Anda di halaman 1dari 16

SEJARAH DAN PEMIKIRAN PENDIDIKAN ISLAM

Dosen Pengampu;

Dr. KH. Muhtadi Abd. Muin. MA

BAB I

PENDAHULUAN

Sejarah pendidikan Islam adalah keterangan mengenai pertumbuhan dan perkembangan


pendidikan Islam dari waktu ke waktu yang lain, sejak zaman lahirnya islam sampai
dengan masa sekarang. Juga merupakan cabang ilmu pengetahuan yang berhubungan
dengan pertumbuhan dan perkembangan pendidikan islam, baik dari segi ide dan konsepsi
maupun segi institusi dan operasionalisasi sejak zaman nabi Muhammad saw sampai
sekarang.

Tipologi adalah ilmu yang mempelajari tentang pengelompokan berdasarkan tipe atau
jenis secara lebih spesifik. Pendidikan Islam adalah usaha mengubah tingkah laku individu
dalam kehidupan pribadinya atau kemasyarakatannya dan dalam alam sekitarnya melalui
proses pendidikan yang dilandasi dengan nilai-nilai Islam. Pemikiran pendidikan Islam
adalah serangkaian proses kerja akal dan kalbu yang dilakukan secara bersungguh-
sungguh dalam melihat berbagai persoalan yang ada dalam pendidikan Islam dan berupaya
untuk membangun sebuah paradigma pendidikan yang mampu menjadi wahana bagi
pembinaan dan pengembangan peserta didik secara paripurna. pemikiran pendidikan
Islam memiliki empat tujuan, salah satunya yaitu membantu menemukan masalah-masalah
pendidikan dan sekaligus memberikan cara untuk mengatasinya berdasarkan cara kerja
yang sistematik, radikal, universal, mendalam, spekulatif dan rasional. Tipologi pemikiran
pendidikan Islam sangat beragam dan memiliki pandangan masing-masing terhadap
pelaksanaan serta proses pendidikan.1

1. Latar Belakang Masalah

Pendidikan merupakan bagian yang inhern dalam kehidupan manusia. Dan,


manusia hanya dapat dimanusiakan melalui proses pendidikan. Karena hal itulah,
maka pendidikan merupakan sebuah proses yang sangat vital dalam kelangsungan
hidup manusia. Tak terkecuali pendidikan Islam, yang dalam sejarah perjalanannya
memiliki berbagai dinamika. Eksistensi pendidikan Islam senyatanya telah
membuat kita terperangah dengan berbagai dinamika dan perubahan yang ada.

1
http://ejournal.iainmadura.ac.id/index.php/islamuna/article/view/1822
Berbagai perubahan dan perkembangan dalam pendidikan Islam itu sepatutnya
membuat kita senantiasa terpacu untuk mengkaji dan meningkatkan lagi kualitas
diri, demi peningkatan kualitas dan kuantitas pendidikan Islam di Indonesia. Telah
lazim diketahui, keberadaan pendidikan Islam di Indonesia banyak diwarnai
perubahan, sejalan dengan perkembangan zaman serta ilmu pengetahuan dan
teknologi yang ada.

Sejak dari awal pendidikan Islam, yang masih berupa pesantren tradisional hingga
modern, sejak madrasah hingga sekolah Islam bonafide, mulai Sekolah Tinggi Islam
sampai Universitas Islam, semua tak luput dari dinamika dan perubahan demi
mencapai perkembangan dan kemajuan yang maksimal. Pertanyaannya kemudian
adalah sudahkah kita mencermati dan memahami bagaimana kemunculan dan
perkembangan pendidikan Islam di Indonesia, untuk kemudian dapat bersama-
sama meningkatkan kualitasnya, demi tercipta pendidikan Islam yang humanis,
dinamis, berkarakter sekaligus juga tetap dalam koridor Alqur’an dan Assunah

2. Rumusan Masalah

Dalam makalah ini terdapat beberapa rumusan masalah yang akan dicoba untuk dikaji dan
digali, sehingga diharapkan mampu menambah wawasan terkait pendidikan Islam dan
eksistensinya di Indonesia. Beberapa rumusan masalah tersebut di antaranya:

1. Apa pengertian Pendidikan Islam ?


2. Bagaimana akar dan awal mula pendidikan Islam di Indonesia?
3. Apa saja jenis lembaga-lembaga pendidikan Islam di Indonesia?
4. Bagaimana perkembangan pendidikan Islam di Indonesia ?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Pendidikan Islam

Pendidikan adalah bimbingan secara sadar oleh pendidik kepada terdidik terhadap
perkembangan jasmani dan rohani si terdidik menuju kepribadian yang lebih baik, yang
pada hakikatnya mengarah pada pembentukan manusia yang ideal. Manusia ideal adalah
manusia yang sempurna akhlaqnya. Yang nampak dan sejalan dengan misi kerasulan Nabi
Muhammad SAW, yaitu menyempurnakan akhlaq yang mulia.

