Disusun oleh :
Kelompok III
0
Konsep Integrasi Ilmu dalam Islam
Dalam kajian historis, dikotomi ilmu muncul bersamaan dengan masa Renaisans
di Barat. Berawal dari perlawanan masyarakat intelektual Barat terhadap dominasi gereja
atas sosio-religius dan sosio-intelektual di Eropa. Gereja kala itu melembangkan ajaran-
ajaran Kristen dan menjadikannya sebagai penentuan kebenaran ilmiah. Akhirnya,
temuan-temuan ilmiah yang bertentangan dengan doktrin-doktrin tersebut harus
dibatalkan demi suprensi gereja. Karena tekanan tersebut, para ilmuwan melawan
kebijakan gereja. Mereka mengadakn koalisi dengan raja untuk menumbangkan dominasi
kekuasaan gereja. Pada akhirnya koalisi yang diadakan berhasil, dominasi gereja
tumbang dan kemudian masa Renaisans melahirkan sekulerisasi kemudian dalam
sekulerasi lahirlah dikotomi ilmu penegetahuan. 1
Dikotomi ilmu ke dalam ilmu-ilmu agama dan umum (sekuler) ini juga bisa
menimbulkan problem berkenaan dengan objek-objek ilmu yang dianggap “sah” untuk
sebuah disiplin ilmu. Sains modern telah menentukan bahwa objek-objek ilmu yang sah
adalah “segala sesuatu sejauh ia dapat diobservasi atau diamati oleh indra”. Dengan
demikian, segala objek yang jatuh di luar lingup benda-benda yang dapat di observasi
(the observables) dianggap tidak sah sebagai objek ilmu sehingga dikeluarkan dari
daftarnya.2
Fakta bahwa negara-negara islam secara umum tertinggal dalam bidang sains
memang merupakan ironi sejarah. Tidak ada gunanya memikirkan betapa besar dan
pentingnya kontribusi ilmuwan muslim terhadap peradaban manusia pada abad
pertengahan. Seseorang dapat saja menyebutkan daftar kawasan arab, tetapi juga dari
Bukhara, Khurasan, Andalusia, dan banyak kawasan lain: mereka menulis karya mereka
tidak hanya dalam ilmu agama (al-‘ulum aldiniyyah), tetapi juga berbagai cabang
keilmuwan rasional dan empiris.
1
http:www.majalahgontor.net/index.php?option=com_content&view=article&id=610:dikotomi-ilmu-sejarah-dan-
sikap-islam-terhadapnya&catid=67:dirasah&Itemid=129 di akses pada tanggal 14-05-2013 jam 20:13
2
Dr. Mulyadhi Kartanegara. Intergrasi ilmu sebuah rekonstruksi holistic (Cetakan I, Juli 2005/Jumada Al-Ula 1426 H
Diteritkan oleh Penerbit Arasy PT Mizan Pustaka Anggota IKAPI Jln. Yodkali No.16, Bandung 40124) h.24
1
Terdapat banyak contoh kecurigaan di antara banyak ulama ortodoks terhadap
sains rasional-empiris. Ibrahim Musa (w.1398), seorang ulama Andalusia termuka
misalnya, berksimpulan bahwa rata-rata teolog ortodoks menganggap bahwa hanya ilmu-
ilmu bermanfaat yang dibutuhkan atau berguna untuk praktik keagaman (ibadah). Ilmu-
ilmu lainya tidak bernilai dan hanya menjauhkan orang islam dari jalan yang lurus.
