Anda di halaman 1dari 15

TUGAS PAPER

FARMASI FISIKA

HUBUNGAN ANTARA KELARUTAN, KECEPATAN DISOLUSI, STABILITAS


OBAT DENGAN MUTU SUATU PRODUK OBAT

Di Susun Oleh

Nama : Ni Kadek Devi Puspita Sari

Nim : D1A200009

Kelas : IB Konversi Reguler Pagi

UNIVERSITAS AL-GHIFARI BANDUNG

FALKUTAS MIFA

PRODI FARMASI

TAHUN AJARAN 2021/2022


Hubungan Antara Kelarutan, Kecepatan Disolusi, Stabilitas Obat Dengan Mutu Suatu Produk
Obat

Ni Kadek Devi Puspita Sari

Universitas Al-Ghifari Bandung

Abstrak

Kelarutan suatu zat dinyatakan sebagai konsentrasi zat terlarut didalam larutan

jenuhnya pada suhu dan tekanan tertentu. Larutan memainkan peranan penting dalam

kehidupan sehari-hari. Data kelarutan suatu zat dalam air sangat penting untuk

diketahui dalam pembuatan sediaan farmasi. Sediaan farmasi cairan seperti sirup,

eliksir, obat tetes mata, injeksi dan lain-lain dibuat dengan menggunakan pembawa air.

Bahkan untuk sediaan obat lainnya seperti suspensi, tablet atau kapsul yang diberikan

secara oral, data ini tetap diperlukan karena didalam saluran cerna obat harus dapat

melarut dalam cairan saluran cerna yang komponen utamanya adalah air agar dapat

diabsorpsi. Pada umumnya obat baru dapat diabsorpsi dari saluran cerna dalam keadaan

telarut kecuali kalau transport obat melalui mekanisme pinositosis. Oleh karena itu

salah satu cara untuk meningkatkan ketersediaan hayati suatu sediaan adalah dengan

menaikkan kelarutan zat aktifnya di dalam air.

Kata kunci : Kelarutan, sediaan farmasi, kecepatan disolusi


BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kelarutan suatu zat dinyatakan sebagai konsentrasi zat terlarut didalam larutan

jenuhnya pada suhu dan tekanan tertentu. Larutan memainkan peranan penting dalam

kehidupan sehari-hari. Di alam kebanyakan reaksi berlangsung dalam larutan air,

tubuh menyerap mineral, vitamin dan makanan dalam bentuk larutan.Sejalan dengan

pesatnya perkembangan penelitian di bidang obat, saat ini tersedia berbagai pilihan

obat, sehingga diperlukan pertimbangan yang cermat dalam pemilihan obat untuk

mengobati suatu penyakit, kelarutan sangat besar pengaruhnya terhadap pembuatan

obat dimana bahan-bahan dapat dicampurkan menjadi suatu larutan sejati, larutan

koloid, dan dispersi kasar.

Pada umumnya obat baru dapat diabsorpsi dari saluran cerna dalam keadaan

telarut kecuali kalau transport obat melalui mekanisme pinositosis. Oleh karena itu

salah satu cara untuk meningkatkan ketersediaan hayati suatu sediaan adalah dengan

menaikkan kelarutan zat aktifnya di dalam air.

Dalam bidang farmasi kelarutan sangat penting, karena dapat mengetahui dan

dapat membantu dalam memilih medium pelarut yang paling baik untuk obat atau

kombinasi obat, membantu mengatasi kesulitan-kesulitan tertentu yang timbul

pada waktu pembuatan larutan farmasetis (dibidang farmasi) dan lebih jauh lagi

dapat bertindak sebagai standar atau uji kelarutan.

Oleh karena itu , percobaan kelarutan sangat penting dilakukan agar kita dapat

mengetahui usaha – usaha yang dilakukan untuk meningkatkan kelarutan suatu obat

yang dapat mempermudah absorpsi obat didalam tubuh manusia.


