BAB
4 PARAMETER YANG
LANGSUNG MEMPENGARUHI
ABSORPSI OBAT
Biofarmasi adalah ilmu yang mempelajari masuknya obat ke dalalm tubuh (Science of input).
Untuk dapat diserap semua zat aktif harus terlarut lebih dulu, jarang sekali ada pengecualiannya. Laju penyerapan
merupakan fungsi dari laju pelarutan zat aktif di dalam cairan tubuh dan laju difusi molekul-molekul yang terlarut dalam
cairan tersebut melintasi membran seluler, sesuai dengan skema berikut ini :
Prinsip proses penyerapan: sebelum melintasi membran biologik, zat aktif harus terlarut lebih dulu di dalam cairan
di sekitar membran.
Bila laju pelarutan dan laju perembesan lebih lambat dari laju penyerapan, maka proses pelarutan dan difusi
merupakan tahap yang menentukan proses penyerapan.
Tahapan penyerapan zat aktif:
Tahapan yang paling lambat selalu merupakan tahap penentu laju penyerapan.Bila proses pelepasan terjadi sangat
lambat (misalnya pada sediaan dengan ketersediaan hayati terkendali), maka pelepasan akan mempengaruhi seluruh waktu
dari tahapan proses pelarutan, difusi dan penyerapan zat aktif.
Dengan demikian, penyerapan zat aktif akan tergantung pada:
- Laju pelarutan zat aktif dalam cairan biologik di sekitar membran.
- Karakter fisiko-kimia yang dapat mempengaruhi proses penyerapan (pKa, koefisien partisi, stabilitas,dll).
- Perbedaan sifat fisiko-kimia tersebut menyebabkan perbedaan keterserapan zat aktif. Jadi ada zat aktif yang mudah atau
sulit diserap.
4.1. PENYERAPAN (ABSORPSI), LAJU PELARUTAN (DISOLUSI) DAN LAJU DIFUSI ZAT AKTIF DALAM
CAIRAN BIOLOGI
Laju penyerapan zat aktif merupakan fungsi dari laju pelarutan dan kelarutan zat aktif dalam cairan biologi.
Dengan demikian semua faktor yang mempengaruhi laju pelarutan juga akan mempengaruhi laju penyerapan.
Penyerapan merupakan suatu fenomena dinamik yaitu bila zat aktif sukar larut tetapi mudah diserap, maka ia akan
diserap setelah proses pelarutan zat aktif dalam media, atau setelah proses pelarutan fraksi baru yang lebih mudah diserap.
Jadi semua zat aktif yang dapat diserap, laaju pelarutannya, merupakan salah satu faktor penentu pada proses penyerapan.
Persamaan Nernst dan Bruner yang menyatakan bahwa pelarutan terjadi dengan perantaraan suatu lapisan difusi.
dW D. A
= (Cs C)
dt h
dW/dt = Laju pelarutan
W = Berat zat aktif yang terlarut
A = Luas permukaan senyawa yang belum terlarut
D = Koefisien difusi zat aktif yang terlarut dalam pelarut (nilainya tergantung pada suhu dan pengadukan)
C = Jumlah zat aktif terlarut dalam waktu t dan dalam volume total pelarut
Cs = Konsentrasi jenuh zat aktif (membatasi kelarutan dalam cairan di sekitar partikel dengan tebal h
h = Tebal lapisan pelarut
Persamaan tersebut menunjukkan bahwa zat aktif segera terlarut dalam lapisan pelarut yangsangat tipis di sekitar
zat aktif hingga diperoleh suatu larutan jenuh. Pada tahap tersebut zat aktif tidak dapat terlarut lagi sampai sejumlah
bagian yang terlarut meninggalkan lapisan jenuh dan berdifusi ke lapisan tak jenuh, dengan demikian dimungkinkan suatu
perubahan lapisan tak jenuh nmenjadi jenuh lagi. Ketidakjenuhan tersebut terjadi bila ada penyerapan zat aktif melintasi
membran sel penyerapan yang kontak dengan cairan.
Luas permukaan efektif dari partikel zat aktif yang kontak dengan pelarut memegang peranan penting. Dengan
demikian ukuran partikel merupakan parameter utama yang menentukan laju penyerapan zat aktif.
Perbedaan konsentrasi Cs dan C merupakan faktor utama pada persamaan tersebut. Bila zat aktif tidak segera
diserap setelah pelarutan maka konsentrasinya dalam volume total akan berubah menjadi konsentrasi jenuh Cs dan
selanjutnya seluruh proses pelarutan akan terhambat. Penyerapan zat aktif juga dipengaruhi olehlaju difusi melintasi cairan
dan membran. Sebaliknya bila zat aktif segera diserap setelah pelarutan maka harga C dapat diabaikan terhadap Cs dan
pelarutan terjadi dalam keadaan encer sehingga laju penyerapan zat aktif ditentukan oleh pelarutannya.
Bila nila Cs dapat ditingkatkan, maka laju pelarutan juga akan meningkat secara paralel. Dengan demikian
pengubahan sifat fisiko-kimia zat aktif merupakan salah satu cara untuk meningkatkan laju pelarutan. Selain itu
penglarutan zat aktif tertentu dapat ditingkatkan dengan penambahan bahan-bahan tertentu.
