Anda di halaman 1dari 7

TUGAS MAKALAH ISLAM UNTUK DISIPLIN ILMU (IDI)

PERKEMBANGAN TRADISI KEILMUAN

DOSEN :

Dr. Fetrimen, M.Pi.

DISUSUN OLEH :

Nama: Febri Amalia Aristanto

Nim : 1704015088

Kelas : 6E

PROGRAM STUDI FARMASI

FAKULTAS FARMASI DAN SAINS

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAN PROF DR HAMKA

2020
A. Perkembangan tradisi keilmuan

Secara historis tradisi intelektual dalam Islam dimulai dari pemahaman terhadap Al-Qur‟an yang
diwahyukan kepada Nabi Muhamad SAW, secara berturut turut dari periode Mekah sampai Madinah.
Munculnya tradisi keilmuan dalam Islam secara umum dapat dibagi menjadi tiga periode. Periode
pertama dimana pada periode ini lahirlah pandangan hidup Islam. Perioda kedua dimulai ketika timbul
kesadaran bahwa wahyu yang turun (sudah menjadi pandangan hidup) pada dasarnya mengandung
struktur fundamental dari apa yang disebut dengan scientific worldview. Periode ketiga adalah lahirnya
tradisi keilmuan dalam Islam, dimana tradisi keilmuan ini lahir dari konsekuensi logis dari adanya
struktur pengetahuan dalam Islam. Dari proses lahirnya pandangan Islam yang tergambar dari tiga
periode di atas dapat disimpulkan bahwa Islam adalah agama yang sarat dengan ajaran yang mendorong
timbulnya ilmu pengetahuan. Ajaran tentang ilmu pengetahuan dalam Islam yang cikal bakalnya adalah
konsep konsep dasar dalam wahyu itu kemudian ditafsirkan kedalam berbagai bentuk kehidupan dan
akhirnya terakumulasi dalam sebuah bangunan peradaban yang kokoh. Suatu peradaban yang lahir dan
tumbuh atas dukungan tradisi intelektual yang berbasis pada wahyu.

Di dalam sejarah timbulnya tradisi kelimuan dalam Islam, juga dikenal adanya medium
transformasi dalam bentuk institusi pendidikan yang disebut al Suffah dan komunitas intelektualnya
disebut ashab al suffah,Ashab al suffah ini adalah gambaran terbaik institusionalisasi kegiatan belajar
mengajar dalam Islam dan merupakan tonggak awal tradisi intelektual dalam Islam dimana obyek
kajiannya berpusat pada wahyu. Materi kajiannya tidak dapat disamakan dengan materi diskusi spekulatif
di Ionia yang menurut orang barat merupakan tonggak lahirnya tradisi keilmuan Yunani, bahkan
kebudayaan barat itu sendiri diklaim lahir dari aktivitas ini. Dari komunitas inilah lahir para intelektual
Islam yang merupakan pakar pakar dalam hadits nabi.

 Zaman Pra Yunani Kuno

Pada zaman ini, secara umum terbagi menjadi tiga fase. Pertama, zaman Batu Tua yang
berlangsung 4 juta tahun SM (Sebelum Masehi) sampai 20.000/10.000 SM. Pada zaman ini telah
mempunyai beberapa ciri khas, di antaranya adalah menggunakan alat-alat sederhana yang dibuat dari
batu    dan tulang, mengenal cocok taman dan beternak, dan dalam kehidupan sehari-hari didasari dengan
pengamatan primitif menggunakan sistem “trial and error” (mencoba-coba dan salah) kemudian bisa
berkembang menjadi “know how“.

