Makalah ini disusun sebagai tugas mata kuliah Islam dalam Disiplin Ilmu (IDI)
Dosen Pengampu:
Ade Putri Muliya, S.Pd.I, M.Pd.
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah Yang Maha Esa karena berkat dan
rahmat-Nya makalah ini dapat dibuat. Makalah ini dibuat dengan tujuan untuk memenuhi
Dalam penyusunan makalah ini penulis telah berusaha semaksimal mungkin sesuai
dengan kemampuan penulis. Namun sebagai manusia biasa, penyusun tidak luput dari
kesalahan dan kekhilafan baik dari segi penulisan maupun tata bahasa. Tetapi walaupun
sangat sederhana.
Penyusun menyadari tanpa kerjasama antara penyusun serta beberapa kerabat yang
memberi berbagai masukan yang bermanfaat bagi penyusun demi tersusunnya makalah ini.
Untuk itu penyusun mengucapkan terimakasih kepada pihak yang telah bersedia meluangkan
waktunya untuk memberikan arahan dan saran demi kelancaran penyusunan makalah ini.
Demikian semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi penyusun dan para pembaca pada
umumnya.
Penyusun
i
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang........................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah...................................................................... 1
1.3 Tujuan Kepenulisan .................................................................. 1
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Paradigma................................................................. 2
2.2 Pengertian Integrasi.................................................................... 3
2.3 Paradigma dalam Integrasi Ilmu............................................... 3
2.4 Ragam Paradigma Integrasi Ilmu..................................................4
2.5 Teknik Integrasi Ilmu ..................................................................6
2.6 Panduan Teknis Pengintegrasian...................................................8
2.7 Contoh Praktik Integrasi Ilmu......................................................14
ii
iii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Al-Qurán dan Hadits Nabi memerintahkan mengembangkan ilmu pengetahuan
dengan cara memikirkan ciptaan langit dan bumi, menyuruh untuk berpikir,
mengamati, dan meneliti alam semesta. Al-Qurán menantang manusia untuk meneliti
alam semesta hingga sekecil-kecilnya. Misalnya, QS. al-Alaq (88): 17-30: “Allah
telah menciptakan manusia dari segumpal darah, mengajarnya dengan pena, agar
mereka dapat mengetahui yang tidak diketahui”. Ayat-ayat tersebut jika diresapi
maknanya secara mendalam, sebenarnya merupakan perintah dan anjuran mengggali
ilmu pengetahuan seluas-luasnya dengan melakukan riset terhadap alam semesta.
Allah menjadikan manusia ke dunia dalam keadaan yang tidak mengetahui apa apa,
dan secara perlahan mempelajarinya melalui kemampuan melihat dan mendengar.
Persoalannya adalah, bahwa selama ini para ilmuan seperti; ahli biologi, kimia, fisika,
sosiologi, psikologi dan seterusnya, dalam mengembangkan dan meneliti alam
semesta belum mengacu kepada ayat-ayat al-Qur’an. Sementara kebanyakan para
ulama yang menekuni al-Qurán dan Hadits berhenti pada kajian teks saja, belum
sampai melahirkan semangat untuk meneliti alam semesta ciptaan Allah secara ilmiah
sebagaimana yang dipesan al-Qurán.
1
BAB II
PEMBAHASAN
Ini bisa kita pahami dari ayat yang pertama kali turun:
2
2.2 Pengertian Integrasi
Membicarakan tentang integrasi berarti berupaya untuk memadukan antara
sains dan agama untuk menciptakan format baru hubungan sains (ilmu pengetahuan)
dan Islam dalam upaya membangun kembali sains Islam yang selama ini dipandang
tidak ada. Agama dan sains berbeda dalam metodologi ketika keduanya mencoba
untuk menjelaskan kebenaran. Metode agama umumnya bersifat subyektif, tergantung
pada intuisi/pengalaman pribadi dan otoritas nabi/kitab suci. Sedangkan sains bersifat
obyektif, yang lebih mengandalkan observasi dan interpretasi terhadap fenomena
yang teramati dan dapat diverifikasi.
