Anda di halaman 1dari 5

Jamiat Khair : Bentuk Perjuangan

Pendidikan Orang-Orang Islam di Batavia


Melawan Kolonial
Yayasan ini kemudian mendirikan sekolah-sekolah
madrasah yang tidak melulu mengajarkan hal-hal yang
berkaitan dengan agama saja. Kurikulum saat itu meliputi
berbagai subjek: berhitung, sejarah (terutama sejarah
Islam), ilmu bumi, bahasa Melayu, bahasa Arab, dan bahasa
Inggris.
Senin, 13 Februari 2017 | Komunitas NuuN

Dahulu, dari tempat ini tersebut orang-orang besar dari kalangan umat Islam. Kiai Haji Ahmad
Dahlan adalah seorang di antaranya.

Pada tahun 1901, orang-orang keturunan Arab di Batavia mendirikan yayasan Jamiat Khair. Para
pendirinya berasal dari kalangan keluarga Bin Shahab dan Bin Yahya. Dalam pandangan Husain
Haikal pada disertasinya tahun 1986, “Indonesia-Arab dalam Pergerakan Kemerdekaan
Indonesia (1900-1942)”, halaman 145, yang merujuk kepada karya Abu Bakar Atjeh,
“Kebangkitan Dunia Baru Islam di Indonesia” pada buku Dunia Baru Islam, 1967 (dieditori oleh
Stoddard), halaman 319 dan 228, Tionghoa Hwee Koan sedikit banyak menginspirasi dunia
peranakan Arab di Indonesia ini.

Yayasan ini selain diperuntukkan bagi orang-orang keturunan Arab juga terbuka bagi kalangan
pribumi. Tercatat, Hasan Djajadningrat—saudara dari A Djajadiningrat, seorang pangeran dari
Pandeglang, Serang, yang pernah menjadi bupati di SerangdanBataviajuga anggota Volksraad—
menjadi anggota nomor 723. Kiai Haji Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah, pernah menjadi
anggota nomor 770 (Haikal, 1986: 146).

Yayasan ini kemudian mendirikan sekolah-sekolah madrasah yang tidak melulu mengajarkan
hal-hal yang berkaitan dengan agama saja. Kurikulum saat itu meliputi berbagai subjek:
berhitung, sejarah (terutama sejarah Islam), ilmu bumi, bahasa Melayu, bahasa Arab, dan bahasa
Inggris.

Pengantar pengajaran menggunakan bahasa Melayu karena banyak anak pribumi bersekolah di
tempat itu, begitu pula orang-orang Arab turunan yang dalam kesehariannya menggunakan
bahasa Melayu, bukan bahasa Arab (Haikal, 1986: 150—151). Haji Muhammad Mansyur,
seorang guru dari Padang yang dikenal dengan kemampuannya mengajar menggunakan bahasa
Melayu, diundang mengajar disana demi menambah mutu pendidikan (Haikal, 1986: 151).
Pengurus yayasan itu juga membuat pendidikan nonformal lewat kegiatan majlas. Pada kegiatan
itu, mereka membicarakan bermacam artikel dari terbitan-terbitan al-Urwatul Wustqa dan al-
Manar serta beragam bacaan dari luar negeri. “Lewat inilah KH A Dahlan mengenal lebih dalam
berbagai bacaan pemurnian Islam (sic),” tulis Haikal pada halaman 151, merujuk kepada tulisan
Abu Bakar Atjeh, “Kebangkitan Dunia Baru Islam di Indonesia” (Stoddard, 1967: 306).

Rapat tahunan Jamiat Khair pada April 1911 memutuskan untuk mendatangkan para guru dari
luar negeri. Terbilang di antaranya adalah al-Hasyimi, seorang kelahiran Tunisia yang pernah
mengangkat senjata terhadap penjajah Prancis di sana. Oktober 1911, tambahan guru baru dari
luar negeri berdatangan: Syekh Ahmad Surkati—guru dari Prof Rasjidi, menteri agama pertama
dan guru besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia—Syekh Muhammad Thaib dari Maroko,
dan Syekh Abdul Hamid dari Makkah (Haikal, 1986: 153).

Pengaruh gerakan Jamiat Khair tidak hanya terasa di Batavia dan sekitarnya. Hubungan kaum
Arab-Indonesia dengan Arab-Singapura relatif akrab. Maka gagasan Jamiat Khair mengalir juga
ke negeri itu. Seorang turunan Arab hartawan di sana, Syekh Muhammad al-Kalali, bekerja sama
dengan Syekh Jalaluddin Thaher, seorang Minang, menerbitkan majalah al-Imam (Haikal,
1986:167—168).