Kedua, zaman Batu Muda yang berlangsung 10.000 SM sampai 2000 SM atau abad 100 sampai
abad 20 SM. Dalam zaman ini telah berkembang kemampuan-kemampuan yang sangat siginifikan.
Kemampuan itu berupa kemampuan menulis (dinyatakan dengan gambar dan symbol atau lambang-
lambang), kemampuan membaca (bermula dari bunyi atau suku kata tertentu), dan kemampuan berhitung.
Dalam zaman ini juga berkembang masalah perbintangan, matematika, perdagangan, dan
hukum. Ketiga, zaman Logam. Zaman ini berlangsung dari abad 20 SM sampai dengan abad 6 SM. Pada
zaman ini pemakaian logam sebagai bahan peralatan sehari-hari, baik sebagai perhiasan, peralatan masak,
atau bahkan peralatan perang.
Pada zaman Batu Tua, yang menjadi tokoh utama disebut-sebut dengan manusia purba. Belum
ditemukan secara spesifik data diri mereka, tetapi yang terlihat secara jelas adalah hasil karya mereka.
Karya-karya mereka yang fenomenal adalah peralatan yang terbuat dari batu dan tulang. Dengan
berjalannya waktu, pada zaman Batu Muda sudah ada kerajaan-kerajaan besar yang ikut andil dalam
mengukir sejarah. Kerajaan itu adalah Mesir, Babylon, Sumeria, Niniveh, India , dan Cina. Karya-karya
yang didapat dari zaman ini berupa batu Rosetta (Hieroglip), segitiga dengan unit 3,4,5 (segitiga siku-
siku), nilai logam sebagai nilai tukar, perundangan yang ditulis, lukisan di dinding gua, tulisan Kanji
(Pistographic Writing), dan zodiac (Salam, 2004: 30-34). Sedangkan menurut Tim Dosen Filsafat Ilmu
UGM (2001), menemukakan bahwa di India sudah menemukan roda pemutar untuk pembuatan tembikar
pada abad 30 SM dan punah (akibat bencana dan perang) pada abad 20 SM.

Pada zaman Logam didominasi oleh kerajaan Mesir. Tetapi kerajaan Cina dan Sumeria juga
masih mempunyai peran. Pada masa ini karya-karya yang ada berupa didominasi dengan alat-alat yang
terbuat dari besi dan perunggu. Seni membuat patung juga menjadi karya fenomenal pada masanya,
bahkan sampai saat ini. Contohnya adalah karya-karya dari Mesir, seperti patung istri raja Fir’aun
(Neferitti). Menurut Brouwer (1982) dalam buku Filsafat Ilmu yang disusun oleh Tim Dosen Filsafat
Ilmu UGM (2001) di antara abad 15 SM di Sumeria (Irak) telah menggunakan alat-alat dari besi. Selain
itu, di Cina pada abad 15 SM dinasti Shang telah menggunakan peralatan perang dari perunggu dan pada
abad 5 SM dinasti Chin telah menggunakan besi untuk peralatan perang.

Zaman ini berlangsung dari abad 6 SM sampai dengan sekitar abad 6 M. Zaman ini menggunakan
sikap “an inguiring attitude (suatu sikap yang senang menyelidiki sesuatu secara kritis)”, dan  tidak
menerima pengalaman yang didasarkan pada sikap “receptive attitude mind (sikap menerima segitu
saja)”. Sehingga pada zaman ini filsafat tumbuh dengan subur. Yunani mencapai puncak kejayaannya
atau zaman keemasannya (Zaman Hellenisme) di bawah pimpinan Iskandar Agung (356 – 323 SM) dari
Macedonia, yang merupakan salah seorang murid Aristoteles. Pada abad ke-0 M, perkembangan ilmu
mulai mendapat hambatan. hal ini  disebabkan dengan kelahiran Kristen.  Pada pada abad pertama sampai
abad ke-2 M mulai ada pembagian wilayah perkembangan ilmu. Wilayah pertama berpusat di Athena,
yang difokuskan di bidang kemampuan intelektual. Sedangkan wilayah yang kedua berpusat di
Alexandria, yang fokus pada bidang empiris.

Setelah Alexandria dikuasai oleh Roma yang tertarik dengan hal-hal abstak, pada abad ke-4 dan
ke-5 M ilmu pengetahuan benar-benar beku. Menurut Hull dalam buku karangan Salam (2004:52), hal ini
disebabkan oleh tiga pokok penting:

 Pengusa Roma yang menekan kebebasan berpikir


 Ajaran Kristen yang tidak boleh disangkal
 Kerjasama gereja dan pengusa sebagai otoritas kebenaran.