Seorang tokoh yang lebih termuka Ibn Taimiyyah, percaya bahwa’ilm hanya menunjukan
pada pengetahuan yang berasal dari nabi, dia menganggap yang lainnya tidak berguna
atau bukan ilmu walaupun ia mungkin disebut ilmu. 3
Ibn Khaldun merincikan bidang-bidang apa saja yang masuk ke dalam ilmu-ilmu
agama dan aa saja yang masuk ke dalam ilmu-ilmu umum. Termasuk kelompok ilmu-
ilmu agama adalah: (1) ilmu tafsir al-quran dan qira’at, (2) ilmu fiqih dan subdivisinya,
termasuk faraid, (3) ushul fqih dan subdivisinya, debat dan ikhtilaf, (4) ilmu kalam, (5)
penjelasan tentang ayat-ayamutasyabihat dalam al-quran dan sunah, (6) tasawuf (7) ilmu
tab mimpi (tabiral-ruyah). Adapun bidang-bidang yang termasuk ilmu-ilmu rasional
adalah: (1) logika, (2) fisika, (3) metafisika, (4) matematika.4
Di dalam bahasa inggris terdapat Tiga jenis kata dari integritas. Pertama, sebagai
kata kerja, yaitu to Integrate yang berarti mengintegrasikan, menyatupadukan,
menggabungkan, mempersatukan. Kedua, sebagai kata benda, yaitu Integration yang
berarti integrase, pengintegrasian, atau integrity yang berarti ketulusan hati, kejujuran dan
keutuhan. Ketiga, sebagai kata sifat kata ini menunjukan pada kata integral yang
bermakna hitungan integral, bulat, utuh.5 Sedangkan menurut kamus bahasa adalah
pembauran hingga menjadi satu kesatuan yang utuh atau bulat.6
3
Prof. Dr. Nanat Fatah Natsir, M.S., Hendriyanto Attan, S.Psi.I. Strategi pendidikan Upaya memahami wahyu dan
ilmu ( Celeban Timur UH III/548 Yogyakarta 55167) h.4-5
4
Dr. Mulyadhi Kartanegara. Intergrasi ilmu sebuah rekonstruksi holistic (Cetakan I, Juli 2005/Jumada Al-Ula 1426 H
Diteritkan oleh Penerbit Arasy PT Mizan Pustaka Anggota IKAPI Jln. Yodkali No.16, Bandung 40124) h.56
5
John M. Echols dan Hassan Shadily, kamus Inggris Indonesia, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1996) h. 326
6
Kamus besar bahasa Indonesia, pusat bahsa, edisi keempat, Departemen Pendidikan Nasional (Jakarta : Gramedia
Pustama Utama 2008) h.270
2
Ilmu pada hakikatnya berasal dari pengetahuan, namun sudah disusun secara
sistematik dan diuji kebenarannya menurut metode ilmiah dan dinyatakan valid atau
shahih.7
Sedangkan kata ilmu berasal dari bahasa arab yang berarti pengetahuan dan
merupakan lawan kata Jahl yang berarti ketidak tahuan atau kebodohan. Kata ilmu
biasanya disepadakan dengan kata arab lainnya yaitu Ma’rifah (pengetahuan), Fiqh
(pemahaman), Hikmah (kebijaksanaan) dan Syu’ur (perasaan). 8
Dalam teori ilmu (theory of knowledge), satu pembagian yang amat popular untuk
memahami ilmu adalah pembagian menjadi tiga bidang bahsa: ontology, epistemology
dan aksiologi. 9
Dalam dunia islam ilmu bermula dari keinginan untuk memahami wahyu yang
terkandung dalam Al-quran dan bimbingan Nabi Muhammad mengenai wahyu tersebut.
Al-I’lm itu sendiri dikenal sebagai sifat utama Allah SWT. Dalam bentuk yang berbeda
Allah juga disebut al-I’lm dan a’lim, yang berarti yang maha mengetahui dan yang maha
tahu.
