Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH

KONSTRUKSI PARADIGMA
BARU MENURUT AL-QUR’AN

Makalah Ini Disusun Guna Memenuhi Tugas


Mata Kuliah: Islam Perspektif Ilmu Humaniora

Disusun Oleh:

Thias Arisiana
NIM. 1659407902

PROGRAM DOKTOR STUDI ISLAM


PROGRAM PASCASARJANA
UIN SAYYID ALI RAHMATULLAH
TULUNGAGUNG
2023
PENDAHULUAN
Islam memandang ilmu pengetahuan dan hal-hal yang berkaitan dengan kegiatan ilmiah
dengan hubungan yang positif, artinya tidak ada pertentangan, bersifat integral, dan tidak dapat
dipisahkan antara satu dengan lainnya. Pendidikan Islam dapat dihayati dan dipahami secara
lengkap dan kaffah (utuh dan menyeluruh tidak dikotomi antara pendidikan agama dengan
pendidikan umum).
Hasil konsekuensi dari tidak adanya pemisahan antar ilmu dan agama, dapat pula ditegaskan
bahwa tidak ada pemisahan antara apa yang disebut ilmu agama dan ilmu umum. Munir Mursi
menyatakan bahwa seluruh ilmu adalah Islami sepanjang berada di dalam batas-batas yang
digariskan Allah SWT kepada kita.1 Berdasarkan konsep Islam (Timur), semua yang dipikirkan,
dikehendaki, dirasakan dan diyakini, membawa manusia kepada pengetahuan dan secara sadar
menyusunnya ke dalam sistem yang disebut Ilmu. Tetapi berbeda dengan konsep Barat, yang
mengelompokkan ilmu itu kepada tiga:
1. Natural Sciences (ilmu-ilmu kealaman, murni, biologi, fisika, kimia dan lainnya).
2. Social Sciences (ilmu-ilmu kemasyarakatan yang menyangkut perilaku manusia dalam
interaksinya dalam masyarakat.
3. The Humanities (humaniora), ialah ilmu-ilmu kemanusiaa yang menyangkut kesadaran akan
perasaan kepribadian dan nilai- nilai yang menyertainya sebagai manusia.2
Berdasarkan hal tersebut, M. Zainuddin mengajukan formula pemikiran kreatif untuk dapat
mengintegrasikan secara padu ilmu pengetahuan dalam Islam. Perpaduan (integrasi) tersebut
secara sederhana dapa dilihat dalam skema berikut.

1
Hasbi Indra, Pendidikan Islam Melawan Globalisasi, (Jakarta: Ridamulia, 2005), h. 49
2
A. Mattulada, Ilmu-ilmu Kemanusiaan (Humaniora) Tantangan, harapanharapan Dalam Pembangunan, (t.k.p:
Unhas, 1991), h.3.
Skema 1. Integralisasi Ilmu dalam Islam3
Keterangan:
A = Integrasi sains Islami

B = Spesialisasi Ilmu
Skema 2. Bangunan Ilmu yang Integratif 4
Berdasarkan skema tersebut, peneliti menganggap penggolongan keilmuan Islam menjadi 3

bidang, yakni ilmu alam, ilmu sosial dan ilmu humaniora, yang kesemuanya itu memiliki
kesesuaian dengan berbagai kategori integral nilai, informasi, energi dan materi. Menurut konsepsi
keilmuan Islam, ke-3 rumpun keilmuan itu memperoleh ruhnya dari ilmu-ilmu al-Quran, yang

3
Ali Maksum dan Luluk Yunan Ruhendi, Paradigma Pendidikan Universal di Era Modern dan Post-Modern: Mencari
“Visi Baru” atas “Realitas Baru” Pendidikan Kita, (Yogyakarta: IrciSoD, 2004), h. 287
4
M. Zainuddin, Paradigma Pendidikan Terpadu: Menyiapkan Generasi Ulul Albab, (Malang: UIN Malang Press,
2008), h. 164
memiliki kesesuaian dengan kategori sumber, dan merupakan sumber ilham ilmiah yang tidak ada
hentinya. 5
Bentuk integrasi keilmuan ini tak hanya mengarah pada upaya mempertemukan berbagai jenis
keilmuan, namun lebih pada usaha mengambil substansi filosofis ilmu-ilmu keagamaan Islam
yang fundamental sebagai paradigma ilmu di masa depan, lebih dari itu adalah upaya untuk
mengkonstruksi peradaban dunia pada waktu yang akan datang.
Kaitannya dengan keilmuan Islam, Iwan Satriawan memaparkan bahwa ada permasalahan
yang muncul dalam masyarakat muslim. Pada praktiknya al-Qur’an masih dipahami oleh
masyarakat terbatas sebagai kitab hukum agama yang mengatur masalah wajib, haram, sunah,
makruh, dan mubah. Al-Qur’an belum ditempatkan pada posisi yang sebenarnya, yakni sebagai
petunjuk, sebagaimana dinyatakan dalam surat al-Baqarah ayat 2:6

َ ‫ْم َّتق‬
‫ِين‬ ُ ‫ه ًدى ِلل‬
ُ ۛ ِ‫ب ۛ فِيه‬
َ ْ‫اب لَا َر ي‬
ُ ‫ِك ا ْل ِك َت‬
َ ‫ذل‬
ََٰ

“Kitab (Al-Quran) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertakwa”.

