Anda di halaman 1dari 15

Epistemologi Ilmu Pendidikan Islam

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah


Filsafat Ilmu Pendidikan Islam

Dosen Pengampu:
Prof. Dr. H. Akhyak, M.Ag.
Dr. Khoirul Anam, M.Pd.I

Disusun Oleh :
1. Anis Mufarohah (1880506230002)
2. Rina Miftakhul Janah (1880506230009)
3. Faza Jayyidal Fikri R (1880506230020)

PROGRAM STUDI
MAGISTER PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
PASCASARJANA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)
SAYYID ALI RAHMATULLAH TULUNGAGUNG
NOVEMBER 2023
A. PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Berbicara tentang pendidikan Islam lazimnya memunculkan
gambaran yang memilukan dalam pikiran tentang ketertinggalan,
kemunduran, dan arah tujuan yang tidak jelas. Hal ini muncul manakala
pendidikan Islam dihadapkan dengan modernisasi dan globalisasi yang
ditandai dengan kemajuan sains Barat, di samping ketika dikaitkan
dengan kenangan masa kejayaan Islam di masa lalu. Sejarah mencatat
bahwa peradaban Islam pernah menjadi kiblat ilmu pengetahuan dunia
sekitar abad ke-7 sampai abad ke-15. Setelah itu, masa keemasan itu
mulai melayu, statis, bahkan mundur hingga abad ke-21 ini.1
Sebagai agen peradaban dan perubahan sosial, pendidikan Islam
berada dalam atmosfir modernisasi dan globalisasi dituntut untuk mampu
memainkan perannya secara dinamis dan proaktif. Keberadaannya
diharapkan mampu memberikan kontribusi dan perubahan positif yang
berarti bagi perbaikan dan kemajuan peradaban umat islam, baik pada
dataran intelektual teoritis maupun praktis. Pendidikan Islam bukan
hanya sekedar proses transformasi nilai-nilai moral untuk membentengi
diri dari akses negatif globalisasi dan modernisasi. Tetapi yang paling
urgen adalah bagaimana nilai-nilai moral yang telah ditanamkan lewat
pendidikan Islam tersebut mampu berperan aktif sebagai generator yang
memiliki pawer pembebas dari tekanan dan himpitan keterbelakangan
sosial budaya, kebodohan, ekonomi dan kemiskinan di tengah mobilitas
sosial yang begitu cepat.
Sebagai agen peradaban dan perubahan sosial, pendidikan Islam
berada dalam atmosfir modernisasi dan globalisasi dituntut untuk mampu
memainkan perannya secara dinamis dan proaktif. Keberadaannya
diharapkan mampu memberikan kontribusi dan perubahan positif yang
berarti bagi perbaikan dan kemajuan peradaban umat islam, baik pada
dataran intelektual teoritis maupun praktis. Pendidikan Islam bukan
hanya sekedar proses transformasi nilai-nilai moral untuk membentengi
1
Syamsul Maarif, Revitalisasi Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2007), hal.
18.

2
diri dari akses negatif globalisasi dan modernisasi. Tetapi yang paling
urgen adalah bagaimana nilai-nilai moral yang telah ditanamkan lewat
pendidikan Islam tersebut mampu berperan aktif sebagai generator yang
memiliki pawer pembebas dari tekanan dan himpitan keterbelakangan
sosial budaya, kebodohan, ekonomi dan kemiskinan di tengah mobilitas
sosial yang begitu cepat.
Kehadiran pendidikan Islam jika ditinjau dari kelembagaan
maupun dari nilai-nilai yang ingin dicapainya masih memenuhi tuntutan
yang bersifat formalitas dan bukan sebagi tuntutan yang bersifat
substansial, yakni tuntutan untuk menelorkan pribadipribadi aktif
penggerak sejarah dan pemain gesit-tangkas pelopor dan produsen
peradaban Islam dimasa mendatang.
Sementara itu, pendidikan Islam dalam perkembangannya
memunculkan dua pola pikiran yang kontradiktif. Keduanya memiliki
bentuk yang berbeda, baik pada aspek materi, sistem pendekatan,maupun
dalam bentuk kelembagaannya. Hal itu merupakan akumulasi dari respon
sejarah pemikiran manusia dari masa ke masa terhadap adanya kebutuhan
akan pendidikan. Dua model pikiran itu adalah pendidikan Islam
tradisional dan pendidikan Islam modernis. Pendidikan islam
tradisionalis lebih menekankan pada aspek doktriner normatif yang
cenderung eksklusif-literalis, dan apologis. Sedangkan pendidikan Islam
modernis yang lebih menekankan pada daya pemikiran kritis yang lama-
kelamaan terlihat mulai kehilangan identitas keislamannya atau ruh-ruh
mendasar islamnya. Ketertinggalan pendidikan Islam -salah satunya-
juga dikarenakan oleh terjadinya penyempitan terhadap pemahaman
pendidikan Islam yang hanya berkisar pada aspek kehidupan ukhrawi
yang terpisah dengan kehidupan duniawi, atau aspek kehidupan rohani
yang terpisah dengan kehidupan jasmani. Dengan kata lain pendidikan
Islam masih memisahkan antar akal dan wahyu, ayat qouliyah dan ayat
kauniyah serta pikir dan zikir. Hal ini menyebabkan adanya
ketidakseimbangan paradigmatik, yaitu kurang berkembangnya konsep
humanisme religius dalam dunia pendidikan Islam, yang disebabkan

