OLEH
A1I1 18 050
UNIVERSITAS HALUOLEO
2019
i
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas limpahan nikmat-
Nya, saya diberikan kemudahan sehingga saya mampu untuk menyelesaikan
pembuatan makalah ini sebagai tugas dari mata kuliah Pendidikan Inklusif dengan
judul “MASALAH, PELUANG DAN TANTANGAN SERTA STRATEGI
PELAKSANAAN PENDIDIKAN INKLUSIF MASA MENDATANG”.
Saya tentu menyadari makalah ini masih jauh dari kata sempurna dan masih
banyak terdapat kesalahan serta kekurangan di dalamnya. Untuk itu, saya
mengharapkan kritik serta saran dari pembaca untuk makalah ini, supaya makalah ini
nantinya dapat menjadi makalah yang lebih baik lagi. Demikian, dan apabila terdapat
banyak kesalahan pada makalah ini saya mohon maaf yang sebesar-besarnya.
Sekaligus saya menyampaikan rasa terimakasih yang sebanyak-banyaknya untuk
bapak Dr. Anwar Bey,M.S selaku dosen mata kuliah Pendidikan Inklusif yang telah
menyerahkan kepercayaannya kepada saya guna menyelesaikan makalah ini dengan
tepat waktu.
Penulisan
ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ii
DAFTAR ISI iii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang 1
B. Rumusan Masalah 5
C. Tujuan 6
BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian Pendidikan Inklusi 7
B. Permasalah Yang Dialami Sekolah Dalam Pendidikan Inklusi 9
C. Pendidikan Inklusi Dan Tantanganya 13
D. Peluang Bagi Kualitas Anak Dalam Pendidikan Inklusi 20
E. Model dan Strategi Pembelajaran Dalam Pendidikan Inklusi 26
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan 29
B. Saran 30
DAFTAR PUSTAKA
iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
1
pendidikan atau pembelajaran dalam satu lingkungan pendidikan secara bersama-
sama dengan peserta didik pada umumnya”.
2
harus menyesuaikan diri agar cocok dengan setting yang ada melainkan sekolah
sebagai institusi pendidikan yang harus membuat penyesuaian agar tercipta
pembelajaran untuk semua. Menurut Skjørten (2003) “…Untuk menciptakan hal
tersebut maka diperlukan fleksibilitas atas kebijakan-kebijakan, kreativitas dan
kepekaan”.
Sampai saat ini belum ada angka pasti tentang jumlah Anak Berkebutuhan
Khusus (ABK) di Indonesia. Namun, yang pasti jumlah mereka yang belum
memperoleh hak pendidikan masih sangat banyak. Data resmi Direktorat PLB tahun
2007 menyebutkan bahwa jumlah ABK yang sudah mengikuti pendidikan formal
baru mencapai 24,7% atau 78.689 anak dari populasi anak cacat di Indonesia, yaitu
318.600 anak (Direktorat PLB, 2008). Ini artinya masih terdapat sebanyak 65,3%
ABK yang masih terseklusi, termarjinalisasikan dan terabaikan hak pendidikan.
Bahkan angka tersebut diperkirakan dapat jauh lebih besar mengingat kecilnya angka
3
prevalensi yang digunakan, yaitu 0,7% dari populasi penduduk serta masih buruknya
sistem pendataan. Kondisi di atas tentu sangat memprihatinkan, mengingat bahwa
pendidikan merupakan salah satu hak azazi manusia yang paling fundamental yang
dilindungi dan dijamin oleh berbagai instrumen hukum internasional maupun
nasional.
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan
4
2. Untuk mengetahui tantangan apa saja yang dihadapi dalam pelaksanaan
pendidikan inklusif masa mendatang.
3. Untuk mengetahui peluang bagi kualitas anak dalam pendidikan inklusi.
4. Untuk mengetahui strategi dalam pelaksanaan pendidikan inklusif masa
mendatang.
5
BAB II
PEMBAHASAN
6
yang mempunyai IQ normal diperuntukan bagi yang memiliki kelainan, bakat
istimewa, kecerdasan istimewa dan atau yang memerlukan pendidkan layanan
khusus.
5. Pengertian pendidikan inklusi yang dirumuskan dalam seminar AGRA dan
disetujui oleh 55 negara ( terutama dari selatan) yaitu :
Indonesia dan dunia memiliki banyak keberagaman. Seperti yang kita tahu
negeri ini kaya akan suku, bangsa dan bahasa, itu salah satu contoh keberagaman.
