Oleh
Hotmasarih Harahap
Sri Wahyuni Harahap
Indah Syafiqah Lubis
A. Pendahuluan
Kesatuan keilmuan merupakan topik yang sangat penting dan hangat
diperbincangkan di kalangan akademisi. Persoalan yang begitu menarik dan
perlu juga untuk kita cermati. Salah satu solusi agar dapat menghindari
dikotomi keilmuan adalah dengan unity of since atau dikenal dengan
kesatuan keilmuan. Dikotomi keilmuan dalam Islam sebenarnya kerap
terjadi, namun para pemerhati Pendidikan Islam terus berupaya semaksimal
mungkin dalam menghapuskan dikotomi tersebut. Bentuk upaya yang
dilakukan adalah adanya pesantren yang mendirikan sekolah atau madrasah,
sehingga terjadi integrasi keilmuan antara ilmu agama dan umum.
Penyebab terjadinya dikotomi keilmuan Islam, karena terdapat
perbedaan pada tataran ontologis, epistemologis dan aksiologis kedua
bidang keilmuan tersebut. Artinya, keilmuan Islam yang bertolak pada al-
Qur’an (wahyu) itu dianggap mempunyai kebenaran mutlak, dan dibantu
dengan penalaran yang dalam proses penggunaannya tidak boleh
bertentangan dengan wahyu tersebut. Sementara dalam keilmuan umum
(terutama sains modern sekuler) itu dianggap ateistik, karena keilmuan
tersebut hanya bersandar pada observasi eksperimentasi, dan tidak
mengakui peran Tuhan dalam penciptaan keilmuan tersebut. Maka dari dua
bidang keilmuan tersebut sulit untuk dipertemukan. (Darwis & Rantika,
2018)
Disiplin Intelektual mengenai konsep integrasi keilmuan
menempatkan agama sebagai asal mula ilmu pengetahuan. Sehingga Al-
Qur’an dan Hadist dalam pengembangan ilmu diposisikan sebagai sumber
1
ayat-ayat qauliyyah sedangkan hasil observasi, eksperimen dan penalaran
logis diposisikan sebagai sumber ayat-ayat kauniyyah. Dengan posisinya
seperti ini, maka berbagai cabang ilmu pengetahuan selalu dapat dicari
sumbernya dari Al-Qur’an dan Hadist.
Dalam konteks ini, pembahasan dan pengembangan ilmu tidak
mungkin berdiri sendiri, tetapi selalu terkait dengan persoalan-persoalan
lain, termasuk agama. Sebaliknya, pembahasan mengenai agama tidak akan
pernah lepas dari pengaruh-pengaruh yang ditimbulkan oleh kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi. Dari sini, intergrasi ilmu dan agama menjadi
penting untuk dibicarakan. Ilmu yang pada hakekatnya mempelajari alam
sebagaimana adanya mulai mempertanyakan hal-hal yang bersifat
seharusnya (moral, agama). Misalnya, pertanyaan, untuk apa sebenarnya
ilmu itu harus dipergunakan? Di mana batas-batas wewenang
penjelajajahan keilmuan? Ke arah mana pengembangan keilmuan harus
dilakukan? Pertanyaan-pertanyaan semacam ini kini menjadi penting, dan
untuk menjawabnya para ilmuan mau tak mau harus berpaling pada moral
dan agama. Ini berarti diskusi mengenai integrasi ilmu dan agama
merupakan sesuatu yang tak terelakkan. Maka dari itu tulisan ini akan
membahas Bentuk Bentuk Integrasi Ilmu Pengetahuan Dalam Perspektif
Wahdatul Ulum.
2
1. Sumber utama dari semua ilmu dan pengetahuan adalah Al-Quran dan
Hadis.
2. Metode yang ditempuh untuk memperoleh ilmu dan pengetahuan
haruslah Islami (Iskandar, 2016, p. 87).
Pada dasarnya ilmu adalah satu kesatuan yang berarti tidak dapat
dipisahkan. Seperti yang dikatakan oleh Albert Einstein “Religion without
science is blind, Science without religion is lame” yang memiliki arti bahwa
anata agama dan ilmu merupakan satu kesatuan yang tidak dapat
dipisahkan.
3
ilmu-ilmu umum atau persoalan-persoalan yang muncul dari budaya,
sosial, politik, ekonomi dalam rangka menciptakan ilmu yang koheren
dengan ajaran agama dan memberikan alternatif kebenaran yang bukan
hanya empiris, tetapi bermuara pada Qur’an dan Hadis sehingga menjadi
tolak ukur untuk menilai suatu kebenaran (Ramzy, 2004, p. 34–35).