3
karena pendidikan Islam lebih berorientasi pada konsep abdullah
(manusia sebagai hamba), ketimbang sebagai konsep khalifatullah
(manusia sebagai khalifah Allah).
Semua faktor kelemahan tradisi ilmiah di kalangan umat Muslim,
dan problematika yang komplek terjadi dalam pendidikan Islam,
menyebabkan pendidikan Islam selalu berada dalam ketertinggalan, dan
secara teoretis tidak akan mampu memberikan jawaban terhadap tuntutan
liberalis dan humanisasi. Oleh karena itu, keterlanjuran krisis ini hemat
penulis jangan hanya dilihat dalam prespektif negatif, tetapi harus dilihat
dalam kaca mata dinamika ilmu pengetahuan Islam, dengan jalan
merekonstruksi bangunan epistemologi yang masih menggunakan
paradigma yang lama untuk diganti dengan paradigma yang baru sesuai
dengan konteks (kebutuhan) sekarang atau kekinian. Asumsi inilah untuk
diungkapkan berbagai permasalahan dalam pendidikan Islam,
epistemologi pendidikan Islam, dan kemudian dicarikan alternatif baru
reformasi pemikiran epistemologis yang tentunya lebih realistis, inovatif,
tegas dan dinamis.
2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas penulis merumuskan beberapa
rumusan masalah sebagai berikut:
a. Bagaimana pengertian epistemologi pendidikan Islam?
b. Bagaimana peran dan fungsi epistemologi pendidikan Islam?
c. Bagaimana metode epistemologi pendidikan Islam?

B. PEMBAHASAN
1. Pengertian Epistemologi Pendidikan Islam
Secara etimologi, kata epistemologi berasal dari bahasa Yunani
yang berarti teori ilmu pengetahuan. Epistemologi merupakan gabungan
dua kata episteme berarti pengetahuan dan logos yang berarti teori, uraian
atau ulasan.2 Azyumardi Azra menyatakan bahwa epistemologi sebagai
ilmu yang membahas tentang keaslian, pengertian, struktur, metode dan
2
Abdul Aziz, Filsafat Pendidikan Islam, Sebuah Gagasan Membangun Pendidikan Isam,
(Surabaya: Elkaf, 2006), hal. 71.

