Anda di halaman 1dari 15

ISLAM DALAM DISIPLIN ILMU / IDI

“Integrasi Ilmu dalam Konsep Berpikir”

Disusun Oleh:

MUHAMAD CHAIRUDIN
1501105077

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN MATEMATIKA


FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PROF. DR. HAMKA
JAKARTA, 2018
Integrasi Ilmu dalam Konsep Berpikir

A. Konsep dan Metode Berpikir


filsafat dapat difahami sebagai suatu cara berpikir mendalam, berpikir sistematis,
berpikir logik (bebas tidak terikat pada tradisi, dogma, serta agama) dan berpikir
menyeluruh (tidak dibatasi hanya pada satu kepentingan kelompok, dan tidak parsial,
tetapi untuk seluruhnya. Berfilsafat berarti berpikir yang tidak hanya dari satu sudut
pandang, tidak parsial (berpikir holistik, yakni melihat sesuatu dari berbagai segi, berpikir
konsekuen, tidak tanggung-tanggung, liar, terus menerus, konsisten, melepaskan diri dari
ikatan simpul-simpul yang bisa jadi sementara ini ada dimasyarakat diusut sampai ke akar
persoalan melalui kemampuan akal, sehingga hasil pemikirannya dapat diberlakukan
kepada persoalan yang umum/universal termasuk persoalan dakwah.
Sebagaimana dimaklumi bahwa filsafat pada umumnya bersumber pada akal secara
utuh. Sedangkan filsafat dakwah, yang menjadi sumber utamanya adalah al-Qur'an. Akal
merupakan alat untuk menggali/mengkaji ayat-ayat Allah, baik ayat kauniyah maupun
ayat Quraniyah. Al-Qur'an adalah kitab dakwah juga merupakan pesan dakwah Allah
kepada Nabi Muhammad Saw, dan ummat manusia, sekaligus merupakan sumber utama
yang menjelaskan mengenai dakwah itu sendiri.
Prinsip dasar berpikir dalam filsafat dakwah yang dapat diturunkan dari al-Qur'an, antara
lain, adalah:
1. Berpegang teguh pada etika ulul al-bab
Dalam surat Ali Imran ayat 190-191 terkandung intinya bahwa orang-orang
yang mampu menggali segala potensi yang ada di alam ini adalah mereka yang di
sebut Ulul Albab. Sosok ulul al- bab adalah orang yang mampu menggunakan potensi
pikir dan potensi dzikir secara tawazun (seimbang). Berpegang pada etika ulul al-bab
tersebut dapat diturunkan prinsip-prinsip dasar berpikir
2. Memikirkan, memahami, menghayati dan mengambil pelajaran dari ayat-ayat Allah
sebagai objek pikir, baik ayat kauniyah dan segala hukumnya (realitas alam dan
hukum alam) maupun ayat-ayat Qur'aniyah melalui petunjuk dan isyarat ayat-ayat al -
Qur'an tentang "aql yang terdiri dari 49 kali penyebutan dalam lima bentuk kata kerja:
(a) 'aqaluh; (b) ta'qilun; (c) na'qilu ; (d) ya'qiluha; (d) ya'qilun.
Berpikir itu sangat penting, apalagi mengetahui metodologi yang akan menjadi
penuntun ke arah berpikir benar dalam menegakkan kebenaran yang sebenar-benarnya.
Langkah-langkah berpikir filosofis berdasarkan al-Qur'an dapat dirumuskan prinsip-
prinsip sebagai berikut:
1) Karena kedudukan dan peranan berpikir begitu penting, al-Qur'an tidak saja me-
merintahkan manusia untuk menggunakan akalnya, tetapi juga memberikan pedoman,
langkah-langkah metodologis serta teknis penggunaan akal dengan metode dan teknis
yang lurus dan meluruskan ke arah pencapaian kebenaran yang sebenarnya (haq).
Bahkan, jika kandungan al-Qur'an diteliti dan dikaji akan kita temukan paling tidak
langkah-langkah sebagai berikut:
a) Al-Taharrur min quyudi al-'Urf wat-Takholush 'an Aghlalit-taqlid.
Yaitu upaya membebaskan pemikiran dari belenggu taqlid serta menggunakan
kebebasan berpikir sesuai dengan prinsip-prinsip pengetahuan. Langkah ini
disebut metode ilmiah praktis (minhaz 'ilm amali). Karena itu, al-Qur'an
mengecam keras terhadap oran-orang yang mengatakan: "Kamu hanyalah
mengikuti apa-apa yang telah kami dapatkan dari nenek moyang kami, dengan
kecaman: (apakah mereka akan mengakui juga), walaupun nenek moyang mereka
itu tidak mengetahui sesuatu apapun dan tidak mendapat petunjuk". (QS:2:170).
b) Al-Ta'amul wa al Musyahadah.
Yaitu langkah meditasi (merenung) dan pencarian bukti atau data ilmiah
