Anda di halaman 1dari 6

BAB I

PENDAHULUAN

Akhir-akhir ini selaras dengan terjadinya proses sekularisasi dan dehumanisasi akibat
modernisasi, muncul tuntutan agar kedua pendekatan studi islam dan sains tidak di
kotomikan dalam mengkaji islam, tetapi di integrasikan atau di interkoneksikan. Pada
prinsipnya, sesuai dengan ajaran Al-Qur’an, islam memang tidak mengenal dikotomi antara
agama dan ilmu (sains), jasmani dan rohani, rasio dan empiris, dunia dan akhirat.
Gagasan tentang integrasi ilmu pengetahuan agama dan ilmu pengetahuan umum
bukan merupakan fenomena baru dalam khazanah epistemologi keilmuan islam.Pada asanya,
islam memang tidak mendikhotomi antara ilmu agam dan ilmu umum. Pada era golden age
(masa keemasan) islam periode Abbasiyah, kedua ilmu pengetahuan ini tetap terintegrasi
hingga kemudian di buyarkan oleh redupnya dinamika peradaban islam menyusul terjadinya
spesialisasi ilmu pengetahuan modern yang bersembnyi di balik politik kolonialisasi dan
imperialisasi dunia islam.
Pada era modern islam pasca kolonial hingga sekarang, gagasan ilmu pengetahuan
yang integratif bergaung kembali dalam berbagai konsep, semisal islamisasi ilmu
pengetahuan, saintifikasi Al-Qur’an, objektifikasi ajaran islam, dll. Keseluruhan konsep ini,
grand theme sebenarnya menghendaki atau mengidealkan ilmu pengetahuan islam tidak
sekedar menjadi media dakwah, tapi di kembalikan kepada koetentikanya sebagai sistem ilmu
pengetahuan yang memiliki fungsi transformatif dan responsif terhadap isu-isu modern
sejalan dengan tuntutan kebutuhan aktual masyarakat.
Bukan masanya sekarang disiplin imu-ilmu agama (Islam) menyendiri dan steril dari
kontak dan intervensi ilmu-ilmu kealaman dan begitu pula sebaiknya. Perlu pula ada
integritas-interkoneksi antara elemen-elemen pengetahuan tersebut. M. Amin Abdullah
seorang cendikia muslim menjadi tokoh yang berjasa dalam pengembangan gagasan
integrasi-interkoneksi ini, sehingga berimplikasi dalam banyak hal perubahan konsep IAIN
menjadi UIN.
BAB II
PEMBAHASAN

Studi islam integrasi-interkoneksi adalah kajian tentang ilmu-ilmu keislaman, baik


objek bahasan maupun orientasi metodologinya dan mengkaji salah satu bidang keilmuan
dengan memanfaatkan bidang keilmuan lainnya serta melihat kesaling-terkaitan antar
berbagai disiplin ilmu tersebut.
Jika di telusuri lebih jauh, gagasan tentang integrasi antara ilmu agama dengan ilmu
umum ini sebenarnya tidak lepas dari rangkaian panjang pergulatan aktualisasi diri umat
islam terhadap proses modernisasi dunia yang tengah berlangsung dalam skala global. Islam
dan tantangan moderenisasi merupakan tema paling menonjol dalam agenda pembaharuan
pemikiran islam yang di dengungkan oleh para mujaddid islam sepanjang sejarah.
Kekuatan tema ini terutama berkaitan erat dengan realitas kemunduran dan
keterbelakangan umat islam dalam berbagai aspek kehidupan dan kemajuan dunia barat.
Salah satu fokus garapan para pembaharu dalam proses modernisasi islam adalah bidang
pendidikan. Bidang pendidikan ini di pandang sebagai sektor paling terbelakang yang
menghambat laju percepatan modernisasi di dunia islam, akibat pola pikir umat yang
terkondisikan oleh anggapan bahwa antara agama yang bersumber dari wahyu dan sains yang
bersumber dari hasil pikiran manusia merupakan dua entitas berbeda yang tidak berkaitan
satu sama lain.
Akibat pemahaman terbelah ini, karakter pendidikan islam yang semula tidak
memisahkan antara kebutuhan terhadap agama dengan ilmu, iman dengan amal, serta dunia
dengan akhirat lalu kemudian mengalami kemujudan yang berdampak pada
penjajahan dunia islam atas supremasi barat.

