Anda di halaman 1dari 2

Renungan Pemimpin dan Bawahannya

18 Okt 2013 - Rubrik: Citizen Journalism - Dibaca: 369 kali

Share on facebookShare on emailShare on twitterShare on printMore Sharing Services2

Oleh: RuliTrisanti

Mendengar curahan seorang kawan. Agak bingung juga menanggapinya. Salah-salah saya malah ikut nimbrung dengan
rumpian-rumpiannya terhadap si objek. Siapakah objeknya? Inilah yang membuat saya berpikir, jangan-jangan sayapun
sedang dilanda masalah yang sama? Karena yang jadi objek curhat kawan saya adalah pemimpinnya.

Tiba-tiba kawan saya bertanya, “Bagaimana watak Akhi fulan?” Asumsinya, karena saya kenal dengan akhi Fulan.
Mendengar pertanyaan itu, saya pun bingung. Saya kira semua perbincangan akan berakhir kalau saya hanya menjawab
dengan senyum dan geleng kepala. Ternyata kawan saya malah menjawab pertanyaannya sendiri. “Kalau aku lihat, ya,
ukhti, dia orangnya otoriter, ceplas-ceplos, sak karepe dewe.”

Tidak mungkin saya mengiyakan ucapannya itu, karena sama saja saya seperti meniup bara dalam sekam. Lagipula saya
tidak ingin terlibat terlalu jauh dengan curhat yang ujung-ujungnya malah ngerumpi. Dengan tawa renyah untuk penetral
suasana, saya jawab, “Hehe... tiap orang kan punya karakter masing-masing, ukhti... Santai aja... tetap semangat, ya...”

Saya tidak tahu apakah masalah yang ditimpanya terlalu berat atau bagaimana, kawan saya melanjutkan, “Tapi, ukhti,
kalau dia memang makhluk sosial tentunya dia juga harus bisa mengerti kondisi orang lain... Sikap orang boleh beda, tapi
paling nggak, ya, ngerti sikap orang lain juga, kan..?”
Mendengar ucapannya yang ini, sayapun berpikir apakah saya pernah berpikir sama soal pemimpin saya? Karena
bagaimanapun interaksi antara bawahan dengan pemimpin pasti akan menimbulkan masalah. Pasti ada ''benturan''. Bisa-
bisa ketaatan masing-masing jadi taruhannya. Ya, kadang sayapun berpikir pemimpin saya kurang ini, kurang itu, terlalu
begini, terlalu begitu. Yang pasti, “benturan” itu ada karena saya merasa ada yang tidak sesuai. Apakah tidak sesuai
dengan saya pribadi atau dengan yang lain.

Agak lama saya diam. Lalu saya berusaha agar kawan saya tidak lebih tersulut lagi. Saya katakan padanya, ”Gak papa,
ukhti, yang penting tiap amanah yang kita kerjakan semua karena Allah. Dimaksimalkan samapai batas kemampuan kita.
Insyaallah siapapun pemimpinnya bisa percaya dengan sendiri.” Kawan saya masih kuat dengan argumen-argumennya
yang jelas memiringkan posisi sang pemimpin. Jelas saja, tiap orang pasti memiliki idealisme sendiri-sendiri soal pemimpin.
Asalkan tidak sampai melanggar hukum saja.

Nasihat bagi Saya karena Saya Bawahan


Berakhir perbincangan kami, saya masih merenung, apakah perbincangan kami tadi ghibah? Yang jelas, kawan saya
mengeluh soal pemimpin. Membahas dari keburukan yang kecil sampai yang dia anggap tidak bisa ditolerir (walaupun
hanya masalah sikap), dan saya... mendengarkan ia bercerita sampai seolah objeknya ada di depan mata. Semestinya ada
sebuah hikmah, setidaknya renungan karena saya pun seorang bawahan di institusi tempat saya beraktivitas.

