Anda di halaman 1dari 21

TIPOLOGI FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM DAN IMPLIKASINYA

DALAM PENGEMBANGAN KURIKULUM

BAB I
PENDAHULUAN

Satu hal yang paling penting dalam masalah pendidikan formal adalah pengaturan kurikulum.
Karena kurikulumlah yang dijadikan sebagai acuan bagi berjalannya proses pendidikan.
Bahkan termasuk sebagai acuan bagi evaluasi berhasil atau tidaknya proses pembelajaran
yang dilakukan guru/ sekolah.
Dalam sistem pendidikan Islam, tentu kurikulum pendidikan wajib berlandaskan akidah
Islam. Seluruh materi pelajaran dan metode pengajaran dalam pendidikan disusun agar tidak
menyimpang dari landasan tersebut. Penyusunan kurikulum diatur sedemikian rupa, sehingga
benar-benar bisa membentuk kepribadian Islam yang sempurna pada peserta didik. Mereka
bukan hanya menguasai sainstek, cerdas secara intelektual saja, tetapi juga memahami
hakekat diadakannya proses pendidikan itu sendiri.

Secara struktural, kurikulum pendidikan Islam formal dijabarkan dalam tiga komponen
materi pendidikan utama yang sekaligus menjadi karakteristik, yaitu (1) pembentukan
kepribadian islami), (2)Tsaqafah Islam, dan (3) Ilmu kehidupan (IPTEK, keahlian, dan
ketrampilan). Selain muatan penunjang proses pembentukan kepribadian islam yang secara
terus menerus pemberiannya untuk semua tingkat, muatan tsaqafah islam dan Ilmu
terapan/ilmu kehidupan diberikan secara bertingkat sesuai dengan daya serap dan tingkat
kemampuan anak didik berdasarkan jenjang pendidikannya masing-masing.

Bertolak dari asumsi bahwa life is education and education is life dalam arti pendidikan
merupakan persoalan hidup dan kehidupan, dan seluruh proses hidup dan kehidupan manusia
adalah proses pendidikan maka pendidikan Islam pada dasarnya hendak mengembangkan
pandangan hidup Islami, yang diharapakan tercermin dalam sikap hidup dan keterampilan
hidup orang Islam. Namun pertanyaan selanjutnya; apa saja aspek-aspek kehidupan itu ?
Jawaban pertanyaan ini setidaknya muncul bebarapa paradigma pengembangan pendidikan
Islam yaitu: pertama; paradigma Formisme; kedua; paradigma mekanisme dan ketiga
paradigma organisme .

Pertama; paradigma Formisme; dalam paradigma ini aspek kehidupan dipandang dengan
sangat sederhana, dan kata kuncinya adalah dikotomi atau distrit. Segala sesuatu hanya dilihat
dari dua sisi yang berlawanan seperti; laki-laki dan perempuan, madrasah dan non Madrasah,
pendidkan keagamaan dan non keagamaan, demikian seterusnya, pandangan ini berlanjut
pada cara memandang aspek kehidupan dunia dan akherat. Kehidupan jasmani dan rohani
sehingga pendidikan Islam hanya dietakkan pada kehidupan akherat saja atau kehidupan
rohani saja. Oleh kerena itu pengembangannya (PAI) hanya berkisar pada aspek kehidupan
ukhrawi yang terpisah dengan kehidupan duniawi, pendidikan (agama) Islam hanya berkutat
mengurusi persoalan ritual dan priritual, sementara kehidupan sosial ekonomi politik, ilmu
pengetahuan, teknologi dan lainya dianggap sebagai bidang duniawi yang menjadi bidang
garap pendidikan umum.
Kedua; paradigma mekanisme, paradigma ini memandang kehidupan terdiri atas berbagai
aspek, dan pendidikan dipandang sebagai penanaman dan pengembangan seperangkat nilai
kehidupan, yang terdiri atas nilai agama, nilai individu, nilai sosial, nila politik, nilai
ekonomi, nilai rasional dan sebagainya.sebagai impliksinya, pengembangan pendidikan Islam
tersebut bergantung pada kemauan, kemampuan, dan political-will dari para
pembinaya/pimpinan dari lembaga tersebut. Terutama dalam membangun kerjasama dengan
mata pelajaran/kuliah lain. Hubungan antara pendidikan agama dengan beberapa
metapelajaran dapat bersifat horisontal lateral (Indipendent), lateral-sekuensial, atau bahkan
vertikal linear.
Ketiga paradigma organisme, paradigma ini memandang bahwa Islam adalah kesatuan atau
sebagai sistem yang berusaha mengembangkan semangat hidup (weltanschanauung) Islam,
yang dimanifestasikan pada sikap hidup dan keterampilan hidup yang Islami. Melalui upaya
ini maka sistem pendidikan Islam diharapkan dapat diintegrasikan nilai-nilai Ilmu
pengetahuan, ilmu agama dan etik, serta mampu melahir-kan manusia-manusia yang
menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi, memilki pematangan profesional, dan sekaligus
hidup dalam nilai-nilai agama.
Dalam perspektif filsafat pendidikan berkembang pemikiran bahwa pendidikan semestinya
mampu menjawab bagaimana dan mengapa pendidikan tersebut diselengga-rakan. Oleh
karena itu alur bahasan tulisan ini adalah mengungkap keterkaitan pemikiran filosofis dalam
proses perumusan dan pengembangan kurikulum, terutama kurikulum pendidikan Islam ?
BAB II
FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM

A. PENGERTIAN FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM


Filsafat berasal dari bahasa Yunani yang telah di-Arabkan. Kata ini barasal dari dua kata
"philos" dan "shopia" yang berarti pecinta pengetahuan. Konon yang per-tama kali
menggunakan kata "philoshop" adalah Socrates . Dia menggunakan kata ini karena dua
alasan, Pertama, kerendah-hatian dia. Meski-pun ia seorang yang pandai dan luas
pengetahuannya, dia tidak mau menyebut dirin-ya sebagai orang yang pandai. Tetapi dia
memilih untuk disebut pecinta pengetahuan.
Kedua, pada waktu itu, di Yunani terdapat beberapa orang yang meng-anggap diri mereka
orang yang pandai (shopis). Mereka pandai bersilat lidah, sehingga apa yang mereka anggap
benar adalah benar. Jadi kebenaran tergantung apa yang mereka katakan. Kebenaran yang riil
tidak ada. Akhirnya manusia waktu itu terjangkit skeptis, artinya mereka ragu-ragu terhadap
segala sesuatu, karena apa yang mereka anggap benar belum tentu benar dan kebenaran
tergantung orang-orang shopis. Dalam keadaan seperti ini, Socrates merasa perlu membangun
kepercayaan kepada manusia bahwa kebenaran itu ada dan tidak harus tergantung kepada
kaum shopis. Dia berhasil dalam upayanya itu dan mengalahkan kaum shopis. Meski dia
berhasil, ia tidak ingin dikatakan pandai, tetapi ia memilih kata philoshop sebagai sindiran
kepada mereka yang sok pandai.
Pada mulanya kata filsafat berarti segala ilmu pengetahuan yang dimiliki manusia. Mereka
membagi filsafat kepada dua bagian yakni, filsafat teoritis dan filsafat praktis. Filsafat teoritis
mencakup: (1) ilmu pengetahuan alam, seperti: fisika, biologi, ilmu pertambangan dan
astronomi; (2) ilmu eksakta dan matematika; (3) ilmu tentang ketuhanan dan methafisika.
Filsafat praktis mencakup: (1) norma-norma (akhlak); (2) urusan rumah tangga; (3) sosial dan
politik. Filusuf adalah orang yang mengetahui semua cabang-cabang ilmu pengetahuan tadi.
Dalam konteks ke Indonesia, filsafat diasumsikan sebagai pemikiran yang berarti berarti
proses, cara, atau perbuatan memikir; yaitu menggunakan akal budi untuk memutuskan suatu
persoalan dengan mempertimbangkan segala sesuatu secara bijaksana. (Moeliono, 1988: 682-
683) .
Sedangkan pendidikan berarti suatu proses pengubahan sikap dan tingkah laku seseorang atau
sekelompok orang (peserta didik), melalui upaya pengajaran dan pelatihan, serta proses,
perbuatan, dan cara-cara mendidik.(Moeliono, 1988: 232).
Maka pemikiran pendidikan Islam adalah serangkaian proses kerja akal dan kalbu yang
dilakukan secara bersungguh-sungguh dalam melihat berbagai persoalan yang ada dalam
pendidikan Islam dan berupaya untuk membangun sebuah paradigma pendidikan yang
mampu menjadi wahana bagi pembinaan dan pengembangan peserta didik secara paripurna.
(Nizar, 2001:7).
Filsafat pendidikan merupakan pola-pola pemikiran atau pendekatan filosofis terhadap
permasalahan bidang pendidikan dan pengajaran. Filsafat pendidikan sebagai salah satu ilmu
terapan adalah cabang ilmu pengetahuan yang memusatkan perhatiannya pada penerapan
pendekatan filosofis pada bidang pendidikan dalam rangka meningkatkan kesejahteraan
hidup.
Dasar yang menjadi alasan-alasan bahwa filsafat pendidikan harus dipelajari oleh setiap
pendidik atau guru adalah sebagai berikut :
1. Bahwa setiap manusia atau individu harus bertindak termasuk dalam pendidikan, secara
sadar dan terarah tujuan yang pasti serta atas keputusan batinnya sendiri.
2. Bahwa demikian pula setiap individu harus bertanggung jawab dalam pendidikan, yang
tinggi rendahnya nilai mutu tanggung jawab tersebut akan banyak ditentukan oleh system
nilai dasar norma yang melandasinya.
3. Suatu hal yang tidak dapat dipungkiri bahwa setiap manusia yang hidup tentu memiliki
filsafat hidup, demikian pula setiap manusia yang hidup dalam bidang dan dunia pendidikan
harus memiliki filsafat pendidikan yang merupakan guide post, tonggak papan penunjuk jalan
sumber dasar dan tujuan tindakan dan tanggung jawabnya dalam kegiatan pendidikannya.
4. Suatu kenyataan pula bahwa terdapat keragaman aliran-aliran pendidikan, kearah mana
individu pendidik harus menentukan pilihannya secara bebas dan bertanggung jawab,
terbuka, kritis, dengan meninjaunya dari segala segi.
5. Pada suatu ketika individu pendidik telah menentukan pilihannya maka ia tidak netral lagi
dan meyakininya serta mengamalkannya aliran filsafat pendidikannya secara penuh rasa
tanggung jawab.

Alasan-alasan tersebut dengan jelas menjelaskan dan memberikan kita keyakinan bahwa
filsafat pendidikan merupakan disiplin ilmu yang merupakan condition sinequa non bagi
pelaksanaan tugas guru dan pendidikan pada umumnya, termasuk orang tua yang tiada lain
pendidikan dalam lembaga pendidikan keluarga.
Lebih lanjut, pemikiran pendidikan Islam memiliki tujuan sebagai berikut :
1. Untuk membangun kebiasaan berfikir ilmiah, dinamis, dan kritis terhadap persoalan-
persoalan diseputar pendidikan Islam.
2. Untuk memberikan dasar berfikir inklusif terhadapajaran Islam dan akomodatif terhadap
perkembangan ilmu pengetahuan yang dikembangkan oleh intelektual di luar Islam.
3. Untuk menumbuhkan semangat berijtihad, sebagaimana yang ditunjukkan oleh rasulullah
dan para kaum intelektual muslim pada abad pertama sampai abad pertengahan, terutama
dalam merekonstruksi system pendidikan Islam yang lebih baik.
4. Untuk memberikan kontribusi pemikiran bagi pengembangan sisitem pendidikan nasional.
Secara khusus, pemikiran tenrtang pendidikan Islam sangat berguna bagi guru atau pendidik
dan sebagai bahan masukan bagi merekontruksi pola atau model pendidikan yang lebih
adaptik dan integral-dengan nuansa alami- terutama bagi pengembangan system pendidikan
di Indonesia, serta memperkaya khazanah perkembangan pemikiran ilmu pengetahuan.

