Anda di halaman 1dari 23

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Islam adalah agama dakwah, karena Islam agama yang menugaskan ummat
manusia. Keberadaan dakwah Islam terdiri atas tataran (1) wujud lafzhi (dalam perkataan
orang yang berkata); (2) wujud dzihni (=dalam rekaman jiwa orang yang
memahaminya); (3) wujud resmi (=dalam tulisan);(4) wujud realitas). Karenanya,
dakwah Islam dapat dikaji secara ilmiah.
Sebagai suatu ilmu, proses dakwah Islam berkaitan erat dengan pemberian
kerangka filosofis, kerangka teoretis, dan kerangka teknis. Kerangka filosofis dakwah
sebagai bagian dari struktur keilmuan dakwah, memiliki dasar dan metode berpikir
dalam filsafat dakwah dapat diturunkan dari ayat- ayat al-Qur’an yang merupakan
sumber inpirasi filsafat dakwah.
Prinsip dasar dan metode berpikir dalam filsafat dakwah yang diturunkan dari al-
Qur’an menjadi petunjuk dalam mencapai kebenaran (al-haq). Dengan langkah ini
diharapkan dapat terhindar dari kesalahan dan kekeliruan dalam berpikir melalui kaidah-
kaidah metodologis dalam menggunakan akal.
Dasar dan metode pemikiran filosofis dakwah Islam dibangun di atas konsep
Tauhidullah. Dari konsep ini dibangun epistemologi, aksiologi keilmuan dakwah dengan
mengacu pada hukum-hukum berpikir dari ayat-ayat Qur’aniyah dan ayat-ayat kauniyah.
Mengacu pada pemikiran filosofis yang didasarkan pada konsep Tauhidullah
lahirlahsekurang-kurangnya ilmu macam-macam metode keilmuan dakwah, yaitu :
 pendekatan analisis sistem dakwah;
 metode historis;
 metode riset dakwah partisifatif, dan
 metode riset kecenderungan gerakan dakwah.
Dengan demikian, dakwah Islam merupakan rekayasa (tadbir) masa depan ummat
dan peradaban Islam.
B. RUMUSAN MASALAH
1. Konsep dan Metode Berfikir
2. Ontologi, Epistemologi, dan Aksiologi Ilmu
3. Integrasi Tauhid dalam konsep berfikir yang sistematis dan komprehesif
BAB II

PEMBAHASAN

A. Konsep dan Metode Berfikir Prinsip Dasar Berpikir


Prinsip dasar berpikir dalam filsafat dakwah yang dapat diturunkan dari al-Qur'an,
antara lain, adalah:
1. Berpegang teguh pada etika ulul al-bab
Dalam surat Ali Imran ayat 190-191 terkandung intinya bahwa orang-orang
yang mampu menggali segala potensi yang ada di alam ini adalah mereka yang di
sebut Ulul Albab. Sosok ulul al- bab adalah orang yang mampu menggunakan
potensi pikir dan potensi dzikir secara tawazun (=seimbang). Berpegang pada etika
ulul al-bab tersebut dapat diturunkan prinsip-prinsip dasar berpikir antara lain:
Bertaqwa dan menegakkan hak asasi manusia (QS:2:179)  Memahami ayat-
ayat al-Qur'an, baik yang muhkamat maupun yang mutasyabihat (QS:3:7) 
Menjadikan ruang angkasa, geografi, meteorologi, dan geofisika sebagai objek pikir
(QS:3:190)  Mengambil hikmah dari Ibadah Haji dan memperjuangkan bekal
taqwa dalam kehidupan. (2:197)  Bisa membedakan antara kebenaran dan
keburukan, tidak tergoda oleh keburukan, dan selalu bertaqwa dalam mencari
keberuntungan (QS:5:100)  Mengimani dan mengambil pelajaran dari kisah para
Nabi dan rasul Allah (QS:12:111)  Memahami dan memperjuangkan kebenaran
mutlak yang datang dari Allah (QS:13:19)  Meyakini keesaan Allah Swt, dan
memberi peringatan kepada ummat manusia dengan dasar al-Qur'an (QS:14:52) 
Mengambil kebaikan dan berkah yang banyak dengan mendalami kandungan
alQur'an (QS:38:29)  Mengambil pelajaran dari kisah Nabi Zakariya dan Nabi
Yusuf, dengan menggunakan pendekatan sejarah (QS:38:43)  Mensyukuri ilmu
dengan sujud atau shalat pada waktu malam dalam upaya mendapatkan rahmat Allah
dan merasa takut terhadap azab-Nya (QS:39:9)  Menyeleksi informasi terbaik
dengan tolok ukur hidayah dan norma Allah (QS:39:18)  Menjadikan flora dan
fauna (zoologi dan botani) sebagai objek kajian (QS:39:21)  Mengambil pelajaran
dari Qitab Taurat yang dibawa Nabi Musa yang diwariskan kepada orang Israel atau
Yahudi (QS:40:54)
Beriman dan bertaqwa kepada Allah, memiliki kesadaran tinggi, serta takut
terhadap siksaan Nya yang dahsyat (QS:65:10.

