Anda di halaman 1dari 11

Landasan Ontologi, Epistemologi Dan Aksiologi

Serta Kaitannya Dengan Pendidikan Islam

Sandi kurniawan
Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Curup
kurniawantambeng125@gmail.com

Menurut A. Malik dalam Mustajib (2016), filsafat merupakan hal yang penting untuk
menjadi dasar pendidikan karena filsafat banyak melahirkan pemikiran yang teoritis dalam dunia
pendidikan. Maka dari itu para pendidik seharusnya mengetahui tentang ide-ide pendidikan
karena hal tersebut dapat mengontrol proses berjalannya pendidikan. Filsafat dibutuhkan dalam
praktik pendidikan guna mencapai tujuan. Kegiatan pendidikan merupakan objek kajian dari
filsafat pendidikan. (Hardanti, 2020, hal. 87-88)

Filsafat pendidikan merupakan dua hal yang disatukan. Kata filsafat berasal dari bahasa
Yunani yakni Philo yang berarti cinta atau dalam arti luasnya yaitu ingin dan shopia yang berarti
kebijakan. Sedangkan menurut UU No 20 tahun 2003 tentang system Pendidikan Nasional pada
pasal 1 ayat (1)“Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana dan
proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk
memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak
mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara”. Filsafat
pendidikan merupakan pelaksanaan pendidikan yang berdasarkan pandangan filsafat dan kaidah
filsafat yang menekankan pada pelaksanaan prinsip-prinsip dan kepercayaan yang menjadi dasar
filsafat umum untuk menyelesaikan masalah pendidikan. (Hardanti, 2020, hal. 88)

Sejarah filsafat tidak selalu lurus terkadang berbelok kembali ke belakang, sedangkan
sejarah ilmu selalu maju. Dalam sejarah pengetahuan manusia, filsafat dan ilmu selalu berjalan
beriringan dan saling berkaitan. Filsafat dan ilmu mempunyai titik singgung dalam mencari
kebenaran. Ilmu bertugas melukiskan dan filsafat bertugas menafsirkan fenomena semesta,
kebenaran berada disepanjang pemikiran, sedangkan kebenaran ilmu berada disepanjang
pengalaman. Tujuan befilsafat menemukan kebenaran yang sebenarnya. Jika kebenaran yang
sebenarnya itu disusun secara sistematis, jadilah ia sistematika filsafat. Sistematika filsafat itu
biasanya terbagi menjadi tiga cabang besar filsafat, yatu teori pengetahuan, teori hakikat, dan
teori nilai. Ilmu pengetahuan sebagai produk kegiatan berpikir yang merupakan obor peradaban
dimana manusia menemukan dirinya dan menghayati hidup lebih sempurna. Bagaimana masalah
dalam benak pemikiran manusia telah mendorong untuk berfikir, bertanya, lalu mencari jawaban
segala sesuatu yang ada, dan akhirnya manusia adalah makhluk pencari kebenaran. (Bahrum,
2013, hal. 35)

Filsafat selain dilihat sebagai suatu pandangan hidup dan cara berpikir, filsafat juga dapat
dilihat sebagai ilmu. Filsafat berupaya untuk mencari tentang suatu hakikat atau inti dari suatu
hal sebagai sebuah ilmu. Inti dari suatu hal itu sendiri sifatnya sangat mendalam dan hanya dapat
dimengerti oleh akal manusia. Karenanya dalam mencari pengetahuan tantang suatu hakikat,
mesti dilakukan dengan abstraksi yaitu suatu perbuatan atau suatu kerja akal untuk
menghilangkan keadaan, sifat tertentu sehingga muncul substansi atau sifat mutlak. Kemudian
pada perkembangan berikutnya, ilmu itu sendiri terbagi menjadi beberapa disiplin ilmu, yang
semuanya membutuhkan suatu pendekatan, sifat, objek, tujuan serta ukuran yang berbeda-beda
antar suatu disiplin ilmu. (Rokhmah, 2021, hal. 174-175)

