Anda di halaman 1dari 24

MAKALAH

FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM

DI SUSUN GUNA MEMENUHI TUGAS


MATA KULIAH METODE DAKWAH ISLAM

DOSEN PENGAMPUH: ABDUL MALIK, S.H

Penulis :
YULIANA PUASA (2210026)

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM


DARUL DA’WAH WAL-IRSYAD
MAKASSAR
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Masalah Pendidikan dalam perspektif Islam dikenal dengan istilah tarbiyah, ta’lim,
ta’dib dan riyadah. Pendidikan Islam dapat diartikan sebagai proses transternalisasi
pengetahuan dan nilai Islam kepada peserta didik melalui upaya pengajaran, pembiasaan,
bimbingan dan pengasuhan potensinya guna mencapai keselarasan dan kesempurnaan hidup
di dunia dan di akhirat.1 Jadi pendidikan islam adalah suatu pendidikan yang dalam
pelaksanaannya mempunyai karakteristik dan sifat keislaman, yakni pendidikan yang
didirikan dan dikembangkan diatas dasar ajaran yang bersumber dari Islam. Hal ini berarti,
bahwa seluruh pemikiran dan aktifitas pendidikan Islam tidak mungkin lepas dari ketentuan
bahwa semua pengembangan dan aktifitas kependidikan Islam haruslah benar-benar
merupakan realisasi dan pengembangan dari ajaran Islam itu sendiri. Dengan demikian
pengertian pendidikan Islam adalah suatu sistem kependidikan yang mencakup seluruh aspek
kehidupan yang dibutuhkan oleh hamba Allah, sebagaiman Islam telah menjadi pedoman
bagi seluruh aspek kehidupan manusia, baik duniawi maupun ukhrawi
Secara sederhana dapat diartikan bahwa, pendidikan islam pada dasarnya
memproyeksikan diri memproduk insan yang kamil, yaitu manusia yang sempurna dalam
segala hal. Untuk meraih tujuan ini maka realisasinya harus sepenuhnya bersumber dari cita-
cita yang diwahyukan Allah swt. dan Sunnah Nabi Muhammad saw. yang Tujuan pendidikan
Islam tidak terlepas dari tujuan hidup manusia dalam Islam, yaitu untuk menciptakan pribadi-
pribadi hamba Allah yang selalu bertakwa kepadaNya, dan dapat mencapai kehidupan yang
berbahagia di dunia dan akhirat. Mengenai ini dalam Alquran telah dijelaskan dalam surah
Al-Dzariat:
َ ‫ت ْال ِج َّن َوااْل ِ ْن‬
56: ‫س ِااَّل ِليَ ْعبُ ُدوْ ِن‬ ُ ‫َو َما خَ لَ ْق‬
Artinya: dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka
mengabdi kepada-Ku.(Mengenalku) (Al-Dzariyat:56)

1
Abdul Mujib, Jusuf Muzakir, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Prenada Media Group, 2006) hal 6
Berdasarkan ayat di atas sangaat jelas bahwa tujuan dari pendidikan islam itu pada
hakikatnya adalah realisasi dari cita-cita ajaran Islam itu sendiri, yang membawa misi bagi
kesejahteraan umat manusia di dunia dan akhirat. Kesejahtraan itu dapat diproleh apabila kita
menjalankan tugas kita sebagai hamba yaitu untuk beribadah kepada sang Khalik. Karena
dengan mengenal Sang Pencipta kita akan merasa butuh kepada Nya, dan kita akan
menjalankan segala urusan-urusan yang di perintahkan.
Rumusan-rumusan tujuan akhir pendidikan Islam telah disusun oleh para ulama dan
ahli pendidikan islam. Diantaranya adalah salah seorang cendikiawan islam yaitu Ibnu
Khaldun. Menurut Ibn Khaldun ada tiga tingkat tujuan pendidikan Islam yaitu2 :
1. Pengembangan kemahiran dalam bidang tertentu,
2. Penguasaan keterampilan professional sesuai dengan tuntutan zaman,
3. Pembinaan pemikiran yang baik, oleh karena itu pendidikan sebaiknya dibentuk
dan direalisasikan dengan terlebih dahulu memperhatikan pertumbuhan dan perkembangan
potensi psikologis peserta didik.
Jadi dapat dipahami bahwa pendidikan islam pada dasarnya merupakan suatu proses
perkembangan yang bertujuan. Tujuan proses perkembangan itu secara alamiah adalah
kedewasaan atau kematangan. Sebab potensi yang dimiliki oleh manusia secara bertahap
berjalan secara alamiah menuju kedewasaan dan kematangan. Potensi tersebut akan terwujud
apabila dikondisikan secara alamiah dan sosial manusia memungkinkan. Ini merupakan suatu
masalah dalam proses perkembangan manusia, karena setiap manusia memiliki potensi dan
kehidupan sosial yang berbeda. Masalahnya terletak bagaimana suatu individu menghadapi
proses perkembangan tersebut.
Adanya aktivitas dalam pendidikan dan lembaga pendidikan merupakan jawaban dari
manusia terhadap masalah tersebut. Timbul problem dan pikiran pemecahan itu adalah bidang
filsafat, dalam hal ini berarti filsafat pendidikan. Dapat diuraikan bahwa pendidikan
merupakana pelaksana dari ide-ide filsafat. Jika dikaitkan dalam islam berarti ide-ide filsafat
tersebut tidak terlepas dari sumber islam itu sendiri. Jadi peranan filsafat pendidikan islam
merupakan sumber pendorong adanya pendidikan islam.
Secara sederhana, ketika filsafat pendidikan islam merupakan suatu pendorong
adanya pendidikan islam, maka muncullah problematika-problematikan untuk menyeleraskan
pendidikan dengan tuntutan zaman. Problematika filsafat pendidikan
2
Warul Walidin, Konstelasi Pemikiran Ibnu Khaldun, (Lhokseumawe: Nadiya Foundation, 2003), Hal. 105.

tersebut bersumber dalam bidang pendidikan itu sendiri. Juga, tidak dapat dipisahkan dengan
perubahan-perubahan yang terjadi di dalam masyarakat. Tidak bisa kita pungkiri lagi bahwa
proses pendidikan itu tidak berlangsung di ruang kosong, melainkan berada di tengah-tengah
masyarakat yang selalu berubah cepat, sehingga apa yang terjadi dalam masyarakat akan
berpengaruh pada bidang pendidikan.
Menurut Harold Titus (dalam Yunus Abu Bakar) mengemukakan lima pengertian
mengenai falsafat sebagai berikut:
1. Falsafat adalah sekumpulan sikap dan kepercayaan terhadap kehidupan dan alam
yang biasanya diterima secara kritis.
2. Falsafat adalah suatu proses kritik atau pemikiran terhadap kepercayaan dan sikap
yang sangat kita junjung tinggi.
3. Falsafat adalah usaha untuk mendapatkan gambaran keseluruhan.
4. Falsafat adalah analisa logis dari bahasan serta penjelasan tentang arti kata dan
konsep. 5. Falsafat adalah sekumpulan problema-problema yang langsung mendapat
perhatian dari manusia dan yang dicarikan jawabannya oleh ahli falsafat3 .
Memberikan arah agar teori pendidikan yang telah dikembangkan oleh para ahlinya, yang
berdasarkan dan menurut pandangan dan aliran filsafat tertentu, mempunyai relevansi dengan
kehidupan nyata. Dalam hal ini berarti, dalam dunia pendidikan islam itu sendiri telah
dikembangkan dan dapat diterapkan dalam praktek kependidikan islam sesuai dengan
kenyataan dan kebutuhan hidup yang juga berkembang dalam masyarakat. Di sinilah letak
fungsi filsafat pendidikan islam dalam memilih dan mengarahkan teori-teori pendidikan dan
kalau perlu juga merevisi teori pendidikan tersebut, yang sesuai dan relevan dengan
kebutuhan, tujuan dan pandangan hidup dari masyarakat sesuai dengan hakikat pendidikan
dalam islam. Konsep pendidikan dalam filsafat pendidikan islam merupakan ide pendidikan
yang langsung bersumber dari Allah swt. Sebagai pendidik yang maha sempurna dan konsep
pendidikan yang sempurna. Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka diambil judul
yang dikaji dan diuraikan yaitu tentang problema-problema pokok dalam filsafat pendidikan
islam.

