Anda di halaman 1dari 11

NAMA : DINI LATIFAH

NIM : 2281130515

KELAS : A11

MATKUL : FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM

DOSEN : DR. AMRULLAH, M.Pd.I

1. Corak dan Konsep Filsafat Pendidikan Klasik dan Modern


A. Imam Al Ghazali
Islam sebagai agama memiliki sejarah yang kaya dalam memainkan peran utama
dalam pengembangan peradaban. Pada masa kejayaannya, Islam telah melahirkan banyak
pemikir Muslim yang aktif dalam pengembangan berbagai ilmu pengetahuan, seperti ilmu
agama, humaniora, filsafat, kedokteran, ilmu eksakta, dan banyak bidang lainnya. Ini terjadi
melalui gerakan penelitian, penerjemahan, dan penulisan karya ilmiah di berbagai bidang.
Hasil persinggungan antara filsafat dan Islam menghasilkan cabang ilmu baru yang
dikenal sebagai Filsafat Pendidikan Islam. Filsafat Pendidikan Islam adalah studi yang
membahas pandangan filosofis, sistem, dan aliran filsafat dalam Islam terkait dengan
masalah-masalah pendidikan. Hal ini mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan umat
manusia serta Islam. Filsafat Pendidikan Islam juga melibatkan penggunaan metode dan
sistem filsafat Islam untuk memecahkan permasalahan pendidikan umat Islam, memberikan
arahan tujuan yang jelas dalam pelaksanaan pendidikan.
Objek kajian dalam filsafat pendidikan mencakup semua aspek kehidupan manusia,
alam semesta, dan pribadi manusia. Imam Ghazali adalah salah satu tokoh kharismatik dalam
sejarah Islam yang sangat peduli terhadap proses internalisasi ilmu pengetahuan dan
pendidikan. Selain sebagai seorang filosof, Ghazali juga dikenal sebagai tokoh sufi, yang
memengaruhi pemikirannya.
Imam Al Ghazali memperhatikan konsep pendidikan secara menyeluruh, mencakup
aspek-aspek seperti akhlak, kesederhanaan dan penghindaran keduniawian. Pendekatan
pendidikan yang Ghazali kembangkan berfokus pada pengembangan pribadi manusia secara
menyeluruh.
Imam Al Ghazali mengintegrasikan dua jenis pengetahuan, yaitu pengetahuan rasional
dan pengetahuan keagamaan, serta menekankan bahwa keduanya harus diperoleh dengan
keyakinan. Ghazali membagi pengetahuan menjadi tiga jenis: pengetahuan inderawi (fisik),
pengetahuan rasional, dan pengetahuan keagamaan. Manusia awalnya sederhana dan
mendapatkan pengetahuan melalui pengalaman inderawi dan akal. Kemudian, mereka
meningkat dalam pemahaman dengan menggabungkan akal dan pengalaman keagamaan.
Dengan pendekatan ini, Ghazali mengembangkan konsep pendidikan yang mencakup
pengembangan intelektual dan spiritual, dan memadukan pengetahuan rasional dengan
pengalaman keagamaan untuk mencapai pemahaman yang lebih dalam tentang realitas Ilahi.
Ini menunjukkan kontribusi penting Ghazali dalam pengembangan Filsafat Pendidikan Islam
dan penggabungan filsafat dengan agama dalam konteks pendidikan.
B. Ibnu Miskawaih
Meurut pasal 3 Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) Nomor 20
Tahun 2003 menyatakan bahwa pendidikan nasional memiliki fungsi untuk mengembangkan
kemampuan dan membentuk karakter serta peradaban bangsa yang berbudaya. Tujuan
pendidikan nasional adalah mencerdaskan kehidupan bangsa dengan maksud agar peserta
didik dapat menjadi manusia yang beriman, bertakwa, berakhlak mulia, sehat, berilmu,
cakap, kreatif, mandiri dan warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Dalam
konteks ini, pendidikan tidak hanya bertujuan untuk mencerdaskan intelektual manusia,
tetapi juga mengangkat moral dan martabat manusia.
Namun, dalam realitasnya, lembaga pendidikan di Indonesia belum sepenuhnya
berhasil mencapai tujuan dan fungsi pendidikan nasional. Terdapat krisis moral di kalangan
peserta didik, seperti tawuran, vandalisme, pergaulan bebas, penyalahgunaan narkoba,
radikalisme, kejahatan jalanan dan perilaku kriminal serta tidak etis lainnya. Hal ini mungkin
bukan semata-mata kesalahan lembaga pendidikan, tetapi merupakan cermin dari kegagalan
dalam menghasilkan peserta didik yang memiliki akhlak luhur dan karakter yang baik.
