Anda di halaman 1dari 18

BENTUK-BENTUK INTEGRASI ILMU PENGETAHUAN DALAM

PERSPEKTIF WAHDATUL ULUM

Oleh
Hotmasarih Harahap
Sri Wahyuni Harahap
Indah Syafiqah Lubis
A. Pendahuluan
Kesatuan keilmuan merupakan topik yang sangat penting dan hangat
diperbincangkan di kalangan akademisi. Persoalan yang begitu menarik dan
perlu juga untuk kita cermati. Salah satu solusi agar dapat menghindari
dikotomi keilmuan adalah dengan unity of since atau dikenal dengan
kesatuan keilmuan. Dikotomi keilmuan dalam Islam sebenarnya kerap
terjadi, namun para pemerhati Pendidikan Islam terus berupaya semaksimal
mungkin dalam menghapuskan dikotomi tersebut. Bentuk upaya yang
dilakukan adalah adanya pesantren yang mendirikan sekolah atau madrasah,
sehingga terjadi integrasi keilmuan antara ilmu agama dan umum.
Penyebab terjadinya dikotomi keilmuan Islam, karena terdapat
perbedaan pada tataran ontologis, epistemologis dan aksiologis kedua
bidang keilmuan tersebut. Artinya, keilmuan Islam yang bertolak pada al-
Qur’an (wahyu) itu dianggap mempunyai kebenaran mutlak, dan dibantu
dengan penalaran yang dalam proses penggunaannya tidak boleh
bertentangan dengan wahyu tersebut. Sementara dalam keilmuan umum
(terutama sains modern sekuler) itu dianggap ateistik, karena keilmuan
tersebut hanya bersandar pada observasi eksperimentasi, dan tidak
mengakui peran Tuhan dalam penciptaan keilmuan tersebut. Maka dari dua
bidang keilmuan tersebut sulit untuk dipertemukan. (Darwis & Rantika,
2018)
Disiplin Intelektual mengenai konsep integrasi keilmuan
menempatkan agama sebagai asal mula ilmu pengetahuan. Sehingga Al-
Qur’an dan Hadist dalam pengembangan ilmu diposisikan sebagai sumber

1
ayat-ayat qauliyyah sedangkan hasil observasi, eksperimen dan penalaran
logis diposisikan sebagai sumber ayat-ayat kauniyyah. Dengan posisinya
seperti ini, maka berbagai cabang ilmu pengetahuan selalu dapat dicari
sumbernya dari Al-Qur’an dan Hadist.
Dalam konteks ini, pembahasan dan pengembangan ilmu tidak
mungkin berdiri sendiri, tetapi selalu terkait dengan persoalan-persoalan
lain, termasuk agama. Sebaliknya, pembahasan mengenai agama tidak akan
pernah lepas dari pengaruh-pengaruh yang ditimbulkan oleh kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi. Dari sini, intergrasi ilmu dan agama menjadi
penting untuk dibicarakan. Ilmu yang pada hakekatnya mempelajari alam
sebagaimana adanya mulai mempertanyakan hal-hal yang bersifat
seharusnya (moral, agama). Misalnya, pertanyaan, untuk apa sebenarnya
ilmu itu harus dipergunakan? Di mana batas-batas wewenang
penjelajajahan keilmuan? Ke arah mana pengembangan keilmuan harus
dilakukan? Pertanyaan-pertanyaan semacam ini kini menjadi penting, dan
untuk menjawabnya para ilmuan mau tak mau harus berpaling pada moral
dan agama. Ini berarti diskusi mengenai integrasi ilmu dan agama
merupakan sesuatu yang tak terelakkan. Maka dari itu tulisan ini akan
membahas Bentuk Bentuk Integrasi Ilmu Pengetahuan Dalam Perspektif
Wahdatul Ulum.

B. Konsep Integrasi Keilmuan


Secara terminologi, istilah “integrasi” berasal dari bahasa Inggris,
dari kata kerja integrate yang memiliki arti menyatukan, memadukan, atau
penggabungan. Secara leksikan istilah integrasi memiliki arti penggabungan
atau persatuan beberapa hal menjadi satu allu kemudian menjadi solid dan
tidak dapat dipisahkan. Maka dari itu, dalam konsep keilmuan tidak ada
pemisahan antara satu disiplin ilmu dengan ilmu lainnya.
Istilah yang sering dipadankan dengan integrasi keilmuan adalah
“islamisasi keilmuan” (Islamization of knowledge) yang meniscayakan dua
prinsip utama, yaitu:

2
1. Sumber utama dari semua ilmu dan pengetahuan adalah Al-Quran dan
Hadis.
2. Metode yang ditempuh untuk memperoleh ilmu dan pengetahuan
haruslah Islami (Iskandar, 2016, p. 87).

Dengan begitu, untuk mewujudkan hal diatas, maka perlu memenuhi


empat kriteria yaitu: alam, hukum alam, pengajaran yang Islami (prinsip
dan arahan) dan nilai Islam (moral dan estetika) (Ferdous, Fouzia dan
Uddin, 2011, p. 236).