Pada dasarnya ilmu tidak lepas dari peranan filsafat. Ilmu bertugas untuk menggambarkan
dan filsafat bertugas untuk menjelaskan fenomena alam semesta dan kebenarannya berasal dari
hasil pemikiran sepanjang pengalaman yang dialami. Dengan demikian, perkembangan ilmu juga
memperkuat keberadaan filsafat dimana tujuan dari berfilsafat itu sendiri adalah untuk
menemukan kebenaran yang sebenarnya (Rokhmah, 2021, hal. 174)

Pada hakikatnya aktifitas ilmu digerakkan oleh pertanyaan yang didasarkan pada tiga
masalah pokok yakni: ‘Apakah yang ingin diketahui?’, ‘Bagaimana cara memperoleh
pengetahuan?’ dan ‘Apakah nilai pengetahuan tersebut?’. Kelihatannya pertanyaan tersebut
sangat sederhana, namun mencakup permasalahan yang sangat asasi. Maka untuk menjawabnya
diperlukan sistem berpikir secara radikal, sistematis dan universal sebagai kebenaran ilmu yang
dibahas dalam filsafat keilmuan. Oleh karena itu, ilmu tidak terlepas dari landasan ontologi,
epistemologi dan aksiologi. (Bahrum, 2013, hal. 35-36)

1. Ontologi
Secara bahasa, ontologi berasal dari Bahasa Yunani yang asal katanya adalah “Ontos” dan
“Logos”. Ontos adalah “yang ada” sedangkan Logos adalah “ilmu”. Sederhananya, ontologi
merupakan ilmu yang berbicara tentang yang ada. Secara istilah, ontologi adalah cabang dari
ilmu filsafat yang berhubungan dengan hakikat hidup tentang suatu keberadaan yang meliputi
keberadaan segala sesuatu yang ada dan yang mungkin ada. Ontologi kerap kali diidentikkan
dengan metafisika. Ontologi merupakan cabang ilmu filsafat yang berhubungan dengan hakikat
apa yang terjadi. Ontologi menjadi pembahasan yang utama dalam filsafat, dimana membahas
tentang realitas atau kenyataan. Pada dasarnya ontologi berbicara asas-asas rasional dari yang
ada atau disebut suatu kajian mengenai teori tentang “ada”, karena membahas apa yang ingin
diketahui dan seberapa jauh keingintahuan tersebut. (Rokhmah, 2021, hal. 176-177)

Ontology can be likened to metaphysics. The term metaphysics was first used by
Andronicus of Rhodesia in the 70s BC. Ontology means everything that deals with things that
are supra-physical or an explanatory framework that goes beyond ordinary thinking which is
very limited or inadequate. Another meaning of metaphysics is the science that investigates the
nature of what lies behind the real world. Metaphysics means the science of nature. Ontology
means the science of nature. (Yulianto, 2021, hal. 157)

Sedangkan objek kajian ontologi meliputi, ada individu, ada umum, ada terbatas, ada tidak
terbatas, ada universal, ada mutlak-Tuhan Yang Maha Esa. Istilah ontologi ini lebih banyak
digunakan ketika membahas yang ada dalam konteks filsafat. Dari apa yang telah dipaparkan di
atas dapat dipahami bahwa ontologi adalah hakikat tentang keberadaan yang meliputi
keberadaan segala sesuatu yang ada dan yang mungkin ada. (Mahfud, 2018, hal. 84)

Ontologi merupakan bidang pokok filsafat yang mempersoalkan hakikat keberadaan segala
sesuatu yang ada, menurut tata hubungan sistematis berdasarkan hukum sebab akibat. Dalam
kajian filsafat pendidikan yang difokuskan kepada kajian ontologi pendidikan ini berusaha untuk
mengupas tentang hakikat pendidikan, kenyataan dalam pendidikan dengan segala pola
organisasi yang melingkupinya, yang meliputi hakikat tujuan pendidikan, hakikat manusia
sebagai subjek pendidikan yang ditekankan kepada pendidik dan peserta didik, dan hakikat
kurikulum pendidikan. (Chasanah, 2017 , hal. 77)