2. Memikirkan, memahami, menghayati dan mengambil pelajaran dari ayat-ayat Allah


sebagai objek pikir, baik ayat kauniyah dan segala hukumnya (realitas alam dan
hukum alam) maupun ayat-ayat Qur'aniyah melalui petunjuk dan isyarat ayat-ayat al
-Qur'an tentang "aql yang terdiri dari 49 kali penyebutan dalam lima bentuk kata
kerja: (a) 'aqaluh; (b) ta'qilun; (c) na'qilu ; (d) ya'qiluha; (d) ya'qilun.
3. Mengacu kepada 49 term 'aql yang dimuat dalam al-Qur'an, maka ditemukan prinsip
prinsip pentingnya berpikir antara lain:
a. Salah satu ciri yang membedakan manusia dari makhluk lainnya terletak pada
potensi nalar (nathiq), kegiatan nalar atau kegiatan berfikir dalam merenungkan
objek pikir. Eksistensi dan fungsionalisasi akal dapat meningkatkan derajat dan
status keberadaan manusia dalam menjalankan tugas sebagai pemegang amanat
ibadah, risalah dan khilafah di muka bumi. (QS:2:30-31)
b. b. Al-Qur'an menegaskan bahwa berpikir termasuk kegiatan bersyukur terhadap
nikmat Allah, sedangkan mensyukuri nikmat Allah termasuk ketaatan yang
bernilai ibadah. Jadi, berpikir itu pada hakikatnya adalah ibadah yang merupakan
bagian dari amanat kemanusiaan. Dengan demikian berpikir berarti pula
menegakkan amanat tersebut.
c. c. Al-Qur'an mengecam orang-orang yang taqlid dan orang-orang yang tidak mau
menggunakan potensi inderawinya, baik indera lahir maupun indera batin, dalam
mengkaji, meneliti, dan mendayagunakan anugerah alam semesta bagi
kemanfaatan dan kemaslahatan alam dan segala isinya (QS:2:170).
d. d. Al-Qur'an menerangkan kemuliaan orang- orang yang berilmu. Bahkan, nilai
kerja seseorang yang lahir dari pemikiran, dipandang lebih baik dari pada
pekerjaan yang tidak berdasarkan pemikiran (ilmu).
Dengan demikian, peranan ilmuwan di tengah-tengan kehidupan ummat adalah
laksana matahari, bulan bintang yang menerangi dan menghiasi alam semesta.
Kemajuan budaya suatu bangsa dapat ditentukan oleh kemajuan berpikirnya.
Mekanisme atau proses kerja akal itu adalah, bahwa pada pusat akal timbul
tekanan listrik tinggi sebagai akibat mengalirnya ingatan-ingatan yang dirinci
kepadanya, disusun dan diatur menurut kepentingan dan kemungkinan dapat
dikerjakan. Dari pusat akal mengalir pula arus listrik ke pusat kemauan terus menuju
otot- otot dan kelenjar, sehingga menciptakan gerakan dan perbuatan.
Dari uraian di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa berpikir itu sangat penting,
apalagi mengetahui metodologi yang akan menjadi penuntun ke arah berpikir benar
dalam menegakkan kebenaran yang sebenar-benarnya. Metode Berpikir dan teknik
penggunaan akal
Langkah-langkah berpikir filosofis berdasarkan al-Qur'an dapat dirumuskan
prinsipprinsip sebagai berikut:
1. Karena kedudukan dan peranan berpikir begitu penting, al-Qur'an tidak saja
memerintahkan manusia untuk menggunakan akalnya, tetapi juga memberikan
pedoman, langkah-langkah metodologis serta teknis penggunaan akal dengan
metode dan teknis yang lurus dan meluruskan ke arah pencapaian kebenaran yang
sebenarnya (haq). Bahkan, jika kandungan al-Qur'an diteliti dan dikaji akan kita
temukan paling tidak langkah-langkah sebagai berikut:
 Al-Taharrur min quyudi al-'Urf wat-Takholush 'an Aghlalit-taqlid.
Yaitu upaya membebaskan pemikiran dari belenggu taqlid serta
menggunakan kebebasan berpikir sesuai dengan prinsip-prinsip pengetahuan.
Langkah ini disebut metode ilmiah praktis (minhaz 'ilm amali). Karena itu, al-
Qur'an mengecam keras terhadap oran-orang yang mengatakan: "Kamu
hanyalah mengikuti apa-apa yang telah kami dapatkan dari nenek moyang
kami, dengan kecaman: (apakah mereka akan mengakui juga), walaupun
nenek moyang mereka itu tidak mengetahui sesuatu apapun dan tidak
mendapat petunjuk". (QS:2:170).
 Al-Ta'amul wa al Musyahadah.
Yaitu langkah meditasi (merenung) dan pencarian bukti atau data
ilmiah empirik. Ini berarti tidak menerima pendapat yang tidak dibarengi
pembuktian praktis secara logis. (QS:al-Anam:64; QS:az-Zukhruf: 19)
 Al-Bahts wa al-Muwajanah wa al-Istiqra.
Yaitu langkah analisis, pertimbangan, dan induksi. Langkah ini
merupakan kegiatan penalaran dengan berpedoman pada prinsip-prinsip
penalaran untuk menemukan kebenaran filosofis dari data-data empirik yang
ditemukan. (QS: Al-A'raf:185; AdzDzariyat 21).
 Al-Hukm mabni alad-Dalil wa al-Burhan.
Yaitu langkah membuat keputusan ilmiah yang didasarkan atas
argumen dan bukti ilmiah. Langkah ini menolak pola pemikiran yang berdasar
pada perasaan dan hawa nafsu serta subjektivitas, karena pada kenyataannya
akan membutuhkan pengkajian yang bersifat umum dan terkadang berkaitan
erat dengan hukum alam (sunatullah) apapun kesimpulannya (QS: An-
Najmu:23;Shod:26 Al-Qoshosh: 50).
 Al-Qur'an memberikan tuntunan agar dalam kegiatan ilmiah digunakan tiga
potensi instrumen untuk memperoleh ilmu pengetahun secara terpadu
(QS:16:78). Ketiga instrumen itu adalah:
 al-khowas al-maehaqoh (= ketajaman indra);
 Al -'aql albahis al-mundlam);
 al-wijdan naqy al-mulham (=kejernihan nurani yang terilhami)
2. Kaidah-kaidah penggunaan akal Agar terhindar dari kesalahan dan kekeliruan
dalam berpikir, al-Qur'an meletakkan kaidah-kaidah metodologis dalam
menggunakan akal. Kaidah-kaidah itu antara lain sebagai berikut:
a. Adam tajawuz al-had (=Tidak melampau batas) Dalam realitas yang dihadapi
akal manusia, terdapat persoalan yang tidak bisa dipecahkannya, di luar
jangkauannya, dan bahkan bukan wewenangnya; seperti hakikat ruh, malaikat,
dan kehidupan. di akhirat. Persoalan-persoalan itu hanya dapat dipahami
secara hakiki melalui pernyataan wahyu al-Qur'an (QS:6:59;QS:31:34).
b. Al-taqdir wat-taqrir (=Membuat perkiraan dan penetapan) Sebelum
memutuskan suatu keputusan, terlebih dahulu dilakukan penetapan dan
perkiraan tentang persoalan yang dipikirkan dengan tekun dan teliti, tidak
tergesagesa (QS. 49:6; dan 75: 16).
c. Takhsis qobl al-bahts (=membatasi persoalan sebelum melakukan penelitian).
Melakukan pengkhususan, pembatasan, pengklasifikasian sebelum membuat
pembahasan dan penelitian merupakan langkah yang sangat penting. Karena
kapasitas dan kemampuan akal sangatlah terbatas. Akal tidak akan mampu
memikirkan sesuatu di luar jangkauannya tanpa ada pembatasan. Begitu juga
dalam kajian ilmiah. Dalam kajian-kajiannya dibatasi oleh objek kajian yang
telah diketahui. Membicarakan suatu objek yang tidak diketahui bukanlah
kajian ilmiah. (QS:17:36)
d. 'Adam al-mukabarah wa al-'inad (=Tidak sombong dan tidak menentang
kebenaran). Kesombongan dan pengingkaran terhadap kebenaran bertentangan
dengan etika Islam. Jika suatu kegiatan ilmiah disertai dengan sikap seperti ini,
kebenaran ilmiah yang hakiki tidak akan teraih; bahkan akan merusak tatanan
ukhuwah Islamiyah. Allah mengingatkan hal ini dalam al-Qur'an (QS:6:7) .
e. Al-muraja'ah wa al-mu'awadah (=melakukan chek dan rechek). Dalam
mencari kebenaran kebenaran hakiki, perlu dilakukan penelitian dan
pengkajian ulang terhadap objek pikir secara cermat dan teliti. Tujuannya
adalah agar tidak tergelincir dan terjebak dalam prasangka yang akan
menjauhkan pencapaian kebenaran ilmiah (QS:53:23; QS:5:8).
f. Al-Istimsaq bi al-haq (=berpegang teguh pada kebenaran) Akal mesti tunduk
kepada kebenaran mutlak yang ditopang oleh dalil- dalil yang pasti, untuk
kemudian mengimaninya dengan menyingkirkan keragu- raguan. (QS:49:15
dan QS:2:147).
g. Al-Bu'd 'an al-ghurur (=menjauhkan diri dari tipu daya) Kepalsuan dan
fatamorgana yang lahir dari dorongan hawa nafsu adalah sesuatu yang akan
memperdayakan dan menipu kejernihan berpikir. Oleh karena itu, upaya
menjauhkan diri dari nafsu seperti itu merupakan hal yang sangat penting
dalam proses berpikir. (QS:45:23; QS:7:170 dan QS:43:43)
3. Mengenai al-haq (kebenaran hakiki) yang wajib dipertahankan dan diperjuangkan
dalam kegiatan berpikir filosofis. Al-Qur'an banyak menyebutkannya bahkan
penyebutan kata al-haq tidak kurang dari 227 kali yang disitir dalam al-Qur'an.
Kandungan makna al-haq di antaranya sebagai berikut:
a. Al-Haq adalah Allah Swt, (QS:Al-Mu'minun, 23:71)
b. Al-Haq adalah al-Hikmah (QS.Al-Ahqof:3)
c. Al-Haq adalah al-Islam (QS:al-Anfal:7)
d. Al-Haq adalah syari'ah (QS:Al-Isra:105)
e. Al-Haq adalah al-Qur'an (QS:28:48; QS:34:43)
f. Al-Haq adalah tanda kekuasaan Allah pada kisah Musa (QS:10:76)
g. Al-Haq adalah ilmu shohih (QS:10:36)
h. Al-Haq adalah ke'adilan (QS:7:89)
i. Al-Haq adalah kejujuran (QS:4:171)
j. Al-Haq adalah pertolongan (QS:50:19)
k. Al-Haq adalah utang (QS:2:282)
4. Manusia mesti menyadari keterbatasan kemampuan akal dalam memikirkan objek
pikir. Oleh karena itu, kerap terjadi kesalahan-kesalahan dalam melakukan
kegiatan berpikir. Kesalahan berpikir bisaterjadi disebabkan oleh hal-hal berikut:
a. Ketergesa-gesaan dalam membuat suatu keputusan.
b. Menganggap mudah dalam mengajukan proposisi, tidak teliti, dan tidak
hatihati (=suhulat al-tasdiq)
c. Membangga-membanggakan kemampuan pikir dan pendapat diri sendiri
(atta'ajub bi al ro'yi)
d. Tradisi yang keliru
e. Mengikuti kecenderungan hawa nafsu
f. Senang berselisih pendapat
g. Haus pujian orang lain

