Anda di halaman 1dari 10

TUGAS MAKALAH ISLAM UNTUK DISIPLIN ILMU (IDI)

MISI PROFETIK ILMU DAN TANGGUNG JAWAB ILMUAN

DOSEN :

Dr. Fetrimen, M.Pi.

DISUSUN OLEH :

Nama: Febri Amalia Aristanto

Nim : 1704015088

Kelas : 6E

PROGRAM STUDI FARMASI

FAKULTAS FARMASI DAN SAINS

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAN PROF DR HAMKA

2020
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Ilmu bukanlah merupakan pengetahuan yang datang begitu saja seperti barang yang
sudah jadi dan datang dari dunia khayal. Akan tetapi ilmu merupakan suatu cara berpikir yang
demikian rumit dan mendalam tentang suatu objek yang khas dengan pendekatan yang khas pula
sehingga menghasilkan suatu kesimpulan yang berupa pengetahuan yang handal. Handal dalam
arti bahwa sistem dan struktur ilmu dapat dipertanggungjawabkan secara terbuka. Ia terbuka
untuk diuji oleh siapapun (Sya'roni, 2014). Ilmu merupakan salah satu dari buah pemikiran
manusia dalam menjawab masalah-masalah kehidupan. Ilmu merupakan salah satu dari
pengetahuan manusia. Untuk bisa menghargai ilmu sebagaimana mestinya sesungguhnya kita
harus mengerti apakah hakikat ilmu itu sebenarnya. Dengan demikian maka pengertian yang
mendalam terhadap hakikat ilmu, bukan saja akan mengikatkan apresiasi kita terhadap ilmu,
namun juga membuka mata kita terhadap berbagai kekurangan (Sya'roni, 2014).
Ilmu yang merupakan produk kegiatan berpikir merupakan obor peradaban dimana
manusia menemukan dirinya dan menghayati hidup dengan lebih sempurna. Berbagai peralatan
dikembangkan manusia untuk meningkatkan kualitas hidupnya dengan jalan menerapkan
pengetahuan yang diperolehnya. Proses penemuan dan penerapan itulah yang menghasilkan
kapak dan batu zaman dulu sampai komputer hari ini. Berbagai masalah memasuki benak
pemikiran manusia dalam menghadapi kenyataan hidup sehari-hari dan beragam buah pemikiran
telah dihasilkan sebagai bagian dari sejarah kebudayaannya (Sya'roni, 2014). Dari waktu ke
waktu, zaman mulai berkembang. Teknologi dan ilmu pengetahuan juga ikut berkembang
dengan pesat. Namun kemajuan ilmu pengetahuan ini tidak disertai dengan dasar keimanan yang
kuat. Ilmu pengetahuan Barat yang menjadi kiblat ilmu pengetahuan di seluruh dunia dalam
perkembangannya lebih condong ke arah sekuler. Hal ini terbukti mulai dari adanya pemisahan
antara ilmu dengan agama, terutama dalam kaitannya dengan 1pemerintahan. Menurut Dr. Abas
Mansur Tamam, Sekretaris Prodi Ekonomi Islam Pascasarjana Universitas Ibnu Khaldun
(UIKA) Bogor, Barat mengatakan suatu ilmu jika didasari dengan fakta empirik (nyata) semata,
puncaknya mereka merasa tidak membutuhkan lagi peran Tuhan dalam kehidupannya
(Nugrahanto, 2017).
Melihat permasalahan tersebut, seorang ilmuwan yang sekaligusbudayawan, sastrawan,
dan sejarawan Indonesia, Kuntowijoyo (1943-2005), mencetuskan sebuah pemikiran mengenai
ilmu sosial profetik. Pemikiran ini terinspirasi dari tulisan-tulisan Roger Garaudy dan
Muhammad Iqbal. Berdasarkan pemikiran Garaudy, Kuntowijoyo mengambil filsafat
profetiknya. Filsafat Barat dianggap tidak mampu memberikan tawaran yang memuaskan karena
hanya terombang-ambing dalam dua kutub idealis dan materialis, tanpa berkesudahan. Filsafat
barat itu lahir dari pertanyaan bagaimana pengetahuan itu dimungkinkan, Garaudy memberikan
saran agar mengubah pertanyaan itu menjadi bagaimana kenabian (wahyu) itu dimungkinkan.
Filsafat barat telah membunuh Tuhan dan manusia, karena itu ia mengajukan filsafat kenabian
dengan mengakui wahyu. Pemikiran Kuntowijoyo ini merupakan sebuah respon terhadap
perkembangan arus pemikiran di era postmodernisma, di sini ia menempatkan ajaran agama
sebagai salah satu sumber ilmu pengetahuan (Nugrahanto, 2017).
Melalui gagasannya ini, Kuntowijoyo berharap agar Ilmu Sosial Profetik dapat menjawab
berbagai masalah sosial yang ada di Indonesia. Selain itu, Kuntowijoyo juga mengajak kita untuk
tidak memisahkan ilmu dengan agama, karena dengan memisahkan ilmu dan agama maka secara
tidak langsung kita juga
menjauhkan diri kita dari Tuhan. Oleh karena itu, penulis membuat makalah berjudul “Misi
Profetik Ilmu dan Tanggung Jawab Ilmuwan”.