4
validitas ilmu pengetahuan.3 Epistemologi adalah teori pengetahuan yang
membahas tentang bagaimana cara mendapatkan pengetahuan dari objek
yang dipikirkan. Selain itu ada pula yang mengartikan epistemologi
sebagai cabang filsafat yang berurusan dengan hakikat dan lingkup
pengetahuan dan pangandai-pengandaiannya.4 Jadi, epistemologi adalah
sebuah ilmu yang mempelajari tentang hal-hal yang bersangkutan dengan
pengetahuan dan dipelajari secara substansif.
Sebenarnya jika membahas mengenai epistemologi ilmu
pengetahuan, dapat dikatakan bahwa hal itu terjadi suatu kerancuan
karena epistemologi adalah teori ilmu pengetahuan. Namun karena
epistemologi sudah menjadi kata yang akrab dalam bahasa Indonesia
maka epistemologi ilmu pengetahuan sama halnya dengan pengertian
epistemologi yaitu suatu cabang filsafat yang mempelajari hal-hal yang
bersangkutan dengan ilmu pengetahuan yang dipelajari secara substantif
yang meliputi sumber ilmu pengetahuan, hakikatnya dan lain-lain.
Sedangkan menurut Zakiyah Darajat, pendidikan Islam adalah
sikap pembentukan manusia yang lainnya berupa perubahan sikap dan
tingkah laku yang sesuai dengan petunjuk agama Islam.5 Menurut Abdul
Mujib, pendidikan Islam adalah proses transinternalisasi pengetahuan
dan nilai Islam kepada peserta didik melalui upaya pengajaran,
pembiasaan, bimbingan, pengasuhan, pengawasan dan pengembangan
potensinya guna mencapai keselarasan dan kesempurnaan hidup di dunia
dan akhirat.6 Pendidikan Islam adalah upaya sengaja untuk
memberdayakan segenap potensi manusia sesuai dengan nilai-nilai ajaran
Islam. Selain itu, pendidikan Islam juga dapat diartikan sebagai sebuah
sistem yang di dalamnya terdapat berbagai komponen yang saling
berhubungan yang didasarkan pada ajaran Islam. Komponen pendidikan
meliputi visi, misi, tujuan, sasaran, kurikulum, proses belajar mengajar,
3
Azyumardi Azra, Pendidikan Islam Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru,
(Jakarta:Logos Wacana Ilmu, 1999), hal. 114.
4
Ari Dwi Haryono dan Qurroti A’yuni, Pendidikan Dasar Islam, (Malang;Bani Hasyim
Press, 2010), hal. 69-70.
5
Zakiyah Darajat, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1992), hal. 25.
6
Jusuf Mudzakkir dan Abdul Mujib, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kencana Prenada
Media, 2006), hal. 27-28.

5
tenaga pendidik dan kependidikan, mutu lulusan, sarana prasarana,
pembiayaan, pengelolaan, lingkungan, dan evaluasi pendidikan.7
Epistemologi pendidikan Islam meliputi pembahasan yang
berkaitan dengan seluk beluk pengetahuan pendidikan Islam, mulai dari
hakikat pendidikan Islam, asal usul pendidikan Islam, sumber pendidikan
Islam, metode membangun pendidikan Islam, unsur pendidikan Islam,
sasaran pendidikan Islam, macam-macam pendidikan Islam dan
sebagainya. Epistemologi pendidikan Islam bukan hanya membahas
metode dan pendekatan untuk memperoleh pengetahuan tentang
pendidikan Islam, melainkan mencakup banyak aspek. Dengan demikian,
epistemologi pendidikan Islam adalah kajian filsafat yang membahas
tentang sumber pendidikan Islam, metode dan pendekatan dalam
menggunakan dan mengolah sumber tersebut, serta nilai atau manfaat
dari ilmu pendidikan Islam tersebut.
2. Peran dan Fungsi Epistemologi Pendidikan Islam
Dalam suatu cabang filsafat, epistemologi sangat penting untuk
diperhatikan, karena membahas mengenai sumber, proses, syarat, batas,
validitas dan hakikat pengetahuan.8 Ziaudin Sardar menegaskan bahwa
epistemologi berusaha memberi definisi ilmu pengetahuan, membedakan
cabang-cabang yang pokok, mengidentifikasi sumber dan batasan-
batasannya. Apa yang dapat diketahui dan bagaimana mengetahuinya
adalah masalah sentral epistemologi.9 Berikut beberapa peran
epistemologi dalam pendidikan Islam:
a. Melalui epistemologi, seseorang dapat mengetahui proses
tersusunnya suatu ilmu serta memiliki kemampuan untuk menemukan
dan menyusun ilmu. Epistemologi diharapkan dapat menumbuhkan
kesadaran bahwa jangan sampai seseorang puas dengan sekedar
memperoleh pengetahuan, tanpa disertai dengan cara atau bekal
untuk memperoleh pengetahuan, dan dengan cara demikian seseorang

7
Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 2013 tentang Standar Nasional Pendidikan.
8
Syamsul Maarif, Revitalisasi Pendidikan …, hal. 61.
9
Ziaudin Sardar, Jihad Intelektual, Merumuskan Parameter Sains Islam, (Surabaya:
Risalah Bhakti, 1998), hal. 32.