Contoh lain ada pribadi yang “lengkap”, dalam artian memiliki dua mata, satu
hidung, dua telinga, satu mulut, dua tangan, dua kaki dan anggota – anggota tubuh
lain yang berfungsi dengan baik. Tetapi ada juga pribadi yang berbeda dengan kita
(manusia mayoritas), yaitu tuna rungu, tuna wicara, tidak punya kaki, lumpuh
(difable), dll. Yang saya tekankan disini, mereka tidak cacat ! Mereka hanya berbeda,
ya hanya berbeda dengan orang kebanyakan. “Coba bayangkan kalau di dunia ini
7
semua orang berkaki satu, berarti kalau kita mempunyai dua kaki, kita dianggap
cacat. Padahal sesungguhnya kita tidak cacat, hanya berbeda”.
8
2. Kebijakan sekolah
a. Sekalipun sudah didukung dengan visi yang cukup jelas, menerima
semua jenis anak cacat, sebagian sudah memiliki guru khusus,
mempunyai catatan hambatan belajar pada masing-masing ABK, dan
kebebasan guru kelas dan guru khusus untuk mengimplementasikan
pembelajaran yang lebih kreatif dan inovatif, namun cenderung belum
didukung dengan koordinasi dengan tenaga profesional, organisasi
atau institusi terkait.
b. Masih terdapat kebijakan yang kurang tepat, yaitu guru kelas tidak
memiliki tangung jawab pada kemajuan belajar ABK, serta keharusan
orang tua ABK dalam penyediaan guru khusus.
3. Proses pembelajaran
a. Proses pembelajaran belum dilaksanakan dalam bentuk team
teaching, tidak dilakukan secara terkoordinasi.
b. Guru cenderung masih mengalami kesulitan dalam merumusakan
flexible curriculum, pembuatan IEP, dan dalam menentukan tujuan,
materi, dan metode pembelajaran.
c. Masih terjadi kesalahan praktek bahwa target kurikulum ABK sama
dengan siswa lainnya serta anggapan bahwa siswa cacat tidak
memiliki kemampuan yang cukup untuk menguasai materi belajar.
d. Karena keterbatasan fasilitas sekolah, pelaksanaan pembelajaran
belum menggunakan media, resource, dan lingkungan yang beragam
sesuai kebutuhan anak.
4. Kondisi guru
9
b. Keberadaan guru khusus masih dinilai belum sensitif dan proaktif
terhadap permasalahan yang dihadapi ABK.
5. Sistem dukungan
a. Belum didukung dengan sistem dukungan yang memadai. Peran orang
tua, sekolah khusus, tenaga ahli, perguruan tinggi – LPTK PLB, dan
pemerintah masih dinilai minimal. Sementara itu fasilitas sekolah juga
masih terbatas.
b. Keterlibatan orang tua sebagai salah satu kunci keberhasilan dalam
pendidikan inklusi, belum terbina dengan baik. Dampaknya, orang tua
sering bersikap kurang peduli dan realistik terhadap anaknya.
c. Kondisi di lapangan dalam penerapan pendidikan inklusi.
Pada sekolah yang secara alami mengembangkan pendidikan inklusi
beberapa kecenderungan yang terjadi di lapangan, diantaranya:
Secara formal belum berpredikat sebagai sekolah inklusi,
bahkan sampai sekarang belum tersentuh proyek sosialisasi
dan pelatihan di bidang pendidikan inklusi
Para guru awalnya sempat khawatir akan menurunkan citra
sekolah.
Adanya protes terhadap kenaikan ABK, sementara ada anak
normal yang tidak naik kelas.
Tidak ada guru khusus, tetapi ini justru tantangan untuk
menemukan metode baru (kreatif) melalui kebersamaan,
saling diskusi, saling berbagai.
Perubahan dan proses adaptasi pembelajaran dilakukan terus
menerus melalui kerja sama, saling memotivasi, saling
membantu, saling mendukung, komunikasi, dan belajar dari
pengalaman.
Mengembangkan kerjasama antar guru dan meningkatkan
jalinan komunikasi dengan orang tua.
10
Sekalipun diakui menambah beban tambahan, namun diterima
sebagai tantangan.
11
b. Pendidikan inklusi cenderung dipersepsi sama dengan integrasi,
sehingga masih ditemukan pendapat bahwa anak harus menyesuiakan
dengan sistem sekolah.
c. Dalam implementasinya guru cenderung belum mampu bersikap
proactive dan ramah terhadap semua anak, menimbulkan komplain
orang tua, dan menjadikan anak cacat sebagai bahan olok-olokan.