Nasihat ini datang dari salah seorang sahabat Rasulullah, Abu Ayyub Al-Anshari. Beliau adalah seorang pejuang di waktu
senang ataupun susah. Saya kagum dengan semboyan beliau. “Berjuanglah kalian baik di waktu lapang, maupun di waktu
sempit.” Ada yang tahu itu potongan surat ke berapa dalam Al Qur'an?. Apapun kondisi yang menimpa, beliau selalu
mengikuti peperangan untuk meraih jihad. Hanya satu kali beliau absen dalam peperangan. Suatu hari, khalifah
mengangkat seorang komandan dari pemuda muslimin. Abu Ayyub tidak puas dengan kepemimpinannya. Sikapnya ini
sangat membuat Abu Ayyub menyesal. Beliau berkata, “Tak jadi soal lagi bagiku, siapa orang yang jadi atasanku!” Setelah
itu Abu Ayyub tidak pernah lagi absen dalam barisan tentara muslimin.

Itulah kiranya sikap seorang pejuang sejati. Keloyalan yang ia berikan bukanlah semata-mata karena siapakah yang
menjadi pemimpin, melainkan pemahamannya yang mengantar pada keimanan yang kuat. Mungkin suatu hal yang wajar
ketika saya mengeluh, “Kenapa amanah ini sangat berat, padahal sayapun punya urusan lain yang harus terselesaikan?”
Tetapi saat saya baca sebua ayat, “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul
(Muhammad) dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanat-amanat yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu
mengetahui.” (QS. Al Anfal:27), malu sendiri rasanya. Mestinya saya menyadari bahwa amanah ini bukan dari pemimpin,
melainkan dari Allah. Pemimpin hanya perantara amanah itu. Yakinlah kalau saya pasti mampu melewatinya. Jangan lupa
Allah pun punya kriteria soal orang yang beriman, yakni orang yang menjalankan amanahnya (QS. Al Mu'minun:8).

Menyikapi sikap pemimpin, Rasulullah bersabda, “Siapa saja membenci sesuatu dari amirnya, hendaklah ia tetap
bersabar...” (HR. Muslim). Beliau juga bersabda, “Sebaik-baiknya pemimpin kalian ialah mereka yang kalian cintai dan
merekapun mencintai kalian, mereka mendoakan kalian dan kalian pun mendoakan mereka. Seburuk-buruknya pemimpin
kalian ialah mereka yang kalian benci dan mereka pun membenci kalian; kalian melaknat mereka dan mereka pun
melaknat kalian.” Ditanyakan kepada Rasulullah, “Wahai Rasulullah, tidakkah kita perangi saja mereka? Beliau menjawab,
“jangan, selama mereka masih menegakkan shalat (hukum Islam) di tengah-tengah kamu sekalian,” (HR. Muslim dari 'Auf
bin Malik)

Dari hadits di atas, saya memahami bahwa pasti ada sosok pemimpin yang baik dan ada juga yang sebaliknya. Yang
menjengkelkan, yang kurang pintar, yang kurang bijak dan mungkin menurut pandangan manusiawi kurang semuanya.
Namun, ketika dia masih menjalankan hukum Islam, saya sebagai bawahan harus tetap menaatinya. Jadi, selagi setiap
amanah yang dia berikan masih pada koridor hukum Islam, saya pun harus qona'ah terhadap amanah itu. Harus selalu
saya ingat, bentuk ketaatan saya pada pemimpin adalah wujud ketaatan saya pada hukum Islam.

Renungan ketika Suatu Saat Saya jadi Pemimpin


Menjadi seorang pemimpin...

Hmm... bukan suatu yang mudah. Tetapi, pasti tiap manusia mampu melewatinya. Bukankah memang tiap diri kita adalah
seorang pemimpin? Minimal pemimpin bagi diri sendiri. Menjadi seorang pemimpin juga bentuk amanah dari Allah dan
sebaik-baiknya pemimpin adalah pemimpin yang bersikap adil.

Nasihat untuk kita semua yang ada dalam sebuah kelompok


“Sesungguhnya Allah mencintai orang yang berperang di jalanNya dalam barisan yang teratur, mereka seakan-akan seperti
suatu bangunan yang tersusun kokoh.” (QS. As Shaf: 4)

Mari... pemimpin dan bawahan bekerja sama saling menguatkan! Apa lagi kita yang ada dalam kelompok Amar ma'ruf nahi
munkar. ^__^

Anda mungkin juga menyukai