DOSEN :
DISUSUN OLEH :
Nim : 1704015088
Kelas : 6E
2020
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Integrasi adalah konsep yang menegaskan bahwa integrasi keilmuan yang disasar
bukanlah model melting-pot integration, di mana integrasi hanya difahami hanya dari perspektif
ruang tanpa subtansi. Integrasi yang dimaksud adalah model penyatuan yang antara satu dengan
lainnya memiliki keterkaitan yang kuat sehingga tampil dalam satu kesatuan yang utuh. Hal ini
perlu karena perkembangan ilmu pengetahuan yang dipelopori Barat sejak lima ratus tahun
terakhir, dengan semangat modernisme dan sekulerisme telah menimbulkan pengkotak-kotakan
(comparmentalization) ilmu dan mereduksi ilmu pada bagian tertentu saja. Dampak lebih lanjut
adalah terjadinya proses dehumanisasi dan pendangkalan iman manusia. Untuk menyatukan ilmu
pengetahuan, harus berangkat dari pemahaman yang benar tentang sebab terjadinya dikotomi
ilmu dibarat dan bagaimana paradigma yang diberikan Islam tentang ilmu pengetahuan.
Pendidikan yang berlangsung dizaman modern ini lebih menekankan pada pengembangan
disiplin ilmu dengan spesialisasi secara ketat, sehingga integrasi dan interkoneksi antar disiplin
keilmuan menjadi hilang dan melahirkan dikotomi ilmu-ilmu agama di satu pihak dan kelompok
ilmu-ilmu umum dipihak lain. Dikotomi ini menyebabkan terbentuknya perbedaan sikap di
kalangan masyarakat.
Allah menciptakan manusi di dunia ini sebagai hamba, disamping itu, manusia memiliki
tugas pokok yaitu menyembah kepada-Nya. Selain itu manusia juga sebagai khalifah, oleh
karena itu, manusia diberi kemampuan jasmani (pisiologis) dan ruhani (psikologis) yang dapat
ditumbuh kembangkan seoptimal mungkin, sehingga menjadi alat yang berdaya untuk
melaksanakan tugas pokok dalam kehidupannya di dunia.
Untuk mengembangkan kemampuan dasar jasmaniyah dan ruhaniyah tersebut, maka
pendidikan merupakan sarana yang tepat untuk menentukan sampai dimana titik optimal
kemampuan-kemampuan tersebut dapat dicapai. Akan tetapi proses pengembangan kemampuan
manusia melalui pendidikan tidaklah menjamin akan terbentuknya watak dan bakat. Hidup tidak
bisa lepas dari pendidikan, karena manusia diciptakan tidak hanya untuk hidup. Ada tujuan yang
lebih mulia dari sekedar hidup yang mesti diwujudkan, dan itu memerlukan pendidikan untuk
memperolehnya. Inilah salah satu perbedaan antara manusia dengan makhluk lain, yang
membuat lebih unggul dan mulia. Pendidikan dipandang sebagai salah satu aspek yang memiliki
peranan penting dalam membentuk generasi mendatang adalah aspek pendidikan. Dengan
demikian melalui pendidikan nilai - nilai ketauhidan diharapkan menghasilkan manusia yang
berkualitas dan bertanggung jawab .
Dalam tataran realitas operasionalnya, mewujudkan pendidikan yang dicitacitakan di atas
bukanlah persoalan yang mudah. Beragam persoalan menghadang bersamaan dengan persoalan
riil warganya. Imam Bawani menyatakan bahwa ada tiga problem yang sangat mendesak untuk
dilakukan kedepan, yaitu bagaimana menyeimbangkan pengokohan imtaq dengan penguasaan
iptek di lembaga-lembaga pendidikan, serta memperkuat atmosfir keislaman di institusi
pendidikan, dan bagaimana meningkatkan kualitas penyelenggaraan pendidikan Islam pada
umumnya.
Dalam dunia pendidikan, iman, ilmu dan amal menjadi sasaran utama untuk
dikembangkan secara seimbang, jika tidak ia akan menghasilkan kehidupan yang timpang. Iman
berkait dengan keyakinan, ilmu berkait dengan kognisi dan pengetahuan, dan amal berkait
dengan praksis dan realitas keseharian. Pengembangan yang fragmentalis dan parsial serta
eksklusif terhadap tiga ranah tersebut secara psikologis bisa membahayakan. Apa yang diyakini
seharusnya tidak bertentangan dengan apa yang dianggap benar secara kognitif, dan apa yang
dianggap secara kgnitif tidak seharusnya bertentangan dengan realitas nyata yang dialami sehari-
hari.
B. Rumusan Masalah
Pengertian integrasi ilmu
Konsep dan pentingnya integrasi ilmu
Prinsip atau nilai dasar Integrasi ilmu
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1. Level Filosofis
Integritas dan interkoneksitas pada level filosofis dalam wacana keilmuan bahwa di
dalamnya harus diberikan nilai fundamental eksistensial dalam kaitannya dengan disiplin
keilmuan lain dan dalam hubungannya dengan nilai-nilai humanistik. Ilmu fiqh misalnya, di
samping makna fundamentalnya sebagai filosofi membangun hubungan antara manusia, alam
dan Tuhan dalam ajaran Islam, dalam pengkajian fiqh harus disinggung pula bahwa eksistensi
fiqh tidaklah berdiri sendiri atau bersifat self-sufficient, melainkan berkembang bersama sikap
akomodatifnya terhadap dislipin keilmuan lainnya seperti filsafat, sosiologi, psikologi dan lain
sebagainya.
