Anda di halaman 1dari 27

MASALAH, PELUANG DAN TANTANGAN SERTA STRATEGI

PELAKSANAAN PENDIDIKAN INKLUSIF MASA MENDATANG

OLEH

KOMANG AYU MEGAWATI

A1I1 18 050

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN MATEMATIKA

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS HALUOLEO

2019

i
KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas limpahan nikmat-
Nya, saya diberikan kemudahan sehingga saya mampu untuk menyelesaikan
pembuatan makalah ini sebagai tugas dari mata kuliah Pendidikan Inklusif dengan
judul “MASALAH, PELUANG DAN TANTANGAN SERTA STRATEGI
PELAKSANAAN PENDIDIKAN INKLUSIF MASA MENDATANG”.

Saya tentu menyadari makalah ini masih jauh dari kata sempurna dan masih
banyak terdapat kesalahan serta kekurangan di dalamnya. Untuk itu, saya
mengharapkan kritik serta saran dari pembaca untuk makalah ini, supaya makalah ini
nantinya dapat menjadi makalah yang lebih baik lagi. Demikian, dan apabila terdapat
banyak kesalahan pada makalah ini saya mohon maaf yang sebesar-besarnya.
Sekaligus saya menyampaikan rasa terimakasih yang sebanyak-banyaknya untuk
bapak Dr. Anwar Bey,M.S selaku dosen mata kuliah Pendidikan Inklusif yang telah
menyerahkan kepercayaannya kepada saya guna menyelesaikan makalah ini dengan
tepat waktu.

Demikian, semoga makalah ini dapat bermanfaat. Terima kasih.

Kendari, 12 Oktober 2019

Penulisan

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ii
DAFTAR ISI iii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang 1
B. Rumusan Masalah 5
C. Tujuan 6
BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian Pendidikan Inklusi 7
B. Permasalah Yang Dialami Sekolah Dalam Pendidikan Inklusi 9
C. Pendidikan Inklusi Dan Tantanganya 13
D. Peluang Bagi Kualitas Anak Dalam Pendidikan Inklusi 20
E. Model dan Strategi Pembelajaran Dalam Pendidikan Inklusi 26
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan 29
B. Saran 30
DAFTAR PUSTAKA

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pendidikan inklusi merupakan paradigma baru pendidikan kita dan


merupakan strategi untuk mempromosikan pendidikan universal yang efektif karena
dapat menciptakan sekolah yang responsif terhadap beragam kebutuhan aktual dari
anak dan masyarakat. Dengan demikian, pendidikan inklusi menjamin akses dan
kualitas. Satu tujuan utama pendidikan inklusi adalah mendidik anak yang
berkebutuhan khusus akibat kecacatannya di kelas reguler bersama-sama dengan
anak-anak lain yang non cacat, dengan dukungan yang sesuai dengan kebutuhannya,
di sekolah yang ada di lingkungan rumahnya.

Perkembangan terakhir dalam pendidikan kebutuhan khusus adalah


pemikiran mengenai pendidikan inklusi. Pelaksanaan pendidikan inklusi di Indonesia
dipayungi UUD 1945 pasal 3: tentang hak setiap warga negara untuk mendapatkan
pendidikan, kemudian Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional tahun 2003 pasal
32 tentang pendidikan khusus dan layanan khusus, penjelasan pasal 15 UU
SISDIKNAS yaitu: ” Pendidikan khusus merupakan penyelenggaraan pendidikan
untuk peserta didik yang berkelainan atau peserta didik yang memiliki kecerdasan
luar biasa yang diselenggarakan secara inklusi atau berupa satuan pendidikan khusus
pada tingkat pendidikan dasar dan menengah”.

Pendidikan inklusi juga diatur dalam Peraturan Menteri Pendidikan


Nasional nomor 70 tahun 2009 tentang pendidikan inklusi bagi peserta didik yang
memiliki kelainan dan memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa, dalam
Pasal 1 disebutkan bahwa: “Pendidikan inklusi adalah sistem penyelenggaraan
pendidikan yang memberikan kesempatan kepada semua peserta didik yang memiliki
kelainan dan memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa untuk mengikuti

1
pendidikan atau pembelajaran dalam satu lingkungan pendidikan secara bersama-
sama dengan peserta didik pada umumnya”.

Jaminan pelaksanaan pendidikan inklusi dari berbagai instrumen hukum


internasional yang telah diratifikasi Indonesia, seperti Deklarasi Universal Hak Asasi
Manusia (1948), Deklarasi Dunia tentang Pendidikan untuk Semua (1990), Peraturan
Standar PBB tentang Persamaan Kesempatan bagi Para Penyandang Cacat (1993),
Pernyataan Salamanca dan Kerangka Aksi UNESCO (1994), Undang-undang
Penyandang Kecacatan (1997), Kerangka Aksi Dakar (2000) dan Deklarasi Kongres
Anak Internasional (2004). Pernyataan Salamanca pasal 4 dan pasal 7 dalam
Tarmansyah (2009) yaitu: “Pendidikan kebutuhan khusus berasumsi bahwa perbedan-
perbedan manusia itu normal adanya dan bahwa oleh karenanya pembelajaran itu
harus disesuaikan dengan kebutuhan anak bukannya anak yang disesuaikan dengan
kecepatan dan hakikat proses belajar. Pedagogik yang berpusat pada anak itu
menguntungkan bagi semua siswa dan pada gilirannya menguntungkan bagi
masyarakat secara keseluruhan hal tersebut dapat sangat mengurangi angka droup-out
dan tinggal kelas dan sekali gus juga menjamin tercapainya tingkat prestasi rata-rata
yang lebih tinggi. Lebih jauh sekolah yang berpusat pada diri anak merupakan tempat
berlatih yang baik bagi masyarakat yang berorientasi pada orang, yang menghargai
adanya perbedan-perbedan serta menjunjung harga diri semua umat manusia. Prinsip
mendasar dari sekolah inklusi adalah bahwa, selama memungkinkan, semua anak
seyogyanya belajar bersama-sama, tanpa memandang kesulitan ataupun perbedan
yang mungkin ada pada diri mereka. Sekolah inklusi harus mengenal dan merespon
terhadap kebutuhan yang berbeda-beda dari pada siswanya”.