Ontologi ketika melihat hakikat suatu kenyataan atau hakikat sesuatu yang ada melalui dua
macam sudut pandang yaitu: Pertama, kuantitatif yaitu dengan mempertanyakan apakah
kenyataan itu berbentuk tunggal atau jamak. Kedua, kualitatif yaitu dengan mempertanyakan
apakah kenyataan itu mempunyai kualitas tertentu. Sederhananya ontologi bisa dirumuskan
sebagai ilmu yang mempelajari realitas atau kenyataan konkret secara kritis. (Rokhmah, 2021,
hal. 178)

Hakikat pendidikan merupakan suatu kajian yang cukup menarik, menurut Mujamil Qamar
bahwa hakikat pendidikan sulit untuk dirumuskan, karena merupakan masalah yang
transcendent, maka yang dapat dibicarakan dari hakikat pendidikan hanyalah transcendental (ciri
atau sifat hakikat). Dari sini, untuk mendiskripsikan sifat atau ciri- ciri hakekat, penulis memulai
pembahasan tentang pemahaman makna dari istilah pendidikan. Pengertian pendidikan dapat
dilihat dari dua sudut pandang, yaitu dari segi etimologi dan dari segi terminologi. Pengertian
pendidikan secara etimologi penulis kaji dari sudut pandang Bahasa Inggris dan Bahasa Arab.
Dalam Bahasa Inggris penunjukkan istilah pendidikan dengan istilah education. Sedangkan
dalam Bahasa Arab, pengertian pendidikan sering digunakan pada beberapa istilah, diantaranya
adalah; al-ta’lim,al-tarbiyah, dan al-ta’dib. Namun ketiga istilah tersebut memiliki makna
tersendiri dalam menunjukkan pengertian pendidikan. Kata al-ta’lim merupakan bentuk masdar
dari kata ’alama, yang berarti pengajaran yang bersifat pemberian atau penyampaian pengertian,
pengetahuan dan keterampilan. Kata al-tarbiyah merupakan masdar dari kata rabba yang berarti
mengasuh, mendidik, dan memelihara. Sedangkan kata ta’dib merupakan masdar dari addaba
yang berarti kepada proses mendidik yang lebih tertuju pada pembinaan dan penyempurnaan
akhlak atau budi pekerti peserta didik. Secara terminologi, para ahli mendefinisikan pngertian
pendidikan ada beberapa versi, yaitu: Menurut Ki Hajar Dewantara kata “pendidikan”
mempunyai arti sesuatu yang menuntut segala kekuatan kodrat yang ada pada anak agar mereka
sebagai manusia dan sebagia warga negara dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang
setinggi-tinngginya. (Chasanah, 2017 , hal. 77-78)

Berawal dari pengertian pendidikan di atas, menurut Ahmad Tafsir dalam bukunya yang
berjudul Filsafat Penddidikan, hakikat pendidikan adalah pemberian pertolongan kepada manusia
untuk menjadi manusia, atau usaha memanusiakan manusia. Sedangkan menurut hemat penulis,
hakikat pendidiikan adalah usaha sadar yang dilakukan seseorang untuk menolong peserta didik
dengan jalan membimbing dan mengembangkan potensi dan kepribadian serta kemampuan dasar
peserta didik untuk menuju kedewasaan, berkepribadian luhur, berakhlak mulia dan mempunyai
kecerdasaan berpikir yang tinggi melalui bimbingan dan latihan yang dilaksanakan dengan
mengacu pada ajaran- ajaran yang tertera dalam al-Qur’an dan al-Sunnah. Disamping berdasar
pada ajaran al-Quran dan al-sunnah, pendidikan Islam juga punya tujuan. Aktivitas apapun
tentunya memiliki suatu tujuan, atau sesuatu yang ingin dicapai. Karena dengan tujuan itu dapat
ditentukan kemana arah suatu kegiatan. Ibarat orang berjalan, maka ada sesuatu tempat yang
akan dituju. Menurut Zakiah Darajat, tujuan adalah sesuatu yang diharapkan tercapai setelah
suatu usaha atau kegiatan selesai. Sementara itu, Arifin mengemukakan bahwa tujuan itu bisa
jadi menunjukkan kepada masa depan yang terletak suatu jarak tertentu yang tidak dapat dicapai
kecuali dengan usaha melalui proses tertentu. (Chasanah, 2017 , hal. 79)