Jadi maksud dari integrase ilmu adalah cara pandang tertentu atau model
pendekatan tertentu terhadap ilmu pengetahuan yang bersifat menyatukan. Dan bukan
hanya sekedar menyatukan pengetahuan umum dan agama atau memberikan bekal norma
keagaman. Akan tetapi upaya menyatukan Sunnatullah (hukum alam) dengan al-quran
7
Prof. Dr. H. Abuddin Nata, M.A Islam dan ilmu pengetahuan edisi pertama h.8
8
Ensiklopedia islam, editor bahasa, Ninam Armando, (Ichtiar baru van hoeve, 2005) h.161
9
Zainalabidin bagir, Jarot wahyudi, Afnan anshori. Integrasi ilmu dan agama h.28
10
Prof. Dr. Nanat Fatah Natsir, M.S., Hendriyanto Attan, S.Psi.I. Strategi pendidikan Upaya memahami wahyu dan
ilmu ( Celeban Timur UH III/548 Yogyakarta 55167) h.9
3
yang keduanya merupakan tanda-tanda tuhan. lebih dari itu, integrase yang dimaksud
adalah upaya mempertemukan cara pandang, cara pikir dan bertindak (Ontologis,
Epistemologis dan Aksilogis) Barat dengan Islam.
C. Pengetahuan
Umat islam sejak awal mengakui dua jenis keilmuwan sekaligus., ilmu agama dan
ilmu alam. Kedua jenis ilmu itu dikategorikan sebagai pengetahuan yang ilmiah dan
dikembangkan melalui metode yang ilmiah pula. Hal ini tentu berbeda dengan yang
terjadi di Barat, dimana pengetahuan dibagi dua istilah teknis, yaitu science dan
knowledge. Istilah yang pertama diperuntukan bagi bidang-bidang ilmu fisik atau
empiris, sedangkan istilah kedua diperuntukan bagi bidang-bidang ilmu non fisik seperti
konsep mental dan metafisika. Istilah yang pertama doterjemahkan kedalam bahasa
Indonesia dengan ilmu pengetahuan, sementara istilah kedua diterjemahkan dengan
pengetahuan saja. Dengan kata lain, hanya ilmu yang sifatnya fisik dan empiris saja yang
bisa dikategorikan ilmu, sementara sisanya, seperti ilmu agama, tidak bisa dikategorikan
ilmu atau ilmiah.11
Fenomena seperti itu baru terjadi pada abad modern karna sampai abad
pertengahan, pengetahuan belum dibeda-bedakan kedalam dua istilah teknis diatas, istilah
pengetahuan atau knowledge masih mencangkup semua jenis ilmu pengetahuan. Baru
ketika memasuki abad modern yang ditandakan dengan positifisme, maka pengetahuan
yang terukur secara empiris dikhususkan dengan penyebutan sciencetifik, knowledge atau
science saja. Isilam tentu saja tidak mengenal pemenggalan jaman menjadi abad klasik,
pertengahan dan modern. Karna di islam tidak pernah terajdi tarik ulur yang dahsyat
anatara akal dan iman, atau antara kekuasaan dunia dan agama. Karna dari sejak awal
kelahirannya antara agama, akal dan indra ketiganya berjalin kelindan dengan baik.
Konsenkuensinya, tidak akan ditemukan dalam kazanah pemikiran islam
pergeseran definisi islam seperti yang terjadi di dunia barat. Dari sejak awal sampai
sekarang, ilmu dalam islam mencangkup bidang-bidang fisik dan juga nonfisik. Istilah
yang digunakanpun dari sejak awal tisak berubah yakni ‘ilm. Menurut Wan Mohd Nor
11
Husaini adian, filsafat ilmu perpektif barat dalam islam. h.59
4
Wan Daud, penggunaan istilah ‘ilm Itu sendiri, sangat terpengaruh oleh pandangan dunia
islam (islamic world view).
Dari kata betapa luasnya cukupan ilmu dalam islam, maka sekarang umat islam
menyadari bahwa mendefinisikan ilmu (pengetahuan) secara hardd adalah mustahil. Al-
attas dalam hal ini menjelaskan bahwa ilmu merupakan sesuatu yang tidak terbatas
(limitless) dan karnanya tidak memiliki ciri-ciri spesifik dan perbedaan khusus yang bisa
didefinisikan. Lagipula, al-attas menjelaskan pemahaman mengenai istilah’ilm selaku
diukur oleh pengetahuan seseorang mengenai ilmu dan oleh sesuatu yang jelas baginya.