empirik. Ini berarti tidak menerima pendapat yang tidak dibarengi pembuktian
praktis secara logis. (QS:al-Anam:64; QS:az-Zukhruf: 19)
c) Al-Bahts wa al-Muwajanah wa al-Istiqra
Yaitu langkah analisis, pertimbangan, dan induksi. Langkah ini merupakan
kegiatan penalaran dengan berpedoman pada prinsip-prinsip penalaran untuk
menemukan kebenaran filosofis dari data-data empirik yang ditemukan. (QS: Al-
A'raf:185; Adz-Dzariyat 21).
d) Al-Hukm mabni alad-Dalil wa al-Burhan.
Yaitu langkah membuat keputusan ilmiah yang didasarkan atas argumen dan
bukti ilmiah. Langkah ini menolak pola pemikiran yang berdasar pada perasaan
dan hawa nafsu serta subjektivitas, karena pada kenyataannya akan membutuhkan
pengkajian yang bersifat umum dan terkadang berkaitan erat dengan hukum alam
(sunatullah) apapun kesimpulannya (QS: An-Najmu:23;Shod:26 Al-Qoshosh: 50).
e) Al-Qur'an memberikan tuntunan agar dalam kegiatan ilmiah digunakan tiga
potensi instrumen untuk memperoleh ilmu pengetahun secara terpadu (QS:16:78).
Ketiga instrumen itu adalah: (1) al-khowas al-maehaqoh (= ketajaman indra); (2)
Al -'aql al-bahis al-mundlam); (3) al-wijdan naqy al-mulham (=kejernihan nurani
yang terilhami) .
2) Kaidah-kaidah penggunaan akal
Agar terhindar dari kesalahan dan kekeliruan dalam berpikir, al-Qur'an
meletakkan kaidah-kaidah metodologis dalam menggunakan akal. Kaidah-kaidah itu
antara lain sebagai berikut:
a) 'Adam tajawuz al-had (Tidak melampau batas)
b) Al-taqdir wat-taqrir (Membuat perkiraan dan penetapan)
c) Takhsis qobl al-bahts (membatasi persoalan sebelum melakukan
penelitian).
d) 'Adam al-mukabarah wa al-'inad (Tidak sombong dan tidak menentang
kebenaran).
e) Al-muraja'ah wa al-mu'awadah (melakukan chek dan rechek).
f) Al-Istimsaq bi al-haq (berpegang teguh pada kebenaran)
g) Al-Bu'd 'an al-ghurur (menjauhkan diri dari tipu daya)
3) Mengenai al-haq (kebenaran hakiki) yang wajib dipertahankan dan diperjuangkan
dalam kegiatan berpikir filosofis.
4) Manusia mesti menyadari keterbatasan kemampuan akal dalam memikirkan objek
pikir. Oleh karena itu, kerap terjadi kesalahan-kesalahan dalam melakukan kegiatan
berpikir
5) Madzhab berpikir yang sudah ada dan lazim digunakan dapat diiqtibas (adopsi) secara
terpadu
6) Menggunakan metode filsafat Islam yang sudah dikembangkan oleh para filsof
muslim, sebab filsafat dakwah merupakan bagian dari filsafat. Paling tidak, terdapat
empat macam metode yang dapat digunakan bagi filsafat dakwah, yaitu sebagai
berikut:
a) Metode deduktif dari filsafat peripatetik (masyaiyah), secara eksklusif, metode ini
mengandalkan deduksi rasional dan demonstrasi (burhan)
b) Metode iluminasi (isyroqiyah), metode ini selain bersandar pada deduksi rasional
dan demonstrasi juga bersandar pada usaha penyucian jiwa (nafs) dalam
menemukan realitas yang mendasari alam semesta.
c) Metode pengembaraan dari irfan, metode ini bersandar semata pada penyucian
jiwa berdasarkan konsep menempuh jalan menuju tuhan dan mendekati
kebenaran. Metode ini berusaha bukan hanya menyingkap realitas tetapi juga
mencapainya.
d) Metode kalam, metode ini bersandar pada deduksi rasional disertai prinsip
kelembutan (kaidah alluthf) dan mendahulukan segala sesuatu yang lebih baik
(wujub al-Islah).
7) Model pemikiran filosofis dakwah menurut Amrullah Ahmad (l996), berangkat dari
hakikat ilmu dakwah, yakni:
a) Ilmu mebangunkan dan mengembalikan manusia pada fitri, meluruskan tujuan
hidup manusia serta meneguhkan fungsi khilafah manusia menurut al-Qur'an dan
Sunnah.
b) Ilmu dakwah adalah ilmu perjuangan bagi ummat Islam dan ilmu rekayasa masa
depan ummat dan perdaban Islam.
Metode pemikiran filosofis dakwah dibangun dengan mendasarkan pada konsep
Tauhidullah. Dari konsep ini dibangun aksiologi, epistemologi, dan metodologi keilmuan
dakwah yang mengacu pada hukum-hukum berpikir dari ayat qur'aniyah dan hukum-
hukum yang terdapat dalam ayat kauniyah .