Agama Islam adalah agama universal yang mengajarkan kepada umat manusia mengenai
berbagai aspek kehidupan baik kehidupan yang sifatnya duniawi maupun yang sifatnya
ukhrawi. Salah satu ajaran Islam adalah mewajibkan kepada umatnya untuk melaksanakan
pendidikan, karena dengan pendidikan manusia dapat memperoleh bekal kehidupan yang
baik dan terarah. Adapun yang dimaksud dengan pendidikan Islam sangat beragam, hal ini
terlihat dari definisi pendidikan Islam yang dikemukakan oleh beberapa tokoh pendidikan
berikut ini:

Prof. Dr. Omar Mohammad At-Toumi Asy-Syaibany mendefinisikan pendidikan islam


sebagai proses mengubah tingkah laku individu pada kehidupan pribadi, masyarakat, dan
alam sekitarnya, dengan cara pengajaran sebagai suatu aktivitas asasi dan sebagai profesi
di antara profesi-profesi asasi dalam masyarakat. (Asy-Syaibany, 1979: 399)

Pengertian tersebut memfokuskan perubahan tingkah laku manusia yang konotasinya


pada pendidikan etika. Selain itu, pengertian tersebut menekankan pada aspek-aspek
produktivitas dan kreatifitas manusia dalam peran dan profesinya dalam kehidupan
masyarakat dan alam semesta.

Dr. Muhammad Fadhil Al-Jamali memberikan pengertian pendidikan Islam sebagai upaya
mengembangkan, mendorong, serta mengajak manusia untk lebih maju dengan
berlandaskan nilai-nilai yang tinggi dan kehidupan yang mulia, sehingga terbentuk pribadi
yang lebih sempurna, baik yang berkaitan dengan akal, perasaan, maupun perbuatan.
B. Pesantren, Akar Pendidikan Islam di Indonesia 

Terkait kemunculan dan masuknya Islam di Indonesia, sampai saat ini masih menjadi
kontroversi di kalangan para ilmuwan dan sejarawan. Namun demikian, mayoritas dari
mereka menduga bahwa Islam telah diperkenalkan di Indonesia sekitar abad ke-7 M oleh
para musafir dan pedagang muslim, melalui jalur perdagangan dari Teluk Parsi dan
Tiongkok. Kemudian pada abad ke-11M sudah dapat dipastikan bahwa Islam telah masuk
di kepulauan Nusantara melalui kota-kota pantai di Pulau Sumatera, Jawa, Sulawesi dan
Maluku. Dan, pada abad itu pula muncul pusat-pusat kekuasaan serta pendalaman studi ke-
Islaman. Dari pusat-pusat inilah kemudian akhirnya Islam dapat berkembang dan tersebar
ke seluruh pelosok Nusantara. Perkembangan dan perluasan Islam itu tidak lain melalui
para pedagang muslim, wali, muballigh dan ulama’ dengan cara pendirian masjid,
pesantren atau dayah atau surau.

Pada dasarnya, pendidikan Islam di Indonesia sudah berlangsung sejak masuknya Islam ke
Indonesia. Pada tahap awal, pendidikan Islam dimulai dari kontak-kontak pribadi maupun
kolektif antara muballigh (pendidik) dengan peserta didiknya. Setelah komunitas muslim
daerah terbentuk di suatu daerah tersebut, mereka membangun tempat peribadatan dalam
hal ini masjid. Masjid merupakan lembaga pendidikan Islam yang pertama muncul, di
samping rumah tempat kediaman ulama’ atau muballigh.

Setelah penggunaan masjid sudah cukup optimal, maka kemudian dirasa perlu untuk
memiliki sebuah tempat yang benar-benar menjadi pusat pendidikan dan pembelajaran
Islam. Untuk itu, muncullah lembaga pendidikan lainnya seperti pesantren, dayah ataupun
surau. Nama–nama tersebut walaupun berbeda, tetapi hakikatnya sama yakni sebagai
tempat menuntut ilmu pengetahuan keagamaan.

Pesantren sebagai akar pendidikan Islam, yang menjadi pusat pembelajaran Islam setelah
keberadaan masjid, senyatanya memiliki dinamika yang terus berkembang hingga
sekarang. Menurut Prof. Mastuhu, pesantren adalah lembaga pendidikan tradisional Islam
untuk mempelajari, memahami, mendalami, menghayati dan mengamalkan ajaran Islam
dengan menekankan pentingnya moral keagamaan sebagai pedoman perilaku sehari-hari.

Pesantren sejatinya telah berkiprah di Indonesia sebagai pranata kependidikan Islam di


tengah-tengah masyarakat sejak abad ke-13 M, kemudian berlanjut dengan pasang
surutnya hingga sekarang. Untuk itulah, tidak aneh jika pesantren telah menjadi akar
pendidikan Islam di negeri ini. Karena senyatanya, dalam pesantren telah terjadi proses
pembelajaran sekaligus proses pendidikan; yang tidak hanya memberikan seperangkat
pengetahuan, melainkan juga nilai-nilai (value). Dalam pesantren, terjadi sebuah proses
pembentukan tata nilai yang lengkap, yang merupakan proses pemberian ilmu secara
aplikatif.

Menurut Muhammad Tolhah Hasan dalam bukunya Dinamika Tentang Pendidikan Islam,
disebutkan bahwa komponen-komponen yang ada dalam pesantren antara lain:
 Kyai, sebagai figur sentral dan dominan dalam pesantren, sebagai sumber ilmu
pengetahuan sekaligus sumber tata nilai.
 Pengajian kitab-kitab agama (kitab kuning), yang disampaikan oleh Kyai dan diikuti
para santri.
 Masjid, yang berfungsi sebagai tempat kegiatan pengajian, disamping menjadi pusat
peribadatan.
 Santri, sebagai pencari ilmu (agama) dan pendamba bimbingan Kyai.
 Pondok, sebagai tempat tinggal santri yang menampung santri selama mereka
menuntut ilmu dari Kyai. 