Hal ini merupakan akibat dari sistem pendidikan sekuler yang tidak menempatkan al-Qur’an
sebagai referensi utama masyarakat dalam mengkaji berbagai cabang ilmu pengetahuan.
Akibatnya, seorang sarjana hukum, misalnya, bisa dipastikan lebih fasih mengutip Austin, Kelsen,
atau Bentham dalam uraian-uraiannya daripada mengutip al- Shatibi, al-Ghazali, atau al-Sarakhsi
dalam perbincangan mengenai filsafat dan metodologi hukum yang menggunakan al-Qur’an
sebagai sumber utama. Artinya, sistem pendidikan khususnya kurikulumnya, mendorong seorang
muslim untuk menjadikan al-Qur’an sebagai rujukan utama dalam membedah berbagai persoalan
yang muncul dalam masyarakat.7
Problem utama yang perlu pertama kali dipecahkan adalah merumuskan kembali konsep
epistemologi keilmuan yang integratif dan sesuai dengan al-Qur’an. Fakta bahwa sejarah Islam
pernah melahirkan banyak ilmuwan kaliber dunia seperti Ibnu Sina (ahli kedokteran), Al
Khawarizmi (ahli matematika), Ibnu Khaldun (sosiolog), Asy Syafi’I (ahli hukum), dan sederet
nama besar lainnya merupakan bukti yang tidak terbantahkan bahwa keilmuan dalam al-Qur’an

5
Mohamad Anas, “Telaah Kritis Filsafat Ilmu atas Paradigma Interkoneksitas Ilmu”, Tesis, Yogyakarta: UGM, 2009,
h. 1-7
6
Husni Rahim. Horizon Baru Pengembangan Pendidikan Islam. (Malang: UIN Malang Press. 2004). h. 51
7
Iwan Satriawan. “Al-Qur’an dan Konstitusi Modern.” Dalam Media Indonesia, 8 Nopember 2002
merupakan pendorong utama dari kemajuan sains. Oleh karena itu, paradigma keilmuan
berdasarkan al-Qur’an harus dibangun dengan menjadikan lembaga pendidikan Islam sebagai
pilar-pilar yang menyusunnya.
HASIL DAN PEMBAHASAN

Kajian Ilmu Humaniora dalam Perspektif Monodisipliner


Pengertian humaniora, berasal dari bahasa Latin, yaitu Humansi yang kemudian diserap ke
dalam Bahasa Inggris dengan kata humanities yang berarti manusiawi, berbudaya dan halus
dimana telah menunjukkan gejala perebutan dari pokok persoalan yang berhubungan dengan
manusia itu. Walaupun demikian, humanities hanya berkaitan dengan masalah nilai, yaitu nilai
kita sebagai homo humans atau manusia berbudaya. Humaniora sebagai rumpun ilmu
sesungguhnya memberikan kesempatan bagi masuknya segala sesuatu yang berhubungan dengan
manusia beserta perilakunya ke dalam subjek materinya, tanpa terkecuali pokok persoalan yang
ada pada ilmu sosial.
Menurut Encyclopedia of Britannica mengartikan the humanities adalah sebagai sejenis
pengetahuan yang berkenaan dengan nilai kemanusian dan ekspresi dari jiwa manusia. Menurut
pendapat Margareth Mead bahwa ilmu humaniora sangat erat dengan antropologi yakni ruang
lingkup antropologi sangat dekat dengan pengertian budaya baik sebagai praktik ataupun sebagai
suatu yang berarti akal. Sedangkan budaya merupakan perkembangan majemuk dari kata “budi
daya” yang berarti daya dari budi. Jadi perbedaan antara budaya dan kebudayaan, bahwa budaya
merupakan daya dari budi yang berupa cipta, karsa, dan rasa. Adapun kebudayaan berarti hasil
dari cipta, karsa, dan rasa.
Dalam perkembangannya, istilah budaya dan kebudayaan memiliki dimensi tiga wujud,
seperti yang disebut oleh Koentjaraningrat, yaitu:
1. Wujud ide, gagasan, nilai-nilai, norma, dan peraturan (sistem budaya)
2. Wujud aktivitas, berpola manusia dalam masyarakat (sistem sosial)
3. Wujud benda hasil karya manusia (kebudayaan fisik)
Dari ketiga wujud di atas tersebut, jika dirinci ke dalam beberapa unsur, misalnya sistem religi,
dan upacara keagamaan, sistem pengetahuan, bahasa, dan lain sebagainya. Humaniora mencakup
didalamnya juga agama atau kepercayaan, namun William Caxton telah memisahkan agama dari
humaniora mempercayai adanya kekuatan supranatural merupakan naluri manusia. Nilai-nilai
agama diturunkan kepada manusia melalui wahyu, yang dibawakan. Nilai-nilai religius seharusnya
merupakan nilai-nilai yang paling dasar dari segala tata nilai dan karena itu ada titik temu dengan
nilai-nilai budaya yang dikembangkan manusia.
Humaniora bertujuan untuk memajukan manusia sehingga mencapai kemanusiaan yang
sesungguhnya. Pandangan humanitas mengajarkan bahwa ada suatu "kesatuan dan kesamaan" di
antara manusia. Perbedaan-perbedaan antara ras ataupun bangsa tidak berarti dan akan lenyap
tenggelam dalam suatu masyarakat dunia yang tidak mengenal perang, kekerasan, serta
kekejaman. Semua manusia adalah sama, tiap jiwa adalah bagian dari api ketuhanan. Tidak ada
perbedaan antara majikan dan buruh, kaya dan miskin, laki-Iaki dan perempuan. Semua manusia
adalah saudara, karena mereka harus cinta-mencintai.8 Pendidikan humaniora pada sastra klasik
(Latin dan Yunani) dan kesenian dipandang sebagai pengetahuan yang mengembangkan manusia
sejati. Seni dipandang sebagai sarana pembentukan manusia menjadi pernikir jernih, berbahasa
bersih, berbicara fasih, menguasai logika dan kaidah, bahasa, serta dapat menikmati bahasa dan
seninya.
Humaniora menyiapkan manusia berpikir luwes, lincah dengan segala visi dan persepsi untuk
perkembangan dan penyesuaian. Pemikirannya adalah pemikiran dengan cara bahasa yang
berkembang dari dalam dan tahu beradaptasi dengan lingkungan dan tuntutan zaman. Kalaupun
menghargai perlunya spesialisasi IPTEK, humaniora tidak ingin membiarkan konsepnya dikotak-
kotakkan, dipersempit, dan dikeringkan menjadi bidang tertentu, tapi tetap terbuka dengan segi-
segi hidup yang selalu berkembang.
Ilmu-ilmu humaniora ialah sekumpulan ilmu pengetahuan yang memusatkan perhatiannya
pada sisi hasil kreasi kemanusiaan manusia (humanities aspects) secara metafisik ataupun raga,
meliputi kepercayaan, ide-ide, estetika, etika, hukum, bahasa, pengalaman hidup, serta adat-
istiadat. Jadi, objek kajiannya berwujud ukuran halus (aplikasi), “kenyataan yang tersembunyi”,
serta fenomena kultural yang tersimbolisasi sistem bahasa, adat istiadat/ tradisi, hukum, seni, serta
lain-lain. Bermacam fenomena kebudayaan itu membutuhkan uraian serta pengertian terhadapnya
bagi warga pemangku budaya tersebut.9
Dalam konteks ini, bidang Ilmu Humaniora bertugas meneliti, mengkarakterisasi, dan
menafsirkan fenomena budaya manusia dari perspektif ilmiah mono disiplin, yaitu perspektif yang

