Anda di halaman 1dari 19

Makalah MODEL PEMBELAJARAN

KOLABORASI (COLLABORATIVE
LEARNING)
 muhyiituayek@gmail.com  Friday, September 5, 2014

MODEL PEMBELAJARAN KOLABORASI


(COLLABORATIVE LEARNING)
A.    LATAR BELAKANG MUNCULNYA MODEL KOLABORASI
Pembelajaran kolaboratif dapat menyediakan peluang untuk menuju pada kesuksesan
praktek-praktek pembelajaran. Sebagai teknologi untuk pembelajaran (technology for
instruction), pembelajaran kolaboratif melibatkan partisipasi aktif para siswa dan
meminimisasi perbedaan-perbedaan antar individu. Pembelajaran kolaboratif telah
menambah momentum pendidikan formal dan informal dari dua kekuatan yang bertemu,
yaitu:
1. Realisasi praktek, bahwa hidup di luar kelas memerlukan aktivitas
kolaboratif dalam kehidupan di dunia nyata;
2. Menumbuhkan kesadaran berinteraksi sosial dalam upaya mewujudkan
pembelajaran bermakna.
Ide pembelajaran kolaboratif bermula dari perpsektif filosofis terhadap konsep belajar. Untuk
dapat belajar, seseorang harus memiliki pasangan. Pada tahun 1916, John Dewey, menulis
sebuah buku “Democracy and Education” yang isinya bahwa kelas merupakan cermin
masyarakat dan berfungsi sebagai laboratorium untuk belajar tentang kehidupan nyata.
Pemikiran Dewey yang utama tentang pendidikan (Jacob et al., 1996), adalah:
1. Siswa hendaknya aktif, learning by doing
2. Belajar hendaknya didasari motivasi intrinsik
3. Pengetahuan adalah berkembang, tidak bersifat tetap
4. Kegiatan belajar hendaknya sesuai dengan kebutuhan dan minat siswa
5. Pendidikan harus mencakup kegiatan belajar dengan prinsip saling
memahami dan saling menghormati satu sama lain, artinya prosedur
demokratis sangat penting.
6. Kegiatan belajar hendaknya berhubungan dengan dunia nyata dan
bertujuan mengembangkan dunia tersebut.
Metode kolaboratif didasarkan pada asumsi-asumsi mengenai siswa proses belajar
sebagai berikut (Smith & MacGregor, 1992):
1.      Belajar itu aktif dan konstruktif
Untuk mempelajari bahan pelajaran, siswa harus terlibat secara aktif dengan bahan itu. Siswa
perlu mengintegrasikan bahan baru ini dengan pengetahuan yang telah dimiliki sebelumnya.
Siswa membangun makna atau mencipta sesuatu yang baru yang terkait dengan bahan
pelajaran.
2.      Belajar itu bergantung konteks
Kegiatan pembelajaran menghadapkan siswa pada tugas atau masalah menantang yang terkait
dengan konteks yang sudah dikenal siswa. Siswa terlibat langsung dalam penyelesaian tugas
atau pemecahan masalah itu.
3.      Siswa itu beraneka latar belakang
Para siswa mempunyai perbedaan dalam banyak hal, seperti latarbelakang, gaya belajar,
pengalaman, dan aspirasi. Perbedaan-perbedaan itu diakui dan diterima dalam kegiatan
kerjasama, dan bahkan diperlukan untuk meningkatkan mutu pencapaian hasil bersama dalam
proses belajar.
4.      Belajar itu bersifat sosial
Proses belajar merupakan proses interaksi sosial yang di dalamnya siswa membangun makna
yang diterima bersama.
Menurut Piaget dan Vigotsky, Strategi pembelajaran kolaboratif didukung oleh adanya
tiga teori, yaitu:
1.      Teori Kognitif
Teori ini berkaitan dengan terjadinya pertukaran konsep antar anggota kelompok pada
pembelajaran kolaboratif sehingga dalam suatu kelompok akan terjadi proses transformasi
ilmu pengetahuan pada setiap anggota.
2.      Teori Konstruktivisme Sosial
Pada teori ini terlihat adanya interaksi sosial antar anggota yang akan membantu
perkembangan  individu dan meningkatkan sikap saling menghormati pendapat semu anggota
semua kelompok.
3.      Teori Motivasi
Teori ini teraplikasi dalam struktur pembelajaran kolaboratif karena pembelajaran tersebut
akan memberikan lingkungan yang kondusif bagi siswa untuk belajar, menambah keberanian
anggota untuk memberi pendapat dan menciptakan situasi saling memerlukan pada seluruh
anggota dalam kelompok.
Piaget dengan konsepnya “active learning” berpendapat bahwa para siswa belajar lebih baik
jika mereka berpikir secara kelompok, menurut  pikiran mereka maka oleh sebab itu
menjelaskan sebuah pekerjaan lebih baik menampilkan di depan keras. Piaget juga
berpendapat bila suatu kelompok aktif klompok tersebut akan melibatkan yang lain untuk
berpikir bersama, sehingga dalam belajar lebih menarik (Smith, B.L. and Mac Gregor, 2004).
B.     TUJUAN MODEL KOLABORASI
Dalam penerapan pembelajaran kolaborasi, terdapat pergeseran peran si belajar (MacGregor,
2005):
1. Dari pendengar, pengamat dan pencatat menjadi pemecah masalah
yang aktif, pemberi masukan dan suka diskusi.
2. Dari persiapan kelas dengan harapan yang rendah atau sedang menjadi
ke persiapan kelas dengan harapan yang tinggi.
3. Dari kehadiran pribadi atau individual dengan sedikit resiko atau
permasalahan menjadi kehadiran publik dengan banyak resiko dan
permasalahan.
4. Dari pilihan pribadi menjadi pilihan yang sesuai dengan harapan
komunitasnya.
5. Dari kompetisi antar teman sejawat menjadi kolaborasi antar teman
sejawat.
6. Dari tanggung jawab dan belajar mandiri, menjadi tanggung jawab
kelompok dan belajar saling ketergantungan.
7. Dahulu melihat guru dan teks sebagai sumber utama yang memiliki
otoritas dan sumber pengetahuan sekarang guru dan teks bukanlah satu-
satunya sumber belajar. Banyak sumber belajar lainnya yang dapat digali dari
komunitas kelompoknya.