3
Yunus Abu Bakar, Filsafat Pendidikan Islam, (Bahan Ajar, UIN Sunan Ampel Surabaya, 2014), hal.
1
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas maka dapat dirumuskan masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana peranan Filsafat Pendidikan Islam?
2. Bagaimana problema-problema pokok filsafat pendidikan islam?

C. Tujuan Penulisan Makalah


1. Untuk mengkaji peranan filsafat pendidikan islam
2. Menguraikan problema-problema pokok filsafat pendidikan islam.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Peranan Filsafat Pendidikan Islam
Manusia dalam perjalanan hidupnya tidak pernah terlepas dari makhluk, dalam arti
kata bahwa mulai dari dalam kandungan sampai manusia itu meninggalkan dunia ini alam
terus berperan dalam hidup setiap manusia. Secara tidak langsung alam ini merupakan guru
manusia itu sendiri. Pandangan Islam tentang alam, manusia dan masyarakat, bahkan seluruh
realitas alam jika dikaji secara lebih mendalam dan intensif tentu akan mengarah pada
timbulnya problem mengenai filsafat atau pandangan hidup, muaranya juga merupakan
subsistem dari filsafat pendidikan4 . Melalui potensi yang dimiliki oleh manusia itu sendiri,
untuk menghadapi alam selalu berupaya agar bisa berdampingan dengan alam itu sendiri
walaupun sebagian manusia dengan potensi yang dimilikinya alam ini menjadi rusak. Tapi
disisi lain dapat dilihat bahwa dengan proses berpikir tersebut manusia sudah berfilsafat.
Sesuai dengan landasan yang digunakan, ide-ide dari pikiran tersebut dibuat dalam satu
konsep dan dituangkan dalam sebuah aturan yang dinamakan dengan pedidikan.
Menurut Ibnu Khaldun, kemampuan berpikir manusia baru secara aktual jika telah
memiliki kemampuan membedakan5 . Akal pikir manusia akan mencari persepsipersepsi yang
tidak dimilikinya, dengan begitu manusia akan mencari objek dan subjek yang lain yang tidak
dimilikinya. Setelah itu, hasil pemikiran tersebut akan dicurahkan satu persatu dalam suatu
kebenaran yang manfaatnya dapat dirasakan esensi dan eksestensinya.
Kemajuan suatu umat dan bangsa sangat tergantung pada jenis ilmu yang
dikembangkannya. Dalam kenyataan sejarah, abad ke-8 sampai abad ke-13 umat Islam
mengalami kemajuan. Salah satu penyebab sehingga umat Islam mengalami kemajuan pada
masa itu karena umat Islam mengembangkan ilmu integralistitik. Setelah abad ke13
peradaban Islam mengalami kemunduran, disebabkan umat Islam tidak lagi mengembangkan
ilmu seperti di era kejayaannya6 . Bahkan pada masa kini umat Islam mengalami
permasalahan dalam pengembangan ilmu, disebabkan munculnya jenis ilmu

4
Hasan Langgulung, Manusia dan Pendidikan, (Jakarta: Pustaka Al Husna, 1986), hal. 3
5
Warul Walidin,...Konstelasi Pemikiran.......hal.104.
6
Haidar Putra Daulay, Modernisasi Islam: Tokoh Gerakan dan Gagasa, (Bandung: Ciptapustaka
Media, 2001), hal.178
baru di dunia Islam. Pada masa ini umat islam risih dalam mempelajari sehingga ketinggalan
dengan negara-negara barat. Ketika negara barat masuk pada masa kemajuan dunia ilmu dan
teknologi, umat islam baru terjaga sehingga umat islam hanya tergiring untuk mulai sadar
akan hal itu.
Dalam menyikapi masa yang kelam ini, untuk merebut dan meraih kejayaan, umat
Islam harus terus menerus mencari paradigma pendidikan dengan berusaha menggali kembali
ajaran Islam, baik Al-Qur‟an, al-sunnah, sejarah Islam maupun tulisan para ulama dan
sarjana muslim dari berbagai disiplin ilmu 7 . Pencarian paradigma pendidikan Islam
dimaksudkan agar ditemukan konsep dan sistem pendidikan Islam secara utuh yang dapat
menjawab permasalahan yang dihadapi umat islam sehinggatidak jauh dari peradapan yang
sedang berjalan. Yang terpenting adalah agar tidak sulit mengembangkan teori ilmu yang
tidak bebas nilai dari ajaran Islam, kemudian mengoperasionalkannya dalam kehidupan
sehari-hari. Ajaran Islam sebagaimana terkandung dalam Al-Qur‟an dan al-sunnah
sebenarnya kaya akan fundamental doctrines dan fundamental values dalam berbagai aspek
kehidupan manusia, yang dapat digali dan ditangkap sesuai disiplin keilmuan atau bidang
keahlian seseorang 8
. Para pemerhati dan pengembang pendidikan Islam akan berusaha
mengungkap dan menggalinya dari aspek kependidikan.
Salah satu upaya penggalian dan pengkajian fundamental doctrines dan fundamentalis
values dari Al-Qur‟an dan al-sunnah yang dilakukan oleh para pemerhati dan pengembang
pendidikan Islam, yakni upaya memahami ajaran-ajaran dan nilai-nilai dasar yang terkandung
dalam Al-Qur‟an dan Hadis dengan mengikutsertakan dan mempertimbangkan khazanah
intelektual muslim klasik di bidang pendidikan. Salah satu kelemahan pendidikan Islam yang
dirasakan adalah kaya konsep fundasional atau kajian teoritis, tetapi miskin demensi
operasional atau praktisnya, atau sebaliknya kaya operasional tetapi lepas dari konsep
fundasionalnya. Hal inilah yang membuat keilmuan islam tersebut tidak terlihat nuansa
karakteristik keislamannya atau konsep keilmuan yang kaku. Padahal pada dasarnya sumber
utama islam adalah al Quran dan Hadis, kedua sumber tersebut sangat konplit isinya untuk
menjawab permasalahan umat islam. Tetapi untuk merealisasikan isi kandungan kedua
sumber tersebut masih dangkal alat