Ibnu Maskawaih adalah seorang filsuf Muslim yang memfokuskan perhatiannya pada
etika Islam dan dikenal dengan teorinya tentang filsafat al-Nafs dan filsafat akhlak. Pemikiran
pendidikan Islam Ibnu Maskawaih mencakup konsep tentang manusia dan akhlak, yang tak
dapat dipisahkan dari pandangannya tentang pendidikan.
C. Ibnu Khaldum
Ibnu Khaldun memandang bahwa pendidikan merupakan bagian dari gejala sosial dan
tidak perlu diperoleh melalui proses pemikiran dan perenungan yang dapat memarjinalkan
nilai-nilai pragmatisme dalam kehidupan. Pendekatan pendidikan menurut Ibnu Khaldun
lebih berorientasi pada aspek akhlak, sosial kemasyarakatan, dan aspek vokasionalitas,
dengan penekanan pada pemahaman psikologis peserta didik. Ibnu Khaldun melihat
pendidikan sebagai bagian dari gejala sosial, dan pendidikan tidak harus diperoleh melalui
proses pemikiran spekulatif. Ia lebih menekankan aspek akhlak, sosial kemasyarakatan, dan
vokasional dalam pendidikan.
Ibnu Khaldun mengembangkan pendidikan dengan fokus pada aspek vokasionalitas,
yang lebih menekankan pada penerapan praktis dalam kehidupan sehari-hari. Seorang
pendidik harus memahami psikologis peserta didik untuk memudahkan proses belajar-
mengajar dan meminimalisir kelesuan mental agar tujuan pendidikan dapat tercapai. Beliau
juga menekankan pentingnya sifat kasih sayang dan kelembutan dari seorang pendidik untuk
memastikan bahwa mental peserta didik tidak keras.
Ibnu Khaldun mengkritik keras filsafat, terutama metafisika, dan memandangnya
sebagai sesuatu yang tidak hanya salah tetapi juga berbahaya bagi masyarakat. Ia menolak
gagasan determinisme tuhan dalam sejarah manusia. Ia berpendapat bahwa ilmu sejarah dan
sosiologi harus didasarkan pada observasi empiris yang obyektif, dan tidak boleh dipengaruhi
oleh pertimbangan spekulatif atau teologis.
D. Muhammad Abduh
Muhammad Abduh lahir di sebuah desa kecil di Mesir dan dibesarkan dalam
lingkungan yang sangat religius. Ayahnya mengajarkan baca-tulis dan menghafal al-Quran,
dan Muhammad Abduh menjadi hafizh al-Quran dalam dua tahun. Namun, pengalamannya
di pendidikan tradisional membuatnya merasa frustasi dan tidak puas dengan metode
pengajaran yang hanya menekankan pada hafalan tanpa pemahaman.
Pada usia 16 tahun, Muhammad Abduh kembali ke desanya, menjadi petani, dan
menikah. Namun, pamannya, seorang Syaikh dari Tarekat Syadzili, berhasil mengembalikan
minatnya terhadap ilmu agama. Di bawah bimbingan pamannya, Abduh mempelajari etika,
moral, dan praktik kezuhudan tarekatnya.
Setelah mengalami perubahan mental terhadap pendidikan, Abduh kembali ke Masjid
Ahmadi di Tanta pada tahun 1866, tempat ia mulai mendalami al-Quran. Dia kemudian pergi
ke Kairo dan belajar di al-Azhar, sebuah universitas Islam terkemuka. Di al-Azhar, Abduh
merasa kecewa dengan metode pengajaran yang masih mengutamakan hafalan dan tidak
memungkinkan pemahaman yang mendalam. Namun, dia berhasil lulus dan memperoleh
ijazah 'Alimiyah.
Muhammad Abduh kemudian memperdalam pengetahuannya dengan mempelajari
filsafat, etika, matematika, dan politik bersama dengan intelektual terkemuka Jamaludin al-
Afghani. Ini mengembangkan pemikirannya dan menantang pandangan tradisional yang
terbatas di al-Azhar.
Abduh adalah seorang reformis dan pemikir terkenal dalam Islam. Dia membela
kembali pemikiran Islam yang lebih rasional dan terbuka terhadap pembaruan. Abduh juga
melihat kemunduran intelektual dan moral dalam dunia Islam sebagai masalah yang harus
diatasi. Dia mendukung ijtihad (penalaran) dan membangkitkan semangat pembaruan dalam
dunia Islam.