Gokhale mendefinisikan bahwa “collaborative learning” mengacu pada metode pengajaran
di mana siswa dalam satu kelompok yang bervariasi tingkat kecakapannya bekerjasama
dalam kelompok kecil yang mengarah pada tujuan bersama. Pengertian kolaborasi sendiri
yaitu:
1. Keohane berpendapat bahwa kolaborasi adalah bekerja bersama
dengan yang lain, kerja sama, bekerja dalam begian satu team, dan di
dalamnya bercampur didalam satu kelompok menuju keberhasilan bersama.
2. Patel berpendapat bahwa kolaborasi adalah suatu proses saling
ketergantungan fungsional dalam mencoba untuk keterampilan koordinasi, to
coordinate skills, tools, and rewards.
Dari pengertian kolaborasi yang diungkapkan oleh berbagai ahli tersebut, dapat disimpulkan
bahwa pengertian belajar kolaborasi adalah suatu strategi pembelajaran di mana para siswa
dengan variasi yang bertingkat bekerjasama dalam kelompok kecil kearah satu tujuan. Dalam
kelompok ini para siswa saling membantu antara satu dengan yang lain. Jadi situasi belajar
kolaboratif ada unsur ketergantungan yang positif untuk mencapai kesuksesan.
Belajar kolaboratif menuntut adanya modifikasi tujuan pembelajaran dari yang semula
sekedar penyampaian informasi menjadi konstruksi pengetahuan oleh individu melalui
belajar kelompok. Dalam belajar kolaboratif, tidak ada perbedaan tugas untuk masing-masing
individu, melainkan tugas itu milik bersama dan diselesikan secara bersama tanpa
membedakan percakapan belajar siswa.
Dari uraian diatas, kita bisa mengetahui hal yang ditekankan dalam belajar kolaboratif yaitu
bagaimana cara agar siswa dalam aktivitas belajar kelompok terjadi adanya kerjasama,
interaksi, dan pertukaran informasi.
Selain itu, dapat disimpulkan bahwa tujuan dari pembelajaran kolaboratif adalah sebagai
berikut :
1. Memaksimalkan proses kerjasama yang berlangsung secara alamiah di
antara para siswa.
2. Menciptakan lingkungan pembelajaran yang berpusat pada siswa,
kontekstual, terintegrasi, dan bersuasana kerjasama.
3. Menghargai pentingnya keaslian, kontribusi, dan pengalaman siswa
dalam kaitannya dengan bahan pelajaran dan proses belajar.
4. Memberi kesempatan kepada siswa menjadi partisipan aktif dalam
proses belajar.
5. Mengembangkan berpikir kritis dan ketrampilan pemecahan masalah.
6. Mendorong eksplorasi bahan pelajaran yang melibatkan bermacam-
macam sudut pandang.
7. Menghargai pentingnya konteks sosial bagi proses belajar.
8. Menumbuhkan hubungan yang saling mendukung dan saling
menghargai di antara para siswa, dan di antara siswa dan guru.
9. Membangun semangat belajar sepanjang hayat.
C.    LANGKAH-LANGKAH PEMBELAJARAN KOLABORATIF
Berikut ini langkah-langkah pembelajaran kolaboratif.
1. Para siswa dalam kelompok menetapkan tujuan belajar dan membagi
tugas sendiri-sendiri.
2. Semua siswa dalam kelompok membaca, berdiskusi, dan menulis..
3. Kelompok kolaboratif bekerja secara bersinergi mengidentifikasi,
mendemontrasikan, meneliti, menganalisis, dan memformulasikan jawaban-
jawaban tugas atau masalah dalam LKS atau masalah yang ditemukan sendiri.
4. Setelah kelompok kolaboratif menyepakati hasil pemecahan masalah,
masing-masing siswa menulis laporan sendiri-sendiri secara lengkap.
5. Guru menunjuk salah satu kelompok secara acak (selanjutnya
diupayakan agar semua kelompok dapat giliran ke depan) untuk melakukan
presentasi hasil diskusi kelompok kolaboratifnya di depan kelas, siswa pada
kelompok lain mengamati, mencermati, membandingkan hasil presentasi
tersebut, dan menanggapi. Kegiatan ini dilakukan selama lebih kurang 20-30
menit.
6. Masing-masing siswa dalam kelompok kolaboratif melakukan
elaborasi, inferensi, dan revisi (bila diperlukan) terhadap laporan yang akan
dikumpulan.
7. Laporan masing-masing siswa terhadap tugas-tugas yang telah
dikumpulkan, disusun perkelompok kolaboratif.
8. Laporan siswa dikoreksi, dikomentari, dinilai, dikembalikan pada
pertemuan berikutnya, dan didiskusikan.
D.    MACAM-MACAM PEMBELAJARAN KOLABORATIF
Ada banyak macam pembelajaran kolaboratif yang pernah dikembangkan oleh para ahli
maupun praktisi pendidikan, teristimewa oleh para ahli Student Team Learning pada John
Hopkins University. Tetapi hanya sekitar sepuluh macam yang mendapatkan perhatian
secara luas, yaitu:
1. Learning Together
Dalam metode ini kelompok-kelompok sekelas beranggotakan siswa-siswa yang beragam
kemampuannya. Tiap kelompok bekerjasama untuk menyelesaikan tugas yang diberikan oleh
guru. Satu kelompok hanya menerima dan mengerjakan satu set lembar tugas. Penilaian
didasarkan pada hasil kerja kelompok.
2. Teams-Games-Tournament (TGT)
Setelah belajar bersama kelompoknya sendiri, para anggota suatu kelompok akan berlomba
dengan anggota kelompok lain sesuai dengan tingkat kemampuan masing-masing. Penilaian
didasarkan pada jumlah nilai yang diperoleh kelompok.
3. Group Investigation (GI)
Semua anggota kelompok dituntut untuk merencanakan suatu penelitian beserta perencanaan
pemecahan masalah yang dihadapi. Kelompok menentukan apa saja yang akan dikerjakan
dan siapa saja yang akan melaksanakannya berikut bagaimana perencanaan penyajiannya di
depan forum kelas. Penilaian didasarkan pada proses dan hasil kerja kelompok.
4. Academic-Constructive Controversy (AC)
Setiap anggota kelompok dituntut kemampuannya untuk berada dalam situasi konflik