Jika seseorang melakukan hal-hal tersebut, ia akan mudah terjebak dalam


kesalahan berpikir.

5. Madzhab berpikir yang sudah ada dan lazim digunakan dapat diiqtibas (adopsi)
secara terpadu. Yang dimaksud madzhab berpikir (madzhab nazhr) ini adalah satu
aliran berpikir yang dianut manusia dalam menggunakan potensi pikirannya.
Selain mazhab Qur'ani seperti yang telah dijelaskan dalam pembahasan
sebelumnya, terdapat pula mazhab berpikir atau mazhab nazhr lainnya, yaitu
sebagai berikut:
a. Empirisme (mazhab tajribi), yaitu pemikiran yang didasarkan pada
penggunaan potensi indra lahir semata dalam memikirkan objek pikir.
Pengetahuan yang dihasilkannya disebut pengetahuan indera.
b. Rasionalisme (mazhab 'aqli), yaitu pengetahuan yang didasarkan pada
penggunaan akal semata. Menurut aliran ini, akal mempunyai kemampuan
memahami, mengkaji, menetapkan, memikirkan, dan menyadari objek pikir.
Pengetahuan yang diperolehnya disebut pengetahuan rasional.
c. Criticism (madzhab Naqd), yaitu pemikiran yang didasarkan pada
penggabungan antara madzhab tajribi dan madzhab 'aqli dalam memikirkan
objek pikir. d. Mysticism (madzhab shufy), yaitu pemikiran yang didasarkan
pada penggunan potensi nurani dan intuisi. Pengetahuan yang diperolehnya
disebut pengetahuan mistic.
6. Menggunakan metode filsafat Islam yang sudah dikembangkan oleh para filsof
muslim, sebab filsafat dakwah merupakan bagian dari filsafat Islam. Paling
tidak, terdapat empat macam metode yang dapat digunakan bagi filsafat
dakwah, yaitu sebagai berikut:
a. Metode deduktif dari filsafat peripatetik (masyaiyah), secara eksklusif,
metode ini mengandalkan deduksi rasional dan demonstrasi (burhan)
b. Metode iluminasi (isyroqiyah), metode ini selain bersandar pada deduksi
rasional dan demonstrasi juga bersandar pada usaha penyucian jiwa (nafs)
dalam menemukan realitas yang mendasari alam semesta.
c. Metode pengembaraan dari irfan, metode ini bersandar semata pada
penyucian jiwa berdasarkan konsep menempuh jalan menuju tuhan dan
mendekati kebenaran. Metode ini berusaha bukan hanya menyingkap
realitas tetapi juga mencapainya.
d. Metode kalam, metode ini bersandar pada deduksi rasional disertai prinsip
kelembutan (kaidah alluthf) dan mendahulukan segala sesuatu yang lebih
baik (wujub al-Islah). 7. Model pemikiran filosofis dakwah menurut
Amrullah Ahmad (l996), berangkat dari hakikat ilmu dakwah, yakni:
 Ilmu mebangunkan dan mengembalikan manusia pada fitri, meluruskan
tujuan hidup manusia serta meneguhkan fungsi khilafah manusia
menurut al-Qur'an dan Sunnah.
 Ilmu dakwah adalah ilmu perjuangan bagi ummat Islam dan ilmu
rekayasa masa depan ummat dan perdaban Islam.