Selama hidupnya, Muhammad Abduh berperan penting dalam menghidupkan kembali
semangat pemikiran dan reformasi dalam Islam, dan ia dianggap salah satu pemikir dan
pembaharu Islam yang paling berpengaruh pada abad ke-19.
E. K.H Hasyim As’ari
Pendekatan pendidikan berdasarkan ajaran Islam, seperti yang diusulkan oleh KH.
Hasyim Asy'ari, mengandalkan prinsip-prinsip Islam dan sumber-sumber utama ajaran Islam,
seperti Al-Qur'an dan Hadis, untuk membentuk karakter dan kepribadian yang ideal dalam
siswa Muslim. Filsafat pendidikan Islam yang dianut oleh Hasyim Asy'ari berlandaskan pada
keyakinan bahwa Islam adalah pondasi dari segala aspek kehidupan, termasuk pendidikan.
Ajaran Islam bersumber dari Al-Qur'an, Hadis (kata-kata dan tindakan Nabi
Muhammad), kata-kata sahabat, kemaslahatan umat, tradisi atau adat kebiasaan masyarakat,
dan pemikiran para ulama. Semua sumber ini ditempatkan dalam hierarki dan dijadikan
panduan utama dalam pendidikan Islam. Ajaran Islam ini mengandung nilai-nilai etika,
moral, dan kebijaksanaan yang membentuk karakter dan kepribadian individu. Lebih dari itu,
karakteristik yang diturunkan dari nilai-nilai Al-Qur'an menjadi tolok ukur kualitas manusia.
Pendidikan Islam harus mencakup keseimbangan antara iman, ilmu pengetahuan,
amal saleh, dan aspek sosial. Ini berarti pendidikan Islam tidak hanya teori, melainkan juga
melibatkan aksi nyata dalam kegiatan sosial-keagamaan di masyarakat luas. Pendidikan
Islam harus selalu berproses menuju perubahan positif. Pemikiran dan konsep pendidikan
Islam juga harus dapat berkembang sesuai dengan perubahan zaman, tetapi tetap
berlandaskan pada prinsip-prinsip Islam.
KH. Hasyim Asy'ari adalah salah satu ulama yang memiliki peran penting dalam
membentuk pendidikan Islam di Indonesia. Dia mencoba untuk menghadirkan perubahan
dalam pendidikan Islam yang lebih relevan dengan kebutuhan zaman, meskipun
berlandaskan pada nilai-nilai tradisional Islam.
Filsafat pendidikan Islam yang diusung oleh KH. Hasyim Asy'ari menekankan
pentingnya nilai-nilai, etika, dan karakter Islam dalam pendidikan. Dalam era digital seperti
saat ini, implementasi filsafat ini dapat dilakukan dengan memadukan teknologi dan
pendidikan tradisional dalam upaya membentuk individu Muslim yang berkarakter. Dengan
memanfaatkan teknologi digital, pesan-pesan Islam dan pendidikan Islam dapat lebih mudah
diakses oleh generasi muda, tetapi tetap berpegang pada nilai-nilai Islam yang kuat.
Filsafat adalah usaha untuk mencari kebenaran, dengan fokus pada kebijaksanaan,
pemikiran, dan pemahaman yang mendalam. Filsafat adalah konsep bijak yang diperoleh
melalui pemikiran dan abstraksi, dan ia adalah alat untuk memandu hidup dan memberikan
makna pada kehidupan. Dalam era saat ini, filsafat menjadi relevan ketika pemikiran bijak
yang dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari sangat dibutuhkan.
Pendidikan merupakan usaha untuk membina dan mengembangkan pribadi manusia
dalam segala dimensi, termasuk intelektual, moral, dan jasmani. Pendidikan adalah proses
yang berlangsung seumur hidup dan melibatkan pembelajaran, bimbingan, perhatian, dan
pengembangan karakter. Pendidikan adalah alat untuk mencapai tujuan hidup dan tujuan
nasional yang telah ditetapkan dalam Undang-Undang Dasar 1945.
Pendidikan Islam adalah pendidikan yang berlandaskan pada prinsip-prinsip Islam,
dengan sumber pedoman utama dari Al-Qur'an, Hadis, dan pandangan ulama. Pendidikan
Islam bertujuan untuk membentuk peserta didik menjadi insan kamil (individu yang
berkualitas dan utama) dengan berfokus pada pengembangan spiritual, moral, dan intelektual
yang sesuai dengan ajaran Islam.