7
Azzumardi Azra, Pendidikan Islam, Tradisi dan Modernisasi Menuju Melenium Baru, (Jakarta: Logos
Wacana Ilmu, 1999), hal.85.
8
Ibid,....hal. 8
untuk mengkajinya. Untuk mencegah timbulnya kesenjangan antara teori dan praktek,
maka salah satu cara yang ditempuh adalah mencari konsep-konsep filosofis pendidikan
Islam. Berbicara konsep-konsep filosofis setiap bidang, termasuk pendidikan Islam tertuju
pada ontologi, epistimologi dan aksiologi. Penguatan pada setiap disiplin ilmu sangat
ditentukan ketiga hal tersebut. Artinya syarat keilmiahan sebuah ilmu sangat ditentukan
ketiga sasaran kajian filsafat tersebut
Syariat sendiri mewajibkan nadhar (penelitian) terhadap semua wujud dengan
(penalaran) rasio, dan kemudian mengambil pelajaran (i’tibar) darinya. Sedangkan i’tibar itu
sendiri tidak lebih dari menggali dan mengeluarkan sesuatu yang majhul dari sesuatu yang
maklum. Hal tersebut dapat diambil dari karya-karya aplikatif yang bersifat amaliah (praktis)
dan puncak dari semua karya itu adalah filsafat (Rusyd dalam human) 9 . Pada dasarnya
berfilsafat adalah berfikir secara mendalam dan sampai kepada berspekulasi. Untuk itu,
filsafat menghendaki olah pikir yang sadar, teliti dan teratur. Dengan kata lain, manusia
menugaskan pikirannya untuk bekerja sesuai dengan aturan dan hukum-hukum yang ada,
berusaha menyerap semua yang berasal dari alam, baik yang berasal dari dalam dirinya atau
diluarnya. Ajakan kembali kepada Islam bukan sekadar ajakan kepada peninggalan masa lalu
yang harus dipelihara, tetapi adalah ajakan kepada sumber vital, dinamis, berkembang dan
progressif sepanjang masa. Ia memiliki fleksibelitas pada prinsip-prinsip umumnya yang
berkenaan dengan penyusunan kehidupan manusia menyebabkannya sesuai bagi setiap waktu
dan tempat10 .
Pendidikan Islam sebagaimana juga pendidikan modern harus dilandasi oleh suatu
pemikiran filosofis tertentu dalam usaha memecahkan problem yang dihadapinya. Filsafat
pendidikan Islam dalam hal ini memainkan peran penting bagaimana menguraikan
problematika mendasar dalam pendidikan Islam. Adapun filsafat pendidikan Islam berasal
dari filsafat hidup Islam, hal itu mencakup kebenaran (truth) yang bersifat spekulatif dan
praktikal yang menolong untuk menafsirkan tentang manusia, sifat-sifat ilahiyah-Nya, nasib
kesudahannya, dan keseluruhan hakikat

9
Human Mustajib, Filsafat Pendidikan Hasan Langgulung, (Jurnal El Tarbawi: Vol.IX, No 2,
2016). Hal. 84
10
Hasan Langgulung, Asas-asas Pendidikan Islam, (Jakarta: Pustaka Al Husna,1987),hal 44
(reality). Hal tersebut berdasarkan pada prinsip-prinsip tertinggi dan tidak berubah pada
kesalahan bagi tingkah laku individu dan masyarakat (Langgulung, dalam Human)11 .
Manusia kemudian melihat kenyataan bahwa yang terjadi dalam kehidupan ini tidak
semua berkembang sesuai sebagaimana yang diharapkan. Lahirlah di dalam pemikiran
manusia problem-problem tentang kemungkinan terhadap perkembangan potensi manusia itu.
Terutama dalam syariat islam yang kebenaran itu bersumber langsung dari Allah swt. Aturan-
aturan tersebut telah jelas tinggal bagaimana manusia menyelaraskan dalam kehidupan.
Dengan adanya aktivitas dan lembaga pendidikan yang merupakan jawaban dari masalah-
masalah yang dihadapi manusia. Karena pendidikan merupakan pelaksana ide-ide dari filsafat
itu sendiri. Dalam bentuknya yang lebih terperinci kemudian filsafat pendidikan islam
menjadi jiwa dan pedoman asasi pendidikan. Ajaran yang termuat dalam wahyu merupakan
dasar dan sumber bagi filsafat. Hal ini menunjukkan filsafat pendidikan Islam yang berisi
teori umum mengenai pendidikan Islam dikontruksikan berdasarkan konsep ajaran Islam
yang termuat dalam al-Qur‟an dan Hadist. Meskipun demikian, filsafat pendidikan Islam
juga mengambil sumber-sumber dari ajaran lain yang sejalan, atau tidak bertentangan dengan
pokok ajaran Islam12 .
Hakikat manusia pada dasarnya adalah tidak terlepas dari aqal, nafs, dan qalb. Ketiga
hal inilah yang bersatu dalam ruh yang mengistruksikan jasad untuk melakukan sesuatu.
Ketika nafs tidak terkendali oleh qalb maka jiwa manusia akan mengarahkan kepada hal-hal
yang tidak baik. Disinilah peran penting dari filsafat pendidikan islam itu sendiri, yaitu untuk
mengkonsep idep pendidikan yang bersumber dari wahyu ilahi dan hadis rasulullah saw.
Karena sebaik-baik pendidik adalah Allah swt, dan rasulullah merupakan peserta didik yang
sempurna, karena merupakan didikan langsung dari Allah swt.

B. Problema-Problema Pokok Filsafat Pendidikan Islam


Sumber utama dalam Filsafat pendidikan Islam yang didasarkan atas ajaran wahyu,
pada hakekatnya sejalan dengan yang dikehendaki oleh berfikir falsafi yakni mendasar,
menyeluruh tentang kebenaran yang ditawarkannya. Dalam proses