Dalam dunia pendidikan, khususnya pendidikan islam, Ahmad Tafsir menyatakan bahwa
suatu tujuan harus diambilkan dari pandangan hidup. Jika pandangan hidupnya (philosophy of
life) adalah Islam, maka tujuan pendidikan menurutnya haruslah diambil dari ajaran Islam. Azra
menyatakan bahwa pendidikan merupakan salah satu aspek saja dari ajaran secara keseluruhan.
Karenanya tujuan pendidikan tidak terlepas dari tujuan hidup manusia, yaitu untuk menciptakan
pribadi-pribadi hamba Allah yang selalu bertaqwa kepada-Nya dan dapat mencapai kehidupan
yang berbahagia di dunia dan akhirat. (Chasanah, 2017 , hal. 80)

2. Epistemologi

Istilah epistemologi berasal dari Bahasa Yunani yaitu “episteme” yang berarti pengetahuan
dan “logos” berarti teori. Dengan demikian, epistemologi secara etimologi berarti teori
pengetahuan. Dalam rumusan yang lebih rinci disebutkan bahwa epistemologi merupakan salah
satu cabang filsafat yang mengkaji secara mendalam dan radikal tentang asal mula pengetahuan,
struktur, metode, dan validitas pengetahuan, dan epistemologi merupakan disiplin ilmu yang
bersifat evaluatif, normatif, dan kritis. (Chasanah, 2017 , hal. 81)

The term epistemology was first proposed by Ferrier (1854), where there were two
branches in philosophy: epistemology and ontology. Epistemology from the Greek, episteme
which means knowledge and logos which means theory. Epistemology was the investigation of
the origin of knowledge or its structure, methods, and validity. (Yulianto, 2021, hal. 158)

Kajian epistemologi membahas tentang bagaimana proses mendapatkan ilmu pengetahuan,


hal-hal apakah yang harus diperhatikan agar mendapatkan pengetahuan yang benar, apa yang
disebut kebenaran dan apa kriterianya. Objek telaah epistemologi adalah mempertanyakan
bagaimana sesuatu itu datang, bagaimana kita mengetahuinya, bagaimana kita membedakan
dengan lainnya, jadi berkenaan dengan situasi dan kondisi ruang serta waktu mengenai sesuatu
hal. Jadi yang menjadi landasan dalam tataran epistemologi ini adalah proses apa yang
memungkinkan mendapatkan pengetahuan logika, etika, estetika, bagaimana cara dan prosedur
memperoleh kebenaran ilmiah, kebaikan moral dan keindahan seni, apa yang disebut dengan
kebenaran ilmiah, keindahan seni dan kebaikan moral. (Bahrum, 2013, hal. 39)

Ketika ontologi berusaha mencari secara reflektif tentang yang ada, berbeda epistemologi
berupaya membahas tentang terjadinya dan kebenaran ilmu. Landasan epistemologi memiliki arti
yang sangat penting bagi bangunan pengetahuan, karena menjadi tempat berpijak dimana suatu
pengetahuan yang baik ialah yang memiliki landasan yang kuat. Epistemologi merupakan nama
lain dari logika material yang membahas dari pengetahuan. Epistemologi merupakan studi
tentang pengetahuan yang mengkaji bagaimana mengetahui benda-benda. Selain itu,
epistemologi merupakan suatu doktrin filsafat yang lebih menekankan pada peranan pengalaman
dalam memperoleh pengetahuan dan mengecilkan peranan akal. Karena pada dasarnya
pengetahuan yang diperoleh menggunakan indra hasil tangkapannya secara aktif diteruskan dan
ditampilkan oleh akal. Pengetahuan ini yang berusaha menjawab dari pertanyaan-pertanyaan
seperti bagaimana cara manusia memperoleh dan menangkap pengetahuan dan jenisnya.
Epistemologi menganggap bahwa setiap pengetahuan manusia merupakan hasil dari pemeriksaan
dan penyelidikan benda hingga akhirnya dapat diketahui manusia. Dengan demikian, jelaslah
bahwa epistemologi ini membahas tentang sumber, proses, syarat, batas fasilitas, dan hakikat
pengetahuan yang memberikan kepercayaan dan jaminan dari kebenaran. (Rokhmah, 2021, hal.
180-181)