B. Tujuan
Tujuan penulisan makalah yang berjudul “Misi Profetik Ilmu dan Tanggung
Jawab Ilmuwan” sebagai berikut:
1. Mengetahui pengertian misi profetik ilmu dan tanggung jawab ilmuan
2. Mengetahui etika profesi seorang ilmuan (kode etik ilmuan)
3. Profesionalisme dan tanggung jawab sosial ilmuan.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian Misi Profetik Ilmu dan Tanggung Jawab Ilmuan


Kata “profetik” berasal dari bahasa inggris prophetical yang mempunyai makna kenabian
atau sifat yang ada dalam diri seorang nabi. Yaitu sifat nabi yang mempunyai ciri sebagai
manusia yang ideal secara spiritual-individual, tetapi juga menjadi pelopor perubahan,
membimbing masyarakat ke arah perbaikan dan melakukan perjuangan tanpa henti melawan
penindasan. Dalam sejarah, Nabi Ibrahim melawan Raja Namrud, Nabi Musa melawan Fir’aun,
Nabi Muhammad yang membimbing kaum miskin dan budak belia melawan setiap penindasan
dan ketidakadilan, mempunyai tujuan untuk menuju ke arah pembebasan (Sya'roni, 2014).
Menurut Ali Syari’ati dalam Sya'roni (2014) para nabi tidak hanya mengajarkan dzikir
dan do’a tetapi mereka juga datang dengan suatu ideologi pembebasan. Secara definitif,
pendidikan profetik dapat dipahami sebagai seperangkat teori yang tidak hanya mendeskripsikan
dan mentransformasikan gejala sosial, dan tidak pula hanya mengubah suatu hal demi perubahan,
namun lebih dari itu, diharapkan dapat mengarahkan perubahan atas dasar cita-cita etik dan
profetik. Kuntowijoyo sendiri memang mengakuinya, terutama dalam sejarahnya Islamisasi ilmu
itu seperti hendak memasukan sesuatu dari luar atau menolak sama sekali ilmu yang ada
(Kuntowijoyo, 2001 dalam Sya'roni, 2014). Selanjutnya, Kuntowijoyo (2001) dalam Sya'roni
(2014) memasukan kata profetik ke dalam penemuannya tentang ilmu-ilmu sosial profetik yang
mengandung tiga muatan ilmu-ilmu sosial yaitu humanisme, liberasi, dan transendensi. Secara
normatif-konseptual, paradigma profetik versi Kuntowijoyo didasarkan pada Surat Ali-Imran
ayat 110 yang artinya: “Engkau adalah umat terbaik yang diturunkan/dilahirkan ditengah tengah
manusia untuk menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah kemunkaran dan beriman kepada
Allah”. Dari ayat tersebutlah dasar ketiga pilar nilai ilmu sosial profetik yang digunakan oleh
Kuntowijoyo yaitu;
 Amar Ma’ruf (humanisasi) mengandung pengertian memanusiakan manusia.
 Nahi Munkar (liberasi) mengandung pengertian pembebasan.
 Tu’minuna Bilah (transendensi), dimensi keimanan manusia (Rosyadi, 2009 dalam Sya'roni,
2014).
Selain itu, dalam ayat tersebut juga terdapat empat konsep pendidikan profetik menurut
Kuntowijoyo (2001) dalam Sya'roni (2014)
a. Konsep tentang umat terbaik (The Chosen People), yang menjelaskan bahwa umat Islam
sebagai umat terbaik dengan syarat mengerjakan tiga hal sebagaimana disebutkan dalam ayat
tersebut. Umat Islam tidak secara otomatis menjadi The Chosen People, karena umat Islam
dalam konsep The Chosen People ada sebuah tantangan untuk bekerja lebih keras dan
berfastabiqul khairat.