Sedangkan dalam proses pembelajaran dan proses pendidikan, di pesantren menggunakan


dua sistem yang umum, yakni:

 Sistem “sorongan” yang sifatnya individual, yakni seorang santri mendatangi


seorang guru yang akan mengajarkan kitab tertentu, yang umumnya berbahasa
Arab.
 Sistem “bandongan” yang sering disebut dengan sistem weton. Dalam sistem ini,
sekelompok santri mendengarkan dan menyimak seorang guru yang membacakan,
menerjemahkan dan mengulas kitab-kitab kuning. Setiap santri memperhatikan
kitab masing-masing dan membuat catatan yang dirasa perlu.

Kelompok bandongan ini jika jumlahnya tidak terlalu banyak, maka disebut dengan
halaqoh yang arti asalnya adalah lingkaran. Di pesantren-pesantren besar, ada lagi sistem
lain yang disebut musyawarah, yang diikuti santri-santri senior yang telah mampu
membaca kitab kuning dengan baik. Hingga kini, keberadaan pesantren telah mengalami
berbagai dinamika, sejak dari pesantren tradisional hingga pesantren modern. 

C. Lembaga-lembaga pendidikan Islam setelah Pesantren 

Eksistensi pesantren senyatanya mendorong lahirnya lembaga-lembaga pendidikan Islam


lainnya, antara lain:

a. Madrasah

Madrasah merupakan lembaga pendidikan Islam yang lebih modern dibanding pesantren,
baik ditinjau dari sisi metodologi maupun kurikulum pengajarannya. Kendati demikian,
kemunculan madrasah ini tidak lain diawali oleh keberadaan pesantren. Sebagian lulusan
pesantren melanjutkan pendidikan yang lebih tinggi ke beberapa pusat kajian Islam di
beberapa negara Timur Tengah, khususnya Arab Saudi dan Mesir. Lulusan-lulusan Islam
Timur Tengah itulah yang kemudian akhirnya menjadi pemrakarsa pendirian madrasah-
madrasah di Indonesia.

Dalam madrasah, sistem pembelajaran tidak lagi menggunakan sorogan ataupun


bandongan, melainkan lebih modern lagi. Madrasah telah mengaplikasikan sistem kelas
dalam proses pembelajarannya. Elemen yang ada dalam madrasah juga bukan lagi Kyai dan
santri, tetapi murid dan guru (ustad/ustadzah). Dan metode yang digunakan juga beragam,
bisa ceramah, atau drill dan lain-lain, tergantung pada ustad/ustadzah atau guru.

b. Sekolah-sekolah Islam

Di samping madrasah, lembaga pendidikan Islam yang berkembang hingga sekarang


adalah sekolah-sekolah Islam. Pada dasarnya, kata sekolah merupakan terjemah dari
madrasah, hanya saja madrasah adalah kosa kata bahasa Arab, sedangkan sekolah adalah
bahasa Indonesia. Namun demikian, pada aplikasinya terdapat perbedaan antara madrasah
dan sekolah Islam. Madrasah berada dalam naungan Kementrian Agama (Kemenag),
sedangkan sekolah Islam pada Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud).
Selain itu,dari segi bobot muatan materi keagamaannya, madrasah lebih banyak materi
agama dibanding sekolah Islam.

c. Pendidikan Tinggi Islam

Pendidikan Tinggi Islam juga merupakan salah satu lembaga pendidikan Islam yang
modern. Dalam sejarah, pendidikan tinggi Islam yang tertua adalah Sekolah Tinggi Islam
(STI), yang menjadi cikal bakal pendidikan tinggi Islam selanjutnya. STI didirikan pada 8
Juli 1945 di Jakarta, kemudian dipindahkan ke Yogyakarta, dan pada tahun 1948 resmi
berganti nama menjadi Universitas Islam Indonesia (UII).

Selanjutnya, UII merupakan bibit utama dari perguruan-perguruan tinggi swasta yang
kemudian berkembang menjadi beberapa Universitas Islam yang populer di Indonesia,
seperti misalnya Universitas Ibn Kholdun di Bogor, Universitas Muhammadiyah di
Surakarta, Universitas Islam Sultan Agung di Semarang, Universitas Islam Malang
(UNISMA) di Malang, Universitas Islam Sunan Giri (UNSURI) di Surabaya, Universitas Darul
‘Ulum (UNDAR) di Jombang dan lain-lain. Menurut Tolhah Hasan, perkembangan dan
kemajuan perguruan tinggi Islam di Indonesia banyak ditentukan oleh beberapa faktor di
antaranya: kredibilitas kepemimpinan, kreativitas manajerial kelembagaan,
pengembangan program akademik yang jelas dan kualitas dosen yang memiliki tradisi
akademik. 

D. Dinamika Pendidikan Islam di Indonesia

Tak dapat dipungkiri, bahwa seiring berjalannya waktu, lembaga-lembaga pendidikan


Islam juga mengalami berbagai dinamika. Tak hanya pada pesantren, bahkan madrasah
dan perguruan tinggi Islam pun tak luput dari dinamika yang ada.