B. Ontologi, Epistemologi dan Aksiologi Ilmu


1. Ontologi
Ontologi adalah bagian filsafat yang paling umum. Obyek telaah ontologi adalah yang
ada tidak terikat pada satu perwujudan tertentu, ontologi membahas tentang yang ada
secara universal, yaitu berusaha mencari inti yang dimuat setiap kenyataan yang meliputi
segala realitas dalam semua bentuknya.1 Setelah menjelajahi segala bidang utama dalam
ilmu filsafat, seperti filsafat manusia, alam dunia, pengetahuan, kehutanan, moral dan
sosial, kemudian disusunlah uraian ontologi. Maka ontologi sangat sulit dipahami jika
terlepas dari bagian-bagian dan bidang filsafat lainnya. Dan ontologi adalah bidang
filsafat yang paling sukar.

1
Bahrum, “Ontologi Epistemologi dan Aksiologi”, Sulesana , Volume 8 No.2 tahun 2013
Jujun S Suriasumantri dalam bukunya Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer
menyebut bahwa dimensi Ontologis (hakikat apa yang dikaji) meliputi metafisika,
asumsu, peluang, beberapa asumsi dalam ilmu dan batas-batas penjelajahan ilmu. 2
1) Tafsiran Metafisika
Tafsiran yang paling awal dilontarkan manusia dalam menyikapi alam di
sekelilingnya ini, yaitu terdapatnya wujud-wujud yang bersifat ghaib dan wujud-
wujud ini bersifat lebih tinggi atau lebih kuasa dibandingkan dengan alam nyata.
Kita bisa menyaksikan adanya kepercayaan Animisme dan Dinamisme yang
masih dianut sebagian masyarakat kita. Namun supernatural ini mendapat
tantangan dari paham naturalisme yang menolak adanya wujud-wujud
supernatural di balik kejadian-kejadian alam. Dalam hal ini matrealisme yang
notabene paham yang berdasarkan naturalism menjelaskan bahwa segala gejala
alam yang terjadi bukan dikarenakan wujud-wujud ghaib melainkan oleh kekuatan
alam itu sendiri yang dapat diketahui dan dipelajari.
2) Asumsi
Untuk mendapatkan pengetahuan ini, ilmu membuat beberapa asumsi
“andaian” mengenai objek-objek empiris, asumsi diperlukan untuk memberikan
arah dan landasan bagi kegiatan penelaahan melalui pernyataan asumtif. Sebuah
pengetahuan dapat dikatakan benar sepanjang kita menerima asumsi-asumsi yang
diajukan. Secara terperinci ilmu mempunyai tiga asumsi mengenai objek empiris,
yaitu:3
a) Menganggap objek-objek tertentu mempunyai keserupaan satu sama lain
dalam hal bentuk, struktur sifat, dan seterusnya. Dari model ini beberapa objek
yang seupa dapat dikelompokkan dalam satu golongan, dan model klasifikasi
ini merupakan pendekatan keilmuan yang pertama terhadap objek-objek yang
ditelaahnya.
b) Anggapan bahwa suatu benda tidak mengalami perubahan dalam jangka
waktu tertentu, anggapan ini tidak menuntut adanya kelestarian yang absolut,
oleh karena itu, ilmu menuntut adanya kelestarian yang relatif.
c) Determinisme, setiap kejadian tidak terjadi secara kebetulan tapi sudah
mempunyai pola-pola tertentu, misalnya gerakan-gerakan planet dan tata surya
yang bergerak secara teratur. Disini ilmu tidak menuntut adanya hubungan