Pada dasarnya ilmu adalah satu kesatuan yang berarti tidak dapat
dipisahkan. Seperti yang dikatakan oleh Albert Einstein “Religion without
science is blind, Science without religion is lame” yang memiliki arti bahwa
anata agama dan ilmu merupakan satu kesatuan yang tidak dapat
dipisahkan.

Menurut Kuntowijoyo, pokok dari konsep integrasi adalah


penyatuan dan bukan hanya sekedar penggabungan antara wahyu Tuhan
and pemikiran manusia. Menurutnya, konsep integrasi adalah memberi
proposri yang layak bagi Tuhan dan manusia dalam keilmuan. Dengan
begitu, integrasi keilmuan bukanlah “sekularisme” juga bukan
“asketisisme” (Kuntowijoyo, 2006, p. 55). Hal tersebut diharapkan dapat
menyelesaikan konflik antara sekularisme ekstrem dan agama-agama
radikal dalam banyak sektor (Mujiburrahman, 2018, p. 10).

Saat ini umat Islam seolah-olah terbagi antara mereka yang


berpandangan positif terhadap ilmu ke-islaman sambil memandang negatif
yang lainnya, begitu pula sebaliknya. Integrasi keilmuan merupakan upaya
membangun suatu pandangan dan sikap yang positif terhadap kedua jenis
ilmu yang sekarang berkembang di dunia Islam (Gade, 2020, p. 32).

Menurut Ahmad Ramzy, integrasi keilmuan dapat dilakukan dengan


mengeksplorasi Al-Quran dan Hadis untuk menjadikan landasan keilmuan.
Mekanismenya adalah membahas ilmu-ilmu Islam yang berkaitan dengan

3
ilmu-ilmu umum atau persoalan-persoalan yang muncul dari budaya,
sosial, politik, ekonomi dalam rangka menciptakan ilmu yang koheren
dengan ajaran agama dan memberikan alternatif kebenaran yang bukan
hanya empiris, tetapi bermuara pada Qur’an dan Hadis sehingga menjadi
tolak ukur untuk menilai suatu kebenaran (Ramzy, 2004, p. 34–35).

Sedangkan menurut Imam Suprayogo, integrasi keilmuan sebagai


pemosisian Al-Qu’an dan Hadis sebagai grand theory bagi pengetahuan
(Suprayogo, 2005, pp. 49–50). Integrasi yang dimaksud dalam hal ini
adalah berkaitan dengan usaha memadukan keilmuan umum dengan Islam
tanpa harus menghilangkan keunikan–keunikan antara dua keilmuan
tersebut (Mufid, 2013, p. 68).

Awal kemunculan ide integrasi keilmuan adalah dengan adanya


dikotomi keilmuan, yaitu pandangan ataupun sikap yang memisahkan ilmu
agama dan ilmu umum (Iskandar, 2016, p. 88). Dikotomi keilmuan sebagai
alasan bagi munculnya integrasi ilmu pengetahuan terjadi baik di dunia
Islam maupun Barat (Muhyi, 2018, p. 14). Dengan adanya pemisahan ntara
ilmu agama dan umum, maka solusi yang dapat dilakukan adalah dengan
integrasi intelektual antar keduanya dengan asumsi jika IAIN hanya
melaksanakan studi Islam, interdependensi merupakan cara yang tepat
untuk menghilangkan dikotomi keilmuan (Amir, 2021, p. 179). Dengan
begitu, PTKIN kini mendapat wider mandat yang diharapkan mampu
berpartisipasi dalam mengintegrasikan ilmu-ilmu normatif dengan ilmu-
ilmu objektif (Idris, 2009, p. 26).

Menurut Syahrin Harahap, ada lima jenis dikotomi yang telah


menimbulkan stagnasi dalam hidup yaitu:

1. Dikotomi vertikal
2. Dikotomi horizontal
3. Dikotomi aktualitas
4. Dikotomi etis

4
5. Dikotomi intrapersonal (S. Harahap, 2016, p. 16).
Maka dari itu, permasalahan sesungguhnya dalam umat islam saat
ini adalah masalah dikotomis (Simamora, 2016, p. 189).
Di dunia Islam sendiri, dikotomi itu disebabkan dua faktor yaitu
internal dan eksternal yang memisahkan antara ilmu agama dan non ilmu
agama, sebagaimana upaya pembagian atau pengelompokan ilmu yang
dilakukan oleh para ulama. Sebenarnya, jika pengelompokan itu hanya
sekedar “pemilahan” spesifikasi ilmu pengetahuan sebagaimana yang
dilakukan oleh Al-Ghazali dalam kitab Ihya Ulum al-Dinnya misalnya,
tidaklah menjadi masalah. Tetapi akan dan menjadi masalah selanjutnya
adalah pengelompokan itu justru telah berimplikasi kapada adanya dikotomi
ilmu pengetahuan dalam artian terjadinya pembagaian atas kedua konsep
yang saling bertentangan (Ramayulis, 2015, p. 326).
Seperti yang dinyatakan oleh Hanifah, selama ini masyarakat
merasakan dampak negatif dari adanya dikotomi ilmu pengetahuan
(Hanifah, 2018, p. 292). Untuk itu, ilmu pengetahuan yang integratif
merupakan suatu keniscayaan yang penting dan mendesak untuk segera
diwujudkan melalui implementasi integrasi keilmuan (Nurbaiti, 2020, p.
96). Adanya pemberlakuan diskriminatif terhadap dua jenis ilmu tersebut
yang menyebabkan umat Islam seolah-olah berada diantara kalangan yang
menganggap positif ilmu agama dan negatifnya ilmu umum dan mereka
yang berpaham postif ilmu umum sembari memandang negatif ilmu agama.
Dari hal tersebut maka integrasi keilmuan daaat difahami sebagai
upaya untuk membangun suatu pandangan dan sikap yang positif terhadap
kedua jenis ilmu yang sekarang berkembang di dunia Islam. Hal inilah yang
dilakukan oleh perguruan tinggi Islam Negeri di Indonesia yakni dengan
mengintegrasikan ilmuagama dan umum (Sari, 2016, p. 14). Seperti yang
dijelaskan oleh M. Amir Ali, bahwa integrasi keilmuan adalah:
“Integration of sciences means the recognition that all true
knowledge is from Allah and all sciences should be treated with equal
respect whether it is scientific or revealed”.

5
Integrasi ilmu berarti pengakuan bahwa semua pengetahuan sejati
adalah dari Allah dan semua ilmu harus diperlakukan dengan hormat yang
sama apakah itu ilmiah atau terungkap (Jamal, 2017, p. 93).
Beberapa ayat Al-Qur’an yang digunakan oleh para pemikir Muslim
untuk mendukung konsep integrasi keilmuan ini (all true knowledge is from
Allah) di antaranya adalah:
َ ْ َ َ ْ ْ ََ
‫عل َم ال ِان َسان َما ل ْم َيعل ْم‬

“Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya”. (Q.S Al-
Alaq:5)
َ َْ ُ ْ َُ ْ َ َْ ُ ْ ُ َ َ ُ ُْ َ َ َ َ ْ َ ُ ُْ
َ َ َ ْ َ َ
‫تو ِلج اليل ِفى النه ِار وتو ِلج النهار ِفى الي ِل وتخ ِرج الحي ِمن الم ِي ِت وتخ ِرج الم ِيت‬

َ ََ ُ ُ َ َْ
‫ِم َن الحي َوت ْرزق َم ْن تشا ُۤء ِبغ ْي ِر ِح َساب‬
ِ

“Engkau masukkan malam ke dalam siang dan Engkau masukkan siang ke


dalam malam. Engkau keluarkan yang hidup dari yang mati, dan Engkau
keluarkan yang mati dari yang hidup. Dan Engkau beri rezeki siapa yang
Engkau kehendaki tanpa hisab (batas)". (Q.S Ali Imran:27)

Konsep integrasi keilmuan juga berangkat dari doktrin keesaan


Allah (tauhid), sebagaimana Tuhan, atau iman dalam pandangan Isma’il
Razi al-Faruqi, bukanlah semata-mata suatu kategori etika. Ia adalah suatu
kategori kognitif yang berhubungan dengan pengetahuan dengan kebenaran
proposisi-proposisinya. Dan karena sifat dari kandungan proposisinya sama
dengan sifat dari prinsip pertama logika dan pengetahuan, metafisika, etika,
dan estetika, maka dengan sendirinya dalam diri subjek ia bertindak sebagai
cahaya yang menyinari segala sesuatu (Jamal, 2017, p. 93).
Pola integrasi ilmu dapat dilihat dalam lima bagian, yaitu:
1. Monodisipliner, merupakan suatu pengkajian disiplin ilmu tertentu,
dengan menggunakan metode dan spesialisasi tertentu. Seperti
contohnya yaituilmu fikih saja, ilmu tasawuf saja dan lainnya. Pola ini

