Islam, maka menurut Musa Asy’ari (2002: 34), hal ini lebih
disebabkan karena terjadinya kesalahpahaman dalam memahami risalah
kenabian. Filsafat bukan anak haram Islam, melainkan anak kandung yang
sah dari risalah kenabian tersebut. Senada dengan Musa, Nursamad (tt:19-
20) berpendapat, bahwa setiap diskursus tentang metodologi haruslah
dibangun di atas sentuhan-sentuhan  filsafat. Tanpa sense of
philosophy menurut Nursamad, maka sebuah metodologi akan kehilangan
substansinya. Metodologi Studi Islam (MSI) perlu dikembangkan lebih lanjut
agar visi epistemologisnya dapat menjabarkan secara integral dan terpadu
tiga arus utama dalam ajaran Islam: aqidah, syari’ah dan akhlaq. Integritas
ketiga aspek tersebut hendaknya dimantapkan berdasarkan kecenderungan
intelektual masa kini, bukan mencatat metodologi setiap ilmu yang
berkembang dalam sejarah pemikiran Islam secara parsial, melainkan
berupaya menemukan hubungan-hubungan logis antar pelbagai disiplin ilmu
yang berkembang dalam wacana pemikiran Islam kontemporer. Para ilmuwan
dulu memang mengklasifikasi ilmu dalam berbagai macam jenis, Ibn Khaldun
misalnya membuat klasifikasi ilmu dalam dua jenis ilmu pokok: naqliyah dan
‘aqliyah. Ilmu naqliyah adalah ilmu yang berdasarkan wahyu, dan
ilmu aqliyyah adalah ilmu yang berdasarkan rasio. Menurut Khaldun yang
termasuk ilmu naqliyah adalah: al-Qur’an, hadis, fiqh, kalam, tasawuf dan
bahasa; sedangkan yang termasuk ilmu aqliyah adalah: filsafat, kedokteran,
pertanian, geometri, astronomi dst. Tetapi klasifikasi ilmu tersebut menurut
Azyumardi Azra (Perta, 2002:16) bukan dimaksud mendikotomi ilmu antara
satu dengan yang lain, tatapi hanya sekadar klasifikasi. Klasifikasi tersebut
menunjukkan betapa ilmu tersebut berkembang dalam peradaban Islam.
Dalam konteks ini ilmu agama Islam merupakan salah sau saja dari berbagai
cabang ilmu secara keseluruhan. Jadi persoalannya bukan “ilmu agama” dan
“non agama”, tetapi lebih kepada “kepentingan”, untuk apa ilmu tersebut
digunakan (karena ilmu sebagai instrumen, bukan tujuan). Dan apalagi jika
kita sepakat bahwa pada dasarnya sumber ilmu itu dari Allah. Dengan
demikian terminologi “ilmu agama” dan “ilmu umum”, “non agama” adalah
peristilahan sehari-hari dalam pengertian sempit saja. Hanya memang,
pertama-tama kita harus punya prioritas bahwa sebagai seorang Muslim
harus menguasai ilmu yang berkaitan langsung dengan ibadah mahdhah itu,
misalnya ilmu tentang shalat, puasa, zakat, haji dan seterusnya, yang ilmu
tersebut sering disebut ilmu syar’iah/ fiqh; dan ilmu tentang ketuhanan/
keimanan kepada Allah SWT, yang biasa disebut sebagai ilmu tauhid/ kalam.
Ilmu-ilmu inipun sebetulnya jika dipahami secara mendalam dan kritis tampak
sangat berkaitan dan tak terpisahkan dengan ilmu-ilmu yang selama ini
disebut “ilmu umum” itu, misalnya ilmu sosial dan humaniora dan juga ilmu
alam. Karena semua sistem peribadatan (al-’ibadah, worship) didalam Islam
mengandung dimensi ajaran yang tidak lepas dari hubungan antara Allah
SWT sebagai Zat pencipta (al-Khaliq) dan manusia atau alam sebagai yang