Dengan demikian, maka metode pemikiran filosofis dakwah dibangun


dengan mendasarkan pada konsep Tauhidullah. Dari konsep ini dibangun
aksiologi, epistemologi, dan metodologi keilmuan dakwah yang mengacu
pada hukum-hukum berpikir dari ayat qur'aniyah dan hukum- hukum yang
terdapat dalam ayat kauniyah . Bagi yang pertama, telah terstrukturkan
ilmu keummatan (pengetahuan sosial), dan yang kedua terstrukturkan ilmu
pengetahuan alam. Dengan demikian, dakwah Islam merupakan rekayasa
(tadbir) masa depan ummat dan peradaban Islam . Oleh karena itu, filsafat
dakwah dapat difahami sebagai subsistem dari sistem klasifikasi ilmu
dalam Islam. Mengacu pada pemikiran filosofis yang didasarkan pada
konsep tauhid tersebut, Amrullah Ahmad mengajukan lima macam metode
keilmuan dakwah : (1) pendekatan analisis sistem dakwah, (2) metode
historis; (3) metode reflektif, (4) metode riset dakwah partisipatif, dan (5)
riset kecenderungan gerakan dakwah.

B. Ontologi, Epistemologi, dan Aksiologi Ilmu 1. Ontologi


1. Ontologi
Ontologi adalah bagian filsafat yang paling umum, atau merupakan bagian dari
metafisika, dan metafisika merupakan salah satu bab dari filsafat.
Obyek telaah ontologi adalah yang ada tidak terikat pada satu perwujudan tertentu,
ontologi membahas tentang yang ada secara universal, yaitu berusaha mencari inti yang
dimuat setiap kenyataan yang meliputi segala realitas dalam semua bentuknya.
Setelah menjelajahi segala bidang utama dalam ilmu filsafat, seperti filsafat
manusia, alam dunia, pengetahuan, kehutanan, moral dan sosial, kemudian disusunlah
uraian ontologi. Maka ontologi sangat sulit dipahami jika terlepas dari bagian-bagian dan
bidang filsafat lainnya. Dan ontologi adalah bidang filsafat yang paling sukar.
Metafisika membicarakan segala sesuatu yang dianggap ada, mempersoalkan
hakekat. Hakekat ini tidak dapat dijangkau oleh panca indera karena tak terbentuk,
berupa, berwaktu dan bertempat. Dengan mempelajari hakikat kita dapat memperoleh
pengetahuan dan dapat menjawab pertanyaan tentang apa hakekat ilmu itu.
Ditinjau dari segi ontologi, ilmu membatasi diri pada kajian yang bersifat
empiris.Objek penelaah ilmu mencakup seluruh aspek kehidupan yang dapat diuji oleh
panca indera manusia. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa hal-hal yang sudah
berada diluar jangkauan manusia tidak dibahas oleh ilmu karena tidak dapat dibuktikan
secara metodologis dan empiris, sedangkan ilmu itu mempunyai ciri tersendiri yakni
berorientasi pada dunia empiris. Berdasarkan objek yang ditelaah dalam ilmu
pengetahuan dua macam:
1. Obyek material (obiectum materiale, material object) ialah seluruh lapangan atau
bahan yang dijadikan objek penyelidikan suatu ilmu.
2. Obyek Formal (obiectum formale, formal object) ialah penentuan titik pandang
terhadap obyek material.

Untuk mengkaji lebih mendalam hakekat obyek empiris, maka ilmu membuat
beberapa asumsi (andaian) mengenai objek itu. Asumsi yang sudah dianggap benar dan
tidak diragukan lagi adalah asumsi yang merupakan dasar dan titik tolak segala pandang
kegiatan. Asumsi itu perlu sebab pernyataan asumtif itulah yang memberikan arah dan
landasan bagi kegiatan penelaahan.

Ada beberapa asumsi mengenai objek empiris yang dibuat oleh ilmu, yaitu:
Pertama, menganggap objek-objek tertentu mempunyai kesamaan antara yang satu
dengan yang lainnya, misalnya dalam hal bentuk, struktur, sifat dan sebagainya. Kedua,
menganggap bahwa suatu benda tidak mengalami perubahan dalam jangka waktu
tertentu. Ketiga, determinisme yakni menganggap segala gejala bukan merupakan suatu
kejadian yang bersifat kebetulan. Asumsi yang dibuat oleh ilmu bertujuan agar
mendapatkan pengetahuan yang bersifat analitis dan mampu menjelaskan berbagai kaitan
dalam gejala yang tertangguk dalam pengalaman manusia.

Asumsi itupun dapat dikembangkan jika pengalaman manusia dianalisis dengan


berbagia disiplin keilmuan dengan memperhatikan beberapa hal; Pertama, asumsi harus
relevan dengan bidang dan tujuan pengkajian disiplin keilmuan. Asumsi ini harus
operasional dan merupakan dasar dari pengkajian teoritis. Kedua, asumsi harus
disimpulkan dari “keadaan sebagaimana adanya” bukan “bagaimana keadaan yang
seharusnya”.

Asumsi pertama adalah asumsi yang mendasari telaah ilmiah, sedangkan asumsi
kedua adalah asumsi yang mendasari moral. Oleh karena itu seorang ilmuan harus benar-
benar mengenal asumsi yang dipergunakan dalam analisis keilmuannya, sebab
mempergunakan asumsi yang berbeda maka berbeda pula konsep pemikiran yang
dipergunakan. Suatu pengkajian ilmiah hendaklah dilandasi dengan asumsi yang tegas,
yaitu tersurat karena yang belum tersurat dianggap belum diketahui atau belum mendapat
kesamaan pendapat.

Pertanyaaan mendasar yang muncul dalam tataran ontologi adalah untuk apa
penggunaan pengetahuan itu? Artinya untuk apa orang mempunyai ilmu apabila
kecerdasannya digunakan untuk menghancurkan orang lain, misalnya seorang ahli
ekonomi yang memakmurkan saudaranya tetapi menyengsarakan orang lain, seorang
ilmuan politik yang memiliki strategi perebutan kekuasaan secara licik.