S 2V
Log =
So 2,303 R.T.r
S = Kelarutan partikel yang dimikronisasi
So = Kelarutan senyawa yang tidak dimikronisasi
= Tegangan permukaan
V = Volume molar
r = Jari-jari partikel (cm)
R = Tetapan gas
T = Suhu mutlak
Bila laju pelarutan intrinsik zat aktif sangat kecil (untuk zat aktif yang diserap setelah pemberian bentuk padat),
maka proses penyerapan akan meningkat bila luas permukaan spesifik ditingkatkan. Dengan demikin dapat dilakukan
pengurangan dosis pemberian, yang secara ekonomik tidak dapat diabaikan. Keuntungan lainnya adalah pengurangan
bahaya potenial dari partikel yang biasanya tak terlarut dalm tubuh, namun dapat larut dalam keadaan tertentu.
Contoh: pada pemberian griseofulvin yang mulai dipasarkan dengan ukuran partikel konvensional ternyata
menghasilkan sejumlah kegagalan terapi akibat kegagalan proses penyerapan karena kelarutannya dalam saluran cerna
terlalu kecil.
Atkinson dkk, membuktikan bahwa laju penyerapan suatuzat aktif berbanding lurus logaritmik dengan luas
permukaan spesifik. Dengan pemberian 0,50 g griseofulvin mikrokristal, dimungkinkan mendapatkan kadar dalam darah
yang sama dengan pemberian 1 gram serbuk griseofulvin dengan ukuran partikel yang lebih besar. Farmakope Amerika
(USP) dalam monografi griseofulvin menggunakan istilah microsize yang dapat mengurangi dosis griseofulvin sampai
50% dan tidak istilah micronize.
a. Pengurangan ukuran partikel untuk meningkatkan laju penyerapan zat aktif yang sukar larut
Bila pengurangan ukuran partikel ditujukan untuk meningkatkan laju penyerapan zat aktif yang sukar larut, maka
hal tersebut dapat menimbulkan masalah kesulitan pembasahan atau terjadinya reaglomerasi partike akibat efek
penumpukan energi yang terjadi selama pengadukan mekanik yang terlalu kuat, dan akibatnya laju pelarutan diperlambat.
Umumnya untuk meningkatkan laju pelarutan dipilih ukuran partikel optimal yaitu cukup kecil untuk memberikan
luas permukaan spesifik yang berarti, tetapi tidak terlalu kecil agar kesulitan pembasahan yang disebabkan oleh muatan
partikel yang terjadi selama penggerusan dapat dihindari.
Kekemi membuktikan fenomena reperkusi in vivo pada kelinci yaitu memberikan kloramfenikol per oral dengan
berbagai ukuran pertikel. Hasil penelitian membuktikan bahwa kadar maksimum daam darah tercapai lebih cepat dan ebih
tinggi bila ukuran partikelnya turun 800-200 m, tetapi tidak ada gunanya menurunkan ukuran partikel hingga di bawah
200 m.
Dengan penjelasan yang sama, digunakan zat aktif dalam ukuran granulometri yang relatif lebih besar bila obat
dikehendaki bekerja di usus besar : fenotisina yang digunakan sebagai antelmentika pada kedokteran hewan, harus
diberikan dalam ukuran yang besar untuk mencapai usus besar dimana obat harus bereaksi. Sebaliknya bila digunakan
serbuk halus dan karena kelarutannya yang kecil maka kemungkinan senyawa tersebut larut dan diserap di usus halus,
sehingga dengan demikian zat aktif tidak dapat mencapai cacing-cacing yang terutama berada di bagian distal usus.
c. Bila laju penyerapan zat aktif tidak dipengaruhi oleh laju pelarutan, maka pengecilan ukuran partikel tidak
berpengaruh pada laju penyerapan.
Terdapat banyak basa lemah yang terdisosiasi dengan cepat dalam lambung tetapi penyerapannya terutama terjadi
di saluran usus halus. Jadi waktu pengosongan lambung lebih berperan dalam penyerapan obat dibandingkan laju pelarutan
(misal tetrasiklin).
d. Peningkatan luas permukaan spesifik zat aktif dapat meningkatkan kereaktifan obat.
Pengecilan ukuran partikel yang dapat meningkatkan laju pelarutan tentu dapat mempercepat peruraian dan
akibatnya terjadi pengurangan jumlah zat aktif yang diserap. Hal tersebut terutama berkaitan dengan senyawa yang mudah
terurai seperti penisilin dan eritromisin. Kedua antibiotika tersebut tidak stabil dalam cairan lambung dan serbuk zat aktif
yang sangat halus dapat secara total rusak dilambung, dengan demikian senyawa berukuran besar diharapkan dapat
mencapai usus halus dalam keadaan utuh.
Serbuk halus dapat pula peka terhadap bahan asing, sehingga memerlukan perhatian khusus untuk
penyimpanannya.
Sejumlah penelitian lain membuktikan bahwa sifat serbuk yang halus dapat berubah sebagian atau bahkan
seluruhnya, misalnya setelah pengempaan.
Sifat organoleptik dapat juga dipengaruhi oleh ukuran partikel. Pengecilan ukuran partikel dapat mengubah warna
dan mempertajam rasa pahit (misalnya kloramfenikol palmitat ).
