Anda di halaman 1dari 12

BAB 4.

PARAMETER YANG LANGSUNG MEMPENGARUHI ABSORPSI OBAT

BAB
4 PARAMETER YANG
LANGSUNG MEMPENGARUHI
ABSORPSI OBAT

Biofarmasi adalah ilmu yang mempelajari masuknya obat ke dalalm tubuh (Science of input).
Untuk dapat diserap semua zat aktif harus terlarut lebih dulu, jarang sekali ada pengecualiannya. Laju penyerapan
merupakan fungsi dari laju pelarutan zat aktif di dalam cairan tubuh dan laju difusi molekul-molekul yang terlarut dalam
cairan tersebut melintasi membran seluler, sesuai dengan skema berikut ini :

Zat aktif pelarutan Penyerapan


difusi

Prinsip proses penyerapan: sebelum melintasi membran biologik, zat aktif harus terlarut lebih dulu di dalam cairan
di sekitar membran.
Bila laju pelarutan dan laju perembesan lebih lambat dari laju penyerapan, maka proses pelarutan dan difusi
merupakan tahap yang menentukan proses penyerapan.
Tahapan penyerapan zat aktif:

Obat pelepasan pelarutan Zat aktif difusi


Zat aktif Zat aktif
(Zat aktif +
terlepas terlarut terserap
pembawa)

Tahapan yang paling lambat selalu merupakan tahap penentu laju penyerapan.Bila proses pelepasan terjadi sangat
lambat (misalnya pada sediaan dengan ketersediaan hayati terkendali), maka pelepasan akan mempengaruhi seluruh waktu
dari tahapan proses pelarutan, difusi dan penyerapan zat aktif.
Dengan demikian, penyerapan zat aktif akan tergantung pada:
- Laju pelarutan zat aktif dalam cairan biologik di sekitar membran.
- Karakter fisiko-kimia yang dapat mempengaruhi proses penyerapan (pKa, koefisien partisi, stabilitas,dll).
- Perbedaan sifat fisiko-kimia tersebut menyebabkan perbedaan keterserapan zat aktif. Jadi ada zat aktif yang mudah atau
sulit diserap.

4.1. PENYERAPAN (ABSORPSI), LAJU PELARUTAN (DISOLUSI) DAN LAJU DIFUSI ZAT AKTIF DALAM
CAIRAN BIOLOGI
Laju penyerapan zat aktif merupakan fungsi dari laju pelarutan dan kelarutan zat aktif dalam cairan biologi.
Dengan demikian semua faktor yang mempengaruhi laju pelarutan juga akan mempengaruhi laju penyerapan.
Penyerapan merupakan suatu fenomena dinamik yaitu bila zat aktif sukar larut tetapi mudah diserap, maka ia akan
diserap setelah proses pelarutan zat aktif dalam media, atau setelah proses pelarutan fraksi baru yang lebih mudah diserap.
Jadi semua zat aktif yang dapat diserap, laaju pelarutannya, merupakan salah satu faktor penentu pada proses penyerapan.

Persamaan Noyes dan Withneymenunjukkan parameter-parameter yang mempengaruhi proses pearutan:


dC
= K . A . (Cs C)
dt
dC/dt = Laju pelarutan
A = Luas kontak permukaan senyawa yang tak terlarut
Cs = Konsentrasi zat aktif dalam pelarut di sekitar zat aktif yang relatif sama dengan konsentrasi jenuh,atau kelarutan zat aktif
dalam cairan yang merendamnya.
C = Jumlah zat aktif yang terlarut dalam waktu t dalam pelarut yang tersedia
K = Tetapan laju pelarutan

Persamaan Nernst dan Bruner yang menyatakan bahwa pelarutan terjadi dengan perantaraan suatu lapisan difusi.
dW D. A
= (Cs C)
dt h
dW/dt = Laju pelarutan
W = Berat zat aktif yang terlarut
A = Luas permukaan senyawa yang belum terlarut
D = Koefisien difusi zat aktif yang terlarut dalam pelarut (nilainya tergantung pada suhu dan pengadukan)
C = Jumlah zat aktif terlarut dalam waktu t dan dalam volume total pelarut
Cs = Konsentrasi jenuh zat aktif (membatasi kelarutan dalam cairan di sekitar partikel dengan tebal h
h = Tebal lapisan pelarut

MG Biofarmasi Fakultas Farmasi UTND Medan - 2015 45


BAB 4. PARAMETER YANG LANGSUNG MEMPENGARUHI ABSORPSI OBAT

Persamaan tersebut menunjukkan bahwa zat aktif segera terlarut dalam lapisan pelarut yangsangat tipis di sekitar
zat aktif hingga diperoleh suatu larutan jenuh. Pada tahap tersebut zat aktif tidak dapat terlarut lagi sampai sejumlah
bagian yang terlarut meninggalkan lapisan jenuh dan berdifusi ke lapisan tak jenuh, dengan demikian dimungkinkan suatu
perubahan lapisan tak jenuh nmenjadi jenuh lagi. Ketidakjenuhan tersebut terjadi bila ada penyerapan zat aktif melintasi
membran sel penyerapan yang kontak dengan cairan.
Luas permukaan efektif dari partikel zat aktif yang kontak dengan pelarut memegang peranan penting. Dengan
demikian ukuran partikel merupakan parameter utama yang menentukan laju penyerapan zat aktif.
Perbedaan konsentrasi Cs dan C merupakan faktor utama pada persamaan tersebut. Bila zat aktif tidak segera
diserap setelah pelarutan maka konsentrasinya dalam volume total akan berubah menjadi konsentrasi jenuh Cs dan
selanjutnya seluruh proses pelarutan akan terhambat. Penyerapan zat aktif juga dipengaruhi olehlaju difusi melintasi cairan
dan membran. Sebaliknya bila zat aktif segera diserap setelah pelarutan maka harga C dapat diabaikan terhadap Cs dan
pelarutan terjadi dalam keadaan encer sehingga laju penyerapan zat aktif ditentukan oleh pelarutannya.
Bila nila Cs dapat ditingkatkan, maka laju pelarutan juga akan meningkat secara paralel. Dengan demikian
pengubahan sifat fisiko-kimia zat aktif merupakan salah satu cara untuk meningkatkan laju pelarutan. Selain itu
penglarutan zat aktif tertentu dapat ditingkatkan dengan penambahan bahan-bahan tertentu.

4.1.1 PENGARUH UKURAN PARTIKEL


Persamaan Noyes dan Withney atau Nernst dan Bruner menunjukkan bahwa laju pelarutanberbanding lurus
dengan luas permukaan efektif dari zat aktif yang kontak dengan pelarut. Pengurangan ukuran partikel zat aktif dapat
meningkatkan luas permukaan kontak zat aktif dan pelarut. Persamaan berikut menunjukkan hal tersebut.

S 2V
Log =
So 2,303 R.T.r
S = Kelarutan partikel yang dimikronisasi
So = Kelarutan senyawa yang tidak dimikronisasi
= Tegangan permukaan
V = Volume molar
r = Jari-jari partikel (cm)
R = Tetapan gas
T = Suhu mutlak

Bila laju pelarutan intrinsik zat aktif sangat kecil (untuk zat aktif yang diserap setelah pemberian bentuk padat),
maka proses penyerapan akan meningkat bila luas permukaan spesifik ditingkatkan. Dengan demikin dapat dilakukan
pengurangan dosis pemberian, yang secara ekonomik tidak dapat diabaikan. Keuntungan lainnya adalah pengurangan
bahaya potenial dari partikel yang biasanya tak terlarut dalm tubuh, namun dapat larut dalam keadaan tertentu.
Contoh: pada pemberian griseofulvin yang mulai dipasarkan dengan ukuran partikel konvensional ternyata
menghasilkan sejumlah kegagalan terapi akibat kegagalan proses penyerapan karena kelarutannya dalam saluran cerna
terlalu kecil.
Atkinson dkk, membuktikan bahwa laju penyerapan suatuzat aktif berbanding lurus logaritmik dengan luas
permukaan spesifik. Dengan pemberian 0,50 g griseofulvin mikrokristal, dimungkinkan mendapatkan kadar dalam darah
yang sama dengan pemberian 1 gram serbuk griseofulvin dengan ukuran partikel yang lebih besar. Farmakope Amerika
(USP) dalam monografi griseofulvin menggunakan istilah microsize yang dapat mengurangi dosis griseofulvin sampai
50% dan tidak istilah micronize.

a. Pengurangan ukuran partikel untuk meningkatkan laju penyerapan zat aktif yang sukar larut
Bila pengurangan ukuran partikel ditujukan untuk meningkatkan laju penyerapan zat aktif yang sukar larut, maka
hal tersebut dapat menimbulkan masalah kesulitan pembasahan atau terjadinya reaglomerasi partike akibat efek
penumpukan energi yang terjadi selama pengadukan mekanik yang terlalu kuat, dan akibatnya laju pelarutan diperlambat.
Umumnya untuk meningkatkan laju pelarutan dipilih ukuran partikel optimal yaitu cukup kecil untuk memberikan
luas permukaan spesifik yang berarti, tetapi tidak terlalu kecil agar kesulitan pembasahan yang disebabkan oleh muatan
partikel yang terjadi selama penggerusan dapat dihindari.
Kekemi membuktikan fenomena reperkusi in vivo pada kelinci yaitu memberikan kloramfenikol per oral dengan
berbagai ukuran pertikel. Hasil penelitian membuktikan bahwa kadar maksimum daam darah tercapai lebih cepat dan ebih
tinggi bila ukuran partikelnya turun 800-200 m, tetapi tidak ada gunanya menurunkan ukuran partikel hingga di bawah
200 m.

b.Penggunaan ukuran partikel yang lebuh besar untuk memperlambat penyerapan.