6
bukan hanya menjadi konsumen ilmu yang bersifat pasif, melainkan
menjadi produsen ilmu yang aktif, kreatif dan dinamis, serta tidak
hanya menjadi pengikut, melainkan menjadi seorang penemu.10
b. Melalui epistemologi, seseorang tidak lagi disuguhi sebuah ilmu yang
sudah jadi dan siap pakai, melainkan diberikan wawasan dan
pengalaman dalam mengkonstruksi sebuah ilmu. Untuk itu setiap
disiplin ilmu harus memiliki epistemologi. Kekokohan sebuah ilmu
selanjutnya ditentukan pula oleh kekokohan epistemologinya. Jika
dibandingkan dengan ilmu fiqh, maka epistemologi merupakan ushul
fiqih dan qawa’id fiqhiyah-nya.
Selain itu, epistemologi pendidikan Islam memiliki fungsi yang
sangat penting dalam menjaga kehormatan umat Islam. Epistemologi ini
bisa membangkitkan umat Islam untuk segera mencapai kemajuan ilmu
pengetahuan dan peradaban, mengingat epistemologi tersebut merupakan
media atau alat untuk menggali, menemukan, dan mengembangkan
pengetahuan. Diantara fungsi dari epistemologi pendidikn islam yaitu:
a. Mengembangkan pendidikan Islam secara konseptualdan aplikatif
Dalam kajian Islam, pendidikan Islam belum dikembangkan atas
kerangka epistemologinya yang jelas. Mujamil Qomari misalnya
mengatakan: Tidak terlalu berlebihan, jika dikatakan, bahwa hingga
sekarang ini belum ada sebuah tawaran konseptual mengenai
bangunan epistemologi pendidikan Islam sebagai sarana atau
pendekatan dalam mengembangkan pendidikan Islam. Hal ini berbeda
dengan hukum Islam (fiqh) di mana melalui ushul al-fiqh banyak
dikemukakan tawaran-tawaran konseptual tentang pendekatan-
pendekatan epistemologi fiqh seperti qiyas, maslahah mursalah,
istihsan, dan lain-lain.11
b. Pengeritik, pemberi solusi, penemu dan pengembang
Dengan epistemologi dapat menyadarkan peserta didik, bahwa
untuk mendapatkan ilmu pengetahuan diperlukan cara atau metode

10
Ari Dwi Haryono dan Qurroti A’yuni, Pendidikan Dasar …, 70-71.
11
Mujamil Qomari, Epistimologi Pendidikan Islam, dari Metode Rasional hingga Metode
Kritik, (Jakarta:Erlangga, 2005), hal. 207.

7
tertentu, sebab epistemologi menyajikan proses pengetahuan di
hadapan peserta didik dibandingkan dengan hasilnya. Epistemologi
dapat memberikan pemahaman dan keterampilan yang utuh dan
tuntas. Seseorang yang mengetahui proses sesuatu kegiatan, pasti akan
mengetahui hasilnya. Namun sebaliknya, orang yang tidak menguasai
epistemologi, akan banyak mengetahui sesuatu, tetapi tidak
mengetahui prosesnya.
Dalam kaitannya dengan pendidikan Islam, epistemologi
memiliki peran, pengaruh dan fungsi yang begitu besar, yaitu sebagai
penentu atau penyebab timbulnya akibat-akibat dalam pendidikan Islam.
Oleh sebab itu, jika terjadi berbagai kelemahan dan kemunduran dalam
pendidikan Islam, maka yang terlebih dahulu harus diperkuat adalah
epistomologinya. Kekokohan bangunan epistemologi melahirkan
ketahanan dan kekokohan pendidikan Islam dalam menghadapi pengaruh
apapun. Dengan demikian, dapat dikatakan, bahwa masa depan
pendidikan Islam sebetulnya dapat dipertaruhkan dengan kondisi
epistemologinya.
3. Metode Epistemologi Pendidikan Islam
Ada lima metode dalam epistemologi pendidikan Islam, yaitu:
a. Metode Rasional
Metode Rasional adalah metode yang dipakai untuk
memperoleh pengetahuan dengan menggunakan pertimbangan-
pertimbangan atau kriteria-kriteria kebenaran yang bisa diterima
rasio.12 Menurut metode ini sesuatu dianggap benar apabila bisa
diterima oleh akal, seperti sepuluh lebih banyak dari lima. Tidak ada
orang yang mampu menolak kebenaran ini berdasarkan penggunaan
akal sehatnya, karena secara rasional sepuluh lebih banyak dari lima.
Metode ini dipakai dalam mencapai pengetahuan pendidikan
Islam, terutama yang bersifat apriori. Akal memberi penjelasan-
penjelasan yang logis terhadap suatu masalah, sedangkan indera

