1. Belajar Bermakna
Belajar bermakna adalah belajar di mana siswa harus mengkaitkan konsep baru
dengan yang diperolehnya dalam bentuk proposisi (hubungan antar konsep) yang benar.
Ausubel (dalam Dahar, 1988) menyatakan belajar bermakna merupakan suatu proses
dikaitkannya informasi baru pada konsep-konsep relevan yang terdapat dalam struktur
kognitif seseorang. Walaupun kita tidak mengetahui mekanisme biologi tentang memori
atau disimpankannya pengetahuan, kita mengetahui bahwa informasi disimpan di daerah-
daerah tertentu dalam otak.
Seorang guru biologi dalam mengajarkan konsep-konsep biologi kepada siswa
sebaiknya dapat memahami suatu konsep (Amin, 1994). Konsep terbentuk bila dua atau
lebih objek-objek yang dapat dibedakan atau kejadian-kejadian/ situasi-situasi telah
dikelompokkan bersama dan terpisah dari obyek-objek atau kejadian-kejadian atau situasi-
situasi lain berdasarkan ciri-ciri umum, bentuk dan sifatnya. Konsep merupakan suatu
gagasan atau ide yang didasarkan pada pengalaman (empiris) tertentu dan relevan dan
yang dapat digeneralisasikan (Amin, 1994).
Klasifikasi konsep dan sistem konseptual sangat penting karena isu-isu mutakhir
yang menantang para guru adalah mengenai konsep-konsep esensial dan subkonsep-
subkonsep apa yang harus diajarkan, dalam urutan atau rangkaian yang bagaimana, dan
kepada siapakah harus diajarkan sesuai dengan minat, kebutuhan dan kemampuan siswa.
Apa yang dimaksud disini ialah cara penalaran untuk mengklasifikasikan konsep kedalam
kategori-kategori yang bermakna, dan cara untuk menghubungkan kategori-kategori
tersebut pada kemampuan intelektual para siswa sehingga mereka tidak hanya memperoleh
pengertian yang signifikan tentang makna konsep, tetapi pengalaman belajar itu sendiri
juga akan membantu siswa dalam menumbuhkan dan mengembangkan kemampuan
penalarannya.
Konsep itu saling berhubungan satu sama lain dalam sistem yang dinamik yang
disebut sistem-sistem konseptual. Pengajaran sistem konseptual dalam bidang biologi
harus melibatkan urutan atau rangkaian pengenalan tentang konsep-konsep biologi dalam
cara yang bermakna dan relevan. Salah satu strategi pengajaran sistem konseptual ini
disebut teknik pemetaan konsep. Tujuan teknik pemetaan konsep adalah untuk
memungkinkan guru dan siswa menjadi lebih kreatif dan ekspresif (Amin, 1994).
Konstruksi peta konsep umumnya dibuat oleh guru yang berpengalaman dan
menguasai materi biologi yang utuh. Teknik pemetaan konsep memberikan suatu
hubungan penting antara teori belajar dan mengajar, khususnya teori belajar dan mengajar
biologi. Guru hendaknya menyadari bahwa belajar biologi yang efektif dan bermakna itu
dapat dibangun antara konsep-konsep baru dengan konsep-konsep yang telah terbentuk di
dalam struktur kognitif siswa. Dengan demikian, penggunaan teknik pemetaan konsep
dalam proses belajar mengajar biologi di kelas dapat me-ngurangi kepasifan siswa dan
memacu peningkatan minat serta partisipasi siswa dalam proses belajar mengajar yang
bermakna (Amien, 1990).
Bila siswa mengatahui bahwa mereka akan terlibat dalam suatu kegiatan belajar
seperti pemetaan konsep, maka perhatiannya akan lebih besar dan menjadi lebih berminat
untuk melibatkan diri dalam proses belajarnya sendiri. Strategi yang menggunakan peta
konsep yang disiapkan oleh guru berupa ekspositori dan berorientasi pada hasil (produk),
sedangkan strategi yang menggunakan peta konsep yang dibuat oleh siswa berorientasi
pada proses yang memusatkan pada penemuan siswa secara individual atau kelompok
(Amien, 1990).
Menurut Ausubel (dalam Arifin, 1995) siswa mengasimilasi pelajaran di-lakukan
dengan cara-cara seperti pada Tabel 2.1 berikut.
Tabel 2.1. Bentuk-Bentuk Belajar Menurut Ausubel
Dimensi II
Hafalan Bermakna
Dimensi I
Materi disajikan dalam bentuk Materi disajikan dalam bentuk
final final
Penerimaan
Siswa menghafal materi yang Siswa memasukkan informasi
disajikan ke dalam struktur kognitif
Materi ditemukan oleh siswa Siswa menemukan materi
Penemuan Siswa menghafal materi Siswa memasukkan informasi
ke dalam struktur kognitif
Sumber Arifin (1995:83)
Selanjutnya Ausubel menjelaskan perbedaan antara belajar bermakna dengan
belajar hafalan, belajar bermakna merupakan suatu proses dalam belajar yaitu informasi
baru dikaitkan pada konsep-konsep relevan yang telah ada dalam struktur kognitif
seseorang. Sedangkan belajar secara hafalan terjadi jika siswa mempelajari konsep-konsep
baru secara semuanya dan tidak dihubungkan dengan konsep-konsep relevan yang sudah
diketahuinya.