intelektual yang dikembangkan berdasarkan hasil belajar masing-masing, baik bersama
anggota sekelompok maupun dengan anggota kelompok lain. Kegiatan pembelajaran ini
mengutamakan pencapaian dan pengembangan kualitas pemecahan masalah, pemikiran kritis,
pertimbangan, hubungan antarpribadi, kesehatan psikis dan keselarasan. Penilaian didasarkan
pada kemampuan setiap anggota maupun kelompok mempertahankan posisi yang dipilihnya.
5. Jigsaw Proscedure (JP)
Dalam bentuk pembelajaran ini, anggota suatu kelompok diberi tugas yang berbeda-beda
tentang suatu pokok bahasan. Agar setiap anggota dapat memahami keseluruhan pokok
bahasan, tes diberikan dengan materi yang menyeluruh. Penilaian didasarkan pada rata-rata
skor tes kelompok.
6. Student Team Achievement Divisions (STAD)
Para siswa dalam suatu kelas dibagi menjadi beberapa kelompok kecil. Anggota-anggota
dalam setiap kelompok saling belajar dan membelajarkan sesamanya. Fokusnya adalah
keberhasilan seorang akan berpengaruh terhadap keberhasilan kelompok dan demikian pula
keberhasilan kelompok akan berpengaruh terhadap keberhasilan individu siswa. Penilaian
didasarkan pada pencapaian hasil belajar individual maupun kelompok.
7. Complex Instruction (CI)
Metode pembelajaran ini menekankan pelaksanaan suatu proyek yang berorientasi pada
penemuan, khususnya dalam bidang sains, matematika dan pengetahuan sosial. Fokusnya
adalah menumbuhkembangkan ketertarikan semua anggota kelompok terhadap pokok
bahasan. Metode ini umumnya digunakan dalam pembelajaran yang
bersifat bilingual (menggunakan dua bahasa) dan di antara para siswa yang sangat heterogen.
Penilaian didasarkan pada proses dan hasil kerja kelompok.
8. Team Accelerated Instruction (TAI)
Bentuk pembelajaran ini merupakan kombinasi antara pembelajaran kooperatif/ kolaboratif
dengan pembelajaran individual. Secara bertahap, setiap anggota kelompok diberi soal-soal
yang harus mereka kerjakan sendiri terlebih dulu. Setelah itu dilaksanakan penilaian bersama-
sama dalam kelompok. Jika soal tahap pertama telah diselesaikan dengan benar, setiap siswa
mengerjakan soal-soal tahap berikutnya. Namun jika seorang siswa belum dapat
menyelesaikan soal tahap pertama dengan benar, ia harus menyelesaikan soal lain pada tahap
yang sama. Setiap tahapan soal disusun berdasarkan tingkat kesukaran soal. Penilaian
didasarkan pada hasil belajar individual maupun kelompok.
9. Cooperative Learning Stuctures (CLS)
Dalam pembelajaran ini setiap kelompok dibentuk dengan anggota dua siswa (berpasangan).
Seorang siswa bertindak sebagai tutor dan yang lain menjadi tutee. Tutor mengajukan
pertanyaan yang harus dijawab oleh tutee. Bila jawaban tutee benar, ia memperoleh poin atau
skor yang telah ditetapkan terlebih dulu. Dalam selang waktu yang juga telah ditetapkan
sebelumnya, kedua siswa yang saling berpasangan itu berganti peran.
10. Cooperative Integrated Reading and Composition (CIRC)
Model pembelajaran ini mirip dengan TAI. Sesuai namanya, model pembelajaran ini
menekankan pembelajaran membaca, menulis dan tata bahasa. Dalam pembelajaran ini, para
siswa saling menilai kemampuan membaca, menulis dan tata bahasa, baik secara tertulis
maupun lisan di dalam kelompoknya.
Keterampilan yang dibutuhkan oleh peserta yang berpartisipasi dalam model
pembelajaran kolaboratif adalah:
1. Pembentukan kelompok
2. Bekerja dalam satu kelompok
3. Pemecahan masalah kelompok
4. Manajemen perbedaan kelompok
Menurut Reid (2004) dalam menggembangkan collaborative learning ada lima tahapan
yang harus dilakukan, yaitu:
1.      Engagement
Pada tahap ini, pengajar melakukan penilaian terhadap kemampuan, minat, bakat dan
kecerdasan yang dimiliki oleh masing-masing siswa. Lalu, siswa dikelompokkan yang di
dalamnya terdapat siswa terpandai, siswa sedang, dan siswa yang rendah prestasinya.
2.      Exploration
Setelah dilakukan pengelompokkan, lalu pengajar mulai memberi tugas, misalnya dengan
memberi permasalahan agar dipecahkan oleh kelompok tersebut. Dengan masalah yang
diperoleh, semua anggota kelompok harus berusaha untuk menyumbangkan kemampuan
berupa ilmu, pendapat ataupun gagasannya.
3.      Transformation
Dari perbedaan kemampuan yang dimiliki oleh masing-masing siswa, lalu setiap anggota
saling bertukar pikiran dan melakukan diskusi kelompok. Dengan begitu, siswa yang semula
mempunyai prestasi rendah, lama kelamaan akan dapat menaikkan prestasinya karena adanya
proses transformasi dari siswa yang memiliki prestasi tinggi kepada siswa yang prestasinya
rendah.
4.      Presentation
Setelah selesai melakukan diskusi dan menyusun laporan, lalu setiap kelompok
mempresentasikan hasil diskusinya. Pada saat salah satu kelompok melakukan presentasi,
maka kelompok lain mengamati, mencermati, membandingkan hasil presentasi tersebut, dan
menanggapi.
5.      Reflection
Setelah selesai melakukan presentasi, lalu terjadi proses Tanya-jawab antar kelompok.
Kelompok yang melakukan presentasi akan menerima pertanyaan, tanggapan ataupun
sanggahan dari kelompok lain. Dengan pertanyaan yang diajukan oleh kelompok lain,
anggota kelompok harus bekerjasama secara kompak untuk menanggapi dengan baik.
Brandt (2004) menekankan adanya lima elemen dasar yang dibutuhkan agar
kerjasama dalam proses pembelajaran dapat sukses, yaitu :
1.      Possitive interdependence (saling ketergantungan positif)