12
Makki, Epistimologi Pendidikan Islam: Memutus Dominasi Barat Terhadap Pendidikan
Islam, “Al-Musanif, Jurnal Pendidikan Islam Dan Keguruan”, Vol. 1, No.2, Juli-Desember. 2019.
hal. 116.

8
membuktikan penjelasan-penjelasan itu. Penggunaan akal untuk
mencapai pengetahuan termasuk pengetahuan pendidikan Islam
mendapat pembenaran agama Islam. Teori-teori yang diformulasikan
oleh para ilmuwan Islam tidak banyak dipakai sebagai landasan dalam
membahas masing-masing disiplin ilmu karena dianggap masih kalah
oleh teori Barat. Bahkan yang paling berbahaya secara intelektual
adalah bahwa teori-teori Barat telah dianggap baku dan disakralkan
karena tidak pernah digugat.13
Teori-teori pendidikan Islam yang dirumuskan para pemikir
Islam zaman dahulu juga menjadi sasaran pencermatan kembali
dengan menggunakan metode rasional. Pendidikan Islam selama ini
secara sinis masih dianggap meniru pendidikan Barat. Jika
diperhatikan landasan pendidikan Islam berupa al-Qur’an dan Sunah,
maka seharusnya tidak ada lagi peniruan. Mekanisme kerja metode
rasional yang kesekian kali dalam mencapai pengetahuan pendidikan
Islam dilakukan dengan cara mengembangkan objek pembahasan.
Sebenarnya melalui metode rasional saja dapat diperoleh khazanah
pengetahuan pendidikan Islam dalam jumlah yang amat besar.
b. Metode Indera (Empirisme)
Dalam Islam metode empirisme ini bukan antitesa dari metode
rasional sebagaimana yang terjadi dalam epistemologi Barat. John
Locke sebagai pendiri gerakan empirisme menyatakan dengan tegas
bahwa tidak ada pengetahuan yang sampai kedalam otak kecuali
melalui pintu indera. Pendapat seperti ini mengajak kita menerima
pendapat yang mengatakan bahwa pengetahuan itu sama dengan
pengalaman.14
Panca indera memungkinkan kita mendapatkan pengalaman
inderawi, yakni secara fisik dan empiris. Hal ini, dapat membawa kita
kepada kebenaran. Kita dapat menghitung, mengetahui warna, juga
spesifikasi benda fisik di sekitar kita. Para ulama muslim pun, turut

13
Makki, Epistimologi Pendidikan Islam., hal. 117.
14
Hasan Langgulung, Asas-asas Pendidikan Islam, (Jakarta : PT Pustaka Al-Husna Baru,
2003), 302.