dicipta (al-makhluq). Dan hubungan ini dalam al-Qur’an disebut
sebagai hablun min Allah wa hablun min al-nas, hubungan vertikal dan
hubungan horizontal.  Di sini rukun iman dalam ajaran Islam lebih berorientasi
pada hubungan vertikal, manusia dengan Allah atau yang ghaib, sedang
rukun Islam lebih berorientasi pada hubungan horizontal antara manusia
dengan manusia yang lain ataupun alam semesta. Tetapi keduanya (iman
dan Islam) tak dapat dipisahkan tak ubahnya seperti hubungan ilmu dan amal
(integral) Dalam perspektif sejarah, pengadilan inquisi yang dialami oleh baik
Copernicus (1543), Bruno (1600) maupun Galileo (1633) oleh geraja karena
pendapatnya yang bertolak belakang dengan agama, telah mempengaruhi
proses perkembangan berpikir di Eropa, yang pada dasarnya ingin terbebas
dari nilai-nilai di luar bidang keilmuan yang berjuang untuk menegakkan ilmu
yang berdasarkan penafsiran alam sebagaimana adanya (das sein) dengan
semboyan: “ilmu yang bebas nilai”. Setelah pertarungan + 250 tahun, atau
yang dikenal dengan gerakan renaissance (abad 15) dan aufklarung (abad
18), para ilmuwan mendapat kemenangannya. Sejak saat itulah filsafat Barat
menjadi sangat antrosopentris, terbebas dari ikatan agama dan sistem nilai.
Di saat inilah  terjadinya benih “sekularisasi” di dunia Barat. Para ilmuwan
tidak lagi percaya dengan agama yang dianggap “membelenggu” kemajuan
ilmu pengetahuan. Kepercayaan agama luntur karena dianggap tidak
mendukung pertumbuhan ilmu dan cara berpikir yang ilmiah. Oleh sebab
saatnya kini kita tidak perlu mengulang lagi sejarah kelabu pertentangan
antara ilmu dan agama (ilmuwan dan agamawan) yang akan melahirkan
sekularisasi. Harus ada sinergi dan integrasi antara ilmu dan agama.
Kecenderungan untuk memaksakan nilai-nilai moral secara dogmatik ke
dalam argumentasi ilmiah menurut Jujun (1986: 4) hanya akan mendorong
ilmu surut ke belakang (set back) ke zaman Pra-Copernicus dan
mengundang kemungkinan berlangsungnya inquisi ala Galileo (1564-1642 M)
pada zaman modern ini. Begitu juga sebaliknya penulis berkeyakinan, bahwa
kecenderungan mengabaikan nilai-nilai moral dalam pengembangan ilmu dan
teknologi juga akan menjadikan dishumanisme. Di sinilah perlunya paradigma
integralisme dan desekularisasi tadi. Lebih dari itu dalam era modern dan
globalisasi ini, kita perlu mengembangkan ilmu agama Islam pada wilayah
praksis, bagaimana ilmu-ilmu agama Islam mampu memberikan kontribusi
yang paling berharga bagi kepentingan kemanusiaan sebagaimana yang
pernah dilakukan oleh ilmuwan-ilmuwan Muslim sebelumnya. Berpadunya
aspek idealisme dan realisme atau rasionalisme dan empirisme dalam
paradigma keilmuan Islam perlu dikembangkan. Karena menurut pengamatan
Amin Abdullah (1992:16), selama ini ruang lingkup filsafat Islam lebih
cenderung menitikberatkan pada aspek ontologis dan aksiologis ketimbang
epistemologisnya. Dan epistemologi yang dibangunnya memenangkan
epistemologi Plato/ Platonisme yang rasionalistik-normatif seperti yang