Sebagian besar produk obat konvensional seperti tablet dan kapsul diformulasi

untuk melepaskan zat aktif dengan segera sehingga didapat absorpsi sistemik obat

yang cepat dan sempurna. Dalam tahun-tahun terakhir ini berbagai modifikasi produk

obat telah dikembangkan untuk melepaskan zat aktif pada suatu laju yang terkendali.

Berbagai produk obat pelepasan terkendali telah dirancang dengan tujuan terapetik

tertentu yang didasarkan atas sifat fisikokimia, farmakologik dan farmakokinetik obat

(Shargel dkk., 2005).

Obat-obat yang penggunaannya secara terus-menerus pada pengobatan

penyakit kronis seperti asma, sediaan lepas lambat akan lebih banyak memberikan

keuntungan bagi pasien antara lain mengurangi frekuensi pemberian. Sediaan lepas

lambat merupakan bentuk sediaan yang digunakan untuk mengidentifikasi sistem

penyampaian obat yang didesain untuk mencapai efek terapetik yang diperpanjang,

pelepasan obat secara kontinyu dalam waktu yang lebih lama setelah pemberian suatu

dosis tunggal (Lordi, 1976).

Penyakit asma merupakan salah satu penyakit yang masih banyak dijumpai di

masyarakat baik tingkat ringan maupun yang kronis (menahun). Teofilin merupakan

obat yang sering digunakan dalam terapi asma. Teofilin memiliki waktu paruh yang

relatif pendek sekitar 5-7 jam dan indeks terapetik yang sempit yaitu 10-20 μg/ml.

Pada penderita asma diperlukan kadar terapi sedikitnya 5-8 μg/ml dan efek toksik 2

teofilin mulai terlihat pada kadar diatas 15 μg/ml terutama apabila diberikan dalam

kombinasi dengan bronkodilator lain (Rustamaji dan Suryawati, 2000).

Formulasi teofilin dalam sediaan tablet lepas lambat diharapkan dapat

menghasilkan konsentrasi teofilin dalam darah yang lebih seragam dan kadar puncak

yang tidak fluktuatif. Salah satu pendekatan dalam pembuatan sediaan lepas lambat

tablet teofilin adalah menggunakan matriks. Matriks ini berperan sebagai penghalang
dan penghambat pelepasan zat aktifnya. Dalam penelitian ini digunakan matriks EC

dan HPMC. EC merupakan matriks hidrofob bila kontak dengan cairan medium

pelarut akan terbentuk pori-pori sehingga teofilin dapat keluar melalui pori-pori

tersebut. HPMC merupakan matriks hidrofilik yang dapat membentuk lapisan

hidrogel yang berviskositas tinggi bila kontak dengan cairan medium pelarut. Gel ini

merupakan penghalang fisik lepasnya obat dari matriks secara cepat (Martodiharjo,

1996).

Penggabungan EC dan HPMC diharapkan dapat membentuk sediaan lepas

lambat tablet teofilin dengan sifat fisik tablet yang optimum pada perbandingan

tertentu dan pola pelepasan teofilin yang mengikuti kinetika orde nol. Dalam

penelitian ini dilakukan optimasi formulasi sediaan lepas lambat tablet teofilin dengan

metode simplex lattice design, dalam metode ini akan didapatkan persamaan

matematis, yang kemudian dari persamaan tersebut akan didapatkan perbandingan

matriks EC dan HPMC sehingga didapat formula tablet yang optimum.

Untuk suatu sediaan obat yang dibuat utamanya dalam skala besar, yang

melalui waktu penyimpanan yang panjang, diharapkan suatu ruang waktu daya tahan

selama kurang lebih 5 tahun. Sedian obat sebaiknya berjumlah 3 tahun dalam kasus

yang kurang baik. Obat yang dibuat secara reseptur, sebaiknya menunjukkan suatu

stabilitas untuk sekurang-kurangnya beberapa bulan. Akan tetapi untuk preparat yang

terakhir disusun dengan suatu pembatasan dari waktu penyimpanan.

