Anda di halaman 1dari 8

Hakikat manusia dan perkembangannya

Sasaran pendidikan adalah manusia. Pendidikan bermaksud membantu peserta didik untuk
menumbuhkembangkan potensi-potensi kemanusiaanny. Potensi kemanusiaan merupakan benih
kemungkinan untuk menjadi manusia,

Ciri khas manusia yang membedakannya dari hewan terbentuk dari kumpulan terpadu (integrated)
dari apa yang disebut sifat hakikat manusia. Disebut hakikat manusia karena, secara hakiki sifat
tersebut hanya dimiliki oleh manusia dan tidak terdapat pada hewan.

A. Sifat Hakikat Manusia


Sifat hakikat manusia menjadi bidang kajian filsafat, khususnya filsafat antropologi, hal ini
menjadi keharusan oleh karena pendidikan bukanlah sekedar soal praktek yang
berlandaskan dan bertujuan. Sedangkan landasan dan tujuan pendidikan itu sendiri sifatnya
filosofis normatif. Bersifat filososfis karena untuk mendapatkan landasan yang kukuh
diperlukan adanya kajian yang bersifat mendasar, sistematis, dan universal tentang ciri
hakiki manusia. Bersidat normatif karena pendidikan mempunyai tugas untuk
menumbuhkembangkan sifat hakikat manusia tersebut sebagai sesuatu yang bernilai luhur,
dan hal itu menjadi keharusan.

1. Pengertian sifat hakikat manusia


Sifat hakikat manusia diartikan sebagai ciri-ciri karakteristik, yang secara prinsipil ( jadi bukan
hanya gradual) membedakan manusia dari hewan. Meskipun antara manusia dan hewan
banyak kemiripan terutama jika dilihat dari segi biologisnya.
Charles Darwin (dengan teori evolusinya) telah berjuang untuk menemukan bahwa manusia
berasal dari primat atau kera, tetapi ternyata gagal. Ada misteri yang dianggap
menjembatani proses perubahan dari primat ke manusia yang tidak sanggup diungkapkan
yang disesbut The Missing Link, yaitu suatu mata rantai yang putus.

2. Wujud sifat hakikat manusia

a. Kemampuan menyadari diri


Kemampuan menyadari diri yang dimiliki oleh manusia, yaitu manusia menyadari bahwa
dirinya (akunya) memiliki ciri khas atau karakteristik diri. Hal ini menyebabkan manusia
dapat membedakan dirinya dengan aku-aku yang lain (ia,mereka) dan dengan non-aku
(lingkungan fisik) di sekitarnya.
Kemampuan membuat jarak dengan lingkungannya berarah ganda, yaitu arah ke luar
dan ke dalam. Dengan arah keluar, aku memandang dan menjadikan lingkungan sebagai
objek, selanjutnya aku memanipulasi ke dalam lingkungan untuk memenuhi
kebutuhannya. Yang lebih istimewa lagi ialah bahwa manusia dikaruniai kemampuan
untuk membuat jarak (distansi) diri dengan akunya sendiri. Sungguh merupakan suatu
anugerah yang luar biasa, yang menempatkan posisi manusia sebagai makhuk yang
memiliki potensi untuk menyempurnakan diri. Drijakara (Drijarkara:138) menyebut
kemampuan tersebut dengn istilah “meng-Aku”, yaitu kemampuan mengeksplorasi
potensi-potensi yang ada pada aku, dan memahami potensi-potensi tersebut sebagai
kekuatan yang dapat dikembangkan sehingga aku dapat berkembang ke arah

1
kesempurnaan diri. Kenyataan seperti ini mempunyai implikasi pedagogis, yaitu
keharusan pendidikan untuk menumbuhkembangkan kemampuan meng-Aku pada
peserta didik. Dengan kata lain, pendidikan diri sendiri yang oleh Langeveld disebut Self
Forming perlu mendapat perhatian secara serius dari semua pendidik.

b. Kemampuan bereksitensi
Kemampuan menerobos soal ruang, waktu (disini) dan waktu ini (sekarang), tapi dapat
menembus ke “sana” dan ke “masa depan” ataupun “masa lampau” disebut
kemampuan bereksitensi.
Kemampuan bereksitensi perlu dibina melalui pendidikan. Peserta didik diajar agar
belajar dari pengalamannya, belajar mengantisipasi sesuatu keadaan dan peristiwa,
belajar melihat prospek masa depan dari sesuatu, serta mengembangkan daya imajinasi
kreatif sejak dari masa kanak kanak.