Wahyu pertama tersebut tidak menjelaskan apa yang harus dibaca karena al-
Qur`an menghendaki umatnya membaca apa saja selama bacaan tersebut bismi
Rabbik, dalam arti bermanfaat untuk kemanusiaan. Pengulangan membaca dalam
3
wahyu pertama ini bukan sekadar menunjukkan bahwa kecakapan membaca tidak
akan diperoleh kecuali mengulang-ulang bacaan atau dalam bahasa lain, membaca
hendaknya dilakukan sampai mencapai batas maksimal kemampuan, tetapi hal itu
mengisyaratkan bahwa mengulang-ulang bacaan bismi Rabbik akan menghasilkan
pengetahuan dan wawasan baru, walaupun yang dibaca masih itu-itu juga.
Oleh karena itu, penting sekali bagi umat muslim untuk selalu membaca,
karena dari membaca, tujuan untuk memperoleh ilmu pengetahuan yang menjadi
kepentingan manusia itu sendiri, baik secara akala taupun emosional, akan tercapai.
Alangkah lebih baiknya selain ilmu dalam beragama, ilmu dalam pengetahuan harus
pula di tingkatkan guna adanya keseimbangan. Jika kita hanya mengandalkan agama,
maka manusia tidak akan bisa membuktikan kebenaran dengan karna-karya ilmiah.
Sedangkan jika ilmu pengetahuan kita memang tinggi namun nilai agama kita rendah,
maka dalam pengaplikasiannya, ilmu pengetahuan tersebut tidak akan memiliki
pembatas atau pengendali, mengingat agama juga hadir sebagai pengontrol untuk
mencapai tujuan ilmu pengetahuan. Inilah mengapa pengintegrasian ilmu juga agama
sangat penting dalam kehidupan.
4
al-Qur‟an di samping memberikan gambaran aksiologis juga memberikan wawasan
epistimologis.
Terkait dengan hierarki keilmuan, Osman Bakar telah menjelaskan setidaknya ada
tiga klasifikasi keilmuan yang telah disusun oleh para ilmuwan. Mereka adalah al-Farabi, al-
Ghazali, Qutb al-Din al-Shirazi, dan Ibnu Khaldun. Klasifikasi ilmu yang dilakukan oleh
para ilmuwan tersebut, nampak terkesan memunculkan dikotomisasi ilmu. Namun
sebagaimana dikatakan Nasr, bahwa berbagai cabang ilmu atau bentuk-bentuk pengetahuan
dipandang dari persepektif Islam pada akhirnya adalah satu. Menurutnya, bahwa dalam Islam
tidak dikenal pemisahan essensial antara “ilmu agama” dengan “ilmu profane”. Berbagai
ilmu dan perspektif intelektual yang dikembangkan dalam Islam memang mempunyai hirarki.
Tetapi hirarki ini pada akhirnya bermuara pada pengetahuan tentang “Yang Maha Tunggal”
substansi dari segenap ilmu.
2. Perspektif Sekuler
Kata sekuler berasal dari bahasa latin yaitu saeculum yang berarti masa atau waktu
atau generasi, dunia. Di dunia Islam, istilah tersebut pertama kali dipopulerkan oleh Ziya
Gokalp (1875-1924). Istilah ini sering dipahami sebagai sesuatu yang irreligious (tidak
agamis), anti religious, bahkan divonis sebagai anti Islam. Dalam bahasa Indonesia, kata ini
mempunyai konotasi negatif, sekuler diartikan bersifat duniawi atau kebendaan, bukan
bersifat keagamaan atau kerohanian, sekularisasi berarti membawa kearah kehidupan dunia,
sehingga norma-norma tidak perlu didasarkan pada ajaran agama. Dalam bahasa Arab, ada
kata al Alamiyy sama dengan al-Zamaniyy yang berarti duniawi, sekuler.