Walaupun begitu pada abad ke-2 M sempat ada Galen (bidang kedokteran) dan tokoh aljabar, Pappus dan
Diopanthus yang berperan dalam perkembangan ilmu pengetahuan.

B. Tradisi Keilmuan Masyarakat Islam


Perbedaan antara zaman modern dengan zaman kontemporer yaitu zaman modern adalah era
perkembangan ilmu yang berawal sejak sekitar abad ke-15, sedangkan zaman kontemporer adalah era
perkembangan terakhir yang terjadi hingga sekarang. Tulisan ini memandang bahwa periode Islam
kontemporer dimulai sejak paruh kedua abad ke-20, yaitu sejak berakhirnya Perang Dunia II sampai
sekarang. Periode Islam kontemporer ini ditandai oleh dua peristiwa utama. Pertama, dekolonisasi
negara-negara Muslim dari cengkraman kolonialisme Eropa. Kedua, gelombang migrasi Muslim ke
negara-negara Barat. Dua peristiwa itu telah mengubah lanskap geografi dunia muslim. Apa yang disebut
dunia Muslim tidak lagi identik dengan dunia Arab, tetapi meliputi berbagai negara nasional yang
tersebar di hampir seluruh penjuru dunia, merentang dari mulai Afrika Utara hingga Asia Tenggara.
Selain itu, sejak itu pula kaum Muslim telah menjadi bagian dari demografi negara-negara Barat.

Bicara sejujurnya, modernitas dan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi saat ini tidak luput
dari andil falsafah Barat dan Eropa yang telah berjaya sejak masa renaissance yang menimbulkan
kemajuan kemanusiaan dan ilmu pengetahuan yang spektakuler. Akan tetapi keterpisahan filsafat Barat
dan Eropa dari pentingnya pertimbangan nilai, peran moral dan agama, telah menimbulkan dampak
yang serius. Sekulerisme muncul ketika kekuasaan Negara yang dijalankan oleh pemerintah harus
terpisah wewenangnya dengan otoritas gereja. Sekulerisme berpandangan bahwa moralitas dan
pendidikan tidak boleh berdasarkan agama, morality and education should not be based on religion
(Assegaf, 2011). Tak pelak lagi, kemajuan ilmu dan teknologi modern yang diakibatkan renaissance
tersebut menjadi kering spiritual dan moralitas. Kemajuan tersebut tak menambah bukti akan keyakinan
dan kesadarannya pada Dzat Yang Maha Pencipta, atau beriman kepada Allah Swt. Interaksi antar
sesama manusia dipandang sebagai sekadar kontrak sosial-budaya. Berbuat baik tak harus berdasarkan
pada agama, melainkan orang bisa berbuat baik karena rasa kemanusiaan. Mencapai kebahagiaan batin
pun, orang tidak harus melalui agama, namun juga diperoleh dengan olah batin, yoga, konsultasi,
kehidupan mistik, atau jalan spiritualistik lainnya. Inilah dampak serius dari renaissance dan sekulerisme
(Assegaf, 2011: 223). Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi di Barat dan Eropa, yang didominasi
oleh pandangan dunia dan paradigma yang materialisme-sekuler tersebut, pada akhirnya juga telah
melahirkan penderitaan dan ketidakbahagiaan psikologis/ruhaniah pada banyak manusia baik di Barat
maupun di Timur. Krisis multidimensional terjadi akibat perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi
yang lepas dari kendali nilai-nilai moral Ketuhanan dan agama. Krisis ekologis, misalnya, berbagai
bencana alam, tsunami, gempa, banjir, dan kacaunya iklim dan cuaca dunia akibat pemanasan global yang
disebabkan tingginya polusi industri di negara-negara maju, dan berbagai bencana lainnya. Krisis
Ekonomi dan politik yang terjadi di banyak negara berkembang dan negara miskin, terjadi akibat
ketidakadilan dan ‟penjajahan‟ (neo-imperialisme) oleh negara-negara maju yang menguasai
perekonomian dunia dan ilmu pengetahuan dan teknologi modern. Negara-negara yang berpenduduk
mayoritas Muslim, saat ini pada umumnya adalah negara-negara berkembang atau negara terbelakang,
yang lemah secara ekonomi dan juga lemah atau tidak menguasai perkembangan ilmu pengetahuan dan
sains-teknologi. Pada kenyataanya umat Muslim banyak yang masih bodoh dan lemah, maka mereka
kehilangan harga diri dan kepercayaan dirinya. Beberapa di antara mereka kemudian menjadi hamba
budaya dan pengikut buta kepentingan negara-negara Barat. Mereka menyerap begitu saja nilai-nilai,
ideologi dan budaya materialis (‟matre‟) dan sekuler (anti Tuhan) yang dicekokkan melalui kemajuan
teknologi informasi dan media komunikasi Barat. Akibatnya krisis-krisis sosial-moral dan kejiwaan pun
menular kepada sebagian besar bangsa-bangsa Muslim.