Pendidikan adalah sebuah alat untuk mengembangkan tiga dimensi individu manusia:
dimensi pikiran (‘aqliah), dimensi hati (dzikir), dan dimensi fisik (jasadiyah). Pendidikan
Islam melibatkan konsep-konsep pendidikan yang mencakup tujuan pendidikan, pendidik,
anak didik, alat pendidikan, kurikulum, metode, penilaian, dan lingkungan pendidikan.
Seorang guru harus memiliki komitmen dan integritas tinggi dalam meningkatkan
kualitas profesionalisme. Hal ini mencakup membaca, mengkaji, dan menelaah berbagai
informasi yang berkaitan dengan profesinya. Guru harus aktif mencari pengetahuan dari
berbagai sumber belajar tanpa memandang latar belakang sumber tersebut. Selai itu guru
harus mampu menjelaskan materi pembelajaran secara sederhana melalui bahasa yang mudah
dipahami oleh siswa dan memberikan prioritas kepada materi yang lebih penting serta harus
menjaga penampilan fisik dan stamina. Mereka tidak boleh mengajar dalam keadaan tidak
layak seperti mengantuk atau lapar.
Suara guru saat menjelaskan materi harus sesuai, tidak terlalu keras atau terlalu pelan.
Guru harus menjaga konsentrasi penuh saat mengajar dan tidak membahas hal-hal yang tidak
berkaitan dengan materi pembelajaran. Peserta didik baru memerlukan perhatian khusus dari
guru. Seorang guru harus jujur jika tidak tahu jawaban suatu pertanyaan dan tidak boleh
mencari-cari jawaban sembari berpura-pura tahu. Kemudian guru harus membuka dan
menutup setiap pertemuan dengan baik, membaca doa-doa yang sesuai anjuran agama.
Mereka juga harus melakukan evaluasi terhadap peserta didik dan memberikan pertanyaan
refleksi. Kemudiam guru juga diharapkan menjenguk peserta didik yang tidak bisa mengikuti
pelajaran karena sakit sebagai bentuk perhatian. Guru perlu melakukan ujian terhadap peserta
didik dalam kurun waktu tertentu, dan jika ada yang belum memahami materi dengan baik,
perlu diadakan ujian remidi.
Peserta didik harus memiliki integritas moral yang baik dan menghindari perilaku
buruk di Masyarakat serta memiliki niat baik dan mencari ilmu tanpa terjebak dalam
paradigma pragmatisme dan materialisme. Peserta didik perlu berinteraksi dengan anggota
masyarakat lain dan memahami nilai-nilai yang berlaku di masyarakat.
Pendidikan harus membentuk manusia yang komprehensif dan mencerminkan ajaran
Islam dalam kehidupan sehari-hari.
Kurikulum pendidikan berfokus pada al-Qur'an, hadis, fiqih, ushul fiqih, nahwu, dan shorof.
Materi ini harus diajarkan kepada peserta didik. Evaluasi dalam pendidikan juga mencakup
penilaian akhlak peserta didik dan bagaimana nilai-nilai tersebut tercermin dalam kehidupan
mereka.
Dengan demikian, filsafat pendidikan Islam bertujuan untuk mengembangkan
pemahaman mendalam tentang pendidikan yang didasarkan pada prinsip-prinsip Islam dan
bertujuan untuk membimbing peserta didik mencapai kesempurnaan dan kedamaian dalam
hidup mereka. Filsafat pendidikan Islam relevan dalam menjalani kehidupan sehari-hari dan
menjadi panduan yang dapat digunakan dalam menghadapi berbagai situasi.
2. Pemikiran Tokoh-Tokoh Filsafat serta Implikasinya pada Pendidikan
A. Imam Al-Ghazali
Imam Al-Ghazali mengemukakan bahwa manusia dapat memperoleh ilmu melalui dua
cara, yaitu daruri (apriori) dan bukan daruri. Daruri adalah bentuk ilmu yang muncul secara
alami seiring dengan perkembangan fungsi akal manusia yang telah sempurna. Ilmu yang
diperoleh dengan cara daruri bersifat spontan dan tidak memerlukan usaha khusus.
Sementara itu, ilmu yang diperoleh secara bukan daruri melibatkan usaha dan penelitian,
termasuk metode deduktif (tafsir) dan induktif (istiqra').
Dalam filsafat pendidikan Islam, terdapat beberapa sudut pandang yang melibatkan
sumber pemikiran, dasar pemikiran, pendekatan pemikiran, pola pemikiran, wilayah
jangkauan, dan wacana pemikiran. Imam Al-Ghazali sendiri menekankan bahwa pendidikan
harus menjadi jalan untuk mendekatkan diri kepada Allah dan mencapai kebahagiaan baik di
dunia maupun di akhirat. Beliau lebih menekankan pendidikan akhlak sebagai tujuan utama
pendidikan, dengan fokus pada reaksi tujuan agama.