Horizon
Jaring Laba-Laba Keilmuan
Teoantroposentrik-Integralistik
dalam Universitas Islam Negeri
Sebagai contohnya, dalam konsep integrasi-interkoneksi yang di kembangkan oleh UIN,
secara detail di ungkap bahwa dalam kasus UIN yang nota-bene merupakan lembaga
pendidikan islam variabel multi-dimensi keilmuannya tidak hanya berurusan dengan realitas
hidup dan realitas manusia sebagaimana dalam ilmu-ilmu “umum”, namun juga menyangkut
realitas teks sebagaimana khas ilmu-ilmu agama atau lebih tepatnya “ilmu-ilmu keislaman”.
Dengan menimbang variabel-variabel ini, maka ideal integrasi-interkoneksi yang di
gagas oleh UIN mensyaratkan dialektika antara variabel-variabel tersebut dalam praksis
integrasi-interkoneksi. Brand yang diusung oleh UIN untuk menyebut dialektika ini adalah
Hadarat al-Nash, Hadarat al-‘ilm dan Hadarat al-falsafah. Hadarat al-Nash berarti kesediaan
untuk menimbang kandungan isi teks keagamaan sebagai wujud komitmen
keagamaan/keislaman. Hadarat al-‘ilm berarti kesediaan untuk profesional, objektif, inovatif
dalam bidang keilmuan yang di geluti dan akhirnya Hadarat al-falsafah berarti kesediaan
untuk mengkaitkan muatan keilmuan dengan tanggung jawab moral etik dalam praksis
kehidupan riil di tengah masyarakat.
Maka kesimpulannya adalah Hadarat al-Nash adalah jaminan identitas keislaman,
Hadarat al-‘ilm adalah jaminan profesionalitas-ilmiah, dan Hadarat al-falsafah adalah
jaminan bahwa muatan keilmuan yang di kembangkan bukan “menara gading”yang berhenti
di “langit akademik”, tetapi memberi kontribusi positif-emansipatif yang nyata dalam
kehidupan masyarakat.
A. KONSEP INTEGRASI-INTERKONEKSI UIN SUNAN KALIJAGA