2. Epistemologi
Terjadi perdebatan filosofis yang sengit di sekitar pengetahuan manusia, yang
menduduki pusat permasalahan di dalam filsafat, terutama filsafat modern. Pengetahuan
manusia adalah titik tolak kemajuan filsafat, untuk membina filsafat yang kukuh tentang
semesta (universe) dan dunia. Maka sumber-sumber pemikiran manusia, kriteria-kriteria,
dan nilai-nilainya tidak ditetapkan, tidaklah mungkin melakukan studi apa pun,
bagaimanapun bentuknya.
Salah satu perdebatan besar itu adalah diskusi yang mempersoalkan sumbersumber
dan asal-usul pengetahuan dengan meneliti, mempelajari dan mencoba mengungkapkan
prinsip-prinsip primer kekuatan struktur pikiran yang dianugerahkan
kepada manusia. Maka dengan demikian ia dapat menjawab pertanyaan-
pertanyaan berikut ini: Bagaimana pengetahuan itu muncul dalam diri manusia?
Bagaimana kehidupan intelektualnya tercipta, termasuk setiap pemikiran dan kinsep-
konsep (nations) yang muncul sejak dini ? dan apa sumber yang memberikan kepada
manusia arus pemikiran dan pengetahuan ini Sebelum menjawab semua pertanyaan-
petanyaan di atas, maka kita harus tahu bahwa pengetahuan (persepsi) itu terbagi, secara
garis besar, menjadi dua. Pertama, konsepsi atau pengetahuan sederhana. Kedua tashdiq
(assent atau pembenaran), yaitu pengetahuan yang mengandung suatu penilaian.
Konsepsi dapat dicontohkan dengan penangkapan kita terhadap pengertian panas, cahaya
atau suara. Tashdiq dapat dicontohkan dengan penilaian bahwa panas adalah energi yang
datang dari matahari dan bahwa matahari lebih bercahaya daripada bulan dan bahwa
atom itu dapat meledak. Jadi antar konsepsi dan tashdiq sangat erat kaitannya, karena
konsepsi merupakan penangkapan suatu objek tanpa menilai objek itu, sedangkan
tashdiq, adalah memberikan pembenaran terhadap objek.
Pengetahuan yang telah didapatkan dari aspek ontologi selanjutnya digiring ke
aspek epistemologi untuk diuji kebenarannya dalam kegiatan ilmiah. Menurut Ritchie
Calder proses kegiatan ilmiah dimulai ketika manusia mengamati sesuatu.Dengan
demikian dapat dipahami bahwa adanya kontak manusia dengan dunia empiris
menjadikannya ia berpikir tentang kenyataan-kenyataan alam.
Setiap jenis pengetahuan mempunyai ciri yang spesifik mengenai apa, bagaimana
dan untuk apa, yang tersusun secara rapi dalam ontologi, epistemologi, dan aksiologi.
Epistemologi itu sendiri selalu dikaitkan dengan ontologi dan aksiologi ilmu. Persoalan
utama yang dihadapi oleh setiap epistemologi pengetahuan pada dasarnya adalah
bagaimana cara mendapatkan pengetahuan yang benar dengan mempertimbangkan aspek
ontologi dan aksiologi masing-masing ilmu.
Kajian epistemologi membahas tentang bagaimana proses mendapatkan ilmu
pengetahuan, hal-hal apakah yang harus diperhatikan agar mendapatkan pengetahuan
yang benar, apa yang disebut kebenaran dan apa kriterianya.
Objek telaah epistemologi adalah mempertanyakan bagaimana sesuatu itu datang,
bagaimana kita mengetahuinya, bagaimana kita membedakan dengan lainnya, jadi
berkenaan dengan situasi dan kondisi ruang serta waktu mengenai sesuatu hal.
Jadi yang menjadi landasan dalam tataran epistemologi ini adalah proses apa yang
memungkinkan mendapatkan pengetahuan logika, etika, estetika, bagaimana cara dan
prosedur memperoleh kebenaran ilmiah, kebaikan moral dan keindahan seni, apa yang
disebut dengan kebenaran ilmiah, keindahan seni dan kebaikan moral.
Dalam memperoleh ilmu pengetahuan yang dapat diandalkan tidak cukup dengan
berpikir secara rasional ataupun sebaliknya berpikir secara empirik saja karena keduanya
mempunyai keterbatasan dalam mencapai kebenaran ilmu pengetahuan. Jadi pencapaian
kebenaran menurut ilmu pengetahuan didapatkan melalui metode ilmiah yang
merupakan gabungan atau kombinasi antara rasionalisme dengan empirisme sebagai satu
kesatuan yang saling melengkapi.
Banyak pendapat para pakar tentang metode ilmu pengetahuan, namun penulis
hanya memaparkan beberapa metode keilmuan yang tidak jauh beda dengan proses yang
ditempuh dalam metode ilmiah
Metode ilmiah adalah suatu rangkaian prosedur tertentu yang diikuti untuk
mendapatkan jawaban tertentu dari pernyataan yang tertentu pula. Epistemologi dari
metode keilmuan akan lebih mudah dibahas apabila mengarahkan perhatian kita kepada
sebuah rumus yang mengatur langkah-langkah proses berfikir yang diatur dalam suatu
urutan tertentu
Kerangka dasar prosedur ilmu pengetahuan dapat diuraikan dalam enam langkah
sebagai berikut:
a. Sadar akan adanya masalah dan perumusan masalah
b. Pengamatan dan pengumpulan data yang relevan
c. Penyusunan atau klarifikasi data
d. Perumusan hipotesis
e. Deduksi dari hipotesis
f. Tes pengujian kebenaran (Verifikasi)

Keenam langkah yang terdapat dalam metode keilmuan tersebut masing-masing


terdapat unsur-unsur empiris dan rasional.

Menurut AM. Saefuddin bahwa untuk menjadikan pengetahuan sebagai ilmu


(teori) maka hendaklah melalui metode ilmiah yang terdiri atas dua pendekatan:
Pendekatan deduktif dan Pendekatan induktif. Kedua pendekatan ini tidak dapat
dipisahkan dengan menggunakan salah satunya saja, sebab deduksi tanpa diperkuat
induksi dapat dimisalkan sport otak tanpa mutu kebenaran, sebaliknya induksi tanpa
deduksi menghasilkan buah pikiran yang mandul.

Proses metode keilmuan pada akhirnya berhenti sejenak ketika sampai pada titik
“pengujian kebenaran” untuk mendiskusikan benar atau tidaknya suatu ilmu. Ada tiga
ukuran kebenaran yang tampil dalam gelanggang diskusi mengenai teori kebenaran,
yaitu teori korespondensi, koherensi dan pragmatis. Penilaian ini sangat menentukan
untuk menerima, menolak, menambah atau merubah hipotesa, selanjutnya diadakanlah
teori ilmu pengetahuan.