Imam Al-Ghazali juga menganggap pendidikan dimulai sejak awal kejadian manusia,
yaitu saat bersatunya sel sperma dan ovum, dan berlangsung hingga akhir hayat. Proses
pendidikan adalah tanggung jawab orang tua dan masyarakat, dan tujuannya adalah untuk
mendekatkan diri kepada Allah dan menciptakan manusia yang sempurna (insan kamil).
Dengan pandangan ini, Imam Al-Ghazali memahami bahwa pendidikan tidak hanya
mengenai pemberian pengetahuan, tetapi juga tentang pembentukan karakter, akhlak, dan
mendekatkan diri kepada Allah. Dalam visinya tentang pendidikan, keutamaan akhirat adalah
tujuan yang paling penting dan harus menjadi fokus utama dalam proses pendidikan.
Imam Al-Ghazali memiliki pandangan yang mendalam tentang konsep pendidikan
dalam berbagai aspek, seperti tujuan pendidikan, kurikulum, metode pengajaran, dan kriteria
guru.
Imam Al-Ghazali menggarisbawahi bahwa tujuan pendidikan seharusnya difokuskan
pada realisasi tujuan keagamaan dan akhlak. Pendekatan pendidikan sebaiknya
menitikberatkan pada perolehan keutamaan, pendekatan diri kepada Allah, dan bukan pada
upaya mencari kedudukan tinggi atau kekayaan dunia. Menurutnya, pendidikan yang tidak
mengarahkan pada taqarrub (pendekatan diri kepada Allah) akan menimbulkan kesesatan dan
kemunduran.
Imam Al-Ghazali mengkategorikan ilmu menjadi dua bidang, yaitu ilmu syari'at
(agama) dan ilmu umum (non-agama). Ilmu syari'at adalah ilmu yang terpuji dan terdiri dari
ilmu pokok (ushul) dan ilmu cabang (furu'). Ilmu umum terbagi menjadi ilmu yang terpuji,
diperbolehkan, dan tercela. Beliau mengusulkan urutan dalam kurikulum yang diutamakan
dimulai dengan ilmu agama dan bahasa Arab, diikuti oleh ilmu-ilmu umum yang menjadi
fardhu kifayah (kewajiban kolektif).
Imam Al-Ghazali menekankan pentingnya keteladanan dalam pendidikan, di mana
guru harus menjadi teladan bagi siswa. Selain itu, guru perlu memahami pentingnya
pembinaan budi pekerti, penerapan sifat-sifat baik, dan pengembangan akhlak yang baik pada
siswa. Metode pengajaran harus lembut, simpatik, dan tidak menggunakan kekerasan atau
metode yang dapat traumatik bagi siswa.
Imam Al-Ghazali menggarisbawahi kriteria-kriteria guru yang baik, termasuk
memiliki keimanan dan taqwa, cerdas dan berpengetahuan luas, berakhlak baik, kuat fisik,
profesional, ikhlas mengajar karena Allah, menjadi pengarah dan penyuluh yang baik,
simpatik dalam mengajar, menjadi teladan, memahami kemampuan siswa, dan konsisten
antara kata dan perbuatan.
Pemikiran Imam Al-Ghazali tentang pendidikan menekankan pentingnya aspek
agama, moral, keteladanan, dan pembinaan karakter dalam pendidikan. Tujuan utama
pendidikan dalam pandangannya adalah mendekatkan diri kepada Allah, mencapai
kebahagiaan dunia dan akhirat, dan membentuk insan yang sempurna (insan kamil). Konsep
ini memiliki relevansi dengan tuntutan masyarakat modern terhadap pendidikan yang
holistik, etis, dan berorientasi pada karakter.
B. Ibnu Maskawaih
Pemikiran Ibnu Miskawaih banyak menitikberatkan pada akhlak atau etika Islam,
yang mendasari pemikirannya tentang filsafat pendidikan Islam. Ibnu Miskawaih
memandang pendidikan sebagai pendidikan akhlak. Ibnu Miskawaih menyatakan bahwa
tujuan pendidikan adalah membentuk pribadi berakhlak mulia (isbah al-khuluq asy-syarif),
yang mencakup kebaikan, kebahagiaan, dan kesempurnaan manusia. Tujuan ini identik
dengan tujuan hidup manusia.