2. Kebijakan sekolah
b. Masih terdapat kebijakan yang kurang tepat, yaitu guru kelas tidak
memiliki tangung jawab pada kemajuan belajar ABK, serta keharusan
orang tua ABK dalam penyediaan guru khusus.
3. Proses pembelajaran
12
d. Karena keterbatasan fasilitas sekolah, pelaksanaan pembelajaran
belum menggunakan media, resource, dan lingkungan yang beragam
sesuai kebutuhan anak.
e. Belum adanya panduan yang jelas tentang sistem penilaian. Sistem
penilaian belum menggunakan pendekatan yang fleksibel dan
beragam.
f. Masih terdapat persepsi bahwa sistem penilaian hasil belajar ABK
sama dengan anak normal lainnya, sehingga berkembang anggapan
bahwa mereka tidak menunjukkan kemajuan belajar yang berarti.
4. Kondisi guru
5. Sistem dukungan
13
c. Peran SLB yang diharapkan mampu berfungsi sebagai resource centre
bagi sekolah-sekolah inklusi di lingkungannya, belum dapat
dilaksanakan secara optimal, baik karena belum adanya koordinasi dan
kerja sama maupun alasan geografik.
d. Peran ahli yang diharapkan dapat berfungsi sebagai media konsultasi,
advokasi, dan pengembangan SDM sekolah masih sangat minimal.
e. LPTK PLB dalam diseminasi hasil penelitian, penelitian kolaborasi
maupun dalam implementasi terhadap hasil-hasil penelitaian belum
dapat diwujudkan dengan baik.
f. Peran pemerintah yang seharusnya menjadi ujung tombak dalam
mendorong implementasi inklusi secara baik dan benar melalui
regulasi aturan maupun bantuan teknis, dinilai masih kurang perhatian
dan kurang proaktif terhadap permasalahan nyata di lapangan.
g. Kalaupun pemerintah saat ini sudah mengikutkan guru-guru dalam
pelatihan atau memberikan bantuan yang sifatnya fisik atau keuangan,
namun jumlahnya masih sangat terbatas dan belum merata.
h. Sekolah umumnya juga belum didukung fasilitas yang diperlukan
untuk mendukung aksesibilitas dan keberhasilan pembelajaran secara
memadai.
Menurut Sunardi (2009), kendala lain yang muncul meliputi:
Sistem Penerimaan Siswa Baru, khususnya di tingkat pendidikan
menengah dan atas yang menggunakan nilai ujian nasional sebagai
kriteria penerimaan. Siswa hanya dapat diterima kalau hasil ujian
nasionalnya memenuhi standar minimal yang telah ditetapkan oleh
masing-masing sekolah.
Dijadikannya pencapaian hasil ujian nasional sebagai kriteria sekolah
bermutu, bukan diukur dari kemampuannya dalam mengoptimalkan
kemampuan siswa secara komprehensif sesuai dengan keragamannya.
14
Penggunaan label sekolah inklusi dan adanya PP. No.19 tahun 2005
tentang Standar Nasional Pendidikan, pasal 41(1) tentang keharusan
untuk memiliki tenaga kependidikan khusus bagi sekolah inklusi
sebagai alasan melakukan penolakan masuknya anak berkelainan ke
sekolah yang bersangkutan, yang ditandai dengan munculnya gejala
“eklusivisme baru”, yaitu menolak anak berkebutuhan khusus dengan
alasan belum memiliki tenaga khusus atau sekolahnya bukan sekolah
inklusi.
Kurikulum pendidikan umum yang ada sekarang ini belum
mengakomodasi keberadaan anak – anak yang memiliki perbedaan
kemampuan (difabel).
Masih dipahaminya pendidikan inklusi secara dangkal, yaitu semata-
mata memasukkan anak difabel ke sekolah regular, tanpa upaya untuk
mengakomodasi kebutuhan khususnya. Kondisi ini dapat menjadikan
anak tetap tereklusi dari lingkungan karena anak merasa tersisih,
terisolasi, ditolak, tidak nyaman, sedih, marah, dan sebagainya.
Padahal makna inklusi adalah ketika lingkungan kelas atau sekolah
mampu memberikan rasa senang, menerima, ramah, bersahabat,
peduli, mencintai, menghargai, serta hidup dan belajar dalam
kebersamaan.