B. TIPOLOGI FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM


Filsafat pendidikan Islam dapat dibedakan menjadi beberapa tipologi, tipologi tersebut
adalah:
1. Tipologi Perenial-Esensialis Salafi – Tipologi Perenial-Esensialis Salafi lebih me-
nonjolkan wawasan kependidikan Islam era salafi, sehingga pendidikan Islam berfungsi
sebagai upaya melestarikan dan mempertahankan nilai-nilai (Ilahiyah dan insaniah),
kebiasaan dan tradisi masyarakat salaf (era kenabian dan sahabat), karena mereka dipandang
sebagai masyarakat yang ideal.
2. Tipologi Perenial-Esensialis Mazhabi – Tipologi Perenial-Esensialis Mazhabi adalah
tipologi yang lebih menonjolkan wawasan kependidikan Islam yang tradisional dan
kecendrungan untuk mengikuti aliran, pemahaman atau doktrin, serta pola-pola pemikiran
sebelumnya yang dianggap sudah relative mapan.
3. Tipologi Modernis - Tipologi Modernis lebih menonjolkan wawasan kependidikan Islam
yang bebas modifikatif, progresif dan dinamis dalam menghadapi dan merespon tuntutan dan
kebutuhan dari lingkungannya, sehingga pendidikan Islam berfungsi sebagai upaya
melakukan rekontruksi pengalaman yang terus menerus, agar dapat berbuat sesuatau yang
intelligent dan mampu mengadakan penyesuaian dan penyesuaian kembali sesuai dengan
tuntutan dan kebutuhan dari lingkungan pada masa sekarang.
4. Tipologi Perenial-Esensialis Kontekstual-Falsifikatif - Tipologi Perenial-Esensialis
Kontekstual-Falsifikatif mengambil jalan tengah antara kembali ke masa lalu dengan jalan
melakukian kontekstualisasi serta uji falsifikasi dan mengembang-kan wawasan-wawasan
kependidikan Islam masa sekarang selaras dengan tuntutan perkembangan ilmu pengetahuan
dan teknologi serta perubahan social yang ada.
5. Tipologi Rekontruksi Sosial Berlandaskan Tauhid - Tipologi Rekontruksi Sosial
Berlandaskan Tauhid sangat cocok untuk diterapkan pada masyarakat atau daerah yang
berkeinginan dan potensial untuk maju, dan pada masyarakat yang warganya bersikap
individualis dan egois, atau terjangkit penyakit social.

Disamping tipologi yang disebutkan diatas, terdapat beberapa tipologi lainnya. Sebagai bahan
perbandingan, berikut tipologi Filsafat pendidikan Islam lainnya yaitu :
1. Tipologi Progressivisme – adalah suatu aliran filsafat pendidikan yang sangat berpengaruh
dalam abad ke 20 ini. Pengaruh itu terasa di seluruh dunia, terlebih-lebih di Amerika Serikat.
Usaha pembaharuan di dalam lapangan pendidikan pada umumnya terdorong oleh aliran
progressivisme. Aliran ini dihubungkan dengan pandangan hidup liberal-“The Liberal road to
culture”. Progressivisme menolak otoriterisme dan absolutisme dalam bentuk, seperti
misalnya terdapat dalamagama, politik, etika dan epistemology.
2. Tipologi Esensialisme – Esensialisme muncul pada zaman Renaissans, dengan cirri-ciri
utamanya yang berbeda dengan progressivisme. Perbedaan initerutama dalam memberikan
dasar berpijakmengenai pendidikan yang penuh fleksibelitas, di mana serba terbuka untuk
perubahan, toleran dan tidak ada keterikatan dengan doktrin tertentu. Esensialisme didasari
atas pandangan humanisme yang merupakan reaksi terhadap hidup yang mengarah pada
keduniawian, serba ilmiah dan materialistik.Tujuan umum aliran ini adalah membentuk
pribadi bahagia di dunia dan akhirat. Isi pendidikannya mencakup ilmu pengetahuan,
kesenian dan segala hal yang mampu menggerakkan kehendak manusia. Kurikulum sekolah
bagi esensialisme merupakan semacam miniature dunia yang bias dijadikan sebagai ukuran
kenyataan, kebenaran dan kegunaan.
3. Tipologi Perennialisme – Perennialisme mengandung kepercayaan filsafat yang berpegang
pada nilai-nilai dan norma-norma yang bersifat kekal abadi. Perennialisme melihat bahwa
akibat dari kehidupan zaman modern telah menimbulkan banyak krisis di berbagai bidang
kehidupan umat manusia. Untuk mengatasi krisis ini perennialisme memberikan jalan keluar
berupa”kembali kepada kebudayaan masa lampau”
Asas yang dianut perennialisme bersumber pada fisafat kebudayaan yang berkiblat dua, yaitu
(a) perennialisme yang kebudayaan yang berkiblat theologies-bernaung di bawah supremasi
gereja katolik, dengan orientasi pada ajaran dan tafsir Thomas Aquinas- dan(b) perennialisme
sekuler berpegang pad aide dan cita filosofis Plato dan Aristoteles.
4. Tipologi Rekonstruksionalisme - Aliran rekonstruksionalisme adalah sepaham dengan
aliran perennialisme dalam hendak mengatasi kritis kehidupan modern.
Rekonstruksionalisme berusaha mencari kesepakatan semua orang mengenai tujuan utama
yang dapat mengatur tata kehidupan manusia dalam suatu tatanan baru seluruh
lingkungannya.
5. Tipologi Eksistensialisme – Pada Hakikatnya eksistensialisme adalah merupakan aliran
filsafat yang bertujuan mengembalikan keberadaan umat manusia sesuai dengan keadaan
hidup asasi yang dimiliki dan dihadapinya. Paham eksistensialisme secara radikal
menghadapkan manusia pada dirinya sendiri, sedangkan filsafat eksistensi adalah benar-benar
sebagai arti katanya, yaitu:”filsafat yang menempatkan cara wujud manusia sebagai tema
sentral”

BAB III
KURIKULUM PENDIDIKAN ISLAM

A. PENGERTIAN KURIKULUM
Kurikulum merupakan bagian dari sistem pendidikan yang tidak bisa dipisahkan dengan
komponen sistem lainnya. Tanpa Kurikulum suatu sistem pendidikan tidak dapat dikatakan
sebagai sistem pendidikan yang sempurna. Ia merupan ruh (spirit) yang menjadi gerak
dinamik suatu sistem pendidikan, Ia juga merupakan sebuah idea vital yang menjadi landasan
bagi terselenggaranya pendidikan yang baik. Bahkan, kurikulum seringkali menjadi tolok
ukur bagi kualitas dan penyelenggaraan pendidikan. Baik buruknya kurikulum akan sangat
menentukan terhadap baik buruk-nya kualitas output pendidikan, dalam hal ini, peserta didik.
Dalam kedudukannya yang strategis, kurikulum memiliki fungsi holistik dalam dunia
pendidikan; Ia memiliki peran dan fungsi sebagai wahana dan media konservasi, internalisasi,
kristalisasi dan transformasi iptek, teknologi, seni dan nilai-nilai kehidupan ummat manusia.
Kurikuluim bukan hanya berfungsi sebagai wahana dan media konservasi, internalisasi dan
kristalisai, tetapi Ia juga merupakan wahana dan media trans-formasi. Pemilik ilmu
pengetahuan dan nilai-nilai, dituntut mempelopori, memimpin dan mendesain peradaban
ummat manusia yang konstruktif, dinamis, produktif dan innovatif, serta mengawal,
membimbing, membina, dan mengarahkan perubahan- perubahnya secara proaktif dan
dedikatif melalui perubahn-perubahan peradaban yang semakin baik. Dalam konteks ini pula
pemilik ilmu pengetauan dan nilai-nilai memerankan dirinya sebagai agent of social canges,
agent of social responsibility, agent of innovation and agent of human investment.
Konsep kurikulum berkembang sejalan dengan perkembangan teori dan praktek pendidikan,
juga bervariasi sesuai dengan aliran atau teori pendidikan yang dianutnya. Menurut
pandangan lama, kurikulum merupakan kumpulan mata-mata pelajaran yang harus
disampaikan guru atau dipelajari oleh siswa. Pandangan yang muncul sejak zaman Yunani
kuna ini, dalam lingkungan tertentu masih dipakai hingga kini, sebagaimana pendapat Robert
S. Zais (1976:7) , “a recesourse of subject matters to be mastered”. Menurut pendapat ini,
kurikulum identik dengan bidang studi.
Ada pendapat yang menyatakan bahwa kurikulum merupakan pengalaman belajar, pendapat
ini dikemukakan antara lain oleh Caswell dan Cambell (1975), “…to be composed of all the
experiences children have under the guidance of theachers”. Ronald C Doll (1974:22),
menggambarkan kurikulum telah berubah dari kontens belajar (isi) ke proses, dari skop yang
sempit kepada yang lebih luas, dari materi ke pengalaman, baik di rumah, sekolah maupun
lingkungan masyarakat, bersama guru atau tidak, ada hubungannya dengan pelajaran ataupun
tidak, termasuk upaya guru dan fasilitas untuk mendorongnya. Meskipun, pemaknaan
kurikulum demikian, mendapat kritik dari Mauritz Johnson (1967:130), menurutnya
pengalaman hanya akan terjadi bila siswa berinteraksi dengan ligkungannya, interaksi seperti
demikian bukan kurikulum tetapi pengajaran. Menurutnya, kurikulum hanya berkenaan
dengan “… a structured series of intended learning outcomes”, hasil yang dicapai dari hasil
belajar siswa. Oleh karena itu, perencaan dan pelaksanaan isi, kegiatan belajar mengajar,
evaluasi termasuk pengajaran .
Mc Donald (1967:3) memandang kurikulum sebagai rencana pendidikan atau pengajaran,
yang terdiri dari empat komponen, yaitu: mengajar (kegiatan professional guru terhadap
murid), belajar (kegiatan responsi siswa terhadap guru), pembelajaran (interaksi antara guru
murid pada proses belajar mengajar) dan kurikulum (pedoman proses belajar mengajar).
Bauchamp (1968) menekankan kurikulum sebagai rencana pendidikan atau pengajaran. Ia
menegaskan bahwa kurikulum adalah dokumen tertulis dan sekaligus merupakan rencana
pendidikan yang given di sekolah. Tetapi, kurikulum tidak hanya dinilai dari segi dokumen
dan rencana pendidikan, karena ia harus memiliki fungsi operasional kegaiatan belajar
mengajar, dan menjadi pedoman bagi pengajar maupun pelajar .
Hilda Taba (1962) berpendapat, kurikulum tidak hanya terletak pada pelaksana-anya, tetapi
pada keluasan cakupannya, terutama pada isi, metode dan tujuannya, terutama tujuan jangka
panjang, karena justeru kurikulum terletak pada tujuannya yang umum dan jangka panjang
itu, sedangkan imlementasinya yang sempit termasuk pada pengajaran, yang keduanya harus
kontinum . Kurikulum, juga me-rupakan perwujudan penerapan teori baik yang terkait
dengan bidang studi maupun yang terkait dengan konsep, penentuan, pengembangan desain,
implementasi, dan evaluasiya. Oleh karna itu, ia merupakan rencana pengajaran dan sistem
yang berisi tujuan yang ingin dicapai, bahan yang akan disajikan, kegiatan pengajaran, alat-
alat pengajaran, dan jadwal waktu pengajaran. Sebagai suatu sistem kurikulum merupakan
bagian dari sistem organisasi sekolah yang menyangkut penentuan kebijakan kurikulum,
susunan personalia dan prosedur pengembangan-nya, penerapan, evaluasi dan
penyempurnaannya
Dalam konteks pendidikan Nasional, kurikulum adalah rencana tertulis tentang kemampuan
yang harus dimiliki berdasarkan standar nasional, materi yang perlu dipelajari dan
pengalaman belajar yang harus dijalani untuk mencapai kemampuan tersebut, dan evaluasi
yang perlu dilakukan untuk menentukan tingkat pencapaian kemampuan peserta didik, serta
seperangkat peraturan yang berkenaan dengan pengalaman belajar peserta didik dalam
mengembangkan potensi dirinya pada satuan pendidikan tertentu.
Dalam Sistem Pendidikan Nasional, dinyatakan bahwa kuriku¬lum adalah seperangkat
rencana dan pengaturan mengenai isi dan lahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai
pedoman penyelenggaraan kegiatan belajar mengajar. Rumusan ini lebih spesifik
mengandung pokok - pokok pikiran, sebagai berikut :
1. Kurikulum merupakan suatu rencana/perencanaan;
2. Kurikulum merupakan pengaturan, yang sistematis dan terstruktur;
3. Kurikulum memuat isi dan bahan pelajaran bidang pengajaran tertentu;
4. Kurikulum mengandung cara, metode dan strategi pengajaran;
5. Kurikulum merupakan pedoman kegiatan belajar mengajar;
6. Kurikulum, dimaksudkan untuk mencapai tujuan pendidikan;
7. Kurikulum merupakan suatu alat pendidikan.