11
Humam, Filsafat Pendidikan...., hal. 86
12
Zubaedi. Isu-isu Baru dalam Diskursus Filsafat Pendidikan Islam dan Kapita selekta Pendidikan
Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012), hal. 23.
pertumbuhannya, filsafat sebagai hasil pemikiran para ahli filsafat atau para filosof sepanjang
kurun waktu dengan obyek permasalahan hidup didunia, telah melahirkan berbagai macam
pandangan. Pandangan-pandangan tersebut adakalanya saling menguatkan dan adapula yang
berbeda atau berlawanan. Sehingga hal ini menyababkan suatu problematika dalam filsafat
pendidikan Islam
Masalah dalam dunia pendidikan merupakan masalah hidup dan kehidupan yang
dijalani oleh manusia. Proses pendidikan berada dan berkembang bersama proses
perkembangan kehidupan manusia itu sendiri. Hadis Nabi Saw mengatakan “ Tuntutlah ilmu
mulai dari buaian hingga ke liang lahat, ini berarti bahwa seluruh proses hidup dan aktivitas
kehidupan manusia itu adalah proses pendidikan segala pengalaman sepanjang hidupnya
merupakan dan memberikan pengaruh pendidikan baginya. Berdasarkan hal ini secara umum
pendidikan itu tidak ada batasan, karena kesempatan orang untuk mendapatkan ilmu berbeda-
beda. Walau demikian, untuk secara formal bahwa peserta didik harus mendapatkan
pendidikan yang berstruktur dengan memberikan dasar- dasar dan pandangan hidup kepada
generasi yang sedang tumbuh, yang dalam prakteknya identik dengan pendidikan formal di
sekolah dan dalam situasi dan kondisi serta lingkungan belajar yang serba terkontrol.
Berdasarkan hal tersebut, masalah pendidikan akan berhubungan langsung dengan
hidup dan kehiupan manusia. Pendidikan merupakan usaha dari manusia dewasa yang telah
sadar akan kemanusiannya, dalam membimbing, melatih,mengajar dan menanamkan nilai-
nilai serta dasar-dasar pandangan hidup kepada generasi muda, agar nantinya menjadi
manusia yang sadar dan bertanggung jawab akan tugas-tugas hidupnya sebagai manusia,
sesuai dengan sifat hakikat dan cirri-ciri kemanusianya Dan pendidikan formal disekolah
hanya bagian kecil saja daripadanya.
Perkembangan zaman dalam kehidupan manusia berjalan secara langsung begitu
cepat. Masyarakat berjalan secara dinamis mengiringi perkembangan zaman tersebut. Seiring
dengan hal itu, filsafat sebagai suatu kajian ilmu juga berkembang dan melahirkan tiga
dimensi utama sekaligus. Ketiga dimensi utama filsafat ilmu ini adalah ontologi (apa yang
menjadi obyek suatu ilmu), epistemologi (cara mendapatkan ilmu), dan aksiologi (untuk apa
ilmu tersebut). Ontologi merupakan hakikat yang ada, yang merupakan asumsi dasar bagi apa
yang disebut sebagai kenyataan dan kebenaran. Epistemologi adalah sarana, sumber, tata cara
untuk menggunakannya dengan langkah-langkah progresinya menuju pengetahuan (ilmiah).
Adapun aksiologi adalah nilai-nilai sebagai tolok ukur kebenaran (ilmiah), etik, dan moral
sebagai dasar normatif dalam penelitian dan penggalian, serta penerapan ilmu13 .
1. Landasan Ontologi Pendidikan Islam
Manusia jika dikelompokkan dari segi kajian ontologi maka dapat dilihat dari tiga sudut
pandang, yaitu manusia sebagai individu, manusia sebagai makhluk sosial dan manusia yang
hidup dialam. Jika ditinjau dari manusia hidup di alam, berarti perkembangan dari kehidupan
manusia itu tergantung bagaimana cara manusia menghargai alam dan mengajarkan kepada
generasi selanjutnya. Pada dasarnya alam ini diciptakan Allah swt untuk manusia. Walaupun
demikian bukan berarti manusia bertindak semena-mena berbuat sekendak hatinnya.
Kemampuan manusia untuk menguasai alam ini terbatas sesuai dengan yang telah
ditaqdirkan Allah swt. Tugas manusia sebagai khalifah dipermukaan bumi ini adalah untuk
menjaga keseimbangan alam dan menjalankan perintah allah swt

Artinya: ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada Para Malaikat: "Sesungguhnya aku
hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi." mereka berkata: "Mengapa Engkau
hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan
menumpahkan darah, Padahal Kami Senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan
mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya aku mengetahui apa yang tidak
kamu ketahui." (QS. Al Baqarah: 30)

Walau demikian, meskipun telah ditundukkan untuk manusia dan dirancang sesuai
dengan hukum-hukum Allah swt sehingga memungkinkan untk diketahui manusia, namun
Allah swt tetap memerintahkan manusia untuk mempelajari alam semesta dengan semua
fonomena dan noumenanya14. Alam ini merupakan objek ilmu pengetahuan yang dapat diolah
untuk pemanfaatan bagi manusia.
13
Muhammad Noor Syam, Filsafat Kependidikan dan Dasar Filsafat Kependidikan Pancasila,
(Surabaya: Usaha Nasional, 1986), hal. 28.
14
Al Rasyidin, Falsafah Pendidikan Islam:membangun Kerangka Ontologi, Epistimologi, dan

Aksiologi Praktik Pendidikan Islam, (Bandung: Cipta Pustaka Media Perintis, 2008), hal.11.
Manusia sebagai mahluk individu, yang pada dasarnya manusia itu sendiri
berkembang dan bergerak menuju kearah kesempurnaan. Proses perubahan
danperkembangan ini baik fisik maupun rohani manusia perlu diberikan pendidikan agar
dapat menjalani kehidupan ini. Dikarenakan manusia itu sendiri merupakan integrasi yang
utuh antara dimensi material dan non material, maka pendidikan islami harus merupakan
suatu proses memberikan bantuan kemudahan kepada peserta didik untuk dapat
mengembangkan kedua dimensi tersebut dengan segenap daya-daya potensi yang
dimilikinya15 .
Manusia sebagai mahluk sosial, merupakan kehidupan manusia itu sendiri yang hidup
dimasyarakat. Masyarakat itu sendiri merupakan suatu kesatuan individu yang memiliki
keinginan yang sama dan tujuan yang sama. Mencermati hal tersebut, maka setiap
masyarakat memiliki tanggung jawab edukatif untuk mengingatkan, mengajak, mendidik,
melatih, mengarahkan dan membimbing sesamanya agar tetap berpegang teguh pada
perjanjian atau syahadah primordialnya dengan Allah swt16. Dalam hal ini, harapan utama
dalam filsafat pendidikan islam adalah agar terbentuknya peradapan manusia.
Ketiga kajian tersebut di atas merupakan hakikat dari alam, manusia, dan sosial.
Ketiga hal tersebut merupakan objek dari pendidikan itu sendiri yang ide-idenya dari filsafat
pendidikan. Berbicara dari hakikat sejalan dengan kajian dari ontologi dari filsafat. ontologi
adalah bidang pokok filsafat yang mempersoalkan hakikat keberadaan segala sesuatu yang
ada menurut tata hubungan sistematis berdasarkan hukum sebab akibat yaitu ada manusia,
ada alam, dan ada kuasa prima dalam suatu hubungan yang menyeluruh, teratur, dan tertib
dalam keharmonisan17. Ontologi dapat pula diartikan sebagai ilmu atau teori tentang wujud
hakikat yang ada. Obyek ilmu atau keilmuan itu adalah dunia empirik, dunia yang dapat
dijangkau panca indera. Dengan demikian, obyek ilmu adalah pengalaman inderawi. Dengan
kata lain, ontologi adalah ilmu yang mempelajari tentang hakikat sesuatu yang berwujud
(yang ada) dengan berdasarkan pada logika semata. Pengertian ini didukung pula oleh
pernyataan Runes bahwa“ontology is the theory of being qua being ”, artinya ontologi adalah
teori tentang wujud18 .
15 Ibid,....,hal.30.
16 Ibid,..., hal.38.
17 Suparlan Suhartono, Filsafat Pendidikan, (Yogyakarta: Kelompok Penerbit Ar- Ruzz
Media, 2007), hal 44.
18 Mohammad Noor, Filsafat Pendidikan,.......hal.32
Obyek telaah ontologi adalah yang ada dalam hal ini berarti Ontologi membahas
tentang yang ada, yang tidak terikat oleh satu perwujudan tertentu Hal senada juga
dilontarkan oleh Jujun Suriasumantri, bahwa ontologi membahas apa yang ingin diketahui
atau dengan kata lain merupakan suatu pengkajian mengenai teori tentang ada19. Dapat
dihapahami bahwa ontologi mempertanyakan hakikat realitas yang ada di dunia ini. Dalam
interaksinya dengan alam semesta, manusia mempertanyakan apakah realitas alam semesta
ini merupakan realitas materi. Ataukah ada realitas dibalik sesuatu yang ada itu. Apakah alam
semesta ini bersifat tetap, kekal tanpa perubahan. Ataukah alam semesta ini bersifat tidak
kekal.
Telah disebutkan di atas bahwa alam, manusia dan sosial masyarakat merupakan
wadah untuk pendidikan. Dalam lingkungan yang nampak ini termasuk segala yang
mengalami perubahan. Disini terdapat ketidaksempurnaan, ketidakteraturan, ketidaktenangan,
dan inilah alam kesulitan dan kesusahan, alam penderitaan dan kesengsaraan dan alam
kejahatan atau dosa. Sebaliknya keadaan alam realitas yang sejati tidaklah demikian, dia
merupakan alam ideal, alam pikiran sejati dan murni. Jadi di alam inilah terdapat nilai-nilai
yang langgeng, kualitas yang abadi dan disanalah terdapat keteraturan, kebenaran sejati,
kemakmuran, kedamaian, dan kelestarian segala sesuatu. Hakikat dari alam, manusia, dan
sosial masyarakat merupakan kajian ontologi filsafat pendidikan islam. Ini berarti pendidikan
islam itu sendiri harus seirama dengan hal tersebut agar hakikat dari tujuan pendidikan itu
tercapai yaitu menjadi insan yang kamil yang mendapat kesejahtraan dunia dan akhirat.
Pandangan ontologi ini secara praktis akan menjadi masalah utama pendidikan. Sebab
anak bergaul dengan lingkungannya dan mempunyai dorongan yang kuat untuk mengetahui
sesuatu. Anak-anak di sekolah atau masyarakat akan menghadapi realita, obyek pengalaman,
benda mati, sub human dan human20. Demikian juga dengan realita alam semesta ini dan
eksistensi manusia yang memiliki jasmani dan rohani. Jadi Anakanak sebagai peserta didik
harus dibimbing, dibina dan ditumbuh kembangkan untuk memahami realitas dunia yang
nyata ini dan untuk membimbing pengertian anak-anak dalam memahami suatu realita
bukanlah semata-mata kewajiban sekolah atau pendidikan. Kewajiban sekolah juga untuk
membina kesabaran tentang kebenaran yang