Epistimologi Barat melahirkan ilmu-ilmu sekuler, Kuntowijoyo membedakan antara
ilmu-ilmu sekuler tersebut dengan ilmu-ilmu integralistik. Menurutnya, Ilmu-ilmu sekuler
merupakan produk seluruh manusia, sedangkan ilmu-ilmu integralistik adalah produk
bersama seluruh manusia beriman. Perbedaan itu terletak pada tempat berangkat, rangkaian
proses, produk keilmuan dan tujuan-tujuan ilmu. Tempat berangkat ilmuilmu sekuler adalah
modernisme dalam filsafat, yaitu filsafat Rasionalisme. Filsafat ini muncul pada abad 15/16
menolak theosentrisme abad tengah. Sumber kebenaran yang diakui adalah fikiran, bukan
wahyu Tuhan. Tuhan masih diakui keberadaannya, namun Tuhan yang lumpuh, tidak
berkuasa dan tidak membuat hukum-hukum. Dalam Rasionalisme manusia menempati
kedudukan yang tinggi. Manusia menjadi pusat kebenaran, etika, kebijaksanaan dan
pengetahuan, manusia adalah pencipta, pelaksana dan konsumen produk produk manusia
sendiri. Ketika manusia menganggap bahwa dirinya menjadi pusat, maka terjadilah
diferensiasi (pemisahan). Etika, kebijaksanaan dan pengetahuan tidak lagi berdasarkan wahyu
5
Tuhan. Sejak itulah kegiatan ekonomi, politik, hukum dan ilmu harus dipisahkan dari agama.
Kebenaran terletak pada ilmu sendiri. Ilmu harus obyektif, tidak ada campur tangan dengan
etika, moral dan kepentingan lain.
B. Teknik Integrasi Keilmuan
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, integrasi berarti penggabungan atau
pembauran yang menjadi kesatuan yang utuh dan bulat. Dalam konteks keilmuan, integrasi
mengandung pengertian penyatuan dan bisa berarti penggabungan atau pengaitan antara
berbagai disiplin ilmu. Keilmuan yang dimaksud disini adalah ilmu yang berasal dari bahasa
Arab, yang merupakan pengetahuan yang tersistimasi atau erorganisasi (organized
knowledge).
Menurut Norazmi Anas (2013) integrasi ilmu adalah penggabungan antara berbagai
disiplin ilmu, sehingga dengan menggabungkan berbagai ilmu tersebut tidak ada lagi
dikhotomi ilmu yang dikaji maupun yang dikuasai oleh oleh para sarjana Muslim.
Menurut Kuntowijoyo (2005:57-58) integrasi ilmu tidak hanya sekedar
menggabungkan ilmu agama dan ilmu umum, akan tetapi lebih dari itu integrasi ilmu
merupakan sebuah upaya untuk menyatukan ilmu agama yang bersumber dari wahyu dan
ilmu umum sebagai temuan hasil pemikiran manusia. Akan tetapi integrasi ilmu tersebut
harus dengan prinsip tidak mengucilkan keagungan wahyu dan tidak mengucilkan manusia
itu sendiri sebagai ciptaan Allah. Karena bagimanapun wahyu dan hasil pemikiran manusia
sangat berbeda.
Ide integrasi ilmu digagas pertama kali oleh Seyyed Hossein Nasr pada tahun 1976
dalam karyanya Islamic Sciene an Ilustrated Study dan karya lainya Science and Civilization
in Islam (Esposito, 1995). Akan tetapi gagasan itu dikembangkan oleh Syed Muhammad
Naqib Al-Attas. Bahkan konsep integrasi ilmu tidaknya sekedar gagasan tetapi diaplikasi di
perguruan tinggi yang didirikan oleh Syed Muhammad Naqib Al-Attas yaitu Intenational
Institute of Islamic Thought and Civilization (ISTAC) Malaysia. Pola integrasi yang
dikembangkan oleh Syed Muhammad Naqib Al-Attas (2002) adalah Islamisasi Ilmu.
Menurutnya Islamisasi Ilmu sebagai pembebasan manusia, dari magic, mitos, animisme,
tradisi kebudayaan kebangsaan, dan dari penguasaan sekuler atas akal dan bahasanya.