Jamiat Khair melalui anggotanya, Sayid Muhammad bin Aqil dan Sayid Abdullah Alwi Alatas,
membantu pendirian perseroan Setia Oesaha yang dipimpin oleh Hadji Oemar Said
Tjokroaminoto. Haikal mencatat, perusahaan tersebut kemudian menerbitkan Oetoesan Hindia,
majalah yang dikemudikan Pak Tjokro dalam menaikkan kesadaran kaum Muslim di Indonesia
saat itu.

Deliar Noer dalam buku Gerakan Modern Islam di Indonesia: 1900-1942, terbitan tahun 1980
(cetakan keenam 1996), halaman 104—105, menyimpulkan bahwa pendirian yayasan Jamiat
Khair dan unit-unit pendidikannya didorong oleh pertimbangan-pertimbangan berikut.

1. Pertimbangan praktis, pencerminan dari keengganan para pendirinya untuk tetap


tertinggal dari kemajuan yang dicapai oleh orang-orang Barat, yaitu orang-orang
Belanda.
2. Juga inspirasi akan prestasi yang dicapai oleh orang-orang Cina yang telah dapat berhasil
menegakkan sebuah organisasi sosial di kalangan mereka saat itu.
3. Usaha yayasan Jamiat Khair juga sebuah usaha orang-orang peranakan Arab terhadap
Belanda yang dirasakan lebih menganakemaskan orang-orang Cina dibandingkan dengan
perhatian terhadap masyarakat Arab atau Muslim.

Hingga hari ini, Jamiat Khair telah meluluskan banyak pemuda. Banyak dari mereka
mengembangkan sekolah dan sistem pendidikan serupa Jamiat Khair di beberapa wilayah
Indonesia.
 
Sumber foto:

https://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/4/4e/Jamiat_kheir_dulu.jpg
REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Alwi Shahab

Mendatangi Pekojan berdekatan dengan China Town di Glodok, Jakarta Barat, saya mendapati makin
menciutnya jumlah keturunan Arab di kampung ini. Padahal, sejak abad ke-19, pemerintah kolonial
menjadikan Pekojan sebagai kampung Arab.

Bila pada awal 1950-an, sekitar 90 persen penghuninya adalah warga Arab, keadaannya kini berbalik.
Mereka tinggal sekitar 10 persen, bahkan kemungkinan terus berkurang. Selebihnya, sebagian besar
warga Cina.

Meski begitu, peninggalan-peninggalannya masih bisa kita jumpai, seperti masjid dan gedung-gedung
tua bergaya Moor. Kita juga masih mendapati rumah bekas tempat tinggal Kapiten Arab.

Sejarawan Sagimun MD dalam buku Jakarta dari Tepian Air ke Kota Proklamasi menyebutkan, di Pekojan
pada 1901 berdiri organisasi dan perkumpulan Jamiatul Kheir. Perkumpulan ini kemudian melahirkan
tokoh-tokoh dan pemimpin-pemimpin pergerakan Islam yang terkenal, seperti KH Ahmad Dachlan
(Muhammadiyah), HOS Tjokroaminoto (Sarikat Islam), dan H Agus Salim.

Dianggap Berbahaya oleh Belanda

Melalui Jamiatul Kheir, para pemimpin gerakan Islam ini punya hubungan yang luas dengan
negara-negara Islam terkenal maju, seperti Mesir dan Turki. Mereka membaca majalah-majalah
dan surat-surat kabar yang membangkitkan semangat kebangsaan dan kemerdekaan pada rakyat
Indonesia.

Dalam buku yang diterbitkan Dinas Museum dan Sejarah Pemda DKI terbitan 1988, Sagimun
MD menyebutkan, Jamiatul Kheir dianggap berbahaya oleh pemerintah kolonial Belanda karena
pengaruhnya dapat membangkitkan semangat kebangsaan dan semangat jihad fi sabilillah di
kalangan kaum Muslimin Indonesia. Tak heran kalau pemerintah kolonial mengawasi dengan
ketat perkumpulan ini.

Sengaja menunda-nunda permohonan pengesahannya dan baru diberikan pada 1905 dengan
catatan: "Tidak boleh membuka cabang di luar Kota Batavia". Meski kenyataannya perkumpulan
ini membuka pendidikan di berbagai daerah dengan nama lain.

Keberadaan Jamiatul Kheir merupakan wujud perlawanan terhadap pendidikan di sekolah-


sekolah Belanda yang tidak dapat dipisahkan dengan Kristenisasi.