Munculnya label-label khusus yang sengaja diciptakan oleh
pemerintah maupun masyasrakat yang cenderung membentuk sikap
eklusifisme, seperti Sekolah Unggulan, Sekolah Berstandar
Internasional (SBI), Sekolah Rintisan Berstandar Internasional (RSBI),
sekolah favorit, sekolah percontohan, kelas akselerasi, serta sekolah-
sekolah yang berbasis agama. Kondisi ini tentu dapat berdampak
kepada sekolah inklusi sebagai sekolah kelas dua (second class),
karena menerima ABK sama dengan special school (Imam Subkhan,
2009)
15
Masih terbatasnya perhatian dan keseriusan pemerintah dalam
mempersiapkan pendidikan inklusi secara matang dan komprehensif,
baik dari aspek sosialisasi, penyiapan sumber daya, maupun uji coba
metode pembelajaran, sehingga hanya terkesan program eksperimental
(Cak Fu, 2005).
D. Peluang Bagi Kualitas Anak dalam Pendidikan Inklusi
Pendidikan inklusi merupakan konsep ideal yang memberikan kesempatan
dan peluang sepenuhnya kepada anak berkebutuhan khusus untuk mendapatkan
haknya sebagai warga negara. Sebagaimana yang telah dicantumkan dalam Undang-
Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional. Selain itu, Konfrensi Dunia tahun 1994 oleh UNESCO di Salamanca,
Spanyol, menyatakan komitmen “pendidikan untuk semua”, komitmen ini
menegaskan pentingnya pemberian pendidikan bagi anak, remaja dan orang dewasa
yang memerlukan pendidikan dalam sistem pendidikan reguler serta menyetujui
kerangka aksi pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus (Ilahi, 2013).
Dalam kerangka aksi UNESCO (1994) semakin membuat masa depan bagi
anak, remaja dan orang dewasa yang memiliki keterbatasan fisik maupun mental.
Stubbs (2002) menuliskan terdapat satu paragraf dalam pasal 2(dua) yang
memberikan argumen sangat inspiring untuk sekolah inklusi : “Sekolah reguler
dengan orientasi inklusi merupakan cara yang paling efektif untuk memerangi sikap
diskriminatif, menciptakan masyarakat yang terbuka, membangun suatu masyarakat
inklusi dan mencapai pendidikan untuk semua; lebih dari itu, sekolah inklusi
memberikan pendidikan yang efektif kepada mayoritas anak dan meningkatkan
efisiensi sehingga menekan biaya untuk keseluruhan sistem pendidikan.”
Kerangka aksi tersebut telah menjadi dasar bagi pemerintah untuk semakin
meningkatkan perhatian tehadap pentingnya pendidikan inklusi yang ditetapkan
dalam Permen No. 70 tahun 2009 tentang pendidikan inklusi bagi peserta didik yang
memiliki kelainan dan memiliki potensi kecerdasan dan atau bakat istimewa
16
(Peduliinklusi, 2009).. Selanjutnya, untuk pelaksanaan Permen tersebut terdapat pada
pasal 4 ayat 1, menyatakan pemerintah kabupaten atau kota menunjuk paling sedikit
1 (satu) sekolah dasar dan 1 (satu) sekolah menengah pertama pada setiap
kecamatandan 1 (satu) satuan pendidikan menengah untuk menyelenggarakan
pendidikan inklusi yang wajib menerima peserta didik sebagaimana dimaksud dalam
pasal 3 ayat (1).
17
pendampingan pembelajaran bagi peserta didik berkebutuhan khusus, serta
keterbatasan aksebilitas bagi anak berkebutuhan khusus dan rendahnya dukungan
warga sekolah dan masyarakat terhadap pendidikan mereka. Seperti yang terlansir
pada Suara Merdeka (15 Februari 2014), pendidikan inklusi dirasa belum maksimal
karena belum memadainya kualitas guru bagi siswa berkebutuhan khusus.
18
persahabatan dan sikap-sikap lainnya yang berhubungan dengan motivasi
pembelajaran.
19
sehingga menjadikan anak berkebutuhan khusus mengalami kesulitan dalam
menerima materi pelajaran, mengingat pembelajaran dalam pendidikan inklusi atau
setting inklusi harus berhadapan dengan peserta didik dengan keadaan dan
kemampuan yang sangat beragam maka pengajaran dengan pendekatan individu
dianggap yang paling tepat. Tetapi pada fakta di lapangan menunjukkan sekolah-
sekolah penyelenggara pendidikan inklusif masih menggunakan kurikulum umum
untuk anak berkebutuhan khusus.
