Anda di halaman 1dari 12

BENTUK-BENTUK INTEGRASI ILMU PENGETAHUAN DALAM

PERSPEKTIF WAHDATUL ULUM

Oleh
Hotmasarih Harahap
Sri Wahyuni Harahap
Indah Syafiqah Lubis

A. Pendahuluan

B. Konsep Integrasi Keilmuan


Secara terminologi, istilah “integrasi” berasal dari bahasa Inggris, dari
kata kerja integrate yang memiliki arti menyatukan, memadukan, atau
penggabungan. Secara leksikan istilah integrasi memiliki arti penggabungan
atau persatuan beberapa hal menjadi satu allu kemudian menjadi solid dan
tidak dapat dipisahkan. Maka dari itu, dalam konsep keilmuan tidak ada
pemisahan antara satu disiplin ilmu dengan ilmu lainnya.
Istilah yang sering dipadankan dengan integrasi keilmuan adalah
“islamisasi keilmuan” (Islamization of knowledge) yang meniscayakan dua
prinsip utama, yaitu:
1. Sumber utama dari semua ilmu dan pengetahuan adalah Al-Quran dan
Hadis.
2. Metode yang ditempuh untuk memperoleh ilmu dan pengetahuan
haruslah Islami (Iskandar, 2016, p. 87).
Dengan begitu, untuk mewujudkan hal diatas, maka perlu memenuhi
empat kriteria yaitu: alam, hukum alam, pengajaran yang Islami (prinsip dan
arahan) dan nilai Islam (moral dan estetika) (Fouzia dan Uddin, 2011, p. 236).
Pada dasarnya ilmu adalah satu kesatuan yang berarti tidak dapat
dipisahkan. Seperti yang dikatakan oleh Albert Einstein “Religion without
science is blind, Science without religion is lame” yang memiliki arti bahwa
anata agama dan ilmu merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan.
Menurut Kuntowijoyo, pokok dari konsep integrasi adalah penyatuan
dan bukan hanya sekedar penggabungan antara wahyu Tuhan and pemikiran
manusia. Menurutnya, konsep integrasi adalah memberi proposri yang layak
bagi Tuhan dan manusia dalam keilmuan. Dengan begitu, integrasi keilmuan
bukanlah “sekularisme” juga bukan “asketisisme” (Kuntowijoyo, 2006). Hal
tersebut diharapkan dapat menyelesaikan konflik antara sekularisme ekstrem
dan agama-agama radikal dalam banyak sektor (Mujiburrahman, 2018, p. 10).
Saat ini umat Islam seolah-olah terbagi antara mereka yang
berpandangan positif terhadap ilmu ke-islaman sambil memandang negatif
yang lainnya, begitu pula sebaliknya. Integrasi keilmuan merupakan upaya
membangun suatu pandangan dan sikap yang positif terhadap kedua jenis
ilmu yang sekarang berkembang di dunia Islam (Gade, 2020, p. 32).
Menurut Ahmad Ramzy, integrasi keilmuan dapat dilakukan dengan
mengeksplorasi Al-Quran dan Hadis untuk menjadikan landasan keilmuan.
Mekanismenya adalah membahas ilmu-ilmu Islam yang berkaitan dengan
ilmu-ilmu umum atau persoalan-persoalan yang muncul dari budaya, sosial,
politik, ekonomi dalam rangka menciptakan ilmu yang koheren dengan ajaran
agama dan memberikan alternatif kebenaran yang bukan hanya empiris, tetapi
bermuara pada Qur’an dan Hadis sehingga menjadi tolak ukur untuk menilai
suatu kebenaran (Ramzy, 2004, pp. 34–35).
Sedangkan menurut Imam Suprayogo, integrasi keilmuan sebagai
pemosisian Al-Qu’an dan Hadis sebagai grand theory bagi pengetahuan
(Suprayogo, 2005, pp. 49–50). Integrasi yang dimaksud dalam hal ini adalah
berkaitan dengan usaha memadukan keilmuan umum dengan Islam tanpa
harus menghilangkan keunikan–keunikan antara dua keilmuan tersebut
(Mufid, 2013, p. 68).
Awal kemunculan ide integrasi keilmuan adalah dengan adanya