Seseorang terhadapnya sangat terbatas. Oleh karena itu pasti pemahaman ilmu dari
masing-masing orang akan terbatas.12
Ketika menyadari mendefinisikan ilmu secara hardd adalah mustahil, maka al-
attas mengajukan definisi deskriptif (rasm). Dengan premis bahwa ilmu itu datang dari
allah swt. Dan diperoleh dari jiwa yang kreatif, ia membagai pencapaian dan
pendefinisian ilmu kedalam dua bagian. Pertama, sebagai sesuatu yang berasal dari allah
swt., bisa dikatakan bahwa ilmu itu adalah datangnya (hushul) makna sesuatu atau objek
ilmu kedalam jiwa mencari ilmu. Kedua sebagai sesuatu yang diterima oleh jiwa yang
aktif dan kreatif, ilmu bisa diartikan sebagai datangnya jiwa (husuhul) pada makna
sesuatu atau objek ilmu.
12
Husaini adian, filsafat ilmu perpektif barat dalam islam. h.59
5
1) Landasan Ontologis
Landasan ini berbicara tentang apakah yang sebenarnya diketahui ilmu? Bidang
apakah yang menjadi kajian ilmu? Baik ilmu agama dan ilmu umum. Islam
mempunyai konsep atau gagasan tersendiri yang berbeda dengan barat. Dalam tradisi
islam tidak mengenal faham materialism dan idealism. Yakni hanya mengakui
esistensi materi-empirik dan mengingkari dia metafisi dan wahyu. Justru sebaliknya,
memprioritaskan realitas metafisik dan mensuborditakan realitas fisik.
Menurut al-Farabi (870-950), menurutnya realitas yang ada ini terdiri atas bentuk
sekaligus, wujud-wujud spiritual (al-mawjadat ar-ruhiya) dan wujud-wujud material
(al-mawjadat al-madiyah). Wujud-wujud spiritual sendri merupakan realitas non-
materi, terdiri dari enam tingkat. Tingkat pertama adalah Allah swt sebagai sebab
pertama (as-sabab al-awwal) yang darinya muncul intelek pertama penggrak langit
pertama. Tingkat kedua adalah intelek-intelek terpisah (a-u’qul al-mufariqah) yang
terdiri atas sembilan intelek, dimulai dari intelek pertama penggerak langit pertama
sampai pada intelek kesembilan penggerak planet bulan. Tingkat kedua ini
sepenuhnya berupa malaikat langit. Tingkat ketiga adalah intelek aktif (al-‘aql al-
fa’al) yang bertindak sebagai penghubung antara alam atas dengan alam bawah,
antara realitas sritual dengan realitas material. Tingkat keempat adalah jiwa manusia
(an-nafs al-insaniyah) sedangkan tingat kelima dan enam masing-masing adalah
bentuk (surah) dan materi (hayula). Hayula adalah materi pembentuk benda dan
bersifat non-fisik, sedangkan surah adalah bentuk kongkrit dari haluya. Sedangkan
wujud-wujd material terdiri atas enam tingkat, pertama benda-benda langit, kedua
jasad manusia, ketiga manua, keempat tumbuhan, kelima mineral, keenam unsur-
unsur pembentuk yang terdiri atas empat unsur yaitu udara, api, air, tanah. 13 Dua
bentuk realitas diatas, spiritual dan material, tidak berdiri sendiri melainkan saling
kait dan berhubungan. Dan relitas spiritual merupakan pendahuluan bagi ealitas
material.