Yaitu siswa harus percaya bahwa mereka adalah proses belajar bersama dan mereka peduli
pada belajar siswa yang lain. Dalam pembelajaran ini setiap siswa harus merasa bahwa ia
bergantung secara positif dan terikat dengan antarsesama anggota kelompoknya dengan
tanggung jawab menguasai bahan pelajaran dan memastikan bahwa semua anggota
kelompoknya pun menguasainya. Mereka merasa tidak akan sukses bila siswa lain juga tidak
sukses.
2.      Verbal, face to face interaction (interaksi langsung antarsiswa)
Yaitu hasil belajar yang terbaik dapat diperoleh dengan adanya komunikasi verbal antarsiswa
yang didukung oleh saling ketergantungan positif. Siswa harus saling berhadapan dan saling
membantu dalam pencapaian tujuan belajar. Siswa juga harus menjelaskan, berargumen,
elaborasi, dan terikat terhadap apa yang mereka pelajari sekarang untuk mengikat apa yang
mereka pelajari sebelumnya.
3.      Individual accountability (pertanggungjawaban individu)
Yaitu setiap kelompok harus realis bahwa mereka harus belajar. Agar dalam suatu kelompok
siswa dapat menyumbang, mendukung dan membantu satu sama lain, setiap siswa dituntut
harus menguasai materi yang dijadikan pokok bahasan. Dengan demikian setiap anggota
kelompok bertanggung jawab untuk mempelajari pokok bahasan dan bertanggung jawab pula
terhadap hasil belajar kelompok.
4.      Social skills (keterampilan berkolaborasi)
Yaitu keterampilan sosial siswa sangat penting dalam pembelajaran. Siswa dituntut
mempunyai keterampilan berkolaborasi, sehingga dalam kelompok tercipta interaksi yang
dinamis untuk saling belajar dan membelajarkan sebagai bagian dari proses belajar
kolaboratif. Siswa harus belajar dan diajar kepemimpian, komunikasi, kepercayaan,
membangun dan keterampilan dalam memecahkan konflik.
5.      Group processing (keefektifan proses kelompok)
Yaitu kelompok harus mampu menilai kebaikan apa yang mereka kerjakan secara bersama
dan bagaimana mereka dapat melakukan secara lebih baik. Siswa memproses keefektifan
kelompok belajarnya dengan cara menjelaskan tindakan mana yang dapat menyumbang
belajar dan mana yang tidak serta membuat keputusan-keputusan tindakan yang dapat
dilanjutkan atau yang perlu diubah.
Tiga pola pengelompokkan, yaitu:
1.      The two-person group (tutoring)
Yaitu satu orang ditugasi mengajar yang lain. Jadi, siswa dapat berperan sebagai pengajar
yang disebut tutor, sedangkan siswa yang lain disebut tutee.
2.      The small group (interactive recitation; discussion)
Adalah cara penyampaian baha pelajaran di mana guru memberi kesempatan kepada siswa
untuk mengumpulkan pendapat, membuat kesimpulan atau menyusun berbagai alternative
pemecahan masalah.
3.      Small or large group (recitation)
Yaitu suatu metode mengajar dan pengajar memberikan tugas untuk mempelajari sesuatu
kepada pembelajar, kemudian melaporkan hasilnya. Tugas-tugas yang diberikan oleh
pengajar dapat dilaksanakan di rumah, sekolah, perpustakaan, laboratorium, atau di tempat
lain.
Karakteristik dalam belajar kolaboratif adalah :
1. Siswa belajar dalam satu kelompok dan memiliki rasa ketergantungan
dalam proses belajar, penyelesaian tugas kelompok mengharuskan semua
anggota bekerja bersama.
2. Interaksi intensif secara tatap muka antar anggota kelompok.
3. Masing-masing siswa bertanggung jawab terhadap tugas yang telah
disepakati.
4. Siswa harus belajar dan memiliki ketrampilan komunikasi
interpesonal.
5. Peran guru sebagai mediator.
6. Adanya sharing pengetahuan dan interaksi antara guru dan siswa, atau
siswa dan siswa.
7. pengelompokkan secara heterogen.
E.     KELEBIHAN DAN KEKURANGAN
1.      Kelebihan
a. Siswa belajar bermusyawarah
b. Siswa belajar menghargai pendapat orang lain
c. Dapat mengembangkan cara berpikir kritis dan rasional
d. Dapat memupuk rasa kerja sama
e. Adanya persaingan yang sehat
2.      Kelemahan
a. Padapat serta pertanyaan siswa dapat menyimpang dari pokok persoalan.
b. Membutuhkan waktu cukup banyak.
c. Adanya sifat-sifat pribadi yang ingin menonjolkan diri atau sebaliknya yang lemah merasa
rendah diri dan selalu tergantung pada orang lain.
d. Kebulatan atau kesimpulan bahan kadang sukar dicapai.
F.     PENUTUP
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa collaborative learning merupakan salah satu
strategi pembelejaran yang digunakan untuk meningkatkan hasil belajar. Dalam strategi
tersebut lebih memfokuskan bagaimana memaksimalkan partisipasi dan keaktifan dalam
pembelajaran serta bagaimana siswa dapat mengkonstruksi sendiri ilmu pengetahuan untuk
menjadi miliknya. Dalam strategi ini, peran guru cenderung menjadi fasilitator, motivator,
dan membimbing menemukan alternatif pemencahan bila terjadi siswa mengalami kesulitan
belajar.
DAFTAR PUSTAKA
Hastuti, Sri. 1996. Strategi Belajar Mengajar Bahasa Indonesia. Jakarta : Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah Bagian
Proyek Penataran Guru Slip Setara D-III.
Parwoto. 2007. Strategi Pembelajaran Anak Berkebutuhan Khusus. Jakarta : Departemen
Pendidikan Nasional Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Direktorat Ketenagaan.
http://ruhcitra.wordpress.com/2008/08/09/pembelajaran-kolaboratif/
http://pembelajaran-kolaborasi.web.id/pk.php
http://garduguru.blogspot.com/2008/12/metode-kolaboratif-untuk-pembelajaran.html