1. Dikotomi vertikal
2. Dikotomi horizontal
3. Dikotomi aktualitas
4. Dikotomi etis
4
5. Dikotomi intrapersonal (S. Harahap, 2016, p. 16).
Maka dari itu, permasalahan sesungguhnya dalam umat islam saat
ini adalah masalah dikotomis (Simamora, 2016, p. 189).
Di dunia Islam sendiri, dikotomi itu disebabkan dua faktor yaitu
internal dan eksternal yang memisahkan antara ilmu agama dan non ilmu
agama, sebagaimana upaya pembagian atau pengelompokan ilmu yang
dilakukan oleh para ulama. Sebenarnya, jika pengelompokan itu hanya
sekedar “pemilahan” spesifikasi ilmu pengetahuan sebagaimana yang
dilakukan oleh Al-Ghazali dalam kitab Ihya Ulum al-Dinnya misalnya,
tidaklah menjadi masalah. Tetapi akan dan menjadi masalah selanjutnya
adalah pengelompokan itu justru telah berimplikasi kapada adanya dikotomi
ilmu pengetahuan dalam artian terjadinya pembagaian atas kedua konsep
yang saling bertentangan (Ramayulis, 2015, p. 326).
Seperti yang dinyatakan oleh Hanifah, selama ini masyarakat
merasakan dampak negatif dari adanya dikotomi ilmu pengetahuan
(Hanifah, 2018, p. 292). Untuk itu, ilmu pengetahuan yang integratif
merupakan suatu keniscayaan yang penting dan mendesak untuk segera
diwujudkan melalui implementasi integrasi keilmuan (Nurbaiti, 2020, p.
96). Adanya pemberlakuan diskriminatif terhadap dua jenis ilmu tersebut
yang menyebabkan umat Islam seolah-olah berada diantara kalangan yang
menganggap positif ilmu agama dan negatifnya ilmu umum dan mereka
yang berpaham postif ilmu umum sembari memandang negatif ilmu agama.
Dari hal tersebut maka integrasi keilmuan daaat difahami sebagai
upaya untuk membangun suatu pandangan dan sikap yang positif terhadap
kedua jenis ilmu yang sekarang berkembang di dunia Islam. Hal inilah yang
dilakukan oleh perguruan tinggi Islam Negeri di Indonesia yakni dengan
mengintegrasikan ilmuagama dan umum (Sari, 2016, p. 14). Seperti yang
dijelaskan oleh M. Amir Ali, bahwa integrasi keilmuan adalah:
“Integration of sciences means the recognition that all true
knowledge is from Allah and all sciences should be treated with equal
respect whether it is scientific or revealed”.
5
Integrasi ilmu berarti pengakuan bahwa semua pengetahuan sejati
adalah dari Allah dan semua ilmu harus diperlakukan dengan hormat yang
sama apakah itu ilmiah atau terungkap (Jamal, 2017, p. 93).
Beberapa ayat Al-Qur’an yang digunakan oleh para pemikir Muslim
untuk mendukung konsep integrasi keilmuan ini (all true knowledge is from
Allah) di antaranya adalah:
َ ْ َ َ ْ ْ ََ
عل َم ال ِان َسان َما ل ْم َيعل ْم
“Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya”. (Q.S Al-
Alaq:5)
َ َْ ُ ْ َُ ْ َ َْ ُ ْ ُ َ َ ُ ُْ َ َ َ َ ْ َ ُ ُْ
َ َ َ ْ َ َ
تو ِلج اليل ِفى النه ِار وتو ِلج النهار ِفى الي ِل وتخ ِرج الحي ِمن الم ِي ِت وتخ ِرج الم ِيت
َ ََ ُ ُ َ َْ
ِم َن الحي َوت ْرزق َم ْن تشا ُۤء ِبغ ْي ِر ِح َساب
ِ
6
tentu saja tidak menggambarkan integrasi ilmu, karena mengkaji hanya
satu bidang ilmu saja.
2. Intradisipliner, merupakan kajian yang menghubungkan disiplin
dalam satu jenis disiplin ilmu tertentu, seperti contohnya bidang fiqh
yang dikaji dari berbagai jenis mazhab fiqh. Pola ini merupakan rintisan
awal dari proses integrasi ilmu, karena dengan mengkaji berbagai
aliran/mazhab, paling tidak seseorang mengkaji perbedaan dasar,
alasan dan metode yang digunakan. Misalnya, bagaimana cara mencuci
pakaian yang terkena air liur anjing. Bagi yang beraliran tekstual (ahlal-
hadits) maka cara mencucinya dengan menggunakan debu, sedangkan
bagi yang beraliran rasional (ahl al-ra’yu) maka cara mencucinya bisa
digantikan dengan sabun deterjen.