Pesantren yang dulunya masih tradisional senyatanya mengalami beberapa perubahan dan
perkembangan, seiring dengan perkembangan zaman, ilmu pengetahuan dan teknologi.
Pesantren yang dulunya tradisional, dalam pola pembelajaran dan muatan materi serta
kurikulumnya, kini telah mengalami perkembangan dengan mengadaptasi beberapa teori-
teori pendidikan yang dirasa bisa diterapkan di lingkungan pesantren. Alhasil, kini semakin
banyak bermunculan pesantren modern, yang dalam pola pembelajarannya tidak lagi
konvensional, tapi lebih modern dengan berbagai sentuhan manajemen pendidikan yang
dinamis. Mayoritas pesantren dewasa ini juga memberikan materi dan muatan pendidikan
umum. Tidak sedikit pesantren yang sekaligus memiliki lembaga sekolah dan
manajemennya mengacu pada Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Sedangkan dinamika sistem pendidikan madrasah dapat dicatat dari beberapa perubahan,
seperti dimasukkannya mata pelajaran umum dalam kurikulumnya, meningkatkan kualitas
guru dengan memperhatikan syarat kelayakan mengajar, membenahi manajemen
pendidikannya melalui akreditasi yang diselenggarakan pemerintah, mengikuti ujian
negara menurut jenjangnya.

Tak pelak, bahwa dinamika pendidikan Islam, di samping kemadrasahan, juga muncul
persekolahan yang lebih banyak mengadopsi model sekolah barat. Dan, kemunculannya itu
antara lain dipicu oleh kebutuhan masyarakat muslim yang berminat mendapatkan
pendidikan yang memudahkan memasuki lapangan kerja dalam lembaga pemerintahan
maupun lembaga swasta yang mensyaratkan memiliki keterampilan tertentu, seperti
teknik, perawat kesehatan, administrasi dan perbankan.

Pada perguruan tinggi Islam pun sejatinya juga mengalami berbagai perubahan dan
perkembangan. Dinamika dalam pendidikan tinggi Islam ini salah satunya dapat diraba
dari perubahan status dari Sekolah Tinggi, menjadi Institut, hingga kini menjadi
Universitas. Dengan demikian, materi dan bahan ajar yang ditawarkan di perguruan tinggi
Islam yang kini mayoritas menjadi Universitas, tidak hanya disiplin ilmu agama Islam saja,
melainkan juga berbagai disiplin ilmu umum.

BAB III
PENUTUP
Kesimpulan

Berdasarkan pada paparan dan analisa di atas, maka dapat disimpulkan bahwa:

 Pengertian Pendidikan Islam adalah bimbingan secara sadar oleh pendidik kepada
terdidik terhadap perkembangan jasmani dan rohani si terdidik menuju
kepribadian yang lebih baik, yang pada hakikatnya mengarah pada pembentukan
manusia yang ideal. Manusia ideal adalah manusia yang sempurna akhlaqnya. Yang
nampak dan sejalan dengan misi kerasulan Nabi Muhammad SAW, yaitu
menyempurnakan akhlaq yang mulia.
 Pendidikan Islam di Indonesia sejatinya berlangsung sejak masuknya Islam di
Indonesia dengan masjid sebagai pusat peribadatan dan tempat belajar. Setelah
penggunaan masjid cukup optimal, maka muncullah pesantren yang kemudian
menjadi akar pendidikan Islam di Indonesia. 
 Keberadaan pesantren senyatanya mendorong lahirnya lembaga-lembaga
pendidikan Islam lain setelah pesantren, di antaranya madrasah, sekolah-sekolah
Islam dan Perguruan Tinggi Islam. 
 Dalam perjalanannya, lembaga-lembaga pendidikan Islam tak luput dari berbagai
dinamika yang ada, seiring dengan perkembangan zaman. Pesantren, dari jenis
pesantren tradisional ke pesantren modern. Madrasah yang semakin memperbaiki
kualitasnya dengan berbagai upaya, salah satunya peningkatan kualitas guru. Dan,
perguruan tinggi Islam yang dulunya masih berstatus Sekolah Tinggi, berkembang
menjadi Institut hingga akhirnya menjadi Universitas.

Saran

Sebagai manusia biasa yang tidak sempurna, tentulah tulisan-tulisan kami pun banyak
terdapat kekurangan, untuk itu kami menyarankan kepada pembaca yang ingin lebih
memahami Pendidikan Islam di Indonesia untuk tidak menjadi makalah ini sebagai satu-
satunya rujukan, tetapi sebaiknya juga mencari tulisan-tulisan baik dari buku-buku
maupun koran sebagai referensi.2

DAFTAR PUSTAKA

 Dhofier, Z. (1982). Tradisi Pesantren: Studi Tentang Pandangan Hidup Kyai. Jakarta:
LP3ES.
 Hasan, M. T. 2006. Dinamika Pemikiran Tentang Pendidikan Islam. Jakarta:
Lantabora Press.
 Mastuhu. 1994. Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren: Suatu Kajian Tentang Unsur
dan Nilai Sistem
 1.      Pengertian Pemikiran Pendidikan Islam
 Secara etimologi, pemikiran berasal dari kata dasar “pikir” (dari bahasa Arab ‫فكر‬ ),
yang berarti proses, cara, atau aktifitas memikir, yakni menggunakan akal budi
untuk memutuskan suatu masalah dengan mempertimbangkan segala sesuatu
secara bijaksana. Dengan kata lain, pemikiran adalah upaya cerdas dari proses kerja
akal dan kalbu untuk melihat gejala dan berusaha mencari solusinya secara
bijaksana (A. Susanto, 2009: 2-3)
       Sedangkan pendidikan merupakan sutau proses penyiapan generasi muda untuk
menjalankan kehidupan dan memenuhi tujuan hidupnya secara lebih efektif dan
efisien (Azra, 2002:3). Pendidikan tidak hanya  sebagai transfer of knowledge,
melainkan transformasi nilai-nilai dan pembentukan karakter dengan segala
aspeknya. Sementara pengajaran merupakan proses pengalihan ilmu pengetahuan
daro seorang pengajar (guru) kepada orang yang diajar (murid, siswa, peserta
didik).