9
menyatakan bahwa panca indera adalah salah satu sarana atau saluran
yang menghasilkan pengetahuan bagi manusia. Dengan syarat, bahwa
panca indera (pendengar, penglihat, pencium, perasa, dan peraba)
tersebut dalam kondisi yang ‘sehat’; baik secara fisik maupun psikis
(akal) nya.
Tidak terlalu sulit melacak epistemologi pendidikan Islam
dengan corak empirisme ini. Para filosof Islam seperti al-Kindi, Ibnu
Sina, Ibnu Rusd, al-Ghozali adalah penganut rasionalisme dan
impirisme sekaligus. Hal itu bisa dibuktikan dari keahlian mereka
dalam bidang ilmu empiri seperti ; kedokteran, kimia, fisika,
astronomi dan lain-lain. Cara memperoleh pengetahuan empiris secara
umum melalui observasi dan eksperimen. Metode empirisme ini juga
dipakai untuk pendekatan riset “agama”, yaitu dalam ilmu
perbandingan agama.
c. Metode Intuitif
Metode intuitif merupakan metode yang khas dalam
epistemologi pendidikan Islam. Mengingat tradisi ilmiah Barat
menganggap metode tersebut tidak pernah diperlukan dalam
pengembangan ilmu pengetahuan. Sebaliknya di kalangan ilmuwan
muslim, intuisi sebagai satu metode yang sah dalam mengembangkan
pengetahuan, sehingga mereka telah terbiasa menggunakan metode ini
dalam menangkap pengembangan pengetahuan. Muhammad Iqbal
menyebut intuisi ini dengan peristilahan “cinta” atau kadang-kadang
disebut pengalaman kalbu.15
Dalam pendidikan Islam, pengetahuan intuitif ditempatkan
pada posisi yang layak. Pendidikan Islam sekarang menjadikan
manusia sebagai objek material, sedang objek formalnya adalah
kemampuan manusia. Pendidikan Islam secara spesifik terfokus untuk
mempelajari kemampuan manusia, baik berdasarkan wahyu,
pemberdayaan akal, maupun pengamatan langsung. Di kalangan
pemikir Islam, intuisi tidak hanya disederajatkan dengan akal dan

15
Makki, Epistemologi Pendidikan Islam…, hal. 117.

10
indera, melainkan lebih diistimewakan daripada keduanya. Sumber
pengetahuan tersebut dinamakan al-nubuwwat, yang pada nabi-nabi
berbentuk wahyu dan pada manusia biasa berbentuk ilham.16
Sebagai suatu metode epistemologi, intuisi itu bersifat netral.
Artinya ia bisa dimanfaatkan untuk mendapatkan berbagai macam
pengetahuan. Hakikat intuisi menurut Al-Tahawuny, bisa bertambah
dan berkurang. Bila kita mengamati pengalaman kita sehari-hari
tampaknya ada perbedaan frekuensi intuisi muncul dalam rentang
waktu tertentu. Adakalanya dalam waktu yang berurutan muncul
beberapa kali, tetapi terkadang dalam waktu yang lama juga tidak
kunjung tiba. Akal adalah suatu substansi rohaniah yang melihat
pemahaman yang kita sebut hati atau kalbu, yang merupakan tempat
terjadinya intuisi. Penggunaan akal dan intuisi secara integral dapat
memberikan kontribusi yang cukup besar terhadap pengembangan
metode-metode yang dipakai menggali pengetahuan. Metode
interpretasi misalnya, ia diyakini akan tumbuh dan berkembang
melalui pemanfaatan metode-metode yang menggunakan akal dan
intuisi. Intuisi itu bisa didatangkan untuk memberikan pencerahan
konsentrasi, kontemplasi, dan imajinasi. Sebaiknya kita memiliki
tradisi ketiganya ini dalam mengembangkan atau menyusun konsep
pendidikan Islam yang bisa dipertanggung jawabkan secara ilmiah di
hadapan kriteria ilmu pengetahuan dan secara normatif di hadapan
wahyu.17
d. Metode Idealisme-Rasionalisme
Idealisme berasal dari kata idea yang berarti gambaran atau
pemikiran, dan isme yang berarti paham atau pendapat. Idealisme
adalah suatu pandangan dunia atau metafisika yang menyatakan
bahwa realitas dasar terdiri atas, atau sangat erat hubungannya dengan
ide, pikiran atau jiwa. atau Biasa disebut dengan aliran filsafat yang
menjelaskan bahwa kebenaran/pengetahuan sesungguhnya bukan

16
Ibid., hal. 118.
17
Makki, Sumber-Sumber Pendidikan Islam: Penalaran, Pengalaman, Intuisi, Ilham Dan
Wahyu, “Istiqra’ Jurnal Pendidikan Dan Pemikiran Islam”, Vol.1, No.2, 2014, hal. 22.