Ziauddin Sardar (1989) dalam konsep integrasi ilmu menekankan bahwa sains dalam
peradaban Islam memiliki keunikan,keunikan itu terletap pada metodologi dan
epistemologinya. Menurutnya epistemologi Islam memiliki sebuah konsep yang holistik
mengenaipengetahuan. Di dalam konsep ini tidak ada dikotomi antara pengetahuan dengan
nilai-nilai.
6
Sementara itu para pemikir Islam kontemporer yang mengembangan pola integrasi
keilmuan diantaranya adalah Ismail Razi Al-Faruqi. Gagasannya dituangkan dalam buku
yang terkenal Islamization of Knowledge: General Principles and Workplan. Selain itu
konsep integrasi keilmuanya ia aplikasikan juga dengan medirikan The International of
Islamic Thought (IIIT) di Virginia Amerika Serikat. Al-Faruqi berpendapat bahwa integrasi
itu harus dimulai dengan Islamisasi ilmu pengetahuan. Islamisasi ilmu pengetahuan
pandangan Al-Faruqi ini haruslah mengintegrasikan konsep kebenaran yang ada pada ilmu
pengetahuan yang bersumber pada akal (rasionalitas) dan pengalaman (empiris) dengan
konsep kebenaran.
Islam yang terletak pada keyakinan melalui wahyu dan ayat-ayat yang mempunyai
sakralitas dalam agama tersebut. Menurut Ismail Rozi Al-Faruqi Islamisasi ilmu pengetahuan
diartikan sebagai memberikan definisi baru, menyusun ulang ilmu, memikirkan kembali
ilmu, menyusun kembali kesimpulan-kesimpulan, memproyeksikan kembali tujuan-tujuan
sehingga ilmu itu memperkaya wawasan dan memiliki manfaat bagi kemajuan Islam (Safiq,
1995). Teknik Integrasi Keilmuan di Indonesia :
A. Secara historis
Wacana dan gerakan untuk mengintegrasikan ilmu-ilmu agama dan umum pada lembaga
pendidikan Islam di Indonesia merupakan tahapan yang tak terpisahkan dari arus modernisasi
pendidikan Islam, khususnya madrasah, yang menguat pada dekade 1970-an, tepatnya
semenjak keluarnya Surat Keputusan Bersama (SKB) tiga menteri pada tahun 1975 yang
berakibat pada semakin terintegrasinya madrasah dan sekolah. Tantangannya adalah
membawa ilmu-ilmu ke dalam mainstream perspektif Islam, ilmu secara utuh. Rekonsiliasi
dan reintegrasi antara dua kelompok keilmuan ilmu-ilmu yang berasal dari ayat-ayat
qur’aniyyah dan yang berasal dari ayat kawniyyah kembali pada kesatuan transenden semua
ilmu pengetahuan.122 Dengan demikian, reintegrasi berarti menghilangkan dikotomi ilmu
untuk dikembalikan sesuai asal mulanya dalam satu bangunan keilmuan, sebagaimana yang
dipraktikkan pada masa awal Islam.
B. Secara konseptual
Ilmu pengetahuan merupakan hasil temuan manusia yang relatif kebenarannya, berbeda
dengan al-Qur‟an dan hadis yang mutlak. Keduanya memiliki fungsi yang sama, yaitu untuk
memahami alam dan kehidupan. keduanya dapat dipadukan, namun bukan dalam makna
“dicampurkan” karena keduanya tidak boleh dilihat secara terpisah. Keduanya adalah ilmu
pengetahuan yang ditekankan oleh Islam. keduanya. hanya berbeda pada sumber dari mana
7
pengetahuan itu diperoleh. Oleh karenanya terhadap dua jenis atau tingkat kebenaran itu,
mesti diletakkan pada proporsinya masing-masing sehingga tidak terjadi klaim kebenaran.