TYPE STAD, TGT DAN JIGSAW II


Telah dikenal sedikitnya ada 29 tipe model CL, ada Role Playing, Problem Based
Intruction (PBI), Course Review Horay (Bingo), Mind Mapping, Student Teams
Achievement Divisions (STAD), Team Game Tournament (TGT), Jigsaw II, dan
lainnya, Dalam makalah ini yang akan dibahas hanya tiga tipe model CL terakhir
tersebut.
1. A. Model pembelajaran CL tipe STAD
Menurut Robert E Slavin dan kawan-kawan , model CL tipe STAD  terdiri dari 5 komponen (fase) , yakni :
1. Presentasi Kelas (Class presentation)
2. Pembentukan tim (Teams)
3. Kuis Individu (Individual Quizzes)
4. Perubahan skor individu (Individual improvement score)
5. Pengakuan tim (Team recognition)
Model ini sangat cocok untuk menyajikan materi pembelajaran terstruktur, yang terdiri dari beberapa
bagian dan saling berhubungan antar bagian-nya. Misalnya seorang guru akan menyajikan pokok materi/
bahasan yang tertruktur terdiri atas 4 sub pokok materi/ bahasan A, B, C dan D. Artinya, sebelum dapat
mempelajari sub B, siswa harus menguasai sub A, sebelum mempelajari sub c, siswa harus sudah
menguasai sub A dan sub B, demikian seterusnya untuk sub D.
Langkah-langkah :
Fase 1 : Guru presentasi di depan kelas, menyampaikan tujuan pembelajaran dan memberikan informasi
tentang materi yang akan dipelajari, misalnya konsep, materi secara garis besar dan prosedur kegiatan
(eksperimen).
Guru juga perlu menjelaskan tata cara kerjasama dalam kelompok, terutama kepada kelompok atau kelas
yang belum terbiasa menjalankan model CL.
Fase 2 : Guru membentuk kelompok, berdasarkan kemampuan (prestasi sebelumnya), jenis kelamin, ras
dan etnik. Jumlah anggota tiap kelompok antara 3-5 orang siswa
Fase 3 : Bekerja dalam kelompok, Siswa belajar bersama, diskusi, menjawab soal atau mengerjakan
eksperimen sesuai LKS yang diberikan guru
Fase 4 : Scafolding. Guru melakukan bimbingan kepada kelompok atau kelas
Fase 5 : Validation. Guru mengadakan validasi hasil kerja kelompok dan memberikan kesimpulan hasil
tugas kelompok
Fase 6 : Quizzes. Guru mengadakan kuis secara individual. Hasil nilai yang diperoleh tiap anggota,
dikumpulkan, kemudian dirata-rata dalam kelompok, untuk menentukan predikat kelompok. Dalam
menjawab quiz, anggota tidak boleh saling membantu. Perubahan skor awal (base score) individu dengan 
skor hasil quiz disebut skor perkembangan. Penghitungan skor perkembangan sebagai berikut :
Tabel 1 :  Nilai Penghargaan Kelompok (Penghitungan skor Perkembangan)
NO SKOR TES NILAI PERKEMBANGAN
1. Lebih dari 20 poin di atas skor awal 30
2 Sama atau hingga 10 poin di atas skor awal 20
3 Sepuluh hingga satu poin di bawah skor awal 10
4 Lebih dari 10 poin di bawah skor awal 5
Fase 7 : Penghargaan kelompok : Berdasarkan skor penghitungan yang diperoleh anggota, dirata-rata.
Hasilnya untuk menentu-kan predikat tim (lihat Tabel 2)
Tabel  2 : Perolehan Skor dan Predikat Tim Tipe STAD dan Jigsaw
NO PREDIKAT TIM RATA-RATA SKOR
1 Super Team 25 – 30
2 Great Team 20 – 24
3 Good team 15 – 19
:
Fase 8 : Evaluasi oleh guru
Selamat mencoba !
1. Persiapan : Lembar Kerja Siswa (LKS)
2. Persiapan Lembar Pertanyaan Quiz dan lembar jawab.
3. Sediakan Tabel nilai Konversi perubahan skor awal dengan skor hasil kuis
individu
4. Sediakan tanda penghargaan/ sertifikat sederhana
5. Validasi kelas, bimbingan terhadap kelompok dan individu
1. Model pembelajaran CL tipe Jigsaw II :
Model CL tipe Jigsaw II  ini dikenal juga Kelompok Ahli. Model ini dapat diterapkan pada materi
pembelajaran yang tak berstruktur (tidak saling berhubungan antar sub-sub materi).
Prosedur pelaksanaan Jigsaw mirip dengan STAD, cara menentukan skor individu dalam kelompok (nilai
perkembangan) dan kriteria penghargaan kelompok sama dengan tipe STAD.
Menurut Slavin (1998), tipe Jigsaw terdiri 5 fase. Pembagian kelompok berdasarkan kriteria prestasi
individu (dari ulangan sebelumnya atau  pretest), gender, etnik dan ras. Tiap kelompok beranggotakan 2 –
4 orang. Kelompok Expert , jumlahnya disesuaikan dengan pokok bahasan materi yang dipelajari. Contoh,
suatu topik/ pokok materi terdiri 4 sub pokok materi (pokok bahasan), maka kelompok expert jumlahnya
juga 4.
Masing-masing kelompok expert beranggotakan wakil dari sejumlah kelompok belajar siswa.
Contoh : Suatu kelas terdiri dari 40 siswa, maka dapat dibentuk menjadi 10 kelompok (Kelompok 1, 2, 3
……10). Tiap kelompok terdiri 4 orang siswa. Setelah kelompok belajar terbentuk, guru membagikan LKS
untuk dipela-jari bersama. Pada kegiatan ini, oleh Slavin disebut Fase 1 (Reading). Selanjutnya, anggota
masing-masing kelompok tersebut berunding  mem-bagi tugas untuk masuk ke kelompok expert. 
Misalnya, pokok materi ter-diri dari 4 sub pokok materi/ bahasan, maka dapat dibentuk sejumlah 4
kelompok expert (Expert A, B, C, D). Kemudian kelompok belajar tersebut berunding untuk menentukan
satu orang siswa sebagai wakil dari kelom-pok belajar bergabung ke tiap kelompok expert A, B, C dan D,
sesuai hasil perundingan. Jadi dalam kelompok expert masing-masing beranggotakan 10 orang siswa. Fase