C. Pasang surut perkembangan ilmu


Permasalahan multidimensi yang terjadi di era kontemporer ini, ternyata juga telah memunculkan
opini bahwa tradisi keilmuan Muslim kini cenderung tidak mampu merespons, mengantisipasi kebutuhan
dan tantangan zaman, apalagi merekayasa dan memberi kontribusi bagi peradaban umat manusia yang
egaliter, demokratis, dan humanis. Asumsi ini paling tidak didukung oleh dua tradisi dan orientasi pola
pikir Muslim, yaitu pola pikir teologis-normatif dan deduktif legalistik.
 Pola pikir teologis-normatif menempatkan Allah Swt. sebagai segala sesuatu yang terlepas dari dunia
realitas. Semua pembicaraan tentang Allah Swt terkesan eskatologis. Allah Maha Adil, tetapi
keadilan Allah Swt. terlaksana di alam akhirat, bukan di alam realitas. Keadilan Allah Swt. dipahami
sebagai sesuatu yang bersifat metafisik, tidak aktual dalam kehidupan social. Timbul anggapan bahwa
segala sesuatu hanya akan mendapat balasan berupa pahala atau dosa diakhirat saja, sementara akibat
perbuatannya di dunia ini adalah semata-mata karena hukum alam (law of nature). Orientasi berpikir
teologis normatif ini, tentu saja, memisahkan antara kehidupan di alam nyata dengan di akhirat.
 Pola pikir deduktif-legalistik muncul dari adanya anggapan bahwa dalil-dalil Al-Qur‟an dan Hadis
serta hasil ijtihad ulama terdahulu bersifat baku, mutlak dan selalu relevan untuk mengantisipasi
kebutuhan dan tantangan zaman. Kecenderungan berpikir seperti ini paling tidak dapat menimbulkan
dua orientasi yang saling terkait, yaitu berpikir text-book oriented dan ulama oriented. Bila mereka
dihadapkan pada suatu problematika, tanpa susah-susah, segera mereka merujuk pada buku standar
yang dianggapnya telah mewakili ajaran Islam sebagai jawabnya. Salah satu buku atau hasil
kompilasi dari empat imam mazhab, misalnya apabila dianggap telah menyelesaikan persoalan,
walaupun kondisi sosio-kultural pada waktu empat imam mazhab tersebut berbeda dengan setting
kehidupan masa kini, tetap dianggap sebagai solusi. Timbulah asumsi bahwa tradisi ilmiah para
ulama terdahulu telah mapan dan akan selalu relevan sampai kapanpun. Pada gilirannya, tradisi
berfikir semacam ini kalau tidak menimbulkan sikap apologis, tentu dapat membekukan
perkembangan keilmuan Muslim. Hal ini dapat kita lihat pada fenomena semakin menguatnya
orientasi fiqh (fiqh-oriented) dalam menyelesaikan banyak perkara, dengan keputusan hitam-putih
atau legalistik. Tradisi keilmuan seperti ini cenderung memicu perdebatan seputar isu halal-haram,
sah-batal, Islam-kafir, dan sesat atau tidaknya keyakinan seseorang. Kalau sudah pada tahap seperti
ini, perbedaan pendapat dan interpretasi justru memperseru perpecahan umat dan menipiskan
ukhuwah Islamiyah (Assegaf, 2011). Deduksi adalah suatu cara atau jalan yang dipakai untuk
mendapatkan pengetahuan ilmiah dengan bertitik tolak dari pengamatan atas hal-hal atau masalah
yang bersifat umum kemudian menarik kesimpulan yang bersifat khusus. Jadi yang dimaksud pola
pikir deduktif merupakan sebuah pengambilan kesimpulan untuk mencapai kebenaran melalui
pemikiran dari perkara umum menuju ke khusus. Prinsip deduksi memandang benar semua peristiwa
dalam suatu jenis sebagai berlaku benar bagi semua peristiwa yang sejenis lainnya (Assegaf, 2011).
Bila dicermati lebih lanjut, sebenarnya pola pikir deduktif di atas tidak luput dari adanya
kelamahan. Setidaknya ada dua macam kesalahan yang mungkin terjadi dalam penerapan pola pikir
deduktif, yaitu: pertama, kesalahan materiil atau isi. Konklusi yang ditarik dari deduksi yang
mengalami kesalahan materiil tersebut menurut bentuknya dapat dipandang benar. Tetapi oleh karena
memang materi premisnya sudah salah, maka konklusinya juga salah, meskipun jalannya sudah betul.
Kedua, kesalahan formal. Kesalahan formal bukanlah kesalahan karena premisnya tidak benar
melainkan karena deduksinya yang tidak benar.