Dalam pemikiran inklusif, anak tanpa pengecualian dapat bersama-sama


belajar di kelas yang sama tanpa ada persiapan di kelas khusus terlebih dahulu. Untuk
dapat mewujudkan pendidikan yang inklusi tersebut maka orientasi pembelajarannya
adalah berpusat pada anak. Artinya bukan lagi Anak Berkebutuhan Khusus yang

2
harus menyesuaikan diri agar cocok dengan setting yang ada melainkan sekolah
sebagai institusi pendidikan yang harus membuat penyesuaian agar tercipta
pembelajaran untuk semua. Menurut Skjørten (2003) “…Untuk menciptakan hal
tersebut maka diperlukan fleksibilitas atas kebijakan-kebijakan, kreativitas dan
kepekaan”.

Di Indonesia sendiri, pendidikan inklusi secara resmi didefinisikan sebagai


berikut: “Pendidikan inklusi dimaksudkan sebagai sistem layanan pendidikan yang
mengikutsertakan Anak Berkebutuhan Khusus belajar bersama dengan anak
sebayanya di sekolah reguler yang terdekat dengan tempat tinggalnya.
Penyelenggaraan pendidikan inklusi menuntut pihak sekolah melakukan penyesuaian
baik dari segi kurikulum, sarana dan prasarana pendidikan, maupun sistem
pembelajaran yang disesuaikan dengan kebutuhan individu peserta didik (Direktorat
PLB, 2004)”.

Implementasi pendidikan inklusi di sekolah, secara umum dan di kelas


secara khusus berarti sekolah atau kelas tersebut ditandai oleh sikap tidak
diskriminatif, pengakuan dan penghargaan terhadap individu anak, fasilitas belajar
dan lingkungan memberi kemudahan dan rasa aman kepada setiap anak, guru bekerja
dalam sebuah tim dan adanya keterlibatan orang tua/masyarakat terhadap
penyelenggaraan pendidikan di sekolah/kelas (Alimin:2008).

Sampai saat ini belum ada angka pasti tentang jumlah Anak Berkebutuhan
Khusus (ABK) di Indonesia. Namun, yang pasti jumlah mereka yang belum
memperoleh hak pendidikan masih sangat banyak. Data resmi Direktorat PLB tahun
2007 menyebutkan bahwa jumlah ABK yang sudah mengikuti pendidikan formal
baru mencapai 24,7% atau 78.689 anak dari populasi anak cacat di Indonesia, yaitu
318.600 anak (Direktorat PLB, 2008). Ini artinya masih terdapat sebanyak 65,3%
ABK yang masih terseklusi, termarjinalisasikan dan terabaikan hak pendidikan.
Bahkan angka tersebut diperkirakan dapat jauh lebih besar mengingat kecilnya angka

3
prevalensi yang digunakan, yaitu 0,7% dari populasi penduduk serta masih buruknya
sistem pendataan. Kondisi di atas tentu sangat memprihatinkan, mengingat bahwa
pendidikan merupakan salah satu hak azazi manusia yang paling fundamental yang
dilindungi dan dijamin oleh berbagai instrumen hukum internasional maupun
nasional.

Sejak digulirkannya pendidikan inklusi di Indonesia, sambutan dan apresiasi


masyarakat sangat luar biasa, sehingga implementasinya tumbuh dan berkembang
cepat di berbagai pelosok negeri. Tidak salah jika UNESCO menilai bahwa dalam
penyelenggaraan pendidikan inklusi bagi ABK, Indonesia pada tahun 2007
menduduki ranking ke 58 dari 130 negara. Sayangnya, karena berbagi faktor,
terutama kurangnya komitmen dan dukungan pemerintah, sehingga implementasinya
belum menasional dan menyeluruh, sehingga ranking tersebut terus mengalami
kemerosotan, pada tahun 2008 berada pada ranking ke 63 dan pada tahun 2009
berada pada ranking ke 71 (Kompas.com, 30 November 2009).

B. Rumusan Masalah

1. Permasalah apa saja yang dihadapi sekolah-sekolah dalam mengadakan


pendidikan inklusi ?
2. Apa saja tantangan yang dihadapi dalam pelaksanaan pendidikan inklusi
masa mendatang ?
3. Apa saja peluang bagi kualitas anak dalam pendidikan inklusi?
4. Strategi apa yang digunakan dalam pelaksanaan pendidikan inklusi masa
mendatang ?

C. Tujuan

1. Untuk mengetahui masalah apa saja yang dihadapi dalam pelaksanaan


pendidikan inklusif masa mendatang.

4
2. Untuk mengetahui tantangan apa saja yang dihadapi dalam pelaksanaan
pendidikan inklusif masa mendatang.
3. Untuk mengetahui peluang bagi kualitas anak dalam pendidikan inklusi.
4. Untuk mengetahui strategi dalam pelaksanaan pendidikan inklusif masa
mendatang.

5
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Pendidikan Inklusi


Definisi pendidikan inklusi terus menerus berkembang sejalan dengan
semakin mendalamnya renungan orang terhadap praktik yang ada. Jika pendidikan
inklusi ingin tetap menjadi jawaban yang nyata dan berharga untuk mengatasi tentang
pendidikan dan hak asasi manusia. Akhirnya definisi pendidikan inklusi hanya berupa
versi lain dari pendidikan luar biasa untuk anak berkebutuhan khusus. Beberapa
definisi pendidikan inklusi yaitu sebagai berikut:

1. Pendidikan inklusi adalah penggabungan pendidikan regular dan pendidikan


khusus kedalam satu sistem persekolahan yang dipersatukan untuk
mempertemukan perbedaan kebutuhan semua siswa.
2. Pendidikan inklusi bukan sekedar metode atau pendekatan pendidkan
melainkan suatu bentuk implementasi filosofi yang mengakui kebhinekaan
antar manusia yang mengemban misi tunggal untuk membangun kehidupan
bersama yang lebih baik dalam rangka meningkatkan kualitas pengabdian
kepada Tuhan yang Maha Esa.
3. Menurut Permen No.70 Tahun 2009 Pasal 1 menyatakan bahwa pendidikan
inklusi adalah sistem penyelenggaraan pendidikan yang memberikan
kesempatan kepada semua peserta didik yang memiliki kelainan dan memiliki
potensi kecerdasan dan atau bakat istimewa untuk mengikuti pendidikan atau
pembelajaran dalam llingkungan pendidikan secara bersama-sama dengan
peserta didik pada umumnya.
4. Pendidikan inklusi adalah pendidikan regular yang disesuaikan dengan
kebutuhan peserta didik yang memiliki kelainan dan atau memiliki potensi
kecerdasan dan bakat istimewa pada sekolah regular dalam satu kesatuan yang
sistemik. Pendidkan inklusi mengakomodasi semua anak berkebutuhan khusus

6
yang mempunyai IQ normal diperuntukan bagi yang memiliki kelainan, bakat
istimewa, kecerdasan istimewa dan atau yang memerlukan pendidkan layanan
khusus.
5. Pengertian pendidikan inklusi yang dirumuskan dalam seminar AGRA dan
disetujui oleh 55 negara ( terutama dari selatan) yaitu :

a. Pengertian pendidikan inlusi lebih luas dari pada pendidikan


formal karena mencakup pendidikan dirumah, masyarakat, sistem
non formal dan informal.
b. Mengakui bahwa semua anak dapat belajar.
c. Memungkinkan stuktur, system, dan metodologi pendidikan
memenuhi kebutuhan semua anak.
d. Mengakui dan menghargai berbagai perbedaan pada diri anak
meliputi usia, jenis kelamin, etika, bahasa, kecacatan, status HIV
/AIDS.
e. Merupakan proses dinamis yang senantiasa berkembang sesuai
dengan budaya dan konteksnya.
6. Pendidikan inklusi adalah sistem layanan pendidikan yang mensyaratkan anak
berkebutuhan khusus belajar di sekolah-sekolah terdekat di kelas biasa
bersama teman-teman seusianya (Sapon-Shevin dalam O’Neil 1994).

Indonesia dan dunia memiliki banyak keberagaman. Seperti yang kita tahu
negeri ini kaya akan suku, bangsa dan bahasa, itu salah satu contoh keberagaman.
Contoh lain ada pribadi yang “lengkap”, dalam artian memiliki dua mata, satu
hidung, dua telinga, satu mulut, dua tangan, dua kaki dan anggota – anggota tubuh
lain yang berfungsi dengan baik. Tetapi ada juga pribadi yang berbeda dengan kita
(manusia mayoritas), yaitu tuna rungu, tuna wicara, tidak punya kaki, lumpuh
(difable), dll. Yang saya tekankan disini, mereka tidak cacat ! Mereka hanya berbeda,
ya hanya berbeda dengan orang kebanyakan. “Coba bayangkan kalau di dunia ini

7
semua orang berkaki satu, berarti kalau kita mempunyai dua kaki, kita dianggap
cacat. Padahal sesungguhnya kita tidak cacat, hanya berbeda”.

B. Permasalah Yang Dialami Skolah – Sekolah Dalam Mengadakan Pendidikan


inklusi
mendapat apresiasi dan antusiasme dari berbagai kalangan, terutama para
praktisi pendidikan Sekalipun perkembangan pendidikan inklusi di negara kita cukup
menggembirakan dan, namun sejauh ini dalam tataran implementasinya di lapangan
masih dihadapkan kepada berbagai isu dan permasalahan. Berdasarkan hasil
penelitian sekolah-sekolah penyelenggara inklusi di Indonesia, secara umum saat ini
terdapat lima kelompok issue dan permasalahan pendidikan inklusi di tingkat sekolah
yang perlu dicermati dan diantisipasi agar tidak menghambat, implementasinya tidak
bisa, atau bahkan menggagalkan pendidikan inklusi itu sendiri, yaitu : pemahaman
dan implementasinya, kebijakan sekolah, proses pembelajaran, kondisi guru, dan
support system. Salah satu bagian penting dari support system adalah tentang
penyiapan anak. Selanjutnya, berdasar isu-isu tersebut, permasalahan yang dihadapi
adalah sebagai berikut:
1. Pemahaman inklusi dan implikasinya

a. Pendidikan inklusi bagi anak berkelainan/penyandang cacat belum


dipahami sebagai upaya peningkatan kualitas layanan pendidikan.
Masih dipahami sebagai upaya memasukkan disabled children ke
sekolah regular dalam rangka give education right and kemudahan
access education, and againt discrimination.
b. Pendidikan inklusi cenderung dipersepsi sama dengan integrasi,
sehingga masih ditemukan pendapat bahwa anak harus menyesuiakan
dengan sistem sekolah.
c. Dalam implementasinya guru cenderung belum mampu bersikap
proactive dan ramah terhadap semua anak, menimbulkan komplain
orang tua, dan menjadikan anak cacat sebagai bahan olok-olokan.

8
2. Kebijakan sekolah
a. Sekalipun sudah didukung dengan visi yang cukup jelas, menerima
semua jenis anak cacat, sebagian sudah memiliki guru khusus,
mempunyai catatan hambatan belajar pada masing-masing ABK, dan
kebebasan guru kelas dan guru khusus untuk mengimplementasikan
pembelajaran yang lebih kreatif dan inovatif, namun cenderung belum
didukung dengan koordinasi dengan tenaga profesional, organisasi
atau institusi terkait.
b. Masih terdapat kebijakan yang kurang tepat, yaitu guru kelas tidak
memiliki tangung jawab pada kemajuan belajar ABK, serta keharusan
orang tua ABK dalam penyediaan guru khusus.
3. Proses pembelajaran
a. Proses pembelajaran belum dilaksanakan dalam bentuk team
teaching, tidak dilakukan secara terkoordinasi.
b. Guru cenderung masih mengalami kesulitan dalam merumusakan
flexible curriculum, pembuatan IEP, dan dalam menentukan tujuan,
materi, dan metode pembelajaran.
c. Masih terjadi kesalahan praktek bahwa target kurikulum ABK sama
dengan siswa lainnya serta anggapan bahwa siswa cacat tidak
memiliki kemampuan yang cukup untuk menguasai materi belajar.
d. Karena keterbatasan fasilitas sekolah, pelaksanaan pembelajaran
belum menggunakan media, resource, dan lingkungan yang beragam
sesuai kebutuhan anak.