Rumusan tersebut menjadi lebih jelas dan lengkap, karena suatu kurikulum harus disusun
dengan memperhatikan berbagai faktor penting. Dalam undang-undang telah dinyatakan,
bahwa: “Kurikulum disusun untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional dengan
memperhatikan tahap perkembangan peserta didik dan kesesuaiannya dengan lingkungan,
kebutuhan pembangunan nasional, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta
kesenian, sesuai dengan jenis dan jenjang masing-masing satuan pendidikan.”

B. KURIKULUM PENDIDIKAN ISLAM


Pendidikan di Indonesia, meskipun secara yuridis formal, kebijakan dan per-undangannya
dibentuk setelah kemerdekaan, mereka memiliki akar historis dan perjuangan yang panjang
sejak era kolonial, bahkan prakolonial, secara langsung atau tidak telah mewarnai corak dan
proses pengambilan keputusan atau policy pandidikan pasca penjajahan dan juga sampai
sekarang ini yang mempengaruhi kebijakan pendidkan nasional.
Lembaga pendidikan Islam di Indonesia diakui oleh sejarah. Lembaga pendidik-an Surau di
Sumatra sudah dikenal sejak abad ke tujuh, pesantren dan pengajian Al-Qur’an di masjid dan
Surau adalah satu-satunya model pendidikan yang ada bagi rakyat biasa. Eksistensi ini tidak
tergoyahkan meskipun kemudian disaingi oleh sekolah Belanda dan sekolah pribumi lainnya
yang mengambil model sekolah Belanda. Kebijakan pendidikan Belanda merupakan
kelanjutan dari kebijakan yang telah dimulai oleh orang-orang portugis yang lebih mengarah
kepada kristenisasi. Kebijakan itu berubah dengan kehadiran Jepang yang lebih mengarah
kepada Niponisasi.
Merefleksikan tahun 1994 yang lalu, bisa jadi merupakan satu periode penting dalam
perkembangan madrasah di Indonesia. Pada tahun tersebut, Departemen Agama telah
menetapkan berlakunya kurikulum baru (kurikulum 1994) yang mensyaratkan pelaksanaan
sepenuhnya kurikulum sekolah-sekolah umum di bawah Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan. Berbeda dengan dengan kurikulum sebelumnya pada 1975, di mana madrasah
memberikan 70 % mata pelajaran umum dan 30 % mata pelajaran agama Islam, maka pada
kurikulum 1994 madrasah diwajibkan menyelenggarakan sepenuhnya (100%) mata pelajaran
umum sebagai-mana diberikan di sekolah-sekolah umum di bawah Depdikbud. Karel A.
Steinbrink, seorang sarjana yang telah melakukan kajian tentang sistem pendidikan di
Indonesia, berpendapat bahwa madrasah, yang diharapkan menjadi perwujudan sintesa antara
pesantren tradisional dengan sekolah umum tidak bisa berjalan dengan baik. Dia menulis
seperti berikut ini : “………Kita masih tetap melihat adanya kecenderungan bagi studi agama
dalam arti terbatas hanya pada lembaga pendidikan seperti pesantren dahulu, untuk mendidik
fungsionaris agama. Hal ini disebabkan para murid yang datang ke pesantren hanya untuk
mempelajari agama saja. Semua perkembangan ini menunjukkan bahwa konsep konvergensi
sebagai banyak disinggung di muka tidak dapat diwujudkan. Sintesa tersebut ternyata lemah.
Ia mungkin hanya berfungsi sebagai model peralihan dan bukan sebagai alat penghubungan
yang permanen antara pesantren dan sekolah umum, menurut kriteria pengetahuan agama
yang mendalam, madrasah tidak merupakan satu alternatif yang memuaskan. Pengetahuan
umum yang diberikan di sana juga tidak memeneuhi syarat yang diminta yaitu madrasah
tidak bisa dianggap sebagai “produk final”, akan tetapi hanya sebagai bentuk sementara saja
.”
Penghapusan 30% mata pelajaran Islam bisa dilihat sebagai bentuk kegagalan madrasah
mempertahankan identitasnya sebagai lembaga pendidikan yang berusaha memadukan
pendidikan ilmu-lmu Islam dan ilmu-ilmu modern. Ada dualisme pen-didikan tradisional dan
modern merupakan ciri menonjol dan permanen. Dunia pesantren akan terus bertahan dengan
sistem pendidikan tradisional-keagamaannya dan sekolah umum akan terus bergerak menjadi
lembaga pendidikan modern yang terlepas dari unsur formal keagamaan; sementara madrasah
akan kehilangan signifikansinya dalam masyarakat Indonesia.
Begitu pula hal yang sama juga bisa dilihat di awal abad ke-20. Pada periode ini, kebangkitan
gerakan-gerakan Islam modern berlangsung sejalan dengan, atau berkaitan erat dengan
berdirinya lembaga-lembaga pendidikan Islam. Pada periode inilah lembaga pendidikan
Islam madrasah sebagaimana kita kenal dewasa ini mulai berdiri. Sistem madrasah didirikan
sebagai bentuk pembaharuan terhadap sistem pendidikan tradisional, khususnya pesantren di
Jawa dan surau di Minangkabau. Sistem pendidikan tradisional ini, bagi para tokoh Muslim
saat itu, tidak lagi memadai bagi perkembangan sosial yang berlangsung di tengah
masyarakat menyusul modernisasi yang diperkenalkan pemerintah Belanda. Oleh karena itu,
mereka mendirikan lembaga-lembaga pendidikan dalam bentuk madrasah. Dalam madrasah,
tidak seperti halnya di pesantren dan surau, para siswa tidak saja diberi mata pelajaran yang
berhubungan dengan masalah-masalah keagamaan, tapi juga mata pelajaran umum seperti
bahasa Inggris dan Belanda dan ilmu-ilmu umum lain yang saat itu hanya diberikan di
sekolah-sekolah yang didirikan oleh pemerintah kolonial Belanda.

C. PERKEMBANGAN BENTUK PENDIDIKAN ISLAM


1. Pendidikan Pada Masa Rasulullah
Perkembangan pendidikan Islam dimulai sejak Rasulullah mengajarkan kepada umatnya
kebenaran Islam, baik dilakukan secara sembunyi-sembunyi maupun teerang-terangan.
Demikian juga ketika masih berada di kota Makkah atau kota Madinah. Secara umum
pendidikan pada masa Rasulullah dapat dibedakan menjadi dua periode: periode Makkah dan
periode Madinah. Pada periode pertama, yakni sejak Nabi diutus sebagai rasul hingga hijrah
ke Madinah—kurang lebih sejak tahun 611-622 M. atau selama 12 tahun 5 bulan 21 hari–,
sistem pendidikan Islam lebih bertumpu kepada Nabi. Bahkan, tidak ada yang mempunyai
kewenangan untuk memberikan atau menentukan materi-materi pendidikan, selain Nabi.
Nabi melakukan pendidikan dengan cara sembunyi-sembunyi terutama kepada keluarganya,
disamping dengan berpidato dan ceramah ditempat-tempat yang ramai dikunjungi orang.
Sedangkan materi pengajaran yang diberikan hanya berkisar pada ayat-ayat al-Qur’an
sejumlah 93 surat dan petunjuk-petunjuknya (baca: sunnah dan hadist)
Sebelum kelahiran Islam, masa jahiliyah, “institusi” pendidikan kuttab telah berdiri .
Masyarakat Hijaz telah belajar membaca dan menulis kepada masya-rakat Hirah, dan
masyarakat Hirah belajar kepada masyarakat Himyariyin. Adapun orang yang pertama kali
belajar membaca dan menulis diantara penduduk Makkah adalah Sufyan Ibn Umayah dan
Abu Qais ibn ‘Abd al-Manaf, yang keduanya belajar kepada Bisyr ibn ‘Abd al-Malik.
Kepada keduanyalah, penduduk Makkah belajar membaca dan menulis Oleh karena itu,
agaknya dapat dipahami ketika Nabi menyiarkan ajaran Islam (tahun 610-an M), di
masyarakat Quraisy, baru ada 17 laki-laki yang pandai baca-tulis dan 5 wanita.
Secara umum, materi al-Quran dan petuah-petuah Rasul itu menerangkan tentang kajian
keagamaan yang menitikberatkan pada teologi dan ibadah, seperti beriman kepada Allah,
para rasul-Nya, dan hari kemudian, serta amal ibadah, yaitu shalat. Zakat sendiri ketika itu
belum menjadi materi pendidikan, karena zakat pada masa itu lebih difahami dengan sedekah
kepada fakir miskin dan anak-anak yatim. Selain itu, materi akhlak juga telah diajarkan agar
manusia ber-tingkah laku dengan akhlak mulia dan menjauhi kelakuan jahat. Adapun materi-
materi scientific belum dijadikan sebagai mata pelajaran. Nabi ketika itu hanya memberikan
dorongan untuk memperhatikan kejadian manusia, hewan, tumbuh-tumbuhan, dan alam raya .
Pada periode di Madinah, tahun 622-632 M/1-11 H., usaha pendidikan Nabi yang pertama
adalah membangun ‘institusi’ masjid. Melalui pendidikan masjid ini, Nabi memberikan
pengajaran dan pendidikan Islam. Ia memperkuat persatuan di antara kaum muslim dan
mengikis habis sisa-sisa permusuhan, terutama antar penduduk Anshar dan penduduk
Muhajirin. Pada periode ini, ayat-ayat al-Quran yang diterima sebanyak 22 surat, sepertiga
dari isi al-Quran.
Secara umum, materi pendidikan berkisar pada empat bidang: pendidikan keagamaan,
pendidikan akhlak, pendidikan kesehatan jasmani, dan pengetahuan yang berkaitan dengan
kemasyarakatan. Pada bidang keagamaan tediri dari keimanan dan ibadah, seperti shalat,
puasa, haji, dan zakat. Pendidikan akhlak lebih menekankan pada penguatan basis mental
yang telah dilakukan pada periode Makkah. Pendidikan kesehatan jasmani lebih ditekankan
pada penerapan dari nilai-nilai yang dipahami dari amaliah ibadah, seperti makna wudlu,
shalat, puasa, dan haji. Sedangkan pendidikan yang berkaitan dengan kemasyarakatan
meliputi pada bidang sosial, politik, ekonomi, dan hukum. Masyarakat diberi pen-didikan
oleh rasul tentang kehidupan berumah tangga, warisan, hukum perdata dan pidana,
perdagangan, dan kenegaraan serta lain-lainnya.
Metode yang dikembangkan oleh Nabi dalam bidang keimanan adalah tanya jawab dengan
perasaan yang halus dan didukung bukti-bukti rasional dan ilmiah. Batasan rasional dan
ilmiah di sini dipahami menurut kemampuan pikiran orang yang diajak dialog. Metode
pendidikan yang dipakai pada materi ibadah biasanya menggunakan metode peneladanan,
yakni Nabi memberikan contoh dan petunjuk serta amalan yang jelas sehingga masyarakat
mudah untuk menirunya. Sedang-kan pada bidang akhlak, Nabi membacakan ayat-ayat al-
Quran yang berisi kisah-kisah umat terdahulu yang kemudian dijabarkan makna dari kisah-
kisah itu. Sungguhpun demikian, pada materi akhlak ini, Nabi lebih menitikberatkan pada
metode peneladanan. Nabi tampil dalam kehidupan sebagai orang yang memiliki kemuliaan
dan keagungan, baik dalam ucapan, perbuatan, maupun tindakan-nya .