Penggunaan ukuran partikel yang lebih besar dipilih bila akan dibuat sediaan dengan ketersediaan hayati berbeda
yang ukuran partikel zat aktif akan mempengaruhi lama-aksi terapetik. Seperti misalnya suspensi kristal dari hormon alami
(estradiol benzoat, progesteron, testosteron propionat), atau hormon sintetik (desoksikortikosteron,heksoestrol dipropionat,
dinoestrol dipropionat) yang ukuran partikelnya 80-120 m dengan aksi farmakologik yang diperpanjang hingga beberapa
minggu.
Penggunaan kristal nitrofurantoin yang berukuran 150 m memungkinkan penembusan ke dalam ginjal yang lebih
tinggi, teratur dan lebih lama dibandingkan pemakaian ukuran 10 m.

MG Biofarmasi Fakultas Farmasi UTND Medan - 2015 46


BAB 4. PARAMETER YANG LANGSUNG MEMPENGARUHI ABSORPSI OBAT

Dengan penjelasan yang sama, digunakan zat aktif dalam ukuran granulometri yang relatif lebih besar bila obat
dikehendaki bekerja di usus besar : fenotisina yang digunakan sebagai antelmentika pada kedokteran hewan, harus
diberikan dalam ukuran yang besar untuk mencapai usus besar dimana obat harus bereaksi. Sebaliknya bila digunakan
serbuk halus dan karena kelarutannya yang kecil maka kemungkinan senyawa tersebut larut dan diserap di usus halus,
sehingga dengan demikian zat aktif tidak dapat mencapai cacing-cacing yang terutama berada di bagian distal usus.

c. Bila laju penyerapan zat aktif tidak dipengaruhi oleh laju pelarutan, maka pengecilan ukuran partikel tidak
berpengaruh pada laju penyerapan.
Terdapat banyak basa lemah yang terdisosiasi dengan cepat dalam lambung tetapi penyerapannya terutama terjadi
di saluran usus halus. Jadi waktu pengosongan lambung lebih berperan dalam penyerapan obat dibandingkan laju pelarutan
(misal tetrasiklin).

d. Peningkatan luas permukaan spesifik zat aktif dapat meningkatkan kereaktifan obat.
Pengecilan ukuran partikel yang dapat meningkatkan laju pelarutan tentu dapat mempercepat peruraian dan
akibatnya terjadi pengurangan jumlah zat aktif yang diserap. Hal tersebut terutama berkaitan dengan senyawa yang mudah
terurai seperti penisilin dan eritromisin. Kedua antibiotika tersebut tidak stabil dalam cairan lambung dan serbuk zat aktif
yang sangat halus dapat secara total rusak dilambung, dengan demikian senyawa berukuran besar diharapkan dapat
mencapai usus halus dalam keadaan utuh.
Serbuk halus dapat pula peka terhadap bahan asing, sehingga memerlukan perhatian khusus untuk
penyimpanannya.
Sejumlah penelitian lain membuktikan bahwa sifat serbuk yang halus dapat berubah sebagian atau bahkan
seluruhnya, misalnya setelah pengempaan.
Sifat organoleptik dapat juga dipengaruhi oleh ukuran partikel. Pengecilan ukuran partikel dapat mengubah warna
dan mempertajam rasa pahit (misalnya kloramfenikol palmitat ).
Efek organoleptik dapat juga dipengaruhi oleh ukuran partikel, misalkan pada pemakaian aspirin dengan diameter
partikel 200-400 m menimbulkan ulserogenik pada tikus.
Dengan demikian diperlukan penelitian yang sistematik tentang luas permukaan spesifik suatu zat aktif yang sukar
larut mulai dari uji farmakologi atau toksikologik dan diikuti dengan pembakuan granulometri pada semua keadaan yang
diantisipasi.
Sebelum dilakukan pembuatan sediaan, dilaboratorium terlebih dulu harus dicoba serangkaian penelitian yang
berkaitan dengan pengecilan ukuran partikel baik dengan penggerusan mekanik atau dengan cara lain yang bertujuan untuk
mendapatkan partikel yang halus dan mudah terbasahi hingga dapat memberikan pelarutan yang cepat.
Berikut ini adalah contoh garam dari asam lemah yang larut-air dan yang dilarutkan dalam air atau pelarut
organik yang campur-air seperti gliserin atau etanol. Pemberian per oral larutan garam tersebut akan diencerkan oleh cairan
lambung dan senyawa yang terlarut akan mengendap dalam bentuk partikel amorf yang sangat halus dan tersebar merata di
dalam lambung.

4.1.2. PENGARUH KELARUTAN ZAT AKTIF


Laju pelarutan seperti yang dirumuskan dalam persamaan Noyes dan Withney berbanding lurus tidak hanya
terhadap luas permukaan spesifik, tetapi juga terhadap perbedaan antara konsentrasi jenuh dan juga jumlah zat aktif terlarut
dalam waktut. Bila memungkinkan, maka salah satu langkah untuk mempercepat laju pelarutan adalah dengan
meningkatkan Cs.
Peningkatan kelarutan dapat dilakukan dengan beberapa cara :
- kimia : perubahan kimia dengan pembentukan garam, ester, kompleks, dan lain-lain,
- fisik : perubahan bentuk kristal zat aktif dan lain-lain
- farmasetik : penambahan eksipien (bahan penglarut, pembentuk kompleks, dan lain-lain)

4.1.2.1. Pengaruh Perubahan Sifat Kimia


Perubahan sifat kimia suatu senyawa dimaksudkan untuk mendapatkan sifat fisik tertentu seperti kelarutan, laju
pelarutan juga untuk memastikan stabilitas, menghindari ketidakcampuran, atau untuk memperbaiki rasa dan bau zat aktif.

a. Pembentukan Garam
Senyawa yang terionkan lebih mudah larut dalam air dibandingkan dengan bentuk yang tak terionkan.
Pembentukan garam dari zat aktif dimaksudkan untuk mengubah suatu senyawa asam atau basa yang sukar larut dalam air
menjadi bentuk garam yang mudah larut. Bahasan tentang laju pelarutan telah banyak diungkapkan oleh para peneliti,
misalnya pemakaian garam penisilina yang secara in vitro laju pelarutannya 2-4 kali lebih tinggi ternyata mempunyai kadar
dalam darah yang lebih tinggi.
Penggaraman ini terutama penting untuk zat aktif yang terionkan dalam saluran cerna. Dalam hal ini kelarutan zat
aktif dalam saluran cerna akan berubah bila terjadi perubahan keasaman saat zat aktif melewati lambung menuju ke usus.
Zat aktif basa terlarut lebih cepat dalam lambung daripada dalam usus dan keadaan yang sebaliknya terjadi pada
zat aktif yang bersifat asam .
Pembentukan garam merupakan metoda terpilih untuk meningkatkan konsentrasi jenuh Cs dari asam lemah yang
sukar larut dalam cairan lambung .