dikotomi keilmuan, yaitu pandangan ataupun sikap yang memisahkan ilmu
agama dan ilmu umum (Iskandar, 2016, p. 88). Dikotomi keilmuan sebagai
alasan bagi munculnya integrasi ilmu pengetahuan terjadi baik di dunia Islam
maupun Barat (Muhyi, 2018, p. 14). Dengan adanya pemisahan ntara ilmu
agama dan umum, maka solusi yang dapat dilakukan adalah dengan integrasi
intelektual antar keduanya dengan asumsi jika IAIN hanya melaksanakan
studi Islam, interdependensi merupakan cara yang tepat untuk menghilangkan
dikotomi keilmuan (Amir, 2021, p. 179). Dengan begitu, PTKIN kini
mendapat wider mandat yang diharapkan mampu berpartisipasi dalam
mengintegrasikan ilmu-ilmu normatif dengan ilmu-ilmu objektif (Idris, 2009,
p. 26).
Menurut Syahrin Harahap, ada lima jenis dikotomi yang telah
menimbulkan stagnasi dalam hidup yaitu:
1. Dikotomi vertikal
2. Dikotomi horizontal
3. Dikotomi aktualitas
4. Dikotomi etis
5. Dikotomi intrapersonal (S. Harahap, 2016, p. 16).
Maka dari itu, permasalahan sesungguhnya dalam umat islam saat ini
adalah masalah dikotomis (Simamora, 2016, p. 189).
Di dunia Islam sendiri, dikotomi itu disebabkan dua faktor yaitu
internal dan eksternal yang memisahkan antara ilmu agama dan non ilmu
agama, sebagaimana upaya pembagian atau pengelompokan ilmu yang
dilakukan oleh para ulama. Sebenarnya, jika pengelompokan itu hanya
sekedar “pemilahan” spesifikasi ilmu pengetahuan sebagaimana yang
dilakukan oleh Al-Ghazali dalam kitab Ihya Ulum al-Dinnya misalnya,
tidaklah menjadi masalah. Tetapi akan dan menjadi masalah selanjutnya
adalah pengelompokan itu justru telah berimplikasi kapada adanya dikotomi
ilmu pengetahuan dalam artian terjadinya pembagaian atas kedua konsep
yang saling bertentangan (Ramayulis, 2015, p. 326).
Seperti yang dinyatakan oleh Hanifah, selama ini masyarakat
merasakan dampak negatif dari adanya dikotomi ilmu pengetahuan (Hanifah,
2018, p. 292). Untuk itu, ilmu pengetahuan yang integratif merupakan suatu
keniscayaan yang penting dan mendesak untuk segera diwujudkan melalui
implementasi integrasi keilmuan (Nurbaiti, 2020, p. 96). Adanya
pemberlakuan diskriminatif terhadap dua jenis ilmu tersebut yang
menyebabkan umat Islam seolah-olah berada diantara kalangan yang
menganggap positif ilmu agama dan negatifnya ilmu umum dan mereka yang
berpaham postif ilmu umum sembari memandang negatif ilmu agama.
Dari hal tersebut maka integrasi keilmuan daaat difahami sebagai upaya
untuk membangun suatu pandangan dan sikap yang positif terhadap kedua
jenis ilmu yang sekarang berkembang di dunia Islam. Hal inilah yang
dilakukan oleh perguruan tinggi Islam Negeri di Indonesia yakni dengan
mengintegrasikan ilmuagama dan umum (Sari, 2016, p. 14). Seperti yang
dijelaskan oleh M. Amir Ali, bahwa integrasi keilmuan adalah:
“Integration of sciences means the recognition that all true knowledge
is from Allah and all sciences should be treated with equal respect whether it
is scientific or revealed”.
Integrasi ilmu berarti pengakuan bahwa semua pengetahuan sejati
adalah dari Allah dan semua ilmu harus diperlakukan dengan hormat yang
sama apakah itu ilmiah atau terungkap (Jamal, 2017, p. 93).
Beberapa ayat Al-Qur’an yang digunakan oleh para pemikir Muslim
untuk mendukung konsep integrasi keilmuan ini (all true knowledge is from
Allah) di antaranya adalah:

٥ ۡ‫نس َن َما مَل مۡ يَ ۡعلَم‬ ‫َّ ۡ ِإ‬


َٰ ‫َعل َم ٱل‬
“Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya”. (Q.S Al-
Alaq:5)
‫ت ِم َن ٱ ۡل َح ۖ ِّي‬ ِ ۡ ِ ۡ ‫ ۖ ِل وخُت ۡخر‬KKK‫تُ ولِج ٱلَّ ۡيل يِف ٱلنَّه ا ِر وتُ ولِج ٱلنَّه ار يِف ٱلَّ ۡي‬
ۡ ‫ت وخُت ۡخر‬
َ ِّ‫ِج ٱل َمي‬
ُ َ ِّ‫ِج ٱل َح َّي م َن ٱل َمي‬
ُ َ َ َ ُ َ َ َ ُ
٢٧ ‫َوتَ ۡر ُز ُق َمن تَ َشٓاءُ بِغَ ۡي ِر ِح َساب‬

“Engkau masukkan malam ke dalam siang dan Engkau masukkan siang ke


dalam malam. Engkau keluarkan yang hidup dari yang mati, dan Engkau
keluarkan yang mati dari yang hidup. Dan Engkau beri rezeki siapa yang
Engkau kehendaki tanpa hisab (batas)". (Q.S Ali Imran:27)
Konsep integrasi keilmuan juga berangkat dari doktrin keesaan Allah
(tauhid), sebagaimana Tuhan, atau iman dalam pandangan Isma’il Razi al-
Faruqi, bukanlah semata-mata suatu kategori etika. Ia adalah suatu kategori
kognitif yang berhubungan dengan pengetahuan dengan kebenaran proposisi-
proposisinya. Dan karena sifat dari kandungan proposisinya sama dengan
sifat dari prinsip pertama logika dan pengetahuan, metafisika, etika, dan
estetika, maka dengan sendirinya dalam diri subjek ia bertindak sebagai
cahaya yang menyinari segala sesuatu (Jamal, 2017, p. 93).
Pola integrasi ilmu dapat dilihat dalam lima bagian, yaitu:
1. Monodisipliner, merupakan suatu pengkajian disiplin ilmu tertentu,
dengan menggunakan metode dan spesialisasi tertentu. Seperti
contohnya yaituilmu fikih saja, ilmu tasawuf saja dan lainnya. Pola
ini tentu saja tidak menggambarkan integrasi ilmu, karena mengkaji
hanya satu bidang ilmu saja.
2. Intradisipliner, merupakan kajian yang menghubungkan disiplin
dalam satu jenis disiplin ilmu tertentu, seperti contohnya bidang
fiqh yang dikaji dari berbagai jenis mazhab fiqh. Pola ini
merupakan rintisan awal dari proses integrasi ilmu, karena dengan
mengkaji berbagai aliran/mazhab, paling tidak seseorang mengkaji
perbedaan dasar, alasan dan metode yang digunakan. Misalnya,
bagaimana cara mencuci pakaian yang terkena air liur anjing. Bagi
yang beraliran tekstual (ahlal-hadits) maka cara mencucinya dengan
menggunakan debu, sedangkan bagi yang beraliran rasional (ahl al-
ra’yu) maka cara mencucinya bisa digantikan dengan sabun
deterjen.
3. Antardisipliner, merupakan hubungan kerjasama anatara dua
disiplin ilmu, masing-masing mempertahankan metodologinya,
misalnya hubungan antara ilmu fiqh dan psikologi. Pola ini dapat