6
tentu saja tidak menggambarkan integrasi ilmu, karena mengkaji hanya
satu bidang ilmu saja.
2. Intradisipliner, merupakan kajian yang menghubungkan disiplin
dalam satu jenis disiplin ilmu tertentu, seperti contohnya bidang fiqh
yang dikaji dari berbagai jenis mazhab fiqh. Pola ini merupakan rintisan
awal dari proses integrasi ilmu, karena dengan mengkaji berbagai
aliran/mazhab, paling tidak seseorang mengkaji perbedaan dasar,
alasan dan metode yang digunakan. Misalnya, bagaimana cara mencuci
pakaian yang terkena air liur anjing. Bagi yang beraliran tekstual (ahlal-
hadits) maka cara mencucinya dengan menggunakan debu, sedangkan
bagi yang beraliran rasional (ahl al-ra’yu) maka cara mencucinya bisa
digantikan dengan sabun deterjen.
3. Antardisipliner, merupakan hubungan kerjasama anatara dua disiplin
ilmu, masing-masing mempertahankan metodologinya, misalnya
hubungan antara ilmu fiqh dan psikologi. Pola ini dapat dicontohkan
dengan pemahaman tentang indikator mukallaf, yaitu beragama Islam,
baligh dan berakal. Selama ini ketentuan mukallaf difokuskan pada
beragama Islam dan telah baligh dan jarang sekali melibatkan indikator
berakal, padahal dengan melibatkan ilmu psikologi, kedewasaan
seseorang dapat diukur dari tingkat kecerdasannya, apakah
kecerdasannya dibawah normal, normal ataupun di atas normal
(superior). tentu akan mejadi berbeda keputusan penentuan mukallaf
pada individu yang belum baligh tetapi memiliki tingkat kecerdasan
melebihi normal. Atau sebaliknya, individu sudah baligh tetapi
kecerdasannya dibawah normal.
4. Multidisipliner, yaitu suatu kerjasama di antara ilmu pengetahuan
yang lebih dari dua jenis disiplin ilmu. Yang masing-masing tetap
berdiri sendiri dengan metode sendiri-sendiri, misalnya antara ilmu
fiqh, sosiologi dan psikologi.
Pola ini dapat dicontohkan dengan cara memilih jodoh yang terdapat
dalam hadis Nabi Muhammad SAW riwayat Al-Bukhari dari Abu

7
Hurairah :”seorang wanita dinikahi karena empat hal, yaitu harta,
keturunan, kecantikan dan agama. Maka pilihlah agama, kamu akan
menjadi beruntung”.
Untuk memahami hadis tersebut, perlu ilmu biologi dlaam hal
menjelaskan mengapa wanita menjadi objek pemilihan jodoh; ilmu
ekonomi untuk melihat harta atau kekayaan; ilmu biologi, pskologi dan
sosiologi untuk melihat keturunan; ilmu biologi untuk melihat
kecantikan; ilmu agama untuk melihat agamanya.
5. Transdisipliner, yaitu bentuk ‘sintesis’ yang melibatkan lebih dari dua
jenis disiplin illmu, diikuti metode tersendiri dan akhirnya membentuk
disiplin ilmu tersendiri, seperti ilmu Biopsikospiritual, sebagai hasil
sintesis dari ilmu biologi, ilmu psikologi, dan ilmu tasawuf. Pola
terakhir ini tentunya melibatkan ilmu praktis/terapan, sehingga
membentuk ilmu yang baru dengan metodologinya (Mutu, 2019, p. 20–
22).
Transdisipliner digunakan untuk mengartikan suatu upaya penyatuan
pengetahuan melampaui disiplin-disiplin keilmuan yang ada.
Sebagaimana diindikasikan oleh kata awalan “trans” maka
transdisipliner berarti bukan saja antara disiplin keilmuan yang ada,
tetapi melampaui mereka hingga melahirkan sesuatu dari
persinggungan dan perpaduan berbagai disiplin keilmuan tersebut
(Lubis, 2014, p. 53). Sementara tujuannya adalah untuk memahami dan
memecahkan permasalahan kompleks yang melanda dunia masa kini
yang memerlukan kerjasama dan integrasi semua pengetahuan yang ada
(M. R. Harahap, 2019, p. 16)

C. Bentuk -Bentuk Integrasi Keilmuan Dalam Perspektif Wahdatul Ulum


1. Integrasi Vertikal
Ada beberapa yang dapat dilakukan dalam reintegrasi ilmu
wahdatul ‘ulum salah satunya adalah Integrasi vertical. Integrasi vertical
adalah pengintegrasian antara ilmu pengetahuan dengan ketuhanan.

8
Karena tujuan hidup manusia adalah Tuhan. Karena inti dari kehidupan
umat islam adalah tauhid. Pandangan utuh (world view) tentang realitas,
kebenaran, dunia, ruang, dan waktu, sejarah manusia, dan takdir adalah
tawhid. Maka dari itu hubungan manusia dengan Tuhan adalah
hubungan ideasional. Titik acuannya dalam diri manusia adalah
pemahaman. Sebagai organ penyimpan pengetahuan pemahaman yang
mencakup ingatan, khayalan, penalaran, intuisi, kesadaran, dan
sebagainya. Semuanya diintegrasikan pada ketawhidan. Integrasi
vertikal ini akan menumbuhkan semangat dan kesungguhan setiap
civitas akademika dalam pengembangan ilmu yang sangat serius dan
tinggi sebagai upaya untuk meraih prestasi seorang scholar di depan
Tuhannya. (S. Harahap., 2019, p. 17)
Pelaksanaan sistem ideologi baik integrasi vertikal, horizontal,
aktualisasi, etis dan interpersonal menjadikan sebuah integrasi ilmu
yang baku dan dapat dipraktikkan di berbagai fakultas yang ada. Dengan
kata lain, Wahdatul Ulum dapat menjadi sebuah tren dalam setiap
penulisan maupun cara berpikir lulusan. Hal inilah yang disebut sebagai
sistem nilai dan karakteristik utama UIN Sumatera Utara. Namun hal ini
membutuhkan implementasi dengan melebur nilai dalam Wahdatul
Ulum dengan hadirnya ilmu–ilmu lain, pasca melebur perlu adanya
adaptasi dari setiap keilmuan yang ada di UIN Sumatera Utara untuk
memunculkan karakternya masing-masing setelah peleburan dengan
nilai-nilai Wahdatul Ulum. (Matondang, 2022)