Epistemologi jika diterapkan pada kajian pendidikan maka pembahasan dalam


epistemologi pendidikan meliputi: seluk beluk pengetahuan pendidikan mulai dari asal-usul atau
sumber pendidikan, metode membangun pendidikan, unsur-unsur pendidikan, sasaran
pendidikan, macam-macam pendidikan dan sebagainya. Asal usul pendidikan didasari suatu
pemikiran bahwa ilmu adalah milik Allah, maka pendidikan juga berasal dari Allah. Allah
sebagai pendidik yang pertama dan utama. Sebagaimana dalam QS. Al-Fatihah ayat 2 dan
alBaqarah ayat 3. (Chasanah, 2017 , hal. 81)
Dalam menetapkan sumber pendidikan, para pemikir memiliki beberapa pendapat.
Diantaranya, menurut pendapat Abdul Fattah Jalal yang dikutip oleh Samsul Nizar bahwa ia
membagi sumber pendidikan menjadi dua macam, yaitu: Pertama, sumber Ilahi, yang meliputi
al-Qur’an, Hadith, dan alam semesta sebagai ayat kauniyah yang perlu ditafsirkan kembali.
Kedua, sumber insaniyah, yaitu lewat proses ijtihad manusia dari fenomena yang muncul dan
dari kajian lebih lanjut terhadap sumber Ilahi yang masih bersifat global. Sedangkan pemikir
lainnya membagi sumber pendidikan menjadi tiga bagian, yaitu; al-Qur’an, al-Sunnah, dan
ijtihad para muslim yang berupaya memformulasi bentuk sistem pendidikan. (Chasanah, 2017 ,
hal. 82)

Dalam mengurai ajaran pendidikan Islam, diperlukan metode epistemologi pendidikan.


Metode epistemologi pendidikan adalah metode- metode yang digunakan untuk memperoleh
pengetahuan tentang pendidikan dan berada pada tataran filosofis. Metode ini berusaha
merumuskan dan memproses pengetahuan tentang pendidikan. Berdasarkan inspirasi-inspirasi
pesan yang terkandung dalam al-Qur’an dan al-Hadith serta pengalaman para ilmuwa muslim
ada lima macam metode yang digunakan untuk membangun pengetahuan tentang pendidikan,
diantaranya: metode rasional (manhaj ’aqli), metode intuitif (manhaj zawqi), metode dialogis
(manhaj jadali), metode komparatif (manhaj muqaran), metode kritik (manhaj naqdi).
(Chasanah, 2017 , hal. 82)

Secara epistemologis, kebenaran pendidikan menunjukkan pada output atau hasil seluruh
rangkaian penyelenggaraan pendidikan menurut objek forma, metode, dan sistem. Hasilnya
berupa kecerdasan intelektual, kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual. Kebenaran
pendidikan dapat diukur menurut standar keilmuan, yaitu keterpaduan antara bentuk (kebenaran
bentuk) dan materi (kebenaran materi). Jika bentuk dan materi itu berpadu, maka pendidikan
benar adanya. Kebenaran bentuk dapat diukur dengan keberhasilan dalam menyelesaikan jenjang
pendidikan, sedangkan kebenaran materi dapat diukur dengan sejauh mana di dalam diri
seseorang itu tumbuh subur potensi ilmu pengetahuan sehingga membentuk watak dan sikap
ilmiah. (Chasanah, 2017 , hal. 86-87)

3. Aksiologi

Aksiologi berasal dari istilah Yunani yaitu; axios yang berarti sesuai atau wajar. Sedangkan
logos berari ilmu, akan tetapi aksiologi juga dapat disebut juga dengan teori nilai. Aksiologi
merupakan cabang filsafat ilmu yang membicarakan tentang tujuan ilmu pengetahuan itu sendiri
dan bagaimana manusia menggunakan ilmu tersebut. Dalam hal ini yang ingin dicapai oleh
aksiologi adalah hakikat dan manfaat yang terdapat dalam suatu pengetahuan. Jadi aksiologi di
sini adalah menyangkut masalah nilai kegunaan ilmu. Dewasa ini, istilah axios (nilai) dan logos
(teori). istilah ini sebenarnya lebih akrab dipakai dalam istilah filosofi. Adapun aksiologi dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia aksiologi adalah kegunaan ilmu pengetahuan bagi kehidupan
manusia; atau kajian tentang nilai, khususnya etika. (Mahfud, 2018, hal. 93)