2. Pendidikan Pada Masa Khulafaur Rasyisin


Sistem pendidikan Islam pada masa khulafa al-Rasyidin dilakukan secara mandiri, tidak
dikelola oleh pemerintah, kecuali pada masa khalifah Umar ibn Khattab yang turut campur
dalam menambahkan kurikulum di lembaga kuttab. Para sahabat yang memiliki pengetahuan
keagamaan membuka majlis pendidikan masing-masing, sehingga, pada masa Abu Bakar
misalnya, lembaga pendidikan kuttab mencapai tingkat kemajuan yang berarti. Kemajuan
lembaga kuttab ini terjadi ketika masyarakat muslim telah menaklukkan beberapa daerah dan
menjalin kontak dengan bangsa-bangsa yang telah maju. Lembaga pendidikan ini menjadi
sangat penting sehingga para ulama berpendapat bahwa mengajarkan al-Quran merupakan
fardlu kifayah.
Menurut Mahmud Yunus, ketika peserta didik selesai mengikuti pendidikan di kuttab mereka
melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih “tinggi”, yakni di masjid. Di masjid ini, ada
dua tingkat, yakni tingkat menengah dan tingkat tinggi. Yang membedakan di antara
pendidikan itu adalah kualitas gurunya. Pada tingkat menengah, gurunya belum mencapai
status ulama besar, sedangkan pada tingkat tinggi, para pengajarnya adalah ulama yang
memiliki pengetahuan yang mendalam dan integritas kesalehan dan kealiman yang diakui
oleh masyarakat .
Pada lembaga pendidikan kuttab dan masjid tingkat menengah, metode pengajaran dilakukan
secara seorang demi seorang–mungkin dalam tradisi pesantren, metode itu biasa disebut
sorogan , sedangkan pendidikan di masjid tingkat tinggi dilakukan dalam salah satu halaqah
yang dihadiri oleh para pelajar secara bersama-sama .
Pusat-pusat pendidikan pada masa Khulafa al-Rasyidin tidak hanya di Madinah, tetapi juga
menyebar di berbagai kota, seperti kota Makkah dan Madinah [Hijaz], kota Bashrah dan
Kufah [Irak], kota Damsyik dan Palestina [Syam], dan kota Fistat [Mesir]. Di pusat-pusat
daerah inilah, pendidikan Islam berkembang secara cepat.
Materi pendidikan yang diajarkan pada masa Khalifah al-Rasyidin sebelum masa Umar ibn
Khattab (w. 32 H. /644 M.), unruk kuttab, adalah [a] belajar membaca dan menulis, [b]
membaca al-Qur’an dan menghafalnya, [c] belajar pokok–pokok agama Islam, seperti cara
wudhu’, shalat, puasa, dan sebagainya. Ketika Umar ibn Khattab diangkat menjadi khalifah,
ia menginstruksikan kepada penduduk kota agar anak-anak diajarkan [a] berenang, [b]
mengendarai onta, [c] memanah, [d] membaca dan menghafal syair-syair yang mudah dan
peribahasa . Sedangkan materi pendidikan pada tingkat menengah dan tinggi terdiri dari [a]
al-Qur’an dan tafsirnya, [b] hadits dan mengumpulkannya, [c] dan fiqh (tasyri). Ilmu-ilmu
yang dianggap duniawi dan ilmu filsafat belum dikenal sehingga pada masa itu tidak ada. Hal
ini di mungkinkan mengingat konstruk sosial-masyarakat ketika itu masih dalam
pengembangan wawasan keislaman yang lebih di fokuskan pada pemahaman al-Quran dan
Hadits secara literal.

3. Pendidikan Pada Masa Bani Umaiyah


Secara esensial, pendidikan Islam pada masa Dinasti Umayyah ini hampir sama dengan
pendidikan pada masa Khulafa al-Rasyidin. Hanya saja memang ada sisi perbedaan dan
perkembangannya sendiri. Perhatian para raja di bidang pendidikan agaknya kurang
memperlihatkan pada perkembangannya yang maksimal, sehingga pendidikan berjalan tidak
diatur oleh pemerintah, tetapi oleh para ulama yang memiliki pengetahuan yang mendalam.
Kebijakan-kebijakan pendidikan yang dikeluarkan oleh pemerintah hampir-hampir tak
ditemukan. Jadi, sistem pendidikan Islam ketika itu masih berjalan secara alamiah
Ada dinamika tersendiri yang menjadi karakteristik pendidikan Islam masa ini, yakni
dibukanya wacana kalam (baca: disiplin teologi) yang berkembang ditengah-tengah
masyarakat. Sebagaimana dipahami dari konstruksi sejarah bani Umayyah–yang bersamaan
dengan kelahirannya hadir pula tentang polemik tentang orang yang berbuat dosa besar ,
wacana kalam tidak dapat dihindari dari perbincangan kesehariannya, meskipun wacana ini
dilatarbelakangi oleh faktor-faktor politis. Perbincangan ini kemudian telah melahirkan
sejumlah kelompok yang memiliki paradigma berfikir secara mandiri.
Oleh karena kondisi ketika itu diwarnai oleh kepentingan-kepentingan politis dan golongan
maka didunia pendidikan, terutama didunia sastra, sangat rentan dengan identitasnya masing-
masing. Sastra Arab, baik dalam bidang syair, pidato (khitabah), dan seni prosa, mulai
menunjukkan kebangkitannya. Para raja mempersiapkan tempat balai-balai pertemuan penuh
hiasan yang indah dan hanya dapat dimasuki oleh kalangan sastrawan dan ulama-ulama
terkemuka. Menurut Muhammad ‘Athiyah al-abrasyi. Balai-balai pertemuan tersebut
mempunyai tradisi khusus yang mesti diindahkan;seseorang yang masuk dimana khalifah
hadir, mestilah berpakaian necis, bersih dan rapi, duduk ditempat yang sepantasnya, tidak
tertawa terbahak-bahak dan tidak meludah dan tidak mengingus dan tidak menjawab kecuali
bila ditanyai. Ia tidak boleh bersuara keras dan harus belajar menjadi pendengar yang baik,
sebagaiman ia harus belajar bertukar kata dengan sopan dan memberi kesempatan kepada si
pembicara menjelaskan pembicaraannya, serta menghindari penggunaan kata-kata yang kasar
dan gelak-tertawa terbahak-bahak. Dalam balai-balai pertemuan seperti ini, disediakan
pokok-pokok persoalan untuk dibicarakan, didiskusikan, dan diperdebatkan” .
Pada zaman ini, juga dapat disaksikan adanya gerakan penerjemahan ilmu-ilmu dari bahasa
lain ke dalam bahasa Arab, tetapi penerjemahan itu terbatas pada ilmu-ilmu yang mempunyai
kepentingan praktis, seperti ilmu kimia, kedokteran, falak, ilmu tatalaksana, dan seni
bangunan. Pada umumnya, gerakan penerjemahan ini terbatas kepada orang-orang tertentu
dan atas usaha sendiri, bukan atas dorongan negara dan tidak dilembagakan. Menurut Franz
Rosenthal, orang yang pertama kali melakukan penerjemahan ini adalah Khalid ibn Yazid,
cucu dari Muawiyah .
ilmu tafsir juga tetap menjadi bahan kajian' Ilmu ini semakin menjadi niscaya dan memiliki
makna yang strategis. Di samping karena faktor luasnya kawasan Islam ke beberapa daerah
luar Arab yang membawa konsekwensi lemahnya rasa seni sastra Arab, juga karena banyak
orang yang masuk Islam. Hal ini mengakibatkan pencemaran bahasa al-Quran dan
pemaknaan al-Quran yang digunakan untuk kepentingan golongan tertentu. Pencemaran al-
Quran juga disebabkan oleh karena faktor interpretasi yang didasarkan pada kisah-kisah
Israiliyat dan Nasraniyat. Bersamaan dengan itu, berkembang ilmu nahwu yang digunakan
untuk memberikan tanda baca, pencatatan kaidah-kaidah bahasa, dan periwayatan bahasa.
Sungguhpun terjadi perbedaan mengenai penyusun ilmu nahwu, tetapi disiplin ilmu ini
menjadi ciri kemajuan tersendiri pada masa ini .
Selain disiplin ilmu tafsir, hadits dan ilmu hadits pada masa ini juga men-dapat perhatian
secara serius. Periwayatan hadits sehingga dapat dipertanggung jawabkan baik secara ilmiah
maupun secara moral mendapat perhatian luas. Namun, keberhasilan yang diraihnya adalah
semangat untuk mencari hadits, belum mencapai pada tahap kodifikasi. Khalifah Umar ibn
Abd al-Aziz yang memerintah hanya dua tahun, yakni tahun 99-101 H./717-720 M., pernah
mengirim surat pada Abu Bakr ibn Muhammad ibn Amir ibn Ham dan kepada ulama-ulama
yang lain untuk menuliskan dan mengumpulkan hadits-hadits. Akan tetapi, hingga dengan
masa akhir kepemerintahannya, hal itu tidak terlaksana. Sungguhpun demikian, perintah
Umar ibn al-Aziz telah melahirkan metode pen-didikan alternatif, yakni para ulama mencari
hadits ke berbagai tempat dan orang yang dianggap mengetahuinya yang kemudian dikenal
dengan metode rihlah.
Di bidang hukum fiqh, secara garis besar dapat dibedakan menjadi dua blok, yaitu aliran ahli
al-ra’y dan aliran ahl al-hadits. Aliran pertama mengem-bangkan hukum Islam dengan
menggunakan analogi (baca: qiyas) bila terdapat masalah yang belum ditentukan hukumnya.
Aliran ini berkembang di Irak yang dimotori oleh Syuriah ibn al-Harits (w. 78 H./697 M.),
Alqamah ibn Qais (w. 62 H./681 M.), Masruq al-Ajda’ (w. 63 H./682 M.), al-Aswad ibn
Yazid (w. 95 H./913 M.), yang kemudian diikuti oleh Ibrahim al-Nakhai (w. 95 H./913 M.),
dan Amr ibn Syurahbil al-Sya’by (w. 104 H./722 M.). Sesudah itu digantikan oleh Hammad
ibn Abu Sulaiman (w. 120 H./737 M.), yang kemudian menjadi guru Abu Hanifah.
Aliran kedua, ahl al-hadits, lebih berpegang pada dalil-dalil secara literal, bahkan aliran ini
tidak akan memberikan fatwa jika tidak ada ayat al-Quran atau hadits yang menerangkannya.
Di antara pelopor aliran ini adalah Ibn Syihab al-Zuhri (w. 124 H./741 M.), dan Nafi’ Maula
Abdullah ibn Umar (w. 117 H./735 M.) yang keduanya merupakan guru imam Malik ibn
Anas (w. 117 H./735 M.)
Dinamika disiplin fiqh menunjukkan perkembangan yang sangat berarti dengan lahirnya
mujtahid-mujtahid fiqh. Ketika akhir masa Umayyah, telah lahir tokoh madzhab fiqh yakni
Imam Abu Hanifah di Irak (lahir 80 H./699 M.) dan Imam Malik ibn Anas di Madinah (lahir
96 H./714 M.), sedangkan Imam al-Syafi’i dan Imam Ahmad ibn Hanbal lahir pada masa
Abbasiyah .
Di antara jasa dinasti Umayah dalam bidang pendidikan, menurut Hasan Langgulung, adalah
menekankan ciri ilmiah pada masjid sehingga menjadi pusat perkembangan ilmu dalam tahap
perguruan tinggi dalam masyarakat Islam. Dengan penekanan ini, di masjid diajarkan
beberapa macam ilmu, misalnya syair, sastra, kisah-kisah bangsa dulu, dan theologi dengan
menggunakan metode debat. Dengan demikian, periode antara permulaan abad II H sampai
akhir abad ketiga hijriah merupakan zaman pendidikan masjid yang paling cemerlang .