nampak dalam dominasi kalam dan sufisme, katimbang empirisme-historis
Aristoteles. Kini saatnya kita harus membangun kultur akademik dan
keilmuan yang inklusif dan inovatif serta mengorientasikan pada kehidupan
yang bersifat praksis. Kemudian kita juga perlu menciptakan kesadaran untuk
berlaku objektif (willingness to be objective). Sikap ini  penting, sebab
objektivitas merupakan  ciri ilmiah. Sikap demikian harus dimiliki oleh seorang
ilmuwan. Menurut Archi J. Bahm (1980: 4-9) sikap objektif harus memenuhi
syarat-sayarat diantaranya: 1) memiliki sifat rasa ingin tahu terhadap apa
yang diselidiki untuk memperoleh pemahaman sebaik mungkin; 2) bisa
menerima perubahan (fleksibel, terbuka), artinya jika objeknya berubah, maka
seorang ilmuwan mau menerima perubahan tersebut;  3) berani menanggung
resiko kekeliruan. Oleh sebab itu trial and error merupakan karakteristik dari
seorang ilmuwan; 4) tidak mengenal putus asa, artinya gigih dalam mencari
objek atau masalah, hingga mencapai pemahaman secara maksimal; 5)
terbuka, artinya selalu bersedia menerima kritik dan saran ilmuwan lain
secara lapang dada. Adanya anggapan, bahwa pendidikan Islam masih
merupakan subsistem dari sistem pendidikan secara umum haruslah dilihat
dalam kapasitas rancang bangun bagi para pakar pendidikan Islam untuk
melakukan rekonstruksi pendidikan Islam tersebut. Apa sebenarnya konsep
pendidikan Islam untuk mengantisipasi masa depan? B. Antisipasi Masa
Depan Merumuskan konsep pendidikan Islam memang bukanlah pekerjaan
yang ringan, sebab rumusan tersebut harus mengkaitkan Islam sebagai
disiplin ilmu. Dalam upaya merekonstruksi pendidikan Islam, kita perlu
memperhatikan prinsip-prinsip pendidikan Islam, yang meliputi: (1) pendidikan
Islam merupakan bagian dari sistem kehidupan Islam, yaitu suatu proses
internalisasi dan sosialisasi nilai-nilai moral Islam melalui sejumlah informasi,
pengetahuan, sikap, perilaku dan budaya, (2) pendidikan Islam merupakan
sesuatu yang integrated artinya mempunyai kaitan yang membentuk suatu
kesatuan yang integral dengan ilmu-ilmu yang lain, (3) pendidikan Islam
merupakan life long process sejak dini kehidupan manusia, (4) pendidikan
Islam berlangsung melalui suatu proses yang dinamis, yakni harus mampu
menciptakan iklim dialogis dan interaktif antara pendidik dan peserta didik, (5)
pendidikan Islam dilakukan dengan memberi lebih banyak mengenai pesan-
pesan moral pada peserta didik. Prinsip-pinsip di atas akan membuka jalan
dan menjadi fondasi bagi terciptanya konsep pendidikan Islam. Dengan
tawaran prinsip inilah, konsep pendidikan Islam lebih pas apabila diletakkan
dalam kerangka pemahaman, bahwa pendidikan Islam adalah pendidikan
menurut Islam, bukan pendidikan tentang Islam. Pendidikan Islam hendaknya
bukan saja berusaha meningkatkan kesadaran beragama, melainkan juga
untuk melihat perubahan-perubahan sosial dalam perspektif transedental,
dan menempatkan iman sebagai sumber motivasi perkembangan dalam
menyelami dan menghayati ilmu pengetahuan modern (Soedjatmoko, 1987).
Ini  berarti bahwa dalam proses pendidikan Islam terkandung upaya