8
A.SJ. Sunarja. Memanusiakan Manusia: Tinjauan Pendidikan Humaniora, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1984), 53
9
Ichwansyah Tampubolon. 2019. Islamic Studies dalam Perspektif Ilmu-Ilmu Humaniora. Al-Muaddib: Jurnal Ilmu-
Ilmu Sosial dan Keislaman, 4(4).
menggunakan sudut pandang parsial dan khusus dari disiplin Ilmu Budaya.10 Penjelasannya adalah
sebagai berikut.
1. Perspektif Filologi
Perspektif Filologi menjadikan manuskrip-manuskrip atau naskah-naskah kuno sebagai objek
kajiannya. Tujuannya adalah untuk memahami kandungan teks-teks keagamaan itu yang
biasanya berkisar tentang konsep-konsep dan ide-ide dasar, pandangan hidup (way of life),
praktik-praktik, dan kelembagaan sosial-budaya keagamaan di masa lalu. Perspektif Filologi
memiliki tiga varian utama, yaitu: Filologi Klasik, Filologi Komparatif, dan Filologi Modern.
Pertama, Filologi Klasik mengkaji, mengurai, dan memaknai teks-teks kuno keagamaan tanpa
mengaitkannya dengan latar belakang sejarah, sosial, politik, dan budaya yang mengitarinya.
Dalam konteks pengkajian terhadap teks-teks keislaman berbahasa Arab, misalnya, Filologi
Klasik biasa menggunakan sudut pandang `Ilm alDilâlah/Ma`ânî, `Ilm Şaraf, `Ilm Nahw, `Ilm
Balâghah, `Ilm I`jâz, `Ilm `Arudh, dan lain-lain. Kedua, Filologi Komparatif (comparative
philology) menggali dan memahami teks, lalu membandingkan unsur-unsur kebahasaan yang
terdapat di dalamnyasecara komparatif. Misalnya, Jalâl al-Dîn al-Suyûţî dalam karyanya
berjudul al-Itqân fî `Ulûm al-Qur’ân menguraikan kata-kata dan istilah-istilah asing (tidak
berdialek Hijaz: Mekkah dan Madinah) yang digunakan oleh Al-Qur’an, misalnya, seperti
dialek Arab Yaman. Ketiga, Filologi Modern berorientasi untuk menjelaskan hubungan teks
dengan sumber-sumber aslinya.
2. Perspektif Ilmu Linguistik dan Sastra Modern
Perspektif Ilmu Linguistik dan Sastra Modern merupakan perspektif yang memfokuskan
perhatian kajiannya terhadap aspek-aspek kebahasaan dan kesusastraan yang
dipakai/digunakan oleh teks. Perspektif Ilmu Linguistik Modern, misalnya, menggunakan
dimensi bahasa (linguistik) sebagai kategori utama objek kajiannya, meliputi: bunyi, bentuk,
struktur, dan pragmatik bahasa. Dimensi bunyi bahasa, meliputi: titik artikulasinya,
artikulatornya, proses lahirnya bunyi/suara, dan fungsi bunyi bahasa. Dimensi bentuk bahasa,
meliputi: bentuk kata (morf) dan perubahan bentuk kata (derivasi). Dimensi struktur/tata
bahasa, meliputi: kata majemuk, frase, kalimat, kalimat majemuk, dan wacana. Dimensi makna
bahasa, meliputi: makna kata secara etimologis-leksikal, makna etimologis, makna frasa secara
leksikal, denotatif maupun konotatif; makna kalimat secara tekstualngramatikal, makna wacana