Sampai saat ini konsep integrasi interkoneksi masih menjadi salah satu jargon utama di
kalangan intelektual muslim kelas atas, sebutlah salah satunya Prof. Dr. H. Amin Abdullah
dari UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Beliau menggambarkan konsep integrasi interkoneksi
ini dengan visualisasi jaring laba-laba keilmuan (scientific spider web) sebagai miniatur
sederhana agar lebih mudah untuk dipahami. Hal mendasar yang perlu dimengerti terlebih
dahulu adalah konsep integrasi interkoneksi merupakan sebuah paradigma mendasar dalam
struktur keilmuan keIslaman yang sedang dibangun kembali untuk menyeimbangkan struktur
keilmuan yang sudah mulai timpang sejak runtuhnya kekuasaan Turki Usmani. Jadi
sebenarnya konsep keilmuan integrasi interkoneksi ini telah berkembang pada beberapa abad
yang lalu dan terbukti dapat memberikan nilai keseimbangan dalam kehidupan manusia dari
berbagai segi kehidupan. Fakta ini dapat dilihat dalam sejarah abad pertengahan pada masa
kejayaan Islam dan ilmu pengetahuan, dimana ilmu keagamaan Islam dan ilmu pengetahuan
alam dan sosial dapat berkembang bersama tanpa harus saling terpisah apalagi sampai timbul
konflik di antaranya. Pada akhirnya konsep seperti ini dirubah oleh para ilmuwan barat
dengan mendikhotomikan beberapa bidang keilmuan. Hal ini disebabkan oleh dogma gereja
yang selalu keras bertentangan dengan ilmu pengetahuan, maka akhirnya munculah
sekat (gap) yang memisahkan para penganut gereja dengan para ilmuwan pada saat itu. Bagi
para ilmuwan yang menentang dogma gereja berpendapat bahwa agama adalah candu yang
hanya menyisakan keterbelakangan ilmu. Sejak itulah paradigma yang dikhotomis dalam
struktur keilmuan muncul, dan parahnya paradigma inilah yang kita adopsi dari barat melalui
berbagai ilmu pengetahuan alam dan sosial yang mereka kembangkan.
Jadi secara teoritis konsep keilmuan yang integratif interkonektif adalah konsep
keilmuan yang terpadu dan terkait antara keilmuan agama (an-nash) dengan keilmuan alam
dan sosial (al-ilm) dengan harapan akan menghasilkan sebuah output yang seimbang etis
filosofis (al-falsafah). Jadi hubungan antara bidang keilmuan tidak lagi terjadi konflik tetapi
saling menghargai dan membangun, bidang keilmuan satu sama lain saling mendukung.
Misalnya bagaimana keilmuan sains dan teknologi dapat mendukung eksistensi keilmuan
agama, begitu juga sebaliknya. Sehingga dalam hal ini tidak lagi dijumpai ilmu agama
bertentangan dengan ilmu alam atau ilmu alam bertentangan dengan ilmu etika misalnya.
Pada dasarnya yang ingin dibangun kembali adalah paradigma yang salah dalam melihat
struktur keilmuan secara utuh. Dalam Islam secara alamiah (sunnatullah) berkeyakinan
bahwa tidak ada yang salah dengan struktur keilmuan yang sudah ada sejak zaman dahulu,
hanya saja pandangan ilmuwan yang serba terbatas seringkali merubah tatanan keilmuan
menjadi dikhotomis berdasarkan latar belakang dan kepentingan ilmuwan tersebut.
Sedikit sulit bagi kita dalam memahami sebuah paradigma yang sangat abstrak ini,
akan tetapi konsep integrasi interkoneksi adalah paradigma yang bisa divisualisasikan dalam
kehidupan kita. Sebenarnya di kalangan akademisi sendiri masih belum banyak dipahami
tentang indikator keberhasilan dalam penerapan konsep integrasi interkoneksi ini, sehingga
belum diketahui titik evaluasi yang harus diperbaiki. Untuk memahami konsep integrasi
interkoneksi dalam praktek keseharian kita, maka saya akan menggunakan tiga kata kunci
entitas yang diadopsi dari konsep keterpaduan ilmu oleh Prof. Dr. H. Amin Abdullah,
yaitu nash (keagamaan), ilmu (alam dan sosial), dan falsafah (etika). Rumusnya adalah jika
kita telah berhasil memadukan dan menyeimbangkan ketiga entitas di atas dalam berbagai
segi kehidupan, maka kita telah berhasil menghilangkan gap dikhotomis di antaranya. Makna
memadukan dan menyeimbangkan di sini adalah mengkaitkan tanpa mengacuhkan
kepentingan ketiganya.
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Paradigma baru yang dibangun oleh Amin Abdullah dengan integratif-interkonektif
ini memang sangat relevan dengan kebutuhan zaman saat ini. Koneksitas ini diharapkan
mampu menjawab kebuntuan dalam keilmuan islam dan lebih jauh lagi dapat menjawab
kompleksitas problem kemanusiaan di era globalisasi. Namun paradigma ini tidak mudah
untuk diaplikasikan, hal ini bisa dilihat ketika paradigma ini coba diterapkan dalam
pengembangan perguruan tinggi agama yang mengejawantah dengan perubahanIAIN
menjadi UIN ternyata banyak menimbulkan kerancuan terutama bagi program-program studi
yang muncul kemudian, dan hal ini menurut harus segera dicarikan solusi, sehingga tujuan
ideal dari integrasi dan interkoneksi ini dapat terwujud.
Perubahan IAIN ke UIN mengisyaratkan akan adanya keilmuan yang
mmpertimbangkan dari aspek lain dan tidak hanya memandang teks saja yang tidak
berhubungan dua wajah keilmuan lain. Dalam konteks ini, paradigma keilmuan UIN
memandang bahwa antara ilmu-ilmu qauliyyah/hadarah al-nash dengan ilmu-ilmu kauniyyah-
ijtia’iayyah/hadarah al-‘ilm, maupun dengan hadarah al-falsafah berintegrasi dan
berinterkoneksi satu sama lain.
Dengan demikian, perlunya mengubah paradigma (shifting paradigm) dan pandangan
dunia (world view) tentang realitas alam dari pendekatan tunggalnya yang bersifat empiris
dan materialistis yang mengabaikan nilai etika dan agama, menjadi pandang yang bersifat
kualitatif, berdasarkan nilai (value-based), holistik, dan integralistik.Konsepsi baru ini
sekaligus sebagai penyempurnaan dalam proses retafikasi dan verifikasi suatu realitas alam
sebagai bagian dari metode ilmiah.Dan pembaca secara hermeneutik terhadap realitas
qauliyah dan kauniyah akan sangat membantu dalam mengekplorasi nilai-nilai yang
terkandung secara kontekstual pada keduanya. Pembaca inilah “yang mungkin” di maksud
dengan kandungan makna perintah IQRA’.
Semoga uraian rintisan ini memberikan rangsangan untuk mengembangkan berbagai
disiplin keilmuan yang telah ada maupun yang akan di buka di UIN kelak, sebagai upaya
pencarian (discovery) dan tanggung jawab islam terhadap pengembangan ilmu-ilmu.

Anda mungkin juga menyukai