Efek organoleptik dapat juga dipengaruhi oleh ukuran partikel, misalkan pada pemakaian aspirin dengan diameter
partikel 200-400 m menimbulkan ulserogenik pada tikus.
Dengan demikian diperlukan penelitian yang sistematik tentang luas permukaan spesifik suatu zat aktif yang sukar
larut mulai dari uji farmakologi atau toksikologik dan diikuti dengan pembakuan granulometri pada semua keadaan yang
diantisipasi.
Sebelum dilakukan pembuatan sediaan, dilaboratorium terlebih dulu harus dicoba serangkaian penelitian yang
berkaitan dengan pengecilan ukuran partikel baik dengan penggerusan mekanik atau dengan cara lain yang bertujuan untuk
mendapatkan partikel yang halus dan mudah terbasahi hingga dapat memberikan pelarutan yang cepat.
Berikut ini adalah contoh garam dari asam lemah yang larut-air dan yang dilarutkan dalam air atau pelarut
organik yang campur-air seperti gliserin atau etanol. Pemberian per oral larutan garam tersebut akan diencerkan oleh cairan
lambung dan senyawa yang terlarut akan mengendap dalam bentuk partikel amorf yang sangat halus dan tersebar merata di
dalam lambung.
a. Pembentukan Garam
Senyawa yang terionkan lebih mudah larut dalam air dibandingkan dengan bentuk yang tak terionkan.
Pembentukan garam dari zat aktif dimaksudkan untuk mengubah suatu senyawa asam atau basa yang sukar larut dalam air
menjadi bentuk garam yang mudah larut. Bahasan tentang laju pelarutan telah banyak diungkapkan oleh para peneliti,
misalnya pemakaian garam penisilina yang secara in vitro laju pelarutannya 2-4 kali lebih tinggi ternyata mempunyai kadar
dalam darah yang lebih tinggi.
Penggaraman ini terutama penting untuk zat aktif yang terionkan dalam saluran cerna. Dalam hal ini kelarutan zat
aktif dalam saluran cerna akan berubah bila terjadi perubahan keasaman saat zat aktif melewati lambung menuju ke usus.
Zat aktif basa terlarut lebih cepat dalam lambung daripada dalam usus dan keadaan yang sebaliknya terjadi pada
zat aktif yang bersifat asam .
Pembentukan garam merupakan metoda terpilih untuk meningkatkan konsentrasi jenuh Cs dari asam lemah yang
sukar larut dalam cairan lambung .
Penggunaan bentuk garam yang sangat mudah larut dalam air dapat menyebabkan laju pelarutan yang tinggi,
dalam hal ini garam bertindak sebagai dapar dan segera meningkatkan pH cairan. Molekul yang terionkan akan segera
berdifusi meninggalkan partikel obat menuju cairan lambung. Sedangkan bila molekul yang terionkan tersebut mengendap
dalam lambung dalam hal asam lemah yang sangat tidak larut dalam air, maka endapan partikel yang terjadi akan terbasahi
sempurna, sangat halus, jauh lebih lembut dari yang diperoleh dengan cara dimikronisasi. Akibat dari besarnya luas
permukaan spesifik maka partikel endapan akan segera terlarut kembali. Seperti diketahui penyerapan asam lemah dalam
cairan lambung relatif lebih cepat sehingga tidak terjadi proses penjenuhan cairan lambung, namun sebaliknya pelarutan
yang cepat dari partikel yang sangat halus akan segera menjenuhkan cairan.
Nelson dan Chaldemose melakukan perubahan pada persamaan Noyes dan Withney dengan mempertimbangkan
adanya lapisan difusi (dan dinamika penyerapan):
dC
= K.A.
dt +
dC/dt = Laju pelarutan
K = Tetapan laju pelarutan
A = Permukaan efektif zat aktif yang tidak larut saat kontak dengan pelarut
Co = Kelarutan asam bebas
Ka = Tetapan disosiasi asam lemah
Hd+ = Konsentrasi ion dalam lapisan difusi
Jadi peran pH cairan difusi di sekitar partikel garam natrium atau kalium dari asam lemah adalah meningkatkan
pelarutan. Hal yang sama terjadi pada basa lemah dalam cairan usus, yang diberikan dalam bentuk garam dan terlarut
selama berada di dalam lambung.
Penelitian Nelson menjelaskan tujuan penggunaan zat aktif bentuk garam yang larut dalam suatu sediaan.
Penelitimenguji laju pelarutan in viro dan penyerapan in vivo tolbutamida dan bentuk garam natrium, serta tertrasiklin dan
garam klorida. Uji pelarutan in vitro dilakukan dengan menggunakan cairanlambung buatan dan cairan usus buatan yang
didapar pada pH 7,2.
Hasil percobaan Nelason membuktikan bahwa :
- Pelarutan yang lebih cepat terjadi pada garam natrium tolbutamida dan tetrasiklina klorida baik pada cairan lambung
maupun cairan usus. Hal itu untuk mengatasi kelarutan yang lemah dari tolbutamida dalam larutan asam dan tetrasiklina
pada cairan usus pH 7,2.
- Hasil penelitian tersebut didukung dengan hasil pengujian laju penyerapan in vivo senyawa tersebut.
Penggaraman zat aktif dapat pula dilakukan dengan cara-cara manipulasi formulasi.