20
Demikian pula dalam alokasi waktu, penghargaan/hadiah. tugas-
tugas/pekerjaan, dan bantuan yang diberikan juga disesuaikan dengan tahapan
perkembangan belajar dari masing-masing kelompok tersebut. Jadi proses layanan
pembelajarannya bukan didasarkan pada bentuk layanan sama rata, sama rasa dan
disampaikan secara klasikal, tetapi diarahkan pada pembelajaran yang lebih
demokratis dan proporsional sesuai dengan harapan (ekspektasi) dan target belajar
dari masing-masing kelompok anak tersebut, dan proses belajar anak-anak tersebut
tidak dipisahkan berdasarkan kelompok atau dipisahkan dari komunitasnya,
melainkan mereka belajar bersama-sama dengan teman sebayanya di dalam kelas
reguler.
Apabila program dan proses belajar anak didik disesuaikan dengan
keberagaman dari setiap kelompok tersebut, maka semua anak dalam kelas yang
sama itu dapat mengikuti proses belajar sesuai dengan porsinya masing-masing.
Siswa yang belajarnya cepat tidak harus mendapatkan materi pelajaran dan alokasi
waktu belajar yang sama dengan teman-teman sebaya pada umumnya (average
group) atau sama dengan temannya yang lebih lambat belajarnya atau sama dengan
temannya yang Autis atau ADHD atau Berbakat dan Cerdas istimewa (Gifted).
Sebelum mereka berpartisipasi dalam belajar secara penuh, anak perlu
meyakini bahwa mereka bisa belajar. Untuk menumbuhkan keyakinan tersebut pada
semua anak, maka mereka memerlukan reward (penghargaan, hadiah dan
sejenisnya). Pemberian reward ini sangat diperlukan oleh semua anak untuk
mengembangkan harga dirinya (selfesteem) dan identitasnya. Khususnya buat anak-
anak yang lambat belajarnya, dengan memperoleh reward pada setiap langkah selama
menyelesaikan pekerjaan dan proses belajarnya, maka membuat mereka menjadi
lebih percaya diri dalam mengerjakan tugas atau pekerjaannnya.
Dengan kata lain, anak harus dihargai apa adanya. Mereka harus merasa
aman, bisa mengekspresikan pendapatnya dan sukses dalam belajarnya. Atmosfir
belajar seperti ini akan membantu anak menikmati belajar dan guru bisa memperkuat
rasa senang ini melalui penciptaan kelas yang lebih 'menyenangkan'. Di kelas seperti
21
itu, harga diri anak ditingkatkan melalui reward (penghargaan/pujian); di dalam
kelompok ini anak yang kooperatif dan ramah didukung; sehingga anak merasa
sukses serta senang belajar sesuatu yang baru. Begitu juga bantuan dan bimbingan
pada anak yang cerdas pun, tetap perlu diberikan walaupun tidak sebanyak dan
seintensif yang diberikan pada anak-anak lain yang lebih lambat belajarnya.
Pada anak-anak lambat belajarnya membutuhkan bimbingan pada setiap
tahapan belajarnya. Jadi, apabila model dan atmosfir proses belajar seperti yang telah
dijelaskan tersebut dapat direalisasikan dengan optimal, maka dapat mengantarkan
semua anak untuk mencapai proses belajar yang menyenangkan (joy of learning dan
fun of learning).
22
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pendidikan inklusi adalah pendidikan regular yang disesuaikan dengan
kebutuhan peserta didik yang memiliki kelainan dan atau memiliki potensi
kecerdasan dan bakat istimewa pada sekolah regular dalam satu kesatuan yang
sistemik. Pendidkan inklusi mengakomodasi semua anak berkebutuhan khusus yang
mempunyai IQ normal, diperuntukan bagi yang memiliki kelainan, bakat istimewa,
kecerdasan istimewa dan atau yang memerlukan pendidkan layanan khusus.
B. Saran
Seharusnya pemerintah lebih memperhatikan sekolah inklusi sehingga anak
yang berkebutuhan khusus yang berbakat dapat menyalurkan bakat mereka.
Pemerintah juga harus mensosialisasikan adanya sekolah inklusi agar sekolah inklusi
diketahui keberadaanya, dan masyarakat tidak lagi meremehkan sekolah inklusi
bahwa anak-anak inklusi juga bisa berprestasi layaknya anak norma
23
DAFTAR PUSTAKA
Fitriatun, Erna. 2015. Pendidikan Inklusif : Peluang bagi Kualitas Pendidikan Anak
dan Remaja Khusus. Dikutif pada 12 Oktober 2019 dari Kompasnia:
https://www.google.com/amp/s/www.kompasiana.com/amp/ernafitriatun/
pendidikan-inklusif-peluang-bagi-kualitas-pendidikan-anak-dan-remaja-
khusus.
24