2. Integrasi Horizontal
Integrasi yang memiliki arti penyatuan supaya menjadi bulat atau
utuh (Muhyi, 2018, p. 55) integrasi horizontal, yang dapat dilakukan
dalam dua cara: Mengintegrasikan pendalaman dan pendekatan disiplin
ilmu keislaman tertentu dengan disiplin bidang lain sesama ilmu
keislaman. Misalnya mengintegrasikan pendekatan ilmu fiqih dengan

9
sejarah, sosiologi Islam, filsafat Islam, dan lain-lain (S. Harahap, 2022,
p. 14).
Dalam hal ini usaha transdisipliner yang serius dilakukan Ibnu
Rusyd yang menggabungkan fiqh dengan filsafat Islam dalam
karyanya Fashl al-Maqal dan usaha yang mengesankan yang dilakukan
Muhammad Abduh yang menggabungkan pendekatan tafsir, pemikiran,
sastra dan sosilogi Islam dalam kitabnya Tafsir al-Manar bagai energi
yang tak terperikan yang dapat mendorong akademisi Muslim untuk
melakukannya. Mengintegrasikan pendekatan ilmu-ilmu keislaman
(Islamic Studies) dengan ilmu pengetahuan Islam (Islamic Science)
tertentu atau antar bidang ilmu pengetahuan Islam; ilmu alam (Natural
Science), sosial (Social Science), dan humaniora (S. Harahap, 2022, p.
15).
Dalam hal ini dilakukan pendekatan transdisipliner, yang
menerapkan pendekatan pengkajian, penelitian dan pengembangan
kehidupan masyarakat yang melintasi banyak batas disiplin keilmuan
untuk menciptakan pendekatan yang holistik. Dalam pendekatan ini
digunakan berbagai perspekif dan mengaitkan satu sama lain. Namun,
rumpun ilmu yang menjadi dasar peneliti atau pembahas tetap menjadi
arus utama (S. Harahap, 2022, p. 15).
Dengan demikian transdisipliner digunakan untuk melakukan
suatu penyatuan perspektif berbagai bidang, melampaui disiplin-disiplin
keilmuan yang ada.

3. Integrasi Aktualitas
Intergasi aktualitas, mengintegrasikan pendekatan ilmu yang
dikembangkan dengan realitas dan kebutuhan masyarakat. Dalam hal ini
integrasi dilaksanakan dalam bentuk konkritisasi
atau tajribisasi (emprikisasi) ilmu dengan kebutuhan masyarakat
(Dirasah Tathbiqiyyah), agar ilmu pengetahuan tidak terlepas dari hajat

10
dan kebutuhan pengembangan serta kesejahteraan umat manusia dan
pengembangan peradaban (S. Harahap, 2022, p. 15).
Dalam kaitannya dengan konkritisasi ilmu ini patut disadari
bahwa keilmuan tak terpisahkan dengan keamalan. Dalam konteks ini
maka ciri yang menonjol dalam ilmu pengetahuan adalah hubungannya
dengan amal, sebab amal sudah terangkum dan inheren dalam
makna alim (ilmuwan) itu sendiri. Alim ialah kata yang bukan saja
bermakna seseorang yang memiliki ilmu, tetapi dalam bentuk nahwunya
kata ini juga bermakna seseorang yang bertindak sesuai dengan
ilmunya. Alim (jamaknya, ulama’) ialah kata perbuatan (ism
fa'il). Apabila dibentuk dari kata transitif ia bukan saja
partisipel shahih yang menandakan kesementaraan, peralihan atau
perbuatan tidak sengaja, tetapi juga berperan sebagai sifat atau
substantif yang menjelaskan perbuatan berterusan, keadaan wujud yang
lazim atau sifat kekal. Karena itu seorang alim boleh dikatakan sebagai
orang yang senantiasa beramal dengan ilmunya (amilun bi'ilmihi) (S.
Harahap, 2022, p. 16).
Dengan demikian persoalan ilmu pengetahuan tidak lepas dari
pembahasan mengenai tiga hal yaitu ontologi, epistemologi, dan
aksiologi. Konsepsi ontologi sangat terkait dengan epistemologi dan
aksiologi suatu ilmu pengetahuan. Islam sendiri menghendaki agar
kesadaran spiritual ilmu pengetahuan tetap terpelihara mulai dari
wilayah ontologi dan epistemologi hingga aksiologinya. Dalam konteks
ini maka ide islamisasi dalam tingkat tertentu tidak saja dapat ditujukan
pada ranah aksiologis atau persoalan nilai, melainkan juga pada tataran
ontologi dan epistemologi.
Dalam perspektif ontologis ilmu pengetahuan harus dilihat
sebagai sesuatu yang suci, abadi dan tidak terbatas, sebab ia merupakan
salah satu sifat Allah yang kekal. Karenanya semua ilmu harus
didasarkan pada keabadian dan kesucian Allah. Sejalan dengan itu orang
yang berilmu harus tampak sebagai orang yang memiliki keimanan yang