13
https://www.scribd.com/doc/186704981/Tugas-Makalah-Integrasi-Ilmu-Dalam-Islam diakses pukul 25
Maret 2019 pukul 16.00 WIB
6
Hal ini senada dengan al-Ghazali (1058-1111) menurutnya realits wujud ini terdiri
dari dua bagian yaitu alam tampak mata atau alam indera (‘alam as-shahadah) dana
lam tidak kasat mata ataualm supernatural (‘alam al-malakut).14
2) Landasan Epistemologi
Metode Bayani adalah metode pemikiran yang didasarkan atas otoritas teks (nash)
Secara langsung atau tidak langsung. Secara langsung artinya memahami teks sebagai
pengetahuan jadi dan langsung mengaplikasikan tanpa perlu pemikiran, secara tidak
langsung berarti memahami teks sebagai pengetahuan mentah sehingga perlu tafsir
dan penalaran. Meski demikian, hal ini tidak berarti akal atau rasio bisa bebas
menentukan makna dan maksudnya, tetapi harus bersandar pada teks. Dan sumber
pengetahuan bayani adalah nash yaitu al-qur’an dan Hadis.
Metode Barhani adalah suatu metode berpikir yang berdasarkan diri pada rasio.
Metode ini tidak berbeda jauh dengan Rasionalisme Barat, hanya saja rasionalisme
Islam tidak lepas dari wahyu. Karena itu, dalam sejarah pemikiran Islam, tidak ada
yang serasional apapun yang menafikan teks suci salah satu pengangan berpikir.
Sedangkan Metode Irfani adalah sebuah metode yang tidak didasarkan atas teks
melainkan atas kashf. Tersingkapnya rahasia-rahasia realitas oleh tuhan. Karena itu,
pengetahuan Irfan tidak diperoleh berdasarkan analisa teks tetapi dengan olah nurani,
dimana dengan kesucian hati, diharapkan tuhan akan melimpahkan pengetahuan
langsung kepadanya. Yaitu masuk dalam pikiran, dikonsep kemudian dikemukakan
kepada orang lain secara logis. Secara umum, pengetahauan Irfan tidak diperoleh
melalui Tiga tahapan, tahap pertama adalah persiapan. Seseorang harus menempuh
jenjang-jenjang kehidupan spiritual seperti Taubat, Waru’. Zuhud, Fajar, Tawakkal
dan Rida. Tahap kedua Penerimaan. Seseorang akan mendapatkan realitas kesadaran
dan realitas yang disadari tersebut keduanya bukan sesuatu yang berbeda tetapi
14
Ibid., h. 235
7
merupakan eksistensi yang sama. Dan tahap ketiga adalah pengungkapan. Yakni
pengalaman mistik diinterprestasikan dan diungkapkan kepada orang lain lewat
ucapan atau tulisan . Namun, pengetahuan Irfan bukan termasuk pada tatanan
konsepsi dan representasi tetapi terkait dengan kehadiran tahun dalam diri dan
kehadiran diri dalam tahun, sehingga tidak bisa dikomunikasikan, maka tidak semua
pengalaman ini bisa diungkapkan.
3) Landasan Aksiologis
Pertama, sebagai sarana mengenal Tuhan. Menurut ibn Rusd, sesuatu bisa
bermaujud ( sebagai wujud ) jika memenuhi empat syarat yaitu : adanya subjek yang
paling dekat, sifatnya, adanya sebab pendorong atau penggerak dan tidak adanya
sebab-sebab yang menghalanginya. Kedua, sebagai upaya pengembangan potensi
tertinggi manusia. Menurut al-Farabi, tujuan puncak dari eksistensi manusia adalah
mencapai kebahagiaan tertinggi (As-sa’adah al -quswah) yang oleh al-Farabi
disamakan dengan kebaikan mutlak yakni tuhan, karena dia adalah tujuan akhir yang
tidak ada tujuan akhir yang bisa dicari selain dia. al-Farabi menyatakan bahwa
kebahagiaan tertinggi, bertindak dan menyatu dengan tuhan, hanya bisa terjadi jika
seseorang mampu mencapai kebahagiaan di dunia. Dalam pandangan al-Farabi, jiwa
ini tidak mati, dan tingkat kebahagiaan di kehidupan kelak tergantung pada tingkat
kesehatan jiwa yang bersangkutan dalam mengarungi kehidupan di dunia. Ketiga,
tercapainya kehidupan yang lebih baik di dunia dan akhirat.