MG Biofarmasi Fakultas Farmasi UTND Medan - 2015 47


BAB 4. PARAMETER YANG LANGSUNG MEMPENGARUHI ABSORPSI OBAT

Penggunaan bentuk garam yang sangat mudah larut dalam air dapat menyebabkan laju pelarutan yang tinggi,
dalam hal ini garam bertindak sebagai dapar dan segera meningkatkan pH cairan. Molekul yang terionkan akan segera
berdifusi meninggalkan partikel obat menuju cairan lambung. Sedangkan bila molekul yang terionkan tersebut mengendap
dalam lambung dalam hal asam lemah yang sangat tidak larut dalam air, maka endapan partikel yang terjadi akan terbasahi
sempurna, sangat halus, jauh lebih lembut dari yang diperoleh dengan cara dimikronisasi. Akibat dari besarnya luas
permukaan spesifik maka partikel endapan akan segera terlarut kembali. Seperti diketahui penyerapan asam lemah dalam
cairan lambung relatif lebih cepat sehingga tidak terjadi proses penjenuhan cairan lambung, namun sebaliknya pelarutan
yang cepat dari partikel yang sangat halus akan segera menjenuhkan cairan.
Nelson dan Chaldemose melakukan perubahan pada persamaan Noyes dan Withney dengan mempertimbangkan
adanya lapisan difusi (dan dinamika penyerapan):

dC
= K.A.
dt +
dC/dt = Laju pelarutan
K = Tetapan laju pelarutan
A = Permukaan efektif zat aktif yang tidak larut saat kontak dengan pelarut
Co = Kelarutan asam bebas
Ka = Tetapan disosiasi asam lemah
Hd+ = Konsentrasi ion dalam lapisan difusi

Jadi peran pH cairan difusi di sekitar partikel garam natrium atau kalium dari asam lemah adalah meningkatkan
pelarutan. Hal yang sama terjadi pada basa lemah dalam cairan usus, yang diberikan dalam bentuk garam dan terlarut
selama berada di dalam lambung.
Penelitian Nelson menjelaskan tujuan penggunaan zat aktif bentuk garam yang larut dalam suatu sediaan.
Penelitimenguji laju pelarutan in viro dan penyerapan in vivo tolbutamida dan bentuk garam natrium, serta tertrasiklin dan
garam klorida. Uji pelarutan in vitro dilakukan dengan menggunakan cairanlambung buatan dan cairan usus buatan yang
didapar pada pH 7,2.
Hasil percobaan Nelason membuktikan bahwa :
- Pelarutan yang lebih cepat terjadi pada garam natrium tolbutamida dan tetrasiklina klorida baik pada cairan lambung
maupun cairan usus. Hal itu untuk mengatasi kelarutan yang lemah dari tolbutamida dalam larutan asam dan tetrasiklina
pada cairan usus pH 7,2.
- Hasil penelitian tersebut didukung dengan hasil pengujian laju penyerapan in vivo senyawa tersebut.
Penggaraman zat aktif dapat pula dilakukan dengan cara-cara manipulasi formulasi.
Untuk mengupayakan daerah berkeasaman basa (mikro pH) pada lapisan cairan difusi disekitar partikel zat aktif
yang bersifat asam lemah kadang-kadang digunakan suatu senyawa yang bersifat basa seperti natrium karbonat atau
bikarbonat,yang dicampur dengan zat aktif dalam sediaan. Dengan demikian adanya peningkatan pH di sekitar partikel
asam akan memudahkan proses pelarutan. Ide inilah yang digunakan dalam pembuatan tablet aspirin eferfesen, asam
salisilat atau PAS yang didapar.
Untuk zat aktif yang sukar larutdan bersifat asam lemah, maka peningkatan pH cairan pelarutan dapat dilakukan
dengan pemberian obat dalam dosis besar yang akan menetralkan dan menaikkan pH lambung, namun metode ini jelas
tidak baik.
Seperti diketahui semua bentuk garam dari zat aktif yang sama tidak memberikan penyerapan yang sama. Kinin
lebih baik diserap dalam bentuk klorhidrat dibandingkan dengan garam sulfat, sedangkan garam pinisilin mempunyai laju
pelarutan yang menurun dengan urutan : garam kalium, kalsium, asam bebas, garam benzatin. Dalam hal ini kadar penisilin
dalam darah menurun pula seiring dengan penurunan laju pelarutannya.
Tampaknya penggaraman tidak berpengaruh pada pemberian obat atropin melalui rektal. Efek midriatik yang
sama diperoleh baik dari bentuk atropin basa maupun bentuk garamnya, dalam hal ini walaupun atropin basa kurang larut
dalam air namun karakter keterserapan kedua bentuk tersebut sama cepat.
Hal tersebut membuktikan bahwa kinetik penyerapan tidak selalu sejalan seiring dengan kinetik pelarutan : laju
pelarutan merupakan salah satu faktor yang berpengaruh terhadap proses penyerapan, tetapi yang paling menentukan
adalah keterserapan dari zat itu sendiri.
Pemberian bentuk garam suatu senyawa obat dapat pula menghambat proses pelarutan dan akibatnya penyerapan
bentuk garam tersebut lebih lambat dibandingkan dengan bentuk asamnya yang tidak terionkan, misalkan aluminium
asetisalisilat. Kemungkinan lain adalah karena garam yang terjadi lebih sukar larut dalam air.

b. Pembentukan Ester
Pembentukan ester dari suatu zat aktif dapat mengubah kalarutan dan laju pelarutannya, yang secara umum berarti
penurunan proses laju pelarutan.
Pembentukan ester dimaksudkan untuk:
Menghindari peruraian zat aktif di lambung, misalnya ester dari asam lemak dan eritromisin atau leukomisin. Bentuk
ester dapat berfungsi sebagai pro-drug yang ia sendiri tidak larut dalam cairan lambung dan aktivitas dalam cairan
usus terjadi karena peruraian pro-drug oleh sejumlah enzim sehingga membebaskan zat aktif.

MG Biofarmasi Fakultas Farmasi UTND Medan - 2015 48


BAB 4. PARAMETER YANG LANGSUNG MEMPENGARUHI ABSORPSI OBAT

Menghambat atau memperpanjang aksi beberapa zat aktif. Sejumlah penelitian telah dilakukan dengan mengesterifikasi
hormon steroida dengan tujuan memperpanjang aksinya (garam mononatrium hemitetrahidroftalat atau garam dinatrium
fosfat dari prednisolon)
Menutupi rasa yang tidak enak, misalnya pada kloramfenikol. Dalam bentuk bebas kloramfenikol sangat pahit,
sedangkan bentuk esternya tidak berasa sehingga mudah untuk diberikan. Sebaliknya bentuk ester itu sendiri tidak
mempunyai aktifitas antibiotik, sehingga terlebih dahulu harus dihidrolisa dalam usus halus agar basa kloramfenikol
yang aktif dapat dibebaskan.