10
Ibid
kontekstual, dan lain-lain. Akhirnya, dimensi pragmatik bahasa berkisar tentang hubungan
antara aspek tuturan dengan objek yang dibicarakan. Sementara perspektif Ilmu Sastra Modern
memfokuskan perhatiannya terhadap aspek keindahanbahasa yang terdapat di dalam teks-teks
kesusastraan (sastra tulisan), meliputi: prosa, syair, pantun, puisi, dan lain-lain. Dalam hal ini,
biasanya, kajiannya tertuju pada aspek penggunaan/pilihan suku kata, kata/diksi, kalimat, gaya
bahasa, gaya sastra, konteks lingkungan dan pengaruhnya, dan lain-lain. Demikian pula halnya
pengkajian terhadap sastra lisan (meliputi: cerita rakyat, teka-teki, peribahasa, dan nyayian
rakyat), folklor, meliputi: (tarian rakyat, musik tradisional, obat-obatan tradisional, dan
arsitektur rakyat), dan mitos.11
3. Perspektif Ilmu Filsafat
Perspektif Ilmu Filsafat merupakan perspektif yang mengkaji isi teks-teks keagamaan dan
menguji ide-ide yang terdapat di dalamnya melalui penalaran akal secara kritis, teliti, radikal,
jelas, sitematis, rasional, komprehensif, dan holistik. 12 Perspektif filosofis adalah bekerja
dengan menyelidiki isi buku dan konsep-konsep yang terkandung di dalamnya dengan
menggunakan penalaran kritis, cermat, radikal, jelas, sistematis, rasional, menyeluruh, dan
holistik. Pendekatan filosofis juga berupaya melakukan diskusi, dialog, dan debat yang jujur,
terbuka, dan adil tentang alasan-alasan yang mendukung atau menolak suatu masalah.
Perspektif filosofis juga membutuhkan kontak dan hubungan antara subjek filosofis dan dunia
yang berkembang secara terus menerus dan objektif. Tujuannya adalah untuk mengungkap dan
mendefinisikan beberapa ide atau konsep yang ada dalam membaca yang secara radikal-
fundamental, esensial substantif, transendental, umum, abstrak, dan esoterik. Namun,
kesimpulan yang dihasilkannya bersifat spekulatif, tidak pernah berakhir, atau konklusif,
sehingga pilihan untuk menyelidiki dan merenungkannya lebih lanjut dalam mengembangkan
kesimpulan baru selalu tersedia.
4. Perspektif Ilmu Teologi
Perspektif Ilmu Teologi (selanjutnya disebut dengan Perspektif Teologi) merupakan sudut
pandang yang digunakan untuk mengkaji doktrin-doktrin kitab suci atau pemahaman/
pemikiran seseorang atau sekelompok orang (mazhab/aliran) tentang persoalan-persoalan

11
M. Rafiek, Teori Sastra Kajian Teori dan Praktik, (Bandung: Refika Aditama, 2010), hlm.50-53
12
Thomas Negel, What Does It All Mean? A Very Short Introduction to Philosophy, (Oxford: Oxford University
Press, 1987), hlm. 4. B.R. Tilghman, An Introduction to the Philosophy of Religion, (Oxford: Basil Blackwell, 1994),
hlm. 8.
keimanan. Fokus kajiannya adalah persoalan-persoalan ketuhanan, malaikat, ruh, kenabian,
mukjizat, setan, jin, dosa, pahala, hubungan antara Tuhan, manusia, alam semesta, dan aspek-
aspek eskatologis. 13
5. Perspektif Ilmu Hukum
Perspektif Ilmu Hukum merupakan perspektif yang mengkaji secara ilmiah persoalan-persoalan
hukum, meliputi: aspek doktriner yuridis (normatif) dan peristiwa hukum (hukum sosiologis)
dengan menggunakan metode, sistematika, dan pemikiran tertentu. Tujuannya adalah untuk
mempelajari dan mengetahui gejala-gejala atau fakta-fakta hukum secara mendalam guna
mencari solusi atas masalah-masalah yang timbul di dalam gejala hukum tersebut. 14 Objek
kajiannya meliputi dua aspek utama, yaitu: hukum doktriner yuridis (normatif) dan hukum
sosiologis. Hukum doktriner yuridis (normatif), meliputi: hukum perundang-undangan, hukum
administrasi, hukum yurisprudensi, hukum adat, ajaran hukum, dan asas-asas hukum positif.
Penelitian hukum normatif/ hukum doktriner, menjadikan peraturan-peraturan tertulis atau
bahan-bahan hukum yang lain yang terdapat di dalam dokumen-dokumen peraturan perundang-
undangan, ketetapan-ketetapan hukum, dan lain-lain sebagai objek kajiannya. Fokus kajiannya
tertuju pada pengkajian asas-asas hukum, sistematika hukum, sinkronisasi hukum secara
vertikal atau horizontal, sejarah hukum, dan perbandingan hukum. Sementara hukum
sosiologis, meliputi: pemberlakuan hukum positif, dampak pemberlakuan hukum positif
terhadap kehidupan masyarakat, faktor-faktor non-hukum bagi terbentuknya ketentuan hukum
positif, faktor-faktor non-hukum bagi berlakunya ketentuan hukum positif, dan lain-lain. 15 Jadi,
penelitian hukum sosiologis-empirik merupakan pengkajian hukum berdasarkan data empirik
dari lapangan dan dapat didukung oleh data dokumentasi. Artinya, fokus penelitiannya lebih
kepada penerapan hukum di dalam kehidupan faktual, meliputi: aspek penerapan hukum,
efektivitas hukum, pengaruh hukum, dan lain-lain.
6. Perspektif Ilmu Sejarah
Perspektif Ilmu Sejarah merupakan perspektif yang berupaya untuk menarasikan secara ilmiah
suatu fenomena atau peristiwa sejarah pada masa tertentu (biasanya peristiwa masa lampau).