3. Aksiologi
Sampailah pembahasan kita kepada sebuah pertanyaan: Apakah kegunaan ilmu itu
bagi kita? Tak dapat dipungkiri bahwa ilmu telah banyak mengubah dunia dalam
memberantas berbagai termasuk penyakit kelaparan, kemiskinan dan berbagai wajah
kehidupan yang duka. Namun apakah hal itu selalu demikian: ilmu selalu merupakan
berkat dan penyelamat bagi manusia. Seperti mempelajari atom kita bisa memanfaatkan
wujud tersebut sebagai sumber energy bagi keselamatan manusia, tetapi dipihak lain hal
ini bisa juga berakibat sebaliknya, yakni membawa manusia kepada penciptaan bom
atom yang menimbulkan malapetaka.
Jadi yang menjadi landasan dalam tataran aksiologi adalah untuk apa pengetahuan
itu digunakan? Bagaimana hubungan penggunaan ilmiah dengan moral etika?
Bagaimana penentuan obyek yang diteliti secara moral? Bagimana kaitan prosedur
ilmiah dan metode ilmiah dengan kaidah moral?
Demikian pula aksiologi pengembangan seni dengan kaidah moral, sehingga ketika
seni tari dangdut Inul Dartista memperlihatkan goyangnya di atas panggung yang
ditonton khalayak ramai, sejumlah ulama dan seniman menjadi berang.
Dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, penemuan nuklir dapat
menimbulkan bencana perang, penemuan detektor dapat mengembangkan alat pengintai
kenyamanan orang lain, penemuan cara-cara licik ilmuan politik dapat menimbulkan
bencana bagi suatu bangsa, dan penemuan bayi tabung dapat menimbulkan bancana bagi
terancamnya perdaban perkawinan.
Berkaitan dengan etika, moral, dan estetika maka ilmu itu dapat dibagi menjadi
dua kelompok:
1. Ilmu Bebas Nilai

Berbicara tentang ilmu akan membicarakan pula tentang etika, karena sesungguhnya etika
erat hubungannya dengan ilmu. Bebas nilai atau tidaknya ilmu merupakan masalah rumit,
jawabannya bukan sekadar ya atau tidak. Sebenarnya sejak saat pertumbuhannya ilmu sudah
terkait dengan masalah-masalah moral namun dalam perspektif yang berbeda. Ketika
Copernicus (1473-1543M) mengajukan teorinya tentang kesemestaan alam dan menemukan
bahwa “bumi yang berputar mengelilingi matahari” dan bukan sebaliknya seperti yang
diajarkan oleh agama (gereja) maka timbullah reaksi antara ilmu dan moral (yang bersumber
pada ajaran agama) yang berkonotasi metafisik. Secara metafisik ilmu ingin mempelajari
alam sedangkan dipihak lain terdapat keinginan agar ilmu mendasarkan pada pernyataan-
pernyataan nilai berasal dari agama sehingga timbullah konflik yang bersumber pada
penafsiran metafisik yang berakumulasi pada pengadilan inkuisisi Galileo pada tahun 1633
M.

Vonis inkuisisi Galileo memengaruhi perkembangan berpikir di Eropa, yang pada dasarnya
mencerminkan pertentangan antara ilmu yang ingin bebas dari nilai-nilai di luar bidang
keilmuan dan ajaran-ajaran (agama). Pada kurun waktu itu para ilmuan berjuang untuk
menegakkan ilmu yang berdasarkan penafsiran alam dengan semboyan “ilmu yang bebas
nilai”. Latar belakang otonomi ilmu bebas dari ajaran agama (gereja) dan leluasa ilmu dapat
mengembangkan dirinya. Pengembangan konsepsional yang

bersifat kontemplatif kemudian disusul dengan penerapan konsep-konsep ilmiah kepada


masalah-masalah praktis. Sehingga Berthand Russell menyebut perkembangan ini sebagai
peralihan ilmu dari tahap kontemplasi ke manipulasi.

Dengan tahap perkembangan ilmu ini berada pada ambang kemajuan karena pikiran manusia
tak tertundukkan pada akhirnya ilmu menjadi suatu kekuatan sehingga terjadilah
dehumanisasi terhadap seluruh tatanan hidup manusia.

Menghadapi fakta seperti ini ilmu pada hakekatnya mempelajari alam dengan
mempertanyakan yang bersifat seharusnya, untuk apa sebenarnya ilmu itu dipergunakan,
dimana batas wewenang penjelajahan keilmuan dan ke arah mana perkembangan keilmuan
ini diarahkan. Pertanyaan ini jelas bukan urgensi bagi ilmuan seperti Copernicus, Galileo dan
ilmuan seangkatannya, namun ilmuan yang hidup dalam abad kedua puluh yang telah dua
kali mengalami perang dunia dan bayangan perang dunia ketiga. Pertanyaan ini tidak dapat
dielakkan dan untuk menjawab pertanyaan ini maka ilmu berpaling kepada hakekat moral.
Masalah moral dalam menghadapi ekses ilmu dan teknologi yang bersifat destruktif para
ilmuan terbagi dalam dua pendapat. Golongan pertama menginginkan ilmu netral dari nilai-
nilai baik secara ontologis, epistemologis, maupun aksiologis. Golongan kedua berpendapat
bahwa netralitas ilmu hanya terbatas pada metafisik keilmuan, namun dalam penggunaannya
harus berlandaskan pada moral.

Einstein pada akhir hayatnya tak dapat menemukan agama mana yang sanggup
menyembuhkan ilmu dari kelumpuhannya dan begitu pula moral universal manakah yang
dapat mengendalikan ilmu, namun Einstein ketika sampai pada puncak pemikirannya dan
penelaahannya terhadap alam semesta ia berkesimpulan bahwa keutuhan ilmu merupakan
integrasi rasionalisme, empirisme dan mistis intuitif.

Perlunya penyatuan ideology tentang ketidak netralan ilmu ada beberapa alasan, namun yang
penting dicamkan adalah pesan Einstein pada masa akhir hayatnya “Mengapa ilmu yang
begitu indah, yang menghemat kerja, membikin hidup lebih mudah, hanya membawa
kebahagiaan yang sedikit sekali pada kita”. Adapun permasalahan dari keluhan Einstein
adalah pemahaman dari pemikiran Francis Bacon yang telah berabad-abad telah mengekang
dan mereduksi nilai kemanusiaan dengam ide “pengetahuan adalah kekuasaan”.

Dari pernyataan di atas, dapat dipahami bahwa, ilmu yang dibangun atas dasar ontologi,
epistemologi dan aksiologi haruslah berlandaskan etika sehingga ilmu itu tidak bebas nilai

2. Teori tentang nilai

Pembahasan tentang nilai akan dibicarakan tentang nilai sesuatu, nilai perbuatan, nilai situasi,
dan nilai kondisi. Segala sesuatu kita beri nilai. Pemandangan yang indah, akhlak anak
terhadap orang tuanya dengan sopan santun, suasana lingkungan dengan menyenangkan dan
kondisi badan dengan nilai sehat. Ada perbedaan antara pertimbangan nilai dengan
pertimbangan fakta. Fakta berbentuk kenyataan, ia dapat ditangkap dengan pancaindra,
sedang nilai hanya dapat dihayati. Walaupun para filosof

berbeda pandangan tentang defenisi nilai, namun pada umumnya menganggap bahwa nilai
adalah pertimbangan tentang penghargaan.