peningkatan kemampuan mengintegrasikan akal dengan nurani dalam
menghadapi masalah perubahan sosial. Dengan begitu diharapkan
pendidikan Islam dapat memenuhi fungsi yang luhur dalam menghadapi
perkembangan sosial, apabila dalam proses belajar-mengajar menggunakan
pola pengajaran innovative learning, yakni: (1) berusaha memupuk motivasi
yang kuat pada peserta didik untuk mempelajari dan memahami kenyataan-
kenyataan sosial yang ada, (2) berusaha memupuk sikap berani menghadapi
tantangan hidup, kesanggupan untuk mandiri dan berinisiatif, peka terhadap
kepentingan sesama manusia dan sanggup bekerja secara kolektif dalam
suatu proses perubahan sosial.   Dalam al-Qur’an Allah berfirman, “Hai
orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dan hendaknya setiap
orang memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok” (QS. Al-
Hasyr: 18). Pesan Tuhan ini bisa dipahami bahwa untuk menuju kemasa
depan yang lebih baik, seseorang haruslah memperhatikan apa yang telah
dan sedang terjadi di masyarakat. Tentu ini terkait dengan upaya menyadap
sebanyak mungkin informasi, kemudian menganalisisnya. Heteroginitas
informasi yang telah disadap yang kemudian ditindaklanjuti dengan
pengolahan dan interpretasi akan menumbuhkan kemampuan berpikir secara
holistik dan integratif. Bila kemampuan ini telah dimiliki seseorang, maka
untuk mengantisipasi perubahan yang menumbuhkan kesadaran internal dan
ketrampilan memecahkan masalah bukannya sesuatu yang memberatkan.
Adalah bukan tidak mungkin, bahwa persoalan informasi mempunyai korelasi
akseptabilitas dengan dunia pendidikan (baca:pendidikan Islam), bahkan
dengan fungsi informasi, pendidikan Islam akan mampu mengimbangi
kemajuan zaman. Korelasi ini terletak pada persoalan substansi materi
pendidikan Islam itu sendiri. Dalam spektrum yang lebih makro, seberapa
jauh alih nilai moral mampu membekali peserta didik untuk menghadapi
sekaligus memecahkan persoalan secara proporsional sekaligus mampu
mengembangkan budaya religius. Spektrum tersebut menuntut peran
pendidik (guru, dosen) untuk mampu tampil lebih profesional di hadapan
peserta didik dengan menyertakan menu-menu materi yang bersifat
kontekstual, dinamis dan berorientasi ke masa depan. Semua ini akan
didapatkan jika tradisi menyadap banyak informasi menjadi tuntutan setiap
saat bagi para pendidik. Pendidikan sebagai proses penyiapan peserta didik
agar memiliki kemampuan mengantisipasi persoalan hari ini dan esok harus
dilihat dari dimensi informasi. Dengan kata lain, kemampuan tersebut akan
dicapai hanya melalui intensitas mencari, mengolah dan mengintepretasikan
informasi. Menguasai informasi hari ini berarti mampu menguasai informasi
hari esok. Menguasai permasalahan hari ini berarti menguasai permasalahan
hari esok. Sekarang dan esok sebenarnya bersifat saling berkaitan dan
merupakan jaringan-jaringan masalah yang kompleks meski dengan tingkat
kompleksitas yang beragam. Dengan gelombang informasi, maka proses
belajar-mengajar akan terhindar dari diskontinuitas kesejarahan dan sistem