4. Pendidikan Pada Masa Abbasiyah


Charles Michael Stanton berkesimpulan bahwa sepanjang masa klasik Islam, penentuan
sistem dan kurikulum pendidikan berada di tangan ulama, kelompok orang-orang yang
berpengetahuan dan diterima sebagai otoritatif dalam soal-soal agama dan hukum , bukan
ditentukan oleh struktur kekuasaan yang berkuasa. Agaknya, kesimpulan ini tidak dapat
dipertahankan seutuhnya, terutama, ketika dihadapkan dengan kenyataan kasus lembaga
pendidikan madrasah al-mustansiriyah. Sebagaimana hasil penelitian Hisam Nashabe, negara
melakukan kontrol terhadap pengaruh-pengaruh yang ditimbulkan oleh madrasah itu, bahkan
juga melakukan investigasi metode pengajarannya . Dengan intervensi semacam ini
dimungkinkan negara (state) menetapkan struktur kurikulum yang dijalankan oleh lembaga-
lembaga pendidikan di kalangan masyarakat luas.
Sekedar untuk menetralisasi perdebatan di atas, agaknya kesimpulan Stanton itu lebih
ditujukan pada lembaga pendidikan yang tidak berbentuk madrasah, seperti kuttab. Sebab,
sistem pendidikan yang dioperasikan oleh madrasah ternyata memiliki kepentingan-
kepentingan tertentu, baik kepentingan madzhab fiqh, teologi, atau kepentingan politis.
Bahkan, dalam tradisi pendidikan klasik, madrasah itu dibangun atas dasar wakaf seseorang
yang dalam ke-biasaannya memang menargetkan tujuannya masing-masing .
Menurut Hasan ‘Abd al-‘Al, seorang ahli pendidikan Islam alumni Universitas Thantha,
dalam tesisnya menyebutkan tujuh ‘lembaga’ pendidikan yang telah berdiri pada masa
Abbasiyah ini, terutama pada abad ke-4 Hijriyah. Ketujuh lembaga itu adalah lembaga
pendidikan dasar [al-kuttab], lembaga pendidikan masjid [al-masjid], kedai pedagang kitab,
[al-hawanit al-waraqin], tempat tinggal para sarjana [manazil al-‘ulama], sanggar seni dan
sastra [al-shalunat al-adabiyah, perpustakaan [dawr al-kutub wa dawr al-‘ilm], dan lembaga
pendidikan sekolah [al-madrasah] .
Semua ‘institusi’ itu memiliki karakteristik tersendiri dan kajiannya masing-masing.
Sungguhpun demikian, secara umum, seluruh lembaga pendidikan itu dapat diklasifikasikan
menjadi tiga tingkat. Pertama, tingkat rendah yang terdiri dari kuttab, rumah, toko, dan pasar,
serta istana. Kedua, tingkat sekolah menengah yang mencakup masjid, dan sanggar seni, dan
ilmu pengetahuan, sebagai lanjutan pelajaran di kuttab. Ketiga, tingkat perguruan tinggi yang
meliputi masjid, madrasah, dan perpustakaan, seperti Bait al-Hikmah di Baghdad dan Dar al-
‘ulum di Kairo.
Pada tingkat pertama, yakni tingkat pendidikan rendah, kurikulum yang diajarkannya
meliputi : membaca al-quran dan menghafalnya, pokok-pokok agama Islam, seperti wudlu,
shalat, dan puasa, menulis, kisah orang-orang yang besar, membaca dan menghafal syair-
syair, berhitung, dan pokok-pokok nahwu dan shorof alakadarnya. Sungguhpun demikian,
kurikulum seperti ini tidak dapat dijumpai di seluruh penjuru, tetapi masing-masing daerah
terkadang berbeda. seperti pendapat Ibn Khaldun yang dikutip oleh Hasan ‘Abd al-‘Al, di
Maroko (Maghribi) hanya diajarkan al-Quran dan rasm (tulisan)nya. Di Andalusia, diajarkan
al-Quran dan menulis serta syair, pokok-pokok nahw dan sharf serta tulisan indah (khath). Di
Tunisia (Afriqiah) diajarkan al-Quran, hadits dan pokok-pokok ilmu agama, tetapi lebih
mementingkan hafalan al-Quran .
Waktu belajar di kuttab dilakukan pada pagi hari hingga waktu shalat Ashar mulai hari Sabtu
sampai dengan hari Kamis. Sedangkan hari Jum’at merupakan hari libur. Selain hari Jum’at,
hari libur juga pada setiap tanggal 1 Syawal dan tiga hari pada hari raya Idhul Adha. Jam
pelajaran biasanya dibagi tiga. Pertama, pelajaran al-Quran dimulai dari pagi hari hingga
waktu Dhuha. Kedua, pelajaran menulis dimulai pada waktu Dhuha hingga waktu Zhuhur.
Setelah itu anak-anak diperbolehkan pulang untuk makan siang. Ketiga, pelajaran ilmu lain,
seperti nahwu, bahasa Arab, syair, berhitung, dan lainnya, dimulai setelah Zhuhur hingga
akhir siang [Ashar] . Pada tingkat rendah ini, tidak menggunakan sistem klasikal, tanpa
bangku, meja, dan papan tulis. Guru mengajar murid-muridnya dengan berganti-ganti satu
persatu. Begitu juga tidak ada standar buku yang dipakai.
Pada jenjang pendidikan dasar, metode yang dipakai adalah metode pengulangan dan hafalan.
Artinya, guru mengulang-gulang bacaan al-Quran didepan murid dan murid mengikutinya
yang kemudian diharuskan hafal bacaan-bacaan itu. Bahkan, hafalan ini tidak terbatas pada
materi-materi al-Quran atau hadits, tetapi juga pada ilmu-ilmu lain . Tak terkecuali untuk
pelajaran syair, guru mengungkapkan syair dengan lagu (wazn) yang paling mudah sehingga
murid mampu menghafalkannya dengan cepat.
Pada jenjang pendidikan menengah disediakan pelajaran al-Quran, bahasa Arab dan
kesusasteraan, fiqh, tafsir, hadits, nahw/sharf/balaghah, ilmu-ilmu eksakta, mantiq, falak,
tarikh, ilmu-ilmu kealaman, kedokteran, dan musik . Seperti halnya pendidikan rendah,
kurikulum jenjang pendidikan menengah dibeberapa daerah juga berbeda.
Menurut Hasan ‘Abd al-‘Al, metodologi pengajaran disesuaikan dengan materi yang
bersangkutan. Menurutnya, secara garis besar metode pengajaran dibedakan menjadi dua.
Pertama, metode pengajaran bidang keagamaan [al-manhaj al-diniy al-adabiy] yang
diterapkan pada materi-materi berikut: Fiqh [‘ilm al-fiqh], tata bahasa [‘ilm al-Nahw],
theologi [‘ilm al-kalam], menulis [al-kitabah], Lagu [‘arudh], sejarah [‘ilm al-akhbar
terutama tarikh]. Kedua metode pengajaran bidang intelektual [alm manhaj al’ilmiy al-
adabiy] yang meliputi olahraga [al-riyadhah], ilmu-ilmu eksakta [al-thabi’iyah], filsafat [al-
falasafah], kedokteran [thibb], dan musik yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Arab,
serta ilmu-ilmu kebahasaan dan keagamaan yang lain .
Jenjang pendidikan tingkat tinggi tampaknya memiliki perbedaan di masing-masing lembaga
pendidikan. Namun, secara umum lembaga pendidikan tingkat tinggi mempunyai dua
fakultas. Pertama, fakultas ilmu-ilmu agama serta bahasa dan sastra Arab. Fakultas ini
mengkaji ilmu-ilmu berikut: Tafsir al-Quran, Hadits, Fiqh dan Ushul al-Fiqh, Nahw/Sharf,
Balaghah, bahasa dan satra Arab. Kedua, fakultas ilmu-ilmu hikmah [filsafat]. Fakultas ini
mempelajari ilmu-ilmu berikut: manthiq, ilmu-ilmu alam dan kimia, musik, ilmu-ilmu
eksakta, ilmu ukur, falak, ilmu-ilmu teologi, ilmu hewan, ilmu-ilmu nabati, dan ilmu
kedokteran .
Semua mata pelajaran ini diajarkan di perguruan tinggi dan belum diadakan spesialisasi mata
pelajaran tertentu. Spesialisasi itu ditentukan setelah tamat dari perguruan tinggi, berdasarkan
bakat dan kecenderungan masing-masing sesudah praktek mengajar beberapa tahun. Hal ini
dibuktikan oleh Ibn Sina, sebagaimana diterangkan dalam karya Thabaqat athibba, bahwa
setelah Ibn Sina menamatkan pendidikan tingkat menengah dalam usia 17 tahun, ia belajar
lagi selama 1,5 tahun. Ia mengulang membaca mantiq dan filsafat kemudian ilmu-ilmu
eksakta dan ilmu-ilmu kealaman. Kemudian ia mengkaji ilmu ketuhanan dengan membaca
kitab Ma Wara al-Thabi’ah (metafisika) karya Aristoteles, juga karya-karya al-Farabi. Ibn
Sina mendapat kesempatan membaca literatur-literatur di perpustakaan al- Amir, seperti
buku-buku kedokteran, bahasa Arab, syair, fiqh, dan sebagainya. Literatur-literatur itu
dibacanya sehingga ia mendapat hasil yang memuaskan. Ia selesai studi disana dalam usia 18
tahun. Hal ini seperti berlaku juga kepada orang lain .
Metode yang dipakai dalam lembaga pendidikan tingkat tinggi adalah halaqah. Guru duduk
diatas tikar yang dikelilingi oleh para mahasiswanya. Guru memberikan materi kepada semua
mahasiswa yang hadir. Jumlah mahasiswa yang mengikuti tergantung kepada guru yang
mengajar. Jika guru itu ulama besar dan mempunyai kredibilitas intelektual maka para
mahasiswanya banyak. Akan tetapi, jika sebaliknya niscaya sepi dari para mahasiswa, bahkan
mungkin jadi halaqah-nya ditutup.
Menurut Charles Michael Stanton, sebelum guru menyampaikan materi, ia terlebih dahulu
menyususn ta’liqah. Ta’liqah ini memuat silabus dan uraiannya yang disusun oleh masing-
masing tenaga pengajar berdasarkan catatan perkuliahannya ketika menjadi mahasiswa, hasil
bacaan, dan pendapatnya tentang materi yang bersangkutan. Ta’liqah mengandung rincian-
rincian materi pelajaran dan dapat disampaikan untuk jangka waktu empat tahun. Mahasiswa
menyalin ta’liqah itu dalam proses dikte, bahkan kebanyakan mereka betul-betul menyalin.
Akan tetapi, sebagian yang lain, menambahkan pada salinan ta’liqah ini dengan pendapatnya
sendiri-sendiri sehingga ta’liqah nya merupakan refleksi pribadi tentang materi kuliah yang
disampaikan gurunya .
Menurut Hasan ‘Abd al-‘Al, metode pendidikan yang dilakukan pada jenjang tingkat tinggi
ini meliputi metode-metode sebagai berikut. Pertama, metode ceramah [al-muhadlarah].
Dalam metode ini, guru menyampaikan materi kepada semua mahasiswa dengan diulang-
ulang sehingga mahasiswa hafal terhadap apa yang dikatakannya. Pada metode ini, terbagi
menjadi dua cara, metode dikte [al-imla] dan metode pengajuan kepada guru [al-qiraat ‘ala al
syaikh aw al-‘ardl]. Kedua, metode diskusi [al-munadzarah]. Metode ini digunakan untuk
menguji argumentasi-argumentasi yang diajukan sehingga dapat teruji. Metode ini oleh
kalangan Mu’tazilah menjadi salah satu pilar yang sangat penting dalam sistem
pendidikannya. Ketiga, metode koresponden jarak jauh [al-ta’lim bi al-murasilah]. Metode ini
merupakan salah satu metode yang digunakan oleh para mahasiswa yang menanyakan suatu
masalah kepada guru yang jauh secara tertulis, lalu guru itu memberikan jawabannya secara
tertulis pula. Keempat, metode rihlah ilmiah. Metode in dilakukan oleh para mahasiswa baik
secara pribadi maupun secara berkelompok dengan cara mendatangi guru dirumahnya—yang
biasanya jarak jauh—untuk berdiskusi tentang suatu topik. Guru yang didatangi biasanya
adalah guru yang dianggap memiliki keahlian dalam bidangnya .
Mahasiswa yang telah menamatkan pendidikannya diberikan ijazah. Mahasiswa itu telah
lulus ujian dan mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan ketika munaqasyah.
Ijazah terkadang dalam bentuk lisan dan dalam bentuk tulisan. Ijazah ini tidak diberikan oleh
sekolah, tetapi oleh guru yang mengajarinya. Dengan diberikannya ijazah berarti yang
bersangkutan diperbolehkan meriwayatkan atau menyampaikan pelajaran kepada mahasiswa
yang lain .
Di masa pemerintahan Wazir Nizam al Mulk, berkembang pendidikan yang lebih modern
yaitu Nidzamiyyah. Madrasah Nidzamiyyah merupakan lembaga pendidikan yang terstruktur,
manajemen dan administrasinya sangat tertata dengan baik. Dengan sistem sentralistik,
semua kurikulum, metode pembelajar-an, sistem belajar, pengangkatan guru dan semua
keperluan madrasah diatur oleh Pusat. Hal itu menjadikan tidak sembarangan orang bisa
menjadi guru di Madrasah Nidzamiyyah, karena pusat melakukan seleksi yang sangat ketat.
Menurut Toha Hamim (2007) jangankan melamar menjadi guru, melamar untuk menjadi
murid-pun harus melalui seleksi yang tidak mudah, sehingga pelajar yang diterima Madrasah
Nidzamiyyah adalah mereka yang betul-betul handal. Bahkan disebutkan, bahwa Imam al-
Ghazali baru bisa masuk ke Madrasah Nidzamiyyah setelah umur 21 tahun dengan proses
seleksi dan tes masuk yang sangat ketat, sehinga saat itu Madrasah Nidzamiyyah betul-betul
menjadi madrasah yang favorit dan bonafit .
Para pelajar Madrasah Nidzamiyyah mendapat berbagai fasilitas dan kemudahan (beasiswa
dan jaminan kesejahteraan), terlebih bagi mereka yang berprestasi. Madrsah Nidzamiyyah
menyediakan buku literatur diperpustakaan lebih dari 6000 judul buku. Demikian juga
dengan para guru atau Syechpun mendapat perhatian khusus.
Di antara Guru Besar Universitas Nidzamiyah adalah Imam Haramain, tempat di mana Imam
al-Ghazali pernah menimba ilmu. Ia dijuluki Imam Haramain karena pernah tinggal di dua
kota suci, Makkah dan Madinah. Ulama ini bernama lengkap Abdul Malik bin Abdullah bin
Yusuf bin Muhammad Al-Juwanini An-Nisaburi. Dia dilahirkan di Bustanikan, Nisabur, pada
12 Pebruari 1058. Pendidikan pertamanya didapatkan dari ayahnya yang bernama Syekh
Abdullah, seorang keturunan Arab berdarah bangsawan. Di samping itu, Al-Juwaini juga
menimba ilmu di sekolah agama yang berada di wilayah tempat tinggalnya .
Madrasah Nizamiyah merupakan perguruan pertama Islam yang mengguna-kan sistem
sekolah. Artinya, dalam Madrasah Nizamiyah telah ditentukan waktu penerimaan siswa, test
kenaikan tingkat dan juga ujian akhir kelulusan. Selain itu, Madrasah Nizamiyah telah
memiliki manajemen tersendiri dalam pengelolaan dana, memiliki kelengkapan fasilitas
pendidikan-dengan perpustakaan yang berisi lebih dari 6000 judul buku yang telah diatur
secara katalog dan juga laboratorium, memiliki sistem perekrutan tenaga pengajar yang ketat
dan pemberian bea siswa untuk yang berprestasi. Sehingga Charles Michael Stanton
menyatakan bahwa Madrasah Nizamiyah merupakan Perguruan Islam modern yang pertama .
Meski Madrasah Nizamiyah memiliki spesifikasi pada kajian teologi dan hukum Islam,
namun dalam kurikulum yang digunakan terdapat pula perimbangan yang proporsional antara
disiplin ilmu keagamaan (tafsir, hadis, fiqh, kalam dan lainnya) dan disiplin ilmu aqliyah
(filsafat, logika, matematika, kedokteran dan lailnnya). Bahkan, pada masa itu, kurikulum
Nizamiyah menjadi kurikulum rujukan bagi institusi pendidikan lainnya.
Selain adanya institusi pendidikan yang memiliki kapabilitas tinggi, pada masa kejayaan
Islam, kegiatan keilmuan benar-benar mendapat perhatian 'serius' dari pemerintah. Sehingga
kebebasan akademik benar-benar dapat dilaksanakan, kebebasan berpendapat benar-benar
dihargai, kalangan akademis selalu didorong untuk senantiasa mengembangkan ilmu melalui
forum-forum diskusi, perpustakaan selalu terbuka untuk umum, bahkan perpustakaan pribadi
dan istana pun terbuka untuk umum . Namun setelah kejatuhan Bagdad pada tahun 1258 M,
dunia pendidikan Islam pun mengalami kemunduran dan kejumudan. Paradigma pendidikan
Islam pun mengalami distorsi besar-besaran. Dari serbuah paradigma yang progresif dengan
dilandasi keinginan menegakkan agama Allah menjadi paradigma yang sekedar
mempertahankan apa yang telah ada.