Sifat khas kualitas yang penting adalah kandungan bahan aktif, keadaan

galeniknya, termasuk sifat yang dapat terlihat secara sensorik, sifat mikrobiologis dan

toksikologisnya dan aktivitasnya secara terapeutik. Skala perubahan yang diizinkan

ditetapkan untuk obat yang terdaftar dalam farmakope. Untuk barang jadi obat dan
obat yang tidak terdaftar berlaku keterangan yang telah dibuat dalam peraturan yang

baik.

Kestabilan suatu zat merupakan faktor yang harus diperhatikan dalam

membuat formulasi sediaan farmasi. Hal ini penting mengingat suatu sediaan

biasanya diproduksi dalam jumlah yang besar dan memerlukan waktu yang lama

untuk sampai ketangan orang sakit atau pasien yang membutuhkannya.


BAB II
PEMBAHASAN
1.1. Kelarutan

Kelarutan adalah jumlah maksimum suatu senyawa atau zat yang bisa larut dalam

sejumlah pelarut. Satuan kelarutan adalah mol/L. Oleh karena satuan kelarutan sama

dengan molaritas, maka kelarutan juga bisa didefinisikan sebagai konsentrasi zat yang

masih bisa larut dalam suatu pelarut. Berdasarkan sifat kelarutannya kondisi garam

dibedakan menjadi tiga kondisi, yaitu sebagai berikut.

1. Kondisi tidak jenuh, artinya kondisi saat konsentrasi nyata suatu garam belum

melampaui kelarutannya, sehingga masih bisa larut.

2. Kondisi tepat jenuh, artinya kondisi saat konsentrasi nyata suatu garam sama

dengan kelarutannya, sehingga zat tepat mengendap.

3. Kondisi lewat jenuh, artinya kondisi saat konsentrasi nyata garam melampaui

kelarutannya, sehingga zat yang mengendap lebih banyak daripada yang larut.

1.2. Tetapan Hasil Kelarutan.

Jika suatu garam mengalami kondisi tepat jenuh, garam tersebut akan membentuk

kesetimbangan. Terjadinya kesetimbangan dipengaruhi oleh zat padat yang tidak larut

dan ion-ion zat terlarut. Bagaimana tetapan kesetimbangannya? Perhatikan reaksi

berikut.

Berdasarkan aturan penulisan rumus kesetimbangan, hanya zat dalam bentuk larutan

(aq) dan gas (s) yang dituliskan di dalam rumus, sehingga diperoleh:
Tetapan kesetimbangan untuk garam yang sukar larut disebut tetapan hasil

kesetimbangan (Ksp).

2.2.1. Uji Desolusi

Disolusi didefinisikan sebagai proses melarutnya suatu zat padat dalam zat cair

tertentu. Kecepatan disolusi obat merupakan tahap sebelum obat berada dalam darah.

Dalam saluran pencernaan, zat berkhasiat dari sediaan padat akan terlarut sehingga

dapat melewati membran saluran cerna. Obat yang larut baik dalam air akan melarut

cepat dan berdifusi secara pasif.

Laju disolusi dapat menjadi tahap pembatasan kecepatan sebelum zat aktif

berada dalam darah. Akan tetapi jika bentuk sediaan (tablet) yang diberikan secara per

oral masuk dan berada disaluran cerna dalam bentuk solid. Pertama bentuk sediaan

solid harus terdisintegrasi dan zat aktif larut dalam media cair dan kemudian harus

melewati membran saluran cerna. Zat aktif yang mudah larut akan cenderung cepat

melarut, membuat tahap pembetasan kecepatan, yakni difusi pasif dan/atau transpor

zat aktif, untuk absorbsi melalui membran saluran cerna. Sebaliknya, kecepatan

absorbsi cepat zat aktif yang sukar larut akan dibatasi oleh laju disolusi zat aktif yang

tidak larut, atau juga dapat dibatasi oleh kecepatan disintegrasi bentuk sediaan

(Siregar, 2010).