Untuk mengupayakan daerah berkeasaman basa (mikro pH) pada lapisan cairan difusi disekitar partikel zat aktif
yang bersifat asam lemah kadang-kadang digunakan suatu senyawa yang bersifat basa seperti natrium karbonat atau
bikarbonat,yang dicampur dengan zat aktif dalam sediaan. Dengan demikian adanya peningkatan pH di sekitar partikel
asam akan memudahkan proses pelarutan. Ide inilah yang digunakan dalam pembuatan tablet aspirin eferfesen, asam
salisilat atau PAS yang didapar.
Untuk zat aktif yang sukar larutdan bersifat asam lemah, maka peningkatan pH cairan pelarutan dapat dilakukan
dengan pemberian obat dalam dosis besar yang akan menetralkan dan menaikkan pH lambung, namun metode ini jelas
tidak baik.
Seperti diketahui semua bentuk garam dari zat aktif yang sama tidak memberikan penyerapan yang sama. Kinin
lebih baik diserap dalam bentuk klorhidrat dibandingkan dengan garam sulfat, sedangkan garam pinisilin mempunyai laju
pelarutan yang menurun dengan urutan : garam kalium, kalsium, asam bebas, garam benzatin. Dalam hal ini kadar penisilin
dalam darah menurun pula seiring dengan penurunan laju pelarutannya.
Tampaknya penggaraman tidak berpengaruh pada pemberian obat atropin melalui rektal. Efek midriatik yang
sama diperoleh baik dari bentuk atropin basa maupun bentuk garamnya, dalam hal ini walaupun atropin basa kurang larut
dalam air namun karakter keterserapan kedua bentuk tersebut sama cepat.
Hal tersebut membuktikan bahwa kinetik penyerapan tidak selalu sejalan seiring dengan kinetik pelarutan : laju
pelarutan merupakan salah satu faktor yang berpengaruh terhadap proses penyerapan, tetapi yang paling menentukan
adalah keterserapan dari zat itu sendiri.
Pemberian bentuk garam suatu senyawa obat dapat pula menghambat proses pelarutan dan akibatnya penyerapan
bentuk garam tersebut lebih lambat dibandingkan dengan bentuk asamnya yang tidak terionkan, misalkan aluminium
asetisalisilat. Kemungkinan lain adalah karena garam yang terjadi lebih sukar larut dalam air.
b. Pembentukan Ester
Pembentukan ester dari suatu zat aktif dapat mengubah kalarutan dan laju pelarutannya, yang secara umum berarti
penurunan proses laju pelarutan.
Pembentukan ester dimaksudkan untuk:
Menghindari peruraian zat aktif di lambung, misalnya ester dari asam lemak dan eritromisin atau leukomisin. Bentuk
ester dapat berfungsi sebagai pro-drug yang ia sendiri tidak larut dalam cairan lambung dan aktivitas dalam cairan
usus terjadi karena peruraian pro-drug oleh sejumlah enzim sehingga membebaskan zat aktif.
Menghambat atau memperpanjang aksi beberapa zat aktif. Sejumlah penelitian telah dilakukan dengan mengesterifikasi
hormon steroida dengan tujuan memperpanjang aksinya (garam mononatrium hemitetrahidroftalat atau garam dinatrium
fosfat dari prednisolon)
Menutupi rasa yang tidak enak, misalnya pada kloramfenikol. Dalam bentuk bebas kloramfenikol sangat pahit,
sedangkan bentuk esternya tidak berasa sehingga mudah untuk diberikan. Sebaliknya bentuk ester itu sendiri tidak
mempunyai aktifitas antibiotik, sehingga terlebih dahulu harus dihidrolisa dalam usus halus agar basa kloramfenikol
yang aktif dapat dibebaskan.
tinggi diabndingkan kristal yang sempurna. Penggerusan dan pengempaan dapat menyebabkan peningkatan laju pelarutan
fenobarbital.
b.Polimorfisa
Fenomena polimorfisa yang banyak terdapat pada senyawa organic dan mineral mulai dikenal sejak temuan Hauy.
Suatu senyawa dikatakan menunjukkan fenomena polimorfisa bila dalam keadaan padat senyawa tersebut
mempunyai berbagai sistem kristal berbeda sebagai fungsi dari suhu dan keadaan penyimpanan.
Susunan molekul bentuk polimorf berbeda satu dan lainnya. Dua bentuk polimorf dari senyawa yang sama
berbeda secara fisik mirip seperti dengan dua kristal dari dua senyawa berbeda. Perbedaan in terutama berkaitan dengan
suhu lebur, kelarutan, sifat optik dan elektrik. Tetapi bila kisi kristal menyusun diri karena peeburan atau pelarutan, maka
polimorf yang berbeda tersebut akan berada pada keadaan gas atau cairan dan menjadi identik.
Pada semua suhu, hanya ada satu bentuk yang stabil sedangkan lainnya merupakan bentuk yang tidak stabil atau
yang disebut metastabil. Hukum reaksi Ostwald: Suatu bentuk yang terkristalkan pertama kali dari suatu cairan bukanlah
yang paling stabil, tetapi merupakan bentuk yang dapat diperoleh dengan kehilangan energi minimum, artinya bentuk yang
metastabil. Bentuk metastabil tersebut ambat atau cepat akan berubah bentuk ke bentuk yang lebih stabil.