dicontohkan dengan pemahaman tentang indikator mukallaf, yaitu
beragama Islam, baligh dan berakal. Selama ini ketentuan mukallaf
difokuskan pada beragama Islam dan telah baligh dan jarang sekali
melibatkan indikator berakal, padahal dengan melibatkan ilmu
psikologi, kedewasaan seseorang dapat diukur dari tingkat
kecerdasannya, apakah kecerdasannya dibawah normal, normal
ataupun di atas normal (superior). tentu akan mejadi berbeda
keputusan penentuan mukallaf pada individu yang belum baligh
tetapi memiliki tingkat kecerdasan melebihi normal. Atau
sebaliknya, individu sudah baligh tetapi kecerdasannya dibawah
normal.
4. Multidisipliner, yaitu suatu kerjasama di antara ilmu pengetahuan
yang lebih dari dua jenis disiplin ilmu. Yang masing-masing tetap
berdiri sendiri dengan metode sendiri-sendiri, misalnya antara ilmu
fiqh, sosiologi dan psikologi.
Pola ini dapat dicontohkan dengan cara memilih jodoh yang
terdapat dalam hadis Nabi Muhammad SAW riwayat Al-Bukhari
dari Abu Hurairah :”seorang wanita dinikahi karena empat hal,
yaitu harta, keturunan, kecantikan dan agama. Maka pilihlah
agama, kamu akan menjadi beruntung”.
Untuk memahami hadis tersebut, perlu ilmu biologi dlaam hal
menjelaskan mengapa wanita menjadi objek pemilihan jodoh; ilmu
ekonomi untuk melihat harta atau kekayaan; ilmu biologi, pskologi
dan sosiologi untuk melihat keturunan; ilmu biologi untuk melihat
kecantikan; ilmu agama untuk melihat agamanya.
5. Transdisipliner, yaitu bentuk ‘sintesis’ yang melibatkan lebih dari
dua jenis disiplin illmu, diikuti metode tersendiri dan akhirnya
membentuk disiplin ilmu tersendiri, seperti ilmu Biopsikospiritual,
sebagai hasil sintesis dari ilmu biologi, ilmu psikologi, dan ilmu
tasawuf. Pola terakhir ini tentunya melibatkan ilmu praktis/terapan,
sehingga membentuk ilmu yang baru dengan metodologinya (Mutu,
2019, pp. 20–22).
Transdisipliner digunakan untuk mengartikan suatu upaya
penyatuan pengetahuan melampaui disiplin-disiplin keilmuan yang
ada. Sebagaimana diindikasikan oleh kata awalan “trans” maka
transdisipliner berarti bukan saja antara disiplin keilmuan yang ada,
tetapi melampaui mereka hingga melahirkan sesuatu dari
persinggungan dan perpaduan berbagai disiplin keilmuan tersebut
(Lubis, 2014, p. 53). Sementara tujuannya adalah untuk memahami
dan memecahkan permasalahan kompleks yang melanda dunia
masa kini yang memerlukan kerjasama dan integrasi semua
pengetahuan yang ada (M. R. Harahap, 2019, p. 16).