2.2.2 Metode Uji Desolusi

Alat uji disolusi berfungsi melepaskan dan melarutkan zat aktif dari sediaannya. Pada

prinsipnya, alat uji disolusi terdiri atas bejana dan tutup, yang berfungsi sebagai

wadah yang mendisolusi zat aktif, pengaduk, motor pengaduk, termometer, penangas

air yang dilengkapi dengan termostat (Siregar, 2010).


Menurut Farmakope Indonesia Edisi V (2014), terdapat dua tipe metode uji disolusi

yaitu :

a. Alat 1 (Tipe Keranjang) Alat terdiri dari wadah tertutup dari kaca, suatu

batang logam yang digerakkan oleh mesin dan wadah disolusi (keranjang). Wadah

disolusi berbentuk silinder dengan dasar setengah bola, tinggi 160 – 175 mm,

diameter 98 – 106 mm dan berkapasitas 1000 mL. Batang logam berada pada posisi

sedemikian rupa Universitas Sumatera Utara 11 sehingga sumbunya tidak lebih dari 2

mm pada setiap titik dari sumbu pertikal wadah, berputar dengan halus dan tanpa

goyangan. Sebuah tablet diletakkan dalam keranjang yang diikatkan pada bagian

bawah batang logam yang digerakkan oleh mesin yang kecepatannya dapat diatur.

Wadah dicelupkan sebagian di dalam suatu tangas air yang sesuai sehingga dapat

mempertahankan suhu dalam wadah pada 37 ºC ± 0,5 ºC. Pada bagian atas wadah

ujungnya melebar, untuk mencegah penguapan digunakan suatu penutup yang sesuai.

b. Alat 2 (Tipe Dayung) Alat ini sama dengan alat 1, bedanya pada alat ini

digunakan dayung yang terdiri dari daun dan batang logam sebagai pengaduk.

Dayung melewati diameter batang sehingga dasar dayung dan batang rata. Dayung

memenuhi spesifikasi dengan jarak 25 ± 2 mm antara dayung dan bagian dasar wadah

yang dipertahankan selama pengujian berlangsung. Sediaan obat dibiarkan tenggelam

ke bagian dasar wadah sebelum dayung mulai berputar. Gulungan kawat berbentuk

spiral dapat digunakan unuk mencegah mengapungnya sediaan.

2.3.1. Stabilitas Obat.

Stabilitas adalah faktor penting kualitas, keamanan dan kemanjuran dari produk

obat. Sebuah produk obat, yang tidak cukup stabil, dapat mengakibatkan perubahan fisik

(seperti kekerasan, menilai pembubaran, pemisahan fase dll) serta karakteristik kimia

(pembentukan risiko tinggi dekomposisi zat).


Stabilitas obat adalah kemampuan suatu obat untuk mempertahankan sifat dan

karakteristiknya agar sama dengan yang dimilikinya pada saat dibuat (identitas, kekuatan,

kualitas, kemurnian) dalam batas yang ditetapkan sepanjang periode penyimpanan dan

penggunaan sehingga mampu memberikan efek terapi yang baik dan menghindari efek

toksik.

Suatu sediaan farmasi dalam hal ini adalah obat sangat perlu diketahui

kestabilannya, disebabkan oleh biasanya obat diproduksi dalam jumlah yang sangat

banyak dan memerlukan waktu yang lama untuk sampai ketangan pasien (masyarakat),

sehingga dikhawatirkan dalam jangka waktu yang lama tersebut, obat ini akan mengalami

penguraian yang mana zat urai tersebut dapat bersifat toksik sehingga dapat

membahayakan jiwa pasien.

Tujuan dari uji stabilitas obat sendiri yaitu untuk menentukan umur simpan dari

suatu sediaan obat dan obat yang beredar tersebut stabil dalam jangka waktu yang lama

yang disimpan dalam suhu kamar.