3. Antardisipliner, merupakan hubungan kerjasama anatara dua disiplin
ilmu, masing-masing mempertahankan metodologinya, misalnya
hubungan antara ilmu fiqh dan psikologi. Pola ini dapat dicontohkan
dengan pemahaman tentang indikator mukallaf, yaitu beragama Islam,
baligh dan berakal. Selama ini ketentuan mukallaf difokuskan pada
beragama Islam dan telah baligh dan jarang sekali melibatkan indikator
berakal, padahal dengan melibatkan ilmu psikologi, kedewasaan
seseorang dapat diukur dari tingkat kecerdasannya, apakah
kecerdasannya dibawah normal, normal ataupun di atas normal
(superior). tentu akan mejadi berbeda keputusan penentuan mukallaf
pada individu yang belum baligh tetapi memiliki tingkat kecerdasan
melebihi normal. Atau sebaliknya, individu sudah baligh tetapi
kecerdasannya dibawah normal.
4. Multidisipliner, yaitu suatu kerjasama di antara ilmu pengetahuan
yang lebih dari dua jenis disiplin ilmu. Yang masing-masing tetap
berdiri sendiri dengan metode sendiri-sendiri, misalnya antara ilmu
fiqh, sosiologi dan psikologi.
Pola ini dapat dicontohkan dengan cara memilih jodoh yang terdapat
dalam hadis Nabi Muhammad SAW riwayat Al-Bukhari dari Abu
7
Hurairah :”seorang wanita dinikahi karena empat hal, yaitu harta,
keturunan, kecantikan dan agama. Maka pilihlah agama, kamu akan
menjadi beruntung”.
Untuk memahami hadis tersebut, perlu ilmu biologi dlaam hal
menjelaskan mengapa wanita menjadi objek pemilihan jodoh; ilmu
ekonomi untuk melihat harta atau kekayaan; ilmu biologi, pskologi dan
sosiologi untuk melihat keturunan; ilmu biologi untuk melihat
kecantikan; ilmu agama untuk melihat agamanya.
5. Transdisipliner, yaitu bentuk ‘sintesis’ yang melibatkan lebih dari dua
jenis disiplin illmu, diikuti metode tersendiri dan akhirnya membentuk
disiplin ilmu tersendiri, seperti ilmu Biopsikospiritual, sebagai hasil
sintesis dari ilmu biologi, ilmu psikologi, dan ilmu tasawuf. Pola
terakhir ini tentunya melibatkan ilmu praktis/terapan, sehingga
membentuk ilmu yang baru dengan metodologinya (Mutu, 2019, p. 20–
22).
Transdisipliner digunakan untuk mengartikan suatu upaya penyatuan
pengetahuan melampaui disiplin-disiplin keilmuan yang ada.
Sebagaimana diindikasikan oleh kata awalan “trans” maka
transdisipliner berarti bukan saja antara disiplin keilmuan yang ada,
tetapi melampaui mereka hingga melahirkan sesuatu dari
persinggungan dan perpaduan berbagai disiplin keilmuan tersebut
(Lubis, 2014, p. 53). Sementara tujuannya adalah untuk memahami dan
memecahkan permasalahan kompleks yang melanda dunia masa kini
yang memerlukan kerjasama dan integrasi semua pengetahuan yang ada
(M. R. Harahap, 2019, p. 16)
8
Karena tujuan hidup manusia adalah Tuhan. Karena inti dari kehidupan
umat islam adalah tauhid. Pandangan utuh (world view) tentang realitas,
kebenaran, dunia, ruang, dan waktu, sejarah manusia, dan takdir adalah
tawhid. Maka dari itu hubungan manusia dengan Tuhan adalah
hubungan ideasional. Titik acuannya dalam diri manusia adalah
pemahaman. Sebagai organ penyimpan pengetahuan pemahaman yang
mencakup ingatan, khayalan, penalaran, intuisi, kesadaran, dan
sebagainya. Semuanya diintegrasikan pada ketawhidan. Integrasi
vertikal ini akan menumbuhkan semangat dan kesungguhan setiap
civitas akademika dalam pengembangan ilmu yang sangat serius dan
tinggi sebagai upaya untuk meraih prestasi seorang scholar di depan
Tuhannya. (S. Harahap., 2019, p. 17)
Pelaksanaan sistem ideologi baik integrasi vertikal, horizontal,
aktualisasi, etis dan interpersonal menjadikan sebuah integrasi ilmu
yang baku dan dapat dipraktikkan di berbagai fakultas yang ada. Dengan