Dalam pandangan Ibnu Miskawaih, pendidikan memiliki empat fungsi. Pertama,
menanamkan budi mulia (akhlaqul karimah). Kedua, memanusiakan manusia dan
mengangkat harkat dan martabat manusia. Ketiga, sosialisasi individu, di mana setiap
individu harus saling melengkapi dan mendukung. Keempat, menanamkan rasa malu sebagai
tanda perkembangan akal.
Ibnu Miskawaih menekankan materi pendidikan yang dapat membentuk akhlak mulia
dan pedoman manusia sesuai dengan tujuan hidup manusia. Materi pendidikan berhubungan
dengan kebutuhan wajib manusia, jiwa manusia, dan hubungan dengan sesama manusia.
Terdapat lima metode pendidikan dalam pandangan Ibnu Miskawaih: metode alami,
metode nasehat dan tuntunan, metode hukuman, metode sanjungan dan pujian, dan metode
mendidik berdasarkan azas-azas pendidikan seperti kesiapan, kebiasaan, pembiasaan, dan
keteladanan.
Ibnu Miskawaih menganggap pendidik memiliki peran penting dalam pendidikan dan
harus dapat dipercaya, pandai, dan dicintai oleh peserta didik. Peserta didik juga perlu
menerima nasihat dan tuntunan pendidik. Selain itu lingkungan pendidikan terdiri dari
keluarga, sekolah, dan masyarakat. Penting untuk menciptakan atmosfer pembelajaran yang
kondusif di ketiga lingkungan ini.
Pendekatan pendidikan akhlak yang diusulkan oleh Ibnu Miskawaih memiliki
relevansi di era kontemporer, terutama dalam mengatasi degradasi moral dan patologi sosial
di kalangan generasi muda. Pendidikan akhlak dapat diterapkan dalam kurikulum pendidikan
nasional dan merupakan bagian penting dalam mencapai tujuan pendidikan nasional yang
mencakup pendidikan karakter dan moral peserta didik. Diharapkan pendekatan ini akan
menghasilkan generasi yang cerdas secara intelektual dan moral serta sosial.
C. Ibnu Khaldun
Pendekatan Ibnu Khaldun sangat berfokus pada pemahaman praktis, psikologis
peserta didik, dan pendekatan sosial, serta menolak pendekatan filsafat dan spekulatif dalam
pendidikan. Ia melihat pendidikan sebagai bagian penting dari perkembangan sosial dan
kemajuan masyarakat.
Pendidikan dipandang sebagai suatu proses yang bertujuan untuk membawa
perubahan positif pada individu. Pendidikan harus dinamis agar dapat mencapai
kesempurnaan. Pendidikan dalam Islam selalu berorientasi pada akhlak dan adab, dengan
mempertimbangkan ajaran Al-Qur'an dan Sunnah Nabi Muhammad. Ini menekankan
pentingnya pendidikan dalam membentuk kepribadian dan spiritualitas yang kuat.
Dalam pemikiran Ibnu Khaldun, pendidikan memberi peluang bagi akal manusia
untuk berkembang dan menghasilkan pemikiran positif. Pendidikan diharapkan
mencerdaskan manusia melalui pengembangan kemampuan berpikir.
Ibnu Khaldun menggarisbawahi pentingnya kematangan rohani melalui ibadah dan
zikir dalam pendidikan Islam. Pendidikan tidak hanya berorientasi pada kurikulum tetapi juga
pada pembentukan akhlak yang positif.
Seorang pendidik harus memiliki profesionalisme tinggi dan mengikuti prinsip-prinsip
Islam seperti kerja keras, kejujuran, dan disiplin. Mereka harus memberi contoh yang baik
dalam membina akhlak.
Kurikulum harus dirancang dengan baik dan sesuai dengan tujuan pendidikan. Metode
pengajaran harus sesuai dengan kemampuan peserta didik dan materi yang disajikan harus
memiliki hikmah.
Al-Qur'an dianggap sebagai pusat pendidikan yang harus diajarkan kepada peserta
didik sejak dini, sehingga mereka tidak terpengaruh oleh sistem pendidikan yang salah.
Metode pengajaran harus sesuai dengan kemampuan peserta didik, menghindari indoktrinasi,
dan tidak membebani peserta didik dengan metode penghafalan yang panjang.
Dalam keseluruhan pandangan ini, pendidikan dalam pemikiran Ibnu Khaldun
menekankan pengembangan akhlak, akal, dan spiritualitas melalui pendekatan yang dinamis,
orientasi pada Islam, dan metode pengajaran yang efektif. Profesionalisme pendidik juga
menjadi faktor penting dalam proses pendidikan.