4.1.2.2Pengaruh Perubahan Keadaan Fisik


a.Bentuk Kristal atau Amorf
Partikel padat dapat berada dalam bentuk kristal atau amorf. Bentuk kristal dianggap sebagai bentuk dengan
sistem yang teratur. Tetapi sulit untuk menjaga agar sistem kristal terpilih dari senyawa yang digunakan dalam sediaan
selalu tetap karena bila senyawa tersebut diserbuk sangat halus, maka susunan kristalnya dapat berubah.
Bentuk amorf tidak mempunyai struktur yang tetap, dalam tiga dimensi susunannya tidak teratur.
Pada penelitian biofarmasetik perlu diketahui dengan tepat struktur zat aktif yang digunakan yaitu bentuk kristal
atau amorf karena kedua bentuk tersebut mempunyai sifat fisik yang berbeda dan berpengaruh pada aktifitas farmakologik
dan juga stabilitas kimianya.
Pada umumnya dapat dikatakan bahwa senyawa amorf lebih larut dari bentuk kristalnya. Diperlukan banyak
energi untuk menyusun molekul dalam susunan kristal dibandingkan untuk menyusun molekul dalam keadaan amorf yang
tidak teratur.
Misalnya novobiosin yang hanya aktif dalam bentuk amorf dan kelarutannya sepuluh kali lebih besar
dibandingkan bentuk kristalnya serta diserap lebih baik. Dalam suspensi berair, secara perlahan novobiosin akan berubah
perlahan menjadi bentuk kristal dan hal tersebut dapat dicegah dengan pemakaian garam natrium novobiosin amorf. Dalam
sediaan suspensi natrium novobiosin amorf digunakan bersama senyawa makromolekul seperti metil selulosa,
polivinilpirolidon atau natrium alginat.
Ha yang sama juga terdapat pada ester kloramfenikol stearat dan palmitat yang aktif hanya dalam bentuk amorf.
Kelarutan bentuk tersebut dalam saluran cerna cukup untuk dapat dihidrolisa oleh enzim dan melepaskan kloramfenikol
bebas yang dapat diserap. Sedangkan ester dari kloramfenikol kristal tidak cukup larut untuk dapat dihidrolisa.
Contoh yang sejenis adalah insulin yang digunakan baik dalam bentuk amorf ataupun kristal untuk dapat
memperoleh sediaan dengan ketersediaanhayati terkendali.
Bentuk amorf yang mempunyai kelarutan yang besar diikuti dengan ketidakstabilan yang besar pula, misalnya
pada penisilin yang diberikan peroral. Perubahan selalu dari bentuk amorf ke bentuk kristal tanpa kembali ke bentuk amorf
lagi.
Bila zat aktif berada dalam bentuk kristal, maka konfigurasi dan ukuran kristal berpengaruh terhadap:
Selama pembuatan tablet, perubahan konfigurasi kristal dapat mengubah sifat alir dan daya kempa zat aktif. Pada
pemberian sediaan suspensi parenteral atau tablet-susuk, maka bila zat aktif bersisi tajam atau berbentuk jarum halus
dapat menimbukan rasa sakit dan efek samping yang tidak dikehendaki.
Laju pelarutan juga merupakan fungsi dari luas permukaan dan ukuran sisi kristal, semakin kecil partikelnya maka
semakin besar luas permukaan sisinya.Oleh sebab itulah mengapa terdapat perbedaan yang bermakna pada laju
pelarutan kristal asimetrik atau heterosimetrik. Semakin teratur susunan kristal maka laju pelarutan dan efek terapetik
semakin reprodusibel terutama untuk kristal yang bulat atau hampir bulat termasuk bentuk kubik.
Namun hal tersebut di atas terjadi pula pada keadaan ideal. Biasanya yang terjadi adalah keadaan yang tidak
sempurna dan cacat kristal. Cacat kristal dapat menyebabkan suatu heterogenitas energi pada permukaan padatan yang
tidak uniform tetapi tersebar pada tempat energi yang heterogen. Ketidaksempurnaan tersebut berpengaruh pula pada gaya
ikatan dan pada keadaan tersebut, molekul menjadi kurang kompak dan ikatan akan mudah putus. Dengan demikian, proses
pelepasan zat aktif, laju pelarutan dan laju penyerapan dipengaruhi oleh sifat, densitas serta penyebaran cacat tersebut
dalam kisinya.
Ketidaksempurnaan kristal zat aktif dapat menjelaskan beberapa penyimpangan pelarutan. Terdapat beberapa tipe
cacat kristal yaitu adanya keretakan pada permukaan atau dibagian yang lebih dalam, adanya celah dalam kisi, kekosongan
atau adanya atom asing dalam posisi di luar susunan geometrik yang teratur.
Cacat geometrik dalam stuktur kristal hanya dapat diamati dalam kristal yang hampir sempurna, dan terdiri atas
cacat dislokasi sudut dan dislokasi spiral. Dislokasi sudut hanya berpengaruh sedikit pada laju pelarutan sedangkan
dislokasi spiral lebih berpengaruh. Teori dislokasi merupakan teori yang menjelaskan terjadinya pertumbuhan kristal serta
peningkatan pelarutan kristal, keduanya merupakan fenomena yang saing bertentangan.
Dislokasi spiral mendorong terjadinya struktur baru yang lapisan atomnya tidak lagi saling bertumpukan satu dan
lainnya. Sebaliknya pada keadaan dislokasi hanya terdapat satu bidang atomik berbentuk baling-baling atau spiral. Adanya
tanjakan juga terjadi karena dislokasi menampikan sejumlah sudut yang patah yang elemen strukturalnya diapit oleh tiga
atau empat sisi. Pada keadaan tersebut pelarutan terutama terjadi di sepanjang dislokasi. Dengan teori ini dapat dimengerti
adanya hambatan pelarutan zat aktif yang disebabkan terikatnya cemaran. Dapat pula dijelaskan pengaruh pewarna biru
FDC no pada pearutan sulfaguanidin, sulfatiazol atau timol. Perwarna tersebut diserap terutama pada celah dislokasi
sehingga menghalangi pelarutan molekul yang dalam keadaan normal terlepas lebih cepat.
Ketidaksempurnaan lainnya adalah tekanan yang timbul di dalam kisi kristal terutama yang terjadi karena suatu
perlakuan termik atau tekanan mekanik. Kristal cacat mempunyai suhu lebur yang lebih rendah dan kelarutan yang lebih

MG Biofarmasi Fakultas Farmasi UTND Medan - 2015 49


BAB 4. PARAMETER YANG LANGSUNG MEMPENGARUHI ABSORPSI OBAT

tinggi diabndingkan kristal yang sempurna. Penggerusan dan pengempaan dapat menyebabkan peningkatan laju pelarutan
fenobarbital.

b.Polimorfisa
Fenomena polimorfisa yang banyak terdapat pada senyawa organic dan mineral mulai dikenal sejak temuan Hauy.
Suatu senyawa dikatakan menunjukkan fenomena polimorfisa bila dalam keadaan padat senyawa tersebut
mempunyai berbagai sistem kristal berbeda sebagai fungsi dari suhu dan keadaan penyimpanan.
Susunan molekul bentuk polimorf berbeda satu dan lainnya. Dua bentuk polimorf dari senyawa yang sama
berbeda secara fisik mirip seperti dengan dua kristal dari dua senyawa berbeda. Perbedaan in terutama berkaitan dengan
suhu lebur, kelarutan, sifat optik dan elektrik. Tetapi bila kisi kristal menyusun diri karena peeburan atau pelarutan, maka
polimorf yang berbeda tersebut akan berada pada keadaan gas atau cairan dan menjadi identik.
Pada semua suhu, hanya ada satu bentuk yang stabil sedangkan lainnya merupakan bentuk yang tidak stabil atau
yang disebut metastabil. Hukum reaksi Ostwald: Suatu bentuk yang terkristalkan pertama kali dari suatu cairan bukanlah
yang paling stabil, tetapi merupakan bentuk yang dapat diperoleh dengan kehilangan energi minimum, artinya bentuk yang
metastabil. Bentuk metastabil tersebut ambat atau cepat akan berubah bentuk ke bentuk yang lebih stabil.
Karena alasan termodinamik, bentuk metastabil adalah bentuk yang paling mudah larut (terutama dalam air), dan
mempunyai laju pelarutan dan reaksi kimia yang lebih besar dari polimorf stabil. Sifat tersebut memungkinkan perbaikan
laju dan intensitas penyerapan zat aktif yang mempunyai fenomena polimorfisme.
Ditinjau dari sudut teknologi, perubahan bentuk metastabil tersebut dapat menimbulkan berbagai masalah selama
proses pembuatan obat, mulai pembentukan padatan endapan karena pertumbuhan kristal sampai ketidakaktifan zat aktif.
Sangat baik untuk memilih suatu bentuk metastabi tertentu dan menggunakan bahan tambahan untuk menghambat
proses perubahan termodinamik bentuk metastabi tersebut.
Terdapat banyak contoh yang berkaitan dengan polimorfisa. Pada serangkaian penelitian yang dilakukan oleh
Kuhnert Brandstatter prosentase fenomena polimorfisa yang teramati pada senyawa yang diteliti adalah:
steroida 67%
sulfamida 40%
barbiturat 63%
Ditinjau dari sudut biofarmasi, kloramfenikol palmitat merupakan contoh yang paling nyata. Berbagai peneliti
telah membuktikan bahwa kloramfenikol mempunyai bentuk polimorf A, B, C dan satu bentuk amorf. Hanya polimorf
bentuk B dan bentuk amorf yang larut dalam air serta yang dapat dihidrolisa oleh enzim usus.Pada studi penyerapan
campuran kloramfenikol palmitat pada berbagai perbandingan kadar polimorf A dan B, diperoleh hasil 2 jam setelah
pemberian obat, polimorf metastabil B memberikan kadar darah 10 kali lebih tinggi dibandingkan bentuk polimorf A.
Sejumlah zat aktif yang terbukti mempunyai bentuk polimorf, dirangkum pada Tabel 4.1berikut.