b. Aktivisme atau praksisme gerakan sejarah yang dapat di artikan sebagai sikap bekerja keras
dan berfastabiqul khairat ditengah-tengah umat manusia (Ukhrijat Linnas) yang terwujud
dalam sikap partisipatif umat islam dalam percaturan sejarah. Oleh karenanya pengasingan
diri secara ekstrim dan kerahiban tidak dibenarkan dalam Islam. Para intelektual yang hanya
bekerja untuk ilmu atau kecerdasan tanpa menyapa dan bergelut dengan realitas sosial juga
tidak dibenarkan.
c. Pentingnya kesadaran. Nilai-nilai profetik harus selalu menjadi landasan rasionalitas nilai
bagi setiap praksisme gerakan dan membangun kesadaran umat, terutama umat Islam.
d. Etika profetik, ayat tersebut mengandung etika yang berlaku umum atau untuk siapa saja baik
itu individu (mahasiswa, intelektual, aktivis dan sebagainya) maupun organisasi (gerakan
mahasiswa, universitas, ormas, dan orsospol), maupun kolektifitas (jama’ah, umat,
kelompok/paguyuban).
e. Point yang terakhir ini merupakan konsekuensi logis dari tiga kesadaran yang telah dibangun
sebelumnya.
Selanjutnya, Shofan (2004) dalam Sya'roni (2014), mengungkapkan konseptualisasi pilar
- pilar ilmu sosial profetik pada dasarnya berangkat dari paradigma pendidikan yang berusaha
melakukan sintesa antara sistem pendidikan yang konsen terhadap nilai-nilai moral dan religious
dengan sistem pendidikan modern yang mengembangkan nilai-nilai kemanusiaan. Dualisme
sistem pendidikan yang dikotomis yang dalam konteks Indonesia merupakan dua sisi diametrical
antara pendidikan ala barat yang dinasionalisasi dan pendidikan ala timur yang sudah secara
historis telah ada sejak nenek moyang. Pendidikan profetik dapat dikembangkan dalam tiga
dimensi yang mengarahkan perubahan atas masyarakat yaitu humanisasi, liberasi dan
transendensi.
Lebih lanjut Kuntowijoyo dalam dalam Sya'roni (2014), mengatakan bahwa cita-cita etik
dan profetik inilah yang seharusnya diderivasikan dari nilai-nilai yang mengakar pada budaya,
ajaran agama dan nilai-nilai moral bangsa sehingga pencapaian cita–cita pendidikan tidak
mengorbankan jati diri bangsa. Artinya sistem pendidikan harus memberikan pemahaman nilai-
nilai agama dan nilai-nilai inilah yang kemudian menjadi tugas pendidikan untuk melakukan
reorientasi konsep-konsep normatif agar dapat dipahami secara empiris. Landasan pendidikan
tersebut sekiranya diorientasikan untuk memfasilitasi terbentuknya kesadaran ilmiah dalam
memformulasikan konsep-konsep normatif menjadi konsep-konsep teoritis. Pendekatan
deduktif-induktif idealnya diterapkan dalam pembelajaran pengetahuan umum dan pendidikan
moral, hal ini lah konsep dasar sebuah pendidikan profetik yang dibutuhkan pada saat ini.
Sehingga disimpulkan bahwa, pendidikan profetik (Prophetic Teaching) adalah suatu metode
pendidikan yang selalu mengambil inspirasi dari ajaran nabi Muhammad saw.
Prinsip dalam pendidikan profetik yaitu mengutamakan integrasi. Dalam memberikan suatu
materi bidang tertentu juga dikaitkan dengan landasan yang ada di Al Qur’an dan As Sunnah,
sehingga tujuan baik duniawi maupun akhirat dapat tercapai.