kata lain, Wahdatul Ulum dapat menjadi sebuah tren dalam setiap
penulisan maupun cara berpikir lulusan. Hal inilah yang disebut sebagai
sistem nilai dan karakteristik utama UIN Sumatera Utara. Namun hal ini
membutuhkan implementasi dengan melebur nilai dalam Wahdatul
Ulum dengan hadirnya ilmu–ilmu lain, pasca melebur perlu adanya
adaptasi dari setiap keilmuan yang ada di UIN Sumatera Utara untuk
memunculkan karakternya masing-masing setelah peleburan dengan
nilai-nilai Wahdatul Ulum. (Matondang, 2022)
2. Integrasi Horizontal
Integrasi yang memiliki arti penyatuan supaya menjadi bulat atau
utuh (Muhyi, 2018, p. 55) integrasi horizontal, yang dapat dilakukan
dalam dua cara: Mengintegrasikan pendalaman dan pendekatan disiplin
ilmu keislaman tertentu dengan disiplin bidang lain sesama ilmu
keislaman. Misalnya mengintegrasikan pendekatan ilmu fiqih dengan
9
sejarah, sosiologi Islam, filsafat Islam, dan lain-lain (S. Harahap, 2022,
p. 14).
Dalam hal ini usaha transdisipliner yang serius dilakukan Ibnu
Rusyd yang menggabungkan fiqh dengan filsafat Islam dalam
karyanya Fashl al-Maqal dan usaha yang mengesankan yang dilakukan
Muhammad Abduh yang menggabungkan pendekatan tafsir, pemikiran,
sastra dan sosilogi Islam dalam kitabnya Tafsir al-Manar bagai energi
yang tak terperikan yang dapat mendorong akademisi Muslim untuk
melakukannya. Mengintegrasikan pendekatan ilmu-ilmu keislaman
(Islamic Studies) dengan ilmu pengetahuan Islam (Islamic Science)
tertentu atau antar bidang ilmu pengetahuan Islam; ilmu alam (Natural
Science), sosial (Social Science), dan humaniora (S. Harahap, 2022, p.
15).
Dalam hal ini dilakukan pendekatan transdisipliner, yang
menerapkan pendekatan pengkajian, penelitian dan pengembangan
kehidupan masyarakat yang melintasi banyak batas disiplin keilmuan
untuk menciptakan pendekatan yang holistik. Dalam pendekatan ini
digunakan berbagai perspekif dan mengaitkan satu sama lain. Namun,
rumpun ilmu yang menjadi dasar peneliti atau pembahas tetap menjadi
arus utama (S. Harahap, 2022, p. 15).
Dengan demikian transdisipliner digunakan untuk melakukan
suatu penyatuan perspektif berbagai bidang, melampaui disiplin-disiplin
keilmuan yang ada.
3. Integrasi Aktualitas
Intergasi aktualitas, mengintegrasikan pendekatan ilmu yang
dikembangkan dengan realitas dan kebutuhan masyarakat. Dalam hal ini
integrasi dilaksanakan dalam bentuk konkritisasi
atau tajribisasi (emprikisasi) ilmu dengan kebutuhan masyarakat
(Dirasah Tathbiqiyyah), agar ilmu pengetahuan tidak terlepas dari hajat
10
dan kebutuhan pengembangan serta kesejahteraan umat manusia dan
pengembangan peradaban (S. Harahap, 2022, p. 15).
Dalam kaitannya dengan konkritisasi ilmu ini patut disadari
bahwa keilmuan tak terpisahkan dengan keamalan. Dalam konteks ini
maka ciri yang menonjol dalam ilmu pengetahuan adalah hubungannya
dengan amal, sebab amal sudah terangkum dan inheren dalam
makna alim (ilmuwan) itu sendiri. Alim ialah kata yang bukan saja
bermakna seseorang yang memiliki ilmu, tetapi dalam bentuk nahwunya
kata ini juga bermakna seseorang yang bertindak sesuai dengan
ilmunya. Alim (jamaknya, ulama’) ialah kata perbuatan (ism
fa'il). Apabila dibentuk dari kata transitif ia bukan saja
partisipel shahih yang menandakan kesementaraan, peralihan atau
perbuatan tidak sengaja, tetapi juga berperan sebagai sifat atau
substantif yang menjelaskan perbuatan berterusan, keadaan wujud yang
lazim atau sifat kekal. Karena itu seorang alim boleh dikatakan sebagai
orang yang senantiasa beramal dengan ilmunya (amilun bi'ilmihi) (S.