Tabel 4.1. Banyaknya polimorf beberapa zat aktif


JUMLAH JUMLAH
ZAT AKTIF ZAT AKTIF
POLIMORF POLIMORF
Aspririn 2-7 Metileprednisolon 4
Barbital 4 Novobiosin 2
Estradiol 4 Prednisolon 1
Fluorokortison aselat 4 Prednisolon asetat 2
Flusinolon asetonida 2 Prednisolon butil asetat 3
Heksametason 4 Prednison 1
Hidrokortison 4 Prednisone asetat 4
Hidrokortison aselat 2 Riboflavin 5
Hidrokortison butil asetat 2 Spironolakton 3
Kloramfenikol palmitat 3 Sulfatiasol 3
Kortison asetat 2 Testosteron 3

Kristal kecil dari bentuk metastabil lebih stabil dari pada kristal besar. Dengan demikian diusahakan memperoleh
bentuk kristal yang kecil. Namun perlakuan mekanik seperti penggerusan dapat menyebabkan perubahan bentuk metastabil
ke bentuk stabil

c. Solvat dan Hidrat


Selama kristalisasi, molekul air dan molekul pelarut dapat berikatan yang cukup kuat dengan zat aktif dan
menghasilkan solvat, bila pelarutnya air berbentuk hidrat. Sifat fisik senyawa hidrat tersebut dapat sangat berbeda dengan
bentuk anhidratnya, terutama bila berkaitan dengan pelarutan. Umumnya senyawa anhidrat menunjukkan laju pelarutan
dalam air yang lebih cepat dibandingkan bentuk hidratnya. Misalnya pada kloral, kafein, penisilin dan glutetimid.
Fenomena tersebut secara in vivo dapat dibuktikan bahwa ampisilina anhidrat lebih larut dari bentuk trihidratsehingga
dengan demikian kadar obat didalam darah lebih cepat diperoleh dari bentuk anhidrat.
Sejumlah zat aktif dapat membentuk solvat dan hidrat, terutama, kinin, sulfamida, barbiturat, kortikosteroid,
tetrasiklin, turunan xantin, dan lain-lain.

MG Biofarmasi Fakultas Farmasi UTND Medan - 2015 50


BAB 4. PARAMETER YANG LANGSUNG MEMPENGARUHI ABSORPSI OBAT

Dalam kasus fluorokortison asetat, solvat yang diperoleh dari pelarut organik terlarut lebih cepat dari bentuk
tanpa solvat senyawa tersebut.
Studi berbagai solvat dari ester prednisolon ter-butilasetat dan hidrokotison ter-butilasetat membuktikan bahwa
solvat alcohol lebih mudah diserap dibandingkan dengan senyawa yang mengandung solvat setengah molekul aseton (179).
Hidrat dan solvate senyawa dapat berbentuk tidak hanya saat sintesa senyawa tersebut namun juga selama
pembuatan obat atau penyimpanan sediaan. Oleh sebab itulah pada tablet kalsium para amino salisilat atau kalsium
fenobarbital, laju pelarutannya dapat berubah secara bermakna (182, 183, 184). Hasil pengamatan yang sama juga terlihat
pada prednisolon yang dimikronisasi atau hidrokortison asatat (185, 186).

4.1.2.3.Faktor Formulasi dan Teknologi yang Dapat Mengubah Laju Pelarutan Zat Aktif
Berbagai cara selalu diusahakan agar pelarutan zat aktif yang sukar larut dapat ditingkatkan. Berikut ini akan
dibahas sejumlah metoda yang paling banyak digunakan untuk meningkatkan pelarutan. Prosedur tersebut adalah :
- Penggunaan prosedur teknologi yang dapat mengubah keadaan fisik zat aktif (pembentukan eutektik)
- Penggunaan bahan pelarutan (co-solute) yang dapat:
Membentuk larutan-padat dan kompleks
Mengubah tetapan dielektrik cairan pelarutan
- Bahan penglarutan miseler
- Penyalutan dan senyawa yang lebih hidrofil

a. Pembentukan Eutektik atau Larutan Padat


Suatu eutektik adalah campuran padat dua senyawa yang umumnya mempunyai suhu lebur di bawah suhu lebur
masing-masing senyawa penyusunnya (seperti fenomena senyawa kompleks logam).Senyawa eutektik diperoleh dari
rekristalisasi campuran dua senyawa yang sukar larut atau tidak saling larut satu dan lainnya.
Larutan padat merupakan campuran padatan yang terdiri dari suatu matriks padat yang sangat larut dalam air dan
tidak aktif secara farmakologik, dan suatu campuran zat aktif yang sukar larut. Campuran eutektik ini diperoleh dengan
melebur campuran kedua senyawa tersebut, mencampurnya hingga dingin (dan memadat) dan selanjutnya campuran
tersebut diserbuk. Pada keadaan tersebut zat aktif terdapat dalam keadaan molekuler. Bila kombinasi eutektik tersebut
dimasukkan kedalam air atau kontak dengan cairan tubuh maka matriks akan segera terlarut dan melepaskan zat aktif
dalam keadaan molekuler, yang selanjutnya akan meningkatkan laju pelarutan dan akhirnya meningkatkan laju penyerapan.
Sejumlah senyawa dapat membentuk campuran eutektik dan larutan padat tersebut misalnya :
- Manitol
- Urea (dengan kloramfenikol), atau (dengan sulfatiasol)
- Asam suksinat (dengan griseofulvin)
- Polivinilpirolidon (dengan griseofulfin) atau (dengan reserpin)
- Asam askorbat (dengan sulfatiasol)
- Polioksietilenglikol (dengan griseofulvin)
- Asam deoksikholin
Bahan tambahan yang digunakan dalam pembentukan campuran eutektik atau larutan padat dapat meningkatkan
laju pelarutan zat aktif.
Jadi dengan prosedur tersebut dapat dilakukan penglarutan zat aktif, artinya melarutkan senyawa yang sukar
larut dalam air.

b. Pembentukan Kompleks
Kompleks merupakan kombinasi antara dua atau lebih ion atau molekul obat yang tidak terikat dengan ikatan
kovalen atau ionik, tetapi terikat dengan ikatan intermolekular, ikatan hidrogen, ikatan van der walls, dan lain-lain.
Sifat fisiki-kimia bentuk kompleks seperti kelarutan, ukuran molekuler, keterdifusian dan koefisien partisi antara
minyak-air, pada umumnya berbeda dengan bentuk bebas zat-aktif. Perbedaan tersebut menyebabkan bahwa pada
umumnya bentuk kompleks tidak dapat melintasi membran sehingga tidak mempunyai aktivitas biologik. Namun kadang-
kadang bentuk kompleks tersebut lebih larut dari senyawa bebasnya. Pembentukan kompleks dapat meningkatkan laju
penyerapan dari senyawa yang sukar larut, karena terjadinya interaksi yang menghasilkan kompleks bersifat reveribel
cairan biologik.

Keseimbangan zat aktif dan bentuk kompleksnya dapat ditulis sebagai berikut:

Zat aktif + Bahan komplek kompleks

Pada keadaan seimbang tetapan Ks adalah :

[kompleks]
Ks =
[zat aktif] . [bahan pembentuk kompleks]

MG Biofarmasi Fakultas Farmasi UTND Medan - 2015 51


BAB 4. PARAMETER YANG LANGSUNG MEMPENGARUHI ABSORPSI OBAT

Efek pembentukan kompleks terhadap penyerapan tergantung pada nilai Ks.Bentuk kompleks umumnya
mengurangi laju penyerapan, tetapi perubahan ketersediaan hayati yang diakibatkan hanya sedikit. Aspek kinetik
penyerapan menyebabkan keseimbangan rangkap antara :
- bentuk bebas dan bentuk kompleks dimasing-masing sisi membran.
- bentuk bebas dikedua sisi membran.