Belajar bermakna berarti belajar dengan memperoleh pemberitahuan yang
bermakna. Menurut Ausubel dalam Amin (1990) prasyarat-prasyarat dari belajar bermakna
adalah sebagai berikut: (1) materi yang akan diepalajari harus bermakna secara potensial
yaitu dengan memperhatikan kemampuan awal siswa, dan (2) anak yang akan belajar atau
siswa harus bertujuan untuk melaksanakan belajar bermakna, jadi mempunyai kesiapan
dan niat untuk belajar bermakna (meaningful learning set). Tujuan siswa merupakan faktor
utama dalam belajar bermakna. Selanjutnhya kebermaknaan materi pelajaran secara
potensial tergantung pada dua faktor: (1) materi ini harus memiliki kebermaknaan logis,
(2) gagasan-gagasan yang relevan harus terdapat dalam struktur kognitif siswa. Materi
yang memiliki kebermaknaan logis merupakan materi yang non-arbitrat dan substantif.
Agar terjadi belajar bermakna, materi pelajaran harus bermakna secara logis,
siswa harus bertujuan untuk memaukkan materi itu ke dala struktur kognitifnya, dan dalam
struktur kognitif anak harus terdapat unsur-unsur yang cocok untuk mengkaitkan atau
menghubungkan materi baru secara non-arbitrer dan substantif. Jika salah satu komponen
ini tidak ada, maka materi itu kalaupun, dipelajari, akan dipelajari secara hafalan (Rosser
dalam Dahar, 1989).
Sukmadinata (2001) menyarankan agar pembelajaran dapat bermakna bagi siswa,
maka ada dua persyaratan yang harus dipenuhi yaitu:pertama, suatu materi memiliki
kebermaknaan logis berarti materi tersebut dapat dihubungkan dengan konsep-konsep
yang telah ada pada siswa, maka siswa harus memiliki materi yang sesuai dengan hal yang
akan dipelajari. Bila siswa dalam struktur kognitifnya telah memiliki materi, ide-ide yang
sesuai, yang memungkinkan materi baru dapat dihubungkan padanya secara secara
substantif dan non-arbitrer, maka materi tersebut telah memiliki kebermaknaan
potensial. Kedua, sesuai dengan materi yang memiliki kebermaknaan potensial, sebab
siswa dapat memberikan makna, hal ini sangat tergantung pada kemauan siswa untuk
memberi makna atau tidak. Apabila siswa mempunyai kesiapan untuk memberi makna
maka terjadilah belajar bermakna (meaningful learning). Sedangkan Ausubel dan Novak
(dalam Susilo, 1987) menjelaskan cara belajar bermakna yang baik ialah
melaluisubsumption yaitu dengan mengkaitkan konsep baru yang khusus ke konsep lain
yang lebih umum atau lebih inklusif, yang membentuk sebagian dari struktur pengetahuan
siswa saat itu, yaitu yang sudah ada dalam ingatannya. Pada saat terjadi sub-sumption itu,
struktur pengetahuan siswa menjadi lebih terdiferensiasi, sehingga mempermudah
terjadinya asimilasi konsep-konsep lain yang lebih baru.
2. Pengertian Peta Konsep
Definisi konsep yang diadopsi dari Novak (1984) adalah sebagai regularitas
(keteraturan) di dalam kejadian-kejadian atau objek-objek yang diarahkan oleh suatu tanda
atau simbol. Konsep-konsep di dalam satu peta konsep berkaitan antara satu dengan yang
lain oleh garis-garis penghubung yang mendefinisikan proposisi-proposisi hubungan-
hubungan sepsifik antara konsep-konsep tersebut. Misalnya “fotosintesis menghasilkan
oksigen”. Pemerolehan hubungan-hubungan itu adalah elemen kunci di dalam
pembelajaran bermakna. Oleh karena konsep-konsep itu merupakan penyajian-penyajian
internal dari sekelompok stimulus-stimulus, konsep-konsep itu tidak dapat diamati:
konsep-konsep harus disimpulkan dari perilaku. Selanjutnya Dahar (1989) menyatakan
konsep merupakan dasar berpikir, untuk belajar aturan-aturan, dan akhirnya untuk
memecahkan masalah. Dengan demikian konsep merupakan dasar bagi proses-proses
mental yang lebih tinggi untuk merumuskan prinsip-prinsip dan generalisasi-generalisasi
maupun untuk peme-cahan masalah.