Axiological is the branch of philosophy that discusses the theories of value and trying to
describe what is called good and good behavior. Axiological are part of ethics and aesthetics.
Ethics refers to the philosophical study of moral values and human behavior. Aesthetics deals
with the study of values of beauty and art. Metaphysics discusses the nature of ultimate reality,
while Axiological refers to prescriptions of moral behavior and beauty. Educators always pay
attention to the problems associated with the formation of values in themselves the subject of
children and lead to behavior that is worth. (Rahayu1, 2016, hal. 49)

Dalam pengembangan dan penerapan ilmu pendidikan, diperlukan etika profetik, yakni
etika yang dikembangkan atas dasar-dasar nilai Ilahiyat bagi pengembang dan penerapan ilmu
pendidikan. Pendidikan harus memuat nilai-nilai profetik dan harus mempunyai nilai guna bagi
manusia. Kedua permasalahan ini merupakan salah satu kajian dalam aksiologi pendididikan,
khususnya pendidikan. Nilai-nilai dalam pendidikan merupakan hasil deduksi dari sumber
pendidikan yaitu al-Qur’an dan as-Sunnah yang dapat dikembangkan untuk etika profetik
pengembangan dan penerapan ilmu pendidikan diantarannya: nilai ibadah, bagi pemangku ilmu
pendidikan dan penerapannya merupakan ibadah. (Chasanah, 2017 , hal. 7)

Aksiologi mencoba untuk mencapai hakikat dan manfaat yang ada dalam suatu
pengetahuan. Diketahui bahwa salah satu manfaat dari ilmu pengetahuan yaitu untuk
memberikan kemaslahatan dan kemudahan bagi kehidupan manusia. hal ini yang menjadikan
aksiologis memilih peran sangat penting dalam suatu proses pengembangan ilmu pengetahuan
karena ketika suatu cabang ilmu tidak memiliki nilai aksiologis akan lebih cenderung
mendatangkan kemudharatan bagi kehidupan manusia bahkan tidak menutup kemungkinan juga
ilmu yang bersangkutan dapat mengancam kehidupan sosial dan keseimbangan alam. (Rokhmah,
2021, hal. 182)
Lebih lanjut aksiologi meliputi nilai-nilai parameter bagi apa yang disebut dengan
kebenaran atau kenyataan. Sebagaimana kehidupan yang kita jalani berbagai kawasan, seperti
kawasan sosial, kawasan fisik materi dan kawasan simbolik yang masing-masing menunjukkan
aspeknya sendiri. Lebih dari itu, aksiologi juga menunjukkan kaidah-kaidah apa yang harus kita
perhatikan di dalam menjalankan ilmu praktis. Dalam pendekatan aksiologis ini ilmu harus
dimanfaatkan untuk kemaslahatan manusia dengan cara melihat berbagai aspek kehidupan yang
melingkupinya. (Mahfud, 2018, hal. 93)

Ada dua kategori dasar aksiologis, yaitu (1) objektivisme dan (2) subjektivisme. Keduanya
beranjak dari pertanyaan yang sama, yaitu, apakah nilai itu bersifat bergantung atau tidak
bergantung pada manusia? Dari sini, muncul empat pendekatan etika, dua yang pertama beraliran
objektivisme dan dua berikutnya beraliran subjektivisme. Adapun yang dimaksud adalah (1)
teori nilai intuitif, (2) teori nilai rasional, (3) teori nilai alamiah dan (4) teori nilai emotif.
(Mahfud, 2018, hal. 93-94)