c. Kata hati (Conscience of man)


Kata hati adalah kemampuan pada diri manusia yang memberi penerangan tentang baik
buruknya perbuatannya sebagai manusia. Kaitan dengan moral (perbuatan), kata hati
merupakan “petunjuk bagi moral/perbuatan”. Usaha untuk mengubah kata hati yang
tumpul menjadi kata hati yang tajam disebut pendidikan kata hati (gewetan forming).
Realisasinya dapat ditempuh dengan melatih akal kecerdasan dan kepekaan emosi.
Tujuannya agar orang memiliki keberanian moral (berbuat) yang didasari oleh kata hati
yang tajam.

d. Moral
Jika kata hati diartikan sebagai bentuk pengertian yang menyertai perbuatan, maka yang
dimaksud dengan moral (yang sering juga disebut etika) adalah perbuatan itu sendiri.
Pendidikan moral juga sering disebut pendidikan kemauan, oleh M.J. Langeveld
dinamakan De opvoedeling omzichzelfs wil. Tenteu saja yang dimaksud adalah kemauan
yang sesuai dengan tuntutan kodrat manusia.
Seseorang dikatakan bermoral tinggi karea ia menyatukan diri dengan nilai-nilai yang
tinggi, serta segenap perbuatannya merupakan peragaan dari nilai-nilai yang tinggi
tersebut.
Etika biasanya dibedakan dari etiket. Jika moral (etika) menunjuk kepada perbuatan
yang baik/benar ataukah salah, yang berperikemanusiaan atau yang jahat, maka etiket
hanya berhubungan dengan soal sopan santun. Karena moral bertalian erat dengan
keputusan kata hati, yang dalam hal ini berarti bertalian erat dengan nilai-nilai, maka
sesungguhnya moral itu adalah nilai-nilai kemanusiaan.

e. Tanggung jawab
Kesediaan untuk menanggung segenap akibat dari perbuatan yang menuntut jawab,
merupakan pertanda sifat orang yang bertanggung jawab. Wujud bertanggung jawab
bermacam-macam. Ada tanggung jawab kepada diri sendiri, tanggung jawab kepada
masyarakat, dan tanggung jawab kepada tuhan.
Dengan demikian, tanggung jawab dapat diartikan sebagai keberanian untuk
menentukan bahwa sesuatu perbuatan sesuai dengan tuntunan kodrat manusia, dan
bahwa hanya karena itu perbuatan tersebut dilakukan, sehingga sanksi apapun yang

2
dituntutkan (oleh kata hati, oleh masyarakat, oleh norma-norma agama), diterima
dengan penuh kesadaran dan kerelaan.
f. Rasa kebebasan
Rasa kebebasan artinya bebas berbuat sepanjang tidak bertentangan dengan tuntutan
kodrat manusia. Rasa kebebasan juga dapat diartikan sebagai kemerdekaan dalam arti
yang sebenarnya memang berlangsung dalam keterikatan. Disini jugfa terlihat bahwa
kemerdekaan berkaitan ereat dengan kata hati dan moral. Seseorang mengalami rasa
merdeka apabila segenap perbuatannya(moralnya) sesuai dengan tuntutan kodrat
manusia,-- yaitu kata hati yang sesuai dengan tuntutan kodrat manusia,-- karena
perbuatan seperti itu tidak sulit atau siap sedia untuk dipertanggungjawabkan dan tidak
akan sedikit pun menimbulkan kekhawatiran (rasa ketidakmerdekaan).