Kompleks Zat Zat


zat aktif aktif Darah
aktif bebas bebas

membran
biologik

Dalam tubuh, zat aktif akan melintasi membran biologik, lalu berdifusi dan menuju ke peredaran darah. Dengan
demikian terjadi pergeseran keseimbangan, sejumlah zat aktif baru melintasi membran dan terjadi sejumlah pelepasan zat
aktif baru ke bagian luar membran sampai akhirnya terjadi keseimbangan.
Pembentukan kompleks dapat digunakan untuk meningkatkan atau mengurangi penyerapan dengan perubahan
kelarutan zat aktif. Penggunaan larutan suatu kompleks kadang-kadang lebih efektif (atau lebih toksik) dibandingkan
dengan suspensi zat aktif, karena disosiasi kompleks terjadi lebih cepat dibandingkan dengan pelarutan zat aktif yang lebih
perlahan.
Beberapa kompleks tertentu dapat menembus sawar lebih cepat dibandingkan bentuk bebasnya, sehingga dengan
demikian aktifitas biologik akan meningkat. Penyerapan senyawa Fe di saluran cerna dapat ditingkatkan dengan
pembentukan kompleks asam sitrat dan asam etilen-diamina-tetrasetat. Jumlah Fe yang tinggal di dalam tubuh setelah
pemberian bentuk kompleks lebih kecil dibandingkan dengan jumlah Fe yang teramati setelah pemberian garam Fe yang
tidak dikompleks karena bentuk kompleks dikeluarkan dari tubuh lebih cepat (selain itu terbukti pula bahwa kompleks
tersebut kurang toksik terhadap mukosa lambung).
Dalam hal khusus penggunaan etilen-diamina-tetrasetat harus dibatasi karena sifatnya yang dapat membentuk
kompleks. Aktivitas senyawa tersebut terhadap kalsium seluler dan gangguan yang ditimbulkannya dapat mempengaruhi
sifat membran, sehingga dengan demikian pemberiannya dapat mempermudah penyerapan beberapa senyawa seperti
manitol, amonium kuartener, asam sulfanilat, heparin, atau sebaliknya menghambat penyerapan zat aktif seperti barbiturat,
striknin dan sulfamida tertentu.
Selain yang tersebut di atas, terdapat pula bentuk kompleks khusus tanpa ikatan intermolekuler yang disebut
clathrates atau senyawa dalam sangkar. Kompleks tersebut terbentuk dari suatu senyawa yang dapat membentuk
sangkar yang menjebak senyawa lain dalam ruang strukturnya. Senyawa tersebut diperoleh dari suatu larutan yang
mengandung senyawa pembentuk kompleks.
Beberapa senyawa yang dapat membentuk clathretes, adalah asam gallat, urea, tiourea, amilose dan zeolith.
Senyawa-senyawa tersebut dapat menjebak molekul obat seperti kolesterol, vitamin A, asam linoleat, asam linolenat.
Ritchel mengungkapkan bahwa yang menarik tentang kompleks dalam penelitian biofarmasetik adalah anggapan
bahwa kompleks merupakan suatu alat penting dalam formulasi. Karena dengan kompleks kita dapat mengubah atau
mengurangi efek zat aktif yang merugikan dan yang tidak diinginkan tanpa meniadakan aktivitas farmakologiknya.
Dalam formulasi kadang-kadang dijumpai beberapa kesulitan yaitu bila bentuk kompleks menghambat secara
nyata proses perlintasan zat aktif, diantaranya yang peling terkenal adalah kompleks polietilenglikol dan asam salisilat atau
kompleks garam kalsium dan tetrasiklin.

c. Bahan yang dapat mengubah tetapan dielektrik cairan


Kelarutan suatu senyawa merupakan fungsi dari tetapan dielektrik cairan, pada nilai tetapan dielektrik tertentu
diperoleh satu kelarutan optimum. Dengan demikian dapat dilarutkan suatu zat aktif dalam pembawa atau campuran pelarut
yang dapat campur secara fisiologik dan mempunyai suatu tetapan dielektrik yang cocok untuk pelarutan. Gliserin,
polioksi-etilenglikol, propilenglikol dan lain-lain, dapat mengubah tetapan dielektrik cairan fisiologik sehingga dapat
memudahkan pelarutan (jangn dikacaukan pengertian antara campuran sederhana larutan-padat yang diperoleh dari
pelarutan zat aktif dalam leburan propilenglikol).
Proses pre-disposisi zat aktif mirip dengan keadaan bila terjadi ikatan antara bahan yang bersifat basa dengan zat
aktif yang bersifat asam lemah dan sukar larut.
Bahan aktif dalam sediaan larutan untuk pemakaian setempat akan berdifusi kedalam media aquous yang
mempunyai tetapan dielektrik berbeda dan akan menyebabkan terjadinya pengendapan partikel yang halus.
Hal tersebut terutama perlu diperhatikan untuk pemakaian sediaan parenteral yang digunakan setempat, karena
dapat menimbulkan penyerapan pasif melalui mukosa.

d. Bahan Penglarut Miseler


Surfaktan merupakan molekul yang mempunyai rantai lipofil dan bagian hidrofil. Bila konsentrasi surfaktan yang
larut dalam air di bawah konsentrasi miseler kritis (CMC = critical micelle concentration) maka dapat terbentuk agregat
atau misel yang larut, hal ini terjadi dengan anggapan bahwa bentuk partikel adalah bulat. Bagian polar dari molekul akan
berada difase air dan menghadap ke pusat, hingga dapat melarutkan senyawa lipofil yang tidak larut dalam air. Bagian

MG Biofarmasi Fakultas Farmasi UTND Medan - 2015 52


BAB 4. PARAMETER YANG LANGSUNG MEMPENGARUHI ABSORPSI OBAT

hidrofil menghadap ke arah luar yaitu fasa air. Bahan aktif berada di dalam misel pada kedalaman tertentu tergantung pada
derajat polaritasnya, yang paling polar akan berada di permukaan.
Interaksi zat aktif dan surfaktan beragam tergantung pada posisinya yaitu di bawah atau di atas konsentrasi
meseler kritik (CMC). Larutan misel tersebut juga mempunyai sifat fisik yang sama dengan larutan pada umumnya seperti
tegangan permukaan, konduktivitas, tekanan osmose, kekentalan, penurunan suhu beku, indeks refraksi, dan lain-lain.
Ditinjau dari bentuk biofarmasetik, penglarutan dengan surfaktan dapat meningkatkan atau menurunkan
penyerapan zat aktif. Miselisasi dapat berupa pembentukan kompleks yang dapat menghambat penyerapan senyawa
tertentu. Misel tidak dapat diserap karena susunan steriknya sedemikian hingga misel tersebut tidak dapat melintasi pori-
pori membran biologik. Namun misel dapat menembus membran secara difusi pasif, karena adanya karakter polar perifer.
Dengan demikian zat aktif yang termisel tidak secara langsung tersedia dalam darah.
Seperti halnya kompleks, terdapat dua fase keseimbangan dalam larutan. Dalam hal ini koefisien partisi zat aktif
antara fase air dan fase miseler adalah tetap dan tidak tergantung pada konsentrasi zat aktif. Pada keadaan tersebut karena
zat aktif dalam misel tidak segera tersedia dalam darah maka konsentrasi efektifnya lebih rendah dari konsentrasi yang
teramati dalam darah dan penyerapannya juga lebih lemah.
Pada umumnya miselisasi dapat meningkatkan penyerapan zat aktif. Bila penyerapan zat aktif ditentukan oleh
pelarutannya, maka semua faktor yang dapat meningkatkan kelarutan dapat pula meningkatkan penyerapan, demikian pula
halnya bila fraksi zat aktif terlarut berada dalam bentuk yang tidak secara langsung diserap.
Skema berikut yang dikutip dari Gibaldi dapat menjelaskan fenomena kinetik tersebut sebagai dinamika
penyerapan.

Sawar saluran cerna


Zat aktif
K1 terlarut
dalam misel (M)
Zat aktif
Padat (S) K3

K2 Zat aktif K4 Zat aktif


bebas dalam dalam tubuh (B)
cairan saluran
cerna (U)

Laju penerapan yang ditandai oleh tetapan K4 berbanding lurus dengan jumlah zat aktif yang bebas (U). Tanpa
adanya larutan miseler, laju pemunculan U tergantung pada laju pelarutan zat aktif K2, dan bila K2 lebih kecil dari K4 maka
penyerapan akan ditentukan oleh proses pelarutan.
Bila ditambahkan surfaktan dalam jumlah yang cukup untuk menghasilkan larutan miseler maka kelarutan total
zat aktif dalam cairan akan meningkat, demikian pula laju pelarutannya. Penyebaran zat aktif ke dalam fase miseler dan
fase bukan miseler terjadi dengan cepat sehingga keberadaan zat aktif dalam cairan saluran cerna terjadi dengan cepat pula
dan dengan demikian laju penyerapan akan meningkat pula (K1 dan K3>> K2).
Mekanisme tersebut di atas dapat diterapkan pada jumlah zat aktif. Garam empedu dapat membentuk larutan
miseler dalam saluran cerna dan meningkatkan penyerapan senyawa yang relatif tidak larut dalam cairan tersebut misal
griseofulvin dan heksoestrol.
Pengaruh yang menguntungkan dari surfaktan terhadap penyerapan dapat pula terjadi bila konsentrasinya di
bawah konsentrasi miseler kritis (CMC) dan hal tersebut dapat dijelaskan dengan beberapa cara berbeda:
(i). Terjadi penurunan tegangan permukaan sehingga dapat memperbaiki pembasahan sediaan dan zat aktif dan akibatnya
terjadi pelarutan yang lebih cepat. Meskipun demikian harus diperhatikan bahwa pembasahan yang terlalu cepat akan
mempercepat proses pengrusakan zat aktif yang peka pada cairan lambung, misalnya eritromisin propionat. Surfaktan
dapat menurunkan tegangan antar permukaan pada membran penyerap. Surfaktan juga dapat beraksi langsung
terhadap bagian lipida membran biologi, surfaktan tertentu akan melarutkan lipida tersebut sehingga menimbulkan
desorientasi molekul membran dan akibatnya terjadi peningkatan permeabilitas.
(ii). Selain miselisasi, surfaktan dengan zat aktif dapat membentuk kompleks yang lebih larut-lemak dan lebih dapat
diserap.
(iii). Surfaktan juga dapat berpengaruh langsung pada proses fisiologik yaitu memperpanjang waktu pengosongan
lambung, menghambat pengeluaran getah lambung dan memperlambat gerakan usus.
Mekanisme pemakaian surfaktan yang rumit menyebabkan seorang formulator harus berhati-hati dalam memilih
dan menggunakan surfaktan. Surfaktan yang paling sering digunakan berasal dari golongan non-ionik.