19
Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer.(Jakarta: Pustaka Sinar Harapan,
2003), hal 34.
20
Mohammad Noor, Filsafat Pendidikan,.......hal. 30
berpangkal atas realita. Ini berarti realita itu sebagai tahap pertama, sebagai stimulus untuk
menyelami kebenaran. Peserta didik juga secara sistematis wajib dibina potensi berpikir kritis
untuk mengerti kebenaran sesuai dengan tingkatan kemampuannya dalam memahami realita
tersebut.
Dengan pembinaan dan bimbingan tersebut, diharapkan peserta didik mampu
mengerti perubahan-perubahan di dalam lingkungan hidupnya baik tentang adat istiadat, tata
sosial dan pola-pola masyarakat, maupun tentang nilai-nilai moral dan hukum. Daya pikir
yang kritis akan sangat membantu pengertian tersebut. Kewajiban pendidik kaitannya dengan
ontologis ini ialah membina daya pikir yang tinggi dan kritis pada anak. Implikasi pandangan
ontologi dalam filsafat pendidikan islam terhadap pendidikan islam adalah bahwa dunia
pengalaman manusia yang harus memperkaya kepribadian bukanlah hanya alam raya dan
isinya dalam arti sebagai pengalaman sehari-hari
Jadi permasalahan utama dalam kajian ontology dalam filsafat pendidikan islam
adalah tentang hakikat dari konsep pendidikan itu sendiri. Berdasarkan uraian diatas bahwa
manusia tidak bisa terlepas dari alam, perkembangan individu manusia itu sendiri, dan
kehidupan social manusia itu sendiri. Dari tiga konsep telaah inilah kajian ontology
menguraikan bagaimana konsep pendidikan itu sendiri berdasarkan filsafat pendidikan islam
yang meliputi tentang bagaiman hakikat pendidik, peserta didik, kurikulum, serta sarana dan
prasarana pendidikan. Dalam filsafat pendidikan islam pendidik itu adalah Allah swt itu
sendiri. Jadi, pendidik disini bukanlah yang tergambar seolah-olah berdiri didepan kelas.
Kajian ontologi disini adalah sebagai pendidik maka harus dapat meresapi bagaimana sifat-
sifat allah swt. Allah itu maha Rahim, maka sebagai pendidik harus dapat
mengimplementasikan sifat kasih sayang itu terhadap dirinya untuk mendidik anak didiknya.
Begitu juga dengan sifat-sifat Allah swt. lainnya.
Jadi dapat di dikatakan adalah pendidik dalam filsafat pendidikan islam dalam kajian
ontologi filsafat pendidikan islam adalah Siapa saja orang yang bertanggung jawab terhadap
perkembangannya anak didik yang mengimplementasikan sifat-sifat Allah swt. Orang yang
paling bertanggung jawab adalah orang tua (ayah, ibu) anak didik, karena dapat dilihat dari
dua hal, yaitu Pendidik berarti juga orang dewasa yang bertanggung jawab memberi
pertolongan pada anak didik dalam perkembangan jasmani dan rohaninya, agar menacapai
tingkat kedewasaan, mampu berdiri sendiri dan
mematuhi tingkat kedewasaannya, mampu berdiri sendiri memenuhi tugasnya sebagai hamba
dan khalifah Allah SWT. Dan mampu sebagai makhluk sosial, dan sebagai makhluk individu
yang mandiri. Pendidik harus mampu membentuk rupa mentalrohaniah anak didik. Sebab
pada hakiktnya pendidik telah merepkan kedalam jiwamu dengan ragam pengetahuan dan
membimbingnya ke jalan keselamatan dan keabadian, seperti apa yang telah dilakukan oleh
Allah swt ketika mengajarkan Nabi Adam as.
Begitu juga halnya dengan peserta didik dan kurikulum, dalam kajian ontologi filsafat
pendidikan islam sistem pendidikan tersebut dikembalikan kepada Allah swt. Yang berupa
wahyu ilahi dan sunnah rasulullah saw. konsep tersebut sudah tergambar jelas dalam islam
bagaimana mekanismenya dan konsepnya.
2. Landasan Epistimologi Pendidikan Islam
Sedemikian jauh dunia pendidikan islam dianggap sebagai proses penyerahan
kebudayaan islam umumnya, dan ilmu pengetahuan khususnya. Yang menjadi pertanyaan
adalah apa sesungguhnya ilmu itu, dari mana sumber ilmu tersebut dan bagaimana proses
terjadinya. Inilah urusan epistimologi filsafat pendidikan islam itu. Suryasumantri dalam
Rasydin mengatakan bahwa epistimologi adalah bagian dari filsafat ilmu membahas tentang
proses dan prosedur menggali ilmu, metode untuk meraih ilmu yang benar, makna dan
kriteria kebenaran serta sarana yang digunakan untuk mendapatkan ilmu21 .
Dalam alquran disebutkan bahwa manusia memiliki potensi yang dapat digunakan
untuk meraih ilmu sehingga dapat menjalan tugasnya sebagai khalifah dipermukaan bumi ini.