g. Kewajiban dan Hak


Kewajiban dan hak adalah dua macam gejala yang timbul sebagai menifestasi dari
manusia sebagai makhluk sosial. Yang satu ada hanya oleh karena adanya yang lain. Tak
ada hak tanpa kewajiban. Jika seseorang mempunyai hak untuk menuntut sesuatu maka
tentu ada pihak lain yang berkewajiban untuk memenuhi hak tersebut (yang pada saat
itu belum dipenuhi). Sebaliknya kewajiban ada oleh karena ada pihak lain yang harus
dipenuhi haknya. Pada dasarnya, hak itu adalah sesuatu yang masih kosong. Artinya
meskipun hak tentang sesuatu itu ada, belum tentu seseorang mengetahuinya (misal
hak memperoleh perlindungan hukum). Dan meskipun sudah diketahui, belum tentu
orang mau mempergunakannya ( misalnya hak cuti tahunan).
Dalam realitas hidup sehari-hari, umumnya hak diasosiasikan dengan sesuatu yang
menyenangkan, sedangkan kewajiban dipandang sebagai sesuatu beban.
Melaksanakan kewajiban berarti terikat kepada kewajiban, tetapi anehnya – yang
sesungguhnya bukan keanehan – manusia memilihnya. Mengapa? Sebabnya adalah
karena melaksanakan kewajiban berarti meluhurkan diri sebagai manusia. Atau merasa
baru manusia bila menaati kewajiban. Dengan demikian baru merasa lega, bebas atau
merdeka.
Pemenuhan hak dan pelaksanaan kewajiban bertalian erat dengan soal keadilan. Dalam
hubungan ini mungkin dapat dikatakan bahwa keadilan terwujud bila hak sejalan dengan
kewajiban.

h. Kemampuan menghayati kebahagiaan


Kebahagiaan adalah suatu istilah yang lahir dari kehidupan manusia. Penghayatan hidup
yang disebut “kebahagiaan” ini meskipun tidak mudah untuk dijabarkan tetapi tidak sulit
untuk dirasakan. Dengan kata lain, kebahagiaan lebih merupakan integrasi atau rentetan
dari sejumlah kesenangan. Malah mungkin ada yang lebih jauh lagi berpendapat bahwa
kebahagiaan tidak cukup digambarkan hanya sebagai himpunan dari pengalaman-
pengalaman yang menyenangkan saja, tetapi lebih dari itu, yaitu meruupakan integrasi
dari segenap kesenangan, kegembiraan, kepuasan, dan sejenisnya dengan pengalaman-
pengalaman pahit dan penderitaan. Proses integrasi dari kesemuanya itu (yang
menyenangkan maupun yang pahit) menghasilkan suatu bentuuk penghayatan hidup
yang disebut “bahagia”.
Sebuah kesimpulan yang dapat ditarik dari apa yang telah dipaparkan tentang
kebahagiaan ialah bahwa kebahagiaan itu rupanya tidak terletak pada keadaannya
sendiri secara faktual (lulus sebagai sarjana, mendapat pekerjaan, dan seterusnya)

3
ataupun pada rangkaian prosesnya, maupun pada perasaan yang diakibatkannya, tetapi
terletak pada kesanggupan menghayati semuanya itu dengan keheningan jiwa, dan
mendudukkan hal-hal tersebut di dalam rangkaian atau ikatan tiga hal, yaitu : usaha,
norma-norma, dan takdir.
Usaha adalah perjuangan yang terus-menerus untuk mengatasi masalah hidup. Hidup
tenteram terlaksana dalam hidup tanpa ada tekanan.
Akhirnya, dapat disimpulkan bahwa kebahagiaan itu dapat diusahakan peningkatannya.
Ada dua hal yang dapat dikembangkan, yaitu : kemampuan berusaha dan kemampuan
menghayati hasil usaha dalam kaitannya dengan takdir. Dengan demikian pendidikan
mempunyai peranan penting sebagai wahana untuk mencapai kebahagiaan, utamanya
pendidikan keagamaan.

B. Dimensi-dimensi hakikat manusia serta potensi, keunikan, dan dinamikanya

1. Dimensi keindividualan
Lysen mengartikan individu sebagai “orang-seorang”, sesuatu yang merupakan suatu
keutuhan yang tidak dapat dibagi-bagi (in devide). Selanjutnya individu diartikan sebagai
pribadi.
Setiap anak manusia yang dilahirkan telah dikaruniai potensi untuk menjadi berbeda dari
yang lain, atau menjadi (seperti) dirinya sendiri. Tidak ada diri individu yang identik di
muka bumi. Demikian kata M.J. Langeveld, yang mengatakan bahwa setiap orang
memiliki individualitas (M.J.Langeveld, 1995:54). Hal ini berlaku baik pada sifat-sifat
fisiknya maupun kejiwaannya (kerohaniannya). Dikatakan bahwa setiap individu bersifat
unik (tidak ada tara dan bandingannya).