2.5 Panduan Teknik Pengintegrasian
Dalam buku Webster New World College Dictionary, mendefinisikan kata “Islamisasi”,
sebagai to bring within Islam.⁵ Sedangkan makna yang luas adalah menunjuk pada proses
mengislamkan, dalam konteks yang umum yakni berupa manusia, bukan saja ilmu
pengetahuan atau obyek lainnya.⁶ Istilah Islamisasi juga berarti memberi muatan Islam pada
sesuatu.⁷ Sedangkan menurut terminologinya Islamisasi adalah memberi dasar-dasar dan
tujuan Islam yang diturunkan oleh Islam.⁸ Menurut Al-Attas Islamisasi merupakan
pembebasan manusia dari segenap tradisi yang bersifat magis, sekuler yang membelenggu
pikiran dan perilakunya.⁹ Sedangkan pengertian ilmu dan pengetahuan itu sendiri di kalangan
para ahli masih terdapat berbagai pendapat yang berbeda-beda dalam mendefinisikannya.
8
Efek terburuk dari malaise yang dialami umat Islam telah mengakibatkan krisis serius
yang dialami oleh berbagai Negara-negara Muslim dalam berbagai bidang. Kekalahan di
bidang politik berimbas pada kekalahan dan keterbelakangan di bidang ekonomi. Kehidupan
ekonomi umat Islam mengalami kehancuran dengan banyaknya kelaparan dan
ketidakberdayaan ekonomi umat. Keadan ini menimbulkan ketergantungan yang luar biasa
kaumm uslim kepada pihak-pihak asing. Industri-industri yang diselenggarakan di negara-
negara Muslim tidak ditujukan untuk memenuhi kebutuhan umat Islam, tapi untuk
kepentingan kaum kolonial.
Dalam bidang kegamaan dan budaya, umat Islam semakin tersesat dengan propaganda
asing yang mengarah kepada westernisasi, tanpa disadari bahwa itu akan membawa kepada
kehancuran budaya bangsanya dan ajaran Islam. Berbarengan dengan itu dibangunlah
berbagai sekolah-sekolah yang menggunakan sistem dan kurikulum barat, yang selanjutnya
melahirkan kesenjangan di antara umat Islam, yaitu mereka yang terlalu terbaratkan dan
sekuler dan mereka yang tetap menentang sekulerisme. Pemerintah kolonial selalu berusaha
agar golongan umat Islam yang pertama unggul dan menjadi penentu dalam pengambilan
kebijakan umat Islam.₁₂
Sebagai jawaban atas persoalan-persoalan umat Islam sebagaimana di atas, penting
adanya langkah-langkah perbaikan. Al-Faruqi merkomendasikan pentingnya pemaduan
pendidikan yang bersifat sekuler/ profane dengan pendidikan Islam. Dualisme pedidikan
yang terjadi di kalangan umat Islam pada saat ini harus ditiadakan setuntasnya. Kedua sistem
pendidikan tersebut harus dipadukan dan diintegrasikan, sehingga dapat melengkapi dan
menutupi kekurangan masing-masing. Integrasi pendidikan sekuler dan pendidikan Islam
harus menghasilkan sebuah sistem pendidikan yang sesuai dengan visi agama Islam.
Dari berbagai problematika umat Islam tersebut, tampaknya al-Faruqi berusaha
meyakinkan bahwa proses Islamisi ilmu pengetahuan yang di kembangkannya diharapkan
bisa menjadi barometer kebangkitan umat Islam dari kemunduran yang dihadapi sebagian
besar kaum muslimin dalam berbagai bidang kehidupan yakni bidang politik, ekonomi dan
religio budaya. Selanjutnya Al-Faruqi menjelaskan tentang langkah-langkah upaya Islamisasi
ilmu pengetahuan, yaitu sebagai berikut:
1. Penguasaan disiplin ilmu modern, penguasaan kategoris.
Pada langkah awal ini, disiplin-disiplin ilmu modern harus dipecah-pecah menjadi
kategori-kategori, prinsip-prinsip, metode, problema dan tema-tema. Penguraian tersebut
harus mencerminkan daftar isi sebuah buku daras (pelajaran) dalam bidang metodologi
disiplin-disiplin ilmu yang bersangkutan. Hasil uraian tersebut tidak hanya berbentuk judul-
9
judul bab, tapi harus berbentuk kalimat-kalimat yang memperjelas istilah-istilah teknis,
menerangkan kategori, prinsip, problem dan tema pokok disiplin-disiplin ilmu yang
bersangkutan.