11
bersumber dari rasio atau empiris, melainkan dari gambaran manusia
tentang suatu pengamatan.
Kata rasionalisme terdiri dari dua kata yaitu “rasio” yang
berarti akal atau pikiran, dan “isme” yang berarti paham atau
pendapat. Rasionalisme ialah suatu paham yang berpendapat bahwa
“kebenaran yang tertinggi terletak dan bersumber dari akal manusia.”
Oleh karena itu, rasio dipandang kecuali sebagai alat untuk
memperoleh pengetahuan/kebenaran, juga sekaligus sebagai sumber
dari akal manusia. Aliran ini menyatakan bahwa akal adalah dasar
kepastian pengetahuan. Pengetahuan yang benar diperoleh dan diukur
dari akal.18 Rasionalisme dapat didefinisikan sebagai paham yang
sangat menekankan akal sebagai sumber utama pengetahuan manusia
dan pemegang otoritas terakhir dalam penentuan kebenaran
pengetahuan manusia.19
Idealisme-Rasionalisme yaitu yang mengacu pada intensitas
penggunaan rancang bangun budi untuk mengetengahkan norma-
norma, yaitu yang baik dan yang buruk. Upaya ini dapat dilihat pada
aliran stoa, yang selalu mementingkan moral dalam kehidupan dengan
menselaraskan akal dan perasaan. Semboyannya ialah: “kita harus
selalu hidup sesuai dengan alam”. Alam yang dimaksud adalah akal
budi manusia, sehingga semboyan ini bermakna: “hiduplah sesuai
dengan akal budi”.
e. Metode Realisme-Empirisme
Filsafat realisme mempersoalkan objek pengetahuan manusia.
Menurut realisme, objek pengetahuan manusia terletak di luar diri
manusia. Benda-benda di luar diri manusia seperti gunung, pohon,
kota, bintang dan sebagainya adalah kenyataan yang sesungguhnya.
Benda-benda itu bukan hanya ada dalam pikiran orang-orang yang
mengamatinya tetapi memang sudah ada dan tidak tergantung pada

18
Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2012), hal. 102.
19
Akhyar Yusuf Lubis, Filsafat Ilmu Klasik Hingga Kontemporer, (Jakarta: Rajawali
Pers, 2014), hal. 94.

12
jiwa manusia. Ada dua macam filsafat realisme, yaitu realisme
rasional dan realisme alam atau realisme ilmiah.20
Realisme rasional terbagi atas realisme klasik dan realisme
religius. Baik realisme klasik maupun realisme religius berpangkal
pada pandangan Aristoteles. Bedanya ialah, kalau realisme klasik
langsung dari pandangan Aristoteles, maka realisme religius secara
tidak langsung. Artinya ia berkembang berdasarkan filsafat Thomas
Aquina, seorang ahli filsafat Kristen, yang kemudian dikenal sebagai
aliran Thomisme. Realisme alam atau realisme ilmiah berkembang
sejalan dengan berkembangnya ilmu pengetahuan alam di Eropah
pada abad ke 15 dan 16. Aliran realisme ilmiah ini dikenal pula
sebagai aliran Empirisme.21
Menurut empirisme pengetahuan kita bukan telah ada pada
kita, tetapi datang kepada kita melalui alat indera atau pengalaman.
Menurut teori ini penginderaan adalah satu-satunya cara yang
membekali manusia dengan gagasan dan konsepsi-konsepsi, dan
bahwa potensi akal kita adalah potensi yang tercerminkan dalam
berbagai persepsi inderawi. Jadi ketika kita melihat sebuah mobil
misalnya, maka kita dapat memiliki konsep tentang mobil, yaitu
menangkap gambar atau bentuk mobil itu dalam akal kita. Menurut
pandangan ini, akal kita hanya mengelola konsepsi dan gagasan
inderawi. Tokoh utama dari aliran Empirisme ialah Francis Bacon
(1561-1626), John Locke (1632-1704), George Berkeley (1684-1755),
David Hume (1711-1776), Alfred North Whitehead (1861-1947), dan
Bertrand Russell (1972-1870).22 John Locke menganalisis pandangan-
pandangan Descartes tentang ide-ide fitrah. Ia menyerang konsep ide
fitrah itu dan menyusun pandangan tersendiri mengenai pengetahuan
manusia yang ditulis dalam bukunya Essay on Human Understanding.

20
Darwis A. Soelaiman, Filsafat Ilmu Pengetahuan Perspektif Barat dan Islam, (Banda
Aceh: Bandar Publishing, 2019), hal. 74.
21
Darwis A. Soelaiman, Filsafat Ilmu …., hal. 74.
22
Ibid., hal. 75.