Harahap, 2022, p. 16).
Dengan demikian persoalan ilmu pengetahuan tidak lepas dari
pembahasan mengenai tiga hal yaitu ontologi, epistemologi, dan
aksiologi. Konsepsi ontologi sangat terkait dengan epistemologi dan
aksiologi suatu ilmu pengetahuan. Islam sendiri menghendaki agar
kesadaran spiritual ilmu pengetahuan tetap terpelihara mulai dari
wilayah ontologi dan epistemologi hingga aksiologinya. Dalam konteks
ini maka ide islamisasi dalam tingkat tertentu tidak saja dapat ditujukan
pada ranah aksiologis atau persoalan nilai, melainkan juga pada tataran
ontologi dan epistemologi.
Dalam perspektif ontologis ilmu pengetahuan harus dilihat
sebagai sesuatu yang suci, abadi dan tidak terbatas, sebab ia merupakan
salah satu sifat Allah yang kekal. Karenanya semua ilmu harus
didasarkan pada keabadian dan kesucian Allah. Sejalan dengan itu orang
yang berilmu harus tampak sebagai orang yang memiliki keimanan yang
11
kokoh, sebab bersama ilmunya ia akan membangun kebersamaan
dengan Allah. Persepsi ontologis semacam ini akan melahirkan
epsitemologi yang lebih komprehensif dengan menyadari keterkaitan
ilmu dengan Allah.
Dengan demikian maka perolehan ilmu tidak akan lepas dari
aturan-aturan Allah dan untuk itu dibangun sebuah epistemologi yang
mampu melihat kebenaran pada seluruh tingkatan; mulai dari yang
paling rendah hingga yang paling tinggi, yakni Allah Swt (S. Harahap,
2022, p. 17).
Kesalahan mendudukkan epistemologi ilmu menyebabkan
sebagian manusia seringkali tersesat dan terbuang ke pinggir fitrahnya
dan pada saat itu manusia akan kehilangan kesadaran spiritualnya.
Berpisahnya manusia dari aspek spiritual atau fitrahnya menjadikannya
bergerak meninggalkan kesucian dan bahkan meninggalkan Allah dan
dirinya sendiri. Dalam keadaan ini manusia mulai melupakan asal-
usulnya dan sumber ilmu yang dikembangkannya dimana ia sejatinya
harus tetap berada bersama Zat Yang Maha Suci (S. Harahap, 2022, p.
17).
Lebih jauh, lepasnya manusia dari kesadaran spiritual
mengakibatkan munculnya semangat antroposentrik yang radikal,
memandang dirinya sebagai puncak kebenaran. Ia mengagungkan
ilmunya setelah mengikisnya dari aspek sakral. Pola pikir ini kemudian
mendorong lahirnya mazhab materialisme, positivisme, dan
mekanikisme yang menegaskan setiap yang bernuansa spiritual. Dalam
kondisi ini maka ilmu pengetahuan pun akan kehilangan aspek sucinya
dan mulai memisahkan diri dari Tuhan dalam tataran ontologis,
epistemologis dan bahkan aksiologis (S. Harahap, 2022, p. 18).
Ilmu akan mengalami apa yang disebut eksternalisasi menuju
kehampaan spiritual. Akibatnya lahirlah ideologi ilmu sekular yang
memandang timpang terhadap realitas. Ilmu semacam ini mendorong
manusia untuk terjebak dalam determinisme material, mekanik, dan
12
biologis. Pada tingkat tertentu hal ini akan menyebabkan manusia
kehilangan kendali dan tidak mampu mengemban amanah
kekhalifahannya, jika bukannya ia akan hadir sebagai perusak dan
penghancur keseimbangan alam.