5. Pendidikan Pada Masa Muhammad bin Abduh


Muhammad Abduh Ibn Hasan Khairullah, lahir di sebuah desa di propinsi Gharbiyyah pada
tahun 1265 H/1849 M.Salah satu gebrakan Abduh sepanjang karirnya adalah dalam
pembaharuan pendidikan. Abduh menjelaskan bahwa pen-didikan itu penting sekali
sedangkan ilmu pengetahuan itu wajib dipelajari.
Munculnya pemikiran Abduh tentang pendidikan dilatarbelakangi oleh kondisi social dan
pemahaman keagamaan umat Islam Mesir waktu itu. Kondisi tersebut ditandai dengan
pemikiran yang statis dan jumud, suburnya taqlid, khurafat, bid’ah, serta system pendidikan
yang bersifat dualistic. Kondisi yang sesungguh-nya tidak menguntungkan umat Islam, baik
syariat, akidah, moral, maupun system kemasyarakatan.
Di Mesir waktu itu terdapat dua system pendidikan yang satu dengan yang lain sulit untuk
dikompromikan. Pertama, Sistem pendidikan yang berorientasi pada agama dan menutup diri
terhadap system pendidikan modern, sebagaimana yang dikembangkan oleh Barat. Model
seperti ini masih terlihat di pendidikan al-Azhar. Wacana pendidikan agama berada pada
posisinya yang tradisional, baik system, kurikulum, materi pendidikan yang berlindung pada
warisan literature abad pertengahan. Pendekatan yang demikian menurut Abduh tidak relevan
lagi dengan perkembangan ilmu dewasa ini. Karena, metode tersebut merusak tumbuhnya
dya nalar (intelektual) peserta didik. Dalam bukunya al-A’mal al-Kamila, Abduh
menawarkan pembaharuan intelektual dan renaisans Islam. Maka dari itu, Abduh mencoba
menawarkan metode pendidikan yang lebih dinamis dan kondusif bagi pengembangan
intelektual peserta didik.
Kedua, system pendidikan menekankan pada aspek kualitas. Model pen-didikan ini
berorientasi pada pengembangan ilmu-ilmu modern dan menutup diri dari jamahan ilmu-ilmu
agama. Melihat system pendidikan yang terkotak-kotak, maka Abduh mencoba mencairkan
kristal pemahaman dikotomik yang selama ini menghantui umat Islam. Upaya tersebut
ditujukan guna menyelamatkan umat Islam dari keterbelakangan, terutama dalam
membangun wacana kebudayaan kekinian, melalui system pendidikannya yang integral.
Abduh juga memperjuangkan system pendidikan fungsional yang bukan import, yang
mencakup pendidikan universal bagi semua anak, laki-laki maupun perempuan. Semuanya
harus mempunyai kemampuan dasar seperti membaca, menulis dan berhitung.
Yang menjadi pertanyaan adalah adakah relevansi pemikiran Abduh dengan pendidikan
Islam dewasa ini ?
Pengembangan kualitas manusia dalam kehidupan menurut ajaran Islam haruslah merupakan
sintesa dialektika perkembangan dunia dimana ia berada, dengan wahyu ilahiah. Dari
interaksi pluraistik itu memungkinkan manusia me-merlukan bantuan orang lain (proses
pendidikan). Sedangkan proses pendidikan harus membantu peserta didik untuk mampu
berinteraksi secara social dan memanfaatkan alam bagi kehidupannya. Dengan demikian,
kebudayaan dan peradapan akan lahir dari hasil proses akumulasi perjalanan kehidupannya.
Sudah saatnya bahwa pendidikan perlu dikaji ulang agar bias dan benar-benar mampu
berfungsi untuk menumbuhkan daya kreativitas peserta didik yang menunjang kualitas
pendidikan, sekaligus melestarikan nilai-nilai Ilahi dan insani serta membekalinya dengan
kemampuan yang produktif dan berkualitas.
Abduh memberikan gambaran dan tujuan yang nyata tentang pendidikan, melalui pemikiran-
pemikirannya ternyata sangat cocok dan relevan dengan apa yang dibutuhkan oleh
masyarakat saat ini. Pemikiran Abduh secara nyata memberikan peluang seluas-luasnya
kepada proses kerja akal untuk berkreasi semaksimal mungkin tanpa ada kekangan dan
doktrin-doktrin yang memper-sempit ruang gerak akal.
Bahwa pendidikan bukan hanya milik sekelompok orang, tanpa memandang perbedaan
keyakinan, jenis kelamin, suku dan Negara. Sangatlah relevan dengan kebutuhan zaman
sekarang, bahwa persaingan untuk mendapatkan pendidikan sangat terbuka luas, tanpa
memandang jenis kelamin, suku, bangsa, kaya dan miskin semua mempunyai kesempatan
yang sama untuk mendapatkan pendidikan.