2
Abuddin Nata dkk, Integrasi Ilmu Agama dan Ilmu Umum (Jakarta: PT RajaGrafindo PERSADA, 2003), hal.118
3
Ibid,. hal.119
sebab akibat yang mutlak sehingga suatu kejadian diikuti kejadian yang lain.
Determinisme dalam pengertian ilmu mempunyai konotasi peluang
(probalistik).4
3) Peluang
Teori peluang merupakan dasar dari statistika. Statistika mempunyai peranan
yang menentukan dalam persyaratan-persyaratan keilmuan sesuai dengan asumsi
ilmu tentang alam. Ilmu tidak pernah ingin dan tidak pernah berpretensi untuk
mendapatkan pengetahuan yang bersifat mutlak. Ilmu memberikan pengetahuan
sebagai dasar bagi manusia untuk mengambil keputusan, di mana keputusan
manusia harus didasarkan pada kesimpulan ilmiah yang bersifat relative. 5
4) Batas-batas Penjelajahan Ilmu
Ilmu memulai penjelajahannya pada pengalaman manusia dan berhenti pada
batas pengalaman manusia. Ilmu mempelajari pada jangkauan pengalaman
manusia, hal ini karena ilmu sebagai alat bantu manusia dalam menanggulangi
(menyelesaikan) masalah-masalah yang dihadapi manusia sehari-hari.
2. Epistemologi
Terjadi perdebatan filosofis yang sengit di sekitar pengetahuan manusia, yang
menduduki pusat permasalahan di dalam filsafat, terutama filsafat modern. Pengetahuan
manusia adalah titik tolak kemajuan filsafat, untuk membina filsafat yang kukuh tentang
semesta (universe) dan dunia. Maka sumber-sumber pemikiran manusia, kriteria-kriteria,
dan nilai-nilainya tidak ditetapkan, tidaklah mungkin melakukan studi apa pun,
bagaimanapun bentuknya.
Salah satu perdebatan besar itu adalah diskusi yang mempersoalkan sumber-sumber
dan asal-usul pengetahuan dengan meneliti, mempelajari dan mencoba mengungkapkan
prinsip-prinsip primer kekuatan struktur pikiran yang dianugerahkan kepada manusia.
Maka dengan demikian ia dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan berikut ini: Bagaimana
pengetahuan itu muncul dalam diri manusia? Bagaimana kehidupan intelektualnya
tercipta, termasuk setiap pemikiran dan kinsep-konsep (nations) yang muncul sejak dini ?
dan apa sumber yang memberikan kepada manusia arus pemikiran dan pengetahuan ini
Sebelum menjawab semua pertanyaan-petanyaan di atas, maka kita harus tahu bahwa
pengetahuan (persepsi) itu terbagi, secara garis besar, menjadi dua. Pertama, konsepsi
atau pengetahuan sederhana. Kedua tashdiq (assent atau pembenaran), yaitu pengetahuan

4
Abuddin Nata dkk, Integrasi Ilmu Agama dan Ilmu Umum (Jakarta: PT RajaGrafindo PERSADA, 2003), hal.120
5
Ibid.
yang mengandung suatu penilaian. Konsepsi dapat dicontohkan dengan penangkapan kita
terhadap pengertian panas, cahaya atau suara. Tashdiq dapat dicontohkan dengan
penilaian bahwa panas adalah energi yang datang dari matahari dan bahwa matahari lebih
bercahaya daripada bulan dan bahwa atom itu dapat meledak. Jadi antar konsepsi dan
tashdiq sangat erat kaitannya, karena konsepsi merupakan penangkapan suatu objek tanpa
menilai objek itu, sedangkan tashdiq, adalah memberikan pembenaran terhadap objek.
Pengetahuan yang telah didapatkan dari aspek ontologi selanjutnya digiring ke aspek
epistemologi untuk diuji kebenarannya dalam kegiatan ilmiah. Menurut Ritchie Calder
proses kegiatan ilmiah dimulai ketika manusia mengamati sesuatu. Dengan demikian
dapat dipahami bahwa adanya kontak manusia dengan dunia empiris menjadikannya ia
berpikir tentang kenyataan-kenyataan alam.
Setiap jenis pengetahuan mempunyai ciri yang spesifik mengenai apa, bagaimana dan
untuk apa, yang tersusun secara rapi dalam ontologi, epistemologi, dan aksiologi.
Epistemologi itu sendiri selalu dikaitkan dengan ontologi dan aksiologi ilmu. Persoalan
utama yang dihadapi oleh setiap epistemologi pengetahuan pada dasarnya adalah
bagaimana cara mendapatkan pengetahuan yang benar dengan mempertimbangkan aspek
ontologi dan aksiologi masing-masing ilmu. Kajian epistemologi membahas tentang
bagaimana proses mendapatkan ilmu pengetahuan, hal-hal apakah yang harus
diperhatikan agar mendapatkan pengetahuan yang benar, apa yang disebut kebenaran dan
apa kriterianya.
Objek telaah epistemologi adalah mempertanyakan bagaimana sesuatu itu datang,
bagaimana kita mengetahuinya, bagaimana kita membedakan dengan lainnya, jadi
berkenaan dengan situasi dan kondisi ruang serta waktu mengenai sesuatu hal. Yang
menjadi landasan dalam tataran epistemologi ini adalah proses apa yang memungkinkan
mendapatkan pengetahuan logika, etika, estetika, bagaimana cara dan prosedur
memperoleh kebenaran ilmiah, kebaikan moral dan keindahan seni, apa yang disebut
dengan kebenaran ilmiah, keindahan seni dan kebaikan moral.
Dalam memperoleh ilmu pengetahuan yang dapat diandalkan tidak cukup dengan
berpikir secara rasional ataupun sebaliknya berpikir secara empirik saja karena keduanya
mempunyai keterbatasan dalam mencapai kebenaran ilmu pengetahuan. Jadi pencapaian
kebenaran menurut ilmu pengetahuan didapatkan melalui metode ilmiah yang merupakan
gabungan atau kombinasi antara rasionalisme dengan empirisme sebagai satu kesatuan
yang saling melengkapi. Rasionalisme memberikan kerangka pemikiran yang koheren
dan logis sementara empirisme memberikan kerangka pengujian dalam memastikan
kebenaran. 6