nilai dalam pendidikan kemarin, sekarang dan esok. Sehingga pendidikan
sebagai alih nilai (transfer of value) tidak hanya memberi materi sesuai
dengan program of studies yang ada dalam jadwal kelas, tetapi yang lebih
penting adalah bagaimana mengkondisikan lingkungan yang memungkinkan
dirinya secara optimal dan menjadi berkualitas tinggi sesuai tuntutan zaman.
Adalah benar apa yang dideskripsikan oleh H.A.R Gibb (seperti yang dikutip
Abdussalam, 1983: 17), bahwa tumbuh suburnya sains dalam masyarakat
Islam lebih banyak tergantung pada dukungan penguasa. Di mana
masyarakat Islam mengalami kemunduran, di situ sains kehilangan vitalitas
dan kekuatan. Tetapi selama di salah satu negara masih terdapat penguasa
yang masih memberi dukungan pada sains, maka obor ilmu akan tetap
menyala. Jika tidak maka akan terjadi kemerosotan intelektual. Indikasi dari
situasi ini nampak dalam peristiwa peledakan observatorium bintang di
Istambul oleh meriam-meriam angkatan laut atas perintah Sultan Murad III
pada abad ke-16, dengan alasan bahwa tugas observatorium untuk
mengoreksi jadwal astronomi Ulugh Beg telah selesai, yang lantas dianggap
tidak perlu lagi (Abdussalam, 1983 : 17). Pertanyaan selanjutnya adalah,
dapatkah kita memimpin kembali di bidang sains? Dengan optimis
Abdussalam menjawab, bisa! asalkan katanya, masyarakat secara
keseluruhan, terutama generasi mudanya, bersedia menerima kenyataan
sebagai tujuan yang diidam-idamkan. Generasi muda harus didorong untuk
berpikir ilmiah, mengejar sains dan teknologi dengan menggunakan satu
sampai dua persen Pendapatan Nasional untuk kepentingan penelitian dan
pengembangan, paling sedikit sepersepuluhnya. Hal demikian telah dilakukan
oleh Jepang ketika revolusi Maiji. Kaisar Jepang bersumpah akan mencari
ilmu pengetahuan dari manapun datangnya meski dari sudut bumi ini. Hal
yang sama juga dilakukan oleh Uni Sovyet empat puluh tahun lalu, ketika
Akademi Ilmu Pengetahuan berambisi untuk unggul dalam sains. Dan
langkah ini pula lah yang ditiru secara berencana oleh RRC yang hendak
bersaing dengan Inggris Raya (Abdussalam, 1983 : 19 – 20). Persoalan sains
dan teknologi begitu pentingnya, hingga Sultan Takdir Alisyahbana (1992)
menghimbau, untuk menghadapi masa depan umat manusia, bangsa
Indonesia harus meningkatkan kemampuan sains dan teknologi, dengan jalan
menyediakan dana sebanyak mungkin untuk mengirimkan generasi muda ke
luar negeri, ke pusat-pusat ilmu pengetahuan. Dan cara lain menurut Takdir
adalah menterjemahkan karya-karya sains dan dan teknologi tersebut. Dia
mencontohkan ketika Jepang belum maju seperti sekarang, mereka berusaha
menterjemahkan buku-buku berbahasa asing. Sejak 150 tahun yang lalu
orang Jepang sudah melakukan penterjemahan sekitar 2000 hingga 2500
buku setiap tahunnya. Dan sekarang Malaysia sudah mampu mengirimkan
mahasiswanya ke luar negeri sekitar 7000 setiap tahun. Jalan lain untuk
menumbuhkan budaya ilmu pengetahuan dan teknologi adalah menjadikan
kampus sebagai pusat riset dan pengembangan ilmiah.

