Dalam sejarahnya, perkembangan ilmu pengetahuan yang tercatat oleh sejarah atas
kemenangan yang sangat menggemparkan dan sebagai awal yang menyebabkan banyaknya
ditemukan teori ilmiah dan temuan ilmiah atas kemenangan kedaulatan akal. Seiring
perkembangannya, ilmu pengetahuan modern membawa corak yang sangat mengedepankan
rasionalistik dan sekaligus empiris-positivistik, itu menandakan bahwa adanya upaya untuk
menyentralkan segala sesuatu yang berhubungan dengan ilmu pengetahuan itu mesti
bersentral pada manusia antroposentris. Yang membawa laju ilmu pengetahuan sebagai
nahkoda kapal yang didasari basis epistemologi yang sesuai dengan coraknya, klaim bebas
nilai, dan humanistik. Perkembangan inilah yang berkembang dengan melibatkan nilai-nilai
keagamaan sebagai spirit.
Kita melihat dan menyadari bahwa memang sebenarnya agama memiliki spirit pembaharuan
dan spirit pembebasan dalam peradaban manusia tetapi nyatanya kita yang paham belum
mampu mentransformaikannya dalam suatu gerakan. Maka dari itu, kita menginginkan
perlunya nilai nilai keagamaan itu turut terlibat dalam pembahasan suatu gerakan, dan nilai-
nilai itulah yang termanifestasikan melalui wahyu akan menjadi bagian dari basis
epistemologis.
Perlunya integralisasi sebagai pemberangkatan atas pembaharuan itu dimulai dari akarnya.
Akar inilah yang dinamakan epistemologi dari paradigma Humanisme-teosentris, tak lain
adalah bagaimana upaya melibatkan wahyu sebagai sumber untuk memperoleh ilmu
pengetahuan yang selama ini sangatlah jarang dilibatkan dalam pembahasan. Upaya dengan
bagaimana menyandingkan antara wahyu, rasio, dan empiris (data). Melalui integralisasi
inilah, dimana ketiganya mampu saling berkomunikasi dan didialektikakan tanpa adanya
dominasi diantar ketiganya, tetapi sama memiliki perannya masing-masing secara
proporsional sehingga pada akhirnya menjadi pisau analisis permasalahan. Kehadiran wahyu
inilah yang dimasukkan dalam epistemologis sebagai bentuk perlawana atas perkembangan
ilmu pengetahuan yang seperti dijelaskan diatas klaim bebas nilai, rasionalistik, dan empiris-
positivistik.
Basis epistemologi ini memiliki perannya sendiri-sendiri yang akan saling bertanya dan akan
didialektikakan. Pertama, wahyu sebagai landasan atau petunjuk untuk memandang realitas
atas dasar nilai nilai keagamaan. Kedua, rasio juga adalah sebagai alat untuk membaca
realitas dengan penalaran akal pikiran. Dan ketiga, adalah empiris sebagai data yang
menggambarkan kejadian realitas. Namun untuk mendialektikakan ketiganya juga diperlukan
pendekatan untuk memahami kehadiran wahyu dengan metode pendekatan sintetik-analitik.
Metode pendekatan sintetik inilah sebagai konsep yang sudah ada di dalam qur’an dan
dikontekstualisasikan menuju kejadian realitas saat ini dengan metode pendekatan analitik.
Melalui proses pengawinan inilah yang menjadi semangat gerakan sosial yang akan
dilakukan.
Selama ini, basis epistemologi yang dikembangkan terutama di IMM melalui dimensi
praksis-sosial bisa dikatakan tidak terlalu melibatkan wahyu sebagai basis epistemologi
gerakannya, hanya mengedepankan rasionalistik, empiris-positivistik data sebagai sumber
yang mendominasi. Artinya, permasalahannya adalah wahyu yang tidak diberi ruang
berperan dengan baik, dan belum mampu dipahami untuk mengkontekstualisasikannya dalam
suatu gerakan.
Tentunya, Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah harus fasih dalam memahami persoalan ini,
terutama dalam kajian ini sebagai upaya dalam mewujudkan dan menegaskan bahwa gerakan
IMM adalah gerakan Islam yang berlandaskan qur’an dan sunna.. IMM harus hadir dalam
pembahasan seperti ini, sebab tak bisa dipungkiri, tantangan zaman inilah yang harus
terjawabkan oleh IMM itu sendiri, sebagai pencerah peradaban.
Bebas nilai
Antroposentris Rasionalistik
Empiris-positivistik
Humasnisme-
Manusia-Tuhan (sentral)
teosentris
epistemologi
- Dialektis.
-Pendekatan Sintetik-
analitik