2 (Expert Group Discussions) : Di dalam kelompok expert, siswa berdiskusi membahas dan memecahkan
masalah atau soal yang terdapat dalam LKS. Setelah diskusi kelompok expert selesai, semua anggota
kelompok expert kembali ke kelompok belajar semula. Fase 3 (Team reports) : Siswa yang ditunjuk
sebagai wakil kelompok belajar di kelompok expert menjelaskan kepada teman-temannya se kelompok.
Demikian juga teman dari expert yang lain menjelaskan kepada teman- teman sekelompok tentang apa
yang dibahas dan dikerjakan selama di dalam kelompok expert. Pada saat diskusi expert inilah, guru dapat
mem-berikan bimbingan, validasi materi dan jawaban siswa dari masing-masing expert. Fase
berikutnya Fase 4 (Assessment) : Guru mengadakan kuis yang harus dikerjakan oleh siswa secara
individual. Hasilnya berupa nilai individu anggota kelompok. Fase 5 (Team recognition) : Guru bersama
siswa menghitung perubahan nilai awal (base score) siswa dengan nilai hasil kuis secara individual
menggunakan Tabel 1 (lihat Tabel Nilai Peng-hargaan Kelompok STAD dan Jigsaw). Kemudian nilai
semua siswa ang-gota masing-masing kelompok dijumlahkan dan dirata-rata, maka akan diperoleh nilai
antara 5 – 30 sebagai nilai kelompok. Untuk menentukan predikat kelompok, gunakan Tabel 2 
Penghargaan Kelompok, caranya sama seperti penghargaan kelompok pada model tipe STAD.
Persiapan Guru :
1. Menyiapkan bacaan (LKS)
2. Kalau kegiatan expert berupa praktik atau demonstrasi, maka guru menyiapkan
alat/ bahan
3. Menyiapkan instrumen untuk kuis
4. Menyiapkan tabel nilai pengamatan psikomotor dan sikap.
5. Menyiapkan tabel rekapitulasi nilai individu dikonversi ke nilai penghar-gaan
kelompok (lihat lampiran)
6. Menyiapkan tabel rekapitulasi rerata nilai kelompok
7. Menyediakan tanda penghargaan/ sertifikat untuk kelompok
Silahkan mencoba, semoga sukses !
1. C. Model Pembelajaran CL Tipe TGT
Model pembelajaran kooperatif  melalui suatu turnamen, lebih banyak dipilih karena waktu relatif lebih
singkat dan cara melakukannya relatif lebin mudah dibanding STAD dan Jigsaw. Untuk kelas-kelas di
Indonesia, fase-fase TGT dikembangkan dari empat menjadi delapan, sebagai berikut :
Fase 1 : Penjelasan guru (Teacher presentation).
Pada fase ini, guru menyampaikan tujuan pembelajaran, pokok materi dan penjelasan singkat tentang LKS
yang dibagikan kepada kelom-pok.
Fase 2 : Pembagian kelompok
Guru membagi kelas menjadi kelompok-kelompok berdasarkan krite-ria kemampuan (prestasi) siswa dari
pretest atau ulangan harian sebelumnya, jenis kelamin (gender), etnik dan ras. Tiap kelompok
beranggotakan   2 – 4 orang (Slavin, 1998). Jumlah anggota kelom-pok dapat juga dikembangkan menjadi
5 orang.
Fase 3 : Kerja kelompok (Team study)
Setelah menerima LKS dari guru, siswa bekerjasama dalam kelom-pok masing-masing, diskusi, praktikum
atau menjawab soal-soal pada LKS.
Fase 4 : Bimbingan kelompok/ kelas (Scafolding)
Guru membimbing kerja kelompok, mengamati psikomotorik dan sikap siswa secara individual dalam
kerja kelompok
Fase 5 : Tournament (Quizzes)
Guru membagikan lembar soal tournament (quizzes). Jumlah soal turnamen antara 10 – 20 butir soal.
Aturan main tournamen model TGT adalah sebagai berikut :
1. Setiap kelompok menentukan salah satu anggota sebagai Reader (pembaca soal
kuis turnamen)  pertama dan pembaca kunci jawaban. Pembaca soal ke dua, ke tiga dan
seterusnya digilir berurutan searah dengan putaran jarum jam. Pembaca kunci jawaban
adalah siswa yang posisi duduknya di sebelah kanan reader.
2. Kesempatan pertama menjawab soal kuis turnamen diberikan kepada reader,
selanjutnya giliran menjawab bagi anggota kelom-pok yang lain searah putaran jarum
jam.
3. Jika semua anggota kelompok menjawab benar,  siswa yang memperoleh point
adalah siswa pertama yang menjawab benar.
4. Turnamen berlanjut, sampai semua soal sudah dibacakan. Kemu-dian perolehan
skor masing-masing anggota dihitung berdasarkan jumlah jawaban benar sekaligus untuk
perhitungan skor kelompok
Fase 6 : Validation
Guru melakukan validasi, penjelasan tentang soal dan kunci jawaban kuis. Tujuannya adalah memperkuat
pemahaman siswa terhadap materi pem-belajaran.
Fase 7 : Penghargaan kelompok (Team recognition)
Setelah diperoleh skor tiap anggota pada masing-masing kelompok, kemudian diadakan rekapitulasi nilai
dan ditentukan skor kelompok menggunakan Tabel 3 ( Penghitungan skor kelompok) di bawah ini :
Skor kelompok pada model TGT minimal 190 dan skor maksimal 210 (untuk pemain 5orang).
Tabel 3 : Penghitungan Skor Kelompok
Jumlah Penghitungan skor kelompok
Anggota
2 60    40  20    40
3 60  50  60  40  40  50  30  40
20  20  30  40
4 60  50  60  60  50  60  40  50  40  50  40  40  50  30  40  50
30  30  40  30  50  30  40  30
20  20  20  30  20  30  40  30
5 60 50 60 60 60 50 60 60 40 50 40 50 60 50 50 50
50 50 40 50 50 50 40 50 40 40 40 50 40 50 50 50
40 40 40 30 40 50 40 30 40 40 40 40 40 30 50 40
30 30 30 30 30 30 40 30 40 40 40 40 30 30 30 30
20 20 20 20 30 20 20 30 30 40 40 20 30 30 30 30