Adapun maksud dan tujuan dari praktikum ini adalah untuk mengetahui dan

memahami cara penentuan kestabilan suatu obat, serta menerangkan faktor apa saja yang

mempengaruhi kestabilan suatu bahan obat, penentuan energi aktivasi dari reaksi

penguraian, dan masa simpan suatu zat (bahan obat).

Faktor yang mempengaruhi stabilitas sediaan farmasi tergantung pada profil sifat

fisika dan kimia. Faktor utama lingkungan dapat menurunkan stabilitas diantaranya

temperatur yang tidak sesuai, cahaya, kelembaban, oksigen dan mikroorganisme.

Beberapa faktor lain yang juga mempengaruhi stabilitas suatu obat adalah ukuran partikel,

pH, kelarutan, dan bahan tambahan kimia.

Sehingga untuk menjaga kestabilan obat, obat harus disimpan sehingga terhindar

dari pencemaran dan peruraian, terhindar dari pengaruh udara, panas dan cahaya. Obat
yang mudah menyerap lembab harus disimpan dalam wadah tertutup rapat berisi kapur

tohor. Keadaan kebasahan udara dinyatakan dengan tekanan uap air relatif, yaitu

perbandingan antara tekanan uap di udara dengan tekanan uap maksimum pada temperatur

tersebut.   

T1/2 adalah periode penggunaan dan penyimpanan yaitu waktu dimana suatu

produk tetap memenuhi spesifikasinya jika disimpan dalam wadahnya yang sesuai dengan

kondisi atau waktu yang diperlukan untuk hilangnya konsentrasi setengahnya. Sedangkan

T90 adalah waktu yang tertera yang menunjukkan batas waktu diperbolehkannya obat

tersebut dikonsumsi karena diharapkan masih memenuhi spesifikasi yang ditetapkan.   

Pada praktikum stabilitas obat ini bahan yang digunakan adalah paracetamol.

Dimana dilakukan penentuan stabilitas obat Paracetamol menggunakan metode grafik

berdasarkan nilai konstanta kecepatan reaksi, waktu paruh (T1/2) dan T90 (waktu

kadaluarsa)  untuk penentuan umur simpan tablet Paracetamol dan menggunakan

instrumen spektrofotometer pada berbagai suhu yaitu suhu 40o, 50o, dan 60o. Dimana

panjang gelombang untuk paracetamol adalah 230 nm, sehingga spektroforometer

ditempatkan pada panjang gelombang antara 200 nm- 250 nm agar daerah panjang

gelombang yang diperlukan dapat terliputi.

Spektrofotometri UV-Vis adalah gabungan antara spektrofotometri UV dan Visible.

Menggunakan dua buah sumber cahaya berbeda, sumber cahaya UV dan sumber cahaya

Visible. Meskipun untuk alat yang lebih canggih sudah menggunakan hanya satu sumber

sinar sebagai sumber UV dan Vis, yaitu photodiode yang dilengkapi dengan

monokromator.Mekanisme kerja spektrofotometri, sinar dari sumber sinar adalah sinar

polikromatis maka dilewatkan terlebih dahulu melalui monokromator, kemudian sinar

monokromatis dilewatkan melalui kuvet yang berisi contoh maka akan menghasilkan sinar

yang ditransmisikan dan diterima oleh detektor untuk diubah menjadi energi listrik ang
kekuatannya dapat diamati oleh alat pembaca (satuan yang dihasilkan adalah absorban

atau transmitan).

Adapun tujuan dilakukan pada berbagai suhu 40oC, 50oC dan 60oC adalah

dimaksudkan untuk membedakan atau mengetahui pada suhu berapa obat dapat stabil

dengan baik dan pada suhu berapa obat akan terurai dengan cepat. Jika menggunakan suhu

yang tinggi kita mampu mengetahui penguraian obat dengan cepat. Sedangkan jika

menggunakan suhu kamar dalam pengujian maka butuh waktu yang lama untuk dapat

terurai.