11
kokoh, sebab bersama ilmunya ia akan membangun kebersamaan
dengan Allah. Persepsi ontologis semacam ini akan melahirkan
epsitemologi yang lebih komprehensif dengan menyadari keterkaitan
ilmu dengan Allah.
Dengan demikian maka perolehan ilmu tidak akan lepas dari
aturan-aturan Allah dan untuk itu dibangun sebuah epistemologi yang
mampu melihat kebenaran pada seluruh tingkatan; mulai dari yang
paling rendah hingga yang paling tinggi, yakni Allah Swt (S. Harahap,
2022, p. 17).
Kesalahan mendudukkan epistemologi ilmu menyebabkan
sebagian manusia seringkali tersesat dan terbuang ke pinggir fitrahnya
dan pada saat itu manusia akan kehilangan kesadaran spiritualnya.
Berpisahnya manusia dari aspek spiritual atau fitrahnya menjadikannya
bergerak meninggalkan kesucian dan bahkan meninggalkan Allah dan
dirinya sendiri. Dalam keadaan ini manusia mulai melupakan asal-
usulnya dan sumber ilmu yang dikembangkannya dimana ia sejatinya
harus tetap berada bersama Zat Yang Maha Suci (S. Harahap, 2022, p.
17).
Lebih jauh, lepasnya manusia dari kesadaran spiritual
mengakibatkan munculnya semangat antroposentrik yang radikal,
memandang dirinya sebagai puncak kebenaran. Ia mengagungkan
ilmunya setelah mengikisnya dari aspek sakral. Pola pikir ini kemudian
mendorong lahirnya mazhab materialisme, positivisme, dan
mekanikisme yang menegaskan setiap yang bernuansa spiritual. Dalam
kondisi ini maka ilmu pengetahuan pun akan kehilangan aspek sucinya
dan mulai memisahkan diri dari Tuhan dalam tataran ontologis,
epistemologis dan bahkan aksiologis (S. Harahap, 2022, p. 18).
Ilmu akan mengalami apa yang disebut eksternalisasi menuju
kehampaan spiritual. Akibatnya lahirlah ideologi ilmu sekular yang
memandang timpang terhadap realitas. Ilmu semacam ini mendorong
manusia untuk terjebak dalam determinisme material, mekanik, dan

12
biologis. Pada tingkat tertentu hal ini akan menyebabkan manusia
kehilangan kendali dan tidak mampu mengemban amanah
kekhalifahannya, jika bukannya ia akan hadir sebagai perusak dan
penghancur keseimbangan alam.

4. Integrasi Etik
Integrasi etik yang terdapat dalam pengintegrasian ilmu
pengetahuan dalam wahdatul ulum dilakukan dengan beberapa cara,
yaitu:
a. Menyatukan perkembangan ilmu pengetahuan dengan penegakan
moral individu dan moral sosial. Hal ini disebabkan oleh
permasalahan keilmuan yang sangat memprihatinkan yang terjadi
pada masa sekarang yaitu dengan terjadinya disintegrasi antara
ilmu dan moralitas.
b. Mengintegrasikan pengembangan ilmu yang wasathiyyah
(moderat), sehingga melahirkan wawasan kebangsaan dan
wawasan kemanusiaan yang sejalan dengan pesan substantif ajaran
Islam tentang kebangsaan dan kemanusiaan (S. Harahap, Aisyah,
et al., 2019, p. 18).
5. Integrasi Intrapersonal
Integrasi intapersonal adalah integrasi atau penyatuan antara
dimensi roh dengan kekuatan berfikir yang ada pada diri manusia pada
pendekatan dan operasionalisasi transmisi ilmu pengetahuan.
Dengan begitu, pengembangan dan transmisi ilmu yang
dijalankan dalam kegaitan belajar-mengajar disadari sebagai dzikir
ibadah kepada Allah, sehingga keilmuan menjadi proteksi bagi civitas
akademika Universitas Islam Negeri Sumatera Utara Medan dari
keterpecahan pribadi (split personality) (S. Harahap., 2019, p. 18).
Paradigma wahdatul ulum bersumber dari ajaran dan peradaban.
Sejarah perjalanan wahdatul ulum dapat dilihat dalam diagram sebagai
berikut:

13
Gambar 1. Wahdatul Ulum Bagian dari Sejarah Umat Islam

Sejalan dengan perkembangan Universitas Islam Negeri


UIN) Sumatera Utara sebagai universitas Islam yang mengembangkan
ilmu pengetahuan, bukan hanya ilmu-ilmu keislaman (Islamic Studies)
tetapi juga ilmu pengetahuan Islam (Islamic Science), bukan hanya
ilmu untuk ilmu tetapi juga untuk pengembangan peradaban, maka
reintegrasi ilmu merupakan keniscayaan. Integrasi ilmu yang
dimaksudkan dirumuskan dalam term Wahdatul Ulum (Matondang,
2022, p. 71).
Wahdatul Ulum yang dimaksud adalah visi, konsepsi, dan
paradigma keilmuan yang dikembangkan sejumlah bidang ilmu dalam
bentuk departemen atau fakultas, program studi, dan mata kuliah
dengan memiliki kaitan kesatuan sebagai ilmu yang diyakini
merupakan pemberian Tuhan. Oleh karenanya ontologi, epistemologi,
dan aksiologinya dipersembahkan sebagai pengabdian kepada Tuhan
dan didedikasikan bagi pengembangan peradaban dan kesejahteraan
umat manusia.

14
Dengan demikian, Universitas Islam Negeri (UIN) Sumatera
Utara bukan saja membuka departemen atau fakultas ilmu keislaman
(Islamic Studies) dan ilmu pengetahuan Islam (Islamic Science), tetapi
pengembangan semua bidang ilmu itu didasarkan pada keyakinan dan
norma, pemikiran, serta aplikasinya sebagai pengabdian kepada Tuhan
(Matondang, 2022, p. 70).
Selanjutnya, didedikasikan bagi pengembangan peradaban dan
kesejahteraan umat. Namun konsepsi tentang integrasi ilmu
pengetahuan ini perlu dijabarkan dalam sebuah langkah pasti yang
bergerak. Hal ini dapat dilihat dari gambar berikut ini :

Gambar 2. Langkah-Langkah Wahdatul Ulum

Bagan di atas memperlihatkan bahwa Wahdatul Ulum dengan


segala konsepnya harus mampu menjawab dikotomi keilmuan dengan
menerapkan sistem ideologi baik integrasi vertikal, horizontal,
aktualisasi, etis dan interpersonal menjadi sebuah integrasi ilmu yang
baku dan dapat diterapkan di berbagai fakultas yang ada.
Dengan kata lain, Wahdatul Ulum dapat menjadi sebuah tren
dalam setiap penulisan maupun cara berpikir lulusan. Hal inilah yang
disebut sebagai sistem nilai dan karakteristik utama UIN Sumatera

15
Utara. Namun hal ini membutuhkan implementasi dengan melebur nilai
dalam Wahdatul Ulum dengan hadirnya ilmu-ilmu lain. Pasca melebur
perlu adanya adaptasi dari setiap keilmuan yang ada di UIN Sumatera
Utara untuk memunculkan karakternya masing-masing setelah
peleburan dengan nilai-nilai Wahdatul Ulum.
Konsepsi selanjutnya adalah revolusi dimana hasil peleburan
tersebut memunculkan nilai baru yang dapat memunculkan karakter
utama, hal ini seperti bentuk “Kemuhammadiyahan” di UMSU yang
menjadi sistem nilai utama dan nilai ini harus hadir dalam kehidupan
akademik kampus. Kemudian hasilnya adalah standarisasi lulusan baik
dari sisi pribadi maupun sisi tulisan ilmiah (skripsi, tesis, disertasi dan
jurnal) untuk menghadirkan Wahdatul Ulum dalam corak tulisan ilmiah
(Matondang, 2022, p. 71)

D. Kesimpulan Dan Rekomendasi

Wahdatul Ulum dengan segala konsepnya harus mampu menjawab


dikotomi keilmuan dengan menerapkan sistem ideologi baik integrasi
vertikal, horizontal, aktualisasi, etis dan interpersonal menjadi sebuah
integrasi ilmu yang baku dan dapat diterapkan di berbagai fakultas yang ada.
Dengan kata lain, Wahdatul Ulum dapat menjadi sebuah tren dalam setiap
penulisan maupun cara berpikir lulusan. Hal inilah yang disebut sebagai
sistem nilai dan karakteristik utama UIN Sumatera Utara. Sehubungan
dengan hal itu, segala jenis ilmu harus didasarkan pada keabadian dan
kesucian Allah. Sehingga orang yang berilmu harus tampak sebagai orang
yang memiliki keimanan yang kokoh, sebab bersama ilmunya ia akan
membangun kebersamaan dengan Allah.