Kesanggupan untuk memikul tanggung jawab sendiri merupakan ciri yang sangat
esensial dari adanya indivudualitas pada diri manusia. M.J.Langelved manyatakan bahwa
setiap anak memiliki dorongan untuk mandiri yang sangat kuat, meskipun di sisi lain
pada anak terdapat rasa tidak berdaya, sehinmgga memerlukan pihak lain (pendidik)
yang dapat dijadikan tempat bergantung untuk memberi perlindungan dan bimbingan,
sebab tanpa dibina melalui pendidikan, benih-benih individualitas yang sangat berharga
itu yang memungkinkan terbentuknya suatu kepribadian unik akan tetap tinggal laten.
Dengan kata lain kepribadian seseorang tidak memiliki warna kepribadian yang khas
sebagai miliknya. Jika terjadi hal yang demikian, seseorang tidak memiliki kepribadian
yang otonom dan orang seperti ini tidak akan memiliki pendirian serta mudah dibawa
oleh arus masa. Pola pendidikan yang bersifat demokratis dipandang cocok untuk
mendorong bertumbuh dan berkembangnya potensi individualitas sebagaimana
maksud. Pola pendidikan yang menghambat perkembangan individualitas (misalnya
yang bersifat otoriter) dalam hubungan ini disebut pendidikan yang patologis.

2. Dimensi kesosialan
Setiap orang dapat saling berkomunikasi yang pada hakikat di dalamnya terkandung
unsur saling memberi dan menerima.
Adanya dimensi kesosialan pada diri manusia tampak lebih jelas pada dorongan untuk
bergaul. Dengan adanya dorongan untuk bergaul, setiap orang ingin bertemu dengan
sesamanya.

4
Immanuel Kant seorang filosof tersohor di Jerman menyatakan : Manusia hanya menjadi
manusia jika berada di antara manusia. Kiranya tidak usah dipersoalkan bahwa tidak ada
seorang manusia pun yang dapat hidup seorang diri lengkap dengan sifat hakikat
kemanusiaannya di tempat terasing yang terisolir. Mengapa demikian? Sebabnya, orang
hanya dapat mengembangkan individualitasnya di dalam pergaulan sosial. Seseorang
dapat mengembangkan kegemarannya, sikapnya, cita-citanya di dalam interaksi dengan
sesamanya. Seseorang berkesempatan untuk belajar dari orang lain, mengidentifikasi
sifat-sifat yang bdikagumi dari orang lain untuk dimilikinya, serta menolak sifat-sifat yang
tidak dicocokinya. Hanya di dalam berinteraksi dengan sesamanya, dalam saling
menerima dan memberi seseorangmenyadari dan menghayati kemanusiaannya.

3. Dimensi kesusilaan
Susila berasal dari kata su dan sila yang artinya kepantasan yang lebih tinggi. Dalam
bahasa ilmiah sering digunakan macam istilah yang mempunyai konotasi berbeda yaitu
etiket (persoalan kepantasan dan kesopanan) dan etiket (persoalan kebaikan).
Drijarkara mengartikan manusia susila sebagai manusia yang memiliki nilai-nilai,
menghayati, dan melaksanakan nilai-nilai tersebut dalam perbuatan. (Drijarkara,
1978:36-39). Nilai-nilai merupakan sesuatu yang dijunjung tinggi oleh manusia karena
mengandung makna ebaikan, keluhuran, kemuliaan, dan sebagainya, sehingga dapat
diyakini dan dijadikan pedoman dalam hidup. Dilihat asalnya dari mana nilai-nilai itu
diprodik dibedakan atas tiga macam, yaitu : nilai otonom yang bersifat individual
(kebaikan menurut pendapat seseorang), nilai heteronom yang bersifat kolektif
(kebaikan menurut kelompok), dan nilai keagamaan yaitu nilai yang berasal dari Tuhan.