BAB IV
PENGARUH TIPOLOGI FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM TERHADAP
PENGEMBANGAN KURIKULUM

A. KURIKULUM DAN TIPOLOGI FILSAFAT PENDIDIKAN


Kurikulum bagi sebuah system pendidikan merupakan komponen yang utama – keberhasilan
suatu pendidikan salah satunya ditentukan oleh kualitas kurikulum yang ditetapkan atau
digunakan dalam proses pembelajaran. Hal tersebut karena kurikulum diasumsikan sebagai
rencana pendidikan atau pengajaran, yang terdiri dari empat komponen, yaitu: mengajar
(kegiatan professional guru terhadap murid), belajar (kegiatan responsi siswa terhadap guru),
pembelajaran (interaksi antara guru murid pada proses belajar mengajar) dan kurikulum
(pedoman proses belajar mengajar), sehingga secara langsung atau tidak langsung kurikulum
merupakan dokumen tertulis dan sekaligus merupakan rencana pendidikan yang given di
sekolah. Tetapi, kurikulum tidak hanya dinilai dari segi dokumen dan rencana pendidikan,
karena ia harus memiliki fungsi operasional kegaiatan belajar mengajar, dan menjadi
pedoman bagi pengajar maupun peserta didik.
Dalam perspektif filosofis, pemikiran-pemikiran yang berkembang di seputar bagaimana
menyiapkan konsep pendidikan yang berdimensi kebijaksanaan (hikmah) menjadi agenda
tersendiri untuk menyiapkan perangkat pendidikan yag humanis, jujur dan spiritualis. Pakar
filsafat pendidikan Islam membedakan tipologi filsafat pendidikan menjadi beberapa tipologi,
yaitu :
1. Tipologi Perenial-Esensialis Salafi – tipe perennial-esensialis salafi lebih menonjol-kan
wawasan kependidikan Islam era salafi, sehingga pendidikan Islam berfungsi sebagai upaya
melestarikan dan mempertahankan nilai-nilai (Ilahiyah dan insaniah), kebiasaan dan tradisi
masyarakat salaf (era kenabian dan sahabat), karena mereka dipandang sebagai masyarakat
yang ideal.
2. Tipologi Perenial-Esensialis Mazhabi adalah tipologi yang lebih menonjolkan wawasan
kependidikan Islam yang tradisional dan kecendrungan untuk mengikuti aliran, pemahaman
atau doktrin, serta pola-pola pemikiran sebelumnya yang dianggap sudah relative mapan.
3. Tipologi Modernis - lebih menonjolkan wawasan kependidikan Islam yang bebas,
modifikatif, progresif dan dinamis dalam menghadapi dan merespon tuntutan dan kebutuhan
dari lingkungannya, sehingga pendidikan Islam berfungsi sebagai upaya melakukan
rekontruksi pengalaman yang terus menerus, agar dapat berbuat sesuatau yang intelligent dan
mampu mengadakan penyesuaian dan penyesuaian kembali sesuai dengan tuntutan dan
kebutuhan dari lingkungan pada masa sekarang.
4. Tipologi Perenial-Esensialis Kontekstual-Falsifikatif – mengambil jalan tengah antara
kembali ke masa lalu dengan jalan melakukian kontekstualisasi serta uji falsifikasi dan
mengembangkan wawasan-wawasan kependidikan Islam masa sekarang selaras dengan
tuntutan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta perubahan social yang ada.
5. Tipologi Rekontruksi Sosial Berlandaskan Tauhid - cocok untuk diterapkan pada
masyarakat atau daerah yang berkeinginan dan potensial untuk maju, dan pada masyarakat
yang warganya bersikap individualis dan egois, atau terjangkit penyakit social.

B. PENGARUH TIPOLOGI FILSAFAT PENDIDIKAN TERHADAP PENGEMBANG-AN


KURIKULUM
Sadar atau tidak pengembangan kurikulum sangat dipengaruhi oleh latar belakang filosofis
yang mempengaruhi pengambil kebijakan pendidikan. Dewasa ini dikembangkan lebih kuat
kepada keberhasilan siswa yang memiliki life skill atau keahlian hidup tertentu dalam
pendidikan, sehingga kurikulum yang dikembangkan pun mengarah bagaimana pendidikan
memberikan bekal ketrampilan hidup yang dapat digunakan oleh siswa untuk bertahan hidup,
maka SMK menjadi salah satu primadona pengembangan pendidikan dengan kecenderungan
kurikulum seperti itu. Disamping berkembang pemikiran bahwa dengan terbatasnya tempat
pendidikan yang tersedia pada Perguruan Tinggi dan kurangnya kemampuan ekonomi yang
dimiliki oleh peserta didik, maka opsi pengembangan ketrampilan menjadi lebih dominant,
sekaligus untuk menyiapkan tenaga kerja yang memiliki ketrampilan memadahi.
Dalam perspektif Islam, pendidikan sangat erat kaitannya dengan pola pemikiran yang
mendasari konsep keagamaan mereka. Jika mereka memiliki filosofi tradisionalis barangkali
pengembangan kurikulum yang ada adalah untuk mengembangkan atau bahkan
mempertahankan filosofi salaf, demikian juga mereka yang berpandangan khalaf, akan
menjadikan tren pemikiran masa depan sebagai dasar pengembangan kurikulum. Madrasah
sebagai kelanjutan cetak biru pendidikan Islam setelah tradisi kepesantrenan, memiliki peran
yang penting untuk menunjukkan pola dan bentuk pengembangan kurukulum pendidikan
Islam.
Dengan mendasarkan pemikiran pada polarisasi pendapat mengenai tipologi Filsafat
pendidikan Islam, barangkali dapat ditemukan korelasi antara cara pandang filosofis seorang
pendidik dalam menentukan muatan kurikulum yang didesain dan diaplikasikannya terutama
perwujudannya dalam bentuk silabus dan rencana pelaksanaan pembelajarannya. Berikut ini
bentuk pengaruh yang barangkali muncul berdasarkan tipologi Filsafat Pendidikan Islam
yaitu :
1. Jika tipologi Perenial-Esensialis Salafi yang lebih menonjolkan wawasan kepen-didikan
Islam era salafi, maka pengaruh yang nampak dalam format kurikulumnya adalah upaya
melestarikan dan mempertahankan nilai-nilai (Ilahiyah dan insaniah), kebiasaan dan tradisi
masyarakat salaf (era kenabian dan sahabat), karena mereka dipandang sebagai masyarakat
yang ideal.
Untuk mewujudkan tata nilai tersebut, maka metode-metode pembelajaran-nya biasa
dilakukan melalui ceramah dan dialog, diskusi atau perdebatan, dan pemberian tugas-tugas.
Manajemen kelas diarahkan kepada pembentukan karakter,keteraturan, keseragaman, bersifat
kaku dan terstruktur, tepat dan sesuai tatanan, teratur dalam jalankan tugas-tugasnya.
Ujiannya menggunakan ujian-ujian essay, tes-tes diagnostic, tes prestasi belajar yang
terstandarisasi dan tes kompetensi berbasis amaliah .
Dengan demikian orientasi pendidikan agama Islam diorientasikan pada: (a) membantu
peserta didik dalam menguak, menemukan dan menginternalisasikan kebenaran-kebenaran
masa salaf al-shalih; dan (b) menjelaskan dan menyebar-kan warisan sejarah dan budaya salaf
melalui sejumlah inti pengetahuan yang terakumulasi yang telah berlaku sepanjang masa dan
karena itu penting diketahui oleh semua orang.

2. Format Perenial-Esensialis Mazhabi yang lebih menonjolkan wawasan kependidikan Islam


yang tradisional dan kecendrungan untuk mengikuti aliran, pemahaman atau doktrin, serta
pola-pola pemikiran sebelumnya yang dianggap sudah relative mapan, akan melahirkan
format kurikulum yang bersifat kaku dan terstruktur oleh kepentingan aliran atau mazhab.
Metode-metode pembelajaran yang biasa dilakukan adalah ceramah dan dialog, diskusi atau
perdebatan dengan tolok ukur pandangan iman-iman mazhabnya, dan pemberian tugas-tugas.
Manajemen kelas diarahkan kepada pembentukan karakter,keteraturan, keseragaman, bersifat
kaku dan terstruktur, tepat dan sesuai tatanan, teratur dalam jalankan tugas-tugasnya.
Ujiannya menggunakan ujian-ujian essay, tes-tes diagnostic, tes prestasi belajar yang
terstandarisasi dan tes kompetensi berbasis amaliah.
Berdasarkan tipologi di atas pendidikan diorientasikan pada: (a) membantu para peserta didik
dalam menguak, menemukan dan menginternalisasikan kebe-naran-kebenaran agama sebagai
hasil interpretasi ulama pada masa pasca salaf al-shalih atau masa klasik dan pertengahan; (b)
menjelaskan dan menyebarkan warisan ajaran, nilai-nilai dan pemikiran para pendahulunya
yang dianggap mapan secara turun temurun, karena penting diketahui oleh semua orang .

3. Tipologi Modernis yang lebih menonjolkan wawasan kependidikan Islam yang bebas,
modifikatif, progresif dan dinamis dalam menghadapi dan merespon tuntutan dan kebutuhan
dari lingkungannya, akan mengarahkan kurikulum pada pendidikan yang bersifat rekontruksi
pengalaman yang terus menerus, meng-upgrade intelligent dan kemampuan mengadakan
penyesuaian sesuai dengan tuntutan dan kebutuhan dari lingkungan pada masa sekarang.
Tujuan pendidikan diorientasikan pada upaya memberikan ketrampilan-ketrampilan dan alat-
alat kepada peserta didik yang dapat dipergunakan untuk berinteraksi dengan lingkungan
yang selalu berada dalam proses perubahan.
Metode-metode pembelajarannya dilakukan melalui cooperative activities atau cooperative
learning,metode project, dan/atau scientific method (metode ilmiah) ,yaitu dengan jalan
mengidentifikasi masalah-masalah yang terkait dengan tema-tema tersebut ,merumuskan
hipotesis, dan melaksanakan penelitian di lapangan . Manajemen kelasnya lebih diarahkan
pada pemberian kesempatan kepada peserta didikuntuk berpartisipasi, keterlibatan aktif
dalam pembelajaran, serta penciptaan proses belajar secara demokratis. Evaluasinya lebih
banyak menggunakan evaluasi formatif, dengan asumsi bahwa setiap peserta didik mem
punyai kelebihan-kelebihan tertentu, yang berbeda antara satu dengan lainnya.

