Sasaran pendidikan adalah manusia. Pendidikan bermaksud membantu peserta didik untuk
menumbuhkembangkan potensi-potensi kemanusiaanny. Potensi kemanusiaan merupakan benih
kemungkinan untuk menjadi manusia,
Ciri khas manusia yang membedakannya dari hewan terbentuk dari kumpulan terpadu (integrated)
dari apa yang disebut sifat hakikat manusia. Disebut hakikat manusia karena, secara hakiki sifat
tersebut hanya dimiliki oleh manusia dan tidak terdapat pada hewan.
1
kesempurnaan diri. Kenyataan seperti ini mempunyai implikasi pedagogis, yaitu
keharusan pendidikan untuk menumbuhkembangkan kemampuan meng-Aku pada
peserta didik. Dengan kata lain, pendidikan diri sendiri yang oleh Langeveld disebut Self
Forming perlu mendapat perhatian secara serius dari semua pendidik.
b. Kemampuan bereksitensi
Kemampuan menerobos soal ruang, waktu (disini) dan waktu ini (sekarang), tapi dapat
menembus ke “sana” dan ke “masa depan” ataupun “masa lampau” disebut
kemampuan bereksitensi.
Kemampuan bereksitensi perlu dibina melalui pendidikan. Peserta didik diajar agar
belajar dari pengalamannya, belajar mengantisipasi sesuatu keadaan dan peristiwa,
belajar melihat prospek masa depan dari sesuatu, serta mengembangkan daya imajinasi
kreatif sejak dari masa kanak kanak.
d. Moral
Jika kata hati diartikan sebagai bentuk pengertian yang menyertai perbuatan, maka yang
dimaksud dengan moral (yang sering juga disebut etika) adalah perbuatan itu sendiri.
Pendidikan moral juga sering disebut pendidikan kemauan, oleh M.J. Langeveld
dinamakan De opvoedeling omzichzelfs wil. Tenteu saja yang dimaksud adalah kemauan
yang sesuai dengan tuntutan kodrat manusia.
Seseorang dikatakan bermoral tinggi karea ia menyatukan diri dengan nilai-nilai yang
tinggi, serta segenap perbuatannya merupakan peragaan dari nilai-nilai yang tinggi
tersebut.
Etika biasanya dibedakan dari etiket. Jika moral (etika) menunjuk kepada perbuatan
yang baik/benar ataukah salah, yang berperikemanusiaan atau yang jahat, maka etiket
hanya berhubungan dengan soal sopan santun. Karena moral bertalian erat dengan
keputusan kata hati, yang dalam hal ini berarti bertalian erat dengan nilai-nilai, maka
sesungguhnya moral itu adalah nilai-nilai kemanusiaan.
e. Tanggung jawab
Kesediaan untuk menanggung segenap akibat dari perbuatan yang menuntut jawab,
merupakan pertanda sifat orang yang bertanggung jawab. Wujud bertanggung jawab
bermacam-macam. Ada tanggung jawab kepada diri sendiri, tanggung jawab kepada
masyarakat, dan tanggung jawab kepada tuhan.
Dengan demikian, tanggung jawab dapat diartikan sebagai keberanian untuk
menentukan bahwa sesuatu perbuatan sesuai dengan tuntunan kodrat manusia, dan
bahwa hanya karena itu perbuatan tersebut dilakukan, sehingga sanksi apapun yang
2
dituntutkan (oleh kata hati, oleh masyarakat, oleh norma-norma agama), diterima
dengan penuh kesadaran dan kerelaan.
f. Rasa kebebasan
Rasa kebebasan artinya bebas berbuat sepanjang tidak bertentangan dengan tuntutan
kodrat manusia. Rasa kebebasan juga dapat diartikan sebagai kemerdekaan dalam arti
yang sebenarnya memang berlangsung dalam keterikatan. Disini jugfa terlihat bahwa
kemerdekaan berkaitan ereat dengan kata hati dan moral. Seseorang mengalami rasa
merdeka apabila segenap perbuatannya(moralnya) sesuai dengan tuntutan kodrat
manusia,-- yaitu kata hati yang sesuai dengan tuntutan kodrat manusia,-- karena
perbuatan seperti itu tidak sulit atau siap sedia untuk dipertanggungjawabkan dan tidak
akan sedikit pun menimbulkan kekhawatiran (rasa ketidakmerdekaan).
3
ataupun pada rangkaian prosesnya, maupun pada perasaan yang diakibatkannya, tetapi
terletak pada kesanggupan menghayati semuanya itu dengan keheningan jiwa, dan
mendudukkan hal-hal tersebut di dalam rangkaian atau ikatan tiga hal, yaitu : usaha,
norma-norma, dan takdir.
Usaha adalah perjuangan yang terus-menerus untuk mengatasi masalah hidup. Hidup
tenteram terlaksana dalam hidup tanpa ada tekanan.
Akhirnya, dapat disimpulkan bahwa kebahagiaan itu dapat diusahakan peningkatannya.
Ada dua hal yang dapat dikembangkan, yaitu : kemampuan berusaha dan kemampuan
menghayati hasil usaha dalam kaitannya dengan takdir. Dengan demikian pendidikan
mempunyai peranan penting sebagai wahana untuk mencapai kebahagiaan, utamanya
pendidikan keagamaan.
1. Dimensi keindividualan
Lysen mengartikan individu sebagai “orang-seorang”, sesuatu yang merupakan suatu
keutuhan yang tidak dapat dibagi-bagi (in devide). Selanjutnya individu diartikan sebagai
pribadi.
Setiap anak manusia yang dilahirkan telah dikaruniai potensi untuk menjadi berbeda dari
yang lain, atau menjadi (seperti) dirinya sendiri. Tidak ada diri individu yang identik di
muka bumi. Demikian kata M.J. Langeveld, yang mengatakan bahwa setiap orang
memiliki individualitas (M.J.Langeveld, 1995:54). Hal ini berlaku baik pada sifat-sifat
fisiknya maupun kejiwaannya (kerohaniannya). Dikatakan bahwa setiap individu bersifat
unik (tidak ada tara dan bandingannya).
Kesanggupan untuk memikul tanggung jawab sendiri merupakan ciri yang sangat
esensial dari adanya indivudualitas pada diri manusia. M.J.Langelved manyatakan bahwa
setiap anak memiliki dorongan untuk mandiri yang sangat kuat, meskipun di sisi lain
pada anak terdapat rasa tidak berdaya, sehinmgga memerlukan pihak lain (pendidik)
yang dapat dijadikan tempat bergantung untuk memberi perlindungan dan bimbingan,
sebab tanpa dibina melalui pendidikan, benih-benih individualitas yang sangat berharga
itu yang memungkinkan terbentuknya suatu kepribadian unik akan tetap tinggal laten.
Dengan kata lain kepribadian seseorang tidak memiliki warna kepribadian yang khas
sebagai miliknya. Jika terjadi hal yang demikian, seseorang tidak memiliki kepribadian
yang otonom dan orang seperti ini tidak akan memiliki pendirian serta mudah dibawa
oleh arus masa. Pola pendidikan yang bersifat demokratis dipandang cocok untuk
mendorong bertumbuh dan berkembangnya potensi individualitas sebagaimana
maksud. Pola pendidikan yang menghambat perkembangan individualitas (misalnya
yang bersifat otoriter) dalam hubungan ini disebut pendidikan yang patologis.
2. Dimensi kesosialan
Setiap orang dapat saling berkomunikasi yang pada hakikat di dalamnya terkandung
unsur saling memberi dan menerima.
Adanya dimensi kesosialan pada diri manusia tampak lebih jelas pada dorongan untuk
bergaul. Dengan adanya dorongan untuk bergaul, setiap orang ingin bertemu dengan
sesamanya.
4
Immanuel Kant seorang filosof tersohor di Jerman menyatakan : Manusia hanya menjadi
manusia jika berada di antara manusia. Kiranya tidak usah dipersoalkan bahwa tidak ada
seorang manusia pun yang dapat hidup seorang diri lengkap dengan sifat hakikat
kemanusiaannya di tempat terasing yang terisolir. Mengapa demikian? Sebabnya, orang
hanya dapat mengembangkan individualitasnya di dalam pergaulan sosial. Seseorang
dapat mengembangkan kegemarannya, sikapnya, cita-citanya di dalam interaksi dengan
sesamanya. Seseorang berkesempatan untuk belajar dari orang lain, mengidentifikasi
sifat-sifat yang bdikagumi dari orang lain untuk dimilikinya, serta menolak sifat-sifat yang
tidak dicocokinya. Hanya di dalam berinteraksi dengan sesamanya, dalam saling
menerima dan memberi seseorangmenyadari dan menghayati kemanusiaannya.
3. Dimensi kesusilaan
Susila berasal dari kata su dan sila yang artinya kepantasan yang lebih tinggi. Dalam
bahasa ilmiah sering digunakan macam istilah yang mempunyai konotasi berbeda yaitu
etiket (persoalan kepantasan dan kesopanan) dan etiket (persoalan kebaikan).