4. Kondisi guru

a. Belum didukung dengan kualitas guru yang memadai. Guru kelas


masih dipandang not sensitive and proactive yet to the special needs
children.

9
b. Keberadaan guru khusus masih dinilai belum sensitif dan proaktif
terhadap permasalahan yang dihadapi ABK.
5. Sistem dukungan
a. Belum didukung dengan sistem dukungan yang memadai. Peran orang
tua, sekolah khusus, tenaga ahli, perguruan tinggi – LPTK PLB, dan
pemerintah masih dinilai minimal. Sementara itu fasilitas sekolah juga
masih terbatas.
b. Keterlibatan orang tua sebagai salah satu kunci keberhasilan dalam
pendidikan inklusi, belum terbina dengan baik. Dampaknya, orang tua
sering bersikap kurang peduli dan realistik terhadap anaknya.
c. Kondisi di lapangan dalam penerapan pendidikan inklusi.
Pada sekolah yang secara alami mengembangkan pendidikan inklusi
beberapa kecenderungan yang terjadi di lapangan, diantaranya:
 Secara formal belum berpredikat sebagai sekolah inklusi,
bahkan sampai sekarang belum tersentuh proyek sosialisasi
dan pelatihan di bidang pendidikan inklusi
 Para guru awalnya sempat khawatir akan menurunkan citra
sekolah.
 Adanya protes terhadap kenaikan ABK, sementara ada anak
normal yang tidak naik kelas.
 Tidak ada guru khusus, tetapi ini justru tantangan untuk
menemukan metode baru (kreatif) melalui kebersamaan,
saling diskusi, saling berbagai.
 Perubahan dan proses adaptasi pembelajaran dilakukan terus
menerus melalui kerja sama, saling memotivasi, saling
membantu, saling mendukung, komunikasi, dan belajar dari
pengalaman.
 Mengembangkan kerjasama antar guru dan meningkatkan
jalinan komunikasi dengan orang tua.

10
 Sekalipun diakui menambah beban tambahan, namun diterima
sebagai tantangan.

C. Pendidikan Inklusi Dan Tantanganya

Pendidikan inklusi pada tahun 1980-an di indonesia dikenal dengan


pendidikan terpadu yang pada hakekatnya adalah layanan pendidikan, dimana anak
berkebutuhan khusus atau children with special needs, secara inklusif menempuh
pendidikan mereka bersama-sama dengan anak lainnya di sekolah atau di lembaga
pendidikan umum. Menurut Undang-undang Nomor 20 tahun 2003, pendidikan
khusus merupakan pendidikan untuk peserta didik yang berkebutuhan khusus atau
peserta didik yang memiliki kecerdasan luar biasa yang diselenggarakan secara
Inklusi atau berupa satuan pendidikan khusus. Sapon-Shevin dalam Sari Rudiyati
(2005) mengemukakan bahwa pendidikan inklusi didefinisikan sebagai sistem
layanan pendidikan khusus yang mempersyaratkan agar semua anak berkebutuhan
khusus pendidikan khusus dilayani di sekolah-sekolah terdekat di kelas biasa
bersama-sama teman seusianya. Pendidikan inklusi merupakan sebuah proses dalam
merespon kebutuhan yang beragam dari semua anak melalui peningkatan partisipasi
dalam belajar, budaya dan masyarakat, dan mengurangi eklusivitas di dalam
pendidikan. Pendidikan inklusi mencakup perubahan dan modifikasi dalam isi,
pendekatan-pendekatan, struktur dan strategi yang dapat mengakomodasi kebutuhan
semua anak seseuai dengan kelompok usianya. Permasalahan yang dihadapi adalah
sebagai berikut:

1. Pemahaman inklusi dan implikasinya

a. Pendidikan inklusi bagi anak berkelainan/penyandang cacat belum


dipahami sebagai upaya peningkatan kualitas layanan pendidikan.
Masih dipahami sebagai. upaya memasukkan disabled children ke
sekolah regular dalam rangka giveeducation right .

11
b. Pendidikan inklusi cenderung dipersepsi sama dengan integrasi,
sehingga masih ditemukan pendapat bahwa anak harus menyesuiakan
dengan sistem sekolah.
c. Dalam implementasinya guru cenderung belum mampu bersikap
proactive dan ramah terhadap semua anak, menimbulkan komplain
orang tua, dan menjadikan anak cacat sebagai bahan olok-olokan.

2. Kebijakan sekolah

a. Sekalipun sudah didukung dengan visi yang cukup jelas, menerima


semua jenis anak cacat, sebagian sudah memiliki guru khusus,
mempunyai catatan hambatan belajar pada masing-masing ABK, dan
kebebasan guru kelas dan guru khusus untuk mengimplementasikan
pembelajaran yang lebih kreatif dan inovatif, namun cenderung belum
didukung dengan koordinasi dengan tenaga profesional, organisasi
atau institusi terkait.

b. Masih terdapat kebijakan yang kurang tepat, yaitu guru kelas tidak
memiliki tangung jawab pada kemajuan belajar ABK, serta keharusan
orang tua ABK dalam penyediaan guru khusus.

3. Proses pembelajaran

a. Proses pembelajaran belum dilaksanakan dalam bentuk team teaching,


tidak dilakukan secara terkoordinasi.
b. Guru cenderung masih mengalami kesulitan dalam merumusakan
kurikulum, menentukan tujuan, materi, dan metode pembelajaran.
c. Masih terjadi kesalahan praktek bahwa target kurikulum ABK sama
dengan siswa lainnya serta anggapan bahwa siswa cacat tidak
memiliki kemampuan yang cukup untuk menguasai materi belajar.