C. Tanggungjawab Ilmuwan Muslim

Masalah sentral yang perlu segera digarap, menyangkut angkatan muda di


dunia Islam menurut Hussein Nasr (1989 : 6) adalah: Pertama, bagaimana
memberikan bekal yang cukup untuk mereka, bagaimana memahamkan
pesan-pesan Islam secara tepat dan benar; kedua, memberikan pengertian
kepada mereka betapa kaya khazanah intelektual dan tradisi spiritual Islam.
Jangan membiarkan mereka terperangkap oleh slogan dan gelombang
peradaban Barat yang sekuler. Dengan kata lain kita berharap untuk bisa
mencetak generasi pemikir Islam yang handal yang memiliki wawasan luas
dan jauh ke depan, bukan generasi yang jumud dan fantastis. Kita telah
memiliki tradisi keilmuan yang sudah berusia 14 abad, yang berisi ajaran-
ajaran komprehensif tentang bagaimana kita harus berhubungan dengan
Tuhan (teologis), dengan sesama manusia dan juga alam semesta
(antropologis-kosmologis). Tradisi keilmuan dengan bimbingan wahyu harus
dihidupkan kembali untuk menjawab tantangan modernitas. Umat Islam
dengan pandangan dunianya sendiri kata Anees (1991: 83), memiliki dua
tanggung jawab. Pertama, membuat dan menghasilkan dasar ilmunya sendiri,
yang merupakan sebuah sistem untuk menghasilkan pengetahuan pribumi
yang organis; kedua, tanggung jawab moral terhadap umat manusia dan
alam untuk menjamin bahwa keduanya berada pada kondisi kesejahteraan
material dan spritual yang terbaik. Sebagaimana kata Syah Idris (dalam
Budiman, 1988: 12–13), bahwa baik pakar ilmu pengetahuan alam maupun
sosial muslim sama-sama dibebani kewajiban untuk merumuskan konsep
sains yang baru dan radikal. Tugas tersebut menurut Idris adalah: Pertama,
menunjukkan eksistensi Allah SWT bukan semata-mata sebagai masalah
keimanan yang taken for granted, tetapi juga fakta yang kebenarannya dapat
dibuktikan secara rasional; kedua, memikirkan konsekuensi praktis dari
pandangan tentang sains yang lebih menyeluruh dan lebih luas. Setiap ahli
dibebani untuk melakukan revisi atas sains berdasarkan spesialisasi masing-
masing. Jika kita berhasil melakukan upaya tersebut, maka kita dapat
membuktikan bahwa sains Islam memiliki landasan yang kokoh dan memiliki
kebenaran yang dapat dibuktikan secara rasional. Karena ilmuwan Muslim
sebagai pewaris Nabi (waratsat al-anbiya'), maka ia memiliki tugas dan
tanggung jawab yang besar. Tugas ilmuwan muslim tersebut menurut penulis
adalah: Pertama, sebagai saksi (terhadap perbuatannya sendiri maupun
orang lain). Sebagai saksi ia dituntut untuk adil dan jujur; kedua, penyeru ke
jalan Allah dan petunjuk ke jalan yang benar, amar ma'ruf nahi munkar (lihat
QS. Al-Ahzab: 45–46); ketiga, sebagai khalifah Allah di bumi. Karena sebagai
hamba yang dipercayai oleh Tuhan, maka ia harus bertanggung jawab atas
amanat yang dipikulkan. Dalam Islam, startegi pengembangan ilmu juga
harus didasarkan pada perbaikan dan kelangsungan hidup manusia untuk
menjadi khalifah di bumi dengan tetap memegang amanah besar dari Allah
SWT. Oleh sebab itu ilmu harus selalu berada dalam kontrol iman. Ilmu dan
iman menjadi bagian yang integral dalam diri seseorang, sehingga dengan
demikian teknologi sebagai produk dari ilmu akan menjadi sesuatu yang
bermanfaat bagi manusia di sepanjang masa. Dan inilah yang mesti menjadi
tanggung jawab ilmuwan muslim dalam mengembangkan ilmu. Kini kita harus
berpikir terus tentang kelangsungan perkembangan ilmu, lebih-lebih ilmu
sebagai proses yang menggambarkan aktivitas manusia dan masyarakat
ilmiah yang sibuk dengan kegiatan penelitian, eksperimentasi, ekspidisi dan
seterusnya untuk menemukan sesuatu yang baru. Formulasi-formulasi yang
telah diperkenalkan oleh para ilmuwan pendahulu kita hendaknya
diaktualisasikan untuk kemudian dikembangkan lebih lanjut, atau bahkan
perlu improvisasi. Oleh sebab itu proses pendidikan tak boleh tidak harus