Karena alasan termodinamik, bentuk metastabil adalah bentuk yang paling mudah larut (terutama dalam air), dan
mempunyai laju pelarutan dan reaksi kimia yang lebih besar dari polimorf stabil. Sifat tersebut memungkinkan perbaikan
laju dan intensitas penyerapan zat aktif yang mempunyai fenomena polimorfisme.
Ditinjau dari sudut teknologi, perubahan bentuk metastabil tersebut dapat menimbulkan berbagai masalah selama
proses pembuatan obat, mulai pembentukan padatan endapan karena pertumbuhan kristal sampai ketidakaktifan zat aktif.
Sangat baik untuk memilih suatu bentuk metastabi tertentu dan menggunakan bahan tambahan untuk menghambat
proses perubahan termodinamik bentuk metastabi tersebut.
Terdapat banyak contoh yang berkaitan dengan polimorfisa. Pada serangkaian penelitian yang dilakukan oleh
Kuhnert Brandstatter prosentase fenomena polimorfisa yang teramati pada senyawa yang diteliti adalah:
steroida 67%
sulfamida 40%
barbiturat 63%
Ditinjau dari sudut biofarmasi, kloramfenikol palmitat merupakan contoh yang paling nyata. Berbagai peneliti
telah membuktikan bahwa kloramfenikol mempunyai bentuk polimorf A, B, C dan satu bentuk amorf. Hanya polimorf
bentuk B dan bentuk amorf yang larut dalam air serta yang dapat dihidrolisa oleh enzim usus.Pada studi penyerapan
campuran kloramfenikol palmitat pada berbagai perbandingan kadar polimorf A dan B, diperoleh hasil 2 jam setelah
pemberian obat, polimorf metastabil B memberikan kadar darah 10 kali lebih tinggi dibandingkan bentuk polimorf A.
Sejumlah zat aktif yang terbukti mempunyai bentuk polimorf, dirangkum pada Tabel 4.1berikut.
Kristal kecil dari bentuk metastabil lebih stabil dari pada kristal besar. Dengan demikian diusahakan memperoleh
bentuk kristal yang kecil. Namun perlakuan mekanik seperti penggerusan dapat menyebabkan perubahan bentuk metastabil
ke bentuk stabil
Dalam kasus fluorokortison asetat, solvat yang diperoleh dari pelarut organik terlarut lebih cepat dari bentuk
tanpa solvat senyawa tersebut.
Studi berbagai solvat dari ester prednisolon ter-butilasetat dan hidrokotison ter-butilasetat membuktikan bahwa
solvat alcohol lebih mudah diserap dibandingkan dengan senyawa yang mengandung solvat setengah molekul aseton (179).
Hidrat dan solvate senyawa dapat berbentuk tidak hanya saat sintesa senyawa tersebut namun juga selama
pembuatan obat atau penyimpanan sediaan. Oleh sebab itulah pada tablet kalsium para amino salisilat atau kalsium
fenobarbital, laju pelarutannya dapat berubah secara bermakna (182, 183, 184). Hasil pengamatan yang sama juga terlihat
pada prednisolon yang dimikronisasi atau hidrokortison asatat (185, 186).
4.1.2.3.Faktor Formulasi dan Teknologi yang Dapat Mengubah Laju Pelarutan Zat Aktif
Berbagai cara selalu diusahakan agar pelarutan zat aktif yang sukar larut dapat ditingkatkan. Berikut ini akan
dibahas sejumlah metoda yang paling banyak digunakan untuk meningkatkan pelarutan. Prosedur tersebut adalah :
- Penggunaan prosedur teknologi yang dapat mengubah keadaan fisik zat aktif (pembentukan eutektik)
- Penggunaan bahan pelarutan (co-solute) yang dapat:
Membentuk larutan-padat dan kompleks
Mengubah tetapan dielektrik cairan pelarutan
- Bahan penglarutan miseler
- Penyalutan dan senyawa yang lebih hidrofil
b. Pembentukan Kompleks
Kompleks merupakan kombinasi antara dua atau lebih ion atau molekul obat yang tidak terikat dengan ikatan
kovalen atau ionik, tetapi terikat dengan ikatan intermolekular, ikatan hidrogen, ikatan van der walls, dan lain-lain.
Sifat fisiki-kimia bentuk kompleks seperti kelarutan, ukuran molekuler, keterdifusian dan koefisien partisi antara
minyak-air, pada umumnya berbeda dengan bentuk bebas zat-aktif. Perbedaan tersebut menyebabkan bahwa pada
umumnya bentuk kompleks tidak dapat melintasi membran sehingga tidak mempunyai aktivitas biologik. Namun kadang-
kadang bentuk kompleks tersebut lebih larut dari senyawa bebasnya. Pembentukan kompleks dapat meningkatkan laju
penyerapan dari senyawa yang sukar larut, karena terjadinya interaksi yang menghasilkan kompleks bersifat reveribel
cairan biologik.
Keseimbangan zat aktif dan bentuk kompleksnya dapat ditulis sebagai berikut:
[kompleks]
Ks =
[zat aktif] . [bahan pembentuk kompleks]
Efek pembentukan kompleks terhadap penyerapan tergantung pada nilai Ks.Bentuk kompleks umumnya
mengurangi laju penyerapan, tetapi perubahan ketersediaan hayati yang diakibatkan hanya sedikit. Aspek kinetik
penyerapan menyebabkan keseimbangan rangkap antara :
- bentuk bebas dan bentuk kompleks dimasing-masing sisi membran.