12
d. Karena keterbatasan fasilitas sekolah, pelaksanaan pembelajaran
belum menggunakan media, resource, dan lingkungan yang beragam
sesuai kebutuhan anak.
e. Belum adanya panduan yang jelas tentang sistem penilaian. Sistem
penilaian belum menggunakan pendekatan yang fleksibel dan
beragam.
f. Masih terdapat persepsi bahwa sistem penilaian hasil belajar ABK
sama dengan anak normal lainnya, sehingga berkembang anggapan
bahwa mereka tidak menunjukkan kemajuan belajar yang berarti.

4. Kondisi guru

a. Belum didukung dengan kualitas guru yang memadai. Guru kelas


masih dipandang belum sensitif dan proaktif dalam menangani ABK
di kelas inklusi.
b. Keberadaan guru khusus masih dinilai belum sensitif dan proaktif
terhadap permasalahan yang dihadapi ABK.
c. Belum didukung dengan kejelasan aturan tentang peran, tugas dan
tanggung jawab masing-masing guru. Pelaksanaan tugas belum
disertai dengan diskusi rutin, tersedianya model kolaborasi sebagai
panduan, serta dukungan anggaran yang memadai.

5. Sistem dukungan

a. Belum didukung dengan sistem dukungan yang memadai. Peran orang


tua, sekolah khusus, tenaga ahli, perguruan tinggi – LPTK PLB, dan
pemerintah masih dinilai minimal. Sementara itu fasilitas sekolah juga
masih terbatas.
b. Keterlibatan orang tua sebagai salah satu kunci keberhasilan dalam
pendidikan inklusi, belum terbina dengan baik. Dampaknya, orang tua
sering bersikap kurang peduli dan realistik terhadap anaknya.

13
c. Peran SLB yang diharapkan mampu berfungsi sebagai resource centre
bagi sekolah-sekolah inklusi di lingkungannya, belum dapat
dilaksanakan secara optimal, baik karena belum adanya koordinasi dan
kerja sama maupun alasan geografik.
d. Peran ahli yang diharapkan dapat berfungsi sebagai media konsultasi,
advokasi, dan pengembangan SDM sekolah masih sangat minimal.
e. LPTK PLB dalam diseminasi hasil penelitian, penelitian kolaborasi
maupun dalam implementasi terhadap hasil-hasil penelitaian belum
dapat diwujudkan dengan baik.
f. Peran pemerintah yang seharusnya menjadi ujung tombak dalam
mendorong implementasi inklusi secara baik dan benar melalui
regulasi aturan maupun bantuan teknis, dinilai masih kurang perhatian
dan kurang proaktif terhadap permasalahan nyata di lapangan.
g. Kalaupun pemerintah saat ini sudah mengikutkan guru-guru dalam
pelatihan atau memberikan bantuan yang sifatnya fisik atau keuangan,
namun jumlahnya masih sangat terbatas dan belum merata.
h. Sekolah umumnya juga belum didukung fasilitas yang diperlukan
untuk mendukung aksesibilitas dan keberhasilan pembelajaran secara
memadai.
Menurut Sunardi (2009), kendala lain yang muncul meliputi:
 Sistem Penerimaan Siswa Baru, khususnya di tingkat pendidikan
menengah dan atas yang menggunakan nilai ujian nasional sebagai
kriteria penerimaan. Siswa hanya dapat diterima kalau hasil ujian
nasionalnya memenuhi standar minimal yang telah ditetapkan oleh
masing-masing sekolah.
 Dijadikannya pencapaian hasil ujian nasional sebagai kriteria sekolah
bermutu, bukan diukur dari kemampuannya dalam mengoptimalkan
kemampuan siswa secara komprehensif sesuai dengan keragamannya.

14
 Penggunaan label sekolah inklusi dan adanya PP. No.19 tahun 2005
tentang Standar Nasional Pendidikan, pasal 41(1) tentang keharusan
untuk memiliki tenaga kependidikan khusus bagi sekolah inklusi
sebagai alasan melakukan penolakan masuknya anak berkelainan ke
sekolah yang bersangkutan, yang ditandai dengan munculnya gejala
“eklusivisme baru”, yaitu menolak anak berkebutuhan khusus dengan
alasan belum memiliki tenaga khusus atau sekolahnya bukan sekolah
inklusi.
 Kurikulum pendidikan umum yang ada sekarang ini belum
mengakomodasi keberadaan anak – anak yang memiliki perbedaan
kemampuan (difabel).
 Masih dipahaminya pendidikan inklusi secara dangkal, yaitu semata-
mata memasukkan anak difabel ke sekolah regular, tanpa upaya untuk
mengakomodasi kebutuhan khususnya. Kondisi ini dapat menjadikan
anak tetap tereklusi dari lingkungan karena anak merasa tersisih,
terisolasi, ditolak, tidak nyaman, sedih, marah, dan sebagainya.
Padahal makna inklusi adalah ketika lingkungan kelas atau sekolah
mampu memberikan rasa senang, menerima, ramah, bersahabat,
peduli, mencintai, menghargai, serta hidup dan belajar dalam
kebersamaan.
 Munculnya label-label khusus yang sengaja diciptakan oleh
pemerintah maupun masyasrakat yang cenderung membentuk sikap
eklusifisme, seperti Sekolah Unggulan, Sekolah Berstandar
Internasional (SBI), Sekolah Rintisan Berstandar Internasional (RSBI),
sekolah favorit, sekolah percontohan, kelas akselerasi, serta sekolah-
sekolah yang berbasis agama. Kondisi ini tentu dapat berdampak
kepada sekolah inklusi sebagai sekolah kelas dua (second class),
karena menerima ABK sama dengan special school (Imam Subkhan,
2009)

15
 Masih terbatasnya perhatian dan keseriusan pemerintah dalam
mempersiapkan pendidikan inklusi secara matang dan komprehensif,
baik dari aspek sosialisasi, penyiapan sumber daya, maupun uji coba
metode pembelajaran, sehingga hanya terkesan program eksperimental
(Cak Fu, 2005).
D. Peluang Bagi Kualitas Anak dalam Pendidikan Inklusi
Pendidikan inklusi merupakan konsep ideal yang memberikan kesempatan
dan peluang sepenuhnya kepada anak berkebutuhan khusus untuk mendapatkan
haknya sebagai warga negara. Sebagaimana yang telah dicantumkan dalam Undang-
Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional. Selain itu, Konfrensi Dunia tahun 1994 oleh UNESCO di Salamanca,
Spanyol, menyatakan komitmen “pendidikan untuk semua”, komitmen ini
menegaskan pentingnya pemberian pendidikan bagi anak, remaja dan orang dewasa
yang memerlukan pendidikan dalam sistem pendidikan reguler serta menyetujui
kerangka aksi pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus (Ilahi, 2013).