2
https://www.anekamakalah.com/2013/12/makalah-sejarah-pendidikan-islam-di.html
       Pendidikan adalah proses pembentuka individu berdasarkan ajaran Islam untuk
mencapai derajat tinggi sehingga mampu menunaikan tugas ke khalifahannya dan
berhasil mewujudkan kebahagiaan dunia dan akhirat (Nata, 2010: 10). Jadi
pendidikan Islam lebih luas cakupannya dan lebih luhur tujuannya karena tidak
hanya mencetak manusia menjadi orang yang berpengetahuan dan mampu
menjalankan tugas kepemimpinan di dunia, namun juga mencetak manusia menjadi
hamba Allah yang berbahagia di sisi Tuhannya (akhirat).
       Pendidikan Islam berbeda dengan pendidikan sekuler (Barat) yang hanya
membentuk manusia-manusia yang pandai di bidangnya (spesialis) dan menitik
beratkan pada pencapaian kebahagiaan jasmani atau matrill belaka dan tidak
memperdulikan aspek moral, sehingga produknya adalah manusia-manusia intelek
namun tidak bermoral dan dengan mudahnya mereka  menggunakan ilmu
pengetahuan mereka demi kepentingan individual semata, tidak demi kemaslahatan
umat. Pendidikakn Islam lebih mengarahkan manusia untuk meraih kebahagiaan
dunia dan akhirat secara seimbang, tahu bagaimana berakhlak yang baik terhadap
Allah sebagai Penciptanya, terhadap sesame manusia maupun makhluk Tuhan yang
diglainnya.
       Secara terminology, pemikiran pendidikan Islam adalah serangkaian proses
kerja akal dan kalbu yang dilaksanakan secara serius dalam melihat berbagai
masalah yang ada dalam pendidikan Islam dan berusaha untuk membangun
paradigm pendidikan yang mampu menjadi wahana bagi pembinaan dan
pengembangan peserta didik secara paripurna (A. Susanto, 2009: 3-4). Jadi lewat
pendekatan ini diharapkan pendidikan Islam mampu menghantarkan  peserta didik
menjadi manusia seutuhnya, bukan hanya cerdas dan berilmu, melainkan juga
berakhlakul karimah.
 2.      Pemikiran Pendidikan Islam pada Masa Keemasan Islam
       Sejarah Islam mencatat bahwa periode Abbasiyah merupakan “masa keemasan”
Islam, terutama pada masa pemerintahan Harun al-Rasyid dan al-Makmum, karena
ilmu-ilmu akli seperti filsafat, geometri, matematika, astronomi, kimia, sejarah, dan
geografi. Pada masa ini sudah mulai masuk dan bermunculan, pembinaan lembaga-
lembaga pendidikan, serta lahirnya pemikiran-pemikiran pendidikan yang hebat.
Tidak heran pada masa ini muncul para pemuka ulama (imam) seperti imam Abu
Hanifah (80-150 H), Imam Malik (95-179 H), Imam Syafi’i (150-204), Imam Ahmad
bin Hambal (164-241 H), yang dikenal dengan Aimmatu mazahib al-Arba’ah (empat
imam madzhab fiqih) yang hingga sekarang masih diikuti oleh umat Islam di seluruh
dunia. Selain itu muncul juga Imam al-Muhadditsin yang terkenal yaitu Imam al-
Bukhari (A. Susanto, 2009: 29).
       Pada masa pemerintahan Harun al-Rasyid dan di lanjutkan al-Makmum,
diadakan gerakan penterjemahan ilmu pengetahuan dan filsafat Yunani, Persia, dan
Bahasa India ke dalam Bahasa Arab secara besar-besaran. Akibatnya, sebagian dari
para cendekiawan muslim terpengaruh dengan ilmu pengetahuan asing, khususnya
ilmu pengetahuan dan filsafat Yunani. Karya-karya filusuf Yunani seperti plato dan
Aristoteles dianggap sangat penting seperti halnya Al-Qur’an. Sehubungan dengan
ini para intelektual muslim mulai menafsirkan ajaran Islam dalam kerangka
pemikiran Aristoteles dan berupaya menyelaraskan ajaran Islam dengan filsafat
Yunani. Tentu saja, hal ini selanjutnya menimbulkan banyak dokrin filsafat yang
bertentangan satu sama lain sebagaimana yang diperlihatkan Mu’tazilah (Alavi,
2003: 4). Penguasa Abbasiyah yang mendukung madzhab Mu’tazilah ini, khususnya
al-Makmum memaksakan paham tersebut dengan kekerasan dan tidak segan-segan
membunuh dan memenjarakan para ulama’ yang tidak mau mengikuti madzhabnya.
       Pada periode Abbasiyah diadakan pembinaan terhadap madrasah-madrasah
yang sebelumnya tidak dikenal. Orang yang pertama kali mendirikan madrasah
adalah Perdana Mentri Nizham al-Mulk. Pembinaan madrasah-madrasah tersebut
menunjukkan puncak pendidikan persekolahan Islam (A. Susanto, 2009: 30).
       Adapun ciri terpenting pada masa keemasan Islam ini adalah timbulnya
pemikiran-pemikiran pendidikan Islam. Para cendekiawan muslim pada masa ini
berlomba-lomba untuk menulis buku tentang pendidikan dan pengajaran secara
meluas dan mendalam yang mengindikasikan adanya perhatian khusus dalam