Alasan menggunakan suhu yang tinggi karena bila kita ingin mengetahui batas

kestabilan suatu obat (batas kadaluarsanya), maka obat harus disimpan pada jangka waktu

yang lama sampai obat tersebut berubah, hal ini tentu tidak bisa dilakukan karena

keterbatasan waktu, sehingga kita menggunakan suhu yang tinggi karena uji kestabilan

obat dapat dipercepat dengan menggunakan perubahan suhu atau menggunakan suhu yang

tinggi. Semakin tinggi suhunya maka akan semakin cepat bahan obat tersebut untuk

terurai.

Dalam percobaan ini kita akan menentukan energi aktivasi (Ea) dimana Ea yaitu

kemampuan suatu sediaan untuk dapat mengalami penguraian zat. Energi aktivasi (Ea)

harus ditentukkan dengan cara mengamati perubahan konsentrasi pada suhu tinggi, dengan

membandingkan dua harga konstanta penguraian zat pada temperatur  atau suhu yang

berbeda sehingga dapat ditentukkan energi aktivasinya. Dengan demikian batas kadaluarsa

suatu sediaan farmasi dapat diketahui dengan tepat.

Hasil dari percobaan adalah diperoleh hasil untuk nilai a, b, r adalah a = 32.44349,

b = -10915, dan untuk nilai r = -0.841185

Aplikasi stabilitas obat dalam bidang farmasi yakni kestabilan suatu zat merupakan

faktor yang harus diperhatikan dalam membuat formulasi suatu sediaan farmasi. Hal ini
penting mengingat suatu sediaan biasanya diproduksi dalam jumlah yang besar dan

memerlukan waktu yang lama dapat mengalami penguraian dan mengakibatkan dosis

yang diterima pasien berkurang. Adakalanya hasil urai tersebut bersifat toksis sehingga

membahayakan jiwa pasien. Oleh karena itu perlu diketahui faktor-faktor mempengaruhi

kestabilan suatu zat sehingga dapat dipilih kondisi pembuatan sediaan yang tepat sehingga

kestabilan obat terjaga.


BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Faktor-faktor yang mempengaruhi kestabilan suatu zat antara lain

faktor utama lingkungan diantaranya temperatur, cahaya,

kelembaban, oksigen dan faktor lain yang mempengaruhi stabilitas

adalah ukuran partikel, pH, kelarutan, mikroorganisme dan bahan

tambahan.

2. Semakin lama pengocokan maka kelarutan suatu zat semakin besar.

Semakin tinggi konstanta dialektrik suatu zat maka semakin tinggi

pula kelarutan suatu zat. Semakin besar konsentrasi surfaktan yang

ditambahkan maka semakin tinggi pula kelarutan suatu zat. Semakin

tinggi pH suatu zat maka semakin cepat pula kelarutan suatu zat.
REFERENSI

Siregar, C.J.P., dan Wikarsa, S. (2010). Teknologi Farmasi Sediaan Tablet. Dasar-Dasar

Praktis. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. Hal.55, 84, 86, 90, 604.

Syamsuni, A.H. (2007). Ilmu Resep. Jakarta: Penerbit Kedokteran EGC. Hal.61. Syukri,

Y. (2002). Biofarmasetika. Edisi Pertama. Yogyakarta: UI Press. Hal.30, 35.

Anonim, 2015. Penuntun Praktikum Farmasi Fisika. Universitas Muslim Indonesia :


Makassar.
Dirjen POM. 1979. Farmakope Indonesia Edisi III. Depkes RI ; Jakarta.
Hardjadi, 1993, Ilmu Kimia Analitik Dasar, PT Gramedia Pestaka, Jakarta.
Anief, Moh. 2003. Ilmu Meracik Obat, Gajah Mada University Press; Yogyakarta.
Ansel, Haward. 1989. Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi. Fakultas Farmasi Universitas
Muslim Indonesia; Makassar.

Anda mungkin juga menyukai