10
Tahap ini dimaksudkan untuk mendekatkan karya-karya khazanah Islam kepada para
sarjana didikan Barat, dan untuk mengenal lebih jauh tentang konstruksi khazanah Islam,
sehingga diketahui secara lebih jelas jangkauan gagasannya sesuai dengan kontek masanya.
Penentuan relevansi Islam yang khas terhadap disiplin-disiplin ilmu. Pada tahap ini, hakekat
disiplin ilmu modern beserta metode dasar, prinsip, problem, tujuan, hasil capaian dan segala
keterbatasannya, semua dikaitkan dengan khazanah Islam. Begitu pula relevansi-relevansi
khazanah Islam spesifik pada masing-masing ilmu harus diturunkan secara logis dari
sumbangan mereka. Dalam hal ini, ada tiga hal yang harus dijawab.
12
di dunia dengan segala hiterogenitasnya, bahkan mencakup seluruh alam semesta (rahmat li
al-alamin).
Dalam beberapa hal, umat Islam memang terbelakang dibanding bangsa lain, tetapi
dari sisi ideologis, mereka adalah umat yang paling potensial dalam upaya proses
integralisasi antara kesejahteraan, religius, etika dan material. Islam mempunyai wawasan
yang diperlukan bagi kemajuan peradaban manusia untuk menciptakan sejarah baru di masa
depan. Karena itu, ilmuan muslim harus terpanggil untuk berpartisipasi menghadapi problem
kemanusiaan dan membuat solusi terbaik sesuai misi dan visi Islam.
11. Penuangan kembali disiplin ilmu medern kedalam kerangka Islam, buku-
buku dasar tingkat universitas.
Secara operasional, para intelektual Muslim tidak akan mencapai sepakat tentang
solusi suatu persoalan, karena perbedaan backgraund masing-masing. Ini tidak dilarang
bahkan dibutuhkan sehingga kesadaran mereka menjadi lebih kaya dengan berbagai macam
pertimbangan. Secara faktual, umat Islam abad pertengahan mampu menciptakan dinamika
karena Islam bisa menjadi wadah untuk menampung segala macam ide dan gagasan baru
yang mempresentasikan nilai-nilai Ilahiyah.
Berdasarkan wawasan-wawasan baru tentang makna Islam serta pilihan-pilihan
kreatif bagi realisasi makna tersebut, maka ditulislah buku-buku daras untuk perguruan
13
tinggi, dalam semua bidang ilmu. Inilah puncak dari gerakan islamisasi pengetahuan. Namun,
penulisan buku-buku daras ini sendiri bukan pencapaian final, melainkan justru baru sebagai
permulaan dari sebuah perkembangan peradaban Islam dimasa depan. Buku-buku daras
hanya sebagai pedoman umum bagi perkembangan selanjutnya. Karena itu, essei-essei yang
mencerminkan dobrakan pandangan bagi setiap topik dan cabang ilmu harus pula ditulis
sebagai “wawasan latar belakang” atau “bidang relevansi” yang dari sana diharapkan akan
muncul wawasan baru Islam bagi masing-masing cabang ilmu modern.
14
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
15
DAFTAR PUSTAKA
Putri, R. F. (2019). Integrasi Ilmu Pengetahuan (Sains) dan Agama Islam. Journal
Walisongo. https://journal.walisongo.ac.id/index.php/wahana/article/view/4848
Khotimah, K. (n.d). Paradigma Dan Konsep Ilmu Pengetahuan Dalam Al-Qur`An. Media
Neliti. https://media.neliti.com/media/publications/62207-ID-paradigma-dan-konsep-
ilmu-pengetahuan-da.pdf
Soleh, Achmad Khudori. “INTEGRASI ILMU (ISLAM DAN BARAT).” Repository UIN
Malang, Arruzz Media, 2016, repository.uin-malang.ac.id/409/1/INTEGRASI
%20ILMU%20AL-FARUQI.pdf.
Chaeruddin B. (2016). Ilmu-Ilmu Umum dan Ilmu-Ilmu Keislaman (Suatu Upaya Integrasi).
Jurnal Inspiratif Pendidikan, 5(1), 209–222.
16