Pemahaman dan pelaksanaan nilai


Memahami adalah kemampuan kemampuan penalaran (kognitif), sedangkan bersedia
melaksanakan adalah sikap (kemampuan afektif), yang masing-masing memiliki ondisi
yang berbeda. Antara keduanya terdapat jarak yang perlu dijembatani. Dari memahami
perlu meyakini, untuk berikutnya menuju ke penginternalisasian (penyaturagaan) nilai-
nilai, kemudian kemauan atau kesediaan untuk melaksanakan nilai-nilai, baru sampai
kepada melakukannya.
Jangankan antara memahami dan melaksanakan yang rentangannya begitu jauh, antara
niat (kesediaan untuk melaksanakan) dengan perbuatan (melaksanakan) yang
rentangnya begitu dekat saja masih sering terjadi kesenjangan.
Berdasarkan uraian tersebut, maka pendidikan kesusilaan meliputi rentangan yang luas
penggarapannya, mulai dari ranah kognitif yaitu dari dari mengetahui sampai kepada
menginternalisasi nilai sampai kepada ranah afektif dari meyakini, meniati sampai kepda
siap sedia untuk melakukan. Meskipun demikian, tekanannya seharusnya diletakkan
pada ranah afetif. Konsekuasinya adalah sering memakan waktu panjang dalam
pemrosesannya, berkesinambungan, dan memerlukan kesabaran serta ketekunan dari
pihak pendidik. Implikasi pendagogisnya ialah bahwa pendidikan kesusilaan berarti
menanamkan kesadaran dan kesediaan melakukan kewajiban di samping menerima hak
pada peserta didik.

4. Dimensi keberagaman
Pada hakikatnya manusia adalah makhluk religius. Sejak dahulu kala, sebelum manusia
mengenal agama, mereka telah percaya bahwa di luar alam yang dapat dijangkau

5
dengan perantaraan alat indranya, diyakini akan adanya kekuatan supranatural yang
menguasai hidup alam semesta ini. Untuk dapat berkomunikasi dan mendekatkan diri
dengan kekuatan tersebut diciptakanlah mitos-mitos. Misalnya untuk meminta sesuatu
dari kekuatan-kekuatan tersebut dilakukan bermacam-macam upacara, menyediakan
sesajen-sesajen, dan memberikan korban-korban.
Kemudian, setelah ada agama maka manusia mulai menganutnya. Beragama merupakan
kebutuhan manusia, karena manusia adalah mahluk yang lemah sehingga memerlukan
tempat bertopang. Manusia memerlukan agama demi keselamatan hidupnya.
Pendidikan agama adalah persoalan afektif dan kata hati. Pesan-pesan agama harus
tersalur dari hati ke hati. Dalam hal ini, orang tualah yang paling cocok sebagai pendidik
karena ada hubungan darah dengan anak.
Pemerintah dengan berlandaskan pada GBHN memasukkan pendidikan agama ke dalam
kurikulum di sekolah mulai dari SD sampai dengan perguruan tinggu (Pelita V). Disini
perlu ditekankan bahwa meskipun pengkajian agama melalui mata pelajaran agama
ditingkatkan, namun tetap harus di sadari bahwa pendidikan agama bukan tentang
semata-mata pelajaran agama yang hanya memberikan pengetahuan tentang agama.
Jadi, segi-segi afektif harus diutamakan.

C. Pengembangan dimensi hakikat manusia

1. Pengembangan yang utuh


Perkembangan dimensi hakikat manusia ditentukan oleh dua faktor, yaitu kualitas
dimensi hakikat manusia itu sendiri secara potensial dan kualitas pendidikan yang
disediakan untuk memberikan pelayanan atas perkembangannya.
Pendidikan yang berhasil adalah pendidikan yang sanggup menghantar subjek didik
menjadi seperti dirinya sendiri selaku anggota masyarakat.
Pengembangan yang utuh, dapat dilihat dari berbagai segi yaitu : wujud dimens dan
arahnya.

a. Dari wujud dimensinya


Keutuhan terjadi antara aspek jasmani dan rohani, antara dimensi keindividualan,
kesosialan, kesusilaan, dan keberagaman, antara aspek kognitif, afektif, dan
psikomotor. Pengembangan dimensi ein dividualan, kesosialan, kesusilaan, dan
keberagaman dikatakan utuh jika semua dimensi tersebut mendapat layanan
dengan baik, jika terjadi pengabaian terhadap salah satunya. Dalam hal ini
pengembangan dimensi keberagaman menjadi tumpuan dari ketiga dimensi yang
disebut terdahulu. Pengembangan domain kognitif, afektif, dan psikomotor
dikatakan utuh jika ketiga-tiganya mendapat pelayanan yang berimbang.