3. Aksiologi
Apakah kegunaan ilmu itu bagi kita? Tak dapat dipungkiri bahwa ilmu telah banyak
mengubah dunia dalam memberantas berbagai termasuk penyakit kelaparan, kemiskinan
dan berbagai wajah kehidupan yang duka. Namun apakah hal itu selalu demikian: ilmu
selalu merupakan berkat dan penyelamat bagi manusia. Seperti mempelajari atom kita
bisa memanfaatkan wujud tersebut sebagai sumber energy bagi keselamatan manusia,
tetapi dipihak lain hal ini bisa juga berakibat sebaliknya, yakni membawa manusia kepada
penciptaan bom atom yang menimbulkan malapetaka.
Jadi yang menjadi landasan dalam tataran aksiologi adalah untuk apa pengetahuan itu
digunakan? Bagaimana hubungan penggunaan ilmiah dengan moral etika? Bagaimana
penentuan obyek yang diteliti secara moral? Bagimana kaitan prosedur ilmiah dan metode
ilmiah dengan kaidah moral? Dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi,
penemuan nuklir dapat menimbulkan bencana perang, penemuan detektor dapat
mengembangkan alat pengintai kenyamanan orang lain, penemuan cara-cara licik ilmuan
politik dapat menimbulkan bencana bagi suatu bangsa, dan penemuan bayi tabung dapat
menimbulkan bancana bagi terancamnya perdaban perkawinan
Berkaitan dengan etika, moral, dan estetika maka ilmu itu dapat dibagi menjadi dua
kelompok:
(1) Ilmu Bebas Nilai
Berbicara tentang ilmu akan membicarakan pula tentang etika, karena
sesungguhnya etika erat hubungannya dengan ilmu. Bebas nilai atau tidaknya ilmu
merupakan masalah rumit, jawabannya bukan sekadar ya atau tidak. Sebenarnya sejak
saat pertumbuhannya ilmu sudah terkait dengan masalah-masalah moral namun dalam
perspektif yang berbeda. Ketika Copernicus (1473-1543 mengajukan teorinya tentang
kesemestaan alam dan menemukan bahwa “bumi yang berputar mengelilingi
matahari” dan bukan sebaliknya seperti yang diajarkan oleh agama (gereja) maka
timbullah reaksi antara ilmu dan moral (yang bersumber pada ajaran agama) yang
berkonotasi metafisik. Secara metafisik ilmu ingin mempelajari alam sedangkan
dipihak lain terdapat keinginan agar ilmu mendasarkan pada pernyataan-pernyataan