B. Etika Profesi Seorang Ilmuan (Kode Etik Ilmuan)


1. Etika dalam Aksiologi Ilmu
Terkait dengan kajian etika, secara historis etika sebagai usaha filsafat lahir dari
kehancuran moral di lingkungan kebudayaan Yunani 2500 tahun yang lalu. Karena pandangan-
pandangan yang lama tentang baik dan buruk tidak lagi dipercayai, para filosof mempertanyakan
kembali norma-norma dasar bagi kelakuan manusia, situasi itu berlaku pada zaman sekarang
juga, bahkan bagi kita masing-masing. Yang dipersoalkan bukan hanya apakah yang merupakan
kewajiban saya dan apa yang tidak, melainkan manakah norma-norma untuk menentukan apa
yang harus dianggap sebagai kewajiban. Untuk mencapai suatu pendirian dalam pergolakan
pandangan-pandangan moral ini refleksi kritis etika diperlukan (Frans, 1989).
Seperti halnya dengan banyak istilah yang menyangkut konteks ilmiah, istilah “etika”
berasal dari bahasa Yunani kuno yaitu “ethos”. Kata ethos dalam bentuk tunggal mempunyai
banyak arti: tempat tinggal yang biasa; pada rumput, kandang; kebiasaan, adat; akhlak, watak;
perasaan, sikap, cara berpikir. Dalam bentuk jamak (ta etha) artinya adalah: adat kebiasaan. Dan
arti terakhir inilah menjadi latar belakang bagi terbentuknya istilah “etika” yang oleh filsuf
Yunani besar Aristoteles (284-322 SM) sudah dipakai untuk menunjukkan filsafat moral. Jadi,
kita membatasi diri pada asal-usul kata ini, maka “etika” berarti: ilmu tentang apa yang biasa
dilakukan atau ilmu tentang adat kebiasaan (Bertens, 2007).
Secara etimologis, ethic berarti system of moral principles atau a system of moral
standard values. Secara terminologi etika didefinisikan sebagai: the normatif science of the
conduct of human being living societies. A science which judge this conduct to be right or
wrong, to be good or bad. Secara singkat etika didefinisikan sebagai ilmu pengetahuan tentang
kesusilaan (moral) (De, 1987).Kata yang cukup dekat dengan “etika” adalah “moral”. Kata
terakhir ini berasal dari bahasa Latin mos (jamak: mores) yang berarti juga: kebiasaan, adat.
Dalam bahasa Inggris dan banyak bahasa lain, termasuk bahasa Indonesia (pertama kali dimuat
dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1988), kata mores masih dipakai dalam arti yang sama.
Jadi, etimologi kata “etika” sama dengan etimologi kata “moral”, karena keduanya berasal dari
kata yang berarti adat kebiasaan. Hanya bahasa asalnya berbeda; yang pertama berasal dari
bahasa Yunani, sedang yang kedua dari bahasa Latin (Sya'roni, 201). Moral adalah ajaran
wejangan - wejangan khutbah patokan tentang bagaimana manusia harus hidup dan bertindak
agar ia menjadi manusia yang baik. Sumber langsung ajaran moral dapat berupa ajaran agama,
nasihat para bijak, orang tua, guru dan sebagainya. Pendek kata sumber ajaran moral meliputi
agama, tradisi, adat-istiadat dan ideologi-ideologi tertentu (Sya'roni, 2014). Sebagai sistem nilai,
etika berarti nilai-nilai dan norma-norma moral yang menjadi pegangan bagi seseorang atau
kelompok dalam mengatur tingkah lakunya. Dalam posisi inilah sebagai besar makna etika
dipahami sehingga muncul istilah - istilah “Etika Islam”, “Etika Budha”, “Etika Kristen”, dan
sebagainya. Dalam posisinya sebagai filsafat moral, etika memiliki kedudukan sebagai ilmu,
bukan sebagai ajaran. Etika dan ajaran moral tidak berada di tingkat yang sama. Ajaran moral