Dalam kerangka aksi UNESCO (1994) semakin membuat masa depan bagi
anak, remaja dan orang dewasa yang memiliki keterbatasan fisik maupun mental.
Stubbs (2002) menuliskan terdapat satu paragraf dalam pasal 2(dua) yang
memberikan argumen sangat inspiring untuk sekolah inklusi : “Sekolah reguler
dengan orientasi inklusi merupakan cara yang paling efektif untuk memerangi sikap
diskriminatif, menciptakan masyarakat yang terbuka, membangun suatu masyarakat
inklusi dan mencapai pendidikan untuk semua; lebih dari itu, sekolah inklusi
memberikan pendidikan yang efektif kepada mayoritas anak dan meningkatkan
efisiensi sehingga menekan biaya untuk keseluruhan sistem pendidikan.”

Kerangka aksi tersebut telah menjadi dasar bagi pemerintah untuk semakin
meningkatkan perhatian tehadap pentingnya pendidikan inklusi yang ditetapkan
dalam Permen No. 70 tahun 2009 tentang pendidikan inklusi bagi peserta didik yang
memiliki kelainan dan memiliki potensi kecerdasan dan atau bakat istimewa

16
(Peduliinklusi, 2009).. Selanjutnya, untuk pelaksanaan Permen tersebut terdapat pada
pasal 4 ayat 1, menyatakan pemerintah kabupaten atau kota menunjuk paling sedikit
1 (satu) sekolah dasar dan 1 (satu) sekolah menengah pertama pada setiap
kecamatandan 1 (satu) satuan pendidikan menengah untuk menyelenggarakan
pendidikan inklusi yang wajib menerima peserta didik sebagaimana dimaksud dalam
pasal 3 ayat (1).

Sejalan dengan permen tersebut, menurut Kustawan (2013) temuan di


lapangan menunjukkan masih terdapat kabupaten atau kota yang belum memulai
untuk menyelenggarakan pendidikan inklusi dengan alasan tertentu, misalnya masih
terdapat banyak kendala dan hambatan, salah satu hambatan yang sering dirasakan
adalah mengenai sumber daya manusia (SDM) yang memahami pendidikan khusus
atau pendidikan inklusi dan sistem manajemen atau pengelolaannya yang kompleks
sebab memerlukan koordinasi dari semua pihak terkait, hal ini karena pendidikan
khusus di sekolah umum atau kejuruan adalah sesuatu hal yang baru dan memerlukan
komponen pendukung yang pandangannya tidak semudah membalik telapak tangan.
Firdaus (2010) menuliskan pentingmya pemahaman pendidikan inklusi karena jika
pendidikan inklusi didefinisikan secara sempit atau didasarkan pada asumsi ‘anak
sebagai masalah’ dan jika kemudian definisi tersebut digunakan untuk
mengembangkan atau memonitor prakteknya, maka pendidikan inklusi akan gagal
dan tidak bersinambungan. Selanjutnya menurut Ilahi 2013, pemahaman terhadap
anak berkelainan atau penyandang cacat seharusnya sebagai upaya peningkatan
kualitas layanan pendidikan, bukan hanya sebagai upaya memasukkan disabled
children ke sekolah reguler dalam rangka give education right dan kemudahan access
education, and againt discrimination.

Selain itu, Mujidto, dkk (2012) menuliskan ketidaksiapan sekolah


melakukan penyesuaian pada dasarnya menyangkut pada ketersediaan sumber daya
maanusia yang belum memadai, disamping pemberdayaan guru umum, juga
keterbatasan guru pembimbing khusus (GPK) yang memberikan program

17
pendampingan pembelajaran bagi peserta didik berkebutuhan khusus, serta
keterbatasan aksebilitas bagi anak berkebutuhan khusus dan rendahnya dukungan
warga sekolah dan masyarakat terhadap pendidikan mereka. Seperti yang terlansir
pada Suara Merdeka (15 Februari 2014), pendidikan inklusi dirasa belum maksimal
karena belum memadainya kualitas guru bagi siswa berkebutuhan khusus.

Ilahi (2013) mengatakan faktor penentu keberhasilan pendidikan inklusi


yang tidak kalah pentingnya adalah adanya tenaga pendidik atau guru yang
profesional dalam bidangnya masing-masing untuk membina dan mengayomi anak
berkebutuhan khusus, sehingga diharapkan tenaga pendidik atau guru yang mengajar
hendaknya memiliki kualifikasi yang dipersyaratkan, yaitu memiliki pengetahuan,
keterampilan, sikap tentang materi yang akan diajarkan atau dilatihkan dan
memahami karakteristik siswa. Disamping itu, adanya faktor dari guru yang
didasarkan pada kompetensi yang dimiliki, yaitu kompetensi pedagogik, kompetensi
kepribadian, kompetensi sosial dan profesional, maka dengan kompetensi yang
dimiliki, guru dapat merancang strategi pembelajarn yang tepat, metode yang
digunakan, media juga evaluasi.