- bentuk bebas dikedua sisi membran.
membran
biologik
Dalam tubuh, zat aktif akan melintasi membran biologik, lalu berdifusi dan menuju ke peredaran darah. Dengan
demikian terjadi pergeseran keseimbangan, sejumlah zat aktif baru melintasi membran dan terjadi sejumlah pelepasan zat
aktif baru ke bagian luar membran sampai akhirnya terjadi keseimbangan.
Pembentukan kompleks dapat digunakan untuk meningkatkan atau mengurangi penyerapan dengan perubahan
kelarutan zat aktif. Penggunaan larutan suatu kompleks kadang-kadang lebih efektif (atau lebih toksik) dibandingkan
dengan suspensi zat aktif, karena disosiasi kompleks terjadi lebih cepat dibandingkan dengan pelarutan zat aktif yang lebih
perlahan.
Beberapa kompleks tertentu dapat menembus sawar lebih cepat dibandingkan bentuk bebasnya, sehingga dengan
demikian aktifitas biologik akan meningkat. Penyerapan senyawa Fe di saluran cerna dapat ditingkatkan dengan
pembentukan kompleks asam sitrat dan asam etilen-diamina-tetrasetat. Jumlah Fe yang tinggal di dalam tubuh setelah
pemberian bentuk kompleks lebih kecil dibandingkan dengan jumlah Fe yang teramati setelah pemberian garam Fe yang
tidak dikompleks karena bentuk kompleks dikeluarkan dari tubuh lebih cepat (selain itu terbukti pula bahwa kompleks
tersebut kurang toksik terhadap mukosa lambung).
Dalam hal khusus penggunaan etilen-diamina-tetrasetat harus dibatasi karena sifatnya yang dapat membentuk
kompleks. Aktivitas senyawa tersebut terhadap kalsium seluler dan gangguan yang ditimbulkannya dapat mempengaruhi
sifat membran, sehingga dengan demikian pemberiannya dapat mempermudah penyerapan beberapa senyawa seperti
manitol, amonium kuartener, asam sulfanilat, heparin, atau sebaliknya menghambat penyerapan zat aktif seperti barbiturat,
striknin dan sulfamida tertentu.
Selain yang tersebut di atas, terdapat pula bentuk kompleks khusus tanpa ikatan intermolekuler yang disebut
clathrates atau senyawa dalam sangkar. Kompleks tersebut terbentuk dari suatu senyawa yang dapat membentuk
sangkar yang menjebak senyawa lain dalam ruang strukturnya. Senyawa tersebut diperoleh dari suatu larutan yang
mengandung senyawa pembentuk kompleks.
Beberapa senyawa yang dapat membentuk clathretes, adalah asam gallat, urea, tiourea, amilose dan zeolith.
Senyawa-senyawa tersebut dapat menjebak molekul obat seperti kolesterol, vitamin A, asam linoleat, asam linolenat.
Ritchel mengungkapkan bahwa yang menarik tentang kompleks dalam penelitian biofarmasetik adalah anggapan
bahwa kompleks merupakan suatu alat penting dalam formulasi. Karena dengan kompleks kita dapat mengubah atau
mengurangi efek zat aktif yang merugikan dan yang tidak diinginkan tanpa meniadakan aktivitas farmakologiknya.
Dalam formulasi kadang-kadang dijumpai beberapa kesulitan yaitu bila bentuk kompleks menghambat secara
nyata proses perlintasan zat aktif, diantaranya yang peling terkenal adalah kompleks polietilenglikol dan asam salisilat atau
kompleks garam kalsium dan tetrasiklin.
hidrofil menghadap ke arah luar yaitu fasa air. Bahan aktif berada di dalam misel pada kedalaman tertentu tergantung pada
derajat polaritasnya, yang paling polar akan berada di permukaan.
Interaksi zat aktif dan surfaktan beragam tergantung pada posisinya yaitu di bawah atau di atas konsentrasi
meseler kritik (CMC). Larutan misel tersebut juga mempunyai sifat fisik yang sama dengan larutan pada umumnya seperti
tegangan permukaan, konduktivitas, tekanan osmose, kekentalan, penurunan suhu beku, indeks refraksi, dan lain-lain.
Ditinjau dari bentuk biofarmasetik, penglarutan dengan surfaktan dapat meningkatkan atau menurunkan
penyerapan zat aktif. Miselisasi dapat berupa pembentukan kompleks yang dapat menghambat penyerapan senyawa
tertentu. Misel tidak dapat diserap karena susunan steriknya sedemikian hingga misel tersebut tidak dapat melintasi pori-
pori membran biologik. Namun misel dapat menembus membran secara difusi pasif, karena adanya karakter polar perifer.
Dengan demikian zat aktif yang termisel tidak secara langsung tersedia dalam darah.
Seperti halnya kompleks, terdapat dua fase keseimbangan dalam larutan. Dalam hal ini koefisien partisi zat aktif
antara fase air dan fase miseler adalah tetap dan tidak tergantung pada konsentrasi zat aktif. Pada keadaan tersebut karena
zat aktif dalam misel tidak segera tersedia dalam darah maka konsentrasi efektifnya lebih rendah dari konsentrasi yang
teramati dalam darah dan penyerapannya juga lebih lemah.