mengajarkan bagaimana kita hidup, sedangkan etika ingin mengetahui mengapa kita mengikuti
ajaran moral tertentu atau bagaimana kita mengambil sikap yang bertanggungjawab ketika
berhadapan dengan berbagai ajaran moral (Sya'roni, 2014).
Etika sebagai ilmu yang menyelidiki tentang tingkah laku moral dapat
dihampiri berdasarkan atas tiga macam pendekatan, yaitu: Etika Deskriptif, Etika
Normatif, dan Metaetika.
 Etika deskriptif adalah cara melukiskan tingkah laku moral dalam arti luas seperti: adat
kebiasaan, anggapan tentang baik atau buruk, tindakan yang diperbolehkan atau tidak. Etika
deskriptif mempelajari moralitas yang terdapat pada individu, kebudayaan atau sub kultur
tertentu. Oleh karena itu, etika deskriptif ini tidak memberikan penilaian apa pun, ia hanya
memaparkan. Etika deskriptif lebih bersifat netral. Misalnya: Penggambaran tentang adat
mengayau kepala pada suku primitif.
 Etika normatif mendasarkan pendiriannya atas norma. Ia dapat mempersoalkan norma yang
diterima seseorang atau masyarakat secara lebih kritis. Ia bisa mempersoalkan apakah norma
itu benar atau tidak. Etika normatif berarti sisteM - sistem yang dimaksudkan untuk
memberikan petunjuk atau penuntun dalam mengambil keputusan yang menyangkut baik
atau buruk. Etika normatif ini dibagi menjadi dua, yaitu:
Etika umum, yang menekankan pada tema-tema umum seperti: Apa yang dimaksud
norma etis? Mengapa norma moral mengikat kita? Bagaimana hubungan antara
tanggungjawab dengan kebebasan?
Etika khusus, upaya untuk menerapkan prinsip-prinsip etika umum ke dalam perilaku
manusia yang khusus. Etika khusus juga dinamakan etika terapan.
 Metaetika, yaitu kajian etika yang ditujukan pada ungkapan-ungkapan etis. Bahasa etis atau
bahasa yang dipergunakan dalam bidang moral dikaji secara logis. Metaetika menganalisis
logika perbuatan dalam kaitan dengan “baik” atau “buruk”. Perkembangan lebih lanjut dari
metaetika ini adalah Filsafat Analitik.
2. Etika Keilmuwan
Tidak dapat dielakkan lagi bahwa ilmu dan teknologi telah banyak membantu manusia
dalam pengertian yang sangat luas, tetapi juga tidak dapat diabaikan begitu saja adanya dampak
negatif. Dalam hal ini manusia tidak seharusnya menjadi budak teknologi, tetapi ilmu dan
teknologi yang harus berada di tangan manusia atau di bawah kendali manusia. Dengan demikian
iIlmu dan teknologi dapat dikembangkan oleh dan bagi manusia untuk kepentingan
kesejahteraan manusia (Sya’roni, 2014).
Dalam realitas kehidupan masyarakat dewasa ini, terjadi konflik antara etika pragmatik
dengan etika pembebasan manusia. Etika pragmatik berorientasi pada kepentingan-kepentingan
elite sebagai wujud kerja sama antara iptek, uang, kekuasaan dan kekerasan yang cenderung
menindas untuk kepentingannya sendiri yang bersifat materialistik, dengan etika pembebasan
manusia dari penindasan kekuatan elite, etika pembebasan yang bersifat spiritual dan universal.
Etika pembebasan manusia, yang bersifat spiritual dan universal itu, bisa muncul dari kalangan
ilmuwan itu sendiri, yang bisa jadi karena tindak kerasan dan menolak etika pragmatik yang
dirasakan telah menodai prinsip-prinsip ilmu yang menjunjung tinggi kebenaran, kebebasan dan
kemandirian. Ilmuwan ini biasanya bekerjasama dengan para rohaniawan dan rakyat kecil pada
umumnya, menjadi sebuah gerakan perlawanan terhadap berlangsungnya etika pragmatik yang
bertumpu pada kekuasaan birokrasi politik yang sudah mapan (Sya’roni, 2014).