13
Sigit Purnama, dkk. Islam dan Ilmu Humaniora. Yogyakarta: CV Multiartha Jatmika Yogyakarta, 2021, hlm. 36.

14
Bandingkan Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: Universitas Indonesia, 1981:43)
15
Bambang Waluyo, Penelitian Hukum dalam Praktek, (Jakarta: Sinar Grafika, 2002), hlm. 5-7
Temuannya berbasis data dan dibangun di atas suatu kerangka teoritis tentang peristiwa sejarah
itu berdasarkan struktur tertentu (long term structure). Struktur sejarah itu meliputi sistem
semiotik, ritus, sikap, perilaku masyarakat, dan lain-lain yang biasanya dapat mempengaruhi,
membentuk, dan menentukan perjalanan sejarah peradaban umat manusia. Tujuannya adalah
untuk mengetahui dan mengungkap kejadian atau fenomena yang terjadi pada masa lampau
untuk melakukan rekonstruksi terhadapnya dan sebagai upaya menggali dan mengambil
darinya pengajaran atau pelajaran yang berharga guna menciptakan masa depan peradaban
umat manusia secara lebih baik
7. Perspektif Ilmu Antropologi
Perspektif Ilmu Antropologi merupakan perspektif yang berupaya untuk membuat narasi secara
ilmiah tentang fenomena atau peristiwa budaya dan tradisi masyarakat dan membangun
kerangka teoritis tentangnya berdasarkan struktur tertentu. Secara ontologis, Ilmu Antropologi
mengkaji struktur budaya, meliputi ide-ide (ideas), sistem sosial (activities), dan benda-benda
(artefacts). Ide-ide budaya adalah konsep-konsep, nilai-nilai, dan norma-norma yang berlaku
di lingkunan suatu masyarakat budaya dan dijadikan sebagai pedoman, petunjuk, dan filsafat
hidup (way of life) oleh mereka secara tradisional dan turun-menurun. Sifatnya lokal, temporal,
komunal, dan eksklusif.
Ilmu-Ilmu Humaniora sebagai perspektif pengkajian Islam ternyata sangat beragam namun
bercorak monodisipliner. Corak pengkajian secara monodisipliner memiliki sejumlah kelebihan.
Pertama, melahirkan ragam kajian secara spesial. Ia dapat menggambarkan atau menginterpretasi
suatu fenomena budaya secara rinci, detail, dan interpretif. Namun, di sisi lain, pendekatan
monodisipliner juga memiliki sejumlah kelemahan. Ia melahirkan pengkotak-kotakan disiplin
ilmu pengetahuan di bidang budaya menurut perspektifnya masing-masing. Lalu, muncul
fenomena sikap dan perilaku keilmuan yang saling bersaing, mengeksklusi dan mengklaim bahwa
metode dan temuan disiplin ilmunya sajalah yang dipandang paling ilmiah, absah, handal, dan
signifikan. Bahkan, tidak jarang antardisiplin ilmu saling memandang sebelah mata, untuk tidak
mengatakan saling menafikan, disiplin ilmu lainnya.

Ilmu Humaniora Menurut Al-Quran


Kemunculuan kajian-kajian ilmu pengetahuan dalam agama telah tercatat oleh sejarah, yang
mengungkapkan fakta tentang kehidupan dan alam semesta, kelahirannya dan hukum-hukumnya,
seperti yang terjadi di Yunani, Mesir kuno dan sebagainya. Agama dan Ilmu pengetahuan sama-
sama merancang dan mempersiapkan masa depan manusia. Desain kajian Agama lebih jauh dan
abstrak serta memberikan ketenangan hidup setelah mati, sedang ilmu pengetahuan dan teknologi
desainnya lebih pendek dan konkrit untuk menghadapi kehidupan di dunia ini. Ilmu pengetahuan
memperbincangkan tentang pengetahuan, sedangkan Agama lebih kepada sebuah kepercayaan,
Pengetahuan dan kepercayaan adalah dua sikap yang berbeda dari keinsyafan manusia, pelita ilmu
terletak di otak manusia, sedang pelita Agama terletak di hati. 16
Dalam kehidupan masyarakat beragama, ilmu adalah bagian yang tak terpisahkan dari nilai-
nilai ketuhanan karena sumber ilmu yang hakiki adalah dari Tuhan, manusia hanyalah yang
menemukan sumber itu dan kemudian merekayasanya untuk dijadikannya sebagai instrumen
petunjuk dalam kehidupannya. Dalam agama sering kali dijumpai konsepsi tentang wahyu dan
inspirasi yang bersifat otoritas normatif yang tidak dapat dengan mudah didamaikan dengan
prosedur ilmu pengetahuan. Keyakinan tidak sesingkat teori ilmiah dan banyak elemen non-
kognitif di dalam agama yang tidak ada di dalam ilmu pengetahuan. Namun, dengan cara yang
umum keyakinan agama berkembang selama beberapa pengalaman diputuskan sebagai
kepentingan pokok, seperti penderitaan atau kesenangan, dosa dan keselamatan, kesucian dan
moral.
Menurut pemikiran ahli teologi, ada konsepsi kognitif dan teoritis yang mengusungkan
beberapa hukum spiritual universal, yang menghasilkan suatu kondisi realitas pokok yang
mendasari di dalam dan di luar dunia yang memadai untuk menjelaskan tentang pengalaman-
pengelaman tersebut. Dari sini menunjukkan bahwa sumber teori yang ada dalam agama berasal
dari wahyu, yang kemudian dibuktikan oleh pengalaman-pengalaman secara nyata. Imam Ghazali
mengatakan bahwa seluruh ilmu yang pernah, akan dan yang sedang ada kesemuanya terdapat
dalam Al-Quran, karena Al-Quran adalah firman-firman Allah Yang Maha Mengetahui. Beliau
mempersamakan antara Al-Qur’an dengan sifat ilmu Tuhan yang mencakup segala sesuatu.
Pandangan al-Qur’an tentang ilmu dapat diketahui prinsip-prinsipnya dari analisis wahyu
pertama yang diterima oleh Nabi Muhammad dalam surat al ‘Alaq ayat 1-5:

ْ‫اسمِ ا ْقرأ‬ َ ِ‫َق ا َّلذِي َرب‬


ْ ‫ك ِب‬ َ ‫خل‬.
َ ‫َق‬
َ ‫ان َخل‬
َ ‫س‬َ ‫ن الْإِ ْن‬ َ ْ‫ك ا ْق َرأ‬
ْ ‫علَق ِم‬. َ ُّ‫م َو َرب‬ َ َّ ‫ع َّل‬ َّ َ ‫س‬
َ ُ ‫الْأ كْ َر‬. ‫م الذِي‬
َ َ ِ‫بِا ْل َقلَم‬. ‫م‬
َ ‫ان َعل‬ َ ‫ما ال ِْإ ْن‬
َ ‫َم‬
ْ ‫مََيَ ْعل ل‬
ْ

16
Muhammad Hatta, Pengantar ke Jalan Ilmu dan Pengetahuan, (Jakarta: Mutiara, 1979), 40.
“Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang Menciptakan, Ia telah menciptakan manusia
dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha Pemurah, Yang mengajar (manusia)
dengan perantara kalam. Ia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.”
Menurut Kuntowijoyo, orang Islam harus melihat realitas keilmuan dengan menggunakan
kaca mata Islam dan eksistensi humaniora di dalam al-Qur’an. Islam sebagai teks (al-Qur’an dan
Sunnah) dihadapkan pada realitas. Dengan kata lain, teks ke konteks. Menurut ilmu budaya dan
sosiologi pengetahuan, realitas itu tidak dapat dilihat langsung oleh orang, tetapi melalui tabir
(kata, konsep, simbol, budaya persetujuan masyarakat).17
Dalam perspektif ini, yang menjadi pembeda antara pendidikan Islam dengan pendidikan
barat adalah pondasi yang menjadi induknya. Pendidikan barat yang sekuler semata-mata berpijak
pada filsafat. Sedangkan pendidikan Islam menjadikan al-Qur’an sebagai induk dari ilmu
pengetahuan. Upaya pengilmuan dalam Islam bersumber dari al-Qur’an. Metode pengilmuan
Islam yang berbasis pada orientasi tauhid dan al-Qur’an ini pada level tertentu akan bertemu
dengan pengilmuan sekuler pada banyak irisan. Pada level tersebut, orang mungkin akan sulit
membedakan apa yang menjadi pembeda antara dua model pengilmuan tersebut, namun secara
substansi sebenarnya akan menjadi jelas bahwa pembedanya adalah pondasi yang menjadi
induknya, yang pada gilirannya akan membedakan pula motif seseorang dalam mempelajarinya. 18
Ruang lingkup humaniora awalnya hanya mencakup bahasa dan sastra klasik, tetapi kemudian
berkembang seperti teologi, filsafat, ilmu hukum, ilmu sejarah, filologi, ilmu bahasa, kesusastraan,
dan ilmu kesenian, serta psikologi.
Tujuan humaniora adalah membuat manusia lebih manusiawi, dalam arti membuat manusia
lebih berbudaya. Sedangkan Tujuan lebih lanjut dijelaskan bahwa muara dari ilmu humaniora
adalah munculnya sosok yang humanis yakni orang yang mendambakan dan memperjuangkan
terwujudnya pergaulan yang lebih baik, berdasarkan asas-asas perikemanusiaan, pengabdi
kepentingan sesama umat manusia. Secara lebih khusus, Igak Wardani menjelaskan bahwa tujuan
ilmu humaniora adalah membebaskan pikiran untuk mandiri dalam menemukan, memilih, dan
memanfaatkan informasi, membuat manusia lebih manusiawi, dalam arti lebih berbudaya.

17
Kuntowijoyo. Paradigma Islam, Interpretasi untuk Aksi, (Bandung: Mizan, 1991), 160.
18
Fahri Hidayat, “Pengembangan Paradigma Integrasi Ilmu: Harmonisasi Islam dan Sains dalam Pendidikan”, dalam
Jurnal Pendidikan Islam, Vol. IV (2), 2015, h. 314
Manfaat Kajian terhadap ilmu-ilmu humaniora akan membuat seseorang lebih manusiawi dan
berbudaya. Hal ini jelas sangat penting sebagai antisipasi kemajuan teknologi yang kadang-kadang
membuat manusia seperti kehilangan harkatnya karena hampir semua peran dapat digantikan oleh
mesin sehingga tidak tertutup kemungkinan manusia juga bertindak seperti mesin dan kehilangan
nurani.
Dalam hal ini, manusia yang semula merdeka, yang merasa menjadi pusat dari segala sesuatu,
kini telah diturunkan derajatnya menjadi tak lebih sebagai bagian dari mesin, mesin raksasa
teknologi modern. Karena proses inilah, pandangan manusia menjadi tereduksi. Nilai manusia
telah tergradasi oleh proses bekerjanya teknologi. Seperti yang dikatakan Tholhah Hasan, bahwa
dominasi alam dapat dipisahkan, tetapi teknologi dan birokrasinya bangkit dengan dominasi dan
kekuatannya yang dahsyat menguasai manusia dan menjadikannya tergantung dan lemah. 19
Memang berkat IPTEK, manusia dapat bangkit dari tekanan berat alam yang selalu
mengganggunya, akan tetapi secara sistematis mulai tergantung pada hasil ciptaannya dan
organisasinya. Sebagai konsekuensinya, generasi muda kurang memiliki ruang dan kesempatan
untuk berimajinasi, yang ada hanya ingin serba cepat tanpa proses. Akhirnya, hanya menjadi
pemakai dan pengekor teknologi.
Untuk itulah, ruang untuk menjadi kreatif itu yang perlu dibangun, ruang untuk berimajinasi.
Sebuah ruang yang banyak dimiliki masa lampau yang dibangun, yaitu melalui ilmu humaniora.
Sementara Islam sebagai agama wahyu, oleh Tuhan, manusia senantiasa diberi peluang dalam
potensi untuk selalu mengembangkan dan meningkatkan diri. Islam hadir dengan konsepsinya
yaitu pembebasan manusia dari kungkungan aliran pikiran yang menganggap bahwa manusia tidak
mempunyai kemerdekaan. Dengan Islam, manusia dapat mengaktualisasikan dirinya sebagai
makhluk yang merdeka dan mulia dari belenggu dunia modern, terutama di era perkembangan
IPTEK.
Tauhid-sosial, lebih menekankan aspek pengentasan dan pembebasan yang bernuansa
profetik, sudah barang tentu, terhadap beragam keprihatinan dan penderitaan umat pada umumnya
didekati dan dicarikan pemecahannya lewat semangat liberasi Al-Qur’an. 20

19
Muhammad Tholhah Hasan, Islam dan Masalah Sumber Daya manusia, (Jakarta: Lantabora Press, 2005), h. 149-
150
20
M. Amin Abdullah, Dinamika Islam Kultural: Pemetaan atas Wacana Keislaman Kontemporer, (Bandung: Mizan,
2000), h. 65
Dalam konteks dinamika dunia modern, misi Islam yang utama berarti harus membebaskan
manusia dari kungkungan bermacam aliran pemikiran dan filsafat yang menganggap manusia tidak
mempunyai kemerdekaan dan hidup dalam absunditas. 21 Agama Islam sesuai dengan fitrah
manusia, maka dari itu jelas bahwa Islam memberi dasar yang cukup kepada manusia untuk hidup
berkebudayaan. Disamping urusan akhirat, urusan dunia pun mendapat perhatian yang besar.
Firman Allah:

‫ما أ َ ْحس‬
َ َ‫ن ك‬
َ
ْ ِ‫ن ال ُّد ْنيَا ۖ َوأ ْحس‬
َ ‫ك ِم‬
َ َ ‫صيب‬
ِ ‫س َن‬
َ ‫ار الْآخِ َر َة ۖ َولَا َت ْن‬ َّ َ ‫ِيماآ َت‬
َ ‫اك الل ُهال َّد‬ َ ‫َوابْ َت ِغ ف‬
َ َ ‫سادَ فِي‬ َ ْ ‫ن ال َّل ُه إِلَي‬
َ ‫ك ۖ َولَا َتبْ ِغ ا ْل َف‬ َ
‫ِين‬
َ ‫ْم ْفسِ د‬ ُّ ِ‫ن ال َّل َه ل َا ُيح‬
ُ ‫ب ال‬ َّ ِ‫ض ۖ إ‬ِ ‫الْأ َ ْر‬

“Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat,
dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah
(kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu
berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang
berbuat kerusakan.” (QS. Al-Qashash:77)

Untuk memberi gambaran bahwa Islam itu agama yang lengkap sebagai dasar sumber
kebudayaan dapatlah dibuktikan bahwa isi Al-Qur’an itu meliputi segala persoalan hidup dan
kehidupan, diantaranya:
1. Dasar-dasar kepercayaan dan ideologi
2. Hikmah dan filsafat
3. Budi pekerti, kesenian, dan kesastraan
4. Sejarah umat dan biografi Nabi-Nabi
5. Undang-undang masyarakat
6. Kenegaraan dan pemerintahan
7. Kemiliteran dan Undang-Undang peperangan
8. Hukum perdata (muamalat)
9. Hukum pidana (jinayat)
10. Undang-undang alam dan tabiat

21
Moh. Shofan, Pendidikan Berparadigma Profetik: Upaya Konstruktif Membongkar Dikotomi Sistem Pendidikan
Islam, (Yogyakarta: IRCiSod bekerjasama dengan UMG Press, 2004), h. 139
Dengan demikian, integrasi antara Islam dan Humaniora semacam ini, sesungguhnya
menyediakan basis filsafat untuk mengkaji kehampaan spiritual yang merupakan produk dunia
perkembangan IPTEK.

PENUTUP
Ilmu-ilmu humaniora ialah sekumpulan ilmu pengetahuan yang memusatkan perhatiannya
pada sisi hasil kreasi kemanusiaan manusia (humanities aspects) secara metafisik ataupun raga,
meliputi kepercayaan, ide-ide, estetika, etika, hukum, bahasa, pengalaman hidup, serta adat-
istiadat. Humaniora bertujuan untuk memajukan manusia sehingga mencapai kemanusiaan yang
sesungguhnya. Bidang Ilmu Humaniora bertugas meneliti, mengkarakterisasi, dan menafsirkan
fenomena budaya manusia dari perspektif ilmiah mono disiplin dari perspektif filologi, ilmu
linguistik dan sastra modern, ilmu filsafat, ilmu teologi, ilmu hukum, ilmu sejarah, dan ilmu
antropologi.
Dalam perspektif ini, yang menjadi pembeda antara pendidikan Islam dengan pendidikan
barat adalah pondasi yang menjadi induknya. Pendidikan barat yang sekuler semata-mata berpijak
pada filsafat. Sedangkan pendidikan Islam menjadikan al-Qur’an sebagai induk dari ilmu
pengetahuan. Manfaat Kajian terhadap ilmu-ilmu humaniora akan membuat seseorang lebih
manusiawi dan berbudaya. Dalam konteks dinamika dunia modern, misi Islam yang utama berarti
harus membebaskan manusia dari kungkungan bermacam aliran pemikiran dan filsafat yang
menganggap manusia tidak mempunyai kemerdekaan dan hidup dalam absunditas. Untuk itulah,
ruang untuk menjadi kreatif itu yang perlu dibangun, ruang untuk berimajinasi melalui ilmu
humaniora. Maka dari itu jelas bahwa Islam memberi dasar yang cukup kepada manusia untuk
hidup berkebudayaan sesuai Q.S. Al-Qashas:77.
Berdasarkan kajian di atas, tampaknya pendekatan monodisipliner tidak dapat diandalkan
untuk memberikan solusi secara holistik atas kompleksitas persoalan yang dihadapi oleh umat
manusia zaman kekinian di berbagai bidang kehidupan. Oleh karena itu, dalam konteks pengkajian
keislaman zaman kekinian, khususnya, tradisi pengkajian Ilmu-Ilmu Humaniora sudah seharusnya
tertantang untuk dapat mengembangkan dirinya dari tradisi pengkajian bercorak monodisipliner
menuju alternatif baru pengkajian keislaman bercorak interdisipliner maupun multidispliner.
DAFTAR RUJUKAN

Abdullah, M. Amin. (2000). Dinamika Islam Kultural: Pemetaan atas Wacana Keislaman
Kontemporer. Bandung: Mizan
Anas, Mohamad. (2009). Telaah Kritis Filsafat Ilmu atas Paradigma Interkoneksitas Ilmu. Tesis,
Yogyakarta: UGM

Hasan, Muhammad Tholhah. (2005). Islam dan Masalah Sumber Daya manusia, Jakarta:
Lantabora Press.
Hasbi Indra. (2005). Pendidikan Islam Melawan Globalisasi, Jakarta: Ridamulia

Hatta. Muhammad. (1979). Pengantar ke Jalan Ilmu dan Pengetahuan, Jakarta: Mutiara
Hidayat, Fahri. (2015). Pengembangan Paradigma Integrasi Ilmu: Harmonisasi Islam dan Sains
dalam Pendidikan. Jurnal Pendidikan Islam, Vol. IV(2)

Kuntowijoyo. (2005). Islam Sebagai Ilmu: Epistemologi, Metodologi, dan Etika dalam Sutrisno,
“Modernisasi Pendidikan Islam Fazlur Rahman: Telaah Epistemologi”, Disertasi,
Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga.
Maksum, Ali., Luluk Yunan Ruhendi. (2004). Paradigma Pendidikan Universal di Era Modern dan
Post-Modern: Mencari “Visi Baru” atas “Realitas Baru” Pendidikan Kita. Yogyakarta:
IrciSoD
Mattulada, A. (1991). Ilmu-ilmu Kemanusiaan (Humaniora) Tantangan, harapan-harapan Dalam
Pembangunan, t.k.p: UNHAS

Mufid, Ahmad Syafi’i. (1996). Penelitian Kualitatif Untuk Penelitian Agama,” dalam Menuju
Peneltian Keagamaan: Dalam Perspektif Penelitian Sosial, ed. Affandi Muhtar, Cirebon:
Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Gunung Jati
Negel, Thomas. (1987). What Does It All Mean? A Very Short Introduction to Philosophy.
Oxford: Oxford University Press.

Purnama, Sigit., Rohinah., Sulistyaningsih., Yuyun Yulianingsih., Iqbal Faza Ahmad. (2021).
Islam dan Ilmu Humaniora. Yogyakarta: CV Multiartha Jatmika Yogyakarta
Rafiek, M. (2010). Teori Sastra Kajian Teori dan Praktik. Bandung: Refika Aditama

Rahim, Husni. (2004). Horizon Baru Pengembangan Pendidikan Islam, Malang: UIN Malang
Press
Satriawan, Iwan. (2002). Al-Qur’an dan Konstitusi Modern. Dalam Media Indonesia, 8 Nopember
2002
Shofan, Moh. (2004). Pendidikan Berparadigma Profetik: Upaya Konstruktif Membongkar
Dikotomi Sistem Pendidikan Islam. Yogyakarta: IRCiSod bekerjasama dengan UMG Press.

Soekanto, Soerjono. (1981). Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: Universitas Indonesia


Sunarja, A.S.J. (1984). Memanusiakan Manusia: Tinjauan Pendidikan Humaniora. Jakarta: BPK
Gunung Mulia

Tampubolon, Ichwansyah. (2019). Islamic Studies dalam Perspektif Ilmu- Ilmu Humaniora. Al
Muaddib: Jurnal Ilmu-Ilmu Sosial dan Keislaman, 4 (4).
Waluyo, Bambang. (2002). Penelitian Hukum dalam Praktek. Jakarta: Sinar Grafika

Anda mungkin juga menyukai