Menurut al-Ghazali tujuan dan aplikasi dari sebuah keilmuan harus mengacu pada
kemanfaatannya di dunia dan akhirat. Karena itulah dia mambagi ilmu-ilmu dalam
lima hierarki hukum. Pertama, kategori Fardu ‘ain, ilmu-ilmu yang harus dimiliki
8
oleh setiap orang Islam, mengacu pada ilmu-ilmu yang mengarah pada jalan menuju
keselamatan hidup sesudah mati. Kedua, kategori Fardu kifayah segala ilmu upaya
penegakan urusan duniawi seperti fiqh dan kodokteran. Ketiga, kategori ilmu fadila
( mengandung keutamaan ) seperti spesialisasi aritmatika. Keempat, kategori ilmu
netral. Seperti geometri, astronomi dan musik. Kelima, kategori ilmu tercela
(madhmumah) seperti ilmu sihir dan jimat.
Dalam pandangan Islam, posisi ilmu menempati tingkat yang sangat tinggi,
karena itu tidaklah heran jika banyak nash baik Al-qur’an dan Hadis yang
mengajurkan kepada manusia untuk menuntut ilmu. Diantaranya adalah :
9
jika ilmu lepas dari agama, bagaimana jika kloning diterapkan pada manusia,
bagaimana jika peledakan nuklir dibenarkan dengan alasan uji coba, walaupun hal itu
akan semakin memajukan ilmu pengetahuan, padahal kita tahu bahwa hal itu jelas
melanggar nilai-nilai kemanusiaan yang tentu selalu dijaga oleh agama manapun.
Sejarah membuktikan bahwa pemisahan ilmu pengetahuan ( sains ) dari agama
( keimanan ) telah menyebabkan kerusakan.
Pembagian adanya ilmu agama dan ilmu umum itu merupakan hasil kesimpulan
manusia yang mengidentifikasih ilmu berdasarkan sumber objek kajian jika obyek
Ontologis Wahyu dan Hadis maka yang dihasilkan adalah ilmu-ilmu agama seperti
Tafsir, Hadis, Fiqh. Jika obyek Ontologisnya alam jagat raya seperti langit, bumi,
matahari bulan, tumbuh-tumbuhan maka ilmu yang dihasilkan adalah ilmu umum
( alam ) seperti Fisika, Biologi, Kimia dan lain-lainnya .
KESIMPULAN
Dalam pandangan Islam tidak ada ilmu agama dan ilmu umum, yang ada hanyalah
ilmu dan itu berasal dari Allah SWT. Ilmu agama dan ilmu umum merupakan ayat-
ayat Allah SWT, jadi tidak ada dikotomi antara keduanya.
10
Beberapa konsep integrasi ilmu dalam islam yaitu :
2. Semua ilmu pengetahuan yang diajarkan pada anak didik harus sudah ersih dari
nilai-nilai sekuler. Cara yang dapat ditempuhnya adalah dengan memastikan
semua ilmu pengetahuan yang diajarkan terbimbing oleh ilmu syariat islam.
DAFTAR PUSTAKA
11
Dr. Mulyadhi Kartanegara. Intergrasi ilmu sebuah rekonstruksi holistic (Cetakan I,
Juli 2005/Jumada Al-Ula 1426 H Diteritkan oleh Penerbit Arasy PT Mizan Pustaka
Anggota IKAPI Jln. Yodkali No.16, Bandung 40124)
https://www.scribd.com/doc/186704981/Tugas-Makalah-Integrasi-Ilmu-Dalam-Islam
di akses tanggal 25 Maret 2019 pukul 16.00 WIB
Prof. Dr. H. Abuddin Nata, M.A Islam dan ilmu pengetahuan edisi pertama
Zainalabidin bagir, Jarot wahyudi, Afnan anshori. Integrasi ilmu dan agama
12