Oleh karena itu, untuk berbagai pihak yang terkait dalam


melaksanakan pengintegrasian wahdatul ulum ini diharapkan dapat
bekerjasama dengan baik demi terlaksananya wahdatul ‘ulum. Dalam hal

16
ini sesama ilmuan dapat melakukan kolaborasi dengan berbagai disiplin
ilmu agar dapat memperkuat integrasi wahdatul ulum.

Daftar Pustaka

Amir, S. (2021). Transformasi IAIN Menjadi UIN Sebuah “Dilema”


Pendidikan Tinggi Islam. Jurnal Penelitian Agama, 22(2).

Darwis, M., & Rantika, M. (2018). Konsep Integrasi Keilmuan Dalam


Perspektif Pemikiran Imam Suprayogo. Fitra, Volume 4(Nomor 1).

Ferdous, Fouzia dan Uddin, M. A. (2011). Toward Izlamization of Science and


Technology. HUC Studies, 9(9).
Gade, F. (2020). Integrasi Keilmuan & Sains Islam. Ar-Raniry Press.

Hanifah. (2018). Islamisasi Ilmu Pengetahuan Kontemporer (Konsep Integrasi


Keilmuan Di Universitas-Universitas Islam Indonesia). Tadris: Jurnal
Pendidikan Islam, 13(2).
https://doi.org/https://Doi.Org/10.19105/Tjpi.V13i2.1972

Harahap, M. R. (2019). Integrasi Ilmu Pengetahuan: Perspektif Filsafat


Pendidikan Islam. Jurnal Hibrul ’ulama, 1(1).

Harahap, S. (2016). Integrasi Ilmu dan Kesalehan Ilmiah. Istiqamah Mulya


Foundation.
Harahap, S. (2022). Wahdatul ’Ulum. Kencana.

Harahap, S., Simamora, A., Nurudin, A., Azmi, F., Nasution, H. B., &
Muzakkir. (2019). Wahdatul Ulum : Paradigma Pengembangan Keilmuan
Dan Karakter Lulusan Universitas Islam Negeri (UIN) Sumatera Utara:
Vol. Cetakan 1. IAIN Press.

Idris, M. (2009). STAIN/IAIN MENUJU UIN (Perspektif Pemikiran


Pendidikan A. Malik Fadjar). Jurnal Iqra’, 3(1).

Iskandar, S. (2016a). Studi Alquran Dan Integrasi Keilmuan: Studi Kasus Uin
Sunan Gunung Djati Bandung. Jurnal Ilmiah Agama Dan Sosial Budaya,
1(1).

Iskandar, S. (2016b). Studi Alquran Dan Integrasi Keilmuan: Studi Kasus Uin
Sunan Gunung Djati Bandung. Jurnal Ilmiah Agama Dan Sosial Budaya,
1(1).

17
Jamal, N. (2017). Model-Model Integrasi Keilmuan Perguruan Tinggi
Keagamaan Islam. Jurnal Kabilah, 2(1).
Kuntowijoyo. (2006). Islam Sebagai Ilmu. Tiara Wacana.

Lubis, F. (2014). Rekonstruksi Pendidikan Tinggi Islam: Memberi Makna


Kelahiran UIN SU. Citapustaka Media.

Matondang, A. R. (2022a). Wahdatul Ulum Sebagai Respon dan Solusi


Terhadap Dikotomi Keilmuan. Medan Resource Center, 2(2).
Mufid, F. (2013). Integrasi Ilmu-Ilmu Islam. Equilibrium, 1(1).

Muhyi, A. (2018). Paradigma integrasi ilmu pengetahuan uin maulana malik


ibrahim malang. MUTSAQQAFIN; Jurnal Pendidikan Islam Dan Bahasa
Arab, 1(1), 45–64.
Mujiburrahman. (2018). Integrasi Ilmu. Antasari Press.
Mutu, L. P. (2019). Pedoman Integrasi Ilmu. UIN Sulthan Thaha Saifuddin.
Nurbaiti. (2020). Integrasi Ilmu dan Kontribusinya Terhadap Pembentukan
Karakter Islami Siswa. CV. Qalbun Salim.

Ramayulis. (2015). Filsafat Pendidikan Islam: Analisis Filosofis Sistem


Pendidikan Islam. Kalam Mulia.

Ramzy, A. (2004). Mengintegrasikan Ilmu Pengetahuan dan Ilmu Agama.


Perta.

Sari, R. M. (2016). Perguruan Tinggi Islam Dan Transformasi Lembaga: Studi


Terhadap Proses Perubahan Fungsi Dan Peran Iain Syarif Hidayatullah
Jakarta Menjadi Universitas Islam. Jurnal El-Hakam, 1(1).

Simamora, N. A. (2016). Integrasi Keilmuan Pada Perguruan Tinggi Islam Di


Kota Medan. Uin Sumatera Utara.
Suprayogo, I. (2005). Membangun Integrasi Ilmu dan Agama: Pengalaman UIN
Malang. Integrasi Ilmu Dan Agama: Interpretasi Dan Aksi.

18

Anda mungkin juga menyukai