C. Bentuk-Bentuk Integrasi Keilmuan Dalam Perspektif Wahdatul Ulum


1.
2.
3.
4. Integrasi Etik
Integrasi etik yang terdapat dalam pengintegrasian ilmu pengetahuan
dalam wahdatul ulum dilakukan dengan beberapa cara, yaitu:
a. Menyatukan perkembangan ilmu pengetahuan dengan penegakan
moral individu dan moral sosial. Hal ini disebabkan oleh
permasalahan keilmuan yang sangat memprihatinkan yang terjadi
pada masa sekarang yaitu dengan terjadinya disintegrasi antara ilmu
dan moralitas.
b. Mengintegrasikan pengembangan ilmu yang wasathiyyah (moderat),
sehingga melahirkan wawasan kebangsaan dan wawasan kemanusiaan
yang sejalan dengan pesan substantif ajaran Islam tentang kebangsaan
dan kemanusiaan (S. Harahap et al., 2019, p. 18).

5. Integrasi Intrapersonal
Integrasi intapersonal adalah integrasi atau penyatuan antara dimensi
roh dengan kekuatan berfikir yang ada pada diri manusia pada pendekatan
dan operasionalisasi transmisi ilmu pengetahuan.
Dengan begitu, pengembangan dan transmisi ilmu yang dijalankan
dalam kegaitan belajar-mengajar disadari sebagai dzikir ibadah kepada
Allah, sehingga keilmuan menjadi proteksi bagi civitas akademika
Universitas Islam Negeri Sumatera Utara Medan dari keterpecahan pribadi
(split personality) (S. Harahap et al., 2019, p. 18).
Paradigma wahdatul ulum bersumber dari ajaran dan peradaban.
Sejarah perjalanan wahdatul ulum dapat dilihat dalam diagram sebagai
berikut:

Gambar 1. Wahdatul Ulum Bagian dari Sejarah Umat Islam


Sejalan dengan perkembangan Universitas Islam Negeri UIN)
Sumatera Utara sebagai universitas Islam yang mengembangkan ilmu
pengetahuan, bukan hanya ilmu-ilmu keislaman (Islamic Studies) tetapi juga
ilmu pengetahuan Islam (Islamic Science), bukan hanya ilmu untuk ilmu
tetapi juga untuk pengembangan peradaban, maka reintegrasi ilmu merupakan
keniscayaan. Integrasi ilmu yang dimaksudkan dirumuskan dalam term
Wahdatul Ulum (Matondang, 2022, p. 71).
Wahdatul Ulum yang dimaksud adalah visi, konsepsi, dan paradigma
keilmuan yang dikembangkan sejumlah bidang ilmu dalam bentuk
departemen atau fakultas, program studi, dan mata kuliah dengan memiliki
kaitan kesatuan sebagai ilmu yang diyakini merupakan pemberian Tuhan.
Oleh karenanya ontologi, epistemologi, dan aksiologinya dipersembahkan
sebagai pengabdian kepada Tuhan dan didedikasikan bagi pengembangan
peradaban dan kesejahteraan umat manusia.
Dengan demikian, Universitas Islam Negeri (UIN) Sumatera Utara
bukan saja membuka departemen atau fakultas ilmu keislaman (Islamic
Studies) dan ilmu pengetahuan Islam (Islamic Science), tetapi pengembangan
semua bidang ilmu itu didasarkan pada keyakinan dan norma, pemikiran,
serta aplikasinya sebagai pengabdian kepada Tuhan (Matondang, 2022, p.
70).
Selanjutnya, didedikasikan bagi pengembangan peradaban dan
kesejahteraan umat. Namun konsepsi tentang integrasi ilmu pengetahuan ini
perlu dijabarkan dalam sebuah langkah pasti yang bergerak. Hal ini dapat
dilihat dari gambar berikut ini :

Gambar 2. Langkah-Langkah Wahdatul Ulum


Bagan di atas memperlihatkan bahwa Wahdatul Ulum dengan segala
konsepnya harus mampu menjawab dikotomi keilmuan dengan menerapkan
sistem ideologi baik integrasi vertikal, horizontal, aktualisasi, etis dan
interpersonal menjadi sebuah integrasi ilmu yang baku dan dapat diterapkan
di berbagai fakultas yang ada.
Dengan kata lain, Wahdatul Ulum dapat menjadi sebuah tren dalam
setiap penulisan maupun cara berpikir lulusan. Hal inilah yang disebut
sebagai sistem nilai dan karakteristik utama UIN Sumatera Utara. Namun hal
ini membutuhkan implementasi dengan melebur nilai dalam Wahdatul Ulum
dengan hadirnya ilmu-ilmu lain. Pasca melebur perlu adanya adaptasi dari
setiap keilmuan yang ada di UIN Sumatera Utara untuk memunculkan
karakternya masing-masing setelah peleburan dengan nilai-nilai Wahdatul
Ulum.
Konsepsi selanjutnya adalah revolusi dimana hasil peleburan tersebut
memunculkan nilai baru yang dapat memunculkan karakter utama, hal ini
seperti bentuk “Kemuhammadiyahan” di UMSU yang menjadi sistem nilai
utama dan nilai ini harus hadir dalam kehidupan akademik kampus.
Kemudian hasilnya adalah standarisasi lulusan baik dari sisi pribadi maupun
sisi tulisan ilmiah (skripsi, tesis, disertasi dan jurnal) untuk menghadirkan
Wahdatul Ulum dalam corak tulisan ilmiah (Matondang, 2022, p. 71)