Ibnu Khaldun percaya bahwa pendidikan adalah proses untuk mencapai perubahan
yang lebih baik. Pendidikan harus dinamis dan berorientasi pada akhlak, dan ini berlaku baik
dalam konteks umum maupun dalam Islam. Pendidikan Islam lebih komprehensif karena
melibatkan aspek fisik dan rohani dalam rangka mematuhi ajaran Al-Qur'an dan Sunnah
Nabi.
Ia berpendapat bahwa pendidikan harus memberi kesempatan pada akal manusia
untuk berkreativitas, sehingga aktivitas fisiknya berorientasi pada kebaikan. Pendidikan
diharapkan dapat mencerdaskan manusia melalui akal yang dimiliki untuk berpikir positif.
Ibnu Khaldun menekankan pentingnya solidaritas sosial dalam membangun masyarakat dan
negara. Solidaritas sosial adalah faktor yang mendorong orang untuk berkolaborasi dan
mempertahankan diri dari musuh. Solidaritas sosial ini mengarah pada kedaulatan, yang
merupakan kendali atas rakyat dan golongan.
Manusia adalah makhluk politik, dan organisasi sosial diperlukan untuk menciptakan
peradaban. Peradaban dapat berbentuk peradaban padang pasir atau peradaban menetap,
tergantung pada kondisi lingkungan dan kehidupan masyarakat.
Negara harus dibangun dengan dukungan solidaritas sosial yang kuat dan berpusat.
Ibnu Khaldun juga membahas masalah usia suatu negara dan keruntuhannya ketika
solidaritas sosial melemah akibat kemewahan dan inflasi.
Pemimpin yang efektif adalah mereka yang memiliki solidaritas sosial yang kuat dan
mendapatkan baiat (janji setia) dari masyarakat. Pemimpin harus memiliki kekuasaan dan
memimpin dengan kepatuhan dari masyarakat.
Ibnu Khaldun membahas peran dan arti khalifah dalam Islam. Dia menjelaskan bahwa
khalifah adalah pengganti yang menjalankan kewibawaan dan mengurus dunia dan agama.
Baiat adalah janji setia yang diucapkan untuk mendukung seorang pemimpin atau
khalifah. Baiat adalah cara yang sah untuk menunjukkan ketaatan kepada pemimpin dan
memastikan kedaulatan dan otoritas pemimpin tersebut.
Inti dari pemikiran Ibnu Khaldun tentang pendidikan adalah bahwa pendidikan harus
berfokus pada pengembangan akhlak, akal, dan spiritualitas dengan pendekatan dinamis,
serta melibatkan pengajaran Al-Qur'an dan Sunnah Nabi Muhammad. Solidaritas sosial dan
peran pemimpin yang mendapat baiat juga merupakan poin penting dalam pandangan
pendidikan dan organisasi sosialnya.
D. Muhammad Abduh
Muhammad Abduh adalah seorang pemikir dan reformis Islam yang memiliki peran
penting dalam gerakan pembaruan Islam di akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20. Dia lahir
pada tahun 1849 di Mesir dan wafat pada tahun 1905. Abduh memiliki latar belakang
pendidikan keagamaan yang kuat dan dikenal karena upayanya dalam menggabungkan nilai-
nilai Islam dengan pemikiran modern.
Pada tahun 1877, Abduh pergi ke Paris setelah diundang oleh Jamal al-Din al-Afghani
untuk berpartisipasi dalam menerbitkan majalah "al-Urwah al-Wuthqa". Pada tahun 1885,
dia pindah ke Beirut untuk mengajar. Akhirnya, pada tahun 1888, dia kembali ke Kairo
setelah perjuangan yang panjang dan diangkat sebagai hakim. Pada tahun 1894, dia menjadi
anggota Majelis al-A'la al-Azhar dan memberikan kontribusi signifikan terhadap pembaruan
Islam dan Mesir secara umum. Pada tahun 1899, dia diangkat sebagai Mufti Mesir dan
memegang jabatan ini hingga akhir hayatnya.
Pemikiran Abduh didasarkan pada keyakinannya bahwa ilmu pengetahuan modern
dan Islam tidak bertentangan satu sama lain, karena keduanya berasal dari Allah. Oleh karena
itu, dia mendukung penggalian ilmu pengetahuan modern dan menggabungkannya dengan
ajaran Islam. Abduh juga aktif mengajar di berbagai lembaga pendidikan dan mengusulkan
reformasi dalam sistem pendidikan Islam. Dia mendorong penggabungan ilmu pengetahuan
modern dalam kurikulum sekolah agama.