4. Integrasi Etik
Integrasi etik yang terdapat dalam pengintegrasian ilmu
pengetahuan dalam wahdatul ulum dilakukan dengan beberapa cara,
yaitu:
a. Menyatukan perkembangan ilmu pengetahuan dengan penegakan
moral individu dan moral sosial. Hal ini disebabkan oleh
permasalahan keilmuan yang sangat memprihatinkan yang terjadi
pada masa sekarang yaitu dengan terjadinya disintegrasi antara
ilmu dan moralitas.
b. Mengintegrasikan pengembangan ilmu yang wasathiyyah
(moderat), sehingga melahirkan wawasan kebangsaan dan
wawasan kemanusiaan yang sejalan dengan pesan substantif ajaran
Islam tentang kebangsaan dan kemanusiaan (S. Harahap, Aisyah,
et al., 2019, p. 18).
5. Integrasi Intrapersonal
Integrasi intapersonal adalah integrasi atau penyatuan antara
dimensi roh dengan kekuatan berfikir yang ada pada diri manusia pada
pendekatan dan operasionalisasi transmisi ilmu pengetahuan.
Dengan begitu, pengembangan dan transmisi ilmu yang
dijalankan dalam kegaitan belajar-mengajar disadari sebagai dzikir
ibadah kepada Allah, sehingga keilmuan menjadi proteksi bagi civitas
akademika Universitas Islam Negeri Sumatera Utara Medan dari
keterpecahan pribadi (split personality) (S. Harahap., 2019, p. 18).
Paradigma wahdatul ulum bersumber dari ajaran dan peradaban.
Sejarah perjalanan wahdatul ulum dapat dilihat dalam diagram sebagai
berikut:
13
Gambar 1. Wahdatul Ulum Bagian dari Sejarah Umat Islam
14
Dengan demikian, Universitas Islam Negeri (UIN) Sumatera
Utara bukan saja membuka departemen atau fakultas ilmu keislaman
(Islamic Studies) dan ilmu pengetahuan Islam (Islamic Science), tetapi
pengembangan semua bidang ilmu itu didasarkan pada keyakinan dan
norma, pemikiran, serta aplikasinya sebagai pengabdian kepada Tuhan
(Matondang, 2022, p. 70).
Selanjutnya, didedikasikan bagi pengembangan peradaban dan
kesejahteraan umat. Namun konsepsi tentang integrasi ilmu
pengetahuan ini perlu dijabarkan dalam sebuah langkah pasti yang
bergerak. Hal ini dapat dilihat dari gambar berikut ini :
15
Utara. Namun hal ini membutuhkan implementasi dengan melebur nilai
dalam Wahdatul Ulum dengan hadirnya ilmu-ilmu lain. Pasca melebur
perlu adanya adaptasi dari setiap keilmuan yang ada di UIN Sumatera
Utara untuk memunculkan karakternya masing-masing setelah
peleburan dengan nilai-nilai Wahdatul Ulum.
Konsepsi selanjutnya adalah revolusi dimana hasil peleburan
tersebut memunculkan nilai baru yang dapat memunculkan karakter
utama, hal ini seperti bentuk “Kemuhammadiyahan” di UMSU yang
menjadi sistem nilai utama dan nilai ini harus hadir dalam kehidupan
akademik kampus. Kemudian hasilnya adalah standarisasi lulusan baik
dari sisi pribadi maupun sisi tulisan ilmiah (skripsi, tesis, disertasi dan
jurnal) untuk menghadirkan Wahdatul Ulum dalam corak tulisan ilmiah
(Matondang, 2022, p. 71)
16
ini sesama ilmuan dapat melakukan kolaborasi dengan berbagai disiplin
ilmu agar dapat memperkuat integrasi wahdatul ulum.
Daftar Pustaka
Harahap, S., Simamora, A., Nurudin, A., Azmi, F., Nasution, H. B., &
Muzakkir. (2019). Wahdatul Ulum : Paradigma Pengembangan Keilmuan
Dan Karakter Lulusan Universitas Islam Negeri (UIN) Sumatera Utara:
Vol. Cetakan 1. IAIN Press.
Iskandar, S. (2016a). Studi Alquran Dan Integrasi Keilmuan: Studi Kasus Uin
Sunan Gunung Djati Bandung. Jurnal Ilmiah Agama Dan Sosial Budaya,
1(1).
Iskandar, S. (2016b). Studi Alquran Dan Integrasi Keilmuan: Studi Kasus Uin
Sunan Gunung Djati Bandung. Jurnal Ilmiah Agama Dan Sosial Budaya,
1(1).
17
Jamal, N. (2017). Model-Model Integrasi Keilmuan Perguruan Tinggi
Keagamaan Islam. Jurnal Kabilah, 2(1).
Kuntowijoyo. (2006). Islam Sebagai Ilmu. Tiara Wacana.
18