Untuk menentukan penghargaan kelompok, menggunakan Tabel 4 berdasarkan skor rata-rata kelompok.
Tabel 4 : Skor Penghargaan Kelompok  Tipe TGT
NO PEROLEHAN SKOR RATA-RATA PREDIKAT
1 45 atau lebih Super Team
2 40 – 44 Great Team
3 30 – 39 Good Team
Fase 8 : Evaluasi oleh guru
PERSIAPAN GURU :
1. Lembar Kerja Siswa (LKS)
2. Lembar Soal Kuis (atau berupa kartu soal)
3. Lembar kunci jawaban
4. Lembar format rekap skor individu
5. Lembar format rekap skor kelompok
6. Alat dan bahan praktik (jika ada kegiatan eksperimen/ demonstrasi)
SELAMAT MENCOBA, SEMOGA BERHASIL !
III.    KESIMPULAN DAN SARAN
1. Kesimpulan :
1. Model-model Cooperative Learning dapat meningkatkan
aktivitas siswa dalam proses pembelajaran
2. Model-model Cooperative Learning dapat berjalan efektif,
apabila guru mampu membuat perencanaan pembelajaran yang baik,
meliputi persiap an bahan ajar, skenario kegiatan pembelajaran dan
pengaturan kelompok secara konsekuen.
3. Penentuan tipe model Cooperative Learning yang efektif harus
disesuai-kan dengan struktur materi pembelajaran/ pokok bahasan
2. Saran :
1. Siswa perlu dikondisikan belajar mandiri secara kelompok
melalui kerja-sama
2. Perlu dilakukan suatu penelitian tindakan kelas (action research)
tentang pengaruh tipe model pembelajaran cooperative learning terhadap
peningkatan prestasi belajar siswa
 
 
 
 
 
 
DAFTAR PUSTAKA
Direktorat Pendidikan Menengah Umum, 2002, Pendekatan Kontekstual (Contexrual Teaching and
Learning (CTL), Dit.PLP, Ditjen Dikdasmen, Jakarta
Dryden, Gordon & Vos, Jeannette, 2003, The Learning Revolution (Terjemahan) Cetakan VII, Penerbit
Kaifa, Bandung
Meier, Dave, 2003, The Accelerated Learning (Terjemahan), Kaifa, Bandung
Nasution S, 2000, Berbagai Pendekatan dalam Proses Belajar Mengajar, Cetakan ke tujuh, PT Bumi
Aksara, Bandung
SEAMEO-RECSAM, 2003, Model-model Cooperative Learning (Hand-out) Sosialisasi Hasil-hasil
Pelatihan Guru Matematika dan IPA SMA di RECSAM, Malaysia
Slavin, Robert E, 1995, Cooperative Learning Theory, Research and Practise, Allyn & Bacon A simon &
Schuster Company, Second Edition, Singapore
Zamroni, 2003, Pendidikan untuk Demokrasi, Bigraf Publishing, Yogyakarta

 
 
Collaborative learning-work
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Collaborative learning atau pembelajaran kolaboratif adalah situasi dimana terdapat dua atau lebih
orang belajar atau berusaha untuk belajar sesuatu secara bersama-sama. [1] Tidak seperti belajar sendirian,
orang yang terlibat dalam collaborative learning memanfaatkan sumber daya dan keterampilan satu sama
lain (meminta informasi satu sama lain, mengevaluasi ide-ide satu sama lain, memantau pekerjaan satu
sama lain, dll).[2][3] Lebih khusus, collaborative learning didasarkan pada model di mana pengetahuan dapat
dibuat dalam suatu populasi di mana anggotanya secara aktif berinteraksi dengan berbagi pengalaman dan
mengambil peran asimetri (berbeda).[4] Dengan kata lain, collaborative learning mengacu pada lingkungan
dan metodologi kegiatan peserta didik melakukan tugas umum di mana setiap individu tergantung dan
bertanggung jawab satu sama lain. Hl ini juga termasuk percakapan dengan tatap muka  [5] dan diskusi
dengan komputer (forum online, chat rooms, dll.). [6] Metode untuk memeriksa proses collaborative learning
meliputi analisis percakapan dan analisis wacana statistik. [7]
Collaborative learning ini sangat berakar dalam pandangan Vygotsky bahwa ada sebuah sifat sosial yang
melekat pada pembelajaran, yang tercermin melalui teorinya tentang zona pengembangan proksimal.
Sering kali, pembelajaran kolaboratif digunakan sebagai istilah umum untuk berbagai pendekatan dalam
pendidikan itu. melibatkan upaya intelektual bersama oleh siswa atau siswa dan guru. Dengan demikian,
pembelajaran kolaboratif umumnya berlangsung ketika kelompok siswa bekerja sama untuk mencari
pengertian, makna, atau solusi untuk membuat sebuah artefak atau produk pembelajaran mereka. Lebih
jauh, pembelajaran kolaboratif yang mengubah hubungan tradisional murid-guru di kelas ini,
menghasilkan kontroversi mengenai apakah paradigma ini lebih bermanfaat daripada merugikan. Kegiatan
belajar secara kolaboratif dapat mencakup penulisan kolaboratif, proyek kelompok, pemecahan masalah
secara bersama, debat, studi tim, dan kegiatan lainnya. Pendekatan ini terkait erat dengan pembelajaran
kooperatif.