Abduh juga memandang bahwa pendidikan harus mencakup seluruh lapisan
masyarakat, termasuk pendidikan umum bagi semua anak, laki-laki maupun perempuan. Ia
mengusulkan program pendidikan yang lebih inklusif, di mana semua siswa akan
mempelajari agama serta ilmu pengetahuan modern.
Abduh memainkan peran penting dalam gerakan pembaruan Islam dan dianggap
sebagai "Bapak Modernisme Islam." Meskipun ide-ide reformisnya mendapatkan pujian, dia
juga menghadapi kritik dari kalangan ulama konservatif. Meskipun demikian, warisannya
sebagai pemimpin pemikiran yang menggabungkan nilai-nilai Islam dengan pemikiran
modern terus memengaruhi generasi-generasi selanjutnya dalam dunia Islam. Abduh wafat
pada tahun 1905, meninggalkan warisan pemikiran dan kontribusi yang signifikan dalam
pembaruan Islam.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa Muhammad Abduh adalah seorang
pemikir dan reformis Islam yang memainkan peran penting dalam gerakan pembaruan Islam
di abad ke-19 dan awal abad ke-20. Dia mendukung penggabungan ilmu pengetahuan modern
dengan ajaran Islam, mendorong pendidikan inklusif, dan dikenal sebagai "Bapak
Modernisme Islam." Warisannya berpengaruh dan memengaruhi generasi-generasi
selanjutnya dalam dunia Islam.
E. K. H Hasyim Asy’ari
Pemikiran pendidikan ini mencerminkan pentingnya komitmen, integritas, dan
pendekatan holistik dalam pendidikan Islam untuk membentuk peserta didik yang baik dan
berakhlak mulia.
Pemikiran dan falsafah pendidikan Islam yang digagas oleh KH. Hasyim Asy'ari
memiliki relevansi yang tinggi untuk diimplementasikan di era saat ini, terutama di era pasca
revolusi industri 4.0 dan munculnya society 5.0.
Pemikiran KH. Hasyim Asy'ari sangat menekankan pada pembentukan karakter
individu. Dalam era society 5.0, di mana teknologi memainkan peran besar, pendidikan yang
berfokus pada karakter dan moral menjadi sangat penting. KH. Hasyim Asy'ari menekankan
bahwa pendidikan harus memanusiakan manusia, dan ini sangat relevan dalam konteks
modern di mana nilai-nilai moral sering terabaikan.
Hasyim Asy'ari menekankan peran orang tua dan keluarga dalam pendidikan. Di era
digital dan society 5.0, di mana anak-anak memiliki akses bebas ke teknologi, peran orang
tua dalam membimbing dan mendidik anak-anak menjadi lebih penting daripada
sebelumnya. Pendidikan keluarga dan etika yang diajarkan oleh KH. Hasyim Asy'ari relevan
dalam membentuk fondasi pendidikan yang kuat.
Di era society 5.0, konsep ini sangat relevan. Society 5.0 memadukan teknologi terkini
dengan peran manusia sebagai pemain utama. Pemikiran KH. Hasyim Asy'ari sejalan dengan
prinsip ini, di mana pendidikan harus menggabungkan teknologi dengan peran aktif manusia
dalam mencapai tujuan pendidikan yang lebih besar.
Pemikiran KH. Hasyim Asy'ari menekankan pentingnya etika dan moralitas dalam
pendidikan. Di era society 5.0, di mana perubahan sosial yang cepat dan teknologi yang
canggih berdampingan, etika dan moralitas tetap menjadi fondasi penting dalam menghadapi
berbagai tantangan sosial.
Konsep pendidikan progresivisme yang digagas oleh KH. Hasyim Asy'ari
menciptakan ruang bagi kreativitas, aktivitas, dan pembelajaran yang lebih alami. Ini
konsisten dengan pendekatan pendidikan yang lebih modern di era society 5.0, yang
menekankan pada pembelajaran yang berfokus pada peserta didik dan keterlibatan aktif.
Dalam era revolusi industri 4.0 dan society 5.0, di mana perubahan terjadi dengan
sangat cepat, pemikiran KH. Hasyim Asy'ari dapat memberikan landasan kuat untuk
pendidikan yang relevan dan berorientasi pada pembentukan karakter, moralitas, serta
keseimbangan antara teknologi dan peran manusia. Hal ini sejalan dengan kebutuhan
masyarakat modern yang menghadapi berbagai kompleksitas dalam kehidupan sehari-hari.

Anda mungkin juga menyukai