Berdasarkan ayat tersebut, potensi-potensi yang dimiliki oleh manusia adalah jiwa,
pendengaran, penglihatandan hati. Potensi-potensi inilah yang digunakan untuk memproleh
ilmu. Diahir ayat dinyatakan bahwa dengan potensi-potensi yang telah
21
Al Rasyidin dan Ja‟far, Filsafat Ilmu Dalam Tradisi Islam, (Medan: Perdana Publishing,
2015), hal. 79.
diamanahkan Allah swt kepada manusia supaya manusia itu bersyukur. Makasud
bersyukur disini adalah bertanggung jawab dan menggunakan amanah yang telah diberikan
Allah swt dengan baik. Mula-mula manusia percaya bahwa dengan kekuasaan pengenalannya
ia dapat mencapai realitas sebagaimana adanya. Epistomologi mengkaji mengenai apa
sesungguhnya ilmu, dari mana sumber ilmu, serta bagaimana proses terjadinya. Dengan
menyederhanakan batasan tersebut, Brameld mendefinisikan epistomologi memberikan
kepercayaan dan jaminan bagi guru bahwa ia memberikan kebenaran kepada murid-
muridnya22. Kebenaran dalam filsafat pendidikan islam adalah kebenaran yang bersumber
dari Al Quran dan hadis. Tetapi tidak menafikan sumber lain yang berdasarkan pemikiran
manusia selama pemikiran itu sejalan dengan sumber islam itu sendiri.
Pengetahuan dalam islam berasal dari wahyu Allah swt yang diberikan kepada Nabi
Muhammad Saw, dan kita memerolehnya dengan jalan percaya bahwa Nabi benar. Pada
agama, yang harus kita lakukan adalah beriman, baru berpikir. Kita boleh memertanyakan
kebenaran agama, setelah menerima dan memercayainya, dengan cara rasional. Tapi kita
tetap harus percaya meskipun apa yang disampaikan agama itu tidak masuk akal atau tidak
terbukti dalam kenyataan. Jawaban yang diberikan agama atas satu masalah bisa sama,
berbeda, atau bertentangan dengan jawaban filsafat. Dalam hal ini, latar belakang
keberagamaan seorang filosof sangat memengaruhi. Jika ia beragama, biasanya ia cenderung
mendamaikan agama dengan filsafat, seperti yang tampak dari pemikiran-pemikiran filosof
muslim. Jika ia tidak beragama, biasanya filsafatnya berbeda atau bertentangan dengan
agama.
Secara praktis, fungsi utama agama adalah sebagai sumber nilai (ahklak) untuk
dijadikan pegangan dalam hidup budaya manusia. Agama juga memberikan orientasi atau
arah dari tindakan manusia. Orientasi itu memberikan makna dan menjauhkan manusia dari
kehidupan yang sia-sia. Nilai, orientasi, dan makna itu terutama bersumber dari kepercayaan
akan adanya Tuhan dan kehidupan setelah mati atau yang disebut dengan alam akhirat.
Dalam filsafat pendidikan islam, kegunaan epistimologi adalah untuk memproleh ilmu
pengtahuan sehingga kegunaan ilmu tersebut dapat digunakan untuk menjelaskan, meramal
atau memerkirakan, dan mengontrol. Penjelasan tersebut bersumber dari alquran dan hadis..
Dihadapkan pada masalah praktis, teori akan