b. Dari arah pengembangan


Keutuhan pengembangan dimensi hakikat manusia dpat diarahkan kepada
pengembangan dimensi keindividualan, kesosialan, kesusilaan, dan keberagaman
secara terpadu. Penegmbangan horizontal membuka peluang terhadap
ditingkatkannya hubungan sosial diantara sesama manusia dan antara manusia
dengan lingkungan fisik yang berati memelihara kelestarian lingkungan di samping
mengeksploitasinya. Pengembangan vertikal ialah, arah pengembangan dari jenjang
yang rendah ke jenjang yang lebih tinggi. Dapat disimpulkan bahwa pengembangan

6
dimensi hakikat manusia yang utuh diartikan sebagai pembinaan terpadu terhadap
dimensi hakikat manusia, sehingga dapat tumbuh dan berkembang secara selaras.
Perkembangan dimaksud mencakup yang bersifat horizontal (yang menciptaan
keseimbangan) dan yang bersifat vertikal (yang menciptakan ketinggian martabat
manusia). Dengan demikian secara totalitas membentuk manusia yang utuh.

2. Pengembangan yang tidak utuh


Pengembangan yang tidak utuih terhadap dimensi hakikat manusia akan terjadi di dalam
proses pengembangan jika ada unsur dimensi hakikat manusia yang terabaikan untuk
ditangani, misalnya dimensi hakikat manusia yang terabaikan untuk ditangani, misalnya
dimennsi kesosialan didominasi oleh pengembangan dimensi keindividulan ataupun
domain afektif didominasi oleh pengembangan domain kognitif. Demikian pula secara
vertikal ada domain tingkah laku yang terabaikan penanganannya.
Pengembangan yang tidak utuh berakibat terbentuknya kepribadian yang pincang dan
tidak mantap. Pengembangan semacam ini merupakan pengembangan yang patologis.

D. Sosok manusia indonesia seutuhnya

Sosok manusia indonesia seutuhnya telah dirumuskan di dalam GBHN mengenai arah
pembangunan jangka panjang. Dinyatakan bahwa pembangunan nasional dilaksanakan di
dalam rangka pembangunan manusia indonesia seutuhnya dan pembangunan seluruh
masyarakat indonesia. Hal ini berarti bahwa pembangunan itu tidak hanya mengejar
kemajuan lahiriah, seperti pangan, sandang, perumahan, kesehatan, ataupun kepuasan
batiniah seperti pendidikan, rasa aman, bebas mengeluarkan pendapat yang bertanggung
jawab, atau rasa keadilan, melainkan keselarasan, keserasian, dan keseimbangan antara
keduanya sekaligus batiniah. Selanjutnya juga diartikan bahwa pembangunan itu merata
diseluruh tanah air, bukan hanya untuk golongan atau sebagian dari masyarakat.
Selanjutnya, juga diartikan sebagai keselarasan hubungan antara manusia dengan
lingkungan alam sekitarnya, keserasian hubungan antara bangsa-bangsa, dan juga
keselarasan antara cita-cita hidup di dunia dengan kebahagiaan di akhirat.

Rangkuman

Dari semua yang telah diuraikan, dapat disimpulkan bahwa sifat hakikat manusia dan sgenap
dimensinya hanya dimiliki oleh manusia dan tidak terdapat pada hewan. Ciri-ciri yang khas
tersebut membedakan secara prinsipiil dunia hewan dari dunia manusia.
Adanya sifat hakikat tersebut memberikan tempat kedudukan pada manusia sedemikian
rupa sehingga derajatnya lebih tinggi daropada hewan dan sekaligus menguasai hewan.
Salah satu sifat hakikat yang istimewa adalah adanya kemampuan menghayati kebahagiaan
pada manusia. Semua sifat hakikat manusia dapat dan harus ditunbuhkembangkan melalui
pendidikan.
Berkat pendidikan maka sifat hakiat manusia dapat ditumbuhkembangkan secara selaras
dan berimbang sehingga menjadi manusia yang utuh.

7
8

Anda mungkin juga menyukai