C. Profesionalisme dan Tanggung Jawab Sosial Ilmuan


Berbicara tentang tanggung jawab ilmuwan tentu lebih banyak berkaitan dengan
aksiologi, bukan dalam epistemologi semata. Ada dua kutub berkenaan dengan aksiologi,
pertama yang berpandangan bahwa seorang ilmuwan harus netral, tidak ikut bertanggung jawab.
Ia hanya dituntut dalam epistemologi, tetapi dari segi aksiologi berlepas diri. Kedua, bahwa
seorang ilmuwan dibebani tanggung jawab hingga aspek aksiologi. Jujun lebih luas melihat
bahwa tanggung jawab seorang ilmuwan menyangkut tanggung jawab moral segi profesional
dan segi moral. Atau dimaksudkan dengan tanggung jawab segi profesional adalah dalam kaitan
epistemologi, mencakup asas kebenaran, kejujuran, tanpa kepentingan langsung, menyandarkan
kepada kekuatan argumentasi, rasional, objektif, kritis, terbuka, pragmatis, dan netral dari nilai-
nilai yang bersifat dogmatis dalam menafsirkan hakikat realitas. Sedangkan yang dimaksud
tanggung jawab moral adalah dalam hubungan membentuk tanggung jawab sosial yakni pada
dasarnya ilmu pengetahuan digunakan untuk kemaslahatan manusia. Ilmu digunakan sebagai
sarana untuk meningkatkan taraf hidup manusia dengan memperhatikan kodrat manusia,
martabat manusia, dan kelestarian lingkungan alam (Buseri, 2014).
Seorang ilmuwan sejati selalu terkait dengan tanggung jawab profesional dan tanggung
jawab moral itu. Dia tidak bisa dipengaruhi oleh kekuatan apapun, politik, kharisma tertentu,
kelompok, golongan untuk berbuat tanpa didasari oleh kedua tanggung jawab tersebut.
Sehubungan dengan politik yang menentukan keputusan berkenaan dengan penerapan ilmu dan
teknologi dan karena keputusan 15politik itu mengikat semua orang dari suatu wilayah politik,
maka ilmuwan harus betul-betul mampu bersikap sebagai ilmuwan sejati. Hubungan antara
ilmuwan dan politik banyak dibicarakan yang antara keduanya mempunyai bidang garapan yang
berbeda dan keduanya hanya berbeda dari sudut fungsional namun dari segi tanggung jawab
moral tetap harus sama. Ilmuwan terutama ilmuwan sosial, harus mampu secara objektif
memberikan penilaian terhadap kondisi sosial sesuai dengan disiplin ilmunya untuk selanjutnya
diketengahkan kepada masyarakat. Seorang ilmuwan dalam kaitan dengan kondisi seperti yang
dikemukakan di atas harus memiliki empat dasar menyangkut
Kebenaran
Kejujuran
Tidak mempunyai kepentingan langsung
Menyandarkan diri pada kekuatan argumentasi untuk menilai kebenaran
Untuk mengatasi berbagai problema ilmu pengetahuan, Van Melsen menawarkan konsep