D. Kontribusi dunia islam


 Pemikiran Ibn al-Haytha
Ibn al-Haytham dilahirkan di Basrah pada tahun 354 H bertepatan dengan 965 M. Ia memulai
pendidikan awalnya di Basrah. Setelah itu beliau mengabdi menjadi pegawai pemerintah di daerah
kelahirannya. Setelah beberapa lama berbakti kepada pihak pemerintah di sana, beliau mengambil
keputusan merantau ke Ahwaz dan Baghdad. Di perantauan beliau melanjutkan pendidikan dan
mencurahkan perhatian pada penulisan. Kecintaannya kepada ilmu telah membawanya berhijrah ke
Mesir. Selama di sana beliau mengambil kesempatan melakukan beberapa kerja penyelidikan
mengenai aliran Sungai Nil serta menyalin buku-buku mengenai matematika dan falak. Tujuannya
adalah untuk mendapatkan uang tambahan dalam menempuh perjalanan menuju Universitas al-Azhar.
Usaha itu membuahkan hasil, beliau menjadi seorang yang amat mahir dalam bidang sains, falak,
matematika, geometri, pengobatan, dan falsafah. Tulisannya mengenai mata, menjadi salah satu
rujukan yang penting dalam bidang pengembangan sains di Barat. Ibn al-Haytham merupakan
ilmuwan yang gemar melakukan penyelidikan. Penyelidikannya mengenai cahaya telah memberikan
ilham kepada ahli sains Barat seperti Boger Bacon, dan Kepler, pencipta mikroskop serta teleskop. Ia
merupakan orang pertama yang menulis dan menemukan berbagai data penting mengenai cahaya.
Beberapa buah buku mengenai cahaya yang ditulisnya telah diterjemahkan ke dalam bahasa inggris,
antara lain Light on Twilight Phenomena. Kajiannya banyak membahas mengenai senja dan banyak
lingkaran cahaya di sekitar bulan dan matahari serta bayang-bayang dan gerhana. Beberapa percobaan
dilakukan oleh Ibn al-Haytham, di antaranya percobaan terhadap kaca yang dibakar, dan dari situ
ditemukanlah teori lensa pembesar. Teori itu telah digunakan oleh para ilmuwan di Itali untuk
menghasilkan kaca pembesar yang pertama di dunia dan prinsipnya tetap diadopsi oleh ilmuwan-
ilmuwan setelahnya. Demikian pula dengan prinsip padu udara yang ternyata lebih menakjubkan, Ibn
al-Haytham telah menemukan dan memperkenalkannya jauh sebelum seorang ilmuwan yang bernama
Tricella yang mengetahui masalah itu 500 tahun kemudian. Ibn al-Haytham juga disinyalir telah
menyampaikan keberadaan gaya tarik bumi atau gravitasi sebelum Issaac Newton mengetahuinya.
Selain itu, teori Ibn al-Haytham mengenai jiwa manusia sebagai satu rentetan perasaan yang
bersambung-sambung secara teratur telah memberikan ilhan kepada ilmuwan Barat untuk
menghasilkan wayang gambar. Teori beliau telah membawa kepada penemuan film yang kemudian
disambung-sambung dan dimainkan kepada para penonton sebagaimana yang dapat kita lihat pada
masa kini. Ibn al-Haytham meninggal di Kairo, Mesir, sekitar tahun 1040 M. Karena pengamatannya
yang mendalam pada bidang optika, konsep-konsepnya menjadi dasar ilmu optika. Selain itu, dia