e. Penyalutan Dengan Senyawa Hidrofil


Sejumlah metoda formulasi dan teknologi memungkinkan menigkatkan laju pelarutan dan hal ini menjadi obyek
penelitian bila dikehendaki pelarutan zat aktif yang terserbuk dalam sediaan oral. Pada umumnya penyalutan zat aktif yang
sedikit hidrofil oleh suatu lapisan yang sangat hidrofil dapat mempercepat proses pembasahan partikel dan selanjutnya akan
mempercepat proses pelarutan, misalnya penyemprotan partikel zat aktif dengan larutan gom arab.

MG Biofarmasi Fakultas Farmasi UTND Medan - 2015 53


BAB 4. PARAMETER YANG LANGSUNG MEMPENGARUHI ABSORPSI OBAT

4.2 KETERSERAPAN DAN KARAKTER FISIKO-KIMIA ZAT AKTIF


Laju penyerapan zat aktif, seperti yang telah dibahas terdahulu merupakan fungsi dari laju pelarutan dalam cairan
tubuh. Tetapi bila pelarutan merupakan hal yang tidak mempengaruhi penyerapan maka faktor-faktor yang mempengaruhi
pelarutan tidak banyak berperan pada proses penyerapan.

4.2.1PROSES PENYERAPAN KHUSUS


Proses penyerapan khusus, seperti penyerapan aktif, difusi sederhana atau pinositosis banyak terdapat pada bahan
obat, dan penyerapan ini tergantung pada struktur senyawa. Senyawa gula, asam amino, basa purin dan pirimidin tertentu,
vitamin dan sejumlah ion diserap secara aktif karena adanya molekul pembawa yang spesifik. Penyerapan ini dapat
dikacaukan oleh senyawa yang strukturnya mirip dengan struktur zat aktif (inhibitor kompetitif), dan untuk mengatasinya
dianjurkan memakai obat tersebut di luar waktu makan untuk menghindari kebersamaan dengan molekul sejenis dalam
makanan.
Amonium kuartener akan diserap setelah pembentukan pasangan ion yang dapat berdifusi secara pasif. Lemak,
vitamin larut-lemak dan protein bermolekul besar tertentu dapat diserap secara pinositosis, tetapi hal tersebut hanya terjadi
pada keadaan khusus.

4.2.2. TRANSPOR AKTIF


Sebagian besar zat aktif diserap secara difusi pasif yang mengikuti hukum FICK :

dQ K. D
Laju perlintasan zat aktif melalui membran = = S (C1 C2)
dt e

K = koefisien partisi membran biologik/cairan pelarutan


D = koefisien difusi molekul zat aktif melintasi membran
S = permukaan membran yang kontak dengan pelarutan
e = tebal membran
C1C2 = perbedaan konsentrasi di kedua sisi membrane

Dengan demikian laju penyerapan :


Berbanding terbalik dengan tebal membran, dalam hal ini tebal membran tidak dapat diubah.
Berbanding lurus dengan luas permukaan mukosa (s) yang kontak dengan cairan yang mengandung zat aktif.
Oleh sebab itulah bila penyerapan zat aktif akan ditingkatkan maka dicoba berbagai cara sedemikian hingga larutan
yang kontak dengan mukosa penyerap terjadi sebanyak mungkin, misalnya dengan hambatan maksimum pengendapan
basa alkaloida. Alkaloida ini lebih dapat diserap di usus halus.
Berbanding lurus dengan perbedaan konsentrasi di kedua sisi membran (C 1 C2)
Penyerapan pasif terjadi tercapainya keseimbangan dan proses akan berhenti bila aliran darah tidak lagi mengangkut zat
aktif dalam jumlah yang setara dengan jumlah yang diserap. Bila karena suatu alasan fisiologik atau patologik dan
daerah tempat penyerapan zat aktif tidak mendapatkan vaskularisasi yang baik maka penyerapan akan berkurang.
Berbanding lurus dengan K, koefisien partisi zat aktif ke dalam membran biologik dan cairan biologik, yang
mengandung zat aktif terlarut dan kontak dengan mukosa penyerap.
- Kelarutan zat aktif dalam lemak
Sifat alami lipida membran akan menjerat zat aktif dengan keterlarutan yang nyata dalam lipida. Hal ini merupakan
salah satu faktor utama yang memungkinkan terjadinya penyerapan pasif. Selanjutnya koefisien partisi dapat ditulis
dengan cara sebagai berikut :

Konsentrasi dalam fase lemak


K= =
Konsentrasi dalam fase berair

Koefisien partisi diperoleh bila terjadi keseimbangan aktif pada kedua fase yang tidak saling campur yaitu fase
lemak dan air. K merupakan tetapan zat aktif yang karakteristik pada keadaan tertentu (kedua fase benar-benar tidak
saling campur). Dengan pendekatan nilai ini dapat diperkirakan keterserapan suatu zat aktif dengan mempelajari
koefisien partisi antara pelarut organic (kloroform, heksana, oktanol, heptanol) dan air. Dengan peralatan tertentu
harga K pada berbagai pH dapat dilacak. Dengan teknik tertentu dan hal ini sangat bermanfaat dalam pengembangan
satu seri obat.
Bila diharapkan agar koefisien partisi fase lemak/air relatif tinggi maka zat aktif diusahakan mempunyai kelarutan
dalam air yang tinggi agar dapat melintasi membran dan selanjutnya disebarkan ke seluruh cairan tubuh.
- Ionisasi zat aktif
Perlunya molekul zat aktif mempunyai lipofilitas tertentu dikaitkan dengan bentuk terionkan dari zat aktif yang
tidak dapat diserap dengan cara difusi pasif melalui membran. Jumlah bentuk tidak terionkan yang dapat diserap
merupakan fungsi dari pH cairan. Dengan mengetahui pH cairan pelepasan dan pH cairan pelarutan serta tetapan
disosiasi Ka atau pKa zat aktif memungkinkan untuk memperkirakan intensitas penyerapan pada bagian saluran
cerna tertentu (yang mempunyai pH tertentu) yang paling sesuai untuk penyerapan optimal.

MG Biofarmasi Fakultas Farmasi UTND Medan - 2015 54


BAB 4. PARAMETER YANG LANGSUNG MEMPENGARUHI ABSORPSI OBAT

Di lambung, pada pemberian obat yang bersifat asam lemah (pH lebih kecil dari 2,5) zat aktif akan berada pada
bentuk tak terionkan dan segera dapat diserap; basa lemah (pKa < 11,5) terutama berada dalam bentuk tak terionkan
sehingga tidak diserap di lambung, sedangkan basa sangat lemah (pKa < 2,5) hampir tak terionkan di lambung,
misalnya kafein (pKa = 0,8) dan aspirin (pKa = 1,4).
Di usus halus, keasaman kurang berperan, sebaliknya penyerapan basa lemah lebih tinggi dibanding penyerapan
asam lemah, karena bentuk tak terionkan dari basa lemah berada dalam jumlah besar. Penyerapan asam lemah
dengan pKa > 3, terjadi cukup cepat, hal ini disebabkan luasnya permukaan epitel mukosa usus.
Untuk memudahkan perhitungan, ingatlah bahwa pada :

[ ] [H+]
Asam lemah : Ka = pKa = - log Ka
[AH]

[B+] [OH]
Basa lemah : Kb = pKb = - log Kb
[BOH]

Perlu diingat bahwa pKa untuk suatu basa merupakan pKa asam terkonjugasi (teori Bronsted) :

pKa basa = 14 pKb

Fraksi yang tak terionkan merupakan fungsi dari pH sehingga jumlah yang diserap untuk :
1
Asam lemah :
1 + 10 pH pKa