kewajiban etis dan keinsyafan etis. Kewajiban etis ialah selalu menyadari adanya ketegangan
antara yang seharusnya ada dan yang pada kenyataannya ada. Sedangkan keinsyafan etis
menyangkut juga ketegangan antara yang sehrusnya ada dan yang pada kenyataannya ada tetapi
dalam suatu kerangka yang lebih luas, sebab tidak menyangkut apa yang seharusnya ada begitu
saja melainkan apa yang sebetulnya seharusnya ada seandainya kemungkina - kemungkinan
realitas lain daripada keadaan yang nyata. Ringkasnya secara etis, manusia–ilmuwan dituntut
melalui ilmu pengetahuan untuk menghantarkan kepada tujuan hakiki yaitu memajukan
keselamatan manusia dan mewujudkan manusia sebagaimana seharusnya ada kearah inilah
harapan dunia dewasa ini karena kalau tidak maka kehancuran manusia di ambang pintu.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Kesimpulan yang dapat diambil berdasarkan uraian isi makalah sebagai
berikut:
1. Misi profetik ilmu dan tanggung jawab ilmuwan yaitu sifat yang ada dalam diri seorang nabi
yang mempunyai ciri sebagai manusia yang ideal secara spiritual individual, tetapi juga
menjadi pelopor perubahan, membimbing masyarakat ke arah perbaikan dan melakukan
perjuangan tanpa henti melawan penindasan.
2. Etika keilmuwan bertujuan agar manusia terinspirasi, termotivasi dan terpacu
mengembangkan ilmu untuk kemaslahatan umat dan bukan untuk mencelakakan diri dan
generasinya.
3. Tanggunag jawab ilmuwan yaitu untuk menghantarkan kepada tujuan hakiki yaitu
memajukan keselamatan manusia dan mewujudkan manusia sebagaimana seharusnya dan
mencegah kehancuran manusia.

B. Saran
Saran yang dapat penulis berikan yaitu sebaiknya kita sebagai mahasiswa harus
mempunyai sifat profetik sehingga dapat menjadi pelopor perubahan, membimbing masyarakat
ke arah perbaikan dan melakukan perjuangan tanpa henti melawan penindasan.
DAFTAR PUSTAKA

Bertens, K. 2007. Etika. Jakarta: Gramedia.


Buseri, K. 2014. Ilmu, Ilmuwan dan Etika Ilmiah. Al-Banjari. Vol.13. No.2.
Frans, M. S. 1989. Etika Dasar Masalah-Masalah Pokok Filsafat Moral. Yogyakarta: Kanisius.
Nugrahanto, V. S. 2017. Implementasi Pemikiran Kuntowijoyo Untuk Pengembangan Ilmu
Pengetahuan Sosial Indonesia. Yogyakarta: Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial
Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Yogyakarta.
Susanto, A. 2011. Filsafat Ilmu:Suatu Kajian dalam Dimensi Ontologis,Epistimologisdan
Aksiologis. Jakarta: Bumi Aksara.
Sya’roni, M. 2014. Etika Keilmuan: Sebuah Kajian Filsafat Ilmu. Teologia. Vol.25.
No.1.

Anda mungkin juga menyukai