Menurut Ausubel (1978) ada dua cara pemerolehan konsep, yaitu pemben-tukan
konsep dan asimilasi konsep. Pembentukan konsep disebut sebagai abstraksi dari
pengalaman-pengalaman yang melibatkan contoh-contoh konsep. Asimilasi konsep
merupakan cara untuk memperoleh konsep dengan menggunakan konsep lain yang
terbentuk. Selanjutnya Ausubel (dalam Hadikoswara, 1998) menjelaskan bahwa
pengembangan konsep akan berlangsung dengan baik, bila unsur-unsur yang paling
inklusif/umum dari suatu konsep diperkenalkan terlebih dahulu, diikuti oleh konsep-
konsep yang lebih khusus secara vertikal ke bawah atau disebut juga sebagai konsep-
konsep yang disusun dalam bentuk bagan yang mengandung beberapa proposisi yang
dikenal sebagai peta konsep. Susilo (2001) peta konsep adalah alat untuk mewakili adanya
keterkaitan secara bermakna antar konsep sehingga membentuk proposisi, proposisi yaitu
dua atau lebih konsep yang dihubungkan dengan garis yang diberi label (kata penghubung)
sehingga memiliki suatu arti. Nur (2000b) mengatakan peta konsep merupakan perwakilan
visual (melalui penglihatan) atau organisator grafik tentang hubungan-hubungan antara
konsep-konsep tertentu. Mardiningsih (2001) peta konsep adalah suatu strategi yang dapat
membantu para siswa melihat dan memahami keterkaitan antar konsep yang telah
dikuasainya. Novak dan Gowin, 1984; Feldsine, 1987; Fowler; 1987; Morira, 1987 (dalam
Sumaji, 1998) menyimpulkan bahwa peta konsep adalah suatu alat skematis untuk
merepresentasikan suatu rangkaian konsep yang digambarkan dalam suatu kerangka
proposisi yang mengungkapkan hubungan-hubungan yang berarti antara konsep-konsep
dan menekankan gagasan-gagasan pokok.
Peta konsep disusun hierarkhis, konsep yang lebih umum berada di atas map itu.
Miskonsepsi dapat diidentifikasi dengan melihat hubungan antara dua konsep apakah
benar atau tidak. Biasanya miskonsepsi dapat dilihat dalam proposisi yang salah dan tidak
adanya hubungan yang lengkap antar konsep (Novak dan Gowin, 1984). Dengan
membandingkan antara peta konsep awal, tangah, dan akhir, kita dapat mendeteksi
konsep-konsep mana yang kurang tepat dan sekaligus perubahan konsepnya. Untuk lebih
melihat mengapa siswa beranggapan seperti itu, ada baiknya peta konsep itu digabung
dengan wawancara klinis. Dalam wawancara itu siswa diminta mengungkapkan lebih
mendalam gagasan-gagasannya dan mengapa ia punya gagasan tersebut (Sumaji, 1998).
Karena peta konsep menunjukkan hubungan antara ide-ide, peta konsep dapat membuat
makna ide-ide dan istilah-istilah dan membantu memahami lebih baik apa yang dipelajari,
peta konsep dapat dihasilkan oleh siswa sendiri-sendiri, kelompok-kelompok kecil, atau
seluruh kelas (Nur, 2000b). Pemetaan konsep sangat efektif untuk membantu siswa belajar
bermakna, yaitu memahami hubungan logika antara konsep yang satu dengan konsep yang
lain (Mardiningsih, 2001). Guru hendaknya menyadari bahwa belajar yang efektif dan
bermakna itu dapat berlangsung bila hubungan-hubungan dapat dibangun antara konsep-
konsep baru dengan konsep-konsep yang telah terbentuk di dalam struktur kognitif siswa.
Dengan demikian penggunaan teknik pemetaan konsep dalam proses belajar-mengajar
biologi dikelas dapat mengurangi kepasifan siswa dan memacu peningkatan minat serta
partisipasi mereka dalam proses belajar mengajar yang bermakna. Bila siswa mengetahui
sebelumnya bahwa mereka akan terlibat dalam suatu kegiatan belajar seperti pemetaan
konsep, maka perhatiannya akan lebih besar dan menjadi lebih berminat untuk melibatkan
diri dalam proses belajarnya sendiri (Amin, 1990).
Peta konsep yang paling baik adalah yang dibuat sendiri oleh siswa. Di samping
itu peta konsep bersifat fleksibel, artinya dapat sederhana dan dapat pula kompleks, dapat
linier atau bercabang, dan dapat pula bersifat hirarkis. Maka pembelajaran dengan
membimbing siswa trampil membuat peta konsep diharapkan dapat meningkatkan hasil
pemahaman suatu konsep dengan baik, karena siswa aktif dalam kegiatan pembelajaran
dan guru berperan sebagai fasilitator atau moderator (Mardiningsih, 2001). Oleh karena
peta konsep itu mengungkapkan konsep-konsep dan proposisi-proposisi yang dimiliki
seseorang, maka guru dan siswa, demikian pula siswa dan siswa dapat mengadakan diskusi
untuk saling mengemukakan mengapa suatu hubungan proposisional itu baik atau sahih.
Dengan cara ini dapat diketahui kekurangan dalam mengaitkan konsep-konsep (Dahar,
1989).