6
Bahrum, “Ontologi Epistemologi dan Aksiologi”, Sulesana , Volume 8 No.2 tahun 2013
nilai berasal dari agama sehingga timbullah konflik yang bersumber pada penafsiran
metafisik yang berakumulasi pada pengadilan inkuisisi Galileo pada tahun 1633 M.7
Vonis inkuisisi Galileo memengaruhi perkembangan berpikir di Eropa, yang
pada dasarnya mencerminkan pertentangan antara ilmu yang ingin bebas dari nilai-
nilai di luar bidang keilmuan dan ajaran-ajaran (agama). Pada kurun waktu itu para
ilmuan berjuang untuk menegakkan ilmu yang berdasarkan penafsiran alam dengan
semboyan “ilmu yang bebas nilai”. Latar belakang otonomi ilmu bebas dari ajaran
agama (gereja) dan leluasa ilmu dapat mengembangkan dirinya. Pengembangan
konsepsional yang bersifat kontemplatif kemudian disusul dengan penerapan konsep-
konsep ilmiah kepada masalah-masalah praktis. Sehingga Berthand Russell menyebut
perkembangan ini sebagai peralihan ilmu dari tahap kontemplasi ke manipulasi.
Dengan tahap perkembangan ilmu ini berada pada ambang kemajuan karena
pikiran manusia tak tertundukkan pada akhirnya ilmu menjadi suatu kekuatan
sehingga terjadilah dehumanisasi terhadap seluruh tatanan hidup manusia.
Menghadapi fakta seperti ini ilmu pada hakekatnya mempelajari alam dengan
mempertanyakan yang bersifat seharusnya, untuk apa sebenarnya ilmu itu
dipergunakan, dimana batas wewenang penjelajahan keilmuan dan ke arah mana
perkembangan keilmuan ini diarahkan. Pertanyaan ini jelas bukan urgensi bagi ilmuan
seperti Copernicus, Galileo dan ilmuan seangkatannya, namun ilmuan yang hidup
dalam abad kedua puluh yang telah dua kali mengalami perang dunia dan bayangan
perang dunia ketiga. Pertanyaan ini tidak dapat dielakkan dan untuk menjawab
pertanyaan ini maka ilmu berpaling kepada hakekat moral.8
Masalah moral dalam menghadapi ekses ilmu dan teknologi yang bersifat
destruktif para ilmuan terbagi dalam dua pendapat. Golongan pertama menginginkan
ilmu netral dari nilai-nilai baik secara ontologis, epistemologis, maupun aksiologis.
Golongan kedua berpendapat bahwa netralitas ilmu hanya terbatas pada metafisik
keilmuan, namun dalam penggunaannya harus berlandaskan pada moral.
Einstein pada akhir hayatnya tak dapat menemukan agama mana yang
sanggup menyembuhkan ilmu dari kelumpuhannya dan begitu pula moral universal
manakah yang dapat mengendalikan ilmu, namun Einstein ketika sampai pada puncak
pemikirannya dan penelaahannya terhadap alam semesta ia berkesimpulan bahwa
keutuhan ilmu merupakan integrasi rasionalisme, empirisme dan mistis intuitif.

7
Bahrum, “Ontologi Epistemologi dan Aksiologi”, Sulesana , Volume 8 No.2 tahun 2013
8
Ibid.
Perlunya penyatuan ideology tentang ketidak netralan ilmu ada beberapa
alasan, namun yang penting dicamkan adalah pesan Einstein pada masa akhir
hayatnya “Mengapa ilmu yang begitu indah, yang menghemat kerja, membikin hidup
lebih mudah, hanya membawa kebahagiaan yang sedikit sekali pada kita”. Adapun
permasalahan dari keluhan Einstein adalah pemahaman dari pemikiran Francis Bacon
yang telah berabad-abad telah mengekang dan mereduksi nilai kemanusiaan dengam
ide “pengetahuan adalah kekuasaan”. Dari pernyataan di atas, dapat dipahami bahwa,
ilmu yang dibangun atas dasar ontologi, epistemologi dan aksiologi haruslah
berlandaskan etika sehingga ilmu itu tidak bebas nilai
(2) Teori tentang nilai
Pembahasan tentang nilai akan dibicarakan tentang nilai sesuatu, nilai
perbuatan, nilai situasi, dan nilai kondisi. Segala sesuatu kita beri nilai. Pemandangan
yang indah, akhlak anak terhadap orang tuanya dengan sopan santun, suasana
lingkungan dengan menyenangkan dan kondisi badan dengan nilai sehat. Ada
perbedaan antara pertimbangan nilai dengan pertimbangan fakta. Fakta berbentuk
kenyataan, ia dapat ditangkap dengan pancaindra, sedang nilai hanya dapat dihayati.9
Walaupun para filosof berbeda pandangan tentang defenisi nilai, namun pada
umumnya menganggap bahwa nilai adalah pertimbangan tentang penghargaan.
Pertimbangan fakta dan pertimbangan nilai tidak dapat dipisahkan, antara keduanya
karena saling memengaruhi. Sifat-sifat benda yang dapat diamati juga termasuk dalam
penilaian. Jika fakta berubah maka penilaian kita berubah ini berarti pertimbangan
nilai dipengaruhi oleh fakta.
Fakta itu sebenarnya netral, tetapi manusialah yang memberikan nilai
kedalamannya sehingga ia mengandung nilai. Karena nilai itu maka benda itu
mempunyai nilai. Namun bagaimanakah criteria benda atau fakta itu mempunyai
nilai. Teori tentang nilai dapat dibagi menjadi dua yaitu nilai etika dan nilai estetika.10
Etika termasuk cabang filsafat yang membicarakan perbuatan manusia dan
memandangnya dari sudut baik dan buruk. Adapun cakupan dari nilai etika adalah:
Adakah ukuran perbuatan yang baik yang berlaku secara universal bagi seluruh
manusia, apakah dasar yang dipakai untuk menentukan adanya norma-norma
universal tersebut, apakah yang dimaksud dengan pengertian baik dan buruk dalam