4. Tipologi Perenial-Esensialis Kontekstual-Falsifikatif yang mengambil jalan tengah antara


kembali ke masa lalu dengan jalan melakukian kontekstualisasi serta uji falsifikasi dan
mengembangkan wawasan-wawasan kependidikan Islam masa sekarang yang selaras dengan
perkembangan zaman akan melahirkan konsep kurikulum yang kompromis yaitu
memasukkan nilai etis dan modernitas.
Tujuan pendidikan yang didasarkan tipologitersebut adalah: (a) membantu peserta didik
dalam menguak, menemukan dan menginternalisasikan kebenaran-kebenaran masa lalu pada
salaf al-shalih atau masa klasik dan pertengahan; (b) menjelaqskan dan menyebarkan warisan
ajaran dan nilai salaf atau para pendahulu yang dianggap mapan dalam uji sejarah.
Evaluasinya lebih mengguna-kan evaluasi formatif, dengan asumsi bahwa setiap peserta
didik mempunyai kelebihan-kelebihan tertentu, yang berbeda antara satu dengan lainnya.

5. Tipologi Rekontruksi Sosial Berlandaskan Tauhid - cocok untuk diterapkan pada


masyarakat atau daerah yang berkeinginan dan potensial untuk maju, dan pada masyarakat
yang warganya bersikap individualis dan egois, atau terjangkit penyakit social. Tipologi
tersebut akan mendorong munculnya kurikulum terutama kurikulum pendidikan agama
mengarah kepedulian dan kesadaran peserta didik akan masalah-masalah yang dihadapi oleh
umat manusia, yang merupakan bagian dari kewajiban dan tanggung jawab pemeluk agama
Islam untuk memecahkan melalui da’wah bi al-hal,baik yang terkait dengan masalah social,
ekonomi, politik dan budaya.
Kurikulumnya memusatkan perhatian pada masalah-masalah social dan budaya yang
dihadapi masyarakat dan mengharapkan agar peserta didik dapat memecahkan masalah-
masalah tersebut melalui pengetahuan dan konsep-konsep yang telah diketahui. Metode yang
digunakan adlah simulasi, bermain peranan, internship, work study.

BAB V
KESIMPULAN

A. KESIMPULAN
Bahwa terdapat relevansi yang sangat jelas antara tipologi filsafat pendidikan Islam dengan
pengembangan kurikulum. Kurikulum atau pengembangan kurikulum berdasarkan asumsi
atau gagasan-gagasan mendasar berkaitan dengan pendidikan itu sendiri.
Secara umum bentuk pengaruh tipologi Filsafat Pendidikan Islam terhadap pengembangan
kurikulum adalah sebagai berikut :
1. Tipologi Perenial-Esensialis Salafi (wawasan kependidikan Islam era salafi), memberi
pengaruh kepada upaya melestarikan dan mempertahankan nilai-nilai, tradisi masyarakat
salaf. Sedangkan bentuk metode pembelajarannya dilakukan melalui ceramah dan dialog,
diskusi atau perdebatan, dan pemberian tugas-tugas dengan pola evaluasi diarahkan pada
ujian-ujian essay, tes-tes diagnostic, tes prestasi belajar yang terstandarisasi dan tes
kompetensi berbasis amaliah. Orientasi pendidikan agama diarahkan pada upaya membantu
peserta didik dalam menguak, menemukan dan menginternalisasikan kebenaran-kebenaran
masa salaf al-shalih; dan menjelaskan dan menyebarkan warisan sejarah dan budaya salaf.
2. Tipologi Perenial-Esensialis Mazhabi (kependidikan Islam yang tradisional dan
kecendrungan untuk mengikuti aliran, pemahaman atau doktrin), akan melahir-kan format
kurikulum yang bersifat kaku dan terstruktur oleh kepentingan aliran atau mazhab. Metode-
metode pembelajaran yang biasa dilakukan adalah ceramah dan dialog, diskusi atau
perdebatan dengan tolok ukur pandangan iman-iman mazhabnya. Ujiannya menggunakan
ujian-ujian essay, tes-tes diagnostic, tes prestasi belajar yang terstandarisasi dan tes
kompetensi berbasis amaliah. Sedangkan orientasi pendidikannya mengarah pada upaya
membantu para peserta didik dalam menguak, menemukan dan menginternalisasikan
kebenaran agama sebagai hasil interpretasi ulama pada masa klasik dan pertengahan; dan
menjelaskan dan menyebarkan warisan ajaran, nilai-nilai dan pemikiran para pendahulunya.
3. Tipologi Modernis (kependidikan Islam yang bebas, modifikatif, progresif dan dinamis
dalam menghadapi perkembangan zaman), akan mengarahkan kurikulum pada pendidikan
yang bersifat rekontruksi pengalaman, mengupgrade intelligent dan kemampuan
mengadakan. Metode-metode pembelajarannya dilakukan melalui cooperative learning,
metode project, dan atau scientific method (metode ilmiah). Evaluasinya lebih banyak
menggunakan evaluasi formatif, dengan asumsi bahwa setiap peserta didik mempunyai
kelebihan-kelebihan tertentu, yang berbeda antara satu dengan lainnya.
4. Tipologi Perenial-Esensialis Kontekstual-Falsifikatif (kependidikan kompromis masa lalu
dengan jalan melakukan kontekstualisasi-uji falsifikasi dan mengem-bangkan wawasan-
wawasan kependidikan Islam masa kekinian), akan melahirkan konsep kurikulum yang
kompromis yaitu memasukkan nilai etis dan modernitas. Tujuan pendidikannya adalah:
membantu peserta didik dalam menguak, mene-mukan dan menginternalisasikan kebenaran-
kebenaran masa lalu pada salaf al-shalih dan menjelaskan – menyebarkan warisan ajar.
Bentuk evaluasinya lebih menggunakan evaluasi formatif, dengan asumsi bahwa setiap
peserta didik mem-punyai kelebihan-kelebihan tertentu, yang berbeda antara satu dengan
lainnya.

5. Tipologi Rekontruksi Sosial Berlandaskan (terapi untuk masyarakat maju, individualis dan
patologis), akan mendorong munculnya kurikulum pendidikan agama mengarah kepedulian
dan kesadaran peserta didik akan masalah-masalah yang dihadapi oleh umat manusia, sebagai
kewajiban dan tanggung jawab keagamaan untuk memecahkan melalui da’wah bi al-hal
(masalah social, ekonomi, politik dan budaya). Kurikulumnya memusatkan perhatian pada
masalah-masalah social dan budaya yang dihadapi masyarakat dan mengharapkan agar
peserta didik dapat memecahkan masalah-masalah tersebut melalui pengetahuan dan konsep-
konsep yang telah diketahui. Metode yang digunakan adalah simulasi, bermain peranan,
interpreneurship, work study.

DAFTAR KEPUSTAKAAN

Ahmad Syalabi, “Tarikh al-Tarbiyah al-Islamiyah” diterjemahkan oleh Muchtar Jahja dan M.
Sanusi Latief, sedjarah Pendidikan Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1973), cet. ke-1,
Albert Hourani, A History of the Arab Peoples, (Cambridge: The Belknap Press of Harvard
University Press, 1991),
Asma Hasan Fahmi, “Mabadi al-Tarbiyah al-Islamiyah” diterjemahkan oleh Ibrahim Husein,
Sejarah dan Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Bulan Bintang , 1997), cet. ke-1,
Badr al-Din Ibn Jama’ah, Tadzkirat al-Sami wa al-Mutakallim fi Adab al-Alim wa al-
Muta’allim, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1354 H)
Charles Michael Stanton, “Higher Learning in Islam: The Classical Period, A.D. 700-1.300”,
Terj. Affandi dan Hasan Asari, Pendidikan Tinggi dalam Islam: Sejarah dan Peranannya
dalam Kemajuan dan Ilmu Pengetahuan, (Jakarta: Logos, 1994), cet. ke-1,
Franz Rosenthal, The Classical Heritage in Islam, (London: Routledge and Kegan Paul,
1975),
Johannes Pederson, “The Arabic Book”, diterjemahkan oleh Alwiyah Abdurrahman, Fajar
Intelektulisme Islam: Buku dan Sejarah Penyebaran Informasi di Dunia Arab, (Bandung
Mizan, 1996), cet. ke-1,
Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-aliran, Sejarah Analisa Perbandingan, (Jakarta: UI-
Press, 1986), cet. ke-5,
Hasan ‘Abd al-‘Al, al-Tarbiyah al-Islamiyah fi al-Qarn al-Rabi’ al-Hijriy, (ttp: Dar al-Fikr al-
‘Arabi, tth)
Hasan Langgulung, Pendidikan Islam Menghadapi Abad ke-21, (Jakarta : Pustaka al-Husna,
1998), cet. Ke-1
H. Ahmad Taufiq, Mengenang Dinasti Saljud dan Madrasah Nidzamiyyah" dalam
http://www.misykat-kediri.co.cc/2009/04
Hisham Nashabe, "Muslim Educational Institution: a General Survey Followed by a
Monografic Study of al-Madrasah al-Mustansiriyah in Baghdad", (Libanon: Libraire du
Liban, 1989),
Husein Al-Kaff, "Kuliah Filsafat Islam " Materi disampaikan di Yayasan Pendidikan Islam
Al-Jawad) dimuat juga dalam http://aljawad.tripod.com/artikel/ filsafat_ilmu.htm.
Http://mazguru, wordpres, com/ Madrasah Nidzamiyyah Sejarah dan perkem-bangannya
http://bangjackq.blogspot.com/2009/05/perlunya pendidikharus filsafat/ pemikir-an
pendidikan Islam
Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: Hidakarya Agung, 1992), cet. ke-2,
M. Ajjaj al Khatib, " Ushul Hadits" (Beirut, Darl Fikr, TTh)
M. Khoirul Anam, "Melacak Paradigma Pendidikan Islam; Sebuah Upaya Menuju
Pendidikan Yang Memberdayakan", dalam Http://re-search.com/mk-anam.html
Mukhlis Fahruddin, "Konsep Pendidikan dalam Al-Qur’an dan Pengembangannya dalam
Menghadapi Problem Pendidikan dalam http://www.mukhlisfahruddin. web.id/
2009/03/konsep-pendidikan-dalam-al-quran-dan_4555.html
Muhammad ‘Athiyah al-Abrasyi, al-Tarbiyah al-Islamiyah wa Falasafatuha, (Beirut: Dar al-
Fikr, tth.),
Munir Mursiy, al-Tarbiyah al-Islamiyah: Ushuluha wa Tathawwuruha fi al-Bilad al-
‘Arabiyah, (Kairo:’Alam al-Kutub, 1977),
Muhammad Athiyah al-Abrasyi, “al-Tarbiyah al-Islamiyah”, diterjemahkan oleh Bustami A.
Ghanidan Djohar Bahry, Dasar-dasar pokok pemikiran Islam”, (Jakarta: Bulan Bintang,
1993), cet. ke-7,
Muhammad Thanthawi, Nasy’at al-Nahw wa Tarikh Asyhur al-Nuhat, (ttp: Dar al-Manar,
tth.),
Munawwar Chalil, Empat Biografi Imam Madzhab, (Jakarta: Bulan Bintang, 1989).
Sistem, Metode, Dan Kurikulum Pendidikan Islam Klasik dalam http://suwendi
2000.wordpress.com/sistem-metode-dan-kurikulum-pendidikan-islam-klasik/
Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren: Studi tentang Pandangan Hidup Kyai, (Jakarta:
LP3ES, 1994), cet. ke-4,

Anda mungkin juga menyukai