Pada umumnya miselisasi dapat meningkatkan penyerapan zat aktif. Bila penyerapan zat aktif ditentukan oleh
pelarutannya, maka semua faktor yang dapat meningkatkan kelarutan dapat pula meningkatkan penyerapan, demikian pula
halnya bila fraksi zat aktif terlarut berada dalam bentuk yang tidak secara langsung diserap.
Skema berikut yang dikutip dari Gibaldi dapat menjelaskan fenomena kinetik tersebut sebagai dinamika
penyerapan.
Laju penerapan yang ditandai oleh tetapan K4 berbanding lurus dengan jumlah zat aktif yang bebas (U). Tanpa
adanya larutan miseler, laju pemunculan U tergantung pada laju pelarutan zat aktif K2, dan bila K2 lebih kecil dari K4 maka
penyerapan akan ditentukan oleh proses pelarutan.
Bila ditambahkan surfaktan dalam jumlah yang cukup untuk menghasilkan larutan miseler maka kelarutan total
zat aktif dalam cairan akan meningkat, demikian pula laju pelarutannya. Penyebaran zat aktif ke dalam fase miseler dan
fase bukan miseler terjadi dengan cepat sehingga keberadaan zat aktif dalam cairan saluran cerna terjadi dengan cepat pula
dan dengan demikian laju penyerapan akan meningkat pula (K1 dan K3>> K2).
Mekanisme tersebut di atas dapat diterapkan pada jumlah zat aktif. Garam empedu dapat membentuk larutan
miseler dalam saluran cerna dan meningkatkan penyerapan senyawa yang relatif tidak larut dalam cairan tersebut misal
griseofulvin dan heksoestrol.
Pengaruh yang menguntungkan dari surfaktan terhadap penyerapan dapat pula terjadi bila konsentrasinya di
bawah konsentrasi miseler kritis (CMC) dan hal tersebut dapat dijelaskan dengan beberapa cara berbeda:
(i). Terjadi penurunan tegangan permukaan sehingga dapat memperbaiki pembasahan sediaan dan zat aktif dan akibatnya
terjadi pelarutan yang lebih cepat. Meskipun demikian harus diperhatikan bahwa pembasahan yang terlalu cepat akan
mempercepat proses pengrusakan zat aktif yang peka pada cairan lambung, misalnya eritromisin propionat. Surfaktan
dapat menurunkan tegangan antar permukaan pada membran penyerap. Surfaktan juga dapat beraksi langsung
terhadap bagian lipida membran biologi, surfaktan tertentu akan melarutkan lipida tersebut sehingga menimbulkan
desorientasi molekul membran dan akibatnya terjadi peningkatan permeabilitas.
(ii). Selain miselisasi, surfaktan dengan zat aktif dapat membentuk kompleks yang lebih larut-lemak dan lebih dapat
diserap.
(iii). Surfaktan juga dapat berpengaruh langsung pada proses fisiologik yaitu memperpanjang waktu pengosongan
lambung, menghambat pengeluaran getah lambung dan memperlambat gerakan usus.
Mekanisme pemakaian surfaktan yang rumit menyebabkan seorang formulator harus berhati-hati dalam memilih
dan menggunakan surfaktan. Surfaktan yang paling sering digunakan berasal dari golongan non-ionik.
dQ K. D
Laju perlintasan zat aktif melalui membran = = S (C1 C2)
dt e
Koefisien partisi diperoleh bila terjadi keseimbangan aktif pada kedua fase yang tidak saling campur yaitu fase
lemak dan air. K merupakan tetapan zat aktif yang karakteristik pada keadaan tertentu (kedua fase benar-benar tidak
saling campur). Dengan pendekatan nilai ini dapat diperkirakan keterserapan suatu zat aktif dengan mempelajari
koefisien partisi antara pelarut organic (kloroform, heksana, oktanol, heptanol) dan air. Dengan peralatan tertentu
harga K pada berbagai pH dapat dilacak. Dengan teknik tertentu dan hal ini sangat bermanfaat dalam pengembangan
satu seri obat.
Bila diharapkan agar koefisien partisi fase lemak/air relatif tinggi maka zat aktif diusahakan mempunyai kelarutan
dalam air yang tinggi agar dapat melintasi membran dan selanjutnya disebarkan ke seluruh cairan tubuh.
- Ionisasi zat aktif
Perlunya molekul zat aktif mempunyai lipofilitas tertentu dikaitkan dengan bentuk terionkan dari zat aktif yang
tidak dapat diserap dengan cara difusi pasif melalui membran. Jumlah bentuk tidak terionkan yang dapat diserap
merupakan fungsi dari pH cairan. Dengan mengetahui pH cairan pelepasan dan pH cairan pelarutan serta tetapan
disosiasi Ka atau pKa zat aktif memungkinkan untuk memperkirakan intensitas penyerapan pada bagian saluran
cerna tertentu (yang mempunyai pH tertentu) yang paling sesuai untuk penyerapan optimal.