mengantarkan optika pada kemajuan pesat masa kini. Dengan demikian, Ibn al-Haytham mendapat
julukan sebagai “Bapak Optika Modern.”.
Karyanya : Teori Penglihatan (Optik), Cermin Kanta Cekung dan Kanta Cembung, Teori Biasan
Cahaya.
 Pemikiran Jabir ibn Hayyan
Kontribusi terbesar Jabir adalah dalam bidang kimia. Keahliannya ini didapatnya dengan
berguru pada Barmaki Vizier, pada masa pemerintahan Harun al-Rashid di Baghdad. Ia
mengembangkan teknik eksperimentasi sistematis di dalam penelitian kimia, sehingga setiap
eksperimen dapat direproduksi kembali. Jabir menekankan bahwa kuantitas zat berhubungan dengan
reaksi kimia yang terjadi, sehingga dapat dianggap Jabir telah merintis ditemukannya hukum
perbandingan tetap. Kontribusi lainnya antara lain dalam penyempurnaan proses kristalisasi, distilasi,
kalsinasi, sublimasi dan penguapan serta pengembangan instrumen untuk melakukan proses-proses
tersebut. Sebagaimana halnya ilmuwan muslim abad pertengahan, Jabir ibn Hayyan tidak hanya
mampu mendalami satu bidang ilmu tertentu, tetapi mereka juga mampu menguasai bidang
keilmuwan lainnya dan sangat beragam. Selain ahli dalam bidang ilmu kimia, beliau juga ahli dalam
ilmu yang lain seperti kedokteran, filsafat dan fisika. Hanya saja dari sekian banyak ilmu yang
digelutinya, tampaknya ilmu kimia lebih melekat dan menonjol pada beliau. Karya-karya beliau
banyak diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa, dan kemudian diserap oleh ilmu kimia modern.
Eropa kemudian mulai mengenal istilah-istilah teknik seperti realiger (sulfit merah dari arsenik), tutia
(seng oksida), alkali, antimonia, alembic, dan aludel. Demikian juga salamoniak (sejenis substansi
baru kimia) telah diperkenalkan oleh Jabir ibn Hayyan yang sebelumnya tidak perrnah dikenal oleh
orang-orang Yunani.24 Beberapa penemuan Jabir Ibn Hayyan diantaranya adalah: asam klorida, asam
nitrat, asam sitrat, asam asetat, tehnik distilasi dan tehnik kristalisasi. Dia juga yang menemukan
larutan aqua regia (dengan menggabungkan asam klorida dan asam nitrat) untuk melarutkan emas.
Jabir Ibn Hayyan mampu mengaplikasikan pengetahuannya di bidang kimia ke dalam proses
pembuatan besi dan logam lainnya, serta pencegahan karat. Dia jugalah yang pertama
mengaplikasikan penggunaan mangan dioksida pada pembuatan gelas kaca. Jabir Ibn Hayyan juga
pertama kali mencatat tentang pemanasan wine akan menimbulkan gas yang mudah terbakar. Hal
inilah yang kemudian memberikan jalan bagi Al-Razi untuk menemukan etanol.

DAFTAR PUSTAKA

Jurnal Theologia — Volume 29, Nomor 1, Juni 2018.


Jurnal Pendidikan dan Pembelajaran Dasar Volume 2 Nomor 2 Desember 2015.
Rachman Assegaf, Abd. 2011. Filsafat Pendidikan Islam. Paradigma Baru Pendidikan Hadhari Berbasis
Integratif Interkonektif. Rajawali Press. Jakarta.
Bakhtiar, Amsal. 2004. Filsafat Ilmu, Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai