2. Kemampuan bereksistensi:
Selain memiliki kemampuan menyadari diri, manusia juga memiliki kemampuan
bereksistensi. Kemampuan bereksistensi adalah kemampuan menerobos dan
mengatasi batas-batas yang membelenggu dirinya. Kemampuan menerobos ini bukan
saja yang berkaitan dengan ruang, melainkan juga dengan waktu. Dengan kata lain,
manusia tidak terbelenggu dengan tempat atau ruang ini (di sini) dan waktu ini
(sekarang), tetapi dapat menembus ke sana, ke masa depan, atau ke masa lampau.
Adanya kemampuan bereksistensi yang dimiliki oleh manusia tentu saja terdapat
unsur kebebasan pada manusia. Jadi, adanya manusia bukan ber-ada seperti hewan
di dalam kandang dan tumbuh-tumbuhan di dalam kebun, melainkan meng-ada di
muka bumi (Drijarkara, 1962:61-63). Jika seandainya pada diri manusia itu tidak
terdapat kebebasan atau kemampuan bereksistensi, manusia tidak lebih dari hanya
sekedar esensi belaka, artinya ada hanya sekedar ber-ada dan tidak pernah mengada atau bereksistensi. Kemampuan bereksistensi perlu dibina melalui pendidikan.
Peserta didik perlu diajar agar belajar dari pengalamannya, belajar mengantisipasi
suatu keadaan dan peristiwa, belajar melihat prospek masa depan dari sesuatu, serta
mengembangkan daya imajinasi kreatif sejak kanak-kanak.
3. Kata hati (Gewetan atau conscience yang artinya pengertian yang ikut serta):
Kata hati juga sering disebut dengan istilah hati nurani, lubuk hati, suara hati, pelita
hati, dsb. Manusia memiliki pengertian yang menyertai tentang apa yang akan, yang
sedang, dan yang telah dibuatnya, bahkan mengerti juga akibatnya bagi manusia
sebagai manusia. Pelita hati atau hati nurani menunjukkan bahwa kata hati itu adalah
kemampuan pada diri manusia yang memberikan penerangan tentang baik buruk
perbuatannya sebagai manusia. Orang yang tidak memiliki pertimbangan dan
kemampuan untuk mengambil keputusan tentang baik dan benar, buruk dan salah,
ataupun kemampuan dalam mengambil keputusan tersebut hanya dari sudut pandang
tertentu (misalnya sudut kepentingan diri) dikatakan bahwa kata hatinya tidak cukup
tajam. Jadi, kriteria baik-benar, buruk-salah harus dikaitkan dengan baik-benar atau
buruk-salah bagi manusia sebagai manusia. Dapat disimpulkan bahwa kata hati adalah
kemampuan membuat keputusan tentang yang baik-benar dan yang buruk-salah bagi
manusia sebagai manusia. Dalam kaitannya dengan moral (perbuatan), kata hati
merupakan petunjuk bagi moral/perbuatan. Usaha untuk mengubah kata hati yang
tumpul menjadi kata hati yang tajam disebut pendidikan kata hati (gewetan forming).
Realisasinya dapat ditempuh dengan elatih akal kecerdasan dan kepekaan emosi.
Tujuannya agar orang memiliki keberanian moral (berbuat) yang didasari oleh kata
hati yang tajam.
4. Tanggung jawab:
Tanggung jawab merupakan sifat dari manusia dimana memiliki kesediaaan untuk
menanggung segenap akibat dari perbuatan yang menuntut jawab. Wujud bertanggung
jawab bermacam-macam diantaranya, tanggung jawab kepada diri sendiri dimana
tanggung jawab pada diri sendiri ini berarti menanggung tuntutan kata hati,
bertanggung jawab kepada masyarakat yang berarti menanggung tuntutan normanorma social dimana bentuk tuntutannya berupa sanksi-sanksi sosial seperti
cemoohan masyarakat, hukuman penjara dan lain-lain. Selain itu, bertanggung jawab
kepada Tuhan yang berarti menanggung tuntutan norma-norma agama, misalnya
perasaan berdosa dan terkutuk. Betapa eratnya hubungan antara kata hati, moral, dan
tanggung jawab. Kata hati memberi pedoman, moral melakukan, dan tanggung jawab
merupakan kesediaan menerima konsekuensi dari perbuatan. Dengan demikian,
tanggung jawab dapat diartikan sebagai keberanian untuk menentukan bahwa sesuatu
perbuatan sesuai dengan tuntutan kodrat manusia. Dengan demikian, terlihat betapa
pentingnya pendidikan moral diberikan pada peserta didik dalam
menumbuhkembangkan rasa tanggung jawab pada setiap peserta didik.
5. Rasa Kebebasan:
Merdeka adalah rasa bebas (tidak merasa terikat oleh sesuatu), tetapi sesuai dengan
tuntutan kodrat manusia. Dalam pernyataan ini ada dua hal yang kelihatannya saling
bertentangan yaitu rasa bebas dan sesuai dengan tuntutan kodrat manusia yang
berarti ada ikatan.Kemerdekaan dalam arti yang sebenanrya memang berlangsung
dalam keterikatan. Artinya, bebas berbuat sepanjang tidak bertentangan dengan
tuntutan kodrat manusia. Pernyataan tersebut menunjukkan bahwa merdeka tidak
sama dengan berbuat bebas tanpa ikatan. Perbuatan bebas membabibuta tanpa
memperhatikan petunjuk kata hati, sebenarnya hanya merupakan kebebasan semu.
Sebab hanya kelihatannya bebas, tetapi sebenarnya justru tidak bebas, karena
perbuatan seperti itu segera disusul dengan sanksi-sanksinya. Di sini terlihat bahwa
kemerdekaan berkaitan erat dengan kata hati dan moral. Seseorang mengalami rasa
merdeka apabila segenap perbuatannya (moralnya) sesuai dengan apa yang dikatakan
oleh kata hatinya yaitu kata hati yang sesuai dengan tuntutan kodrat manusia.
Implikasi pedagogisnya adalah sama dengan pendidikan moral yaitu mengusahakan
agar peserta didik dibiasakan menginternalisasikan nilai-nilai, aturan-aturan ke dalam
dirinya, sehingga dirasakan sebagai miliknya. Dengan demikian aturan-aturan itu
tidak lagi dirasakan sebagai sesuatu yang merintangi gerak hidupnya.
6. Kewajiban dan Hak:
Kewajiban dan hak adalah dua macam gejala yang timbul sebagai manifestasi dari
manusia sebagai makhluk sosial. Jika seseorang mempunyai hak untuk menuntut
sesuatu, tentu ada pihak lain yang berkewajiban untuk memenuhi hak tersebut.
Selanjutnya kewajiban ada karena ada pihak lain yang harus dipenuhi haknya. Pada
dasarnya, hak itu adalah sesuatu yang kosong. Artinya, meskipun hak tentang sesuatu
itu ada, belum tentu seseorang mengetahui (misalnya hak memperoleh perlindungan
hukum). Walaupun sudah diketahui, belum tentu orang mau mempergunakannya. Hak
sering diasosiasikan dengan sesuatu yang menyenangkan, sedangkan kewajiban
dipandang sebagai beban. Sebenarnya kewajiban bukan beban, melainkan suatu
keniscayaan (Drijarkara, 1978:24-27). Artinya, selama seseorang menyebut dirinya
manusia, kewajiban itu menjadi keniscayaan baginya. Jika menolak, itu artinya ia
mengingkari kemanusiaannya. Akan tetapi, apabila kewajiban itu dilaksanakan, hal
tersebut tentu saja merupakan suatu keluhuran. Adanya keluhuran dari melaksanakan
kewajiban itu menjadi lebih jelas lagi apabila dipertentangkan dengan situasi yang
sebaliknya, yaitu mengingkari janji, melalaikan tugas, mengambil hak orang lain, dsb.
Implementasi dari perbuatan ini adalah orang akan merasa dikhianati, kecewa, dan
akhirnya tumbuh sikap tidak percaya. Kewajiban bukanlah suatu ikatan, melainkan
suatu keniscayaan. Sebagai suatu keniscayaan berarti apa yang diwajibkan menusia
menjadi tidak merdeka. Mau atau tidak harus menerima. Namun, terhadap
keniscayaan itu sendiri manusia bisa taat dan bisa juga melanggar. Ia boleh memilih
dengan konsekuensi jika taat, akan meningkat martabatnya sebagai manusia, dan jika
melanggar akan merosot martabatnya sebagai manusia. Berarti realisasi hak dan
kewajiban ini sifatnya relatif, disesuaikan dengan situasi dan kondisi. Pemenuhan hak
dan pelaksanaan kewajiban bertalian erat dengan soal keadilan. Dalam hubungan ini
dapat dikatakan bahwa keadilan terwujud bila hak sejalan dengan kewajiban. Karena
pemenuhan hak dan pelaksanaan kewajiban dibatasi oleh situasi dan kondisi, hak asasi
manusia harus diartikan sebagai cita-cita, aspirasi, atau harapan yang berfungsi untuk
memberi arah pada segenap usaha untuk menciptakan keadilan. Rasa wajib ini juga
perlu
ditumbuhkembangkan
pada
setiap
peserta
didik
dimana
usaha
itu, dikatakan bahwa kebahagiaan itu sifatnya rasional padahal kebahagiaan yang
tampaknya didominasi oleh perasaan itu ternyata tidak demikian karena aspek
kepribadian yang lain seperti akal pikiran juga ikut berperan. Bukankan seseorang
hanya mungkin menghayati kebahagiaan jika ia mengerti tentang sesuatu yang
menjadi objek rasa bahagianya itu. juga orang yang sedang terganggu pikiran atau
tidak beres kesadarannya tidak akan sanggup menghayati kebahagiaan. Jadi,
penghayatan terhadap kebahagiaan itu juga didukung oleh aspek nalar dan aspek rasa.
Berarti dapat disimpulkan bahwa kebahagiaan itu rupanya tidak terletak pada
keadaannya sendiri secara faktual, pada rangkaian prosesnya, ataupun pada
perasaan yang diakibatkannya, tetapi terletak pada kesanggupan menghayati
semuanya itu dengan keheningan jiwa dan mendudukkan hal-hal tersebut di dalam
rangkaian atau ikatan tiga hal, yaitu usaha, norma-norma, dan takdir. Kebahagiaan
pada dasarnya akan dapat dirasakan seseorang jika orang tersebut dapat mengahayati
suatu objek yang membuat dia bahagia. Objek ini sebenarnya tidak hanya terbatas
pada suatu hal baik yang dialami oleh seseorang, tetapi juga pada suatu hal yang tidak
baik. Sebagai contoh, sebuah keluarga yang kemampuan ekonominya pas-pasan akan
dapat merasakan kebahagiaan jika ia menghayati kemiskinan yang dialaminya. Tidak
sedikit orang yang hidupnya miskin merasa tidak bahagia karena mereka tidak
menghayati kebahagiaan itu. Barangkali konsep menghayati ini sama dengan
bersyukur jika dikaitkan dengan agama. Selanjutnya apakah seseorang yang terlihat
senang dapat dikategorikan sebagai orang yang bahagia. Tentu saja tidak. Adakalanya
orang yang terlihat senang sebenarnya tidak bahagia. Kesenangan yang terlihat
padanya hanya merupakan manipulasi terhadap orang lain. Ia barangkali tidak ingin
orang lain tahu bahwa dirinya menderita. Dengan demikian, untuk menutup
penderitaannya itu, ia memperlihatkan kepada orang lain bahwa dirinya senang. Dari
uraian di atas telah dipaparkan bahwa kebahagiaan itu rupanya tidak terletak pada
keadaannya sendiri secara faktual, pada rangkaian prosesnya, ataupun pada
perasaan yang diakibatkannya, tetapi terletak pada kesanggupan menghayati
semuanya itu dengan keheningan jiwa dan mendudukkan hal-hal tersebut di dalam
rangkaian atau ikatan tiga hal, yaitu usaha, norma-norma, dan takdir. Usaha adalah
perjuangan yang terus menerus untuk mengatasi masalah hidup. Hidup dengan
menghadapi itulah realitas hidup. Oleh karena itu, masalah hidup harus dihadapi.
Selanjutnya, usaha untuk mengatasi masalah hidup itu harus bertumpu pada normanorma yang berlaku dalam agama dan masyarakat. Artinya, jika masalah hidup itu