22
Mohammad Noor, Filsafat Pendidikan,.......hal. 32
memerkirakan apa yang akan terjadi dalam pendidikan. Dari perkiraan itu, kita
memersiapkan langkah-langkah yang perlu dilakukan untuk mengontrol segala hal yang
mungkin timbul, entah itu merugikan atau menguntungkan.
Dalam kajian epistimologi filasafat pendidikan islam, ilmu itu dengan jenis apapun
berasal dari Allah swt. Ketika ditinjau dari berbagai aspek maka muncullah dikotomi ilmu
pengetahuan itu sendiri. Dikotomi ilmu adalah sikap yang membagi atau membedakan ilmu
secara teliti dan jelas menjadi dua bentuk atau dua jenis yang dianggap saling bertentangan
serta sulit untuk diintegralkan Dengan demikian, apapun bentuk pembedaan secara diametral
terhadap ilmu secara bertentangan adalah berarti dikotomi ilmu. Sehingga secara umum
timbul istilah “ilmu umum (non agama) dan ilmu agama; ilmu dunia dan ilmu akhirat; ilmu
hitam dan ilmu putih; ilmu eksak dan ilmu non-eksak, dan lain-lain. Bahkan ada pembagian
yang sangat ekstrim dalam pembagian ilmu pengetahuan dengan istilah seperti ilmu akhirat
dan ilmu dunia; ilmu syar‟iyyah dan ilmu ghairu syar‟iyyah23 .
Dalam perspektif fakta sejarah, proses pengembangan budaya dan ilmu pengetahuan
dalam islam, terjadi akulturasi nilai antar disiplin khazanah keilmuan islam. Pemikiran
filsafat diadopsi sebagai dasar pola pikir dalam ilmu kalam –padahal keduanya merupakan
disiplin ilmu yang berbeda- , maka terkesan adanya infiltrasi teoriteori yang fregmentatif-
konfrontatif dengan doktrin islam. Melihat fakta tersebut, tokohtokoh agam islam
mengeluarkan fatwa-fatwa yang “membabi buta” hingga mengharamkan filsafat, dan
mengkafirkan orang-orang yang mempelajaridan mengajarkannya. Salah satunya adalah al-
Ghazali dengan bukunya “Tahafut alFalasifah” dengan banyak mengecam filsafat24
Sedemikian hebatnya Al-Ghazali dalam penguasaan ilmu memunculkan pertanyaan
besar, apakah masih belum cukup untuk memberikan pengakuan bahwa ia benar-benar
mempunyai pengaruh yang signifikan bagi kemajuan peradaban dan perkembangan dunia
intelekual umat islam bahkan non-islam. Dan kecamana AlGhazali terhadap para filosof
dengan argument rasional dan filosofis dalam Tahafut alFalasifah masih belum cukup untuk
menunjukkan bahwa yang ia lakukan bukan dalam
23
Baharuddin, Dkk., Dikotomi Pendidikan Islam: Historisitas dan Implikasi Pada Masyarakat Islam,
(Bandung: Remaja Rosdakarya, 2011), hal. 44
24
Al-Ghazali, Neraca Kebenaran, diterjemahkan oleh Kamran As‟ad, (Yogyakarta: Pustaka Sufi,
2003), hal. Xii
rangka membunuh kreatifitas intelektual umat islam, apalagi menjauhkan peradaban islam
dari filsafat. Justru sebaliknya ia memberikan apresiasi yang sangat positif terhadap akal
sebagai salah satu instrumen mencari pengetahuan, karena yang dilakukannya adalah dalam
rangka mendudukkan akal manusia pada batas-batas wilayahnya25 .
Dalam kritiknya Al-Ghazali mengatakan “kafir” terhadap para filosof muslim saat itu, ia
menilai mereka terlalu jauh terkontaminasi logika Yunani yang tidak dilandasi pada
kebenaran wahyu Tuhan.[14] Sanggahan Al-Ghazali terhadap metafisika spektakuler filosof
muslim dan system pemikirirannya, tentang jaringan relasional antara sebab-akibat pada
peristiwa dan phenomena alam, merupakan sebuah perdebatan menarik dalam sejarah
pemikiran islam. Hal ini terbukti dengan munculnya counter kritis Ibnu Rusyd terhadap
pandangan Al-Ghazali yang dituangkan dalam Tahafut alTahafut.[15]
Terlepas dari kebesaran Al-Ghazali dan kritiknya tersebut, pasca Al-Ghazali realitas
ilmu menunjukkan semakin dikotomik bahkan ada gab antara dualisme ilmu, antara “ilmu
agama” dan ilmu umum” terbuka sangat lebar. Tragisnya lagi adalah kondisi para ilmuan atau
filosof yang banyak dikucilkan, bahkan ada sebagian dari mereka yang kemudian ditangkap,
dipenjarakan dan disiksa, serta buku-bukunya dibakar, seperti yang dialami oleh al-Rukn dan
Ibnu Rusyd. Dengan demikian, sejak saat itu berkembanglah paham anti ilmu pengetahuan
(“ilmu non agama”) dikalangan umat islam hingga berabad-abad lamanya.
Epistimologi filsafat pendidikan Islam mengandung sebuah konsep yang holistik
mengenai pengetahuan. Di dalam konsep ini tidak terdapat pemisahan pengetahuan dengan
nilai-nilai. Al-Qur‟an menekankan agar umat Islam mencari ilmu pengetahuan dengan
meneliti alam semesta ini, dan bagi orang yang menuntut ilmmu pengetahuan diberikan
derajat yang tinggi. Ilmu pengetahuan dan agama merupakan sesuatu hal yang harus
dipahami sebagai suatu yang totalitas dan integral. Imam Al-Ghazali seorang guru besar dari
universitas Nizhamiyah Bagdad. Al-Ghazali mengemukakan ilmu pengetahuan berdasarkan
tiga kriteria26 :
1. Sumber
25
Ahmad Zainul Hamdi, Epistemologi dalam Konstruksi Filsafat Al-Ghazali, (Jumal AlTahrir, 2001),
hal. 174
26
http://pontrennurulhuda. blogspot. com /2009/01/ dikotomi - ilmu pengetahuan.html. Diakses tanggal
2 Oktober 2018
a. Pengetahuan yang diwahyukan; pengetahuan ini diperoleh khusus oleh para nabi dan
rasul. Manusia memiliki keharusan untuk mengikuti pengetahuan yang terdapat pada
wahyu yang diturukan kepada Nabi dan Rasul-Nya
b. Pengetahuan yang tidak diwahyukan; sumber pokok dari ilmu pengetahuan Ini adalah
akal, penngamatan, percobaan, dan artikulasi (penyesuaian).
2. Kewajiban-kewajiban
a. Pengetahuan yang diwajibkan kepada setiap orang (fardhu al-„ain); pengetahuan yang
penting sekali umtuk keselamatan seseorang, misalnya etika sosial, kesusialaan dan
hukum sipil.
b. Pengetahuan yang diwajibkan kepada masyarakat (fardhu al-kifayah): yaitu
pengetahuan yang penting sekali untuk keselamatan seluruh masyarakat misalnya
pertanaian, obat-obatan, arsitektur dan teknik mesin.
3.Fungsi sosial
a. Ilmu-ilmu yang patut dhargai yaitu ilmu-ilmu sains yang berguna dan tidak boleh
diabaikan karena segala aktivitas hidup ini tergantung padanya. b. Ilmu-ilmu yang
patut dikutuk; astrologi, magig, berbagai ilmu yang tidak bermanfaat.
b. Ilmu-ilmu yang patut dikutuk; astrologi, magig, berbagai ilmu yang tidak bermanfaat.
c. Dari kerangka keilmuan di atas dapat dipahami bahwa antara agama dan sains tidak
berdiri sebagai dua buah kultur yang saling berpisah tapi merupakan sesuatu yang
integral. Pertentangan ilmu pengetahuan dengan agama terjadi pada abad
pertengahan, setelah pelajar Yunani dari Konstatinopel ke Eropa. Sehingga terjadilah
rasa permusuhan dan jurang pemisah antara ilmu pengetahuan dan agama.
3. Landasan Aksiologi Pendidikan Islam
Secara sederhana aksiologi dalam filsafat pendidikan islam dapat diartikan
mempelajari tentang hakikat nilai dari pendidikan itu sendiri. Dalam hal ini aksiologi
berkaitan dengan kebaikan dan keindahan tentang nilai dan penilaian. Hal ini merupakan
bidang kajian tentang dari mana sumber nilai, akar dan norma serta nilai subsransif dan
standar nilai. Etika berkaitan dengan kualitas, moralitas pribadi dan perilaku sosial.
Suryasumantri menyimpulkan pengertian dari aksiologi adalah bagian dari filsafat ilmu yang
membahas tentang keguanaan dan penggunaan ilmu, kaitan antara penggunaan ilmu dengan
kaedah moral, hubungan antara prosedur dengan
oprasionalisasi norma-norma moral dan profesionalisme27. Dalam peradapan islam,
penggunaan ilmu harus sesuai dengan standar syariah islam. Abu Ishaq As Syatibi dalam Al
Rasyidin menjelaskan bahwa28, tujuan dari penetapan standar itu adalah:
Memelihara agama
Memelihara akal
Memelihara keturunanan
Memelihara harta