Pertimbangan fakta dan pertimbangan nilai tidak dapat dipisahkan, antara keduanya karena
saling memengaruhi. Sifat-sifat benda yang dapat diamati juga termasuk dalam penilaian.
Jika fakta berubah maka penilaian kita berubah ini berarti pertimbangan nilai dipengaruhi
oleh fakta.
Fakta itu sebenarnya netral, tetapi manusialah yang memberikan nilai kedalamannya
sehingga ia mengandung nilai. Karena nilai itu maka benda itu mempunyai nilai. Namun
bagaimanakah criteria benda atau fakta itu mempunyai nilai.

Teori tentang nilai dapat dibagi menjadi dua yaitu nilai etika dan nilai estetika, Etika
termasuk cabang filsafat yang membicarakan perbuatan manusia dan memandangnya dari
sudut baik dan buruk. Adapun cakupan dari nilai etika adalah: Adakah ukuran perbuatan yang
baik yang berlaku secara universal bagi seluruh manusia, apakah dasar yang dipakai untuk
menentukan adanya norma-norma universal tersebut, apakah yang dimaksud dengan
pengertian baik dan buruk dalam perbuatan manusia, apakah yang dimaksud dengan
kewajiban dan apakah implikasi suatu perbuatan baik dan buruk.

Nilai etika diperuntukkan pada manusia saja, selain manusia (binatang, benda, alam) tidak
mengandung nilai etika, karena itu tidak mungkin dihukum baik atau buruk, salah atau benar.
Contohnya dikatakania mencuri, mencuri itu nilai etikanya jahat. Dan orang yang melakukan
itu dihukum bersalah. Tetapi kalau kucing mengambil ikan dalam lemari, tanpa izin tidak
dihukum bersalah. Yang bersalah adalah kita yang tidak hati-hati, tidak menutup atau
mengunci pintu lemari.

Adapun estetika merupakan nilai-nilai yang berhubungan dengan kreasi seni, dan
pengalaman-pengalaman yang berhubungan dengan seni atau kesenian. Kadang estetika
diartikan sebagai filsafat seni dan kadang-kadang prinsip yang berhubungan dengan estetika
dinyatakan dengan keindahan.

Syarat estetika terbatas pada lingkungannya, disamping juga terikat dengan ukuran-ukuran
etika. Etika menuntut supaya yang bagus itu baik. Lukisan porno dapat mengandung nilai
estetika, tetapi akal sehat menolaknya, karena tidak etika. Sehingga kadang orang
memetingkan nilai panca-indra dan mengabaikan nilai ruhani.

Orang hanya mencari nilai nikmat tanpa mempersoalkan apakah ia baik atau buruk. Nilai
estetika tanpa diikat oleh ukuran etika dapat berakibat mudarat kepada estetika, dan dapat
merusak.

Menurut Randal, ada tiga interpretasi tentang hakikat seni, yaitu:

1. Seni sebagai penembusan (penetrasi) tehadap realisasi disamping pengalaman. 2. Seni


sebagai alat untuk kesenangan, seni tidak berhubungan dengan pengetahuan tentang alam dan
memprediksinya , tetapi manipulasi alam untuk kepentingan kesenangan. 3. Seni sebagai
ekspresi sungguh-sungguh tentang pengalaman.

Uraian tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa penilaian baik dan buruk terletak pada
manusia itu sendiri. Namun dalam Islam penilaian baik dan buruknya sesuatu mempunyai
nilai yang universal yaitu al-Qur’an dan hadis.

C. Integrasi Tauhid dalam konsep berfikir yang sistematis dan komprehesif Dalam pandangan
ar-Râzî, pola pikir adalah aktivitas jiwa yang memerlukan khayal dalam berbagai hal dan
membutuhkan keseimbangan. Secara sederhana pola pikir bisa diartikan sebagai cara
pandang atau bagaimana sejatinya seseorang itu berpikir. Pengertian pola pikir ar-Râzî
tersebut mendapat penegasan kembali oleh alAttas dengan menyatakan bahwa sejatinya
berpikir adalah, “Gerakan jiwa menuju makna, dan proses ini memerlukan imajinasi (al-
khayal). Intuisi, baik dalam pengertian kecerdasan (al-hads) maupun dalam pengertian
pengalaman pencerahan atau illuminatif (al-wijdan) adalah sampainya jiwa pada makna atau
sampainya makna ke dalam jiwa, baik dengan usaha pencarian melalui pembuktian, seperti
pada kasus yang pertama, maupun datang sendirinya seperti pada kasus kedua”. Setiap orang
memiliki pola pikir yang berbeda dari yang lain. Perbedaan pola pikir terjadi karena adanya
cara pandang yang berbeda. Cara pandang orang yang mempercayai Tuhan berbeda dengan
mereka yang tidak percaya kepada Tuhan. Dengan kata lain, bahwa pola pikir orang yang
beriman berbeda dengan mereka yang tidak beriman. Dalam hal ini, Ibn Hajar al-Asqalani
menerangkan bahwa orang yang memiliki pemikiran kotor hatinya pasti lemah. Oleh karena
akal dan hati selalu berkaitan, maka apa yang diyakini oleh hati sesungguhnya tidak lepas
dari apa yang dipikirkan oleh akal. Bahkan dengan akalnya seseorang bisa berpikir dan dari
padanya proses kepercayaan itu mulai hadir dan menetap di dalam hati. Yang demikian itu
karena kepercayaan tidak datang secara tibatiba melainkan adanya proses yang berjalan;
diawali dari mata yang melihat realitas wujud yang tampak dan yang tidak tampak, realitas
itu kemudian ditangkap dan dicerna oleh akal atau pikiran yang pada tahap berikutnya
disimpan dan menetap di hati. Termasuk yang utama adalah kepercayaan terhadap (tauhid)
kemahaesaan Tuhan. Seperti yang telah dijelaskan ar-Râzî, tauhid merupakan peneguhan diri
seseorang atas pengetahuanya dengan menyatakan bahwa tidak ada Tuhan selain Allah.
Artinya, bertauhid itu tidak sebatas ketetapan hati, pengakuan verbal, yang tanpa ilmu bahwa
Allah itu Esa, melainkan meniscayakan dasar pengetahuan yang luas. Sebab, pengetahuan
merupakan dasar untuk mengetahui hak Allah, sementara pengakuan verbal merupakan
syarat yang
menjadi hak makhluk. Lebih dari itu, bertauhid juga harus dimanifestasikan dalam tindakan
nyata. Menurut ar-Râzî, iman memiliki dasar dan buahnya. Iman merupakan dasar sedangkan
amal merupakan wujud iman itu sendiri sebagaimana dimutlakkannya dasar pohon dan
buahnya. Premis kuatnya relasi antara akal, hati, maupun jiwa itu bisa dibuktikan dengan cara
yang berbeda, misalnya melalui gerakan jiwa. Ketika jiwa melakukan gerakan, dan gerakan
itu telah sampai pada makna dengan segala proses yang telah dilaluinya, maka tibanya makna
ke dalam jiwa itu sejatinya bisa disebut sebagai pengetahuan. Sebab, arti pengetahuan seperti
yang dijelaskan alAttas dalam bukunya the Prolegomena to the Metaphysics of Islam, adalah
tibanya makna ke dalam jiwa, dan tibanya jiwa ke dalam makna. Sebab itu, agar hubungan
akal dengan jiwa kuat, menurut ar-Râzî, diperlukan dua upaya strategis; pertama,
membersihkan diri dan kedua, selalu berpikir positif dan membiasakan melakukan perbuatan
yang baik secara terus menerus. Untuk pembersihan diri, menurut ar-Râzî, diperlukan
keberanian membebaskan diri dari kebodohan, kemaksiatan (sebab jiwa yang kotor selalu
senang terhadap hal-hal yang berbau maksiat), syirik, sihir, nifq dan hal-hal lain yang
bertentangan dengan ajaran Islam. Dalam pandangannya, membersihkan jiwa merupakan
salah satu cara untuk menguatkan tauhid. Jika jiwa bersih maka tauhid seseorang akan
semakin kuat, dan jika tauhidnya kuat maka akan kuat pula imannya. Iman yang kuat hanya
bisa didapatkan oleh mereka yang taat, sebaliknya iman akan turun dan berkurang jika
melakukan maksiat. Jika hal-hal yang bisa membawa kepada kesucian jiwa itu bisa dilakukan
dengan baik, maka hati akan selalu bersih dan Allah pun akan selalu menyukai orangorang
yang menyenangi kebersihan. Sedangkan untuk membiasakan diri agar berpikir positif,
diperlukan kesadaran penuh untuk menghilangkan sekat-sekat yang mengganggu pola pikir.
Untuk itu, ditekankan supaya selalu berpikir positif terhadap berbagai hal dan kewajiban
yang diperintahkan syariat, bahkan ditekankan pula untuk berupaya membiasakan diri
berbuat kebaikan. Dalam hal ini, menurut ar-Râzî, taat terhadap segala perintah-Nya, syukur,
adil, jujur, dan tawakal adalah kunci utamanya. Jika jiwa bersih maka tauhid dan iman akan
kuat, dan jika tauhid dan iman telah kuat maka pola pikirnya dipastikan akan bersih. Namun
faktanya, kebanyakan manusia lupa dengan fitrah itu, sehingga tidak lagi menjalankan
janjinya. Pola pikirnya selalu diwarnai pola pikir negatif, dipengaruhi oleh kehendak
nafsunya, semua dilakukan secara berlebihan tanpa adanya kontrol dan tidak lagi peduli
dengan syariat Tuhan. Mereka tidak lagi berpikir dengan fitrahnya, bahkan