bidang pendidikan. Ibnu Sahnun (abad ke-3 H), merupakan orang pertama yang
mengarang buku tentang pendidikan, disusul al-Qabisi (abad ke-4 H), Ibnu
Maskawaih dan al-Ghazali (abad ke-6 H), Ibnu Khaldun (abad ke-8 H). pada periode
ini juga muncul pengarang buku tentang  pendidikan yang bernama Burhanuddin al-
Zarnuji dengan  karya monumentalnya Ta’lim al-Muta’allim (A. Susanto, 2009: 30),
yang sampai sekarang masih selalu diajarkan di pesantren-pesantren atau sekolah-
sekolah salaf dan menjadi referensi utama dalam mengajarkan etika dan tata cara
belajar yang benar di dunia Islam.
 3.      Praktik Pendidikan Pada Zaman Keemasan Islam
       Pendidikan pada zaman keemasan ini dalam praktiknya dibagi dalam dua
tingkatan, yakni tingkat pendidikan dasar dan tingkat pendidikan lanjutan. Pada
pendidikan dasar , para siswa belajar membaca, menulis, tata Bahasa Arab,
philology, etika dan praktik ibadah (shalat). Pelajaran membaca Al-Qur’an dan
praktik ibadah di wajibkan. Waktu istirahat dilakukan sekehendak siswa. Pada
pendidikan tingkat lanjutan, disamping pelajaran Bahasa Al-Qur’an dan al-Hadits,
juga pelajaran Bahasa Arab literature, filsafat dan lain-lain (Alavi, 2003: 4-5).
       Pendidikan pada periode ini dilaksanakan di lembaga-lembaga sebagai berikut:
 a.       Kuttab (pendidikan dasar)
             Kuttab atau maktab sudah dikenal sebelum datangnya Islam, yaitu tempat
belajar menulis. Setelah kedatangan Islam, kuttab semakin berkembang karena
Islam sangat mendorong umatnya untuk membaca (S. Al-‘Alaq: 1-5). Pada awal
Islam, materi pelajaran di kuttab hanya membaca dan menulis tentang syair-syair,
dan dilaksanakan di rumah guru-guru yang bersangkutan. Kemudian pada akhir
abad pertama Hijriyah, pelajaran di kuttab berkembang, disamping pelajaran
membaca-menulis, juga diajarkan cara membaca Al-Qur’an dann pokok-pokok
ajaran agama (Zuhairi, 2004: 91).
             Pada masa keemasan Islam (mulai abad ke-8 M), kuttab mulai mengajarkan
ilmu-ilmu umum selain ilmu agama. Hal ini akibat pengaruh
budaya Helenisme sehingga membawa perubahan dalam bidang  kurikulum
pendidikan Islam. Dalam perkembangan berikutnya, kuttab dibedakan menjadi dua,
yakni kuttab yang mengajarkan ilmu-ilmu agama dan kuttab yang mengajarkan
ilmu-ilmu umum. Waktu belajar di kuttub mulai sabtu pagi hingga kamis dengan
perincian : pagi-dhuha dengan materi al-Qur’an, dhuha-zuhur dengan materi
menulis, ba’da zuhur-siang dengan materi gramatika Arab, sejarah, matematika
(Nata, 2010: 33-34).
 b.      Pendidikan rendah di Istana
             Pendidikan anak istana hampir sama dengan di kuttab, bedanya kalau di
istana orang tua murid (khalifah atau para pembesar istana) adalah yang membuat
rencana pelajaran yang di selaraskan dengan anaknya dan tujuan yang diinginkan
oleh orang tuanya. Guru di istana disebut muaddib, karena tugasnya mengajarkan
budi pekerti dan mewariskan intelektual dan pengetahuan orang-orang terdahulu
kepada para anak pejabat. Munculnya pendidikan di istana di dasarkan pada
pemikiran bahwa pendidikan itu harus bersifat menyiapkan anak didik agar cakap
melaksanakan tugas-tugasnya kelak setelah dewasa (Zuhairi, 2004:92).
 c.       Halaqah (kelompok belajar)
             Proses belajar mengajar di halaqah dilaksanakan dimana para murid duduk
melingkari gurunya, sementara guru itu menjelaskan, membacakan karangannya,
atau mengomentari buah karya orang lain. Kegiatan halaqah bisa dilakukan di
masjid atau di rumah-rumah ulama’. Pendidikan di halaqah termasuk kategori
pendidikan tingkat lanjutan (Nata, 2010:34-35).
 d.      Toko-toko kitab
             Semula took-toko kitab hanya berfungsi sebagai tempat menjual kitab karya
para ulama’ atau pujangga. Berhubung si penjual kitab itu kebanyakan para
pujangga yang cerdas yang telah memilih usaha sebagai penjual kitab agar
mendapat kesempatan banyak untuk memmbaca, menelaah, dan bergaul dengan
para ulama’ dan para pujangga, maka akhirnya took-toko kitab itu berkembang
menjadi tempat berkumpulnya para ulama’ dan kaum intelektual untuk berdiskusi,
berdebat, dan  bertukar pikiran tentang berbagai masalah ilmiah. Dengan demikian
took kitab berfungsi sebagai lembaga pendidikan dalam rangka pengembangan ilmu
pengetahuan dan kebudayaan (Zuhairi, 2004: 94).
 e.       Rumah-rumah para ulama’ (manazil al-ulama’)