Hal berbeda terlihat di lapangan yang menunjukkan kurangnya kualitas guru


di sekolah inklusi yang sering menumbulkan kesalahpahaman dengan orangtua siswa
berkebutuhan khusus. Hal serupa yang terlansir pada JPNN (29 Januari 2014),
Lemahnya pendidikan inklusi bagi guru bisa menyebabkan berubahnya sikap terbuka
dari orang tua yang memiliki anak berkebutuhan khusus. Selanjutnya Ilahi (2013)
juga menuliskan masih terdapat guru yang perlu dipertanyakan mengenai kualitas dan
komitmennya dalam membina dan mengayomi anak berkebutuhan khusus dan secara
implementasinya, masih cendrung belum mampu bersikap proactive dan ramah
terhadaap semua anak, sehingga menimbulkan komplain orangtua dan menjadikan
anak cacat sebagai bahan olok-olokan, sedangkan pengharapan tentang seorang guru
harusnya mampu mencerminkan sikap kasih sayang, kehangatan, kegembiraan,

18
persahabatan dan sikap-sikap lainnya yang berhubungan dengan motivasi
pembelajaran.

Selain guru, terdapat model pendidikan inklusi yang pelaksanaannya


berbeda dari pemahaman inklusi sebenarnya, misalnya kelas khusus, oleh Elisa,S &
Wrastari,T,A (2013) mendefinisikan Anak berkebutuhan khusus belajar didalam
kelas khusus pada sekolah reguler, namun dalam bidang-bidang tertentu dapat belajar
bersama anak non berkebutuhan khusus di kelas reguler. Tapi, fakta yang ditemukan
masih terdapat siswa berkebutuhan khusus yang selalu berada di kelas khusus selama
jam sekolah dan tidak sama sekali belajar didalam kelas bersama anak-anak non
berkebutuhan khusus. Model tersebut bisa memiliki dampak yang negatif terhadap
siswa berkebutuhan khusus, menurut Dunn (1968) dalam Smith (2012) menekankan
bahwa memberikan label kepada anak-anak untuk ditempatkan di kelas-kelas khusus
membuat suatu stigma yang sangat destruktif bagi konsep diri mereka, serta
pemindahan anak dari kelas reguler ke kelas khusus mungkin memberikan pengaruh
yang signifikan pada perasaan rendah diri dan problem penerimaan diri.

Kebijakan sekolah selanjutnya yang kurang tepat juga terdapat pada


pelimpahan tanggungjawab guru kelas pada guru pmbimbing khusus (GPK) terhadap
siswa berkebutuhan khusus, serta keharusan orangtua anak berkebutuhan khusus
dalam penyediaan guru khusus. Ini bertolak belakang dari Permen No 70 tahun 2009
yang menyebutkan bahwa pemerintah Kabupaten atau Kota perlu menyediakan
paling sedikit 1 (satu) orang guru pembimbing khusus (GPK) pada satuan pendidikan
yang ditunjuk untuk menyelenggarakan pendidikan inklusif dan bagi sekolah yang
belum memiliki guru pembimbing khusus (GPK) perlu bekerja sama dengan Dinas
Pendidikan Provensi dan atau lembaga pendukung pendidikan untuk mengadakan
guru pembimbing khusus (Kustawan, 2013).

Selanjutnya menurut Ilahi (2013), inti dari pendidikan inklusi menyangkut


persoalan proses pembelajaran yang belum menggunakan sistem team teaching

19
sehingga menjadikan anak berkebutuhan khusus mengalami kesulitan dalam
menerima materi pelajaran, mengingat pembelajaran dalam pendidikan inklusi atau
setting inklusi harus berhadapan dengan peserta didik dengan keadaan dan
kemampuan yang sangat beragam maka pengajaran dengan pendekatan individu
dianggap yang paling tepat. Tetapi pada fakta di lapangan menunjukkan sekolah-
sekolah penyelenggara pendidikan inklusif masih menggunakan kurikulum umum
untuk anak berkebutuhan khusus.

E. Model dan Strategi Pembelajaran dalam Pendidikan Inklusi


Untuk merealisasikan layanan pendidikan yang sesuai dengan kemampuan
setiap anak dari masing-masing kelompoknya di kelas, maka sebaiknya kita
menggunakan model pembelajaran yang mendasarkan pada keberagaman
(differentiation) kemampuan belajar mereka yang berbeda-beda. Model pembelajaran
ini dapat diterapkan dengan efektif melalui perubahan atau penyesuaian antara
kemampuan belajar mereka dengan harapan/target, alokasi waktu,
penghargaan/hadiah. tugastugas/ pekerjaan, dan bantuan yang diberikan pada anak-
anak dari masing-masing kelompok yang beragam, meskipun mereka belajar dalam
satu kelas, dengan tema dan mata pelajaran yang sama.
Misalnya, harapan atau target belajar matematika untuk anak kelas III SD
yang cepat belajarnya (high function/above average learners) adalah memahami dan
mampu menggunakan perkalian dalam soal cerita dengan analisisnya pada tahapan
berpikir abstrak. Sedangkan untuk anak-anak yang kemampuan belajarnya rata-rata
(average performers) mempelajari perkalian hanya sampai ratusan pada tahapan semi
konkrit, dan untuk anak yang kemampuan belajarnya di bawah ratarata (below
average learners) mengenali perkalian baru sampai puluhan dengan tahapan konkrit,
serta bagi anak Autis mempelajari matematika sampai ratusan dengan lebih banyak
memfokuskan pada keunggulan visual thinking nya (pemahaman konsep melalui
pengamatan dengan bantuan gambar, kode, label, simbol atau film dan sebagainya).