1
Basa lemah :
1 + 10 pKa pH

Sebagai contoh adalah asam salisiat yang mempunyai pKa = 3,5


Pada cairan lambung pH 1,5 jumlah bentuk tak terionkan adalah :
1 1
=
1 + 101,5 3,5 1,01

Dengan demikian hampir semua zat aktif berada pada bentuk tak terionkan dan sangat mudah terserap.
Pada cairan usus pH 7,5 jumlah bentuk tak terionkan adalah :
1 1
=
1+ 107,5 3,5 10,001

Jadi di usus halus, bagian yang langsung diserap sangat sedikit. Perlu diingat kembali bahwa luas permukaan
penyerap di usus halus lebih luas dibandingkan dengan lambung. Jadi dapat dikatakan bahwa pada subjek yang
tidak memiliki HCl, penyerapan asam asetilsalisilat terutama terjadi di lambung.
Perlu digarisbawahi bahwa keterlarutan zat aktif dalam air juga merupakan fungsi dari derajat ionisasi senyawa
tersebut. Bahan aktif elektrolit lemah dalam keadaan tak terionkan umumnya sukar larut, laju pelarutan dan
keterserapan merupakan dua parameter yang dapat saling bertentangan bila bagian yang tak terionkan sangat tidak
larut dalam air. Efek fenomena tercermin dengan jelas pada keadaan in vivo karena penyerapannya terjadi cukup
cepat pada cairan usus, Karena di tempat itulah terdapat permukaan penyerap yang optimal untuk senyawa tersebut.
Bahan aktif asam lemah, sebaliknya tetap sedikit terionkan pada bagian atas usus halus karena pH disini masih
asam, selanjutnya senyawa kontak dengan permukaan mukosa usus yang sangat luas dan zat aktif diserap lagi dalam
jumlah yang cukup banyak.
Bagian yang tak terionkan dari zat aktif tidak selalu diserap dengan laju yang sama namun tergantung pada
kelarutan bagian tak terionkan tersebut di dalam lemak dan tetap merupakan faktor yan sangat menentukan. Dengan
mekanisme yang serupa, turunan barbiturat dengan pKa yang sama mempunyai derajat penyerapan yang beragam
dan merupakan fungsi dari kelarutan dalam lemak.
Laju perlintasan membran berbanding lurus dengan koefisien difusi (D) senyawa yang melintasi membran
Laju perlintasan membran selain tergantung pada kelarutan senyawa dalam lemak, juga tergantung pada ukuran
molekulernya. Molekul yang kecil berdifusi lebih cepat, tetapi ukuran molekuler tersebut bukan merupakan faktor
utama.

4.2.3. TRANSPOR SECARA PENYARINGAN (DIFFUSION AQUEUSE)


Cara penyerapan khusus dan difusi pasif melintasi membran lipida, pada zat aktif tertentu terjadi melalui pori-pori
membran. Berbagai faktor dapat berpengaruh pada perlintasan tersebut.

4.2.3.1. Ukuran dan Bentuk Molekul


Pori-pori mempunyai diameter sekitar 4 10 , sehingga semua senyawa terlarut yang berukuran lebih kecil dapat
melintasi membran mengikuti aliran cairan.
Bentuk partikel yang berpengaruh :
Bila bentuk molekul relatif bulat, maka diameternya harus lebih kecil dari 10 .

MG Biofarmasi Fakultas Farmasi UTND Medan - 2015 55


BAB 4. PARAMETER YANG LANGSUNG MEMPENGARUHI ABSORPSI OBAT

Bila molekulnya berbentuk panjang, maka diameter terbesar harus lebih kecil dari 10 . Dalam hal tersebut
kesempatan molekul untuk melintasi pori-pori semakin kecil.
Bila molekulnya terionkan, terjadi fenomena elektrik saling tarik-menarik atau tolak-menolak.

4.2.3.2. Muatan listrik


Di antara dua kutub membran terdapat perbedaan potensial, sehingga sejumlah molekul yang terionkan dapat
ditolak atau sebaliknya ditarik dan melintasi membran dengan gradien listrik.
Molekul zat aktif yang terionkan akan tersebar di dalam dan di luar sel dengan mengikuti persamaan Nersnt:

0 ZE
log =
1 1

C0 = Konsentrasi molar ekstraseluler


C1 = Konsentrasi molar intraseluler
Z = Jumlah muatan setiap molekul
E = Potensial membran (milivolt)

Log C0/C1 : bertanda positif bila molekul bermuatan negatif dan bertanda negative bila molekul bermuatan positif.

4.2.4. FAKTOR SEDIAAN YANG BERPERAN PADA KETERSERAPAN ZAT AKTIF


4.2.4.1. Tahap Pelepasan (Liberasi)
Bukan hanya proses pelepasan dan pelarutan zat aktif yang menentukan proses penyerapan, pH cairan dan pKa zat
aktif harus dipertimbangkan untuk mendapatkan bentuk tak terionkan atau bentuk yang larut-air dalam jumlah maksimum.

4.2.4.2. Interaksi Dengan Bahan Tambahan


Faktor formulasi tersebut yang terkait dengan bentuk sediaan lebih jauh akan dibahas dalam Bab berikutnya.
Meskipun demikian, beberapa bahan tambahan tertentu umumnya berpengaruh pada penyerapan zat aktif. Telah kita bahas
kemungkinan terjadinya pembentukan kompleks atau penglarutan miseler akibat penggunaan surfaktan. Terlepas dari
pengaruhnya terhadap laju pelarutan, senyawa tersebut dapat mempengaruhi proses penyerapan zat aktif dengan
pembentukan senyawa yang lebih aktif dan lebih lipofil.
Levy (234) meneliti hal tersebut dan mempelajari beberapa kompleks dan membuktikan bahwa bentuk kompleks
dapat meningkatkan atau menurunkan proses penyerapan tergantung kasusnya.
Beberapa bahan tambahan dapat memperbaiki penyerapan dengan pembentukan pasangan ion dengan zat aktif
setelah proses pelarutan dalam cairan biologik. Makromolekul polielektrolit dapat memperbaiki penyerapan zat aktif yang
terionkan, dengan muatan yang sejenis yaitu dengan efek Donnan.

4.2.4.3. Stabilitas Zat Aktif Dalam Cairan Pelarutan Biologik


Semakin stabil suatu sediaan farmasi dalam waktu tertentu, maka diperlukan pemastian stabilitas zat aktif dalam
cairan saluran cerna dengan pertimbangan besarnya perubahan pH dan adanya sejumlah enzim dalam cairan yang sangat
reaktif, terutama terhadap reaksi hidrolisa.
Pengrusakkan beberapa senyawa dalam cairan lambung dapat menyebabkan ketidakaktifan total, seperti misalnya
penisilin G, metisilin, sedangkan ampisilina yang jauh lebih tahan. Perlindungan pada penisilin G dengan penyalutan
enterik tidak dapat memperbaiki penyerapan karena zat aktif tersebut hanya diserap sedikit di duodenum. Pada ester
eritromisina masalahnya agak berbeda, eritromisina sangat tidak stabil dalam cairan lambung sehingga harus digunakan
senyawa yang sukar larut dan dihindari pemakaian surfaktan yang akan meningkatkan laju pelarutan.
Hidrolisa terhadap senyawa tertentu merupakan keuntungan bila hasil reaksinya diserap dan aktif (seperti halnya
kloramfenikol stearat dan ester steroida).

4.3 KESIMPULAN
Parameter yang berpengaruh pada penyerapan zat aktif sangat banyak dan semuanya penting. Kelarutan dan laju
pelarutan merupakan parameter yang dapat diotak-atik secara efektif oleh seorang pakar farmasi. Beberapa masalah yang
perlu diperhatikan adalah :
- Laju pelarutan dapat ditingkatkan, tetapi hal itu kadang-kadang mempercepat kerusakan.
- Laju pelarutan intrinsik pada senyawa tertentu harus diteliti, tetapi laju pelarutan akhir pada sediaan juga harus
ditentukan karena faktor formulasi dan teknologi dapat mempengaruhinya.
- Bila laju pelarutan yang teramati secara in vitro cukup memuaskan maka selanjutnya harus dipertimbangkan karakter
keterserapan dari zat aktif yang sangat menentukan, dengan kata lain struktur kimia yang sangat mempengaruhi cara
penyerapannya baik aktif maupun pasif, pKa, koefisien partisi antara minyak/air dan ukuran partikel molekuler bila zat
aktif bersifat hidrofil.
Peningkatan laju pelarutan hanya akan meningkatkan penyerapan zat aktif bila zat aktif tersebut dapat diserap.

MG Biofarmasi Fakultas Farmasi UTND Medan - 2015 56

Anda mungkin juga menyukai