             Banyak rumah ulama’ yang dijadikan tempat mengajar dikarenakan para
ulama’ tersebut tidak bisa memberi pelajaran di masjid atau madrasah, sementara
banyak pelajar yang berminat belajar ilmu pada ulama’ tersebut. Para ulama’ yang
rumahnya menjadi tempat belajar megajar misalnya: rumah al-Ghazali, Ibnu Sina,
Ali Ibnu Muhammad al-Fasihi, Ya’qub Ibnu Killis, Wazir Khalifah al-‘Aziz billah al-
Fathimy, dan lain-lain (Zuhairi, 2004: 95)
 f.       Majlis atau saloon kesusasteraan
             Saloon kesusasteraan adalah tempat khusus yang diadakan oleh khalifah
untuk membahas berbagai macam disiplin ilmu. Saloon sastra ini semakin
mengalami kemajuan luar biasa pada masa Khalifah Harun al-Rasyid karena
khalifah sendiri memiliki kecerdasan dan sangat mencintai ilmu pengetahuan
sehingga ia sendiri ikut aktif di dalamnya. Khalifah sering kali mengundang para
fuqaha untuk berdebat, para penyair untuk berlomba, ahli Bahasa, dan para ilmuan
untuk berdiskusi tentang berbagai ilmu pengetahuan, serta pakar kesenian dan
pujangga untuk mengikuti sayembara (Zuhairi, 2004: 95-96).
 g.      Rumah sakit
             Pada masa kejayaan Islam, khalifah mendirikan banyak rumah sakit. Fungsi
rumah sakit saat itu bukan hanya untuk merawat dan mengobati orang-orang sakit,
melainkan juga mendidik tenaga yang berkaitan dengan perawatan dan pengobatan.
Mereka mengadakan eksperimen dalam bidang kedokteran dan farmasi. Rumah
sakit juga sebagai tempat praktikum bagi sekolah kedokteran di luar rumah sakit.
Dengan demikian rumah sakit juga berfungsi sebagai lembaga pendidikan. Di
Baghdad sampai tahun 116 M terdapat 60 lembaga medis, Kairo 5 rumah sakit, dan
Cardova dan Sevilla mempunyai pusat lembaga medis (Nata, 2010: 41).
 h.      Perpustakaan
             Perpustakaan – perpustakaan dalam dunia Islam pada masa keemasan sudah
menjadi aspek budaya yang penting, sekaligus menjadi tempat belajar dan sumber
pengembangan ilmu pengetahuan. Contohnya Bait al-Hikmah, perpustakaan yang
dibangun Khalifah Harun a-Rasyid, merupakan tempat belajar dan berdiskusi
layaknya sebuah universitas. Perpustakaan terlengkap dan terbesar di dunia Islam
itu berisi ilmu-ilmu agama Islam dan Bahasa Arab, bermacam-macam ilmu
pengetahuan yang telah berkembang pada masa itu, serta berbagai macam buku
terjemahan dari Bahasa Yunani, Persia, India, dan lain-lain (Zuhairi, 2004:98).
 i.        Badiah (padang pasir, dusun tempat tinggal Badui)
             Setelah terjadi hubungan dengan bangsa Arab dengan bangsa-bangsa non-
Arab, bangsa Arab menjadi rusak, orang Arab menjadi tidak fasih bahasanya, tidak
mengenal kaidah-kaidah bahasa Arab. Oleh karena itu, barang siapa yang ingin
belajar Bahasa Arab yang murni dan fasih, maka ia harus pergi ke perkampungan
orang-orang Badui. Tak heran banyak anak-anak khalifah, para ulama’, dan ilmuan
pergi ke badiah-badiah untuk untuk belajar Bahasa dan kesusasteraan Arab. Dengan
demikian, badiah-badiah telah berfungsi sebagai lembaga pendidikan (Nata,
2010:42).
 j.        Masjid
             Pada masa keemasan Islam, masjid-masjid yang didirikan oleh para penguasa
pada umumnya diperlengkapi dengan berbagai macam sarana dan fasilitas untuk
pendidikan. Tempat pendidikan anak-anak, tempat-tempat untuk pengajian dari
ulama’-ulama’ yang membentuk halaqah-halaqah, tempat untuk berdiskusi dan
berdebat dalam berbagai ilmu pengetahuan, dan juga dilengkapi dengan ruang
perpustakaan dengan buku-buku dari berbagai macam ilmu pengetahuan yang
cukup banyak. Imam Syafi’I bertugas memberi pelajaran tafsir al-Qur’an, al-Hadits,
FIlsafat, Retorika, Tata Bahasa Arab, dan Syair. Sedangkan at-Tabary mengajar syair
di masjid Amar, sementara al-Jubai al-Mu’tazily menjadi dosen filsafat di masjid
Bashrah.
             Demikianlah masjid dalam dunia Islam, sepanjang sejarahnya tetap
memegang peranan pokok, disamping fungsinya sebagai tempat berkomunikasi
dengan Tuhan, sebagai lembaga pendidikan dan pusat komunikasi sesame kaum
muslimin.
 k.       madrasah
             Timbulnya lembaga pendidikan formal dalam bentuk madrasah – madrasah
pada masa kejayaan Islam merupakan pengembangan dari system pendidikan dan
pengajaran yang sebelumnya dilaksanakan di masjid-masjid. Alasan utama
berdirinya madrasah di luar masjid adalah keberadaan dan kegiatan halaqah-
halaqah (kelompok belajar) di dalam masjid sering kali mengganggu orang mau