Lahir dari Rahim Kesultanan Ottoman

Keberadaan Jamiatul Kheir tidak dapat dipisahkan dari pendirinya, seorang wartawan Sayid Ali
bin Ahmad Shahab, kelahiran Pekojan, pada 1282 Hijriyah. Dalam usia 29 tahun, dia
mengadakan lawatan ke Turki dan Mesir, diteruskan ibadah haji. Di kedua negara Islam ini,
terutama ketika berada di Turki, hatinya tergerak melihat sistem pendidikan di Kesultanan
Ottoman.

Para murid sudah duduk di bangku dan mereka memakai celana. Padahal kala itu, siswa-siswa di
sekolah Islam duduk di lantai dan masih memakai kain. Ketika 1905 (1323 H) Belanda
memberikan izin berdirinya Jamiatul Kheir, pada 17 Juli 1905 Sayid Ali bin Ahmad Shahab
menjadi ketua umumnya.

Sebagai perlawanan terhadap penjajah, salah satu kurikulum di Jamiatul Kheir tidak diajarkan
bahasa Belanda, tapi Inggris.

Pada 1912, Jamiatul Kheir turut ambil bagian dalam membantu para pejuang Libya melawan
penjajah Italia di bawah pimpinan Omar Mochtar. Jamiat Kheir turut aktif dalam aksi boikot
produk Italia di Indonesia.

Solichin Salam, penulis Ali Ahmad Shahab Pejuang yang Terlupakan, menuturkan, Sayid Ali
Ahmad Shahab pernah mengusahakan melalui Sultan Abdul Hamid dari Turki dan Imam Yahya
dari Yaman untuk memasukkan senjata ke Indonesia guna membantu perjuangan rakyat
melawan Belanda.

Di samping itu, dia juga ikut memberi dukungan bagi diadakannya suatu pemberontakan di
Hadramaut (kini bagian dari Yaman) melawan Inggris. Di samping menjadi koresponden Al-
Muayyad di Kairo, Mesir dan koresponden Samarat al-Funun di kota yang sama, tulisannya juga
sering dimuat dalam surat kabar Utusan Hindia.

Banyak Anggota Syarikat Islam Jadi Anggota

Keberadaan Jamiatul Kheir tentu saja membuat Belanda geram. Dengan terang-terangan
orientalis Belanda, Snouck Hurgronje, menurut Mr Hamid Algadri, meminta agar pemerintah
waspada terhadap Ali bin Ahmad Shahab, yang dituduh sebagai salah satu tokoh penggeraknya.

Sedangkan, menurut Solichin Salam, karena tulisan-tulisannya di berbagai surat kabar dan
hubungannya dengan Konsul Turki dan Jepang di Jakarta, dia pun dicurigai dan dituduh terlibat
dalam pemberontakan melawan Belanda.

Alhasil, ia sering diinterogasi dan ditahan. Itulah sebabnya pemerintah kolonial bertindak dan
mengadakan konspirasi sehingga seluruh harta bendanya berupa tanah ataupun gedung di daerah
Jakarta (seperti di kawasan Imam Bonjol, Menteng sampai Setiabudi dan Kebon Melati seluas
dua ribu hektare) diambil dengan jual paksa melalui kasirnya seorang Armenia, yang menjadi
kaki tangan Belanda.

Robert van Niel dalam The Emergence of the Modern Indonesian Elite berpendapat, Jamiatul
Kheir adalah organisasi politik yang berjubah pendidikan dan sosial keagamaan. Dan, banyak
anggota Syarikat Islam pada saat itu menjadi anggotanya.
Kedatangan Ulama-Ulama Besar

Dalam hubungannya untuk mengadakan pembaruan dan reformasi, terutama dalam bidang
pendidikan, Ali Ahmad Shahab telah memasukkan guru-guru modernis pengikut Sayyid
Jamaluddin al-Afghani ke Indonesia. Di antaranya al-Hasyimi yang didatangkan dari Tunisia,
Shekh Ahmad Syurkati dari Sudan.

Pendiri Jamiatul Kheir yang meninggal di Jakarta pada Juli 1945 itu boleh dikata berhasil dalam
mendidik putra-putrinya.

Seperti Muhammad Anis menjadi redaktur surat kabar berbahasa Arab Hadramaut di Surabaya;
M Dzya Shahab, kepala Jamiat Kheir (1935-1945), wartawan Ar-Rafik di Timur Tengah (1947),
Kepala Bagian Kebudayaan Rabitah Alam Islami (Kongres Islam Sedunia) di Makkah dan
bersama KH Abdullah Bin Nuh, pengarang Masuknya Islam di Indonesia.

Adiknya, M Asad Shahab, pada masa revolusi mendirikan Arabian Press Board dan menyiarkan
berita-berita revolusi Indonesia di Timur Tengah. Putranya, AH Shahab, menjadi kolumnis di
berbagai media di Tanah Air dan Timur Tengah.

Anda mungkin juga menyukai