Drijarkara mengartikan manusia susila sebagai manusia yang memiliki nilai-nilai,
menghayati, dan melaksanakan nilai-nilai tersebut dalam perbuatan. (Drijarkara,
1978:36-39). Nilai-nilai merupakan sesuatu yang dijunjung tinggi oleh manusia karena
mengandung makna ebaikan, keluhuran, kemuliaan, dan sebagainya, sehingga dapat
diyakini dan dijadikan pedoman dalam hidup. Dilihat asalnya dari mana nilai-nilai itu
diprodik dibedakan atas tiga macam, yaitu : nilai otonom yang bersifat individual
(kebaikan menurut pendapat seseorang), nilai heteronom yang bersifat kolektif
(kebaikan menurut kelompok), dan nilai keagamaan yaitu nilai yang berasal dari Tuhan.
4. Dimensi keberagaman
Pada hakikatnya manusia adalah makhluk religius. Sejak dahulu kala, sebelum manusia
mengenal agama, mereka telah percaya bahwa di luar alam yang dapat dijangkau
5
dengan perantaraan alat indranya, diyakini akan adanya kekuatan supranatural yang
menguasai hidup alam semesta ini. Untuk dapat berkomunikasi dan mendekatkan diri
dengan kekuatan tersebut diciptakanlah mitos-mitos. Misalnya untuk meminta sesuatu
dari kekuatan-kekuatan tersebut dilakukan bermacam-macam upacara, menyediakan
sesajen-sesajen, dan memberikan korban-korban.
Kemudian, setelah ada agama maka manusia mulai menganutnya. Beragama merupakan
kebutuhan manusia, karena manusia adalah mahluk yang lemah sehingga memerlukan
tempat bertopang. Manusia memerlukan agama demi keselamatan hidupnya.
Pendidikan agama adalah persoalan afektif dan kata hati. Pesan-pesan agama harus
tersalur dari hati ke hati. Dalam hal ini, orang tualah yang paling cocok sebagai pendidik
karena ada hubungan darah dengan anak.
Pemerintah dengan berlandaskan pada GBHN memasukkan pendidikan agama ke dalam
kurikulum di sekolah mulai dari SD sampai dengan perguruan tinggu (Pelita V). Disini
perlu ditekankan bahwa meskipun pengkajian agama melalui mata pelajaran agama
ditingkatkan, namun tetap harus di sadari bahwa pendidikan agama bukan tentang
semata-mata pelajaran agama yang hanya memberikan pengetahuan tentang agama.
Jadi, segi-segi afektif harus diutamakan.
6
dimensi hakikat manusia yang utuh diartikan sebagai pembinaan terpadu terhadap
dimensi hakikat manusia, sehingga dapat tumbuh dan berkembang secara selaras.
Perkembangan dimaksud mencakup yang bersifat horizontal (yang menciptaan
keseimbangan) dan yang bersifat vertikal (yang menciptakan ketinggian martabat
manusia). Dengan demikian secara totalitas membentuk manusia yang utuh.
Sosok manusia indonesia seutuhnya telah dirumuskan di dalam GBHN mengenai arah
pembangunan jangka panjang. Dinyatakan bahwa pembangunan nasional dilaksanakan di
dalam rangka pembangunan manusia indonesia seutuhnya dan pembangunan seluruh
masyarakat indonesia. Hal ini berarti bahwa pembangunan itu tidak hanya mengejar
kemajuan lahiriah, seperti pangan, sandang, perumahan, kesehatan, ataupun kepuasan
batiniah seperti pendidikan, rasa aman, bebas mengeluarkan pendapat yang bertanggung
jawab, atau rasa keadilan, melainkan keselarasan, keserasian, dan keseimbangan antara
keduanya sekaligus batiniah. Selanjutnya juga diartikan bahwa pembangunan itu merata
diseluruh tanah air, bukan hanya untuk golongan atau sebagian dari masyarakat.
Selanjutnya, juga diartikan sebagai keselarasan hubungan antara manusia dengan
lingkungan alam sekitarnya, keserasian hubungan antara bangsa-bangsa, dan juga
keselarasan antara cita-cita hidup di dunia dengan kebahagiaan di akhirat.
Rangkuman
Dari semua yang telah diuraikan, dapat disimpulkan bahwa sifat hakikat manusia dan sgenap
dimensinya hanya dimiliki oleh manusia dan tidak terdapat pada hewan. Ciri-ciri yang khas
tersebut membedakan secara prinsipiil dunia hewan dari dunia manusia.
Adanya sifat hakikat tersebut memberikan tempat kedudukan pada manusia sedemikian
rupa sehingga derajatnya lebih tinggi daropada hewan dan sekaligus menguasai hewan.
Salah satu sifat hakikat yang istimewa adalah adanya kemampuan menghayati kebahagiaan
pada manusia. Semua sifat hakikat manusia dapat dan harus ditunbuhkembangkan melalui
pendidikan.
Berkat pendidikan maka sifat hakiat manusia dapat ditumbuhkembangkan secara selaras
dan berimbang sehingga menjadi manusia yang utuh.
7
8