Pada zaman sekarang ini, Ilmu bukan lagi merupakan sarana yang membantu manusia
mencapai tujuan hidupnya, namun bahkan kemungkinan mengubah hakikat kemanusiaan itu
sendiri, atau dengan perkataan lain, ilmu bukan lagi merupakan sarana yang membantu
manusia mencapai tujuan hidupnya menjadi insan yang kamil, namun juga menciptakan
tujuan hidup itu sendiri. Maksudnya adalah manusia sudah membuat tujuan sendiri sesuai
dengan nafsunya atau kemauannya sendiri dan untuk kepentingannya sendiri. Dalam filsafat
pendidikan islam, berbicara mengenai aksiologi, berarti berbicara mengenai tujuan dari
pendidikan itu sendiri yaitu pembentukan manusia yang berakhlak dan insan yang kamil.
Kegunaan pendidikan secara moral harus ditujukan untuk kebaikan manusia tanpa
merendahkan martabat atau mengubah hakikat kemanusiaan. Pendidikan itu implementasinya
selalu terkait dengan aksiologinya. Dalam hal ini akan dijelaskan seberapa jauh pendidikan
islam itu mempunyai peranan dalam membatu mencapai kehidupan manusia yang sejahtera
di dunia ini dan di akhirat. Manusia belajar dari pengalamannya dan berasumsi bahwa alam
mengikuti hukum-hukum dan aturanaturannya, dalam hal ini berarti wahyu Allah swt dan
hadis. Pendidikan islam merupakan hasil kebudayaan manusia, dimana lebih mengutamakan
kuantitas yang obyektif dan mengesampingkan kualitas subjektif yang berhubungan dengan
keinginan pribadi sehingga dengan pendidikan, manusia tidak akan mementingkan dirinya
sendiri.
Pembentukan kepribadian seseorang sangat dipengaruhi oleh dimensi ruh yang
merupakan anugerah Allah swt, bukan dimensi jasad. Dalam persepektif ini, jasad pada
hakikatnya adalah wahana berlakunyad dorongan atau keinginan-keinginan ruhiyah
manusia29. Dalam persepektif islam, agar tercapainya insan yang kamil melalui
27
Al Rasyidin, Filsafat Ilmu,...hal.145
28
Ibid,...hal.147
29
Al Rasyidin, Falsafah Pendidikan,...hal 88
pendidikan maka perlu keseimbangan aqal, qalbu, dan nafs. Berdasarkan hal ini,
proses ta‟lim, tarbiyah, atau ta‟dib dalam pembentukan kepribadian muslim harus diawali
dari tazkiyatun nafs. Ketika nafs sudah bersih dari pengaruh-pengaruh yang tidak baik maka
dengan mudahnya menerima inti dari agama itu sendiri.
Segala sesuatu yang penting dalam pendidikan Islam adalah aspek tujuan. Sebab,
dengan mengetahui tujuan maka gerak langkah manusia ke depan akan sesuai dengan konsep
yang diinginkan. Dalam alquran banyak sekali pernyataan ayat-ayat yang mengindikasikan
tentang tujuan pendidikan islam itu sendiri, diantaranya adalah tujuan individual. Tujuan
individual dalam pendidikan Islam sangat dicerminkan oleh sikap atau perilaku masing-
masing individu. Sebagaimana yang dijelaskan oleh Omar Mohammad At-Toumy Al-
Syaibani, bahwa tujuan-tujuan individual adalah yang berkaitan dengan individu-individu,
pelajaran (learning) dan dengan pribadi-pribadi mereka, dan apa yang berkaitan dengan
individu-individu tersebut ada perubahan yang diinginkan pada tingkah laku, aktivitas dan
pencapaiannya, dan pada pertumbuhan yang diingini pada pribadi mereka, dan pada
persiapan yang dimestikan kepada mereka pada kehidupan dunia akhirat30 .
Tujuan individual dalam pendidikan Islam sangat ditentukan oleh diri sendiri dan
orang lain. Apakah dari individu tersebut mau mengubah aktivitas dan sikapnya menuju yang
lebih baik sesuai dengan kemampuan yang dimiliki. Dengan begitu tujuan individual dari
ketiga ayat tersebut adalah mensyukuri atas nikmat Allah SWT. yang diberikan kepada
manusia, berupa diutusnya Rasulullah SAW. Di muka bumi ini. Dengan mensyukurinya
secara otomatis pula mereka telah mengimani Allah SWT., Rasul-Nya dan wahyu yang
diberikan kepada Rasulnya. Tujuan individual yang bertujuan untuk mengubah secara pribadi
dari segi sikapnya atau tingkah lakunya yang mencerminkan keimanan kepada Allah SWT.
Dan Rasulnya tanpa keragu-raguan
Selanjutnya adalah konsep tujuan sosial, selain tujuan-tujuan Individual dalam
pendidikan Islam, maka ada tujuan-tujuan lain yang ingin dicapai oleh Pendidikan Islam. Hal
ini ditandai dengan Allah SWT. menurunkan Nabi SAW. dari kaumnya sendiri. Setiap
masyarakat dimanapun berada, biasanya memiliki nilai-nilai adat yang telah disepakati dan
dipegang serta ditaati bersama. Baik nilai positif maupun nilai negatif. Nabi Muhammad
SAW. diutus Allah SWT. di negeri Arab yang pada saat itu
30
Omar Mohammad At-Toumy Al-Syaibani, Falsafah pendidikan Islam, (Jakarta: Bulan Bintang,
1979), hlm. 399
umat yang dihadapi beliau adalah masyarakat Arab Jahiliyyah. Islam dalam
menghadapi nilai-nilai positif yang telah ada akan selalu memotivasi dan mendukung. Akan
tetapi dengan nilai-nilai yang negatif, Islam akan menolak dan meluruskannya.
Dalam karya Ahmad Munir yang berjudul Tafsir Tarbawi Mengungkap Pesan Al-
Qur‟an tentang Pendidikan, bahwa dalam Pandangan al-Qur‟an, suatu perubahan akan
terlaksana jika dipenuhi dua syarat pokoknya yaitu; pertama, adanya nilai atau ide, kedua
adanya pelaku-pelaku yang menyesuaikan diri dengan nilai-nilai tersebut. Syarat yang
pertama tertuang dalam petunjuk al-Qur‟an serta penjelasan Rasulullah SAW. Syarat ke dua
adalah manusia-manusia yang hidup dalam suatu tempat dan terikat dengan hukum-hukum
masyarakat yang telah ditetapkan. Dalam hal ini manusia adalah pelaku perubahan sekaligus
yang menciptakan sejarah31. Manusia adalah sebagai agent sosial of change, sesuai dengan
kemampuan yang dimiliki, manusia mampu memberikan pemikiran-pemikiran atau konsep
yang akan dijalankan ke depannya sesuai dengan perkembangan zaman. Manusia sebagai
khalifah fil ardhi, memiliki peran sentral dalam hal social, artinya tujuan pendidikan Islam
jika tidak menghasilkan tujuan sosial, maka sebuah kemustahilan. Karena tujuan pendidikan
Islam secara tidak langsung akan mendorong rasa persatuan dan rasa memiliki. Pada ketiga
ayat tersebut menggambarkan ada tiga tahap menuju tujuan sosial dalam pendidikan Islam.
BAB III
KESIMPULAN
A. Kesimpulan
Filsafat pendidikan islam menentukan tujuan akhir, maksud, objektif, nilai-nilai dan cita-cita
yang telah ditentukan lebih dahulu oleh filsafat hidup Islam dan dilaksanakan oleh proses
pendidikan. Di sinilah terletak pentingnya kembali pada filsafat pendidikan Islam karena
konsep filsafat Islam cukup luas dan komprehensif. Bahkan teori-teori pengetahuan yang
dibawa oleh filsafat Barat modern belum dapat menandingi teori-teori filsafat Islam yang
karya-karyanya bukan hanya tersebar di dunia Islam tetapi juga mempengaruhi pemikiran
Barat sendiri. Supaya ahli-ahli pendidikan muslim dapat menciptakan suatu filsafat
pendidikan yang sesuai bagi masyarakat Islam progressif yang menggabungkan antara
keaslian dan kemampuan, haruslah mereka memelihara berbagai faktor dan kembali
keberbagai sumber Islam.
DAFTAR PUSTAKA

Al Rasyidin dan Ja‟far, 2015, Filsafat Ilmu Dalam Tradisi Islam, Medan: Perdana
Publishing.
Al-Ghazali, 2003, Neraca Kebenaran, diterjemahkan oleh Kamran As’ad,
Yogyakarta: Pustaka Sufi
As-Syaibani, Omar Mohammad At-Toumy, 1979, Falsafah pendidikan Islam, Jakarta:
Bulan Bintang, 1979.
Arifin, Muzayyin2005, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara.
Al Rasyidin, 2008, Falsafah Pendidikan Islam:membangun Kerangka Ontologi,
Epistimologi, dan Aksiologi Praktik Pendidikan Islam, Bandung: Cipta
Pustaka Media Perintis.
Azra, Azzumardi, 1999 Pendidikan Islam, Tradisi dan Modernisasi Menuju Melenium
Baru, Jakarta: Logos Wacana Ilmu.

Anda mungkin juga menyukai