9
Bahrum, “Ontologi Epistemologi dan Aksiologi”, Sulesana , Volume 8 No.2 tahun 2013
10
Ibid.
perbuatan manusia, apakah yang dimaksud dengan kewajiban dan apakah implikasi
suatu perbuatan baik dan buruk.
Nilai etika diperuntukkan pada manusia saja, selain manusia (binatang, benda,
alam) tidak mengandung nilai etika, karena itu tidak mungkin dihukum baik atau
buruk, salah atau benar. Contohnya dikatakania mencuri, mencuri itu nilai etikanya
jahat. Dan orang yang melakukan itu dihukum bersalah. Tetapi kalau kucing
mengambil ikan dalam lemari, tanpa izin tidak dihukum bersalah. Yang bersalah
adalah kita yang tidak hati-hati, tidak menutup atau mengunci pintu lemari. Adapun
estetika merupakan nilai-nilai yang berhubungan dengan kreasi seni, dan pengalaman-
pengalaman yang berhubungan dengan seni atau kesenian. Kadang estetika diartikan
sebagai filsafat seni dan kadang-kadang prinsip yang berhubungan dengan estetika
dinyatakan dengan keindahan.
Syarat estetika terbatas pada lingkungannya, disamping juga terikat dengan
ukuran-ukuran etika. Etika menuntut supaya yang bagus itu baik. Lukisan porno dapat
mengandung nilai estetika, tetapi akal sehat menolaknya, karena tidak etika. Sehingga
kadang orang memetingkan nilai panca-indra dan mengabaikan nilai ruhani.

C. Integrasi Tauhid dalam Konsep Berpikir yang Sistematis dan Komprehensif


Secara etimologis, tauhid berasal dari kata wahada dengan menggunakan al-syiddah
yang artinya menjadi satu. Tauhid sama dengan al Wawu wa al-Ha’u wa al-Dalu yang
aslinya wahid menunjuk pada makna pengesaan.11 Setiap orang memiliki pola pikir yang
berbeda dari yang lain. Cara pandang yang mempercayai tuhan berbeda dengan mereka
yang tidak percaya kepada tuhan.
Salah satu istilah yang paling popular dipakai dalam konteks integrasi ilmu-ilmu
agama dan ilmu-ilmu umum adalah kata “islamisasi”. Dalam konteks Islamisasi ilmu
pengetahuan, yang harus mengaitkan dirinya pada prinsip tauhid adalah pencari ilmu
(thalib al-ilmi)-nya, bukan ilmu itu sendiri. Begitu pula yang harus mengakui bahwa
manusia berada dalam suasana dominasi ketentuan Tuhan secara metafisik dan aksiologis
adalah manusia selaku pencari ilmu, bukan ilmu pengetahuan. Integrasi dan Islamisasi
ilmu pengetahuan ini memiliki banyak arti penting bagi kaum muslimin. Pertama,