Demikian juga dalam hal pengkajian ilmu umum seperti sosiologi. Sosiologi sebagai
disiplin ilmu yang mengkaji interaksi sosial antar manusia akan menjadi terberdayakan dengan
baik apabila pengajar sosiologi –sebagai salah satu unsur dari proses transferisasi ilmu- juga
mengajak peserta didik untuk mereview teori-teori interaksi sosial yang sudah ada dalam tradisi
budaya dan agama. Interkoneksitas seperti ini akan saling memberdayakan antara sosiologi di
satu pihak dan tradisi budaya atau keagamaan di pihak lain. Pada level filosofis dengan
demikian lebih merupakan suatu penyadaran eksistensial suatu disiplin ilmu selalu bergantung
pada disiplin ilmu lainnya termasuk di dalamnya agama dan budaya.
2. Level Materi
Implementasi integrasi dan interkoneksi pada level materi bisa dilakukan dengan tiga
model pengejawantahan interkoneksitas keilmuan antar disiplin keilmuan.
Pertama, model pengintegrasian ke dalam paket kurikulum, karena hal ini terkait dengan
lembaga penyelenggara pendidikan.
Kedua, model penamaan disiplin ilmu yang menunjukkan hubungan antara disiplin ilmu
umum dan keislaman. Model ini menuntut setiap nama disiplin ilmu mencantumkan kata Islam,
seperti ekonomi Islam, politik Islam, sosiologi Islam, antropologi Islam, sastra Islam, pendidikan
Islam, filsafat Islam dan lain sebagainya sebagai refleksi dari suatu integrasi keilmuan yang
dilakukan.
Ketiga, model pengintegrasian ke dalam pengajaran disiplin ilmu. Model ini menuntut
dalam setiap pengajaran disiplin ilmu keislaman dan keagamaan harus diinjeksikan teori-teori
keilmuan umum terkait sebagai wujud interkoneksitas antara keduanya, dan begitupun
sebaliknya.
3. Level Metodologi
Dalam konteks struktur keilmuan Lembaga pendidikan yang bersifat integratif-
interkonektif menyentuh pula level metodologis. Ketika sebuah disiplin ilmu diintegrasikan atau
diinterkoneksikan dengan disiplin ilmu lain, misalnya psikologi dengan nilai-nilai Islam, maka
secara metodologis ilmu interkonektif tersebut harus menggunakan pendekatan dan metode yang
aman bagi ilmu tersebut. Sebagai contoh pendekatan fenomenologis yang memberi apresiasi
empatik dari orang yang mengalami pengalaman, dianggap lebih aman ketimbang pendekatan
lain yang mengandung bias anti agama seperti psikoanalisis.
Dari segi metode penelitian tampaknya tidak menjadi masalah karena ketika suatu
penelitian dilakukan secara obyektif baik dengan menggunakan metode kuesioner, wawancara
atau yang lainnya, maka hasilnya kebenaran objektif. Kebenaran seperti ini justru akan
mendukung kebenaran agama itu sendiri.
4. Level Strategi
Yang dimaksud level strategi di sini adalah level pelaksanaan atau praksis dari proses
pembelajaran keilmuan integratif-interkonektif. Dalam konteks ini, setidaknya kualitas keilmuan
serta keterampilan pengajar menjadi kunci keberhasilan pembelajaran berbasis paradigma
interkoneksitas. Di samping kualitas-kualitas ini, pengajar harus difasilitasi dengan baik
menyangkut pengadaan sumber bacaan yang harus beragam serta bahan-bahan pengajaran
(teaching resources) di kelas. Demikian pula pembelajaran dengan model pembelajaran active
learning dengan berbagai strategi dan metodenya menjadi keharusan.
A. Kesimpulan
Integrasi berasal dari bahasa Inggris – integrate, integration yang berarti
menyatupadukan, penggabungan atau penyatuan menjadi satu kesatuan yang utuh, pemaduan.
Integrasi ilmu agama dan ilmu umum ini adalah upaya untuk meleburkan polarisme antara
agama dan ilmu yang diakibatkan pola pikir pengkutupan antara agama sebagai sumber
kebenaran yang independen dan ilmu sebagai sumber kebenaran yang independen pula.
Level Filosof
Level Materi
Level Metodologi
Level Strategi
B. Saran
Akhirnya, berangkat dari ketidaksempurnaan, yakni segala sesuatu tiada yang sempurna
kecuali dzatNya, maka terlebih makalah ini. Makalah yang disusun oleh sesuatu yang tidak
sempurna ini, tentu tidak wajar apabila tidak terdapat kekurangan. Oleh karena itu, saya
memohon maaf atas segala keterbatasan. Di samping itu, saya pun mengharapkan kritik dan
saran konstruktif dari rekan pembaca guna meningkatkan kualitas penyusunan makalah saya di
masa mendatang.
Daftar Pustaka
Abdullah, M. Amin. Islam Studis, dalam Paradigma Integrasi - Interkoneksi (Sebuah Ontologi).
Yogyakarta: Suka Press, 2007.
Adian, Donny Gahrial. Menyoal Objektivisme Ilmu Pengetahuan dari David Hume sampai
Thomas Kuhn. Bandung: Teraju, 2002.
Bagir, Zainal Abidin dkk. Integrasi Ilmu dan Agama: Interpretasi dan Aksi. Bandung: Mizan,
2005.
Jurnal Ilmu Pendidikan Islam dan Keagamaan, Volume 2 No.2 2018, Nilai – nilai integrasi ilmu
pengetahua dalam kurikulum 13, Wahyudin Nur Nasution, Mardiyanto.