Daftar isi
 1 Contoh Pembelajaran Kolaboratif
 2 Collaborative Scripts
 2.1 Conceptual Components of Scripts
 3 Lihat Juga
 4 Referensi
Contoh Pembelajaran Kolaboratif
 Collaborative Networked Learning adalah suatu bentuk pembelajaran kolaboratif untuk para
pembelajar dewasa mandiri. Menurut Findley (1987) " Collaborative Networked Learning (CNL)
pembelajaran yang terjadi melalui dialog elektronik antara co-learner, leaner (peserta didik), dan para
pakar yang masing-masing memegang kendali atas dirinya sendiri. Peserta didik memiliki sebuah tujuan
bersama, tergantung pada satu sama lain dan bertanggung jawab kepada satu sama lain untuk keberhasilan
mereka. CNL terjadi dalam kelompok interaktif di mana peserta secara aktif berkomunikasi dan
bernegosiasi makna satu sama lain dalam kerangka kontekstual, dapat difasilitasi oleh seorang mentor,
pelatih online atau pemimpin kelompok. " Pada 1980-an Charles almarhum Dr A. Findley memimpin
proyek Collaborative Networked Learning di Digital Equipment Corporation di Pantai Timur Amerika
Serikat. Pada proyek Findley, dilakukan analisis kecenderungan dan dikembangkan prototipe dari
lingkungan belajar kolaboratif, yang menjadi dasar untuk mereka lebih lanjut penelitian dan
pengembangan apa yang mereka sebut Collaborative Networked Learning (CNL),
 Computer-supported collaborative learning (CSCL) merupakan paradigma pendidikan yang relatif
baru dalam pembelajaran kolaboratif yang menggunakan teknologi dalam lingkungan pembelajaran untuk
membantu menengahi dan mendukung interaksi kelompok dalam konteks pembelajaran kolaboratif.
Sistem CSCL menggunakan teknologi untuk mengontrol dan memonitor interaksi, untuk mengatur tugas,
aturan, peran, dan untuk menengahi perolehan pengetahuan baru. Baru-baru ini, ada sebuah studi yang
menunjukkan bahwa penggunaan robot di dalam kelas untuk meningkatkan pembelajaran kolaboratif
menyebabkan peningkatan efektivitas belajar dari kegiatan dan peningkatan motivasi siswa. Para peneliti
dan praktisi di beberapa bidang, termasuk ilmu kognitif, sosiologi, teknik komputer telah mulai
menyelidiki CSCL. Dengan demikian, bahkan CSCL dapat menjadi bidang trans-disiplin yang baru.
 Learning Management Systems adalah konteks yang memberikan makna pembelajaran kolaboratif
tertentu. Dalam konteks ini, pembelajaran kolaboratif mengacu pada kumpulan alat yang peserta didik
dapat digunakan untuk membantu, atau dibantu oleh orang lain. Alat tersebut termasuk ruang kelas virtual
(yaitu ruang kelas yang didistribusikan secara geografis dan dihubungkan oleh koneksi jaringan secara
audio-visual), chatting, thread diskusi, application sharing (misalnya seorang rekan proyek spreadsheet
pada layar rekan lain di seluruh link jaringan untuk tujuan kolaborasi), dan lain sebagainya.
 Collaborative Learning Development memungkinkan pengembang sistem pembelajaran untuk
bekerja sebagai sebuah jaringan. Secara khusus hal ini relevan dengan e-learning di mana pengembang
dapat berbagi dan membangun pengetahuan di program studi dalam lingkungan kolaboratif. Pengetahuan
tentang subjek tunggal dapat ditarik bersama-sama dari lokasi yang berbeda secara geografis menggunakan
sistem perangkat lunak. Contoh sistem ini adalah Content Point dari Atlantic Link.
 Collaborative Learning in Virtual Worlds adalah Virtual Worlds yang menurut sifatnya
diharapkan memberikan kesempatan yang sangat baik untuk pembelajaran kolaboratif. Pertama-tama
pembelajaran di dunia virtual terbatas pada pertemuan kelas dan kuliah, mirip dengan rekan-rekan mereka
dalam kehidupan nyata. Sekarang pembelajaran kolaboratif berkembang sebagai perusahaan yang mulai
memanfaatkan fitur unik yang ditawarkan oleh ruang dunia maya - seperti kemampuan untuk merekam
dan memetakan aliran ide, menggunakan model 3D dan virtual worlds mind mapping tool.
 Pembelajaran kolaboratif di lingkaran tesisdalam pendidikan tinggi adalah contoh lain dari orang-
orang yang belajar bersama. Dalam lingkaran tesis, sejumlah mahasiswa bekerja sama dengan setidaknya
satu profesor atau dosen, untuk bersama-sama melatih dan mengawasi pekerjaan individu pada akhir
proyek (sarjana atau magister misalnya). Siswa sering beralih antara peran mereka sebagai co-supervisor
dari siswa lain dan tesis mereka sendiri (termasuk menerima pendapat dari siswa lain).
Collaborative Scripts
Collaborative scripts adalah pembuat struktur dari collaborative learning dengan membuat peran dan
menengahi interaksi demi fleksibilitas dalam dialog dan aktivitas. Collaborative scripts digunakan pada
semua kasus collaborative learning yang beberapa diantaranya lebih cocok untuk face-to-face collaborative
learning (biasanya lebih fleksibel) dan beberapa yang lain ditujukan untuk computer-supported
collaborative learning (biasanya lebih banyak batasannya). Sebagai tambahan, terdapat dua tipe dari script:
macro-script dan micro-script. Macro-script ditujukan pada pembuatan situasi dimana interaksi yang
diharapkan akan terjadi. Micro-script dititikberatkan pada aktivitas pembelajar individual.

Conceptual Components of Scripts


 Tujuan: membantu peserta (peserta didik dan guru yaitu) bekerja sama untuk terlibat dalam
proses kolaborasi yang efisien untuk mencapai tujuan tertentu.
 Aktivitas: Identifikasi kegiatan, dan kendala yang mungkin, untuk menyelesaikan kegiatan.
Kegiatan dapat mencakup meringkas, mempertanyakan, memberikan argumen, mengajukan sebuah klaim,
dll
 Sequencing: Menjelaskan harapan dari para peserta dengan menetapkan kegiatan yang harus
dilakukan dan dalam rangka apa.
 Pendistribusian Peran: Memperjelas peran individu diasumsikan akan membuat pada seluruh
aktivitas, peserta terdorong untuk mengadopsi dan mempertimbangkan berbagai perspektif.
 Tipe Representasi: representasi tekstual, grafis, atau instruksi oral secara eksplisit disajikan
kepada para peserta.

    

Anda mungkin juga menyukai