digalakkan terus dalam berbagai disiplin ilmu. Proses pendidikan inilah yang
oleh Islam selalu ditekankan (lihat, Q.S Ali Imran: 190), dan belajar terus
menerus sepanjang hidup (life long-education ) seperti yang disebut dalam 
kata hikmah uthlub al-'Ilma min al-mahdi ila 'l-lahdi, carilah ilmu dari buaian
hingga ke liang kubur.   D. Kesimpulan Pengembangan pendidikan agama
Islam memerlukan upaya rekonstruksi pemikiran kependidikan dalam rangka
mengantisipasi setiap perubahan yang terjadi: pertama, subject
matter pendidikan Islam harus berrientasi  ke masa depan;  kedua, perlu
dikembangkan sikap terbuka bagi transfer of knowledge dan kritsis terhadap
setiap perubahan; ketiga menjauhkan pandangan dikotomis terhadap ilmu
(ilmu agama dan ilmu umum), tidak terjebak pada kategori-kategori yang
saling bertolak belakang. Kategori-kategori atau dikotomi-dikotomi itu harus
disikapi secara terbuka dan dipikirkan secara dialektis. Karena “agama” dan
“ilmu” merupakan entitas yang menyatu (integral) tak dapat dipisahkan satu
sama lain. Setiap diskursus tentang metodologi memerlukan sentuhan-
sentuhan filsafat. Tanpa sense of philosophy maka sebuah metodologi akan
kehilangan substansinya. Metodologi Studi Islam (MSI) perlu visi
epistemologis yang dapat menjabarkan secara integral dan terpadu terhadap
tiga arus utama dalam ajaran Islam: aqidah, syari’ah dan akhlaq.
Kecenderungan untuk memaksakan nilai-nilai moral secara dogmatik ke
dalam argumentasi ilmiah hanya akan mendorong ilmu surut ke belakang (set
back) ke zaman Pra-Copernicus dan mengundang kemungkinan
berlangsungnya inquisi ala Galileo (1564-1642 M) pada zaman modern ini.
Begitu juga sebaliknya bahwa kecenderungan mengabaikan nilai-nilai moral
dalam pengembangan ilmu dan teknologi juga akan menjadikan
dishumanisme. Di sinilah perlunya
paradigma integralisme dan desekularisasi terhadap ilmu. Lebih dari itu
dalam era modern dan globalisasi ini, kita perlu mengembangkan ilmu agama
Islam pada wilayah praksis, bagaimana ilmu-ilmu agama Islam mampu
memberikan kontribusi yang paling berharga bagi kepentingan kemanusiaan
sebagaimana yang pernah dilakukan oleh ilmuwan-ilmuwan Muslim
sebelumnya.
DAFTAR PUSTAKA
    Abdullah, Amin. 1992.  Aspek Epistemologi Filsafat Islam, makalah,
Yogyakarta: IAIN.   Abdussalam .1983. Sains dan dunia Islam, terj. Baiquni,
Bandung: pustaka.   Al-Qardhawi, Yusuf. 1989. Ar-Rasul wal 'ilm, terjemahan,
Kamaluddin A. Marzuki, Bandung, CV. Rosda. Anees, Munawar Ahmad.
1991. “Menghidupkan Kembali Ilmu” dalam Al-Hikmah, Juranal Studi-studi
Islam, Juli-Oktober, Bandung: Yayasan Mutahhari. Asy’ary,  Musa.
2002. Filsafat Islam: Sunnah Nabi dalam Berpikir. Yogyakarta: LESFI.  
Departemen Agama RI.  1989. Al-Qur'an dan Terjemahannya, Jakarta.   Fay,
Brian. 1996. Contemporary Philosophy of Social Science. Blackwell
Publishers, Oxford Kuntowijoyo. 1991. Paradigma Islam: Interpretasi untuk
Aksi, Bandung: Mizan.   Nasr, Seyed Hussein.1989. "Masa Depan Islam",
dalam Inovasi, Yogyakarta, UMY   Nursamad (tt). Epistetemologi Ilmu Islam,
makalah.   Soeriasumantri, Jujun S. 1986. Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar
Populer, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.   Soedjatmoko. 1987. Etika
Pembebasan, Jakarta: LP3ES. Wibisono, Koento. 1988. Beberapa Hal
Tentang Filsafat Ilmu: Sebuah Sketsa Umum Sebagai Pengantar Untuk
Memahami Hakekat Ilmu dan Kemungkinan Pembangunannya, Yogyakarta:
IKIP. Zainuddin, M. 2003. Filsafat Ilmu: Perspektif Pemikiran Islam. Malang,
Bayumedia. -----------------. 2002, “Reformasi Perguruan Tinggi (Bukan Lagi
Berorientasi Bisnis)” dalam Jawa Pos, Kamis 15 Agustus.   Jurnal dan Surat
Kabar: Harian Pelita, 3 Agustus1992. Jurnal Studi Islam, Juli-Oktober
Bandung, Yayasan Muthahhari, 1991. Jurnal Komunikasi Perguruan
Tinggi, Perta, 2002.  