lebih dari itu, mereka telah bersikap dan berperilaku dosa, maka akibatnya mereka menjadi
hina dan tidak menjadi makhluk pilihan. Yang menarik untuk dikaji lebih lanjut di sini adalah
sejauh mana pola pikir itu memberikan pengaruh dan dorongan seseorang dalam mengambil
sikap? Adakah hubungan antara pola pikir dengan sikap? Dan jika ada, bagaimana pula
pandangan arRâzî terhadap relasi antara tauhid dengan sikap itu? Semua perlu dilihat dan
dianalisa agar memberikan pemahaman yang berarti.
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
1. Kesimpulan yang dapat diambil berdasarkan uraian isi makalah sebagai berikut:
Integrasi adalah pembauran hingga menjadi kesatuan yang utuh atau bulat.
2. Istilah ontologi berasal dari bahasa Yunani, yang terdiri dari dua kata, yaitu ta
onta berarti “yang berada”, dan logi berarti ilmu pengetahuan atau ajaran. Maka
ontologi adalah ilmu pengetahuan atau ajaran tentang keberadaan, term ontologi
pertama kali diperkenalkan oleh Rudolf.
3. Menurut etimologi, epistemologi berasal dari bahasa Yunani, yaitu episteme
(pengetahuan) dan logos (ilmu yang sistematis, teori). Secara terminologi,
epistemologi adalah teori atau ilmu pengetahuan tentang metode dan dasar-dasar
pengetahuan, khususnya yang berhubungan dengan batas-batas pengetahuan dan
validitas atau sah berlakunya pengetahuan itu.
4. Aksiologi membahas tentang masalah nilai. Istilah aksiologi berasal dari kata
axio dan logos, axios artinya nilai atau sesuatu yang berharga, dan logos artinya
akal, teori, axiologi artinya teori nilai, penyelidikan mengenai kodrat, kriteria dan
status metafisik dari nilai.
B. Saran
Demikian makalah yang dapat kami susun, kami menyadari bahwa masih
banyak kekurangan, oleh sebab itu kritik dan saran yang membangun dari para
pembaca sangat kami harapkan. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita
semua.
DAFTAR PUSTAKA

Ahmad, Mudlor. 1994. Ilmu Dan Keinginan Tabu (Epistemologi Dalam Filsafat). Bandung:
Trigenda Karya.

Arief, Armai. 2002. Pengantar Ilmu dan Metedologi Pendidikan Islam. Jakarta: Ciputat Pres.

Idi, Jalaluddin Abdullah. 1997. Filsafat Pendidikan. Jakarta: Gaya Media Pratama.

Margono, Soejono Soe. Pengantar Filsafat Louis O.Kattsoff. Yogyakarta: Tiara Wacana
Yogya.

Muhmidayeli. 2011. Filsafat Pendidikan. Bandung: Refika Aditama.

Mustansyir, Rizal dan Munir, Misnal. 2001. Filsafat Ilmu. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Qomar, Mujamil. 2005. Epistemologi Pendidikan Islam: dari Metode Rasional Hingga
Metode Kritik. Jakarta: Erlangga.

Soyomukti, Nuraini. 2011. Pengantar Filsafat Umum. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.

Susanto, A. 2001. Filsafat Ilmu. Jakarta: Bumi Aksara.

Syam, Nina W. 2010. Filsafat Sebagai Akar Ilmu Komunikasi. Bandung: Simbiosa
Rekatama.

Tafsir, Ahmad. 2003. Filsafat Umum. Bandung: Remaja Rosdakarya.

WibSurajiyo. 2005. Ilmu Filsafat Suatu Pengantar. Jakarta: Bumi Aksara.

Anda mungkin juga menyukai