Akan tetapi aksiologi pendidikan berkaitan dengan masalah ilmu dan pengetahuan
(kognitif), maksudnya adalah memikirkan segala hakikat pengetahuan atau hakikat keberadaan
segala sesuatu yang bersifat fisikal dan metafisikal, baik yang umum maupun yang khusus. Oleh
karena itu, kajiannya mengarahkan diri pada dasar-dasar pengetahuan dalam bentuk penalaran,
logika, sumber pengetahuan, dan kriteria kebenaran. Untuk itu perlu dipahami bahwa aksiologi
pendidikan secara esensial adalah terwujudnya anak didik yang memahami ilmu dan
mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari. Implikasi aksiologi dalam dunia pendidikan
adalah menguji dan mengintegrasikan nilai dalam kehidupan manusia dan menanamkan sikap
dalam kepribadian peserta didik. Memang untuk menjelaskan apakah yang baik itu, benar, buruk
dan jahat bukanlah sesuatu yang mudah. Apalagi, baik, benar, indah dan buruk, dalam arti
mendalam dimaksudkan untuk membina kepribadian ideal anak, jelas merupakan tugas utama
pendidikan. Pendidikan harus memberikan pemahaman atau pengertian baik, benar, bagus, buruk
dan sejenisnya kepada peserta didik secara komprehensif dalam arti dilihat dari segi etika,
estetika dan nilai sosial. Dalam masyarakat, nilai-nilai itu terintegrasi dan saling berinteraksi.
Nilai-nilai di dalam rumah tangga atau keluarga, tetangga, kota, negara adalah nilai-nilai yang
tidak mungkin diabaikan dunia pendidikan bahkan sebaliknya harus mendapat perhatian. Ajaran
Islam merupakan perangkat sistem nilai yaitu pedoman hidup secara Islami, sesuai dengan
tuntunan Allah SWT. Aksiologi Pendidikan Islam berkaitan dengan nilai-nilai, tujuan, dan target
yang akan dicapai dalam pendidikan Islam. Sedangkan tujuan pendidikan Islam menurut
Abuddin Nata adalah untuk mewujudkan manusia yang shaleh, taat beribadah dan gemar
beramal untuk tujuan akhirat. (Mahfud, 2018, hal. 94)
DAFTAR PUSTAKA

Chasanah, Uswatun. 2017. Ontologi, Epistemologi Dan Aksiologi Pendidikan. Dalam Jurnal
Tasyri’: Volume 24, Nomor 1, April 2017. UIN Sunan Ampel Surabaya: Surabaya.

Bahrum, SE, M.Ak, Akt. 2013. Ontologi, Epistemologi Dan Aksiologi. Dalam jurnal
Sulesana Volume 8 Nomor 2 Tahun 2013. Yayasan Pendidikan Ujung Pandang: Makassar.

Widiya Hardanti, Bethari. 2020. Landasan Ontologis, Aksiologis, Epitesmologis Aliran


Filsafat Esensialisme Dan Pandanganya Terhadap Pendidikan. Reforma: Jurnal Pendidikan dan
Pembelajaran Vol.9 No. 2 (2020). Universitas Negeri Malang: Malang.

Rokhmah, Dewi. 2021. Ilmu Dalam Tinjauan Filsafat: Ontologi, Epistemologi, Dan
Aksiologi. CENDEKIA : Jurnal Studi Keislaman Volume 7, Nomor 2, Desember 2021. UIN
Sunan Kalijaga: Yogyakarta.

Sri Rahayu, Arti. 2016. Islamic Education Foundation: An Axiological Philosophy of


Education Perspective. International Journal of Nusantara Islam, Vol.04 No.02 – 2016.
University Sunan Gunung Djati: Bandung.

Yulianto, Harry. 2021. Philosophy Of Management Science: Ontology, Epistemology, And


Axiology Perspectives. Cross-Border Journal of Businees Management Vol. 1 No. 1 Juni 2021.
Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi YPUP: Makassar.

Mahfud. 2018. Mengenal ontologi, epistemologi, aksiologi dalam pendidikan islam.


CENDEKIA: Jurnal Studi Keislaman Volume 4, Nomor 1, Juni 2018. STAI Hasan Jufri Bawean:
Gresik.

Anda mungkin juga menyukai