(Author)

Berita Terkait
MAHASISWA ANGKATAN 2019 MENINGGALKAN MA’HAD

SELEKSI DARING JALUR BEASISWA TELADAN


SELEKSI ONLINE PENERIMAAN MABA JALUR BEASISWA
TELADAN UIN MALIKI MALANG

KATA DIRJEN DIKTI TENTANG KONSEP KAMPUS


MERDEKA
FAKULTAS

 Ilmu Tarbiyah Dan Keguruan



o Pendidikan Agama Islam
o Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial
o Pendidikan Guru Madrasah Ibtidaiyah
o Pendidikan Bahasa Arab
o Pendidikan Islam Anak Usia Dini
o Manajemen Pendidikan Islam
o Tadris Bahasa Inggris
o Tadris Matematika
o Magister Pendidikan Agama Islam
o Magister Pendidikan Matematika
o Doktor Pendidikan Agama Islam Berbasis Studi Interdisipliner
 Syariah

o Hukum Keluarga Islam
o Hukum Ekonomi Syari'ah
o Hukum Tata Negara
o Ilmu Al-Qur'an Dan Tafsir

FAKULTAS

 Humaniora

o Bahasa Dan Sastra Arab
o Sastra Inggris
 Psikologi

o Psikologi
o Magister Psikologi
 Ekonomi

o Manajemen
o Akuntansi
o Perbankan Syari'ah

FAKULTAS

 Sains Dan Teknologi



o Matematika
o Biologi
o Kimia
o Fisika
o Teknik Informatika
o Teknik Arsitektur
o Perpustakaan Dan Sains Informasi
o Magister Biologi
o Magister Informatika
 Kedokteran Dan Ilmu Kesehatan

o Pendidikan Dokter
o Profesi Dokter
o Farmasi

PASCASARJANA

 Pascasarjana

o Magister Manajemen Pendidikan Islam
o Magister Pendidikan Bahasa Arab
o Magister Studi Ilmu Agama Islam
o Magister Pendidikan Guru Madrasah Ibtidaiyah
o Magister Al-Ahwal Al-Syakhshiyyah
o Magister Ekonomi Syariah
o Doktor Manajemen Pendidikan Islam
o Doktor Pendidikan Bahasa Arab

LEMBAGA DAN UNIT

 Lembaga Penelitian Dan Pengabdian Kepada Masyarakat (LP2M)


 Lembaga Penjaminan Mutu (LPM)
 Pusat Perpustakaan
 Digital Library
 Pusat Teknologi Informasi Dan Pangkalan Data
 SPI
 Pusat Bahasa
 Pusat Ma'had Al-Jami'ah
 Pusat Pengembangan Bisnis
 Informasi Publikasi
 Bagian Umum
 Bagian Akademik
 Bagian Kerjasama
 Kemahasiswaan

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI


MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG
Jalan Gajayana No. 50 Malang 65144
Telp: +62-341 551-354 | Email : info@uin-malang.ac.id

     

Copyright © UIN Maulana Malik Ibrahim Malang 2017


close

devices Visit Website

keyboard_arrow_up

Anda mungkin juga menyukai