beribadah di masjid, sementara fungsi masjid adalah untuk kegiatan ibadah.
Disamping itu semakin berkembangnya ilmu pengetahuan melahirkan halaqah-
halaqah yang jumlahnya tidak mungkin bisa tertampung di dalam masjid (Zuhairi,
2004: 100-101).
             Penguasa Abbasiyah mempunyai perhatian besar terhadap madrasah sebagai
lembaga pendidikan resmi. Pada masa itu, madrasah yang populer adalah madrasah
Nizhamiyah yang didirikan oleh perdana mentri Nizham al-Mulk pada tahun 1067
M/459 H. Madrasah tersebut merupakan lembaga pendidikan resmi dan
pemerintah terlibat aktif dalam menetapkan tujuan-tujuannya, menggariskan
kurikulum, mengangkat gurunya, dan menyalurkan dana secara teratur kepadanya
(Maksum, 1999: 61).
             Adapun system pendidikan madrasah Nizhamiyah Baghdad (Nata, 2010: 65-
71) adalah:
 1)   Tujuan pokok pendidikan madrasah Nizhamiyah yaitu: pertama, menyiapkan
calon-calon ulama’ sunni untuk menghadapi gerakan pemikiran syi’ah, kedua,
menyediakan para pengajar sunni yang kompeten untuk mengajar dan 
menyebarkan madzhab sunni ke daerah-daerah lain. Ketiga, membentuk kelompok
pegawai sunni untuk ikut menjalankan pemerintahan, mengepalai kantornya,
terutama dalam bidang peradilan dan manajemen.
 2)   Kurikulum dan metode pengajaranMadrasah Nazhimiyah terfokus pada Al-
Qur’an (membaca, menghafal, dan menulis), sastra Arab, sejarah Nabi Muhammad
SAW. Dan Matematika, dengan menitik beratkan pada madzhab Syafi’I dan system
teologi Asy’ariyah. Dengan kata lain, Madrasah Nazhimiyah mengosentrasikan
usahanya pada ulum al-syari’ah dan ushul al-din sesuai tujuan yang telah ditetapkan
padanya. Konsekuensinya, Madrasah Nazhimiyah mengabaikan ilmu-ilmu terapan
yang praktis (al-ulum al-tathbiqiyah al-amaliyah). Di Madrasah Nazhimiyah
pengajar menyampaikan materi-materi pelajaran (ceramah/talqin) dengan cara
berdiri depan kelas, sementara para siswa duduk mendengarkan di atas meja-meja
kecil yang disediakan. Lalu dilanjutkan dengan dialog atau diskusi (munaqasah)
antara guru dan para siswa tentang materi yang disampaikan dalam suasana
semangat keilmuan yang tinggi. Ilmu fiqih dijabarkan oleh guru dalam satu silabus
yang disebut ta’liqah. Karya itu disusun oleh masing-masing tenaga pangajar
berdasarkan catatan perkuliahannya sewaktu menjadi mahasiswa, bacaannya, dan
kesimpulan pribadinya tentang topik terkait. Sebagian mahasiswa
menyalin ta’liqah dengan proses dikte, sedangkan yang lain memberi catatan-
catatan dari diskusi-diskusi kelas atau dari penelitian sendiri,
sehingga ta’liqah mereka lebih refleksi pribadi mereka tentang materi kuliah yang
disampaikan para dosen.
 3)   Tenaga pengajar dan Pelajar Madrasah Nazhimiyah Baghdad merupakan tenaga
dan siswa terpilih melalui proses seleksi yang ketat. Hal ini dikarenakan Madrasah
Nazhimiyah merupakan lembaga pendidikan tinggi yang mengajarkan pendidikan
tingkat tinggi pula. Hanya ulama’ terkemuka pada waktu itu dan guru-guru besar
yang tersohor dan mempunyai kompetensi di bidangnyalah yang dipilih untuk
mengajar. Para guru tersebut diangkat oleh khalifah dan bertugas  dalam masa
tertentu. Didalam melaksanakan tugasnya seorang guru dibantu oleh seorang
asisten yang tugasnya adalah menjelaskan bagian-bagian yang sulit dipahami
setelah memberikan kuliah, atau membantu para pelajar yang kurang pandai.
Nizham al-Mulk juga memberi beasiswa dan menyediakan asrama secara gratis,
bahkan diberi uang belanja secukupnya.
 4)   Pendanaan dan dan Sarana Madrasah Nazhimiyah Baghdad di cukupi dari
lembaga waqaf. Perdana mentri Nizham al-Mulk menyediakan dana waqaf untuk
membiayai para pengajar, Imam, mahasiswa yang menerima beasiswa dan fasilitas
asrama, dan mendirikan Madrasah-madrasah Nizhamiyah hampir diseluruh wilayah
kekuasaan  Bani Saljuk saat itu, mendirikan perpustakaan dengan lebih kurang
6.000 jilid buku lengkap dengan katalognya, lalu menetapkan anggaran belanja
seluruh madrasah itu sebesar 600.000 dinar pertahun, sedangkan untuk Madrasah
Nizhamiyah Baghdad saja seper sepuluhnya, yaitu, 60.000 dinar pertahun. Ini sudah
cukup untuk membiayai berbagai fasilitas yang disediakan untuk peajar dan
pengajar, baik berupa akomodasi, uang makan dan tunjanga. 3

3
http://edieko271.blogspot.com/2015/05/makalah-pemikiran-pendidikan-islam.html

Anda mungkin juga menyukai