Di lambung, pada pemberian obat yang bersifat asam lemah (pH lebih kecil dari 2,5) zat aktif akan berada pada
bentuk tak terionkan dan segera dapat diserap; basa lemah (pKa < 11,5) terutama berada dalam bentuk tak terionkan
sehingga tidak diserap di lambung, sedangkan basa sangat lemah (pKa < 2,5) hampir tak terionkan di lambung,
misalnya kafein (pKa = 0,8) dan aspirin (pKa = 1,4).
Di usus halus, keasaman kurang berperan, sebaliknya penyerapan basa lemah lebih tinggi dibanding penyerapan
asam lemah, karena bentuk tak terionkan dari basa lemah berada dalam jumlah besar. Penyerapan asam lemah
dengan pKa > 3, terjadi cukup cepat, hal ini disebabkan luasnya permukaan epitel mukosa usus.
Untuk memudahkan perhitungan, ingatlah bahwa pada :
[ ] [H+]
Asam lemah : Ka = pKa = - log Ka
[AH]
[B+] [OH]
Basa lemah : Kb = pKb = - log Kb
[BOH]
Perlu diingat bahwa pKa untuk suatu basa merupakan pKa asam terkonjugasi (teori Bronsted) :
Fraksi yang tak terionkan merupakan fungsi dari pH sehingga jumlah yang diserap untuk :
1
Asam lemah :
1 + 10 pH pKa
1
Basa lemah :
1 + 10 pKa pH
Dengan demikian hampir semua zat aktif berada pada bentuk tak terionkan dan sangat mudah terserap.
Pada cairan usus pH 7,5 jumlah bentuk tak terionkan adalah :
1 1
=
1+ 107,5 3,5 10,001
Jadi di usus halus, bagian yang langsung diserap sangat sedikit. Perlu diingat kembali bahwa luas permukaan
penyerap di usus halus lebih luas dibandingkan dengan lambung. Jadi dapat dikatakan bahwa pada subjek yang
tidak memiliki HCl, penyerapan asam asetilsalisilat terutama terjadi di lambung.
Perlu digarisbawahi bahwa keterlarutan zat aktif dalam air juga merupakan fungsi dari derajat ionisasi senyawa
tersebut. Bahan aktif elektrolit lemah dalam keadaan tak terionkan umumnya sukar larut, laju pelarutan dan
keterserapan merupakan dua parameter yang dapat saling bertentangan bila bagian yang tak terionkan sangat tidak
larut dalam air. Efek fenomena tercermin dengan jelas pada keadaan in vivo karena penyerapannya terjadi cukup
cepat pada cairan usus, Karena di tempat itulah terdapat permukaan penyerap yang optimal untuk senyawa tersebut.
Bahan aktif asam lemah, sebaliknya tetap sedikit terionkan pada bagian atas usus halus karena pH disini masih
asam, selanjutnya senyawa kontak dengan permukaan mukosa usus yang sangat luas dan zat aktif diserap lagi dalam
jumlah yang cukup banyak.
Bagian yang tak terionkan dari zat aktif tidak selalu diserap dengan laju yang sama namun tergantung pada
kelarutan bagian tak terionkan tersebut di dalam lemak dan tetap merupakan faktor yan sangat menentukan. Dengan
mekanisme yang serupa, turunan barbiturat dengan pKa yang sama mempunyai derajat penyerapan yang beragam
dan merupakan fungsi dari kelarutan dalam lemak.
Laju perlintasan membran berbanding lurus dengan koefisien difusi (D) senyawa yang melintasi membran
Laju perlintasan membran selain tergantung pada kelarutan senyawa dalam lemak, juga tergantung pada ukuran
molekulernya. Molekul yang kecil berdifusi lebih cepat, tetapi ukuran molekuler tersebut bukan merupakan faktor
utama.
Bila molekulnya berbentuk panjang, maka diameter terbesar harus lebih kecil dari 10 . Dalam hal tersebut
kesempatan molekul untuk melintasi pori-pori semakin kecil.
Bila molekulnya terionkan, terjadi fenomena elektrik saling tarik-menarik atau tolak-menolak.
0 ZE
log =
1 1
Log C0/C1 : bertanda positif bila molekul bermuatan negatif dan bertanda negative bila molekul bermuatan positif.
4.3 KESIMPULAN
Parameter yang berpengaruh pada penyerapan zat aktif sangat banyak dan semuanya penting. Kelarutan dan laju
pelarutan merupakan parameter yang dapat diotak-atik secara efektif oleh seorang pakar farmasi. Beberapa masalah yang
perlu diperhatikan adalah :
- Laju pelarutan dapat ditingkatkan, tetapi hal itu kadang-kadang mempercepat kerusakan.
- Laju pelarutan intrinsik pada senyawa tertentu harus diteliti, tetapi laju pelarutan akhir pada sediaan juga harus
ditentukan karena faktor formulasi dan teknologi dapat mempengaruhinya.
- Bila laju pelarutan yang teramati secara in vitro cukup memuaskan maka selanjutnya harus dipertimbangkan karakter
keterserapan dari zat aktif yang sangat menentukan, dengan kata lain struktur kimia yang sangat mempengaruhi cara
penyerapannya baik aktif maupun pasif, pKa, koefisien partisi antara minyak/air dan ukuran partikel molekuler bila zat
aktif bersifat hidrofil.
Peningkatan laju pelarutan hanya akan meningkatkan penyerapan zat aktif bila zat aktif tersebut dapat diserap.