20
Demikian pula dalam alokasi waktu, penghargaan/hadiah. tugas-
tugas/pekerjaan, dan bantuan yang diberikan juga disesuaikan dengan tahapan
perkembangan belajar dari masing-masing kelompok tersebut. Jadi proses layanan
pembelajarannya bukan didasarkan pada bentuk layanan sama rata, sama rasa dan
disampaikan secara klasikal, tetapi diarahkan pada pembelajaran yang lebih
demokratis dan proporsional sesuai dengan harapan (ekspektasi) dan target belajar
dari masing-masing kelompok anak tersebut, dan proses belajar anak-anak tersebut
tidak dipisahkan berdasarkan kelompok atau dipisahkan dari komunitasnya,
melainkan mereka belajar bersama-sama dengan teman sebayanya di dalam kelas
reguler.
Apabila program dan proses belajar anak didik disesuaikan dengan
keberagaman dari setiap kelompok tersebut, maka semua anak dalam kelas yang
sama itu dapat mengikuti proses belajar sesuai dengan porsinya masing-masing.
Siswa yang belajarnya cepat tidak harus mendapatkan materi pelajaran dan alokasi
waktu belajar yang sama dengan teman-teman sebaya pada umumnya (average
group) atau sama dengan temannya yang lebih lambat belajarnya atau sama dengan
temannya yang Autis atau ADHD atau Berbakat dan Cerdas istimewa (Gifted).
Sebelum mereka berpartisipasi dalam belajar secara penuh, anak perlu
meyakini bahwa mereka bisa belajar. Untuk menumbuhkan keyakinan tersebut pada
semua anak, maka mereka memerlukan reward (penghargaan, hadiah dan
sejenisnya). Pemberian reward ini sangat diperlukan oleh semua anak untuk
mengembangkan harga dirinya (selfesteem) dan identitasnya. Khususnya buat anak-
anak yang lambat belajarnya, dengan memperoleh reward pada setiap langkah selama
menyelesaikan pekerjaan dan proses belajarnya, maka membuat mereka menjadi
lebih percaya diri dalam mengerjakan tugas atau pekerjaannnya.
Dengan kata lain, anak harus dihargai apa adanya. Mereka harus merasa
aman, bisa mengekspresikan pendapatnya dan sukses dalam belajarnya. Atmosfir
belajar seperti ini akan membantu anak menikmati belajar dan guru bisa memperkuat
rasa senang ini melalui penciptaan kelas yang lebih 'menyenangkan'. Di kelas seperti

21
itu, harga diri anak ditingkatkan melalui reward (penghargaan/pujian); di dalam
kelompok ini anak yang kooperatif dan ramah didukung; sehingga anak merasa
sukses serta senang belajar sesuatu yang baru. Begitu juga bantuan dan bimbingan
pada anak yang cerdas pun, tetap perlu diberikan walaupun tidak sebanyak dan
seintensif yang diberikan pada anak-anak lain yang lebih lambat belajarnya.
Pada anak-anak lambat belajarnya membutuhkan bimbingan pada setiap
tahapan belajarnya. Jadi, apabila model dan atmosfir proses belajar seperti yang telah
dijelaskan tersebut dapat direalisasikan dengan optimal, maka dapat mengantarkan
semua anak untuk mencapai proses belajar yang menyenangkan (joy of learning dan
fun of learning).

22
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Pendidikan inklusi adalah pendidikan regular yang disesuaikan dengan
kebutuhan peserta didik yang memiliki kelainan dan atau memiliki potensi
kecerdasan dan bakat istimewa pada sekolah regular dalam satu kesatuan yang
sistemik. Pendidkan inklusi mengakomodasi semua anak berkebutuhan khusus yang
mempunyai IQ normal, diperuntukan bagi yang memiliki kelainan, bakat istimewa,
kecerdasan istimewa dan atau yang memerlukan pendidkan layanan khusus.

Penentu keberhasilan pendidikan inklusi antara lain: Adanya kerangka yang


kuat, implementasi berdasarkan budaya, partisipasi berkesinambungan, dan
pengembangan kerangka.Manfaat pendidikan inklusi antara lain: Membangun
kesadaran dan konsensus pentingnya pendidikan inklusi sekaligus menghilangkan
sikap dan nilai yang diskriminatif, melibatkan dan memberdayakan masyarakat untuk
melakukan analisis situasi pendidikan lokal, mengumpulkan informasi semua anak
pada setiap distrik dan mengidentifikasi alasan mengapa mereka tidak sekolah,
mengidentifikasi hambatan berkaitan dengan kelainan fisik, sosial dan masalah
lainnya terhadap akses dan pembelajaran, melibatkan masyarakat dalam melakukan
perencanaan dan monitoring mutu pendidikan bagi semua anak

B. Saran
Seharusnya pemerintah lebih memperhatikan sekolah inklusi sehingga anak
yang berkebutuhan khusus yang berbakat dapat menyalurkan bakat mereka.
Pemerintah juga harus mensosialisasikan adanya sekolah inklusi agar sekolah inklusi
diketahui keberadaanya, dan masyarakat tidak lagi meremehkan sekolah inklusi
bahwa anak-anak inklusi juga bisa berprestasi layaknya anak norma

23
DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2015 PENDIDIKAN INKLUSIF. Dikutif pada 11 Oktober 2019 dari


Inspirasi:http://2015inspirasi.blogspot.com/2015/02/makalah-pendidikan
inklusif.html.

Anonim. 2014. PERMASALAHAN – PERMASALAHAN DALAM IMPLEMENTASI


PENDIDIKAN INKLUSIF. Dikutif pada 11 Oktober 2019 dari Perpus
Kecilku:http://izzaucon.blogspot.com/2014/06/permasalahan-
permasalahan-dalam.html.

Fitriatun, Erna. 2015. Pendidikan Inklusif : Peluang bagi Kualitas Pendidikan Anak
dan Remaja Khusus. Dikutif pada 12 Oktober 2019 dari Kompasnia:
https://www.google.com/amp/s/www.kompasiana.com/amp/ernafitriatun/
pendidikan-inklusif-peluang-bagi-kualitas-pendidikan-anak-dan-remaja-
khusus.

Hidayat. 2009. MODEL PEMBELAJARAN YANG RAMAH BAGI SEMUA ANAK


DALAM SETTING INKLUSIF. Dikutif pada 12 Oktober 2019 dari:
SRATEGI _PEMB.INKLUSIF.pdf.

Winarti. 2015. TANTANGAN PENDIDIKAN INKLUSI DALAM MENGHADAPI


MASYARAKAT EKONOMI ASEAN. Dikutif pada 12 Oktober 2019 dari:
https://www.google.com/search?q=tantangan+pendidikan+inklusif+dala
m+menghadapi+masyarakat +ekonomi+ASEAN.

24

Anda mungkin juga menyukai