13
Ekperimentasi dalam pengembangan ilmu adalah berdasarkan
pandangan filsafat Empirisme. Ekperimen-ekperimen ilmiah telah
menunjukkan bahwa indera berperan memberikan persepsi yang
menghasilkan konsepsi-konsepsi dalam akal manusia. Dengan kata
lain indera adalah sumber pokok konsepsi. Seseorang yang tidak
memiliki salah satu macam indra tertentu tidak mungkin dapat
mengkonsepsikan pengertian-pengertian yang berhubungan dengan
indra tersebut. Menurut empirisme, kita tidak memiliki pengetahuan
sampai ia datang kepada kita melalui alat panca indera kita. Dan
pengetahuan yang diperoleh dengan alat panca indera itulah yang
benar sedangkan pengetahuan yang bersumber pada rasio baru
merupakan pendapat, yang belum tentu benar. Tetapi dengan peran
indera yang penting dalam melakukan ekperimen-ekperimen tidak
berarti meniadakan kemampuan akal dalam melahirkan gagasan-
gagasan baru dari pengalaman inderawi.

C. KESIMPULAN
1. Epistemologi pendidikan Islam adalah kajian filsafat yang membahas
tentang sumber pendidikan Islam, metode dan pendekatan dalam
menggunakan dan mengolah sumber tersebut, serta nilai atau manfaat
dari ilmu pendidikan Islam.
2. Peran epistemologi dalam pendidikan Islam yaitu mengetahui proses
tersusunnya suatu ilmu serta memberikan wawasan dan pengalaman
dalam mengkonstruksi sebuah ilmu, sedangkan fungsi epistemologi
dalam pendidikan Islam yaitu mengembangkan pendidikan Islam secara
konseptualdan aplikatif serta pengeritik, pemberi solusi, penemu dan
pengembang dalam pendidikan Islam.
3. Ada lima metode dalam epistemologi pendidikan Islam, yaitu rasional,
indera, intuitif, idealisme-rasionalisme, serta realisme-empirisme.

14
D. REFERENSI
A. Soelaiman, Darwis. 2019. Filsafat Ilmu Pengetahuan Perspektif Barat dan
Islam. Banda Aceh: Bandar Publishing.
Aziz, Abdul. 2006. Filsafat Pendidikan Islam, Sebuah Gagasan Membangun
Pendidikan Isam. Surabaya: Elkaf.
Azra, Azyumardi. 1999. Pendidikan Islam Tradisi dan Modernisasi Menuju
Milenium Baru. Jakarta:Logos Wacana Ilmu.
Bakhtiar, Amsal. 2012. Filsafat Ilmu. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2012.
Darajat, Zakiyah. 1992. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara.
Dwi Haryono, Ari dan A’yuni, Qurroti. 2010. Pendidikan Dasar Islam.
Malang;Bani Hasyim Press.
Langgulung, Hasan. 2003. Asas-asas Pendidikan Islam. Jakarta : PT Pustaka
Al-Husna Baru.
Maarif, Syamsul. 2007. Revitalisasi Pendidikan Islam. Yogyakarta: Graha
Ilmu.
Makki. 2014. Sumber-Sumber Pendidikan Islam: Penalaran, Pengalaman,
Intuisi, Ilham Dan Wahyu. “Istiqra’ Jurnal Pendidikan Dan
Pemikiran Islam”. Vol.1. No.2.
. 2019. Epistimologi Pendidikan Islam: Memutus Dominasi Barat
Terhadap Pendidikan Islam. “Al-Musanif, Jurnal Pendidikan Islam
Dan Keguruan”. Vol. 1. No.2.
Mudzakkir, Jusuf dan Mujib, Abdul. 2006. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta:
Kencana Prenada Media.
Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 2013 tentang Standar Nasional
Pendidikan.
Qomari, Mujamil. 2005. Epistimologi Pendidikan Islam, dari Metode
Rasional hingga Metode Kritik. Jakarta:Erlangga.
Sardar, Ziaudin. 1998. Jihad Intelektual, Merumuskan Parameter Sains
Islam. Surabaya: Risalah Bhakti.
Yusuf Lubis, Akhyar. 2014. Filsafat Ilmu Klasik Hingga Kontemporer.
Jakarta: Rajawali Pers.

15

Anda mungkin juga menyukai