11
Jarman Arroisi, “Integrasi Tauhid dan Akhlak dalam Pandanngan Fakhrudin Ar-Razi”, Jurnal TSAQOFAH, Vol.9
No.2, November 2013
kepentingan akidah.12 Islam adalah agama tauhid yang menekankan kepada keesaan
allah. Islam semata-mata karena allah, iradah, kalimah, perintah dan larangan-nya, dan
sunah dan aturan-nya di alam dunia dan kehidupan ini. tidak ada perubahan dan
pertentangan di dalam sunah-nya. hal ini tentunya menuntut adanya pengetahuan terhadap
sunah-nya itu berikut dengan segala rahasia, susunan dan rinciannya.
Islamisasi ilmu merupakan langkah yang penting untuk kembali kepada warisan utama dari
pengetahuan Islam untuk merekonstruksi kebangkitan kembali peradaban Islam yang unggul.
dengan kembali kepada sumber utama dari peradaban Islam, yaitu sumber wahyu Ilahi, umat
Islam akan terhindari dari perasaan rendah diri dan taklid buta yang “…beranggapan bahwa
segala sesuatu yang bersumber dari Barat—dari filsafat hingga etika, dari teori-teori sosial
hingga prinsip-prinsip keindahan—adalah lebih unggul.”13
Lebih lanjut, Islamisasi ilmu pengetahuan, menurut Faruqi, menghendaki adanya
hubungan timbal balik antara realitas dan aspek kewahyuan. Umat islam harus
memanfaatkan ilmu pengetahuan. Tanpa memanfaatkan ilmu pengetahuan dalam upaya
memahami wahyu, umat islam akan terus tertinggal oleh umat lainnya. Karena
realitasnya, saat ini, ilmu pengetahuanlah yang amat berperan dalam menentukan tingkat
kemajuan umat manusia. Islamisasi dilakukan dalam upaya membangun kembali
semangat umat islam dalam mengembangkan ilmu pengetahuan melalui kebebasan
penalaran intelektual dan kajian-kajian rasional empiric dan filosofis dengan tetap
merujuk kepada kandungan Alquran dan Sunnah nabi, sehingga umat islam akan bangkit
dan maju menyusul ketertinggalannya dari umat islam lain, khususnya Barat.14
Usaha menuju integrasi keilmuan sejatinya telah dimulai sejad abad ke-9, meski
mengalami pasang-surut. Pada masa Al-Farabi (lahir tahun 257 H / 890 M) gagasan
tentang kesatuan dan hierarki ilmu yang muncul sebagai hasil penyelidikan tradisional
terhadap epistemologi serta merupakan basis bagi penyelidikan hidup subur dan
mendapat tempatnya. Gagasan kesatuan dan hierarki ilmu ini menurut Al-Farabi, berakar
pada sifat hal-hal atau benda-benda. Ilmu merupakan satu kesatuan karena sumber
utamanya hanya satu, yakni intelek Tuhan. Tak peduli dari saluran mana saja, manusia-
pencari ilmu pengetahuan-mendapatkan ilmu itu.
Gagasan integrasi keilmuan Al-Farabi dilakukan atas dasar wahyu islam dari ajaran-
ajaran Alquran dan Hadis. Integrasi keilmuan Al-Farabi dimanifestasikan dalam hierarki

12
Fauzi, A. (2017). Integrasi Dan Islamisasi Ilmu Dalam Perspektif Pendidikan Islam. Jurnal Pendidikan Islam,
8(1), 1-18.
13
Ibid.
14
Abuddin Nata dkk, Integrasi Ilmu Agama dan Ilmu Umum (Jakarta: PT RajaGrafindo PERSADA, 2003), hal.145
keilmuan yang dibuatnya.Paradigma integrasi ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu umum
muncul sebagai bentuk kekhawatiran sebagian pemikir muslim terhadap ancaman yang
sangat dominan terhadap pandangan non-Muslim, khususnya pandangan ilmuwan barat
sehingga umat islam harus menyelamatkan identitas dan otoritas ajaran agamanya.
Integrasi antara ilmu-ilmu agama islam dan ilmu-ilmu umum berarti usaha mengislamkan
atau melakukan purifikasi (penyucian) terhadap ilmu pengetahuan produk barat yang
selam ini dikembangkan dan dijadikan acuan dalam wacana pengembangan sistem
pendidikan islam, agar diperoleh ilmu pengetahuan yang bercorak “khas islami.
DAFTAR PUSTAKA

Arroisi, Jarman. 2013. “Integrasi Tauhid dan Akhlak dalam Pandanngan Fakhrudin Ar-
Razi”.dalam Jurnal Tsaqafah Volume 9 Nomor 2. Gontor: Institut Studi Darussalam
Gontor
Aulia, Rihlah Nur. 2015. “Berfikir Filsafat:Sebagai Pembentukan Kerangka Berfikir Untuk
Bertindak” dalam Jurnal Studi Al-Qur’an:Membangun Tradisi Berfikir Qur’ani Volume
11 Nomor . Jakarta: Universitas Negeri Jakarta.
Bahrum, B. (2013). Ontologi, Epistemologi dan Aksiologi. Sulesana: Jurnal Wawasan
Keislaman, 8(2), 35-45.
Ekawati, Dian. 2013. “Reorientasi Ontologi, Epistemologi dan Aksiologi dalam
Perkembangan Sains” dalam Jurnal Tarbawiyah Volume 10 Nomor 2. Lampung: Institut
Agama Islam Negeri.
Fauzi, A. (2017). Integrasi Dan Islamisasi Ilmu Dalam Perspektif Pendidikan Islam. Jurnal
Pendidikan Islam, 8(1), 1-18.
Nata, Abuddin dkk. 2013. Integrasi Ilmu Agama dan Ilmu Umum. Jakarta: PT RajaGrafindo
Persada.
Wardi, M. (2014). Problematika Pendidikan Islam Dan Solusi Alternatifnya (Perspektif
Ontologis, Epistemologis dan Aksiologis). TADRIS: Jurnal Pendidikan Islam, 8(1), 54-
69.

Anda mungkin juga menyukai