D. Kesimpulan Dan Rekomendasi


Daftar Pustaka

Amir, S. (2021). Transformasi IAIN Menjadi UIN Sebuah “Dilema” Pendidikan


Tinggi Islam. Jurnal Penelitian Agama, 22(2).
Ferdous, Fouzia dan Uddin, M. A. (2011). Toward Izlamization of Science and
Technology. HUC Studies, 9(9).
Gade, F. (2020). Integrasi Keilmuan & Sains Islam. Ar-Raniry Press.
Hanifah. (2018). Islamisasi Ilmu Pengetahuan Kontemporer (Konsep Integrasi
Keilmuan Di Universitas-Universitas Islam Indonesia). Tadris: Jurnal
Pendidikan Islam, 13(2).
https://doi.org/https://Doi.Org/10.19105/Tjpi.V13i2.1972
Harahap, M. R. (2019). Integrasi Ilmu Pengetahuan: Perspektif Filsafat
Pendidikan Islam. Jurnal Hibrul ’Ulama, 1(1).
Harahap, S. (2016). Integrasi Ilmu dan Kesalehan Ilmiah. Istiqamah Mulya
Foundation.
Harahap, S., Aisyah, S., Nuruddin, A., Azmi, F., & Hasan Bakti Nasution. (2019).
Wahdatul ’Ulum. Kencana.
Idris, M. (2009). STAIN/IAIN Menuju UIN (Perspektif Pemikiran Pendidikan A.
Malik Fadjar). Jurnal Iqra’, 3(1).
Iskandar, S. (2016). Studi Alquran Dan Integrasi Keilmuan: Studi Kasus Uin
Sunan Gunung Djati Bandung. Jurnal Ilmiah Agama Dan Sosial Budaya,
1(1).
Jamal, N. (2017). Model-Model Integrasi Keilmuan Perguruan Tinggi Keagamaan
Islam. Jurnal Kabilah, 2(1).
Kuntowijoyo. (2006). Islam Sebagai Ilmu. Tiara Wacana.
Lubis, F. (2014). Rekonstruksi Pendidikan Tinggi Islam: Memberi Makna
Kelahiran UIN SU. Citapustaka Media.
Matondang, A. R. (2022). Wahdatul Ulum Sebagai Respon dan Solusi Terhadap
Dikotomi Keilmuan. Medan Resource Center, 2(2).
Mufid, F. (2013). Integrasi Ilmu-Ilmu Islam. Equilibrium, 1(1).
Muhyi, A. (2018). Paradigma Integrasi Ilmu Pengetahuan Uin Maulana Malik
Ibrahim Malang. Mutsaqqafin, 1(1).
Mujiburrahman. (2018). Integrasi Ilmu. Antasari Press.
Mutu, L. P. (2019). Pedoman Integrasi Ilmu. UIN Sulthan Thaha Saifuddin.
Nurbaiti. (2020). Integrasi Ilmu dan Kontribusinya Terhadap Pembentukan
Karakter Islami Siswa. CV. Qalbun Salim.
Ramayulis. (2015). Filsafat Pendidikan Islam: Analisis Filosofis Sistem
Pendidikan Islam. Kalam Mulia.
Ramzy, A. (2004). Mengintegrasikan Ilmu Pengetahuan dan Ilmu Agama. Perta.
Sari, R. M. (2016). Perguruan Tinggi Islam Dan Transformasi Lembaga: Studi
Terhadap Proses Perubahan Fungsi Dan Peran Iain Syarif Hidayatullah
Jakarta Menjadi Universitas Islam. Jurnal El-Hakam, 1(1).
Simamora, N. A. (2016). Integrasi Keilmuan Pada Perguruan Tinggi Islam Di
Kota Medan. Uin Sumatera Utara.
Suprayogo, I. (2005). Membangun Integrasi Ilmu dan Agama: Pengalaman UIN
Malang. Integrasi Ilmu Dan Agama: Interpretasi Dan Aksi.

Anda mungkin juga menyukai